Umar Mansyur
Universitas Muslim Indonesia
umar.mansyur@umi.ac.id
Abstrak: Rendahnya budaya literasi di Indonesia masih menjadi masalah serius yang sedang
dihadapi pemerintah. SDM Unggul, Indonesia Maju, sebagai visi presiden 2019-2024
seharusnya menjadi pemantik pemangku kebijakan di sektor pendidikan untuk menghasilkan
inovasi peningkatan literasi dan minat baca masyarakat, terutama di era disrupsi sekarang ini.
Minat baca yang tinggi bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman dan daya nalar, karena
mampu mengolah informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Namun, strategi pengembangan
minat baca yang dilakukan, khususnya di sekolah dan perguruan tinggi, belum memperlihatkan
hasil yang maksimal. Secara umum, beberapa fakta menunjukkan minat baca masyarakat
cenderung menurun. Suatu hal yang kontradiktif jika dibandingkan laju penggunaan internet
yang trennya justru menaik. Sarana yang dapat meningkatkan minat baca sebagai sumber
informasi belajar adalah perpustakaan. Hampir di semua lembaga pendidikan memiliki
perpustakaan yang memadai dan malah tidak sedikit telah terakareditasi unggul. Oleh karena
itu, diperlukan upaya memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan, salah satunya adalah
Gempusta atau Gerakan Gemar ke Perpustakaan. Sebagai gerakan penyadaran kolektif yang
mengajak masyarakat, terutama peserta didik dan guru/dosen, agar gemar ke perpustakaan dan
mengintegrasikan proses pembelajaran dengan kegiatan-kegiatan literasi. Melalui Gempusta,
peserta didik diberikan pembiasaan menjadikan perpustakaan sebagai sumber belajar dan
sebagai pusat pengembangan minat baca bagi masyarakat secara luas.
PENDAHULUAN
Sejarah mencatat bahwa peradaban umat manusia yang maju tidak dibangun
hanya dengan mengandalkan sumber daya alam yang melimpah, melainkan dengan
membangun sumber daya manusia yang literat dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bangsa dengan budaya literasi dan kecerdasan yang tinggi
menunjukkan kemampuan bangsa tersebut dalam berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif,
komunikatif, sehingga dapat memenangi persaingan global. Hal ini sejalan dengan
tujuan dan cita-cita luhur para pendiri bangsa yang tertera dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar tahun 1945, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Berbicara Sumber Daya Manusia (SDM), data yang dikeluarkan World Bank
tahun 2018 menyebutkan kualitas SDM Indonesia berada di peringkat 87 dari 157
negara. Di tahun yang sama, Business World juga memaparkan bahwa peringkat daya
saing SDM Indonesia berada di ranking 45 dari 63 negara. Peringkat ini masih kalah
dari dua negara tetangga, Singapura dan Malaysia, yang masing-masing berada
diperingkat 13 dan 22. Maka dari itu, tema pembangunan SDM selalu menjadi
tantangan yang besar bagi bangsa Indonesia.
Pilihan strategi pembangunan yang berfokus pada pembangunan SDM sangatlah
tepat, mengingat Indonesia saat ini berada dalam periode Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) yang menuntut SDM yang terampil dan unggul agar memiliki daya saing tinggi
dan berkonstribusi dalam pembangunan bangsa (Sugiarto, 2019). Hal ini kemudian
dijadikan dasar pencanangan visi presiden tahun 2019-2024 yang digaungkan pada
1
Disajikan pada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia II (Narasi II) Himaprodi FBS UNM 2019
Tanggal 16–17 November 2019, Menara Phinisi UNM Makassar
peringatan HUT RI ke-74, yakni SDM Unggul, Indonesia Maju. Presiden Joko Widodo
menegaskan bahwa fokus pemerintahannya di periode 2019-2024 ialah pembangunan
SDM. Visi tersebut menjadi sangat penting sebagai langkah awal bagi kemajuan
Indonesia dalam menciptakan lompatan-lompatan kemajuan. Oleh karena itu, semua
pihak dan berbagai pemangku kepentingan harus saling bersinergi dan berkontribusi
agar dapat mempercepat terwujudnya visi Indonesia Maju.
