Anda di halaman 1dari 11

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF (PKT)

Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik,
dalam bukunya The Struktur Of Scientific Revolution, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The
Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).
Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas
pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda.
Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian
paradigma.
a. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
b. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang
diterima secara umum.
c. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu,
misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari suatu ilmu
yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat
aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara
sederhana sesungguhnya paradigma adalah How to see the Word semacam kaca mata untuk melihat,
memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan
respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
A. Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya makna Kritis? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas
dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori
yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara
tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt.
Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas
Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi
publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup
terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma
kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian).
Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jrgen Habermas (kubu Adorno).
Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman.
Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran
dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang
marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat eine Kritische
Theorie der Gesselschaft. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang
membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat
adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga
sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok
Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor
Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich
Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter
Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan
fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi nabi gerakan New Left di
Amerika).
Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu
bertendensi determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan
terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras
truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian
mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis
tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan
perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto
yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang Teori
Tradisional dan teori Kritik (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep Teori kritis pertama
kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor
Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan
oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori
komunikasinya.
Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
1) Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
2) Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-
humaniora katakanlah kritik epistimologi.
3) Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
4) Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar
instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.
5) Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis)
2. Berpikir empiris-historis
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi.
Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam
masyarakat.
Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel
Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
1. Kritik dalam pengertian Kantian.
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif
sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan isi
pengetahuan. Untuk menemukan kebenaran, Kant mempertanyakan condition of possibility
bagi pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi tentang
(kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap
kemampuannya sendiri dan dapat menjadi pengadilan tinggi. Kritik ini bersifat transendental.
Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan
klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel,
Kant berambisi membangun suatu meta-teori untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel
pengertian kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel
merupakan peletak dasar metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza
Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational. Sehingga, berbeda dengan Kant,
Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau
kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada. Kritik
dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang
menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia.
3. Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika
Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran.
Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam
masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga
teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan elienasi yang
dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha
untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan
kekuasaan dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudian mampu memberikan basis
psikologis masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat.
Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa orang bisa
melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan
perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang
menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang
sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan
empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar kontemplasi pasif
prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris. Sedang teori yang emansipatoris
harus memenuhi tiga syarat:
a. bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
b. berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
c. tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk
mendapatkan hasil yang obyektif.
B. Paradigma Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang
terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam
keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional
terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan suatu yang
wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme
fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh a historis, konservatif, pro-satus quo dan
karenanya, anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan
senantiasa ada perlawanan.
2. Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan
kenyataan bahwa :- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi
internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga
revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar
setan (vicious circle) tak berujung pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut
menjadi paradigma konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak
mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
3. Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut melahirkan
upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural. Paradigma plural memandang
manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk melakukan
pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.
C. Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru.
Dari optic pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi
antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa
manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan
realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang
adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan
apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir sosial atau
pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
a. Analisis struktural: membaca format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat,
untuk menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi sosial yang
hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
b. Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional maupun
internasional.
c. Analisis kritis yang membongkar the dominant ideology baik itu berakar pada agama, nilai-nilai
adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu wacana resmi dan
pola-pola eksklusi antar wacana.
d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat.
e. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah
baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
D. Kritis dan Transformatif
Dalam memilih paradigma kritis ini, tentunya mempunyai berbagai alasan yang mendasarinya,
antara lain :
Secara Internal, pertama; teori ini menerima pandangan tentang perlunya kategori imperatif
