Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH KEMAMPUAN LITERASI MEMBACA TERHADAP

PRESTASI BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR

Penulis : Redi Mochamad Ridwanul Fajar (20211510106)

PENDAHULUAN

Sekarang ini pemerintah Indonesia sedang menggiatkan gerakan literasi, karena


hasil dari berbagai riset menunjukkan kegiatan literasi di Indonesia masih sangat
rendah, sehingga sangat tertinggal jauh dari negara-negara lain yang ada di dunia ini,
bahkan kita kalah dengan negara-negara tetangga. Berbicara tentang literasi tidak
terlepas dari membicarakan kegiatan baca-tulis, kita tentu sudah mengetahui semua
kegiatan baca-tulis berkaitan erat dengan kecerdasan seseorang, yang sangat
dibutuhkan untuk membangun kemajuan bangsanya. Bagaimana jadinya suatu bangsa
kalau banyak warganya tidak memiliki kecerdasan.

Scribner (dalam Juniati 2022) menyampaikan definisi literasi membaca adalah


penggunaan simbol-simbol tertulis pada praktik-praktik sosial. Dalam masyarakat
pasca-industri, penggunaan media cetak meliputi aktivitas orang-orang selama masa
hidup, mulai dari belajar di sekolah hingga mencari pekerjaan, berkomunikasi dengan
teman dan kerabat, berbelanja online, dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dari
definisi ini dapat dijelaskan bahwa literasi membaca tidak sebatas membaca huruf/
kata /kalimat/ tulisan dalam selembar kertas atau buku, namun lebih luas lagi ketika
seseorang telah menggunakannya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Literasi
membaca sebagai penggunaan dalam bekerja, belajar, berkomunikasi baik on/line
maupun verbal/nonverbal.

Rendahnya minat baca merupakan permasalahan yang harus diatasi, Berbagai


penelitian telah dilakukan untuk mengetahui minat baca di berbagai Negara. Dalam
penelitian Anjani, dkk (2019:5) dinyatakan bahwa: Program for International Student
Assesment (PISA) menyebutkan tingkat literasi Indonesia pada tahun 2015 masih
berada pada urutan ke 64 dari 72 negara. Dan 2 data terbaru dari Most Littered Nation
In The World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada maret
2016, menunjukkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke 60 dari 61 negara
anggota riset. Sedangkan pada data statistik UNESCO 2012 menunjukkan indeks
minat baca di Indonesia baru 0,001. Artinya tiap 1.000 penduduk hanya satu orang
saja yang mempunyai minat baca. Menurut indeks pembangunan pendidikan
UNESCO ini, Indonesia berada di nomor 69 dari 127 negara.

Adapun faktor penyebab rendahnya minat baca siswa adalah: 1) siswa belum
terbiasa untuk membaca, 2) siswa cenderung lebih senang menonton dari pada
membaca buku, dan 3) waktu luang siswa lebih banyak digunakan untuk bermain
Gadget untuk bermedia sosial dari pada membaca artikel atau mencari pengetahuan di
internet.

Membaca berperan penting dalam proses pembelajaran di sekolah karena


pengetahuan diperoleh melalui membaca. Membaca berarti menterjemahkan dan
menginterprestasikan lambang-lambang atau huruf, dalam bahasa yang diresapi oleh
pembaca (Faradina, 2017). Pendidikan di Indonesia mengacu pada konsep belajar
salama hidup (life long education). Konsep ini mengandung arti bahwa selama hidup
kita terus belajar dan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam belajar adalah
membaca. Melalui membaca kemampuan seseorang dapat ditingkatkan terutama
dalam hal memahami berbagai konsep. Kegiatan membaca juga mampu
mengembangkan keterampilan berpikir kritis pada siswa.

PEMBAHASAN

Secara tradisional, literasi dipandang sebagai kemampuan membaca dan


menulis. Orang yang dapat dikatakan literasi dalam pandangan ini adalah orang yang
mampu membaca dan menulis atau bebas buta huruf. Pengertian literasi selanjutnya
berkembang menjadi kemampuan membaca, menulis, berbicara dan menyimak
(Gipayana, 2004). Sejalan dengan perjalanan waktu, definisi literasi telah bergeser
dari pengertian yang sempit menuju pengertian yang lebih luas mencakup berbagai
bidang penting lainnya. Perubahan ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor
perluasan makna akibat semakin luas penggunaannya, perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, maupun perubahan analogi (Abidin, Mulyati, Yunansah.
2017).

