Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN

Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, masih
terdapat angka kematian 10%. Faring tetap merupakan daerah paling tersering
untuk infeksi ini. Penyakit lebih sering pada individu yang tidak diimunisasi
atau imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang mendapat imunisasi yang
adekuat mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh tahun
atau lebih. Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di
samping itu, pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Keadaan imunisasi
tidak mempunyai efek terhadap keluhan yang terjadi.
1
Pemeriksaan yang khas menunjukkan membran yang khas terjadi di atas
daerah tonsila dengan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak
kotor dan berwarna hijau tua dan bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila.
Perdarahan terjadi pada pengangkatan membran yang berbeda dengan
penyebab faringitis membranosa lain.
1
Organisme penyebab adalah strain toksigenik dari Corynebacterium
diphteriae. Sediaan apus nasofaring dan tonsila diperoleh dan diletakkan dalam
medium transport yang kemudian dibiakan pada agar MacConkey atau media
Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk toksigenitas.
1
Penanganan penyakit terdiri dari dua fase: (1) penggunaan antitoksin
spesifik dan (2) eliminasi organisme dari orofaring. Sebelum antitoksin
diberikan, pasien sebaiknya diuji untuk sensitivitas terhadap serum. Pasien
sebaiknya menerima 40.000 sampai 80.000 unit antitoksin yang dilarutkan
dalam cairan saline normal diberikan secara perlahan melalui intravena. Terapi
antibiotik dalam bentuk penisilin dan eritromisin dimulai dari untuk
menyingkirkan keadaan karier. Biakan ulang sebaiknya dilakukan untuk
memastikan pasien tidak mengandung organisme dalam faring. Menetapnya
organisme membutuhkan pengobatan yang lama dengan eritromisin.
1
2

Komplikasi dari difteri adalah biasa dan pasien yang mengalami obstruksi
jalan nafas membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot
dapat terjadi dan proses peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan
otitis media atau ke paru-paru menyebabkan pneumonia.
1



























3

BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI DAN FISOLOGI TENGGOROKAN

II.1.Embriologi
Rongga mulut, faring dan esofagus berasal dari foregut embrionik.
Foregut juga berkembang menjadi rongga hidung, gigi, kelenjar liur, hipofise
anterior, tiroid dan laring, trakea, bronkus, dan alveoli paru. Mulut terbentuk
dari stomodeum primitif yang merupakan gabungan ektodermal dan
endodermal, yan membelah. Bibir bagian atas dibentuk oleh bagian prosesus
nasalis medial dan lateral dan prosesus maksilaris. Celah bibir biasanya tidak
terletak di garis tengah tetapi di lateral dari prosesus nasalis media, yang
membentuk premaksila. Bibir bagian bawah berkembang dari bagian
prosesus mandibula. Otot bibir berasal dari daerah brankial kedua dan
dipersarafi oleh saraf fasialis. Batas vermilion bibir tampak seperti busur;
takik pada busur ini merupakan cacat kosmetik yang sangat nyata.
2
Gigi berasal dari lamina dentalis, yang berkembang menjadi sementum
dan enamel dari gigi tetap. Perkembangan gigi manusia dari gigi susu sampai
pertumbuhan gigi molar ketiga dewasa berhubungan dengan usia penderita,
dan grafik dapat mengikuti pertumbuhan gigi yang normal. Terdapat
beberapa macam kista dan tumor jinak maupun ganas yang beasal dari sisa
lamina dentalis. Gigi dipersarafi oleh cabang dari saraf trigeminus cabang
maksilaris dan mandibularis. Pada rahang atas, ada beberapa variasi dan
tumpang tindih pada daerah yang dipersarafi oleh cabang saraf maksilaris.
2
Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan
berasal dari prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum
durum dan palatum mole, dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum.
Oleh karena itu, celah palatum terdapat garis tengah belakang tetapi dapat
terjadi kearah maksila depan. Pada tahap pertama, lempeng palatum terdapat
dilateral lidah dan jika lidah tidak turun maka lempeng palatum tidak dapat
4

