Anda di halaman 1dari 16

BAB III

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
cross-sectional dan menggunakan pendekatan retrospektif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara pendekatan observasi, pengumpulan data sekaligus pada
satu waktu dan menggunakan data yang lalu (Notoatmodjo, 2010).
Bahan dan sumber data dari penelitian ini diperoleh dari catatan rekam
medis, dan resep di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Langsa periode
J anuari 2011 sampai dengan Desember 2011.
2.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Studi resep dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April 2012 di
Rumah Sakit Umum Kota Langsa.
2.3 Sampel
Sampel yang diambil harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi:
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang dapat diikutsertakan
ke dalam penelitian. Yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah pasien diabetes
mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa
selama bulan J anuari 2011 Desember 2011.
Kriteria eksklusi:
Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan. Yang termasuk kriteria
Universitas Sumatera Utara
eksklusi meliputi pesien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi selain
hipertensi.
2.4 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data melalui pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap
Rumah Sakit Umum Langsa meliputi resep dan kelengkapan data pasien (seperti
umur, jenis kelamin, diagnosa, hasil pemeriksaan laboratorium).
2.5. Pengolahan Data
Data diperoleh dibuat rekapitulasi dalam sebuah tabel yang memuat
identitas pasien, diagnosis penyakit, obat yang diperoleh beserta aturan pakai dan
dosis, dan lama hari perawatan, kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk
mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi disajikan dalam
bentuk tabel.
2.6 Langkah-langkah Penelitian
Langkah penelitian yang dilaksanakan:
a. Meminta izin Dekan Fakultas Farmasi USU untuk mendapatkan izin
penelitian di Rumah Sakit Umum Langsa.
b. Menghubungi direktur Rumah Sakit Umum Langsa untuk mendapatkan
izin melakukan penelitian dengan membawa surat rekomendasi dari
fakultas.
c. Melaksanakan penelitian di bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum
Langsa, dengan mengambil data periode J anuari 2011-Desember 2011.
d. Analisis Data dan menyajikan dalam bentuk persentase.


Universitas Sumatera Utara
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan dari buku catatan rekam medis di RSUD
Langsa periode J anuari 2011-Desember 2011 diperoleh data seluruh pasien
diabetes mellitus tipe 2 di instalasi rawat inap RSUD Langsa sebanyak 91 pasien.
Data yang didapatkan dari rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 32 orang yakni pasien yang terdiagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi sedangkan 59 orang tidak memenuhi syarat sebagai subjek
(eksklusi), sehingga total subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 32
pasien, yang terdiri dari pasien laki-laki sebanyak 16 pasien dan pasien wanita
berjumlah 16 pasien. Karakteristik pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik pasien diabetes tipe 2 dengan komplikasi hipertensi
berdasarkan usia

No Usia (Tahun) Jumlah Pasien %
1 40-49 8 25
2 50-59 14 43,75
3 60-69 7 21,87
4 70-79 3 9,3

Total 32 100

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa pasien yang berusia 40-49
tahun sebanyak 8 pasien dengan persentase 25%, pasien yang berusia 50-59 tahun
sebanyak 14 pasien dengan 43,75%, pasien yang berusia 60-69 tahun sebanyak 7
pasien dengan persentase 21,87%, dan pasien yang berusia 70-79 tahun sebanyak
3 pasien dengan persentase 9,3%, dari data tersebut dapat dilihat bahwa pasien
diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi banyak terjadi pada usia 50-
Universitas Sumatera Utara
59 tahun. Data ini sejalan dengan penelitian di Makasar tahun 2004 menemukan
persentase pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan hipertensi terbesar pada
kelompok umur 50-59 tahun (Fasli, dkk., 2008).
4.1 Penggunaan Obat Antidiabetik
Frekuensi penggunaan antidiabetik pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan
J anuari 2011 Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Frekuensi penggunaan obat antidiabetik pada pasien diabetes mellitus
tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa

NO Nama Obat Frekuensi %
1 Antidiabetik Parenteral
a. Actrapid
b. Novomix
c. Levemir
d. Novorapid

5
4
7
2

10
8
14
40

Jumlah 18 36
2 Antidiabetika Oral
a. Glucodex (gliklazid)
b. Gimepirid
c. Glibenklamide
d. Gliquidone
e. Metformin