Salah satu pondasi dasar menciptakan SDM Indonesia yang unggul adalah
menumbuhkan budaya literasi dan minat baca di tengah masyarakat. Budaya literasi,
khususnya baca-tulis, memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, karena
ilmu pengetahuan sejatinya dihasilkan melalui aktivitas membaca dan menulis. Di
semua negara-negara maju juga memiliki budaya literasi yang tinggi, tidak hanya
berlangsung di lingkungan pendidikan formalnya saja, melainkan sudah menjadi tradisi
atau budaya dalam masyarakatnya.
Literasi menjadi kunci bagi kemajuan suatu bangsa, karena pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi diraih dengan memiliki kemampuan membaca yang tinggi,
bukan dengan menyimak atau mendengarkan. Kemampuan berliterasi masyarakat,
khususnya para peserta didik di lembaga pendidikan formal, tentunya berkaitan erat
dengan tuntutan keterampilan membaca yang diharapkan berujung pada kemampuan
masyarakat dalam memahami dan mengolah informasi secara analitis, kritis, dan
reflektif. Sebuah kemampuan berpikir yang sangat diperlukan di era disrupsi saat ini
dengan persoalan budaya literasi yang masih rendah.
Persoalan rendahnya literasi di Indonesia merupakan masalah serius yang
sedang dihadapi pemerintah. Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya
telah meluncurkan berbagai program literasi di tengah masyarakat, seperti Gerakan
Indonesia membaca (GIM), Gerakan Literasi Bangsa (GLB), serta Gerakan Literasi
Sekolah (GLS). Namun demikian, hingga saat ini, fakta di lapangan masih
menunjukkan bahwa budaya literasi masyarakat tergolong masih rendah. Tingkat minat
baca masyarakat menurut beberapa hasil survei juga masih menunjukkan fakta yang
memprihatinkan. Suatu hal yang sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan laju
penggunaan internet dan media sosial yang trennya justru semakin menaik.
Tidak dapat dimungkiri bahwa pikiran yang kritis lahir dari kebiasaan membaca
dalam mempertanyakan segala sesuatu. Sayangnya, hal seperti ini belum menjadi
kebiasaan cara berpikir yang baik, karena tingkat literasi yang masih sangat rendah.
Minat baca yang rendah mengakibatkan kemampuan berpikir kritis juga turut rendah,
sehingga saat menerima beragam informasi akan sulit mencerna dan memilah mana
informasi yang benar dan yang bohong. Atas dasar inilah penyebaran hoaks atau berita
bohong sangat menjamur di Indonesia. Bagaimana tidak? Intensitas mengakses internet
dan media sosial sangat tinggi, sementara budaya literasi dan daya berpikir kritis lemah.
Di lingkup pendidikan formal, sejauh ini strategi pengembangan minat baca di
sekolah ataupun perguruan tinggi memang belum memperlihatkan fungsinya dalam
mengintegrasikan kegiatan pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya
gemar membaca. Sementara, di semua perguruan tinggi memiliki perpustakaan yang
memadai, dan malah tidak sedikit telah terakareditasi unggul. Di perpustakaan peserta
didik dapat belajar secara mandiri dan memanfaatkan waktu luang karena tersedia
bermacam-macam buku referensi dan sumber informasi lainnya. Oleh karena itu,
diperlukan upaya memaksimalkan pemanfaatan perpustakaan.
MENGINTIP MINAT BACA DI INDONESIA
Minat dalam KBBI (2016b) diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi
terhadap sesuatu dengan gairah atau semangat. Sementara itu, membaca merupakan
salah satu keterampilan berbahasa yang berkaitan erat dengan kebutuhan hidup
manusia. Sebagai keterampilan dasar yang dimiliki setiap orang, membaca menjadi
penunjang kemampuan dasar manusia lainnya, yaitu menulis dan berbicara. Hal ini
menandakan bahwa minat baca yang tinggi juga akan meningkatan kemampuan
seseorang dalam menulis ataupun berbicara.