menyatu. Hal ini merupakan dasar di mana celah palatum berhubungan
dengan mikrognasia dari Sindrom Pierre Robin.
2
Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian
depan terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh
saraf lingualis, dengan cabang korda timpani dari saraf fasialis yang
mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar submandibula. Saraf
glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian belakang. Otot
lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi ke depan, bersama
saraf hipoglosus. Migrasi saraf hipoglosus diduga mempunyai hubungan
denga fistula brankial. Tiroid berkembang dari foramen sekum yang terdapat
di lidah bagian belakang dan bermigrasi sepanjang duktus tiroglosus ke leher.
Jika migrasi ini tidak terjadi, mengakibatkan tiroid lingualis. Sisa dari duktus
tiroglosus dapat menetap, dan letaknya di belakang korpus tulang hyoid.
2
Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut dan terletak
dekat sebelah depan saraf-saraf penting. Duktus submandibularis dilalui oleh
saraf lingualis. Saraf fasialis melekat pada kelenjar parotis.
2
Leher pada masa embrio awal tidak ada leher yang jelas, memisahkan
toraks dari kepala. Leher dibentuk seperti jantung, di mana berasal dari
dibawah foregut, yang bermigrasi ke rongga toraks dan aparatus brankial
berkembang menjadi bentuk yang sekarang. Migrasi dari jantung merupakan
sebab mengapa beberapa struktur dari leher bermigrasi terakhir. Pada masa
embrio awal terdapat beberapa tonjolan sepanjang tepi dari foregut yang
juga dapat dilihat dari luar. Tonjolan ini adalah aparatus brankialis.
2
Meskipun secara filogenetik terdapat enam arkus brankialis, arkus
kelima tidak pernah berkembang pada manusia, dan hanya membentuk
ligamentum arteriosum. Hanya empat arkus yang dapat dilihat dari luar.
Setiap arkus brankialis mempunyai sepotong kartilago, yang berhubungan
dengan kartilago ini adalah arkus arteri, saraf, dan beberapa mesenkim yang
akan membentuk otot. Dibelakang setiap arkus terdapat alir eksternal yang
5

terdiri dari ektodermal. Daerah diantara ektodermal dan endodermal dikenal
dengan lempeng akhir.
2
Bagian dari stuktur yang disebut diatas berkembang menjadi struktur
dewasa yang tetap. Bagian yang seharusnya hilang dapat menetap dan
membentuk struktur abnormal pada dewasa. Derivat normal dari aparatus
brankialis (dicatat pada tabel 1). Sebaiknya dicatat bahwa celah ektodermal
dan kantong endodermal terdapat dibelakang arkus kartilago, arteri, dan
saraf.
2
Tabel 1. Derivat dari aparatus brankialis.
2
I II III IV V
Kartilago

Maleus
Inkus
Ligamentum
sfenomandibularis
Mandibula (dalam
membran sekitar
kartilago)
Stapes
Stiloid
Ligamentum
stilohyoidea

Kornu
mayor
Korpus
hioid bagian
bawah
Korpus
hioid
Tiroidea

Krikoidea

Arteri Meningea media Cabang post-
aurikularis
stilomastoidea
Stapedia
persisten
Karotis
komunis
dan interna

Arkus aorta
Ligamentum
arteriosum
Subklavia
kanan
Arteri
pulmonal


Saraf

Mandibularis Fasialis Glosofaring
eal
Laringeus
superior
Laringeus
rekurens
6

Otot Pengunyah

Tensor timpani
Tensor veli
palatini
Milohiodea
Digastrikus
anterior
Ekspresi wajah
Stapedius
Aurikularis

Stilohiodea
Digastrikus
posterior
Stilofaringe
us
Krikotiroid Otot
intrinsik
laring
Ekto
dermal
Kanalis eksterna
Membran timpani
eksterna

Endo
dermal
Tuba eustachius
Telinga tengah
Sel-sel udara
mastoid
Celah diatas
tonsila


