Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang
Infark miokard akut merupakan penyebab kematian utama di dunia.
Laporan Organisasi Kesehatan Dunia mencatat 17.3 juta kematian terjadi akibat
penyakit kardiovaskuler dan 7,3 juta diantaranya disebabkan oleh penyakit
jantung koroner. Lebih jauh WHO memprediksi pada tahun 2030 jumlah tersebut
akan meningkat hingga 25 juta kematian akibat penyakit kardiovaskuler dengan
tetap menempatkan penyakit jantung koroner sebagai kontributor utama. Di
Indonesia angka kesakitan dan kematian akibat penyakit jantung koroner memiliki
tren yang cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Survei Kesehatan
Rumah Tangga tahun 2002 menunjukan penyakit infark miokard akut dengan
mortalitas 220.000 (14%). Penelitian Yanmedik tahun 2007 menggambarkan
sebanyak orang dengan case fatality rate sebesar. Besar angkat tersebut berhasil
menempatkan infark miokard infark sebagai penyebab kematian pertama di
Indonesia.
Pada kondisi iskemia akibat oklusi arteri koroner, sistem kolateral koroner
memegang peran penting untuk menjaga dampak lebih jauh dari iskemia miokard
dengan menyediakan pasokan darah ketika pembuluh darah utama mengalami
oklusi. Hal ini menjadikan kolateralisasi sebagai faktor prognostik yang penting
bagi penyakit jantung iskemik baik selama serangan akut iskemik miokard
maupun pada iskemik kronis. Serangkaian penelitian yang dilakukan menunjukan
bahwa kolateralisasi koroner yang baik mampu memperkecil luas daerah infark,


2

mengurangi pembentukan aneurisma ventrikel, memperbaiki fungsi ventrikel
yang berujung pada meningkatnya tingkat kesintasan pasien infark miokard.
Penelitian sepakat menyatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh
pada perkembangan kolateral ialah luas infark dan keberadaan keluhan iskemia
sebelum terjadinya infark miokard akut. Namun pengetahuan saat ini menyisakan
kontroversi yang masih diperdebatkan mengenai peran iskemia dalam
perkembangan infark miokard. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa iskemia
berperan dalam kolateralisasi arteri koroner. Hipotesis lain yang semakin diakui
iskemia berperan dalam preconditioning infark miokard.
Oleh karena itu penting untuk mengetahui hubungan antara kolateralisasi
arteri koroner dengan lama berlangsungnya keluhan iskemik pada infark miokard
akut.


3


2.2 Rumusan Masalah
Prevalensi penyakit jantung koroner dan mortalitas akibat infark miokard
akut terus meningkat. Serangkaian penelitian menunjukan bahwa kolateralisasi
koroner berperan dalam proteksi dari dampak iskemia akibat oklusi koroner dan
keluhan iskemia sebelum infark berpengaruh terhadap kolateralisasi koroner.
Namun masih terdapat kontroversi karena belum tersedia data yang komprehensif.
Dengan demikian masalah penelitian ini apakah terdapat hubungan antara
kolateralisasi arteri koroner dengan lama berlangsungnya keluhan iskemia pada
infark miokard akut.
2.3 Kerangka Konsep






Variabel perancu Variabel terikat


2.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Lama berlangsungnya
keluhan iskemia
Kolateralisasi arteri
koroner
Tingkat keparahan
infark
Jangka waktu mulai
terasa keluhan angina
hingga dilakukan
angiografi
Derajat kolateralisasi
berdasarkan klasifikasi
Rentrop
4


Terdapat hubungan antara kolateralisasi arteri koroner dengan lama
berlangsungnya keluhan iskemik infark miokard akut.
2.5 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara
kolateralisasi arteri koroner dengan lama berlangsungnya keluhan iskemia pada
infark miokard akut.
2.6 Manfaat Peneltian
2.5.1.1 Manfaat Akademis
Bagi civitas akademika, khususnya mahasiswa kedokteran dan dokter,
hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai hubungan
antara kolateralisasi arteri koroner dengan lama berlangsungnya keluhan iskemia
pada infark miokard akut di Instalasi Penyakit Jantung Rumah Sakit Umum Pusat
Hasan Sadikin. Hasil penelitian ini pun diharapkan dapat dijadikan bahan
penelaahan lebih lanjut dan melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya dalam
memahami peran iskemia dalam kolateralisasi.
2.5.1.2 Manfaat Praktis
Bagi klinisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan
penatalaksanaan, prognosis dan follow-up pasien infark miokard akut yang
mengalami keluhan iskemia.