Menurut Mansyur (2018) minat baca adalah tingkat kesenangan yang kuat
karena adanya dorongan yang timbul pada diri seseorang dalam melakukan segala
sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan membaca untuk memperoleh informasi, serta
menimbulkan kesenangan dan manfaat bagi dirinya. Pada dasarnya, minat baca tumbuh
karena adanya dorongan dari diri masing-masing. Namun demikian, lingkungan juga
menjadi faktor utama tumbuhnya minat baca seseorang, sehingga untuk
meningkatkannya perlu kesadaran setiap individu serta lingkungan yang mendukung.
Berbicara mengenai minat baca, peringkat minat baca Indonesia berdasarkan
World’s Most Literate Nations Ranked tahun 2016 menempatkan Indonesia di peringkat
60 dari 61 negara yang disurvei. Indonesia hanya unggul dari Botswana, sebuah negara
bekas jajahan Inggris yang terletak di Benua Afrika. Dibandingkan dengan negara-
negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia jauh di bawah Singapura yang berada di
peringkat 36, diikuti Malaysia dan Thailand yang masing-masing di peringkat 53 dan 59
(Kompas, 2016). Empat tahun sebelumnya, tahun 2012, UNESCO pernah melansir data
mengenai indeks tingkat membaca orang Indonesia yang hanya 0,001 persen. Artinya,
dari 1.000 penduduk hanya terdapat satu orang yang memiliki minat baca.
Secara khusus, Programme for International Student Assessment (PISA) tahun
2009 menyajikan data bahwa pemahaman membaca peserta didik Indonesia (selain
matematika dan sains) di tingkat sekolah menengah berada pada peringkat ke-57 dari 65
negara yang berpartisipasi. Pada PISA tahun 2012 peserta didik Indonesia turun menjadi
peringkat ke-64 dengan skor 396 dari skor rata-rata 496 (OECD, 2014). Dari kedua
hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah
sejatinya belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang
berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca untuk mendukung
mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat (Kemendikbud, 2016a).
Sebenarnya budaya membaca di Indonesia memang bukanlah sebuah tradisi
yang diwariskan nenek moyang. Indonesia juga relatif belum lama dinyatakan bebas
dari buta aksara. Sistem pemerintahan penjajah tentu tidak memungkinkan masyarakat
dapat membaca. Belanda baru membuka pendidikan formal untuk kaum pribumi setelah
diselenggarakannya Politik Etisch. Itu pun hanya sebatas bagi kaum bangsawan saja.
Hal ini sejalan dengan pendapat Kasiyun (2015) bahwa budaya peninggalan nenek
moyang pada umumnya adalah tradisi menyimak. Masyarakat Indonesia, khususnya
Jawa, dapat bertahan semalam suntuk menyaksikan pagelaran wayang. Tradisi
Macapat, sebuah buku dibaca seseorang dalam situasi tertentu dan disimak oleh orang.
Tradisi kelahiran bayi juga dibacakan Serat Yusuf dan disimak oleh banyak orang.
Karya tulis Mahabharata dan Serat Menak menjadi populer justru setelah diangkat ke
dalam sastra lisan yang diperdengarkan dalam pagelaran wayang dan kentrung.
PERPUSTAKAAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR
Di masa sekarang, sarana yang dapat meningkatkan minat baca masyarakat dan
sebagai sumber informasi belajar adalah perpustakaan. Perpustakaan merupakan suatu
unit kerja dari sebuah lembaga yang berupa tempat menyimpan koleksi bahan pustaka
penunjang proses pendidikan yang diatur secara sistematis. Dalam KBBI (2016b),
perpustakaan diartikan sebagai tempat atau gedung yang disediakan untuk pemeliharaan
dan penggunaan koleksi buku dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk
dibaca, dipelajari, dan dibicarakan.