Literasi berasal dari bahasa inggris literacy yang berarti orang yang belajar.
Kemampuan literasi tidak sebatas pada kemampuan membaca dan menulis. Dengan
perkembangan teknologi, literasi dikaitkan juga dengan literasi sains, informasi, dan
teknologi. Pada hakekatnya kemampuan baca tulis seseorang merupakan dasar utama
bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas.
Penilaian literasi Indonesia dilihat dari program OECD yaitu PISA yang selalu
memperbaiki hasil surveinya tiga tahun sekali. Hasil terbaru yaitu PISA 2012
menunjukkan rata-rata literasi sains siswa sebesar 382 dengan rata-rata sebesar 501
dan berada pada peringkat 64 dari 65 negara peserta (Suwono, Rizkita, & Susilo,
2017). Sementara tahun 2009 hasil survei PISA menunjukkan rata-rata literasi sains
siswa Indonesia sebesar 383 dengan ratarata sebesar 501 dan berada pada rangking 59
dari 65 negara peserta. Hasil ini menunjukkan bahwa peringkat literasi sains siswa
Indonesia menurun (Islam, Nahadi, Permanasari, 2015).

Secara data empiris kualitas pendidikan Indonesia masih belum menunjukkan


peningkatan hal ini ditunjukkan dalam kategori The Primary Years Programe yang
menyatakan bahwa dari 146.052 SD di Indonesia hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia, demikian pula peringkat SMP hanya delapan sekolah
yang masuk kategori The Middle Years Programe dari 20.918 SMP. Untuk peringkat
SMA hanya tujuh sekolah yang mendapat pengakuan dunia dari 8036 SMA (Hartati,
2016). Data lain menyebutkan bahwa posisi rata-rata prestasi siswa Indonesia dapat
dikatakan tergolong rendah dibandingkan dengan negara peserta studi (Pakpahan,
2017).

Data Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia


rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu (Pratiwi, 2018). Sementara jumlah
buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun. Hasil dari
berbagai survei tersebut menunjukkan bahwa literasi merupakan masalah yang serius
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Perkembangan literasi di Indonesia pada saat
ini masih dikatakan rendah. Hal tersebut tertulis dalam hasil kajian dari Program for
International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan bahwa dalam
kemampuan membaca, bangsa Indonesia menempati urutan ke 57 dari 65 negara di
dunia. Dalam perkembangannya, tradisi baca tulis yang tertanam dalam masyarakat
Indonesia tidak dapat tumbuh subur seperti yang diharapkan (Trynasari, et.al,
2017:174).

Data-data di atas menunjukkan bahwa tingkat literasi Indonesia masih jauh dari
yang diharapkan oleh pemerintah. Literasi masih belum menjadi kebiasaan dan
budaya bangsa Indonesia. Segala hal yang terkait dengan literasi masih asing bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga sekecil apapun usaha untuk
memperkenalkan literasi sangat diperlukan untuk membudayakan literasi di tanah air
tercinta ini.
Membudayakan literasi di sekolah tidaklah semudah membalik telapak tangan
dan akan penuh dengan halangan dan tantangan. Halangan dan rintangan tersebut
dapat dilihat dari bagaimana sulitnya menerapkan dan membiasakan kegiatan literasi
di sekolah-sekolah dasar. Banyak faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan
kegiatan literasi diantaranya faktor internal dan eksternal salah satunya yaitu siswa
dan guru sebagai pelaku pendidikan (Yuliyati, 2014).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan Gerakan Literasi


Sekolah (GLS) untuk mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran
(Kemendikbud, 2016) GLS adalah gerakan yang melibatkan semua 3 warga sekolah
(guru, peserta didik, orangtua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari
penyelenggara pendidikan. Program ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat
baca peserta didik dalam meningkatkan keterampilan membaca, agar pengetahuan
dikuasai secara lebih baik. Muatan GLS berisi tentang nilai-nilai budi pekerti, berupa
kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai dengan jenjang
pendidikan siswa. Program GLS ini tidak hanya ditujukan untuk siswa. Program ini
juga menuntut guru menjadi teladan dalam membaca.