12
2
2
3
13

24
4
4
6
26

Jumlah 32 64

Total 50 100

Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa ditemukan 50 penggunaan obat
antidiabetik, dan dapat dilihat ada pasien yang mendapatkan lebih dari satu
macam obat antidiabetik. Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pasien
banyak mendapatkan obat antidiabetik oral (64%) dari pada terapi insulin (36%).
Hal ini disebabkan karena defisiensi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2
hanya bersifat relatif, jadi dalam penanganannya umumnya tidak memerlukan
terapi pemberian insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).
Universitas Sumatera Utara
4.2 Penggunaan Obat Antihipertensi
Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus
tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama
bulan J anuari 2011 Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Frekuensi penggunaan obat antihipertensi pada pasien diabetes mellitus
tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD
Langsa

NO Nama Obat Frekuensi %
1 Antihipertensi Parenteral
Furosemid Injeksi

5

8,62

Jumlah 5 8,62
2 Antidiabetika Oral
a. Captropil
b. Furosemid
c. Amlodipine
d. Diltiazem
e. Bisoprolol
f. Propanolol
g. Valsartan
h. Noperten (Lisinopril)
i. Adalat oros (Nifedipine)
j. Spironolakton
k. Hidroklortiazid
l. Ramipril

16
7
6
2
5
2
1
3
1
2
3
5

27,58
12,06
10,34
3,44
8,62
3,44
1,75
5,17
1,75
3,44
5,17
8,62

Jumlah 53 91,38

Total 58 100

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa ditemukan 58 penggunaan obat
antihipertensi, dari tabel dapat kita lihat ada penderita yang mendapatkan obat
antihipertensi lebih dari satu macam obat. Berdasarkan tabel di atas diketahui
bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi banyak
mendapatkan captropil sebagai antihipertensi. Penggunaan captropil pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 dapat mencegah kardiovaskular dan memperlambat
progress penyakit ginjal kronis (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2006).
Universitas Sumatera Utara
4.3 Identifikasi Drug Related Problems (DRPs)
Kriteria Drug Related Problems (DRPs) yang dinilai pada penelitian ini
adalah menurut Cipolle, dkk., (2004) yaitu:
1. Butuh terapi tambahan
2. Terapi obat yang tidak perlu
3. Terapi obat tidak efektif
4. Dosis terlalu rendah
5. Reaksi obat yang merugikan
6. Dosis terlalu tinggi
7. Kepatuhan pasien














Universitas Sumatera Utara
Hasil identifikasi masing-masing kriteria Drug Related Problems (DRPs)
dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi pada penderita diabetes
melllitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap
RSUD Langsa selama bulan J anuari 2011 Desember 2011

No Jenis-jens DRPs
DRP (+) DRP (-) Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Butuh terapi tambahan 5 15,61 27 84,37 32 100
2 Terapi obat yang tidak perlu 13 40,62 19 59,37 32 100
3
Terapi obat yang tidak
efektif
16 50 16 50 32 100
4 Dosis terlalu rendah 1 3,12 31 96,87 32 100
5 Reaksi obat merugikan 10 31,24 22 68,75 32 100
6 Dosis terlalu tinggi 2 6,25 30 93,75 32 100
7 Kepatuhan pasien - - - - - -

Keterangan : DRPs (+) =Terjadi Drug Related Problems
DRPs (-) =Tidak terjadi Drug Related Problems

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat kriteria Drug Related Problems
(DRPs) yang ditemukan adalah butuh terapi tambahan 15,61%, terapi obat yang
tidak perlu (40,62%), terapi obat yang tidak efektif (50%), dosis terlalu rendah
(3,12), reaksi obat merugikan (31,24%), dosis terlalu tinggi (6,25%).
4.3.1 Butuh terapi tambahan
Butuh terapi tambahan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan
J anuari 2011 Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.5.





Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.5 Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang terjadi pada penderita
diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat
inap RSUD Langsa selama bulan J anuari 2011 Desember 2011

No Penyebab Obat Jumlah %

Butuh terapi tambahan untuk
mendapatkan efek sinergisme
Glucodex
KGDS I : 347
KGDS II : 285
1 3,12
Actrapid Inj
KGDS I : 513
KGDS II : 422
1 3,12
Metformin
KGDS I : 311
KGDS II : 261
1 3,12
Captropil
TD I : 190/100
TD II : 160/80
TD I : 180/90
TD II : 160/70
2 6,25
Jumlah 5 15,61

Keterangan KGDS I : Kadar Gula Dalam Darah Sewaktu hari pertama masuk
rumah sakit (mg/dl).
KGDS II : Kadar Gula Dalam Darah Sewaktu hari kedua di rumah
Sakit (mg/dl).
TD I : Tekanan Darah hari pertama masuk rumah sakit.
TD II : Tekanan Darah hari kedua masuk rumah sakit.

Pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pasien yang membutukan terapi
tambahan untuk mencapai efek sinergisme adalah 15,61%. Pasien dengan kondisi
kesehatan yang membutuhkan kombinasi farmakoterapi untuk mencapai efek
sinergisme pada penelitian ini didapatkan 3 kasus pada pasien dengan kadar gula
darah sewaktu yang tinggi waktu pertama masuk rumah sakit yang diberikan
terapi obat tunggal antidiabetik oral glucodex (KGDS 347 mg/dl), metformin
(KGDS 311 mg/dl) dan antidiabetik parenteral (insulin) actrapid injeksi (KGDS
531 mg/dl) hari kedua dirumah sakit kadar gula darah pasien tidak menunjukkan
penurunan secara berarti tetapi tidak diberikan kombinasi obat untuk mencapai
Universitas Sumatera Utara
efek sinergisme. Kombinasi insulin dan sulfonilurea ternyata lebih baik daripada
hanya insulin, dan dosis insulin yang diperlukan ternyata lebih rendah. Dengan
memberikan insulin kerja sedang dimalam hari produksi glukosa hati di malam
hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat lebih rendah.
Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian
sulfonilurea. Kombinasi sulfonilurea dan metformin juga merupakan kombinasi
yang rasional karena keduanya memiliki cara kerja yang berbeda dan saling aditif,
sehingga dapat menurunkan kadar glukosa lebih banyak daripada pengobatan
tunggal (Soegondo, 2010).
Pada penelitian ini juga didapatkan 2 kasus pasien yang tidak
mendapatkan tambahan terapi obat pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi
waktu pertama masuk rumah sakit diberikan terapi obat tunggal captropil (TD
190/100 mm/Hg dan 180/90 mm/Hg), hari kedua pasien dirumah sakit juga tidak
menunjukkan penurunan tekanan darah secara berarti. Sebaiknya pasien diberikan
terapi kombinasi, karena kebanyakan pasien diabetes membutuhkan tiga atau
lebih terapi kombinasi antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah
optimal. Pada pasien yang membutuhkan terapi kombinasi, Calcium Chanel
Blocker (CCB) merupakan obat yang berguna untuk dikombinasikan dengan
antihipertensi yang lain (Saseen dan Carter, 2005).
4.3.2 Terapi obat yang tidak perlu
Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan
J anuari 2011 Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.6 Terapi obat yang tidak perlu yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa
selama bulan J anuari 2011 Desember 2011

No Penyebab Obat Jumlah %
Penggunaan obat tidak
sesuai dengan kondisi
penyakit
Cefotaxime Inj 3 15,61
Ceftriaxone Inj 2 6,25
Ciprofloxain Inj 1 3,12
Ciprofloxain Tab 1 3,12
Lansoprazole 1 3,12
Omeprazole 1 3,12
Ranitidin 4 12,5
Jumlah
13 40,62

Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa terapi obat yang tidak perlu
didapatkan 13 kasus yang disebabkan oleh penggunaan obat tidak sesuai dengan
kondisi penyakit 40,62%.
Pada Tabel 4.6 penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit
yaitu pemberian antibiotik, antibiotik seharusnya tidak diberikan karena
berdasarkan rekam medik tidak ada data yang menunjukkan pasien mengalami
infeksi. Antibiotik adalah senyawa yang digunakan untuk menghambat dan
membunuh bakteri, oleh karena itu hanya diberikan antibiotik jika mengalami
penyakit yang disebabkan oleh infeksi (Anonim, 2011). Penggunaan antibiotik
yang berlebihan akan menyebabkan resistensi, sehinnga harus diberikan sesuai
dengan kondisi yang dialami pasien (Katzung, 2004). Berdasarkan hal tersebut,
sebaiknya pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi yang
tidak mengalami infeksi tidak perlu diberikan antibiotik.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan obat tidak sesuai dengan kondisi penyakit juga ditemukan
pemberian obat saluran cerna (lansoprazole, omeprazole, ranitidine) berdasarkan
rekam medik pasien tidak mengalami gangguan lambung.
4.3.3 Terapi obat tidak efektif
Terapi obat tidak efektif yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan
J anuari 2011 Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Terapi obat yang tidak efektif yang terjadi pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di instalisasi rawat inap
RSUD Langsa selama bulan J anuari 2011 Desember 2011

