http://www.babinrohis-nakertrans.org/artikel-islam/membangun-masyarakat-madani-berbasis-kearifan-lokal-oleh- dadang-respati-puguh Admin Mar 29 |11:12
Pengertian dan Karakteristik. Masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab Mujtama madani yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam yang juga filosof kontemporer dari Malaysia (Masyarakat Madani), serta pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) yang disponsori oleh Anwar Ibrahim. Anwar Ibrahim yang dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah masyarakat madani di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat madani, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidakadilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat madani yang kritis. Walaupun ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan High Islam, budaya tinggi Islam yang juga terdapat dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Indonesia (Hidayat, 2008). Komaruddin Hidayat (1999: 267-268) menyatakan bahwa dalam wacana keislaman di Indonesia, istilah masyarakat madani kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan yang didirikannya, yaitu Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Secara semantik artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] (Sanaky, Pembaharuan Pendidikan Islam). Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain. Menurut Nurcholish Madjid (2000: 80) masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat moderen tidak lain dari civil society, karena kata madani menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara masyarakat madani yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat (Hidayat, 2008). Sementara itu, Emil Salim sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia. Wujud masyarakat madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia. Semangat egaliterianisme dan budaya sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif (Hidayat, 2008). Karakteristik. Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani adalah sebagai berikut. 1. Ruang Publik yang Bebas Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan masyarakat madani. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafikan ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan terjadi pemberangusan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter. 2. Demokratis Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis. 3. Toleran Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. 4. Pluralisme dan Multikulturalisme Pluralisme menunjuk pada keragaman/ kemajemukan, yakni kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multikultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan maupun dalam masyarakat lain. Sikap itu dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan (Blum, 2001: 19; lihat juga Ahimsa-Putra, 2009: 2-4). 5. Menjunjung Tinggi Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial Karakteristik ini ditandai dengan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan (Mawardi, 2008; Hidayat, 2008; Sanaky, Pembaharuan Pendidikan Islam); Masyarakat Madani). Signifikansi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Masyarakat Madani. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada warga mereka (Memberdayakan Kearifan Lokal). Bertolak dari definisi itu, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture). Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah[3]) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya (Dirjen Kesbangpol Depdagri, 2007: 5). Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas, terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984: 109). Apa arti penting kearifan lokal (yang terdapat dalam budaya lokal) dalam pembangunan masyarakat madani? Di dalam budaya lokal terdapat gagasan-gagasan (ideas, cultural system), perilaku-perilaku (activities, social system), dan artifak-artifak (artifacts, material culture) yang mengandung nilai-nilai yang berguna dan relevan bagi pembangunan masyarakat madani. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub- subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Relevansi dan kebergunaan itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang dalam suatu kebudayaan tidak semata-mata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan estetis, tetapi untuk memenuhi kepentingan- kepentingan yang didasarkan pada alasan religius, mitos, mata pencaharian, dan integrasi sosial. 2. Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran, tenggang rasa, dan tepa salira. 3. Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal dalam kebudayaan lain. 4. Suatu rangkaian tindakan upacara tradisi tetap dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. Upacara tradisi juga berfungsi sebagai media integrasi sosial. 5. Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain mempunyai daya kreasi yang sehat, nilai-nilai kebersamaan, dan pesan-pesan simbolik keutamaan kehidupan (Sedyawati, 2008: 280). Upaya-upaya Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tercapainya kondisi madani, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; 6) terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab yang mampu mendukung pembangunan daerah. Pencapaian visi pembangunan itu antara lain ditempuh melalui misi mewujudkan pengamalan nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Dalam misi itu dijelaskan bahwa masyarakat yang memiliki basis agama dan nilai-nilai budaya yang kuat membentuk manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermoral, beretika, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong-royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis. Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani? Walaupun kearifan lokal terdapat dalam kebudayaan lokal yang dijiwai oleh masyarakatnya, namun sejalan dengan perubahan sosial kultural yang demikian cepat kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal sebagaimana sinyalemen para ahli sebagian telah tergerus oleh kebudayaan global (Smiers, 2008: 383). Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun masyarakat madani. Untuk merevitalisasi budaya lokal diperlukan adanya strategi politik kebudayaan dan rekayasa sosial dengan pembuatan dan implementasi kebijakan yang jelas. Salah satu di antaranya adalah adanya peraturan daerah tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya lokal yang dapat menjadi payung hukum dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan budaya oleh dinas-dinas atau lembaga-lembaga terkait. Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi budaya lokal untuk membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal: 1. Inventarisasi dan Pengkajian Kearifan Lokal Tidak semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh melalui pengkajian terhadap cerita rakyat dapat ditemukan kearifan lokal yang relevan untuk membangun masyarakat madani, seperti: sikap- sikap antikejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat; nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji; nilai kepemimpinan yang peduli pada daerah dan rakyatnya; nilai demokrasi dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan, nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih. Selanjutnya, kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat. 2. Pengetahuan Budaya Lokal sebagai Muatan Lokal Sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dalam bentuk muatan lokal. Namun demikian, gagasan untuk memberikan muatan lokal yang berupa pengetahuan budaya (yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) dalam pendidikan umum dalam kenyataannya menghadapi kendala yang berkaitan dengan kurikulum dan tenaga pengajarnya. Untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam penyediaan bahan pelajaran maupun tenaga pengajarnya dapat diupayakan dan dilegalkan dengan penggunaan tenaga-tenaga nonguru dalam masyarakat yang mempunyai keahlian-keahlian yang khas mengenai berbagai aspek kehidupan yang khas di daerah. Pengetahuan budaya lokal dapat dipilah ke dalam pengetahuan dan ketrampilan bahasa serta pengetahuan dan ketrampilan seni. Selain itu dapat ditambahkan pengetahuan tentang adat-istiadat/ sistem budaya (cultural system) yang tidak bertentangan dengan nilai- nilai budaya nasional (Sedyawati, 2007: 5), khususnya tentang kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani. 3. Forum Komunikasi Pemikiran Budaya Pemerintah daerah tidak harus menyelenggarakan sendiri segala upaya pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal. Berbagai elemen masyarakat juga memiliki tugas dalam kegiatan tersebut. Demi tercapainya cita-cita luhur yang harmonis diperlukan berbagai forum dialog. Prakarsa untuk memulai forum ini dapat dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan elemen-elemen di luar birokrasi pemerintahan seperti lembaga-lembaga kebudayaan dan penyelenggara media massa swasta meliputi radio, televisi, majalah, dan surat kabar. Dalam forum dialog itu perlu dibahas masalah-masalah aktual di bidang kebudayaan yang berkembang di masyarakat, seperti budaya (lokal) yang menghambat terbentuknya masyarakat madani, pembentukan warga negara Indonesia yang dwibudayawan (lokal dan nasional), mempersiapkan eksekutif yang mampu menghayati nilai-nilai budaya yang luhur, dan lain-lain (Sedyawati, 2007: 6-7). 4. Festival Budaya Lokal Unsur-unsur budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat madani dapat dipergelarkan dalam bentuk festival budaya. Sebagai contoh festival seni tradisi, upacara tradisi, dan permainan (dolanan) tradisional anak-anak dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme. Langkah-langkah strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu kesadaran kultural (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b) yang pada gilirannya akan membentuk ketahanan kultural pada masyarakat. Kesadaran dan ketahanan kultural menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat madani yang berbasis kearifan lokal. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan masyarakat madani berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Drs. Dhanang Respati Puguh, M.Hum. DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. Dari Plural ke Multikultural: Tafsir Antropologi atas Budaya Masyarakat Indonesia, makalah disampaikan dalam Lokakarya Multikulturalisme dalam Pembangunan di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata di Yogyakarta pada 12 Agustus 2009. Blum, Lawrence A.. 2001. Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana. Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah. Hidayat, Mansur. 2008. Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani: Telaah Teoritik-Historis, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/ORMAS+KEAGAMAAN+DALAM+PEMBERD AYAAN+POLITIK+MASYARAKAT+MADANI.pdf (dikunjungi 31 Desember 2009). Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media. Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia. Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru. Legenda dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988. Panitia Hari Jadi Kabupaten Brebes. Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama di Indonesia http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di- indonesia/ (Dikunjungi 31 Desember 2009). Mawardi J., M.. 2008. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Madani, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/strategi+pengembangan+masyarakat+madani.pdf (31 Desember 2009). Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil, http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=328 (dikun-jungi 11 Januari 2010). Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes Tahun 2005-2005. Sanaky, Hujair AH, Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan Filosofis), http://www.sanaky.com/materi/PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI.pdf (31 Desember 2009). Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress. [1]Makalah Disampaikan dalam Sarasehan Peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes Tahun 2010 di Pendapa Kabupaten Brebes, 13 Januari 2010, dan sebagian telah diterbitkan dengan judul Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal, Radar Tegal, 13 Januari 2010. [2]Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Sekretaris Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Komunikasi dan korespondensi dapat dilakukan melalui HP dengan nomor: 081390794224 dan email: dhanang_puguh@yahoo.com. [3]Edi Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah budaya daerah untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah tidak tepat, karena kata daerah mengesankan lawan dari pusat. Padahal di sini yang diperbedakan adalah budaya bangsa (= nasional) dan budaya suku bangsa. Budaya nasional tentunya tidak dapat disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga merupakan budaya seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi pula suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan satuan daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa yang tinggal menyebar melintasi batas-batas administratif.
Menuju Masyarakat Madani oleh: Nurcholish Madjid
Sudah menjadi kewajiban kita semua untuk ikut serta ambil peran dalam usaha bersama bangsa kita untuk mewujudkan masyrakat berperadaban, masyarakat madani, civil society, dinegara kita tercinta, Republik Indonesia. Karena terbentuknya masyarakat madani adalah bagian mutlak dari wujud cita-cita kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adalah Nabi Muhammad Rasulullah sendiri yang memberi teladan kepada umat manusia ke arah pembentukan masyarakat peradaban. Setelah belasan tahun berjuang di kota Mekkah tanpa hasil yang terlalu menggembirakan, Allah memberikan petunjuk untuk hijrak ke Yastrib, kota wahah atau oase yang subur sekitar 400 km sebelah utara Mekkah. Sesampai di Yastrib, setelah perjalanan berhari-hari yang amat melelahkan dan penuh kerahasiaan, Nabi disambut oleh penduduk kota itu, dan para gadisnya menyanyikan lagu Thala'a al-badru 'alaina (Bulan Purnama telah menyingsing di atas kita), untaian syair dan lagu yang kelak menjadi amat terkenal di seluruh dunia. Kemudian setelah mapan dalam kota hijrah itu, Nabi mengubah nama Yastrib menjadi al-Madinat al-nabiy (kota nabi). Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab. Tak lama setelah menetap di Madinah itulah, Nabi bersama semua penduduk Madinah secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Dalam dokumen itulah umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama-sama. Dan di Madinah itu pula, sebagai pembelaan terhadap masyarakat madani, Nabi dan kaum beriman diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban. Jika kita telaah secara mendalam firman Allah yang merupakan deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu, kita akan dapat menangkap apa sebenarnya inti tatanan sosial yang ditegakkan Nabi atas petunjuk Tuhan. *** Diizinkan berperang bagi orang-prang yang diperangi, karena mereka sesungguhnya telah dianiaya, dan sesungguhnya Allah amat berkuasa untuk menolong mereka. Yaitu mereka yang diusir dari kampung halaman mereka secara tidak benar, hanya karena mereka berkata: "Tuhan kami ialah Allah". Dan kalaulah Allah tidak menolak (mengimbangi) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya runtuhlah gereja-gereja, sinagog- sinagog, dann masjid-masjid yang disitu banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah