KORONER DI ERA GLOBALISASI TUGAS MATA KULIAH FILSAFAT ILMU
Disusun Oleh:
dr. Muhammad Perdana Airlangga dr. Herenda Mediashita H.P
MKDU PPDS I PERIODE JANUARI 2010 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RSU DR SOETOMO SURABAYA
ii KATA PENGANTAR
Segala puji kami panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya pembuatan makalah yang kami beri judul Tantangan Dokter Spesialis Jantung Indonesia terhadap Penyakit Jantung Koroner di Era Globalisasi . Makalah ini merupakan salah satu tugas yang harus dipenuhi oleh peserta PPDS periode Januari 2010 pada mata kuliah Filsafat Ilmu. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS dan Prof. Dr. Harijanto JM, dr, selaku dosen sekaligus pembimbing kami dalam pembuatan proposal ini. 2. Semua rekan-rekan PPDS periode Januari 2010 atas bantuan serta masukannya. 3. Semua pihak yang telah membantu kami. Upaya yang optimal telah kami lakukan untuk menyusun makalah ini, namun kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami sebagai PPDS dan dokter spesialis nantinya serta bagi pihak-pihak lain yang berkepentingan terhadap makalah ini.
Surabaya, Februari 2010
Penyusun
iii DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar . ii Daftar Isi ................. iii BAB I PENDAHULUAN .. 1 1.1 Latar Belakang .. 1 1.2 Rumusan Masalah .. 2 1.3 Tujuan 2 1.4 Manfaat .. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .. 3 2.1 Penyakit Jantung Koroner 3 2.1.1 Epidemiologi 4 2.1.2 Penanganan PJK.. 4 2.2 Perkembangan Kedokteran kardiologi................................. 7 2.2.1 Perkembangan di Indonesia........................................ 7 2.2.2 Pendidikan Spesialis Jantung...................................... 7 2.2.3 Perkembangan Kardiologi Intervensi di Indonesia.... 9 2.2.4 Pendidikan Kardiologi Intervensi di Indonesia.......... 10 2.3 Kebutuhan Dokter Ahli Jantung Di Indonesia..................... 11 BAB III BAB IV KERANGKA KONSEPTUAL .............................................. PEMBAHASAN....................................................................... 13 14 4.1 Dokter Spesialis Jantung di Indonesia masih kurang.......... 15 4.1.1 Rasio dokter spesialis................................................ 15 4.1.2 Proyeksi kebutuhan dokter spesialis....................... 15 4.1.3 Keterbatasan Waktu Yang Dimiliki.......................... 4.2 Pendidikan dokter spesialis jantung di Indonesia belum mampu Mencetak dokter spesialis berstandar internasional 4.2.1 Berseberangnya visi dan misi departemen Pendidikan dan Kebudayaan......................................................................... 4.2.2 Sistem pendidikan tidak efektif.......................................... 4.2.3 Materi standar pendidikan dokter spesialis tidak sinkron dengan kebutuhan yang ada dalam pelayanan.............. 4.2.4 Minimnya jumlah rumah sakit pendidikan.................... 15 16
16
16
16 16 iv 4.2.5 Rumah sakit pendidikan tidak memenuhi standart........ 4.2.6 Profesionalisme staf pengajar......................................... 4.2.7 Sistem gaji residen.......................................................... 4.2.8 Lamanya waktu pendidikan........................................... 4.2.9 Ketiadaan pengakuan internasional dan regional........... 4.2.10 Intervensi perusahaan farmasi....................................... 4.3 Upaya menginternasionalisasi pendidikan dokter spesialis....... 4.3.1 Meningkatkan profesionalisme dokter spesialis.............. 4.3.2 Meningkatkan produksi dokter spesialis dengan semangat mencerdaskan bangsa......................................................... 4.3.3 Menetapkan prosedur masuknya tenaga dokter asing di... Indonesia........................................................................... 4.3.4 Menyusun agenda nasional dalam memasuki era global...... 16 17 17 17 17 17 18 18 20
21
21 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 5.1 Kesimpulan................................................................................. 5.2 Saran.......................................................................................... BAB VI DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 22 22 22 24
v
