secara intrinsik adalah religius dalam arti bahwa kebutuhan terhadap sistem pengarahan dan pemujaan bersifat universal. Fromm menyatakan bahwa tidak ada orang yang tanpa kebutuhan keagamaan, kebutuhan untuk pengarahan dan sasaran pemujaan. Persoalannya bukanlah agama atau bukan, tetapi agama macam apa, apakah agama itu mendukung perkembangan manusia, memekarkan kekuatan-kekuatan khas manusia, atau melumpuhkannya.
Fromm memberi nama agama orang yang belum matang dan dewasa sebagai agama yang otoritarian. Kekuasaan, pengawasan, penyerahan, dan ketaatan menjadi ciri agama semaca itu. Kebebasan pribadi dikorbankan lewat penyerahan kepada kekuasaan yang mengatasi. Tetapi lebih buruk lagi kekuasaan itu dianggap layak menerima ketaatan. Ketaatan menjadi keutamaan utama. Ketidaktaatan merupakan dosa pokok.
Keutamaan merupakan perwujudan atau realisasi diri, bukan penyerahan dan ketaatan. Sejauh agama humanistis itu teistis dan bertumpu pada Tuhan, Tuhan merupakan lambang kekuasaan manusia sendiri yang diusahakan menjadi terwujud dalam hidupnya, dan bukanlah lambang pemaksaan dan dominansi, karena memilik kekuasaan atas manusia. Tahap Keutamaan Pecaya vs. Tidak Percaya Harapan Otonomi vs. Malu dan Ragu-ragu Kekuatan, Kehendak Inisitif vs. Rasa Bersalah Tujuan Usaha vs. Rasa Rendah Diri Kemampuan Identitas vs. Kekacauan Peran Kesetiaan Intimasi vs. Isolasi Cinta Generatifitas vs. Stagnasi Perhatian Integritas Ego vs. Putus Asa Kebijaksanaan Dua model Erikson yang penting adalah konsep kembarnya epigenesis dan keutamaan (virtue).
Dengan istilah epigenesis, Erikson memaksudkan munculnya tahap hidup yang satu dari tahap hidup yang lain. Delapan tahap itu berkembang berurutan. Penyelesaian secara psikologis atas masalah dalam satu tahap hidup menyiapkan jalan untuk munculnya tahap hidup berikutnya. Harapan merupakan dasar atau basis bagi segala kekuatan. Sebegitu harapan itu muncul, jalan untuk tahap berikutnya (epigenesis) disiapkan dengan masalah dan kemungkinan khasnya sendiri.
Karya Erikson berpusat pada pengembangan delapan tahap hidup manusia. Perhatiannya mendorong ramainya pembicaraan baik secara ilmiah maupun populer tentang identitas dan krisis identitas.
Erikson mengerti perjuangan pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan kekacauan peran. Pada waktu orang remaja menemukan siapa dirinya yang sebenarnya atau identitas diri, tumbuhlah kemampuan untuk mengikat kesetiaan pada suatu pandangan, ideologi.
Dalam bukunya yang cukup penting Young Man Luther , Erikson menerapkan metode psikoanalisisnya pada pengalaman pembaharu muda itu.
Buku itu bermaksud mengevaluasi seluruh hidup Luther, tetapi memusatkan perhatian pada krisis identitas masa remajanya, masa di mana dia berusaha untuk menciptakan bagi dirinya perspektif atau pandangan dn arah sentral, suatu kesatuan kerja, dari sisa masa kanak-kanaknya dan harapan masa dewasa yang ditunggu-tunggu. Erikson menguraikan topiknya secara hati-hati karena sadar akan keterbatasan penafsiran yang didasarkan dokumen yang tertulis tanpa dapat dikoreksi dengan kontak tatap muka dengan Luther sendiri.
Erikson tidak berpendirian bahwa dirinya mengerti sepenuhnya agama Luther, tetapi melangkah dalam uraiannya dengan pengandaian bahwa dia dapat menjelaskan proses yang dilalui Luther sehingga mencapai kesadaran jelas tentang identitasnya dan ideologi yang mendukung identitas itu. Erikson menguraikan topiknya secara hati-hati karena sadar akan keterbatasan penafsiran yang didasarkan dokumen yang tertulis tanpa dapat dikoreksi dengan kontak tatap muka dengan Luther sendiri.
Dari catatan yang terbatas Erikson berusaha menggali pola-pola kompleks yang dipergunakan Luther untuk memperoleh dari ibunya pengalaman percaya yang dasariah, mengatasi hubungan dengan bapaknya dengan patuh, bergulat dengan kekacauan identitasnya. Bagi Luther pertumbuhn pribadi dan peziarahan keagamaan sedemikian erat berhubungan sehingga tidak mungkin dipisahkan. Erikson menyatakan, ciri khas kemajuan teologis Luther dapat disamakan dengan langkah-langkah tertentu dalam pendewasaan atau pematangan psikologisnya jalan mana yang harus ditempuh orang.
Taat kepada siapa :Tuhan, Paus, Kaisar? Kepada bapak dagingnya, atau Bapa di surga? Kehidupan Luther di dalam biara ditandai oleh perjuangan hebat dalam dirinya antara kekuatan-kekuatan yang membangun atau konstruktif, dan kekuatan-kekuatan yang merusak atau destruktif, dan antara kemungkinan maju atau progresif, dan mundur atau regresif. Uraian Erikson tentang peziarahan keagamaan Luther merupakan penerapan model psikoanalisisnya pada pengalaman keagamaan. Seperti para psikoanalisis yang mendahuluinya, Erikson menambah wawasan tentang hubungan erat antara pertumbuhan psikologis dan keterlibatan keagamaan, yang saling membentuk kepribadian secara keseluruhan.