akan menolong siapa saja yang menolong-NYA (membela kebenaran dan keadilan). Yaitu mereka, yang jika kami berikan kedudukan di bumu, menegakkan sembahyang serta menunaikan zakat, dan mereke a menuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan, dan mereka mennyuruh berbuat kebaikan serta melarang berbuat kejahatan. Dan bagi Allah jualah segala kesudahan semua perkara. (Q.S. Al-Hajj-39-41). *** Dari firman deklarasi izin perang kepada nabi dan kaum beriman itu, bahwa perang dalam masyarakat madani dilakukan karena keperluan harus mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kezaliman. Perang itu juga dibenarkan dalam rangka membela agama dan sistem keyakinan, yang intinya ialah kebebasan menjalankan ibadat kepada Tuhan. Lebih jauh, perang yang diizinkan Tuhan itu adalah untuk melindungi lembaga-lembaga keagamaan seperti biara, gereja, sinagog, dan mesjid (yang dalam lingkungan Asia dapat ditambah dengan kuil, candi, kelenteng, dan seterusnya) dari kehancuran. Perang sebagai suatu keterpaksaan yang diizinkan Allah itu merupakan bagian dari mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang diciptakan Allah untuk menjaga kelestarian hidup manusia. Seperti dunia sekarang ini yang selamat dari "kiamat nuklir" karena perimbangan kekuatan nuklir antara negara-negara besar, khususnya Amerika dan Rusia (yang kemudian masing-masing tidak berani menggunakan senjata nuklirnyayang disebut "kemacetan nuklir"), masyarakat pun berjalan mulus dan terhindar dari bencana jika di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan pengimbangan secara mantap dan terbuka (renungkan QS Al-Baqarah:152). Dengan memahami prinsip-prinsip itu, kita juga akan dapat memahami masyarakat madani yang dibangun nabi di Madinah. Membangun masyarakat peradaban itulah yang dilakukan Nabi selama sepuluh tahun di Madinah. Beliau membangun masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dan taat kepada ajaran-NYA. Taqwa kepada Allah dalam arti semangat ketuhanan Yang Maha Esa, yang dalam peristilahan Kitab Suci juga disebut semangat Rabbaniyah (QS Alu Imran:79) atau ribbiyah (QS Alu Imran:146). Inilah hablun mim Allah, tali hubungan dengan Allah, dimensi vertikal hidup manusia, salah satu jaminan untuk manusia agar tidak jatuh hina dan nista. Semangat Rabbaniyah atau ribbiyah itu, jika cukup tulus dan sejati, akan memancar dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah, atau basyariyah, dimensi horisontal hidup manusia, hablun min al-nas. Kemudian pada urutannya, semangat perikemanusiian itu sendiri memancar dalam berbagai bentuk hubungan pergaulan manusia yang penuh budi luhur. Maka tak heran jika Nabi dalam sebuah hadisnya menegaskan bahwa inti sari tugas suci beliau adalah untuk "menyempurnakan berbagai keluhuran budi". Masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, "civil society". Masyarakat Madani yang dibangun nabi itu, oleh Robert N. Bellah, seorang sosiologi agama terkemuka disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi sendiri wafat tidak bertahan lama. Timur tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti dirintis Nabi (RN Bellah Ed. Beyond Belief {New York : Harper & Row, edisi paperback, 1976} hh. 150-151). Setelah Nabi wafat, masyarakat madani warisan Nabi itu, yang antara lain bercirikan egaliterisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan, hanya berlangsung selama tiga puluh tahunan masa khulafur rasyidin. Sesudah itu, sistem sosial madani dengan sistem yang lebih banyak diilhami oleh semangat kesukuan atau tribalisme Arab pra-Islam, yang kemudian dikukuhkan dengan sistem dinasti keturunan atau geneologis itu sebagai "Hirqaliyah" atau "Hirakliusisme", mengacu kepada kaisar Heraklius, penguasa Yunani saat itu, seorang tokoh sistem dinasti geneologis. Begitu keadaan dunia Islam, terus-menerus hanya mengenal sistem dinasti geneologis, sampai datangnya zaman modern sekarang. Sebagian negara muslim menerapkan konsep negara republik, dengan presiden dan pimpinan lainnya yang dipilih. Karena itu, justru dalam zaman modern inilah, prasarana sosial dan kultural masyarakat madani yang dahulu tidak ada pada bangsa manaoun di dunia, termasuk bangsa Arab, mungkin akan terwujud. Maka kesempatan membangun masyarakat madani menuurut teladan nabi, justru mungkin lebih besar pada masa sekarang ini. Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia (QS Fushshilat:33), masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Tuhan Yang Maha Esa, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak (QS Al-Nisa:58). Dan Nabi telah memberi telaadan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Tuhan itu. Apalagi Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua Nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia (QS Yunus:47). Juga ditegakkan bahwa para rasul yang dikirim Allah ke tengah umat manusia dibekali dengan kitab suci dan ajaran keadilan, agar manusia tegak dengan keadilan itu (QS al- Hadid:25). Keadilan harus ditegakkan, tanpa memandang siapa yang akan terkena akibatnya. Keadilan juga harus ditegakkan, meskipun mengenai diri sendiri, kedua orang tua, atau sanak keluarga (QS A-'Nisa:135). Bahkan terhadap orang yang membenci kita pun, kita harus tetap berlaku adil, meskipun sepintas lalu keadilan itu akan merugikan kita sendiri (QS Al- Ma'idah:8). Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, Nabi tidak pernah membedakan anatara "orang atas", "orang bawah", ataupun keluaarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah karena jika "orang atas" melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika "orang bawah" melakukannya pasti dihukum. Karena itu Nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat berperadaban tak akan terwujud jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, yang dimulai dengan ketulusan komitmen pribadi. Masyarakat berperadaban memerlukan adanya pribadi-pribadi yang dengan tulus mengikatkan jiwanya kepasda wawasan keadilan. Ketulusan ikatan jiwa itu terwujud hanya jika orang bersangkutan ber-iman, percaya dan mempercayai, dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, dalam suatu keimanan etis, artinya keimanan bahwa Tuhan menghendaki kebaikan dan menuntut tindakan kebaikan manusia kepada sesamanya. Dan tindakan kebaikan kepada sesama manusia harus didahului dengan diri sendiri menempuh hidup kebaikan, seperti dipesankan Allah kepada para Rasul (QS Al- Mu'minun:51), agar mereka "makan dari yang baik-baik dan berbuat kebajikan." Ketulusan ikatan jiwa, juga memerlukan sikap yang yakin kepada adanya tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup sehari-hari di dunia ini. Ketulusan ikatan jiwa perlu kepada keyakinan bahwa makna dan hakikat hidup manusia pasti akan menjadi kenyataan dalam kehidupan abadi, kehidupan setelah mati, dalam pengalaman bahagia atau sengsara. Karena itu, ketulusan ikatan jiwa kepada keadilan mengharuskan orang memandang hidup jauh di depan, tidak menjadi tawanan keadaan di waktu sekarang dan di tempat ini (dunia) (QS Al-'Araf:169). Tetapi, tegaknya hukum dan keadilan tak hanya perlu kepada komitmen-komeitmen pribadi. Komitmen pribadi yang menyatakan diri dalam bentuk "itikad baik", memang mutlak diperlukan sebagai pijakan moral dan etika dalam masyarakat. Sebab, bukankah masyarakat adalah jumlah keseluruhan pribadi para anggotanya? Apalagi tentang para pemimpin masyarakat atau public figure, maka kebaikan itikad itu lebih-lebih lagi dituntut, dengan menelusuri masa lalu sang calon pemimpin, baik bagi dirinya sendiri maupun mungkin keluarganya. Karena itu, di banyak negara, seorang calon pemimpin formal harus mempunyai catatan perjalanan hidup yang baik melalui pengujian, bukan oleh perorangan atau kelembagaan, tetapi oleh masyarakat luas, dalam suasana kebebasan yang menjamin kejujuran. Namun sesungguhnya, seperti halnya dengan keimanan yang bersifat amat pribadi, itikad baik bukanlah suatu perkara yang dapat diawasi dari diri luar orang bersangkutan. IA dapat bersifat sangat subjektif, dibuktikan oleh hampir mustahilnya ada orang yang tidak mengaku beritikad baik. Kecuali dapat diterka melalui gejala lahir belaka, suatu itikad baik tak dapat dibuktikan, karena menjadi bagian dari bunyi hati sanubari orang bersangkutan yang paling rahasia dan mendalam. Oleh sebab itu, iitikad pribadi saj atidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa "amal saleh", yang secara takrif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Tuhan, sebab Tuhan adalah Maha Kaya, tidak perlu kepada apapun dari manusia. Siapa pun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah --melalui hidup kemasyarakatannya-- yang akan memetik dan merasakan kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaiknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang kan mewnanggung akibat kerugian dan kejahatannya. (QS Fushilat:46, Al-Jatsiyah:15). Jika kita perhatikan apa yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, jelas sekali bahwa nilai- nilai kemasyarakatan yang terbaik sebagian besar dapat terwujud hanya dalam tatanan hidup kolektif yang memberi peluang kepada adanya pengawasan sosial. Tegaknya hukum dan keadilan, mutlak emmerlukan suatu bentuk interaksi sosial yang memberi peluang bagi adanya pengawasan itu. Pengawasan sosial adalah konsekuensi langsung dari itikad baik yang diwujudkan dalam ttindakan kebaikan. Selanjutnya, pengawasan sosial tidak mungkin terselenggara dalam suatu tatanan sosial yang tertutup. Amal soleh ataupun kegiatan "demi kebaikan", dengan sendirinya berdimensi kemanusiaan, karena berlangsung dalam suatu kerangka hubungan sosial, dan menyangkut orang banyak. Suatu klaim berbuat baik untuk masyarakat, apalagi jika pebuatan atau tindakan itudilakukan melaluipenggunaan kekuasaan, tidak dapat dibiarkan berlangsung denan mengabaikan masyarakat, apalagi jika perbuatan atau tindakan dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. tidak dapat dibiarkan berlangsung dengan mengabaikan masyarakat itu sendiri dengan berbagai pandangan, penilaian dan pendapat yang ada. Dengan demikian, masyarakat madani akan terwujud hanya jika terdapat cukup semangat keterbukaan dalam masyrakat. Keterbukaan adalah konsekuensi dari kemanusiaan, suatu pandangan yang melihat sesama manusia secara optimis dan