5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infark Miokard Akut
Infark miokard merupakan perkembangan cepat dari nekrosis otot
jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen. Otot jantung diperdarahi oleh 2 pembuluh koroner utama, yaitu arteri
koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini keluar dari aorta. Arteri
koroner kiri kemudian bercabang menjadi arteri desendens anterior kiri dan arteri
sirkumfleks kiri. Arteri desendens anterior kiri berjalan pada sulkus
interventrikuler hingga ke apeks jantung. Arteri sirkumfleks kiri berjalan pada
sulkus arterio-ventrikuler dan mengelilingi permukaan posterior jantung. Arteri
koroner kanan berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke kanan bawah.
Diagnosis infark miokard akut berdasarkan Third Universal definition of
myocardial infarction tahun 2012, ditegakan jika terdapat bukti nekrosis miokard
secara klinis konsisten menunjukan iskemia miokard akut. Dalam kondisi ini jika
kriteria dibawah ini ditemukan, diagnosis infark miokard ditegakan(1):
Kriteria untuk infark miokard akut
The infark miokard akut Istilah (MI) harus digunakan bila ada bukti dari nekrosis
miokard secara klinis yang konsisten dengan iskemia miokard akut. Dalam
kondisi tersebut salah satu dari kriteria berikut memenuhi diagnosis untuk MI:



6

Deteksi kenaikan dan / atau jatuhnya nilai biomarker jantung [sebaiknya jantung troponin
(CTN)] dengan setidaknya satu nilai di atas persentil ke-99 referensi yang tinggi membatasi (URL)
dan dengan setidaknya salah satu dari berikut:
ySymptoms iskemia.
yNew atau dugaan baru yang signifikan ST-segmen-T gelombang (ST-T) perubahan atau blok
cabang berkas kiri baru (LBBB).
yDevelopment gelombang Q patologis pada EKG.
yImaging bukti kerugian baru miokardium layak atau regional baru dinding gerak kelainan.
yIdentification dari trombus intracoronary dengan angiografi atau otopsi.
kematian jantung dengan gejala sugestif dari iskemia miokard dan diduga baru iskemik
perubahan EKG atau baru LBBB, tapi kematian terjadi sebelum jantung biomarker diperoleh, atau
nilai-nilai biomarker sebelum jantung akan meningkat.
intervensi koroner perkutan (PCI) MI terkait sewenang-wenang didefinisikan oleh peningkatan
nilai Ctn (? 5 URL persentil ke-99?) Pada pasien dengan awal normal nilai (99 persentil URL?)
atau kenaikan nilai ctn? 20% jika nilai awal yang tinggi dan stabil atau jatuh. Selain itu, baik (i)
gejala sugestif dari iskemia miokard atau (ii) baru iskemik EKG perubahan atau (iii) temuan
angiografik konsisten dengan komplikasi prosedural atau (iv) pencitraan demonstrasi hilangnya
baru miokardium layak atau regional baru dinding gerak kelainan diperlukan.
stent trombosis terkait dengan MI ketika dideteksi dengan angiografi koroner atau otopsi dalam
pengaturan iskemia miokard dan dengan kenaikan dan / atau fallof jantung biomarker nilai dengan
setidaknya satu nilai di atas persentil ke-99 URL.
bypass arteri koroner grafting (CABG) MI terkait sewenang-wenang didefinisikan oleh
peningkatan nilai biomarker jantung (10?? URL persentil ke-99) pada pasien dengan yang normal
ctn nilai awal (99 URL? persentil). Selain itu, baik (i) baru patologis Q gelombang atau baru
LBBB, atau (ii) korupsi baru angiografik didokumentasikan atau baru asli oklusi arteri koroner,
atau (iii) bukti pencitraan kerugian baru miokardium layak atau regional baru dinding gerak
kelainan.