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pencegahan Penyakit Jantung Koroner (PJK), baik pencegahan primer (primary prevention) maupun pencegahan sekunder (secondary prevention), tidak diragukan lagi merupakan masalah pada kesehatan masyarakat. Ditinjau dari prevalensi penyakit ini,factor pencegahan,walaupun sekecil mungkin akan mencegah korban ribuan nyawa,penderitaan dan biaya yang tidak sedikit. Ketika PJK muncul untuk pertama kalinya di Negara maju,penyakit ini diperkirakan merupakan proses penuaan usia saja. Namun,dengan berjalannya waktu,PJK ternyata merupakan penyakit akibat ulah manusia (human made), dan sangatlah tergantung pada pilihan manusia juga. Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini,didapatkan banyak kemajuan di dalam mengidentifikasi pola hidup (life style),biokemikal,kelakuan (behavior), factor lingkungan maupun genetic yang merupakan faktor resiko terjadinya PJK. Karena PJK merupakan pembunuh utama di dunia,baik di Negara maju maupun di Negara berkembang,penerapan strategi pencegahan yang disesuaikan dengan kemampuan harus disebarluaskan ke seluruh dunia. Dengan meningkatnya kemajuan pengetahuan tentang pathogenesis ateroskelrosis dan pengetahuan mengenai hubungan timbale balik antara pola hidup,biokemikal dan bahkan factor resiko genetic dengan PJK,hal ini mempunyai kontribusi dalam penurunan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler. Beberapa pedoman (guidelines) pada factor resiko tunggal (single risk factor) telah diterapkan yang pada permulaannya berhasil dalam menjaring (screening) dan mengobati beberapa factor resiko mayor seperti merokok,dislipidemia,diabetes dan hipertensi. Namun,mengimplementasi dan mengintegrasi pedoman-pedoman ini merupakan tugas yabg sulit. Kompleksitas dari beberapa pedoman menjadi penghalang implementasinya,begitu pula dengan masalah biaya.. Evolusi dari ateroskelosis,bagaimanapun, mempunyai karakteristik yang merupakan proses jangka panjang abtara timbulnya aterosklerosis dengan timbulnya manifestasi klinis. Hal ini memberikan kesempatan untuk mengimplementasikan strategi deteksi dini,pencegahan dan intervensi. vi
1.2 RUMUSAN MASALAH Sampai saat ini upaya untuk menurunkan angka kematian penyakit jantung koroner di Indonesia belum optimal.
1.3.TUJUAN 1.3.1 Mengindentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan penyakit jantung koroner masih merupakan pembunuh utama di Indonesia. 1.3.2 Mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam upaya menurunkan angka kematian penyakit jantung koroner. 1.4.MANFAAT 1.4.1 Meningkatkan sumber daya manusia baik tenaga medis dan paramedis serta peralatan diagnostik yang handal dan akurat. 1.4.2 Memberikan solusi dalam upaya menurunkan angka kematian penyakit jantung koroner.
vii
2.1 PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang disebabkan pleh kelainan pada arteria koronaria. Sebagian besar (98%) disebabkan pleh karena proses aterosklerosis pada arteri koronaria, sedangkan penyebab lain hanya sekitar 2%. Proses ateroskelrosis terjadi karena interaksi bebrapa factor resiko. Faktor resiko menggambarkan karakteristik yang ditemukan pada individu sehat yang mempunyai relasi dengan kejadian aterosklerosis dikemudian hari. Berdasarkan studi Framingham,factor resiko major dan independen adalah merokok,hipertensi,meningkatnya kadar LDL kolesterol, menurunnya kadar HDL kolesterol,diabetes mellitus dan bertambahnya umur. Faktor resiko lainnya adalah obesitas, kurang olahraga, riwayat keluarga terhadap penyakit jantung koroner premature, karakter etnis, factor psikososial, meningkatnya kadar trigliserida, kadar homosistein, lipoprotein(a), factor protombin (fibrinogen), petanda inflamasi (C-reactive protein). Mekanisme yang mendasari terjadinya berbagai gambaran klinis penyakit jantung koroner adalah terjadinya iskemia miokard akibat plak ateroma pada arteria koronaria. Ateroma tersebut menyebabkan stenosis yang makin lama makin memberat. Manifestasi klinis iskemia miokard akan muncul bila stenosis sudah mencapai 60% atau lebih. Iskemia miokard biasanya dirasakan oleh penderita sebagai nyeri yang khas yang disebut angina pectoris. Angina pectoris yang khas adalah nyeri dada atau rasa tidak enak (rasa tertekan,berat atau rasa panas) di daerah prekordial terutama retrosternal yang sering menjalar kea rah lengan kiri,leher kiri hingga ke ragang dan telinga kiri. Angina pectoris terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan oksigen miokard.