positif. Yaitu pandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik (QS Al-'araf: 172, Al-Rum:30), sebelum terbukti sebaliknya. Kejahatan pribadi manusia bukanlah sesuatu hal yang alami berasal dari dalam kediriannya. Kejahatan terjadi sebagai akibat pengaruh dari luar, dari pola budaya yang salah, yang diteruskan terutama oelh seorang tua kepada anaknya. Karena itu, seperti ditegaskan dalam sebuah hadist Nabi, setiap anak dilahirkan dlam kesucian asal, namun orangtuanyalah yang membuatnya menyimpang dari kesucian asal itu. Ajaran kemanusiaan yang suci itu membawa konsekuensi bahwa kita harus melihat sesama manusia secara optimis dan positif, sdengan menerapkan prasangka baik (husn al-zhan), bukan prasangka buruk (su' al-zhan), kecuali untuk keperluan kewaspadaan seeprlunya dalam keadaan tertentu. Tali persaudaraan sesama manusia akan terbina antara lain jika dalam masyarakat tidak terlalu banyak prasangka buruk akibat pandangan yang pesimis dan negatif kepada manusia (QS al-Hujurat:12). Berdasarkan pandangan kemanusiaan yang optimis-positif itu, kita harus memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi untuk benar dan baik. Karena itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menaytakan pendapat dan untuk didengar. Dari pihak yang mndengar, kesediaan untuk mendengar itu sendiri memerlukan dasar moral yang amat penting, yaitu sikap rendah hati, berupa kesiapan mental untuk menyadari dan mengakui diri sendiri selalu berpotensi untuk membuat kekeliruan. Kekeliruan atau kekhilafan terjadi karena manusia adalah makhluk lemah (QS Al-Nisa': 28). Keterbukaan adalah kerendahan hati untuk tidak merasa selalu benar, kemudian kesediaan mendengar pendapat orang lain untuk diambil dan diikuti mana yang terbaik. Keterbukaaan serupa itu dalam kitab suci disebutkan sebagai tanda adanya hidayah dari Allah, dan membuat yang bersangkutan tergolong orang-orang yang berpikiran mendalam (ulu' al-bab), yang sangat beruntung (QS al-Zumar:17-18). Musyawarah pada hakikatnya tak lain adalah interaksi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan pendapat, dan saling mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain, musyawarah ialah hubungan interaktif untuk saling mewngingatkan tentang kebenaran dan kebaikan serta ketabahan dalam mencari penyelesaian masalah bersama, dalam suasana persamaan hak dan kewajiban antara warga masyarakat (QS al-'Ashar). Itulah masyarakat demokratis, yang berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa masyarakat berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyah, civility, yaitu keadaban itu sendiri. Yaitu sikap kejiwaaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selamanya benar, dan tidak ada suatu jawaban yang selamanya benar atas suatu masalah. Dari keadaan lahir sikap yang tulus untuk menghargai sesama manusia, betappaun seorang individu atau suatu kelompok berbeda dengan diri sendiri dan kelompok sendiri. Karena itu, keadaban atau civility menuntut setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menghindar dari kebiasaan merendahkan orang atau kelompok lain, sebab "Kalau-kalau mereka yang direndahkan itu lebih baik daripada mereka yang direndahkan" (QS al-Hujurat:11). Tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan pluralisme, adalah kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Sebab toleransi dan pluralisme tak lain adalah wujud dari "ikatan keadaban" (bond of civility), daolam sarti, sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betappaun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Bangsa Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk nmenegakkan masyarakat madani. Dan kita semua sangat berpengharapan bahwa masyarakat madani akan segera tumbuh semakain kuat di amsa dekat ini. Kemajuan besar yang telah dicapai oleh Orde Baru dala m meningkatkan taraf hidup rakyat dan kecerdasan umum, adalah alasan utam akita untuk berpengaharapan itu. Kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berterima kasih kepada para pemimpin bangsa, bahwa keadaaan kita sekarang ini, hampir di segala bidang, jauh lebih baik, sangat jauh lebih baik, daripada dua-tiga dasawarsa yang lalu. Tetapi, sejalan dengan suatu cara Nabi bersyukur kepada Allah, yaitu dengan memohon ampun kepada-Nya, kita pun bersyukur kepada-Nya dengan menyadari dan mengakui berbagai kekurangan kita. Dan kita semua tidak mau menjadi korban keberhasilan kita sendiri, misalnya karena kurang mampu melakukan antisipasi terhadap tuntutan masyarakat yang semakin berkecukupan dan berpendidikan. Terkiaskan denagn makna ungkapan "revolusi sering memakan anaknya sendirinya sendiri", kita semua harus berusaha mencegah jangan sampai "keberhasilan memakan anaknya sendiri" pula.