Menurut Zuliarso & Februariyanti (2013), keberadaan perpustakaan sangat
diperlukan agar semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar tanpa
batasan umur dan status sosial. Perpustakaan diharapkan menjadi pusat kegiatan
pengembangan minat baca dan kebiasaan membaca. Perpustakaan mempunyai tanggung
jawab besar terhadap peningkatan dan pengembangan minat dan kegemaran membaca.
Akan tetapi, Nurbatra dkk. (2017) mengungkapkan bahwa keberadaan perpustakaan di
Indonesia secara umum belum merata hingga ke tingkat satuan terkecil masyarakat.
Penggunaan perpustakaan di tingkat kabupaten juga belum tentu dapat dimaksimalkan
masyarakan yang masih memiliki tingkat minat baca yang rendah.
Di lingkungan lembaga pendidikan, keberadaan perpustakaan seyogiayanya
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan dunia pendidikan. Sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional bahwa standar sarana prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat
olah raga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat
bermain, tempat berkreasi dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang
proses pembelajaran. Jadi, perpustakaan merupakan salah satu sumber belajar yang
sangat penting dalam menunjang proses pembelajaran. Dengan memanfaatkan
perpustakaan secara maksimal, peserta didik diharapkan terbiasa dengan aktivitas
membaca, memahami pelajaran, mengerti maksud dari sebuah informasi dan
pengetahuan, serta menghasilkan karya tulis yang bermutu. Kebiasaan membaca buku
yang dilakukan siswa ataupun mahasiswa akan meningkatkan daya nalar dan pola
pikirnya dalam menjalani kegiatannya sehari-hari.
Lantas, bagaimana kondisi kepustakaan dan perpustakaan di Indonesia? Menurut
Sugihartati (dalam Jawa Pos, 2016) rata-rata buku yang diterbitkan di Indonesia
mencapai 30.000 judul setiap tahun. Lebih lanjut, diungkapkan bahwa peringkat
perpustakaan Indonesia di tingkat dunia malah menunjukkan fakta yang
menggembirakan karena berada di peringkat 36. Indonesia dalam pembangunan
perpustakaan justru jauh di atas Korea Selatan (peringkat 42), Malaysia (peringkat 44),
Jerman (peringkat 47), Belanda (peringkat 53), dan Singapura (peringkat 59).
Atas dasar fakta mengenai kondisi perpustakaan di Indonesia tersebut, maka
beberapa pihak sangat tegas membantah anggapan yang masih mengatakan bahwa
minat baca di Indonesia masih sangat rendah. Salah satunya dari Perpustakaan Nasional.
Humas Perpusnas, Agus Sutoyo, mengatakan bahwa tiap hari ada sekitar 900 orang
yang menyambangi perpustakaan untuk memanfaatkan koleksi buku, membaca atau
sekadar mendaftar menjadi anggota. Justru yang menjadi persoalan menurutnya adalah
akses masyarakat terhadap bahan bacaan (Viva, 2014).
Namun demikian, keberlimpahan buku-buku yang ada tidak mampu dijangkau
dan dinikmati oleh masyarakat di daerah, khususnya bagi sekolah-sekolah di pelosok.
Demikian juga dengan sarana perpustakaan yang sudah memadai tadi justru masih tidak
selaras dengan meningkatnya minat baca masyarakat. Meskipun jumlah perpustakaan
yang dibangun semakin banyak, rupanya literasi masyarakat nyatanya juga belum
meningkat. Terbukti dari beberapa survei yang telah dikemukakan di bagian awal, yang
menunjukkan fakta bahwa minat baca di Indonesia masih rendah.
Selain itu, pada umumnya perpustakaan kurang mendapat tempat di hati
masyarakat atau kurang diminati (Rahadian dkk., 2014). Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, tidak banyak peserta didik yang
memanfaatkan waktu luang atau jam-jam pelajaran yang kosong untuk berkunjung ke
perpustakaan. Terkadang perpustakaan dikunjungi oleh para mahasiswa hanya jika ingin
menyelesaikan tugas akhir (skripsi), yang memang sangat memerlukan berbagai data
dan informasi terkait penelitiannya. Selain itu, kadang juga para siswa berkunjung ke
perpustakaan hanya jika gurunya berinisiatif memindahkan kegiatan pembelajaran di
perpustakaan. Hal-hal tersebut semakin membuktikan bahwa perpustakaan belum
mampu dimanfaatkan sebagai sarana dan sumber belajar.
