Anda di halaman 1dari 8

TUBERKULOSIS PARU

PENDAHULUAN
Penyakit tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil
penelitian, penyakit tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan
penemuan pada mumi, dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina peb
tsao sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882, ilmuwan Robert Koch berhasiln
menemukan kuman tuberkulosis, yang merupakan penyebab penyakit ini. Kuman ini
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis
Dengan meningkatnya kasus HIV / AIDS dari tahun ke tahun, diperkirakan kasus TBC
menjadi bertambah (reemerging disease). Ronal Bayer, seorang ahli kesehatan masyarakat
dari Amerika Serikat, menyatakan bahwa kaus TBC merupakan Bukti kegagalan para ahi
kesehatan masyarakat, dengan adanya fakta bahwa peningkatan status ekonomi mampu
menurunkan kasus secara signifikan.

EPIDEMIOLOGI
Di negara industri di seluruh dunia, angka kesakitan dan kematian akibat penyakit TBC
menunjukan penurunan. Tetapi sejak tahun 1980-an, grafik menetap dan meningkat di
daerah dengan prevalensi HIV tinggi. Morbiditas tinggi biasanya terdapat pada kelompok
masyarakat dengan sosial ekonomi rendah dan prevalensinya lebih tinggi pada daerah
perkotaan daripada pedesaan.
Insidensi TBC di Amerika Serikat adalah 9,4 per 100.000 penduduk pada tahun1994
(lebih dari 24.000 kasus dilaporkan). Anak yang pernah terinfeksi TBC mempunyai risiko
menderita penyakit ini sepanjang hidupnya sebesar 10 %. Epodemi pernah dilaporkan pada
tempat orang-orang berkumpul seperti rumah perawatan, penampungan tuna wisma,
rumah sakit, sekolah dan penjara. Dari tahun 1989-1992 terjadi KLB multidrug resistance
(MDR) minimal terhadap INH (isoniazid) dan rifampisin di daerah tempat penderita HIV
berkumpul. KLB (kejadian luar biasa) tersebut berhubungan dengan tinghinya angka
kematian dan tingginya penularan TBC pada petugas kesehatan.
Menurut hasil SKRT (survei kesehatan rumah tangga) tahun 1986, penyakit
tuberkulosis di Indonesia merupakan penyebab kematian ke-3 dan menduduki urutan ke-10
penyakit terbanyak di masyarakat.
SKRT tahun 1992 mennjukkan jumlah penderita penyakit tuberkulosis semakin
meningkat dan menyebabkan kematian terbanyak yaitu pada urutan kedua. Prevalensi
penyakit pada akhir pelita IV sebesar 2,5 . Pada tahun 1999 di Jawa Tengah, penyakit
tuberkulosis menduduki urutan ke 6 dari 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit, sedaangkan
menurut SURKESNAS 2001, TBC menempati urutan ke-3 penyebab kematian (9,4%).
WHO memperkirakan terjadi kasus TBC sebanyak 9 juta per tahun di seluruh dunia
pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per tahun. Dari seluruh
kematian tersebut, 25 % terjadi dinegara berkembang. Sebanyak 75% dari penderita berusia
15-50 tahun (usia produktif). WHO menduga kasus TBC di Indonesia merupakan nomor 3
terbesar di dunia setelah Cina dan India. Prevalensi TBC secara pasti belum diketahui.
Asumsi prevalensi BTA (+) di Indonesia adalah 130 per 100.000 penduduk. Estimasi WHO
tentang gambaran jumlah kasus tuberkulosis di seluruh dunia dapat dilihat pada gambar
1.1.
WHO menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia 50 % nya berasal
dari negara-negara Afika dan Asia serta Amerika (Brasil). Hampir semua negara ASEAN
masuk dalam kategori 22 negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia. Dari seluruh
kasus di dunia, India menyumbang 30%, China 15%, dan Indonesia 10%.
Penyakit ini menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin, serta mulai
merambah tidak hanya pada golongan sosial ekonomi rendah saja. Profil kesehatan
Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase penderita TBC terbesar adalah usia 25-
34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08 %), 45-54 tahun
(17,48%), 55-64 tahun (12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0-14
tahun (1,31%). Gambaran di seluruh dunia menunjukkan bahwa morbiditas dan mortalitas
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, dan pada pasien berusia lanjut ditemukan
bahwa penderita laki-laki lebih banyak daripada wanita. Laporan dari seluruh provinsi di
Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230 penderita TBC BTA (+) terdapat
43.294 laki-laki (56,79%) dan 32.936 perempuan (43,21 %).
Dari seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan hanya mencapai 70,03% dari 85%
yang ditagetkan. Rendahnya angka kesembuhan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
penderita (perilaku, karaketristik, sosial ekonomi), petugas (perilaku, keterampilan),
ketersedian obat, lingkungan (geografis), PMO (pengawasa minum obat), serta virulensi dan
jumlah kuman.