II.2. Anatomi
Pada anatomi, tenggorokan bagian dari leher depan sampai kolumna
vertebra. Terdiri dari faring dan laring. Bagian yang terpenting dari
tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika ada makanan dan minuman
yang lewat dan akan menuju ke esophagus. Tenggorakan jika dipendarahi
oleh bermacam-macam pembuluh darah, otot faring, trakea dan esophagus.
Tulang hyoid dan klavikula merupakan salah satu tulang tenggorokan untuk
mamalia.
2

7

II.2.1 Rongga mulut
Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut
terletak di depan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar
lidah. Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris
yang dipersarafi oleh saraf fasilais. Vermilion berwarna merah karena di tutupi
oleh lapisan tipis epitel skuamosa. Ruangan di antara mukosa pipi bagian
dalam dan gigi adalah vestibulum oris. Muara duktus kelenjar parotis
menghadap gigi molar kedua atas.
2
Gigi ditunjang oleh krista alveolar mandibula dibagian bawah dan krista
alveolar maksila di bagian atas. Gigi pada bayi terdiri dari dua gigi seri, satu
gigi taring dan dua gigi geraham. Gigi dewasa terdiri dari dua gigi seri dan
satu gigi taring, dua gigi premolar dan tiga gigi molar. Permukaan oklusal dari
gigi seri berbentuk menyerupai pahat dan gigi taring tajam, sedangkan gigi
premolar dan molar mempunyai permukaan oklusal yang datar. Daerah
diantara gigi molar paling belakang atas dan bawah dikenal dengan trigonum
retromolar.
2
Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum dibagian depan dan
sebagian besar dari otot palatum mole dibagian belakang. Palatum mole dapat
diangkat untuk faring bagian nasal dari rongga mulut dan orofaring.
Ketidakmampuan palatum mole menutup akan mengakibatkan bicara yang
abnormal (rinolalia aperta) dan kesulitan menelan. Dasar mulut diantara lidah
dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar submandibula.
Muara duktus mandibularis terletak di depan ditepi frenulum lidah. Kegagalan
kelenjar liur untuk mengeluarkan liur menyebabkan mulut menjadi kering,
atau xerostomia. Hal ini merupakan keluhan yang menyulitkan pada beberapa
pasien.
2
Lidah merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga bagian depan
dapat digerakkan, sedangkan pangkalnya terfiksasi. Otot dari lidah dipersarafi
8

oleh saraf hipoglosus. Dua pertiga lidah bagian depan dipersarafi oleh saraf
lingualis dan saraf glosofaringeus pada sepertiga lidah bagian belakang.
2
II.2.2 Faring
Faring bagian dari leher dan tenggorokan bagian belakang dari
mulut, cavum nasi, kranial atau superior sampai esofagus, laring dan trakea.
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikalis
ke-6. ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
dengan laring dibawah berhubungan melaui aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
2
Pada mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang oksiput
inferior, kemudian bagian depan tulang atas dan sumbu badan, dan vertebra
servikalis lain. Nasofaring membuka ke arah depan ke hidung melalui koana
posterior. Superior, adenoid terletak pada mukosa atap nasofaring. Disamping,
muara tuba eustakhius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut
fosa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas bebas otot
konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatini, merupakan otot yang
menegangkan palatum dan membuka tuba eustakhius, masuk ke faring melalui
ruangan ini. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar hamulus tulang
untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatini dipersarafi oleh saraf
mandibularis melalui ganglion otic.
2
Orofaring ke arah depan berhubungan dengan rongga mulut. Tonsila
faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa pada dinding lateral rongga
9

mulut. Didepan tonsila, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus,
dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus
otot-otot ini membantu menutupnya orofaring bagian posterior. Semuanya
dipersarafi oleh pleksus faringeus.
2
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir dan otot:

a. Mukosa

Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet.
Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena
fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak
bersilia.
2
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid
yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam
sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga
daerah pertahanan tubuh terdepan.
2

b. Palut Lendir (Mucous Blanket)

Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap
melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir
yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia
ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel
kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini
mengandung enzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
2


c. Otot
Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung
ke laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esofagus.
Oleh karena itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang
menyusun ketiga otot konstriktor faringis, akan menyebabkan
10

kesulitan dalam menelan dan biasanya juga terjadi aspirasi air liur
dan makanan ke dalam cabang trakeobronkial.
2