Jika buku-buku yang diterbitkan sudah cukup melimpah, sarana perpustakaan
juga memadai, lantas apa yang salah? Mengapa minat baca masyarakat masih rendah?
Dalam hal ini, penulis merumuskan beberapa faktor.
Pertama, kualitas buku bacaan. Puluhan ribu buku yang diterbitkan setiap tahun
rupanya masih belum mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Hal ini disebabkan
sebagian besar buku-buku yang beredar tersebut membuat sebagian besar orang yang
membacanya cenderung hilang selera karena kurang berkualitas. Buku-buku yang
kualitasnya bagus jumlahnya masih lebih sedikit dibandingkan buku yang kualitasnya
buruk. Bagi pembaca pemula, akan merasa malas membaca, contohnya, jika bahasanya
sulit dipahami, sehingga yang ada malah muncul rasa bosan terhadap buku. Padahal,
minat baca muncul salah satunya jika timbul rasa suka terhadap hal-hal yang
melingkupi sebuah buku, seperti sampul yang menarik, judul yang provokatif, narasi isi
yang tersaji secara memukau, ataukah hanya sebatas suka dengan sosok penulisnya.
Kedua, harga buku yang berkualitas cenderung mahal. Harus diakui, di
Indonesia, buku-buku yang berkualitas tinggi ataupun best seller yang dipasarkan di
toko-toko buku dipastikan juga memiliki harga yang mahal. Meskipun seseorang
memiliki minat untuk membaca tetap tidak akan terbaca karena ketidakmampuannya
untuk membelinya. Sebenarnya masalah ini dapat teratasi karena di perpustakaan “yang
besar” biasanya selalu meng-update dalam menyediakan buku, baik buku baru, buku
langka, dan juga buku yang berkualitas bagus. Akan tetapi, perpustakaan yang besar itu
tidak semuanya dapat diakses masyarakat karena hanya tersedia di kota-kota besar.
Ketiga, minat baca telanjur rendah. Pada prinsipnya, sesuatu yang digemari
juga pasti diminati. Jika memang masyarakat memiliki kegemaran dengan buku, pasti
juga memiliki minat yang tinggi untuk membaca buku. Hal yang sederhana misalnya,
ketika berkunjung ke mal bersama keluarga, adakah niat masuk ke toko buku? Pun jika
masuk ke toko buku dan membeli buku, sudahkah menyelesaikan membacanya? Kapan
terakhir kali ke perpustakaan? Belum lagi internet dan media sosial yang banyak
menyita waktu, khusunya para remaja.
Keempat, program-program literasi umumnya hanya seremonial. Hingga saat
ini sudah banyak program literasi yang telah dicanangkan, baik oleh pemerintah
maupun yang bersifat swadaya masayarakat. Contohnya, Gerakan Indonesia Membaca
(GIM), Gerakan Literasi Bangsa (GLB), dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun,
terkadang program-program tersebut hanya dilaksanakan secara seremonial dan
simbolis saja, seperti pemasangan poster-poster dan semacamnya, demi memenuhi
indikator penilaian borang akreditasi, sebagai sekolah yang telah menerapkan program
literasi pemerintah.