ETIOLOGI
Penyebab penyakit tuberkulosis adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium bovis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron
dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam
mikolat).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna
dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan
terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga tahan dalam keadaan kering dan
dingin, bersifat dorman dan aerob.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 60 C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri
ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-
bulan), namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun 1993 melaporkan
bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali
pertukaran udara per jam.

PENULARAN
Penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui
udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TBC batuk dan percikan ludah yang mengandung
bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. Bila penderita batuk, bersin atau
berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke
dalam paru orang sehat. Masa inkubasi selama 3-6 bulan. Gambaran paru yang sehat dan paru
yang rusak karena TBc diilustrasikan pada gambaran 1.2.
Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas paparan dengan sumber infeksi
dan tidak berhubungan dengan faktor genetik dan faktor penjamu lainnya. Risiko tertinggi
berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusia di bawah 3 tahun, risisko rendah pada
masa kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa muda, dan usia lanjut.
Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah, pembuluh limfe, atau langsung ke organ
terdekatnya.

GEJALA DAN TANDA
Seseorang ditetapkan sebagai tersangka penderita tuberkulosis paru apabila
ditemukan gejala klinis utama (cardinal symtom)pada dirinya. Gejala utama pada penderita
TBC adalah :
Batuk berdahak lebih dari tiga minggu,
Batuk berdarah,
Sesak napas,
Nyeri dada.
Gejala lainnya adalah berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi/meriang,
dan penurunan berat badan.
Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse), gejala
utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus menerus selama 3 minggu atau lebih.
Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala
lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan
mikroskopis.

LABORATORIUM
Untuk menegakkan diagnosis penyakit tuberkulosis dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan
pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama.
Emtode pemeriksaan dahak (bukan liur) sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) dengan
pemeriksaan mikroskopis membutuhkan 5 mL dahak dan biasanya mengunakan
pewarnaan panas dengan metode Ziehl Neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-
Gabbet menurut Tan Thiam Hok. Bila dari dua kali pemeriksaan didapatkan hasil BTA positif,
maka pasien tersebut dinyatakan positif mengidap tuberkulosis paru.

PENGOBATAN
Pengobatan tuberkulosis paru menggunakan obat antituberkulosis (OAT) dengan
metode directly observed treatment shortcourse (DOTS).
1. Kategori I (2 HRZE/4 H3R3) untuk pasien TBC baru.
2. Kategori II (2 HRZES/HRZE/5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien pengobatan
kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh).
3. Kategori III (2 HRZ/4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+).
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap
intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+).
Obat diminum sekaligus 1 (satu) jam sebelum makan pagi.

Kategori I
a. Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan (2 HRZE) :
INH (H) : 300 mg - 1 tablet
Rifampisin (R) : 450 mg - 1 kaplet
Pirazinamid (Z) : 1500 mg - 3 kaplet @ 500 mg
Etambutol (E) : 750 mg 3 kaplet @250 mg
Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif sebanyak 60 kali. Regimen ini
disebut KOMBIPAK II.
b. Tahap lanjutan diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4 H3R3) :
INH (H) : 600 mg 2 tablet @ 300 mg
Rifampisin (R) : 450 mg 1 kaplet
Obat tersebut diminum 3 (tiga) kali dalam seminggu (intermiten) sebanyak 54
kali. Regimen ini disebut KOMBIPAK III.