Gambar 1. Ukuran perbandingan posisi dan hubungan ketiga otot
konstriktor faringis

d. Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna
(cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang
a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
2
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari
pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang
faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis.
Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus
faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring
kecuali m.stilofaring yang dipersarafi lansung oleh cabang
n.glosofaring (n.IX).
2
11

f. Kelenjar getah bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melaui 3 saluran yakni
superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke
kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal
dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran
limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam
bawah.
2
Berdasarkan letak, faring dibagi atas:
1. Nasofaring
Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya
adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus
faring yang disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu
refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius,
konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus
vagus dan nervus asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum dan muara
tuba eustachius.
2
2. Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut
sedangkan kebelakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat
dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
2
a. Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut
terlibat pada radang akut atau radang kronik faring, abses
12

retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot
posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguan n.vagus.
2
b. Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior.
Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas
atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil
yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat
jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar
bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan
bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.
2
c. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.
2
Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada
kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.
2
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil
ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan.
2
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot
13

faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.Tonsil
mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens, cabang
tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis
dorsal.
2
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua
oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah
anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara
klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual
(lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
2
Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan
sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole
sebagai abses peritonsilar.
2
3. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu
dibawah valekula epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral
terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus
piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid.
Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta
batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat
otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara
esofagus.
2
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di
14

bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan
ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut
juga kantong pil ( pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan 14ocal14an tersangkut disitu.
2
Dibawah valekula terdapta epiglotis. Pada bayi epiglotis ini
berbentuk omega dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun
kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega) ini tetap sampai
dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi
demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke
esofagus.
2
Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada
pemberian anestesia 14ocal di faring dan laring pada tindakan
laringoskopi langsung.
2
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4:

a. T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai . jarak pilar
anterior-uvula

b. T2 : batas medial tonsil melewati . pilar anterior-uvula sampai

jarak pilar anterior-uvula

c. T3 : batas medial tonsil melewati . pilar anterior-uvula sampai .
jarak pilar anterior-uvula

d. T4 : batas medial tonsil melewati . pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.



15


Gambar 2. Anatomi tonsil


II.3. Fisiologi
II.3.1 Fungsi faring
Terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi.
Tiga dari fungsi-fungsi ini adalah jelas. Fungsi penelanan akan dijelaskan
terperinci.
a. Penelanan
Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan
dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan
melalui faring dan tahap ketiga, jalannya bolus melalui esofagus,
keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya adalah:
pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi
lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot supra hiod
berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam
gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari
lidah bagian belakang akan mendorong makanan kebawah melalui
orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media
dan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot
konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus
berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan
melalui esofagus dan masuk ke lambung.
2
16

b. Proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum
mole kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi
sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan
m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring
m.levator veli palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir
mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh
tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi
akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak
pada waktu bersamaan.
2

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada
periode fonasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini
timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.
2















17

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Definisi
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium
Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
3

Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.
3

III.2. Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler)
merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora
dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan
pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat
pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium
diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
Pada media Tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni :
a. koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung
b. koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar
c. koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat
berwarna hitam.
3

Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
18

seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
4

III.3. Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluar. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun
(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi
insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang
sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang
belum mendapatkan imunisasi.
3

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun
dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini.
4

III.4. Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan
dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin
yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.
3

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses
ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
19

mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
3

Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada
ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain
untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.
3

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase melalui proses :
NAD
+
+ EF
2
(aktif) ---
toksin
---> ADP-ribosil-EF
2
(inaktif) + H
2
+
Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif .
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati.
Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi
inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin
banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.
Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga
terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas
membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri
dalam periode penyembuhan.
3
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan
20

penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ,
terutama jantung, saraf dan ginjal.
3
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau
yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi
dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.
Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis
hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan
adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.
3
III.5. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status
kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran
darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat
singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya
serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang
ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC 38,9oC. Pada
mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi
membran putih/keabu-abuan.
3
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum
molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera
menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan
masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan
melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga
bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada
21

membrane biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses
yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak
diberikan.
3
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan
menghilang. Dan perubahan ini akn lebih cepat bila diberikan antitoksin.
Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara
lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-
gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring
dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul.
Kadang-kadang udema disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat
ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan
mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.
3

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
a. Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat, serta keluhan nyeri menelan
b. Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini
melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga Burgermeesters hals.
c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminoria.
4


22

Difteri Tonsil
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan
demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis /
periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis
disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat
tetapi nadi biasanya cepat.
3

Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan
penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala
toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan
meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai
komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.
(2)

Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan
kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.
3

Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring
primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran
nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti
nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi
laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada
diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.
3
23

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga
Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi
pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.
3

III.6. Diagnosis
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan
pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria
dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk
ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae
dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase
Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan
cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas.
3
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.
4

III.7. Diagnosis Banding

III.7.1. Difteri Hidung
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita).
3


III.7.2. Difteri Faring :
1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis
akuta/septic sore throat)
24

2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi.
3
III.7.3. Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring.
3
III.7.4. Diphtheria Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi o.k. streptokokus/stafilokokus.
3
III.8. Penyulit
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan
cervical.

2. Efek toksin
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada
minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih
lambat (minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi,
suara jantung redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi
gagal jantung. Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat,
bersifat bilateral, terutama mengenai saraf motorik dan sembuh
sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara
menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis
otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara
minggu ke-5 dan ke-7. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan
simetris disertai hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar
25

protein dalam liquor cerebrospinalis. Bila terjadi kelumpuhan pada
pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.

3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain
4. Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat
jarang.
3

III.9. Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan
berikut terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap
diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
3\

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster
dengan toksoid diphtheria.\
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria +
penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).
3

2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
diphtheria.
3
2.1 Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan
serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar
26

nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan
indikasi tindakan trakeostomi.
3
2.2. Khusus :
2.2.1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes
konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia
larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
3

Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam
larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila
dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
3
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes
larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain
diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak
gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan
cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di
atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan
intravena.
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan
penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan
terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan
27

selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya.
Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
3

2.2.2. Antimikrobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin
40 mg/kg/hari.
3
2.2.3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan
obat ini pada diphtheria. Di Ruang Menular Anak RSUD Dr.
Soetomo kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit
miokardiopati toksik.
3
2.2.4. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar
hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang
disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.
3
2.2.5. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil
diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau
suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
3


28

III.10. Pencegahan
III.10.1 Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini
bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri
kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi.
3
III.10.2. Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
3
III.11. Imunitas
III.11.1 Test kekebalan :
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap
diphtheria. Test dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria
(dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
3
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman
diphtheria. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid
difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam
24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa :
pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga
terjadi reaksi hipersensitivitas.
pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya
reaksi yang berbahaya.
Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang
kebal terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin
(sampai 2-3 minggu).
29

Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau
inapparent infection dan imunisasi dengan toksoid difteri.
3
III.12. Komplikasi
1. Laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke
laring dan menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda pasien makin cepat
timbul komplikasi ini.
2. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis.
3. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.
4. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.
4

III.13. Prognosa
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-
50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi
5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis.Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan
pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik
oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
30

Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis
buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit
yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau
pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia
amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrioventrikuler
menggambarkan prognosis yang lebih buruk.
5















31

DAFTAR PUSTAKA

1. Adams, GL. Boies, LR. Higler, PA. BOIES. Buku Ajar Penyakit THT
(BOIES Fundamentals of Otalaryngology) Edisi 6. Penerbit : EGC.
Cetakan ke III. Jakarta .1997
2. Snell. Buku Ajar Ilmu Anatomi Klinik. Jilid I. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta: 2001.
3. www.pediatric.com
4. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007.
5.

www.medicastore.com

Anda mungkin juga menyukai