7

2.2 Patologi Infark Miokard
Infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang
kemudian ruptur dan menyumbat arteri koroner. Aterosklerosis ditandai dengan
formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri, plak ini terus tumbuh ke
dalam lumen menyebabkan penyempitan diameter lumen. Penyempitan lumen
mengganggu aliran darah bagian distal dari tempat penyumbatan terjadi. (2)
Faktor usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi,
reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi
endotelial. Saat terjadi disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi
molekul-molekul vasoaktif seperti nitric oxide, yang berkerja sebagai vasodilator,
anti-trombotik dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru
meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang
berperan dalam migrasi dan proliferasi sel.
Monosit dalam sirkulasi dapat dengan mudah menempel pada sel endotel
yang teraktivasi, kemudian bermigrasi ke lapisan subendotel dan berubah
menjadi makrofag. Makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan LDL teroksidasi disebut
sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi
otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks.
Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa
menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan
trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis.


8

Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam
ateroma menyebabkan oklusi arteri.
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi
plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi,
menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark
miokard. Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan
miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,
biokimia dan kelistrikan miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung
menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang
disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan
kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. Selama kejadian iskemia,
terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard
normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air.
Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa
diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu
stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran
kanal K
+
dan ambilan Na
+
oleh monosit.
Keparahan dan durasi ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark
miokard. Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena


9

dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan
kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. Non STEMI
merupakan tipe infark miokard yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat
erosi dan ruptur plak. Erosi dan ruptur plak ateroma menimbulkan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri
koroner.
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial. Infark
miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang terjadi cepat yaitu
dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot jantung yang terlibat
mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark miokard subendokardial
terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian nekrosis yang telah
terjadi pada waktu berbeda-beda.

2.3 Klasifikasi Klinis Infark Miokard
Demi kepentingan penanganan yang segera seperti terapi reperfusi,
dalam praktek sehari-hari, pasien infark miokard dengan gejala nyeri dada atau
gejala iskemik lain yang ditandai dengan elevasi ST pada dua lead berdekatan
disebut sebagai ST elevation MI (STEMI). Sebaliknya, pasien tanpa
menunjukan elevasi ST dikenal sebagai pasien dengan non-ST elevation MI
(NSTEMI). Gambaran EKG beberapa pasien dengan infark miokard membentuk
gelombang Q sehingga disebut (Q wave MI), sementara yang lain tidak


10

membentuk gelombang Q sehingga disebut (non-Q MI). Sebagai tambahan pada
sistem kategori tersebut, infark miokard diklasifikasikan menjadi berbagai tipe
berdasarkan gambaran patologi, perbedaan klinis dan prognosis, serta perbedaan
strategi pengobatan, antara lain:
2.3.1 Spontaneous myocardial infarction (Infark miokard tipe 1)
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau
diseksi plak aterosklerosis yang menyebabkan trombus intralumen pada satu atau
lebih arteri koroner. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen
dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi.
2.3.2 Myocardial infarction secondary to an ischemic imbalance (Infark
miokard tipe 2)
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri
menurunkan aliran darah miokard.
2.3.3 Myocardial infarction resulting in death when biomarker value are
unavailable (Infark miokard tipe 3)
Pada keadaan ini, peningkatan penanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal
ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal
sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.
2.2.4.1 Myocardial infarction related to percunaneus coronary intervention
(PCI ) (Infark miokard tipe 4a)