KATEGORI WAKTU HASIL BTA RENCANA TINDAK
LANJUT
I Akhir tahap intensif

Negatif Diteruskan ke tahap
selanjutnya
Positif Terapkan sisipan
selama 1 bulan. Jika
hasil pemeriksaan
dahak masih (+)
maka diteruskan ke
tahap lanjutan.
Sebulan sebelum
akhir/akhir
pengobatan
2 kali pemeriksaan :
negatif
Sembuh
Positif Pengobatan gagal,
ganti ke kategori II
II Akhir intensif Negatif Teruskan ke tahap
lanjutan
Positif Terapkan sisipan
selama 1 bulan. Jika
hasil pemeriksaan
dahak masih (+)
maka diteruskan ke
tahap lanjutan.
Sebulan sebelum
akhir/akhir
pengobatan
2 kali pemeriksaan :
negatif
Sembuh
Positif Pengobatan gagal,
pasien kronis dirujuk
ke spesialis atau
mengkonsumsi INH
seumur hidup
III Akhir intensif Negatif Teruskan ke tahap
lanjutan
Positif Pengobatan diganti
dengan kategori II
Sumber : Depkes RI, Pedoman Nasional Penanggulangan TBC, 2002
PROGRAM PEMBERANTASAN
Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada strategi DOTS yang
direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat memutus rantai penularan TBC. Terdapat
lima komponen utama strategi DOTS :
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA dalam dahak.
3. Terjaminnya persediaan obat antituberkulosis (OAT).
4. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas minum obat (PMO).
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan mengevaluasi program
penanggulangan TBC.


a. Tujuan
Tujuan umum :
Memutus rantai penukaran sehingga penyakit tuberkulosis diharapkan bukan lagi
menjadi masalah kesehatan.

Tujuan khusus :
a) Cakupan penemuan kasus BTA (+) sebesar 70 %.
b) Kesembuhan minimal 85 %.
c) Mencegah multidrug resistance (MDR).

b. Sasaran
Masyarakat tersangka TBC berusia > 15 tahun.

c. Kebijakan dan strategi
a) Pengobatan untuk semua penderita baru.
b) Petugas pengelola TBC harus mengikuti pelatihan strategi DOTS.
c) Monitoring pengobatan :
Kategori I -> akhir bulan ke-2, 5, 6
Kategori II -> akhir bulan ke-3, 7, 8
Kategori III -> akhir bulan ke-2



d. Kegiatan dan langkah-langkah
a) Penemuan penderita (case finding) secara lintas program dan lintas sektor;
secara aktif (misalnya kontak survei) dan pasif.
b) Pengobatan penderita (case holding)
Pengawasan minum obat, terutama pada tahap intensif oleh puskesmas.
Perencanaan termasuk jadwal minum obat, kunjungan rumah,
pencegahan DO (drop out), dan sebagainya.
Pengamatan efek samping :
Tubuh melemah
Nafsu makan menurun
Gatal-gatal
Sesak napas
Mual dan muntah
Berkeringat dingin dan menggigil
Gangguan pendengaran dan penglihatan (biru dan merah).
Efek samping obat :
INH : neuropati perifer (dapat dikurangi dengan memberikan
vitamin B6), hepatotoksik/hepatitis.
Rifampisin : sindrom flu, hepatotoksik.
Pirazinamid : hiperurisemia, hepatotoksik.
Etambutol : neuritis optik, nefrotoksik, ruam kulit.
Streptomisin : nefrotoksik, gangguan N. VIII
Rujukan :
1. Pemeriksaan uji silang (cross check) semua slide (+) dan 10 % slide (-) ke
laboratorium rujukan.
2. Pasien dengan efek samping berat.
Kriteria kesembuhan :
1. Pemeriksaan dahak (3x dalam seminggu) dengan hasil negatif.
2. Jumlah obat yang diminum minimal 90% dari paket pengobatan.
Masa pengobatan intensif dan intermiten maksimal 9 bulan.

e. Indikator dan monitoring evaluasi
1. Cakupan penemuan kasus baru BTA (+) = (130/100.000) x jumlah penduduk.
2. Cakupan penemuan kasus tersangka TBC di antara pengunjung puskesmas = 10 %
penderita baru.
3. Angka konversi >80%.
4. Tingkat kesalahan uji silang <5%.
5. Angka kesembuhan >85%.
f. Pencatatan dan pelaporan
1. Dengan format TBC-1 sampai TBC-14 (WHO).
2. Puskesmas (pusat rujukan mikroskopis dan satelit) mencatat tetapi tidak
melaporkan, dinas kesehatan kota pusat rujukan mikroskopis mengambil catatan
ke puskesmas.
3. Yang perlu di catat minimal :
Puskesmas satelit : TBC-1, 2, 5, 6, 9, 10, 13, 14.
Puskesmas rujukan mikroskopis (PRM) : TBC-2, 4, 5, 6, 9, 10, 12, 13, 14.
Kota/kabupaten : TBC-3, 7, 11, 12.


Sumber :
Widoyono. Penyakit Tropis. Erlangga. Jakarta, 2011.

Anda mungkin juga menyukai