Anda di halaman 1dari 5

Referat Maret 2012

PEMFIGOID BULOSA

I. PENDAHULUAN

Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang ditandai oleh adanya
bula sub epidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya diderita pada orang tua dengan erupsi
bulosa disertai rasa gatal menyeluruh dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka
morbiditas yang tinggi. Namun presentasinya dapat polimorfik dan dapat terjadi kesalahan diagnosa,
terutama pada tahap awal penyakit, di mana bula biasanya tidak ada.
(1)

Pemfigoid bulosa ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang, dan pada
pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement
membrane zone, IgG sirkulasi dan antibodi IgG yang terikat pada basement membrane zone.
(2,3)

Kondisi ini disebabkan oleh antibodi dan inflamasi abnormal terakumulasi di lapisan tertentu pada kulit
atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut "membran basal. Antibodi (imunoglobulin) mengikat
protein di membran basal disebut antigen hemidesmosomal pemfigoid bulosa dan ini menangkap sel-sel
peradangan (kemotaksis).
(3)


II. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Sebagian besar pasien pemfigoid bulosa berumur lebih dari 60 tahun. Pemfigoid bulosa jarang terjadi
pada anak-anak. Tidak diketahui prevalensi ras / etnis, jenis kelamin yang memiliki kecenderungan
menderita pemfigoid bulosa. Insiden pemfigoid bulosa diperkirakan 7 per juta per tahun di Prancis dan
Jerman.
(2)


III. ETIOLOGI

Etiologinya adalah autoimunitas, tetapi penyebab yang menginduksi autoantibodi masih belum
diketahui
(3)


IV. PATOFISIOLOGI
Pemfigoid bulosa merupakan penyakit autoimun yang menyerang pada stratum basalis.
Stratum basalis terdiri atas sel sel berbentuk kubus yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo
epidermal berbaris seperti pagar. Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Lapisan
ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel berbentuk kolumnar dan sel pembentuk melanin. Pada sel
basal dalam membran basalis, terdapat hemidesmosom. Fungsi hemidesmosom adalah melekatkan sel
sel basalis dengan membran basalis.
(2,3)

Pemfigoid bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon imun seluler dan humoral yang
bersatu menyerang antigen pada membran basal.
(5)
Antigen pemfigoid bulosa merupakan protein yang
terdapat pada hemidesmosom sel basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal
membrane zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel basal dengan
membran basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom.
(3)

Terdapat dua jenis antigen pemfigoid bulosa yaitu dengan berat molekul 230kD disebut PBAg1
(pemfigoid bulosa Antigen 1) atau PB230 dan 180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak
ditemukan dari pada PB180.
(3)

Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan bula subepidermal terjadi
melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama
neutrofil dan eosinofil), dan pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase
matriks-9 dan neutrofil elastase.
(1)

Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada pemfigoid bulosa terjadi dalam
lamina lusida, di antara membran basalis dan lamina densa. Terbentuknya bula pada tempat tersebut
disebabkan hilangnya daya tarikan filament dan hemidesmosom.
(2)

Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi terhadap antigen pemfigoid bulosa.
Fiksasi IgG pada membran basal mengaktifkan jalur klasik komplemen. Aktivasi komplemen
menyebabkan kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-produk sel mast menyebabkan
kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya,
leukosit dan protease sel mast mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel
inflamasi dominan di membran basal pada lesi pemfigoid bulosa, menghasilkan gelatinase yang
memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2, yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan
bula.
(2)


VI. DIAGNOSA

A. GAMBARAN KLINIS
Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit pemfigoid bulosa bisa polimorfik. Dalam fase prodromal penyakit non-bulosa, tanda
dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa gatal ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan
eksema, papul dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan.
Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-satunya tanda-tanda penyakit.
(1)


Fase Bulosa
Tahap bulosa dari pemfigoid bulosa ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula pada kulit normal
ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama dengan urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang
kadang-kadang membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 4 cm, berisi cairan
bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari, meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi
seringkali memiliki pola distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan tungkai
bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi gambaran hiperpigmentasi dan
hipopigmentasi serta miliar meskipun gambaran ini jarang. Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-
30% pasien. Daerah mukosa hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang
terkena.
(1)


Lesi kulit
Eritema, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului pembentukan bula. Bula besar, tegang, oval
atau bulat; mungkin timbul dalam kulit normal atau yang eritema dan mengandung cairan serosa
atau hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata, biasanya tersebar tapi juga
berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform.
(2)


Tempat Predileksi
Aksila; paha bagian medial, perut, fleksor lengan bawah, tungkai bawah.
(2)

Gambar 1: Pemfigoid Bulosa
(Dikutip dari kepustakaan 4)