paham ilmu-ilmu sosial yang sejalan dengan argumen yang mendukung interperatif. Dan model kritis
menyetakan bahwa untuk memilki pokok bahasan (subjet matter) seorang harus mempunyai maksud
dan keinginan para pelaku yang diamatinya dan juga aturan serta makna konstitutif tatanan sosial
mereka. Untuk melakukan ini semua maka digunakan pola pikir kritis.
Kedua, Menghindari sebuah kegiatan yang mempunyai asumsi kebetulan. Yaitu dengan cara
membongkar sistem hubungan sosial yang menentukan tindakan individu. Dalam bahasanya Paulo
freire adalah kesadaran kritis (critical consciusns). Model berfikir kritis merupakan model yang
menuntut bahwa para praktikusnya berusaha untuk menemukan kaidah kuasi-kausal dan fungsional
tentang tingkah laku sosial dalam konstalasi kehidupan sosial sehari-hari.
Ketiga, Teori kritis bagian dari ilmu-ilmu sosial yang dapat digunakan untuk mengeksplor
tentang teori-teori ilmiah sekaligus dalam penyikapan terhadap realitas sosial yang berkembang.
Model berfikir paradigma kritis ini menganggap hubungan yang tersembunyi antara teori dan
praktek sebagai salah satu titik tolaknya, dan ini berarti bahwa model ini mempertalikan pendirian
pengetahuannya dengan pemuasan tujuan dan keinginan manusia.
Secara Eksternal, paradigma kritis sangat berfungsi bagi PMII, pertama; masyarakat indonesia
adalah masyarakat plural (majemuk) yang terdiri dari suku,,agama, ras (etnis) dan tradisi, kultur
maupun kepercayaan. Pluralitas bangsa inilah yang menyimpan kekayaan akan konflik yang luar
biasa. Disisi lain ternyta pluralitas terkadang dipahami sebagai pembatas (penghalang) ideoloi antara
komunitas satu dengan komunitas yang lain. Kondisi seperti inilah akan lebih tepat digunakannya
paradigma kritis, karena paradigma ini akan memberikan tempat yang sama (toward open and equal
society) bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan
kreativitasnya secara maksimal melalui dialog terbuka, transparan dan jujur. Dengan bahasa
sederhananya memanusiakan manusia.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini telah terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern yang
dapat mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat setiap adanya suatu perubahan (hanyalah
meniru dan mengikuti) dengan asumsi siapa yang tidak melakukannya maka dia akan ditinggalkan
dan dipinggirkannya oleh perkembangan jaman. Hal ini tanpa disadari telah mengekang dan
memandulkan kesadaran rakyat untuk mengembangkan kreativitas dan pola pikir, dengan meminjam
istilah Mark, bahwa kapitalisme inilah yang mengakibatkan manusia terasing (alienated) dari diri dan
lingkungannya. Dalam kondisi inilah peradigma kritis menjadi keniscayaan untuk diterapkan.
Ketiga, selama pemerintahan Orde Baru, pemerintahan dijalankan dengan cara hegemonik-
militeristik, yang mengakibatkan ruang publik masyarakat atau dalam bahasa Habermas, public
sphere menjadi hilang. Dampak dari sistem ini adalah masyarakat dihinggapi budaya bisu dalam
berkreasi, berinovasi, maupun melakukan pemberontakan. Lebih radikal lagi, seluruh potensi dan
kekuatan pemberontakan atau jiwa kritisisme yang dimiliki telah dipuberhanguskan dengan cara
apapun demi melenggangkan kekuasaan status quo negara. Melihat fenomena seperti ini maka perlu
untuk dilakuknnya sebuah pemberdayaan (empowerment) bagi rakyatIndonesia sebagai artikulasi
sikap kritik dan pemberontak terhadap negara yang totaliter hegemonik. Untuk melakukan upaya
empowerment, enforcemen (penguatan), sekaligus memperkuat civil society dihadapan negara
melalui paradigma kritis sebagai pola pikir dan cara pandang masyarakat kita agar rakyat dan negara
mmempunyai posisi setara (equal).
Keempat, menghancurkan paradigma keteraturan (order paradigm). Karena penerapan
paradigma keteraturan ini, pemerintah harus menjaga harmoni dan keseimbangan sosial (sicial
harmony), sehingga gejolak sekecil apapun harus diredam agar tidak mengusik ketenangan semu
mereka. Dengan paradigma inilah masyarakat akan dijadikan robot yang hanya diperlakukan sana-
kemari tanpa memberikan kebebasan mereka untuk berfikir dan berkreasi dalam mengapresiasikan
kemauannya. Untuk melakukan pemberontakan atas belenggu dan kejumudan berfikir semacam itu,
maka diperlukan paradigma kritis.
Kelima, masih kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Sehingga secara tidak sadar telah
terjadi pemahaman yang distortif tentang ajaran dan fungsi agama. Lebih parah lagi ketika terjadi
dogmatisasi agama sehingga kita tidak bisa membedakan lagi mana yang dianggap dogma dan mana
yang dianggao sebagai pemikiran. Akhirnya agama terkesa kering dan kaku, bahkan tidak jarang
agama menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara
disisi lain agama hanya dijadikan komoditas kendaran atau lokomotif bagi kepentingan politik
(kekuasaan) oleh kelompok tertentu. Dengan terma-terma agama, masyarakat menjadi terbius dan
tidak mampu untuk melakukan kritik. Dengan demikian sangatlah perlu untuk mengembalikan
fungsi dan ajaran agama. Upaya tersebut adalah dengan mengadakan rekontruksi/dekontrusi
(pembongkaran) pemahaman masyarakat melalui paradigma kritis. Dan harus diakui pula bahwa
agama diposisikan sebagai poros moralitas dan mampu menjadi inspirator dalam moral forcement
dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sinilah agama akan benar-benar kembali
kefitrohnya, yakni melahirkan dan menjaga perdamaian dimuka bumi.
Namun Paradigma kritis baru menjawab pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa
yang sekarang sedang bekerja. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang
menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun belum mampu
memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial tersebut; strategi
mentransformasikannya; disinilah Term Transformatif melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan
yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen
tunggal sejarah; entah kaum miskin kota (KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak
yang dilakukan secara bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu
mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat.
Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan
gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi
buruh, advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya proyek
pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis) dengan pembuatan
mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang
terjadi masih banyak mahasiswa yang lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa
yang dikehendaki oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai
kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter
gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat horisontal.
2. Transformasi dari Negara ke Masyarakat
Model tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian kita
lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx terhadap G.W.F. Hegel.
Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam
memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara
adalah satu-satunya wadah yang paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara
nasional dalam satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru
masyarakatlah yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk
terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi disetiap bangsa atau Negara.
3. Transformasi dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa
terwujud jika dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak sepenuhnya
bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru, akan tetapi seharusnya kebijakan ini
bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam
mengambil keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan yang paling
bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
4. Transformasi dari Individu ke Massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu
sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang sangat membutukan kehadiran
mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para
foundhing fathers kita tentang adanya hidup bergotong royong.
Rasa egoisme dan individualisme haruslah dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu
jargon yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa. Hal
ini tentunya setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan
program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
E. Paradigma Kritis Transformatif (PKT ) yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia,
dengan demikian dia adalah sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan
mendapat tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari tudingan
tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode
analisis dalam memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari ketentuan ajaran
agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan ajaran agama sebagaimana
mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan
segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik
dan hegemonik. Semua ini adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh
karenanya pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di
kalangan warga PMII.

Anda mungkin juga menyukai