PENUTUP
Pengembangan budaya literasi di masyarakat menjadi kunci pembangunan SDM
Indonesia, terutama di era disrupsi saat ini. Minat baca masyarakat yang tinggi dapat
meningkatkan pemahaman dan daya nalar dalam mengolah informasi secara analitis,
kritis, dan reflektif. Namun, strategi pengembangan minat baca yang dilakukan,
khususnya di sekolah dan perguruan tinggi, belum memperlihatkan hasil yang maksimal
untuk menjadikan semua warganya gemar membaca. Masih rendahnya minat baca di
Indonesia tentu tidak semata-mata disebabkan sarana perpustakaan yang tidak memadai,
melainkan karena minimnya kesadaran masyarakat mengenai peran dan fungsi
perpustakaan. Maka dari itu, semua pihak sebaiknya menyosialisasikan pentingnya
membaca agar intens berkunjung ke perpustakaan dan memaksimalkan pemanfaatan
perpustakaan sebagai sumber informasi. Selain itu, secara bersama-sama mengambil
peran dalam merancang program-program literasi yang kreatif dan inovatif. Salah
satunya adalah Gempusta atau Gerakan Gemar ke Perpustakaan. Sebagai gerakan
penyadaran kolektif yang mengajak masyarakat, terutama para peserta didik dan guru
atau dosen, agar gemar ke perpustakaan dan mengintegrasikan proses pembelajaran
dengan kegiatan-kegiatan literasi. Melalui Gempusta, peserta didik diberikan
pemahaman dan pembiasaan untuk menjadikan perpustakaan sebagai sumber belajar
yang penting dalam menunjang proses pembelajaran. Dengan demikian, perpustakaan
dapat menjadi pusat pengembangan minat baca dan kebiasaan membaca bagi
masyarakat secara luas.
DAFTAR RUJUKAN
Jawa Pos. (2016). Perpustakaan Banyak, Literasi Rendah. (https://www.pressreader.
com/Indonesia/jawa-pos/20160414/281629599434194, Diakses 25 Oktober 2019).
Kasiyun, S. (2015). Upaya Meningkatkan Minat Baca sebagai Sarana untuk
Mencerdaskan Bangsa. Jurnal Pena Indonesia (JPI), 1(1), 79-95.
Kemdikbud. (2016a). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
_________. (2016b). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kompas. (2016). Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia.
(https://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.
di.urutan.ke-60.dunia, Diakses 25 Oktober 2019).
Mansyur, U. (2016). Bahasa Indonesia dalam Belitan Media Sosial: Dari Cabe-Cabean
Hingga Tafsir Al-Maidah 51. In Prosiding Seminar Nasional & Dialog
Kebangsaan dalam Rangka Bulan Bahasa 2016 (pp. 145-155). FIB Unhas.
Mansyur, U. (2018 Maret 14). Mahasiswa dan Dosen UMI Serukan Gerakan Gempusta.
Tribun Timur, 10.
Mansyur, U. (2018). Korelasi Minat Baca dengan Kemampuan Menulis Karya Tulis
Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UMI. Multilingual: Jurnal
Kebahasaan dan Kesastraan, 17(1), 11-22.
Nurbatra, L., Hartono, H., Wardani, A., & Masyhud, M. (2017). Peningkatan Literasi
Masyarakat melalui Pengadaan & Pengelolaan Majalah Dinding di Taman Bacaan
Masyarakat Wacan. Seminar Nasional Sistem Informasi (SENASIF), 1(1), 175-184.
OECD. (2014). PISA 2012 Results in Focus. Programme for International Student
Assessment, 1–44. http://doi.org/10.1787/9789264208070-en.
Rahadian, G., Rohanda, & Anwar, R.K. (2014). Peranan Perpustakaan Sekolah dalam
Meningkatkan Budaya Gemar Membaca. Jurnal Kajian Informasi dan
Perpustakaan, 2(1), 27–36.
Sugiarto, E. C. (2019). Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Menuju Indonesia
Unggul. (https://setneg.go.id/baca/index/pembangunan_sumber_daya_manusia
sdm_menuju_indonesia_unggul, Diakses 25 Oktober 2019).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Viva. (2014). Tersuruk karena Minat Baca Buruk. (https://www.viva.co.id/
indepth/sorot/570376-tersuruk-karena-minat-baca-buruk, Diakses 7 Oktober 2019).
Zuliarso, E., & Februariyanti, H. (2013). Sistem Informasi Perpustakaan Buku
Elektronik Berbasis Web. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, 18(1), 46–54.