No Penyebab Obat Jumlah %

Bukan obat yang paling
efektif
HCT 3 9,37
Furosemid tab 7 21,87
Furosemid Inj 5 15,61
Captropil
1 3,12
Jumlah 16 50%

Berdasarkan Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa terapi yang tidak efektif yang
terjadi disebabkan oleh pemberian obat yang diberikan bukan yang paling efektif
yaitu 15 kasus dengan persentase 46,87%.
Tabel 4.7 menunjukkan pemberian obat bukan yang paling efektif sebagai
antihipertensi yang paling banyak ditemukan adalah furosemid tablet pada 7
pasien 21,87% dan furosemid injeksi pada 5 pasien 15,61%. Furosemid dapat
menyebabkan gangguan toleransi glukosa pada penderita diabetes, ini disebabkan
karena efek samping dari furosemid yaitu hipokalemia. Hipokalemia dapat
mengakibatkan gangguan respon insulin terhadap glukosa pada fase 1 dan fase 2
sehingga akan terjadi gangguan toleransi glukosa (Anonim, 2009). Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
hal tersebut maka pemberian furosemid sebaiknya diganti dengan diuretik lain
yaitu spironolakton tanpa dikombinasi dengan captropil.
Pemberian obat bukan yang paling efektif juga terjadi pada pemberian
terapi hidroklortiazid sebagai antihipertensi. Hidroklortiazid dapat menghambat
pengeluran insulin dari pankreas sehingga dapat menaikkan kadar gula darah
(Stockley, 1999). Berdasarkan hal tersebut maka pemberian hidroklortiazid
diganti dengan dengan diuretik yang lain seperti spironolakton tanpa dikombinasi
dengan captropil.
Terapi obat yang tidak efektif ditemukan juga pada pemberian captropil
yang diketahui dengan diagnosa awal pasien mengalami batuk kering (lihat
lampiran 1, no.9), captropil mempunyai efek samping berupa batuk kering,
penyebabnya mungkin adalah baradikinin dan prostaglandin di saluran nafas dan
paru-paru, yang seharusnya dirombak oleh Angiostensin Converting Enzim (ACE)
tetapi akibat penghambatannya berakumulasi disitu (Tjay dan Kirana, 2002).
Berdasarkan hal tersebut sebaiknya captropil diganti dengan valsatran karena
tidak mempunyai efek samping berupa batuk kering.
4.3.4 Dosis terlalu rendah
Dosis terlalu rendah yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2 dengan
komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan januari
2011 Desember 2011 ditemukan 1 kasus dengan persentase 3,12%.
Dosis terlalu rendah pada penelitian ini disebabkan frekuensi yang tidak
tepat pada pemberian terapi asam folat. Meningkatnya kadar glukosa yang tidak
terkontrol pada penderita diabetes akan menyebabkan komplikasi, faktor risiko
yang yang berperan untuk terjadinya komplikasi salah satunya adalah
Universitas Sumatera Utara
hipermosistein (Hcy), dengan pemberian asam folat dengan dosis yang tinggi akan
menurunkan kadar hipermosistein (Hcy) dan akan meningkatkan fungsi endotel
arteri secara signifikan (Rahayu, 2011). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya
frekuensi pemberian asam folat diberikan tiga kali sehari.
4.3.5 Reaksi obat yang merugikan
Reaksi obat merugikan yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan komplikasi hipertensi ditemukan ditemukan 5 kasus dengan persentase
28,12% di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan J anuari 2011
Desember 2011 dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8 Reaksi obat yang merugikan yang terjadi pada pasien diabetes tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa
selama bulan J anuari 2011 Desember 2011.