11

Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya
troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous
coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard.
2.2.4.2 Myocardial infarction related to stent thrombosis (Infark miokard tipe
4b)
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis.
2.5.1.3 Myocardial infarction related to coronary artery bypass grafting
(Infark miokard tipe 5)
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian
infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypasskoroner.
2.3 Kolateralisasi Koroner
Sistem kolateral koroner, atau bypass alami merupakan anastomosis
yang menghubungkan arteri koroner yang sama maupun arteri yang berlainan.
Sirkulasi kolateral berperan penting dalam menyediakan pasokan darah ketika
pembuluh darah utama gagal memenuhi kebutuhan metabolisme miokard. Sistem
kolateral koroner telah ada semenjak lahir dan mungkin berkembang selama hidup
manusia. Saat lahir, kolateral koroner berbentuk pembuka tutup botol dengan
diameter lumen 20 350 m dan panjang berkisar dari 1 atau 2 cm hingga 4 atau
5 cm. Pemeriksaan autopsi pada pasien dengan penyakit jantung koroner
menunjukan semakin lama keluhan angina berhubungan dengan peningkatan
jumlah kaliber besar kolateral koroner. Hal ini penting, karena jika pengukuran
diameter lumen dihubungkan dengan kapasitas aliran darah, fungsi pembuluh


12

berukuran besar dalam jumlah sedikit akan lebih bermakna dibandingkan dengan
pembuluh berukuran kecil dalam jumlah yang banyak.
Pemahaman mengenai mekanisme kolateralisasi saat ini, menunjukan
bahwa proses tersebut melibatkan proses vaskulogenesis, angiogenesis dan
arteriogenesis. Vaskulogenesis merupakan fase awal dalam pembentukan vaskuler
yang ditandai dengan migrasi prekursor sel endotel (angioblas) ke lokasi tertentu,
berdiferensiasi secara in situ dan berkembang menjadi korda endotel membentuk
pleksus dengan tuba endokard. Istilah angiogenesis mengacu pada pertumbuhan
bertahap, ekspansi dan remodeling dari pembuluh darah primitif menjadi jaringan
vaskuler yang kompleks dan matang. Arteriogenesis memiliki arti transformasi
dari arteriol kolateral menjadi arteri kolateral yang fungsional melalui
penambahan lapisan muskular yang tebal seiring dengan penambahan viskoelastis
dan vasomotor.

2.4 Faktor faktor yang mempengaruhi Kolateralisasi Koroner
2.4.4 Iskemia Miokard
Iskemia miokard yang parah dan berulang dianggap sebagai pemacu
perkembangan kolateral koroner melalui sinyal biokimia termasuk angiogenic
growth factor. Dalam penelitian secara in vitro maupun in vivo menunjukan
rendahnya level oksigen menginduksi akulmulasi mRNA VEGF. Beberapa gen
lain yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam angiogenesis
meningkat pula sebagai respon terhadap hipoksia. Namun perkembangan kolateral


13

melalui arteriogenesis tidak dipengaruhi oleh iskemia, arteri kolateral tetap
terbentuk pada jaringan non-hipoksik.
2.4.5 Gradien Tekanan dan Shear Stresses
Proses arteriogenesis diperantarai secara mekanik oleh peningkatan shear
stresses. Pada saat stenosis arteri utama, kondisi hemodinamis yang terjadi adalah
peningkatan gradien tekanan akibat penurunan tekanan arteri bagian distal.
Sehingga terjadi redistribusi aliran darah melewati arteriol yang menghubungkan
daerah bertekanan tinggi dan daerah bertekanan rendah. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kecepatan kecepatan aliran yang sejalan dengan peningkatan shear
stresses pada arteriol kolateral. Keadaan ini berimplikasi pada aktivasi endotel
arteriol kolateral, peningkatan molekul adhesi sel, dan peningkatan transformasi
monosit menjadi makrofag. Serangkaian proses ini berujung pada perubahan
morfologi dan remodeling vaskuler.
2.4.6 Growth Factor
Berbagai growth factor dan kemokin yang bebeda terlibat dalam proses
angiogenesis dan arteriogenesis. Vascular endothelial growth factor (VEGF),
transforming growth factor- (TGF-), dan acidic fibroblast growh factor (a-FGR)
berperan dalam angiogenesis. Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor
(GN-CSF), Monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), dan transforming
growth factor- (TGF-) berperan dalam arteriogenesis. Namun beberapa growth
factor juga berperan dalam kedua proses angiogenesis dan arteriogenesis, antara
lain basic fibroblast groth factor (b-FGF) dan platelet derived growth factor


