Berpikir apresiatif adalah menghargai detik demi detik yang berjalan.
Orang dengen pemikiran
ini, tidak akan membiarkan dirinya menjadi pencari kambing hitam. Ia tidak akan menyalahkan berbagai situasi atas ketidaksempurnaan dirinya. Ia tidak akan menjelek-jelekkan nasib/takdir atas kekurangsuksesan dirinya. Ia tidak akan memberi label buruk pada lingkungan disekelilingnya atas kebelumtercapainya apa yang dicita-citakan. Karena hal melakukan hal-hal tersebut sama dengan menurunkan potensi berpikir kita, harga diri kita atau bahkan kemanusiaan kita. Atau meminjam istilah Paolo Friere dehumanisasi, atau merujuk kepada Andrias Harefa pembinatangan. Manusia adalah mahluk yang berpikir, dengan tingkat kemampuan berpikir yang mengalahkan komputer. Itulah yang membedakannya dengan mahluk lain. Maka, jika manusia tidak menggunakan kemampuan berpikirnya, berarti ia tidak memanusiakan dirinya dan cenderung menyamakan dirinya dengan mahluk lain yang kurang memiliki kemampuan berpikir. Itulah dehumanisasi. Yaitu menafikan kenyataan bahwa sebenarnya ia memiliki kemampuan yang luar biasa. Manusia yang membiarkan dirinya tidak berpikir atau mempersilakan dirinya berpikir negatif, berarti mengalah pada situasi linkungan. Ia menyerahkan langkah hidupnya, atau bahkan cita-citanya pada kondisi lingkungan yang memang selalu berubah dan tidak pernah statis. Ia merelakan gerak langkah kehidupannya pada stimulus luar yang tidak selalu terprediksi. Anehnya, hal ini lebih mudah dilakukan dan cenderung lebih menyenangkan. Contoh kita sudah berniat akan bangun subuh dan belajar, ternyata hujan turun, dan kita kembali menarik selimut karena hawa yang dingin. Nah, inilah yang dikatakan sebagai menyerah pada stimulus luar. Hujan, dapat terjadi kapan saja. Maka jika kita mood belajar kita tergantung pada datang tidaknya hujan, maka hal tersebut sama saja dengan menyerahkan cita-cita masa depan kita (yang disimbolkan dengan belajar) pada hujan. Mari kita lihat, jika kita menunda kegiatan belajar tersebut sampai esok hari, maka kita akan kehilangan beberapa jam di esok hari untuk melakukan kegiatan lain. Ingat setiap orang hanya memiliki 24 jam sehari atau 100 persen waktu. Artinya jika kita tidak menggunakan waktu kita 100 persen hari ini (misalnya hanya 70-80%) maka kita tidak akan mendapatkan gantinya di hari esok. Mengapa? Karena di esok hari kita juga hanya memiliki waktu 100% bukan 120 atau 130 persen. Miun seperti terkecat dengan pemandangan itu. Tangannya kemudian mengeras membentuk kepalan tinju. Oke aku akan bangkit. Aku ingat bahwa kesuksesan seseorang bukanlah diukur dengan membandingkan seorang individu dengan orang lainnya, melainkan bagaimana pencapaian individu tersebut dibandingkan dengan optimalisasi potensinya. Umang tersebut sama sekali tidak pernah membandingkan dirinya dengan umang yang lain, namun setiap hari ia selalu memaksimalkan potensinya untuk dapat bertahan hidup. Artinya, kesuksesan seseorang bukanlah ketika dia menjadi lebih kaya secara materi dengan rekan sebayanya, namun seberapa jauh ia dapat mengembangkan potensinya, sehingga ia hidup tenang dan damai dari keringatnya. Miun kembali menggoreskan tekat di lempengan hatinya. Hai bayangan di air ujarnya pada siluet dirinya di pasir yang tertutupi air laut itu,kamu adalah saksi kebangkitan saya hari ini. Saya akan bangkit, karena mengeluh tidak ada gunanya. Sekali lagi,mengeluh tidak ada gunanya. Bayangkan jika umang itu mengeluh dan menyerah, maka ia akan terbawa laut selamanya. Masalah bukan untuk diratapi melainkan untuk dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya. Potensi bukan untuk didiamkan, melainkan untuk dilecut, dilatih dan diledakkan. Beda antara orang yang sukses dan tidak sukses hanya setipis kertas. Orang yang sukses melakukan sedikit lebih banyak dari yang dilakukan orang yang tidak suskses. Orang yang sukses belajar 10 kali sehari, sementara orang yang tidak sukses berhenti di angka delapan bahkan enam. Pelari juara dunia dan juara kampung hanya dibedakan oleh hitungan