STRATEGI MENUJU KOTA MADANI ANALISIS VISI MISI KOTA TERNATE OLEH Drs. H.SYAMSIR ANDILI http://www.kota-ternate.go.id/Artikel%201.htm Prinsip-Prinsip Dasar Masyarakat Madani Untuk memahami dan menentukan sumber dan vasilidasi pandangan-pandangan social politik yang relevan dengan agenda reformasi sekarang ini tentu akan sangat berfaedah jika kita menyempatkan diri mendalami lebih jauh pengertian prinsipil tentang masyarakat madani . Bukanlah suatu kebetulan bahwa wujud nyata masyarakat madani mulai dikenal dari hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah 13 tahun setelah Nabi Muhammad membangun landasan tauhid sebagai fondasi dasar masyarakat (Komunitas Mekkah) menuju ke Yastrib dan mengubah nama menjadi kota Madinah yang diambil kota Madaniyah yang berarti peradaban . Masyarakat Madani , Drs. Hi. Syamsir Andili Implementasi Otonomi Daerah , Drs. Fachry Ammari Peran Pembangunan , Drs. Iskandar M. Djae
Perubahan nama Yatsrib menjadi Madinah pada hakekatnya sebuah pernyataan niat atau proklamasi, yang berkehendak mendirikan dan membangun masyarakat yang beradab sebagai tantangan terhadap masyarakat jahilia dan di Mekkah. Dalam sejarah perjalanan Islam membangun sebuah peradaban ditandai dengan dua dokumen penting yaitu : Perjanjian yang disebut Mitsaq Al-Madinah atau Piagam Madinah yang berisi 50 keputusan bersama sebagai sebuah dokumen politik pertama dalam sejarah ummat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme. Piagam Aelia ( Mitsaq Aeliya) yang dibuat oleh Khalifah Umar dengan Patriak Yerussalem, Sophronius setelah kota suci 3 agama itu dibebaskan oleh kaum muslim . Piagam Madinah dan Piagam Aelia dalam terminology politik adalah wujud konkrit dari terbentuknya Civil Sociaty. Dalam konteks ini, membentuk masyarakat madani adalah suatu cikal bakal penyaluran demokratisasi. Masyarakat madani yang dibangun Nabi Muhammad dan dicontohkan oleh Umar Bin Khattab ini adalah cermin dari membangun sebuah kota demokratis yang mengharga pluralitas dengan prinsp-prinsi dasar seperti keadilan, supremasi hukum, egalitarianisasi dan toleransi. Maka tidak berlebihan, jika sosiologi terkemuka Robert N. Bellah mengakui masyarakat Madinah dimasa Nabi adalah suatu masyarakat yang sangat modern dizamannya. Sayangnya, tatanan masyarakat ini hanya dapat diteladani oleh para sahabatnya ( Al-Khulafa al Rasyidin ) karena setelah masa itu bangun dasar masyarakat madani hancur dengan diterapkanya system geneologis ( Dinasti ) . Kini masyarakat madani adalah tidak sekedar Imagined Sociaty tetapi suatu kebutuhan social yang memerlukan Graes Roat terhadap nilai-nilai madani yang dapat teraktualisasi secara nyata dalam masyarakat kota . Arah dan Prospek Menuju Masyarakat Madani Masyarakat madani merupakan sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang demokratis, pluralistis,transparan dan partisipatif dimana peran infra dan supra struktur berada dalam keseimbangan yang dinamis. Berbagai perubahan perubahan sosial-politik yang cukup signifikan terjadi oleh sementara orang dipandang sebagai pendorong proses demokratisasi dan perkembangan masyarakat madani namun, sebagian pendapat mengatakan prospek masyarakat madani dalam tahun-tahun mendatang kelihatannya belum serba pasti . Ada perkembangan tertentu yang menggembirakan kondusif , dan mendukung bagi pencipta masyarakat madani, tetapi pada saat yang sama ada juga perkembangan dan indikasi tertentu (social confliet) yang kurang menggembirakan yang pada gilirannya dapat menjadi Constraints bagi perkembangan masyarakat madani . Bahkan sebagai pengamat melihat terjadi pergeseran nilai-nilai sosial politik dalam tatanan masyarakat sebagai siklus perubahan di mana kita tengah berada pada titik memulai kembali pembentukan masyarakat madani dengan menyatukan kembali perbedaan-perbedaan menjadi sebuah pengakuan atas pruralitas yang stabil dan dinamis, yang didalamnya masyarakat madani yang memiliki ruang untuk bernapas dengan komitmen kemanusiaan dan keadilan. Akan tetapi harus diakui, membangun sebuah masyarakat yang berperadaban, maju dan bermartabat dalam ikatan persamaan dan persaudaraan sejati memerlukan kerangka dan pendekatan yang lebih bersifat evolusioner dari pada revolusioner . Pada saat yang sama kerangka dan pendekatan ini secara implisir menawarkan ongkos sosial minimal sebaliknya pendekatan revolusioner dalam masyarakat madani, tidak saja akan meminta biaya social mahal, tetapi bahkan dapat menghancurkan ketertiban dan keteraturan masyarakat yang merupakan esensi masyarakat madani itu sendiri. Dari pemahaman tersebut diatas, arah dan prospek menuju masyarakat madani sangat membutuhkan waktu. Niat baik pemerintah kota membangun masyarakat madani tidak cukup dan sulit terealisir jika masyarakat tidak mempersiapkan diri dengan matang dan sabar. Adalah mustahil untuk menegakkan sebuah pluralistis yang berakar dari kesamaan dan persaudaraan sejati jika penghormatan pada martabat dan nilai kemanusiaan masih jauh di depan mata. Intinya membangun sebuah masyarakat madani memerlukan komitmen bersama semua pihak . Strategi Menuju Masyarakat madani Berawal dari arti dan pemahaman kata "Madani" yang merupakan strategi yang ditawarkan untuk penulisan topik makalah ini, maka saya mencoba menelaah kehidupan kota dari pandangan seorang Arsitektur John Eber- hand yang melihat kota secara biologis mewujudkan suatu system utuh terdiri atas dua sub sistem, yaitu Citys Hardware dan Citys Software (jasmani kota dan rohani kota). Kota dipandang sebagai jasad yang hidup dimana suatu jaringan organisme untuk kedua sub sistem (jasmani/rohani) memiliki ketergantungan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Gejala metabolisme (pencernaan), kandiovaskuler (peredaran darah.) merumus (persyaratan) merumus (petualangan) merupakan sub sistem "jasmani kota" yang sehari-harinya memfungsikan jaringan yang menjamin pemenuhan kebutuhan secara fisik. Maka kota yang sehat "hard ware"nya juga memerlukan keseimbangan "soft ware" atau rohani kota yang mencakup berbagai aspirasi kehidupan kota secara ekonomis, politik, administrasi, edukatif, social, kultual dan religius karena rohani kota dan jasmani kota bertalian sangat erat . Ciri-ciri positif yang dikejar kita semua dalam menyusun strategi sebuah kota mendambakan kota yang sehat jasmani dan rohani . Visi biologis dari John Eberhand ini dalam bukunya Technology for the City (New york, 1966) menjamin dimanakah keseimbangan kota secara multidimensional. Pandangan terhadap kota sebagai organisme atau jasad hidup dengan proses keutuhan dan keseimbangan Citys hard ware dan City soft ware sebagaimana diungkapkan diatas, maka lebih diperkaya dan dipertajam dengan pengamatan dan kecenderungan penyusunan ruang kota guna menangkal kemungkinan hilangnya potensi prilaku (budaya) sebagai jati diri. Kita sadar sudah terlalu lama bidang perencanaan kota didominasi dan dilihat dari aspek fisik dan keruanagn seperti untuk ukuran dan besar kota, jalan-jalan, kepadatan dan stuktur sosialnya sementara kebijakan yang diambil kurang berdaya untuk memecahkan masalah yang lebih mendasar yang menjadi "jiwa" dari kota itu berkembang. Bila kita berpaling pada sejarah kota Ternate, maka mozaik kota hampir selalu merupakan pergelaran seni social yang terbentuk dari berbagai rencana ragam perorangan, masyarakat dan kelembagaan. Semua luluh jadi satu. Keterlibatan aktif segenap pihak termasuk penghuni kota akan membuahkan hasil penampilan kota unik, berpribadi dan mengesahkan sesuai visi dan misi kota ini. Penampilan yang saya maksudkan tidak sekedar dalam konotasi keindahan fisual belaka, melainkan menyentuh juga kesejahteraan ekonomi dan kegairahan budaya nya. Dengan demikian, sesuai dengan Visi dan Misi saya Membangun Kota ini (Ternate ) ; strategi perkembangan Kota Ternate ke depan yang nantinya tertuang dalam tata ruang kota dengan berbagai hierarki yang terwujud dalam bentuk peta-peta alokasi spasial dari aneka kegiatan masyarakatnya pada akhirnya harus dilandasi dengan analisa social ekonomi dan budaya yang tajam dan terarah. Beberapa factor yang menjadi pertimbangan bagi kita semua dalam menterjemahkan "Visi dan Misi" kota ini ke depan sebagai strategi dasar menuju masyarakat maju dan bermartabat sebagai pemaknaan masyarakat yang madani. Mengamati perkembangan global, karakter kota Ternate, kultur masyarakat dengan sejumlah permasalahan pokok dan actual maka dirumuskan "Visi dan Misi membangun Kota Ternate " sebagai berikut V I S I : Menjadikan Ternate sebagai kota budaya menuju masyarakat madani . M I S I : Membangun Ternate menuju Kota Budaya Kota Perdagangan dan Wisata dan Kota Pantai Sebuah kota harus memiliki "jati diri" sehingga jati diri itulah dapat diketahui kearah mana kota itu dikembangkan. Kota Ternate adalah bagian dari sejarah masa lalu yang mengalami perjalanan panjang kolonialisme sejak abad XV dan kota inipun sejak abad VII dan VIII masehi telah tersentuh dengan peradaban dunia . Membangun kota budaya , bukan sekedar merevitalisasikan adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan indifidu, masyarakat berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan . Sedangkan "Masyarakat Madani" yang diidamkan bukan semata-mata milik suatu komunitas tertentu, tetapi itu merupakan pemaknaan dari sebuah pemahaman tentang "civil society". Terbangunnya "kota budaya" dengan nilai-nilai interensiknya akan merupakan jalan lapang menuju "masyarakat madani" yaitu masyarakat berperadaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, masyarakat yang demokratis dan masyarakat sejahtera yang cinta damai . Strategi program pembangunan Ternate sebagai kota Budaya diarahkan upaya mengintegrasikan pembangunan fisik dan non fisik yang mengakarpada nilai dan keagamaan serta tradisi dan budaya masyarakat. Strategi program strategi program pembangunan kota perdagangan dan wisata diarahkanpada upaya untuk lebih meningkatkan produktifitas, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi kota secara keseluruhan. Oleh karena itu dibutuhkan penyediaan lahan perkotaaan dan penyiapan infra struktur perdgangan dan pariwisata yang memadai Strategi Program pembangunan kota pantai/kota pulau diarahkan pada upaya meningkatkan dan mengimbangkan kota Ternate dalam suatu sistem wilayah kepulauan melalui peningkatan infra struktur perkotaan, sumber daya alam, sumber daya manusia dalam kerangka pengembangan ekonomi rakyat . Penutup Demikianlah materi ceramah yang dapat saya sampaikan dalam forum ini semoga dapat menyatukan persepsi kita dalam upaya mewujudkan pembentukan menuju masyarakat Madani disertai beberapa strategi pembangunan visi Kota ternate ke depan untuk membangun Ternate sebagai Kota Budaya , Kota Perdagangan / Parawisata dan Kota Pulau/Pantai