14

(PDGF). Pada jaringan iskemik, terjadi peningkatan ekspresi beberapa growth
factor beserta reseptornya. Sebaliknya gangguan sistem kolateral koroner pada
pasien diabetes, hiperlipidemia, dan proses penuaan berasosiasi dengan penurunan
ekspresi growth factor.

















15

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
3.1.1 Populasi dan Sampel
Target populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien akut miokard
infark di Instalasi Penyakit Jantung Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin.
Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien akut miokard infark di Instalasi
Penyakit Jantung Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin yang menjalani
angiografi...
3.1.2 Kriteria Pemilihan Sampel
Pasien dipilih dari rekam medis yang memiliki kriteria inklusi yaitu
rekam medis pasien infark miokard akut yang mendapatkan pengobatan steroid di
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo periode Januari 2009 -
Desember 2011 dan rekam medis yang mencantumkan data karakteristik dan data
faktor risiko yang ingin diteliti. Data karakteristik yang dimaksud adalah usia,
jenis kelamin, tempat tinggal, kelompok pasien (umum/JAMKESMAS), tajam
penglihatan, tekanan intraokular, rasio cup-disc, penyakit mata yang mendasari,
Humphrey Visual Field (HVF) dan penatalaksanaan. Sementara data faktor risiko
yang dimaksud adalah usia, jenis steroid, cara pemberian steroid dan durasi
pemakaian steroid. Kriteria eksklusinya adalah rekam medis dengan data
karakteristik dan data faktor risiko yang tidak dicantumkan atau tidak lengkap.

3.1.3 Jenis Penarikan Sampel


16


Pada penelitian ini, jenis penarikan sampel yang digunakan adalah total
sampling, data pasien akut miokard infark di Instalasi Penyakit Jantung Rumah
Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin periode bulan Januari 2009 - Desember 2011
diambil secara keseluruhan.

3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Jenis Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan metode
cross sectional. Penelitian analitik merupakan suatu penelitian yang dilakukan
untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara dua atau lebih aspek atau
situasi.(3) Metode cross-sectional adalah metode penelitian dimana pengambilan
data dan pengukuran variabelnya dilakukan oleh peneliti pada satu saat tertentu
saja atau subjek penelitiannya hanya dikenai satu kali pengukuran tanpa ada
tindak lanjut di kemudian hari.
(
4
)


3.2.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat, yaitu nilai
rentroop angiografi arteri koroner dan variabel bebas, yaitu lama berlangsungnya
keluhan iskemik.
3.2.3 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah definisi yang dibuat untuk membatasi ruang
lingkup variabel sehingga dapat menghindari perbedaan interpretasi data dan


17

dapat memudahkan pengumpulan data.(4) Definisi operasional pada penelitian ini
terangkum dalam tabel berikut.

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
No. Variabel Definisi Operasional Indikator Skala
1. Usia

Usia pasien saat pertama
kali didiagnosis steroid-
induced glaucoma. Usia
dinyatakan dalam tahun.