Penyelenggaraan GLS ditujukan pada jenjang pendidikan sekolah dasar. Teori


perkembangan intelektual Piaget, anak usia 7-11 Tahun merupakan tahap operasional
konkret dimana anak sudah mulai memahami aspek-aspek kumulatif materi, misalnya
volume dan jumlah; serta memiliki kemampuan memahami cara mengkombinasikan
beberapa golongan benda yang tingkatannya bervariasi (Dantes, 2017:33). Guru
sebagai pembimbing proses pembelajaran disekolah harus mampu memahami anak
didik sebagai individu yang memiliki kemampuan beragam, dan ciri yang unik
(Dantes, 2017: 57). Dengan demikian, seorang guru dikehendaki secara kreatif harus
dapat mengembangkan materi ajar yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
anak didik dengan pengembangan professional guru dalam hal literasi di semua mata
pelajaran.

GLS dapat dilakukan dengan mengembangkan pojok baca pada setiap kelas
dengan menata buku-buku yang ditata semenarik mungkin yang bertujuan untuk
menarik minat baca siswa. Buku yang dipajang di pojok baca dapat diperoleh dari
sumbangan siswa, dan peminjaman buku dari perpustakaan. Pemasangan poster-
poster dan karya siswa, dilakukan dengan memanfaatkan ruang –ruang yang
memungkinkan untuk memajang bahan kaya bacaan tersebut, seperti ruang tunggu,
UKS, kantin sekolah, serambi, area parkir, kebun sekolah dan tempat –tempat yang
ada di lingkungan sekolah sehingga tercipta lingkungan kaya bacaan. Pengembangan
minat baca siswa dapat dimulai dari perpustakaan dengan menyediakan bahan kaya
bacaan dan penyedia sebagai media literasi dan area baca sehingga menciptakan
lingkungan kaya bacaan.

Budaya literasi dapat diwujudkan melalui penerapan gerakan literasi sekolah


(GLS). GLS dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan kegiatan kourikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler di sekolah (Labudasari & Rochmah, 2019). Cara
tersebut terbukti berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan membaca siswa dan
karakter mandiri siswa sekolah dasar. Secara tidak langsung kegiatan GLS tersebut
terintegrasi dengan pembelajaran karena pendidikan karakter juga perlu
diintegrasikan dengan pembelajaran khususnya di Sekolah Dasar (Rochmah,
Labudasari, & Amalia, 2019).

KESIMPULAN

Untuk mengatasi masalah rendahnya minat baca, yang memiliki peran penting
adalah orang tua, selain orang tua lingkungan keluarga juga sangat menentukan
dalam menumbuhkan minat baca putra putrinya dengan memberikan hadiah berupa
buku-buku bacaan pada hari –hari yang bersejarah bagi anak seperti memberikan
buku cerita untuk kado kado ulang tahun, kemudian menemani anakanaknya
membaca buku atau membacakan dongeng kepada anak-anak. Dukungan guru juga
sangat dibutuhkan, dalam meningkatkan minat baca. Upaya yang dapat dilakukan
oleh guru antara lain menyiapkan pojok baca dan mengganti buku-buku setiap saat
sehingga anak merasa tertarik untuk membaca. Membaca merupakan proses pelibatan
seluruh aktivitas dan kemampuan berpikir siswa dalam memahami dan mereproduksi
sebuah wacana tertulis.

Upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala implementasi K13 untuk


penguatan literasi membaca pada siswa kelas adalah berusaha meningkatkan sarana
dan prasarana pendukung literasi membaca yang berupa perpustakaan dengan
berbagai variasi buku yang lengkap sehingga siswa tertarik untuk membaca buku
yang baru setiap hari dan Sharing bahan bacaan dengan teman sejawat.