detik. Artinya, jangan berhenti sebelum selesai, jangan menyerah sebelum memulai. Siap grak! Mari kita lihat hari-hari kita. Apakah kita terbiasa untuk memutuskan apa yang harus saya dapat hari ini? Mungkin belum. Akhirnya hari demi hari mengalir seperti air, tanpa mendapatkan sesuatu yang berarti. Ingat, satu keputusan sederhana, bisa mengubah hari-hari kita. Misalnya, di pagi hari kita memutuskan untuk mendapat pemahaman baru dari surat Al Ikhlas, maka percayalah segala pikiran, perasaan, bahkan khayalan kita turut mendukung untuk pencapaian keputusan kita tersebut. Di setiap menit di hari itu, kita akan teringat menuntaskan apa yang telah kita putuskan. Atau kita bisa memutuskan untuk membaca Al Quran minimal satu ayat setiap hari. Maka, lihatlah dampaknya. Bagaimana jika kita tetap melupakan keputusan yang kita buat? Jawabannya sederhana, berarti kita belum serius dalam membuat keputusan. Ingat, tidak membuat keputusan adalah juga sebuah keputusan. Atau sederhananya, jika kita tidak membuat keputusan apa-apa mengenai target harian kita, berarti kita memang memutuskan untuk tidak mendapatkan hasil apa-apa. Maka tidak usah heran jika kita tidak pernah mendapatkan apa- apa yang kita inginkan. Sederhana bukan? Mari, mulai saat ini, kita tidak membiarkan hari-hari kita berlalu tanpa didahului oleh keputusan- keputusan yang positif. Karena waktu tidak akan berulang, dan jarum jam tidak dapat diputar mundur. Ingat, tidak membuat keputusan adalah bentuk dari keputusan, yaitu keputusan untuk membiarkan hari- hari kita berlalu tanpa makna. Tulisan kali ini adalah tulisan yang membahas masalah perasaan dan tidak hanya pikiran (yang sangat terilhami oleh berbagai buku pengembangan diri terutama Quantum Ikhlas). Loh apa bedanya? Secara awam, bedanya adalah, jika pikiran itu berasal dari kerja otak, maka perasaan berasal dari hasil kerja hati. Namun penelitian menemukan bahwa ketika kita menyebut hati, ternyata dari sisi anatomi organ tubuh, ternyata tidak menunjuk ke hati/ulu hati(liver) melainkan ke jantung (heart). Telah dipelajari bahwa jantung, memiliki mekanisme berpikir sendiri, mampu memompa dari secara otomatis (super canggih) dan memiliki koneksi yang sangat baik dan kuat dengna otak. Sebagai contoh ketika otak berpikir bahwa individu sedang mengalami rasa takut, maka hati akan berdegup lebih kencang dan lain- lain. Artinya ada hubungan yang sangat sinkron antara jantung dan otak. Perkembangan pemahaman yang luar biasa mengenai bagaimana otak kita bekerja tersebut atau lebih sering dikenal dengan positive thinking-, ternyata masih berkembang lagi. Artinya ada bagian tubuh kita selain otak- yang mampu memberikan kepada kita energi yang luar biasa besar menuju kesuksesan, yaitu hati (yang organnya adalah jantung). Ya, inilah era positife feeling, bukan hanya positive thinking. Mari kita lihat bedanya menurt Erbe Sentanu (2008; 120), pada versi lama ketika kita berpikir positif, maka kita akan mendapatkan apa yang paling sering kita pikirkan. Sedangkan pada versi baru, kita dianjurkan untuk berperasaan positif, sehingga diharapkan kita akan mendapatkan apa yang paling sering kita rasakan ketika kita memikirkannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kita sering tidak/belum sukses karena kehendak hati seringkali tidak sinkron dengan kehendak pikiran. Kita ingin mendapat nilai bagus, tapi selalu menunda-nunda belajar. Ingin IPK tinggi tapi tidak mau mengulang pelajaran. Ingin badan sehar tapi sangat malas untuk menggerakkan badan dan berolah raga. Ingin terlihat charming tapi malas merawat tubuh dan lain-lain. Ingin badan seperti Ade Rai tapi tubuh justru lebih sering dibawa ke kasur. Ingin bermain gitar seperti Steve Vai tapi yang diulik justru lagu Lupa dari Band Kuburan. Pikiran ingin tapi hati merasa malas. Ingin tapi malas. Malas sekali rasanya, tapi sebenarnya ada keinginan yang kuat di pikiran. Jadi? Ya, tidak sinkron. Memendam rasa rindu, tapi sekaligus juga benci. Kangen, tapi kesal kalo sudah bertemu. Sayang, tapi cemburu buta.