B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemfigoid bulosa harus dibedakan dengan pemfigus, dermatosis linear IgA, eritema multiform, erupsi
obat, dermatitis herpetiformis dan epidermolisis bulosa. Penderita harus melakukan biopsi kulit dan
titer antibodi serum untuk membedakannya. Biopsi sangat penting untuk membedakan penyakit-
penyakit ini karena mempunyai prognosis yang tidak sama.
(3,9)


1. HISTOPATOLOGI
Kelainan awal pada pemfigoid bulosa yaitu terbentuknya celah di perbatasan dermal-
epidermal, bula terletak di subepidermal, sel infiltrat yang utama adalah eosinofil.
(9)


2. IMUNOLOGI
Pada pemeriksaan imunofluoresensi terdapat endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita
di BMZ (Base Membrane Zone).
(3)

Pewarnaan Immunofluorescence langsung (IF) menunjukkan IgG dan biasanya juga C3, deposit dalam
lesi dan paralesional kulit dan substansi intraseluler dari epidermis.
(3)


VII. DIAGNOSIS BANDING

Pemfigus Vulgaris (PV) kebanyakan menyerang pada usia remaja dan dewasa. Erosi dan ulkus yang akut
pada mukosa mulut antara 70-80% dari kasus. Umumnya lesi dapat muncul berbagai ukuran pada kulit
yang normal. Lesi ini bisa terdapat di seluruh tubuh, namun umumnya lesi ini muncul pada orang
dengan posisi berbaring dimana terjadi tekanan dan gesekan sama halnya punggung, pantat dan kaki.
Lesi mudah terjadi ruptur yang dapat menyebabkan erosi yang lebih luas dan krusta. Lesi ini akan
menimbulkan sensasi nyeri jika tersentuh. Ketika lesi ini tertekan secara terus-menerus, cairan akan
keluar ke perifer di sekitar lesi pada kulit yang normal (lesi phenomenadiffusion atau false Nikolskys
sign). Erosi pada mulut dan mukosa esofagus dapat menyebabkan disfagia. Ketika erupsi telah terjadi,
kelainan elektrolit terjadi yang dimana menyebabkan cairan tubuh menghilang (hipoproteinemia), hal ini
bisa berbahaya jika terjadi infeksi sekunder.
(11)



Pemfigus Foliaseus (PF) adalah bentuk superfisial penyakit pemfigus dengan akantolisis pada lapisan
granulosum epidermis. Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berupa krusta dan adakalanya berupa vesikel
yang kendur. Membran mukosa jarang terlibat. Distribusi lesinya pada bagian tubuh yang lebih terbuka
dan bagian tubuh yang memiliki banyak kelenjar sebasea. Pada gambaran histopatologi, terlihat
gambaran akantolisis pada stratum granulosum. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG dengan
pola intraseluler.
(7)


Epidermolisis Bulosa (EB), adalah sebuah penyakit bula subepidermal kronik yang berkaitan dengan
autoimunitas pada kolagen tipe II dalam fibrin pada zona membrane basal. Lesi kulit berupa bula yang
berdinding tegang dan erosi, gambaran non inflamasi ataupun menyerupai pemfigoid bulosa, dermatitis
herpetiformis, atau dermatosis IgA linear. Membran mukosa terlibat pada kasus yang parah. Distribusi
lesinya sama dengan pemfigoid bulosa. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula subepidermal.
Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG linear pada zona membran basal.
(7)


Dermatitis Herpetiformis (DH), adalah erupsi pruritus yang kronis, rekuren, dan intensif yang muncul
secara simetris pada ekstremitas dan pada badan dan terdiri dari vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak
urtika yang tersusun berkelompok, serta berkaitan dengan gluten-sensitive enteropathy (GSE) dan
deposit IgA pada kulit. Lesi kulit berupa papul berkelompok, urtikaria, vesikel serta krusta. Membran
mukosa tidak terlibat. Lesi terdistribusi pada daerah siku, lutut, glutea, sakral dan skapula. Pada
pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran mikroabses di papilla dermis, dan vesikel subepidermal.
Pada pemeriksaan imunopatologi, didapatkan IgA berbentuk granula pada ujung papilla.
(7)


VIII. PENATALAKSANAAN

Kortikosteroid umumnya diberikan secara oral maupun injeksi, dosis prednison 40 - 80 mg
sehari, jika telah tampak perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan. Sebagian besar kasus dapat
disembuhkan dengan kortikosteroid saja.
(3,12)

Jika pengobatan kortikosteroid belum menunjukkan perbaikan, dapat dipertimbangkan
pemberian sitostatik yang dikombinasikan dengan kortikosteroid untuk mengurangi efek samping dari
kortikosteroid itu sendiri. Obat sitostatik merupakan terapi adjuvan karena bersifat imunosupresif. Yang
termasuk obat ini adalah azatioprin, siklofosfamid, metrotreksat, dan mikofenolat mofetil. Obat yang
lazim digunakan ialah azatioprin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu toksik seperti siklofosfamid.
Dosisnya 50-150 mg sehari atau 1-3 mg/kgBB. Obat sitostatik sebaiknya diberikan jika dosis prednison
mencapai 80 mg. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dulu, kemudian dosis
azatioprin diturunkan secara bertahap. Efek sampingnya di antaranya menekan sistem hematopoetik
dan bersifat hepatotoksik. Mikrofenolat mofetil juga dikatakan lebih efektif daripada azatioprin karena
efek toksiknya lebih sedikit. Dosisnya 2x1 g sehari.
(2,3)

Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak
seperti pemfigus,dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis awal 20 -
40 mgprednison atau setara harus secara bertahap dikurangi ke jumlah minimum yang akan
mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti
prednison. Suatu penelitian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita dengan
dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi dengan azatioprine kurang memberi
manfaat tetapi sebaliknya penderita harus menanggung efek samping obat tersebut.
(3)

Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif untuk mengontrol dengan
cepat pembentukan bula yang aktif pada pemfigoid bulosa.
(2)

Pemfigoid bulosa dianggap sebagai penyakit autoimunitas , oleh karena itu memerlukan
pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek samping kortikosteroid sistemik
sehingga harus dikombinasikan untuk mengurangi efek sampingnya.
(3)


IX. PROGNOSIS

Pemfigoid bulosa umumnya memberikan respon yang baik jika diobati, tetapi kebanyakan pasien yang
telah berhenti beberapa tahun namun penyakit ini kembali setelah pengobatan berhenti. Usia tua dan
kondisi umum yang buruk telah terbukti secara signifikan mempengaruhi prognosis. Secara historis,
dinyatakan bahwa prognosis pasien dengan pemfigoid bulosa jauh lebih baik dari pasien dengan
pemfigus, terutama pemfigus vulgaris dengan pemfigoid bulosa dimana tingkat mortalitasnya sekitar
25% untuk pasien yang tidak diobati dan sekitar 95% untuk pasien dengan penyakit pemfigus vulgaris
saja tanpa pengobatan. Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa penelitian di Eropa pada kasus
pemfigoid bulosa menunjukkan bahwa dengan perawatan, pasien pemfigoid bulosa memiliki prognosa
seburuk penyakit jantung tahap akhir, dengan lebih dari 40% pasien meninggal dunia dalam kurun 12
bulan. Dari studi terbaru, kemungkinan bahwa penyakit penyerta dan pola praktek (penggunaan
kortikosteroid sistemik dan / atau obat imunosupresif) juga mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan
mortalitas penyakit ini.
(1,12,13,14,15)




DAFTAR PUSTAKA

1. Borradori L, Bernard P. Bullous pemphigoid in Bolognia. In: Jorizzo JL, Rapini JL, editors.
Dermatology. 2nd ed: Mosby. chapter. 29.
2. John RS. Pemphigus in Freedberg. In: Eisen, Wolff, Austen, Goldsmith, Katz SI, leditors.
Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008.
3. Djuanda A. Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
ed. Jakarta: Balai penerbit FK-UI; 2010. p. 210-1.
4. Habif T. Clinical Dermatology. A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed: Mosby; 2003.
5. Andrews. Clinical Dermatology. Diseases of the Skin. 10th ed: Saundres; 2006.
6. Wojnarowska F, Venning VA, editors. Rooks Textbook of Dermatology Vol. II, 8
th
Ed. Oxford:
Blackwell Publishing Company; 2010. Page 40.32-40.33.
7. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New
York: McGraw-Hill; 2007.
8. Opeola M, Clerk BKD. Dermatology for Skin of Color. New York: McGraw-Hill; 2009.
9. Bullous Pemphigoid. Histopatology [Feb 2010; cited 2012 27 Februari]; Available
from:http://www.google.com/histopatology.html
10. Shimizu H, editors. Shimizu Textbook of Dermatology. Japan: Hokkaido University Press; 2007.
11. Zillikens D, Kasperkiewicz M. The Pathophysiology of Bullous Pemphigoid [July 2007; cited 2012 27
Februari]; Available from: http:// www.google.co.id/Clinic Rev Allerg Immunol
12. Bullous Pemphigoid. American Osteopathic College of Dermatology [cited]; Available
from: http://www.aocd.com/index.html/ed.
13. Swerlick AR, Korman JN. Bullous Pemphigoid. ; 2007 [updated 2007 04 May 2007; cited 2012 27
Februari ]; Available from: www.nature.com/jid/journal/v122/n5/index.html.ed
14. Bernard P, Ziar R. RiskFactors for Relapse in Patient with Bullous Pemhigoid in Clinical
Remission. [may 2009; cited 2012 27 Februari]; Available from:http://www.archderm.ama-assn.org.
15. Berman K, Zieve D. Atlanta Center for Dermatologic Disease. [may 2011; cited 2012 27 Februari];
Available from: http:// MedlinePlus Medical Encyclopedia.mht.

Anda mungkin juga menyukai