Sebagai warga negara yang punya kepedulian terhadap bangsa Indonesia yang
kita cintai ini, saya memiliki gagasan untuk meningkatkan budaya literasi
diantaranya:
1. Menumbuhkan kegiatan hobi membaca terhadap anak-anak yang berada dekat
dengan lingkungan saya, terutama tetangga dekat, dengan membuat pondok
bacaan di sekitar rumah. Anak-anak diberi kesempatan membaca secara gratis
terhadap berbagai buku yang saya miliki dari koleksi pribadi, buku-buku
sumbangan dari masyarakat yang punya kepedulian dengan literasi. Waktunya di
sore hari atau pada hari libur. Dengan usaha ini diharapkan juga bisa
menanamkan kebiasaan membaca sejak kecil. Pelaksanaannya tentu mengikuti
protokol kesehatan pola hidup baru.
2. Membudayakan kebiasaan memberi hadiah berupa buku kepada yang berhak
mendapatkan hadiah agar dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap buku bacaan,
sehingga diharapkan mampu menumbuhkan budaya hobi membaca.
3. Secara rutin paling tidak 3 bulan sekali menerbitkan buku solo atau buku antologi,
semakin banyak buku yang dihasilkan diharapkan bisa memotifasi orang-orang
untuk menulis, memperbanyak koleksi buku bacaan di pondok bacaan, bisa
menyumbang buku untuk mendukung perpustakaan sekolah dan perpustakaan
daerah.
4. Sebagai guru selalu mendukung literasi sekolah, seperti : mendukung adanya
pojok baca, ikut aktif melaksanakan kegiatan 15 menit membaca sebelum belajar,
membantu terlaksananya wajib kunjung perpustakaan yang disesuaikan dengan
protokol kesehatan di era pola hidup baru.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. Mulyati, T. Yunansah. H. (2017). Pembelajaran Literasi: Strategi


Meningkatkan Kemampuan Literasi Matematika, Sains, Membaca, dan
Menulis. Jakarta: Bumi Aksara.

Abidin, Yunus. Dkk. 2017. Pembelajaran Literasi. Jakarta. Bumi Aksara.

Anjani, Sri. 2019. Pengaruh Implementasi Gerakan Literasi Sekolah Terhadap Minat
Baca Dan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas V SD
Gugus II Kuta Utara. E-Jurnal Pendasi: Jurnal Pendidikan Dasar
Indonesia. Volume 3 No 2.

Dantes, Nyoman. 2017. Pedagogik Dalam Perspektif. Singaraja; Undiksha Press.

Faradina, Nindya. 2017. Pengaruh Program Gerakan Literasi Sekolah Terhadap


Minat Baca Siswa di SD Islam Terpadu Muhammadiyah An-Najah
Jatinom Klaten. Jurnal Hanata Widya.

Farizah, T. (2017). Pengaruh Kebiasaan Membaca Terhadap Prestasi Belajar Siswa


pada Mapel Bahasa Indonesia di MI Ma’arif04 Gentasari Kroya
Cilacap. IAIN Purwokerto

Gipayana, M. (2004). Pengajaran Literasi dan Penilaian Portofolio dalam Konteks


Pembelajaran Menulis di SD. Jurnal Ilmu Pendidikan, 11(1), 1–12.

Hartati, T. (2016). Multimedia Dalam Pengembangan Literasi di Sekolah Dasar


Terpencil Jawa Barat. Edutech, 15(3), 303.

Juniati, S., & Normasunah, N. (2022). MINAT LITERSI MAHASISWA


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA STKIP
PARIS BARANTAI. CENDEKIA: JURNAL ILMIAH
PENDIDIKAN, 10(2), 313-321.

Kemendikbud. 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktoral


Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.

Labudasari, E., & Rochmah, E. (2019). Pengaruh gerakan literasi sekolah terhadap
karakter mandiri siswa di SDN Kanggraksan Cirebon. Premiere
Educandum : Jurnal Pendidikan Dasar Dan Pembelajaran, 9(1), 57.
https://doi.org/10.25273/pe.v9i1.4254

Pakpahan, R. (2017). Faktor-faktor Yang Memengaruhi Capaian Literasi Matematika


Siswa Indonesia dalam PISA 2012. Jurnal Pendidikan Dan
Kebudayaan, 1(3), 331–348

Suragangga, I. M. Ngurah. 2017. Mendidik Lewat Literasi Untuk Pendidikan


Berkualitas. Jurnal Penjaminan Mutu. 3 (2). (hlmn. 154-163).

Suwono, H., Rizkita, L., & Susilo, H. (2017). Peningkatan Literasi Saintifik Siswa
Sma Melalui Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah Sosiosains.
Jurnal Ilmu Pendidikan, 21(2), 136–144.
https://doi.org/10.17977/jip.v21i2.8367

Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : PTRemaja


Rosdakarya.

Yuliyati. (2014). Model budaya baca-tulis berbasis balance literacy dan gerakan
informasi literasi di SD. Jurnal Ilmu Pendidikan, 20(1), 117–126.
https://doi.org/10.17977/JIP.V20I1.4386

Anda mungkin juga menyukai