Nominal
2. Jenis steroid Jenis steroid yang
diberikan untuk
mengobati penyakit yang
diderita pasien.
1. Poten
2. Non-poten
Nominal
3. Cara
pemberian
steroid
Cara pemberian steroid
yang dilakukan oleh
pasien dalam mengobati
penyakit yang dideritanya.
1. Topikal
2. Non-topikal
Nominal
4. Durasi
pemberian
steroid
Lamanya waktu
penggunaan steroid yang
dilakukan pasien untuk
mengobati penyakit yang
dideritanya.
1. 6
minggu
2. > 6
minggu
Nominal
5. Glaukoma Diagnosis glaukoma
akibat penggunaan steroid
pada pasien setelah
dilakukan pemeriksaan.
1. Ya
2. Tidak
Nominal

3.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer, dimana data
diperoleh dari hasil pengumpulan melalui rekam medik (medical record).
3.2.4 Prosedur Penelitian
Setelah mendapatkan izin pengambilan data rekam medis dari bagian IT
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, penelitian dimulai dengan cara
mengumpulkan rekam medis. Kemudian dilakukan pemilihan rekam medis yang
sesuai dengan kriteria inklusi dan dilakukan pencatatan jumlah pasien beserta data


18

karakteristik dan faktor risiko yang telah ditentukan, yaitu usia, jenis kelamin,
penatalaksanaan, jenis steroid yang digunakan, cara pemberian steroid dan durasi
penggunaan steroid. Dari pencatatan tersebut dilakukan pengelompokan data
berdasarkan masing-masing variabel yang dicari. Data dikumpulkan dan dianalisis
untuk mendapatkan jumlah penderita steroid-induced glaucoma dengan
karakteristik berdasarkan variabel yang telah ditentukan. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk tabel. Prosedur penelitian tersebut tergambar dalam bagan
di bawah ini.














19




Bagan 3.1 Prosedur Penelitian


3.2.5 Rancangan Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data
Data yang terkumpul kemudian akan diolah dengan menggunakan
program SPSS 20.0 for Windows. Terdapat empat tahap dalam pengolahan data
penelitian ini, yaitu editing, coding, entry dan tabulating. Proses editing
merupakan proses pemeriksaan kelengkapan data yang telah dikumpulkan. Proses
coding adalah proses memberikan kode-kode tertentu pada variabel untuk
memudahkan analisis data. Proses entry adalah proses memasukkan data untuk
diolah ke dalam komputer. Proses tabulating adalah proses pengelompokan data
sesuai variabel yang akan diteliti agar mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk
disajikan dan dianalisis. Analisis hubungan antara kolateralisasi arteri koroner
dengan lama berlangsungnya keluhan iskemik dilakukan dengan uji Chi-square.
Data penelitian ini akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
grafik.

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian


20

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Penyakit Jantung Rumah Sakit
Umum Pusat Hasan Sadikin, Bandung, dalam rentang waktu bulan Maret-
Desember 2013, dengan rincian sebagai berikut.
No
Kegia
tan
Bulan
Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Jan
1 Identifikasi Masalah
2 Studi Pustaka
3 Konsultasi Pembimbing
4 Penyusunan Proposal
5 Sidang Usulan Proposal
6 Perbaikan Proposal
8 Pengambilan dan Analisis Data
9 Penyusunan Laporan
10 Sidang Minor Thesis



21

3.4 Dummy Table Hubungan Kolateralisasi Arteri Koroner dengan Lamanya
keluhan iskemik
Lamanya keluhan
iskemik
Kolateralisasi
arteri koroner
Total
Buruk Baik
< 3 bulan
3 bulan

Total



22


DAFTAR PUSTAKA


1. Thygesen K, Alpert JS, White HD, Jaffe AS, Katus HA, Apple FS, et al. Expert
Consensus Document: Third Universal Definition of Myocardial Infarction. Journal of the
American College of Cardiology. 2012;60(X).
2. Meier P, Indermuehle A, Pitt B, Traupe T, Marchi SFd, Crake T, et al. Coronary
collaterals and risk for restenosis after percutaneous coronary interventions: a meta-
analysis. BioMed Central. 2012.
3. Kumar R. Research Methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners. London:
Sage Publication Ltd; 1999.
4. Saryono. Metodologi Penelitian Kesehatan: Penuntun Praktis Bagi Pemula. 1 ed.
Yogyakarta: Mitra Cendekia Press; 2008.

Anda mungkin juga menyukai