No Penyebab Obat Jumlah %
1 Interaksi Obat
Propanolol - Glucodex 2 6,25
Captropil -
Spironolakton
2 6,25
Diltiazem-Bisoprolol 1 3,12
Jumlah
5 15,62
2 Kontraindikasi dengan
penderita hipertensi
NaCL 0,9%
5 15,62

Berdasarkan Tabel 4.8 reaksi obat yang merugikan pada penelitian ini
ditemukan karena interaksi obat antara propanolol dan glucodex (gliklazid) 2
kasus ( 6,25%). Propanolol dapat menyebabkan peningkatan kerja dari glucodex
dalam menurunkan kadar glukosa darah karena propanolol dapat menstimulasi
beta 2 yang menyebabkan stimulasi sekresi insulin sehingga akan terjadi
hipoglikemia (Haryono, 2006). Berdasarkan hal di atas sebaiknya propanolol
diganti betablocker lainnya seperti bisoprolol.

Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini juga ditemukan interaksi obat antara captropil dan
spironolakton yang ditemukan 2 kasus (6,25%). Interaksi captropil dan
spironolakton dapat menyebabkan hiperkalemia. Captropil dapat mengurangi
aldosteron dan dapat menaikkan konsentrasi kalium sedangkan spironolakton
merupakan diuretik hemat kalium yang mempunyai efek samping hiperkalemia
interaksi kedua obat ini dapat menyebabkan meningkatnya hiperkalemia (Ditjen
Bina Farmasi dan Alkes, 2006). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya captropil
dikombinasi dengan antihipertensi yang lain seperti valsartan.
Interaksi obat ditemukan juga pada pemberian terapi kombinasi
antihipertensi yang kurang tepat yaitu pemberian bisoprolol yang merupakan
golongan beta blocker dan diltiazem golongan antagonis kalsium, kombinasi ini
akan menyebabkan meningkatnya risiko heart blok. Apabila penyekat beta seperti
bisoprolol harus dikombinasi dengan antagonis kalsium, sebaiknya dipilih
dihidropirin untuk mencegah terjadinya peningkatan heart blok (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2006).
Reaksi obat yang merugikan juga didapatkan karena kontraindikasi yang
diberi terapi NaCl 0,9%. NaCl 0,9% dapat menaikkan tekanan darah pada pasien
diabetes dengan hipertensi. Ion natrium mengakibatkan retensi air sehingga
volume darah bertambah menyebabkan tekanan darah meningkat (Tjay dan
Rahardja, 2002).
4.3.6 Dosis terlalu tinggi
Dosis terlalu tinggi yang terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan komplikasi hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Langsa selama bulan
J anuari 2011 Desember 2011 ditemukan 2 kasus 6,25% yaitu frekuensi yang
Universitas Sumatera Utara
tidak tepat pada pemberian terapi glibenklamide dua kali sehari. Glibenklamide
mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut, tetapi pada pemakaian
jangka lama misalnya lebih dari 12 minggu masa paruhnya memanjang sampai 12
jam (Soegondo, 2010). Berdasarkan hal tersebut sebaiknya frekuensi pemberian
glibenklamide diberikan satu kali sehari saja.
4.3.7 Kepatuhan pasien
Kepatuhan pasien pada penelitian ini tidak dapat diteliti, hal ini disebabkan
karena penelitian ini menggunakan data yang lalu (retrospektif). Kepatuhan pasien
dapat diteliti apabila menggunakan data-data yang sekarang (prospektif).















Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan Drug Related Problems
(DRPs) pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi hipertensi di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Langsa yaitu butuh terapi tambahan
15,61%, terapi obat yang tidak perlu 40,62%, terapi obat yang tidak efektif 50%,
dosis terlalu rendah 3,12%, reaksi obat yang merugikan 31,24%, dan dosis yang
tinggi 6,25%.

1.2 Saran
1. Untuk meningkatkan terapi pengobatan pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan komplikasi hipertensi maka diharapkan Apoteker bekerja sama
dengan Dokter sehingga prevalensi Drug Related Problems (DRPs) dapat
menurun secara signifikan.
2. Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meniliti Drug Related
Problems (DRPs) dengan kasus lain sehingga diperoleh data yang lebih
lengkap.






Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai