Anda di halaman 1dari 2

GAGAL CLOSING AKIBAT GEBUKIN TEMAN SEKELAS

GAGAL CLOSING AKIBAT GEBUKIN TEMAN SEKELAS






www.JinProperti.com - Suatu siang di kantor Godha Properti Yogya kedatangan 3 tamu sekaligus secara
berbarengan. Ini hal yang jarang dan langka. Mengingat produk yang kami pasarkan berharga 800 jutaan
dan bahkan 1,5 milyar, maka konsumennya sangat terbatas dan tipis. Sehari ada call 3x sudah bagus, dan
seminggu ada 3 tamu datang ke kantor sudah disyukuri.

Data profil pembeli kami adalah orang-orang yang berpenghasilan lebih dari 40 juta/bulan, dan mereka ini
type konsumen kelas atas yang lebih suka didatangi ketimbang mendatangi kantor kami. Kami biasanya
dapat prospek dari pameran, dan kemudian sales kami yang memfollow up mereka secara personal selling.

2 sales kami sedang sibuk handle customer, dan 1 tamu terakhir tak ada yg handle. Di kantor yang standby
staf perijinan, drafter, office boy, dan staf keuangan. Kemampuan mereka handle konsumen meragukan
karena mereka tak punya selling skill. Akhirnya saya ambil inisiatif turun tangan sendiri menghandle
konsumen. Tentu saja dengan jurus andalan: Probing - Supporting - Closing.

Tak sampai 20 menit, konsumen tersebut sudah merasa tertarik dengan benefit yang dimiliki produk kami,
dan dia sudah saya jerat dengan teknik closing tingkat tinggi. Dia sudah mengatakan 'yes' dan siap bayar
UTJ (uang tanda jadi). Bahkan gerak tubuhnya saat itu sudah membuka dompet dan siap menyerahkan KTP
untuk dicopy.

Sayang sekali, mendadak ada telepon dari sekolah anaknya, dan dari pembicaraan yang saya ikut dengar,
sepertinya anak bapak tadi berantem di sekolahan dan gebukin teman sekelasnya, sehingga pihak sekolah
meminta si bapak segera hadir ke sekolah untuk menyelesaikan urusan saat itu juga. Dengan muka merah
padam dan wajah stres, konsumen tadi langsung pamit dan pergi tanpa banyak basa basi. Yeah .., gagal
closing deh. Tapi semoga bapak tadi di lain waktu balik lagi ke kantor kami, karena tadi kami belum sempat
mencatat identitasnya.

Sobat properti, hal aneh yang membuat kantor kami mendadak ramai didatangi konsumen serta telepon
berdering-dering bukanlah sebuah hal yang kebetulan saja. Penyebabnya sudah kami deteksi, yaitu strategi
kami menurunkan uang muka yang harus dibayarkan oleh konsumen.

Jika sebelumnya untuk produk kokostel 12 kamar kami menetapkan UM 600 juta yang diangsur 6 bulan,
maka sekarang kami hanya berlakukan UM 199 juta yang bisa diangsur 6 bulan juga. Untuk produk guest
house 5 kamar yang semula kami tetapkan UM minimal 250 juta diangsur 6 bulan, sekarang kami revisi
menjadi UM hanya 99 juta saja, yang tetap bisa diangsur selama 6 bulan.

Alasan kami dulu menetapkan uang muka dalam nilai cukup tinggi adalah supaya uang muka yang masuk
mampu mengcover kebutuhan biaya konstruksi untuk membangun unit yang dibeli oleh konsumen.
Ceritanya kami sebagai developer tak mau keluar modal untuk bangunan. Nyatanya kebijakan
mengamankan cashflow ini justru seret dan menghambat laju penjualan.

Sekarang kami ubah kebijakan menurunkan uang muka. Hasilnya cukup memuaskan, LEAD (prospek) kami
meningkat pesat. Membidik konsumen yang mampu mengangsur 250 juta (produk guest house) atau 600
juta (produk kokostel) dalam waktu 6 bulan memang berat. Tapi menyasar konsumen yang mampu
mengangsur 99 juta (produk guest house) atau 199 juta (produk kokostel) dalam waktu 6 bulan relatif lebih
mudah. Buktinya merevisi kebijakan ini membuat sales kami menjadi lebih sibuk dan banyak mendapatkan
prospek.

Kesimpulan apa yang pantas ditarik pelajaran dari kasus diatas? Yaitu; STRATEGI UANG MUKA RENDAH
adalah jurus paling manjur yang pantas diterapkan dalam pricing strategy kita. Dalam kasus lain, proyek
RSH Kampoeng Pelangi yang saya pasarkan di Jepara mampu menjual 140 unit dalam 2 bulan juga karena
memakai jurus UM Ringan, yaitu hanya 1,8 juta saja yang bisa diangsur 3 bulan atau hanya 600.000/bulan.

Karakter orang Indonesia adalah karakter hidup konsumtif. Cenderung boros dan membelanjakan
penghasilan sebulan untuk kebutuhan sebulan. Sedikit sekali yang punya kebiasaan menabung. Biasanya
punya tabungan sedikit sudah tergiur dibelanjakan untuk 'keinginan' (bukan kebutuhan), atau
diinvestasikan untuk sebuah usaha.

Sehingga kebijakan meminta konsumen membayar UM dalam nilai besar lebih sulit dipenuhi. Sedangkan
menetapkan UM dalam nilai kecil relatif lebih mampu dipenuhi oleh konsumen. Dua contoh kasus di
proyek yang berbeda (satunya RSH harga 70 jutaan, satunya harga 800 jutaan dan 1,5 milyar) menjadi bukti
bahwa strategi UM kecil adalah strategi yang terbukti manjur untuk menjerat konsumen.

Coba anda lihat pameran-pameran properti. Stand pameran dengan selling point 'DP 0%' atau 'DP Ringan'
biasanya lebih banyak pengunjungnya daripada yang memasang strategi konservatif dengan meminta UM
20% atau 30%.

Ssst, jangan bertanya bagaimana mungkin UM kecil dibawah standar regulasi yang ditetapkan perbankan
akan bisa disetujui plafond kreditnya (KPR). Itu akan dikupas di artikel lainnya.

- See more at: http://ariwibowojinproperti.blogspot.com/2013/04/gagal-closing-akibat-gebukin-
teman.html#sthash.TtvqI8Dk.dpuf

Anda mungkin juga menyukai