Anda di halaman 1dari 2

Menjelang pemilu 2009, para elite politik dari berbagai partai sedang disibukkan dalam melakukan koalisi, Hakikat

koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama
(durable). Banyaknya partai yang akan bertarung pada pemilu 2009 nanti memang menggiring partai politik untuk
berkoalisi agar bisa mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.
Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk
pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri
(autonomuos), dan tahan lama (durable). Pemerintahan yang kuat bisa diartikan pemerintah yang mampu
menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di
parlemen, dengan kata lain sudah seharusnya presiden memiliki kekuasaan mengendalikan jalannya pemerintahan,
namun demikian sistem ini belum dipahami secara matang oleh masyarakat dan elit politik kita, sehingga saat ini
kekuasaan parlemen juga mendominasi jalannya pemerintahan. Maka tidak heran jika banyak kebijakan pemerintah
terkadang terhenti karena adanya penolakan-penolakan dari parlemen. Oleh karena itu, seorang pemimpin di negeri
ini harus memiliki dukungan yang cukup di parlemen untuk mengamankan berbagai kebijakan pemerintah.
Karena tuntutan semacam itulah maka ranah politik menjelang pemilu 2009 di nusantara ini mulai memanas, partai-
partai politik tidak henti-hentinya bermanuver dan mengeluarkan statement-statement yang tidak saja mengumbar
berbagai macam janji yang kebanyakan bertolak belakang dengan implementasi (bukan hal yang aneh, janggal dan
mengherankan) tetapi juga mereka saling mengkritik kinerja dari masing-masing parpol.
Sebenarnya jika kita mengacu pada teori Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa
diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi
kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu
untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai
yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah
partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari
koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan
membentuk kabinet.
Koalisi yang ideal dan dapat memenuhi hakikat dari pada arti kata koalisi tersebut tentunya jika dapat menciptakan
koalisi sesuai dengan teori diatas. Koalisi yang mudah memang berawal dari kesamaan ideologi. Namun kesamaan
ideologi juga harus disertai oleh adanya nilai-nilai bersama dan tujuan politik yang sama untuk diperjuangkan. Nilai
bersama dan tujuan yang sama itulah yang akan menimbulkan saling percaya (trust) yang akan menjadi perekat bagi
anggota koalisi untuk menciptakan pemerintahan yang tahan lama(durable).
Jika melihat realita yang ada sekarang ini, ada beberapa partai besar yang berkoalisi tanpa mengindahkan kesamaan
ideologi apalagi benar-benar menjalankan teorinya Arend Lijphart. Ironis sekali memang, di suatu wilayah kedua
partai tersebut menjadi musuh bebuyutan, tetapi di pusat kedua partai tersebut malah berkoalisi demi
memenangkan pemilu 2009 mendatang. Beberapa calon presiden dan calon wakil presiden juga mulai dipilih dan
ditentukan yang terkadang mengabaikai profil dari orang tersebut. Mereka hanya memikirkan tentang popularitas
dan kharisma dari calonnya demi nafsu untuk menjadi pemenang di pesta demokrasi, tanpa memikirkan apakah
mempunyai jiwa leadership, dedikasi yang tinggi, kredibilitas, amanah dan sholeh atau tidak.
Siapaun calon presiden dan calon wakil presiden yang nantinya berkuasa ini tentunya harus bisa memperbaiki
(repair) berbagai macam masalah negara yang terjadi yang belum terselesaikan di jagat nusantara ini serta untuk
dapat menjawab tantangan zaman (setidaknya pada masanya) minimal demi membuat masyarakat ini agar bisa
tersenyum.
Salah satu tujuan dari negara ini adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam perdamaian
dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Harus diakui memang selama ini para pemimpin kita
masih kurang taat dengan asas pada pencapaian tujuan nasional tersebut. Di depan mata, India akan segera
menguasai produk software dunia, China akan segera merajai produk hardware dunia. Tetapi kita?. Sudah saatnya
Pluralisme menjadi kesadaran bersama, jadikan mimpi kita semua sama : Ingin seluruh rakyat Indonesia bias mesem
(tersenyum) karena cukup sandang-pangan-papan, biaya sekolah serta kesehatan terjangkau.
Dan bagi mereka yang kalah dalam sayembara nanti tentunya harus bisa legowo (ikhlas) sesuai dengan obyektivitas
yang ada. Jangan malah menjadikan oposisi sebagai langkah yang mutlak baginya. Oposisi bukanlah sebuah hal yang
tabu jika dijalankan dengan benar-benra untuk melakukan check and balance. Namun jika oposisi dijalankan karena
dendam pribadi, tentu sikap-sikap kritik terhadap pemerintah lebih didasari oleh subyektifitas. Alangkah baiknya
juga jika siapaun yang lolos menjadi pemenangnya untuk bisa saling bahu-membahu mendukung pemerintahan
menyelesaikan persoalan bangsa dan bukannya saling menyalahkan satu sama lain karena yang dibutuhkan bangsa
ini bukannya konflik, bukannya saling ejek atau pun saling menyalahkan. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah lepas
dari krisis multidimensi yang saat ini masih membelenggu Indonesia. Tujuan negara seperti yang tertuang dalam
alinea keempat UUD 45 harus bisa tercapai. Untuk itu, diperlukan kersadaran nasional para politisi dan pemimpin
negeri ini untuk bersatu membangun negeri.
Rakyat cuma pengin bisa tersenyum Pak. !!!!

Anda mungkin juga menyukai