Berbagai manifestasi klinis yang dapat terjadi : 1. Asimptomatik 2. Angina Pektoris Stabil 3. Sindroma koroner akut a. Angina Pektoris tidak stabil b. Infark miokard tanpa elevasi gelombang ST c. Infark miokard dengan elevasi gelombang ST viii 4. Angina Variant (Prinzmetal) 5. Aritmia, dapat bermacam-macam bentuknya sampai terjadinya kematian mendadak. 6. Gagal Jantung, baik sistolik maupun diastolik
MASALAH PENYAKIT JANTUNG KORONER DI INDONESIA
2.1.1 Epidemiologi Penyakit jantung koroner (PJK) telah menjadi penyebab utama kematia dewasa ini. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Di Indonesia, prevalensi PJK mengalami tren yang sama yakni semakin bertambah penderitanya. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan, penyakit jantung memberikan kontribusi sebesar 19,8 persen dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993. Angka tersebut meningkat menjadi 24,4 persen pada tahun 1998. kasus PJK semakin sering ditemukan karena pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti, angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat. Hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK.
2.1.2 Penanganan PJK Pilihan terapi PJK berkembang sesuai kemajuan teknologi. Umumnya dibagi menjadi terapi dengan obat-obatan / medikamentosa, terepi intervensi minimal yaitu angioplasti koroner (PTCA), dan intervensi umum yaitu bedah pintas koroner (CABG). Obat PJK berupa obat antiangina (nitrat, beta blocker, calcium chanel blockers), berguna untuk mengurangi konsumsi oksigen otot jantung dan menambah aliran darah koroner dengan cara melebarkan pembuluh darah. Obat diuretik berkhasiat meningkatkan pengeluaran garam dan air lewat urine sehingga mengurangi jumlah cairan dalam sirkulasi sekaligus menurunkan tekanan darah. Obat digitalis berfungsi menambah kekuatan kontraksi otot jantung, sehingga memperbaiki fungsi kerja jantung. Obat ini sering dipakai juga sebagai antiaritmia (anti gangguan irama jantung). ix Obat antihipertensi, bekerja melebarkan pembuluh darah/ merelaksasikan otot halus arteri. Yang paling populer adalah obat-obatan antiplatelet yang berfungsi mengencerkan darah.Penelitian terakhir menunjukkan pemberian statin (obat penurun kolesterol) lewat oral sesudah serangan jantung mampu menurunkan angka kematian hingga 34 persen per tahun. Efek anti peradangan obat ini memiliki kemampuan memperkuat lapisan pelindung plak, menstabilisasikan plak, dan bahkan dapat mengurangi penyempitan. Sayangnya hingga saat ini belum ada satu pun obat yang dapat menghancurkan sumbatan/plak yang menjadi dasar penyebab PJK. Pada penderita berisiko tinggi, obat-obatan kerap kurang memadai, sehingga hanya ada dua cara untuk mengatasi sumbatan ini, yakni angioplasti koroner dan bedah pintas koroner. Tindakan hanya dilakukan bila sumbatan melebihi 50 persen diameter lumen pembuluh darah koroner lewat pemeriksaan angiografi. Angioplasti koroner merupakan metode tindakan intervensi untuk memperbaiki pembuluh darah secara dini dengan penggunaan balon untuk membuka pembuluh darah yang tersumbat. Tindakan ini dapat menurunkan tingkat kematian hingga 36 persen. Terapi ini dikenalkan pertama kali oleh Dr Andreas Gruentzig di tahun 1977Saat itu, masih dilakukan dengan alat yang sangat sederhana. Perkembangan teknologi khususnya di bidang kateter, balon, dan alat- alat medis baru seperti stent, obat-obatan, sinar x, dan kemampuan operatornya, semakin mempopulerkan terapi ini. Tindakan dilakukan di laboratorium kateterisasi yang menyerupai ruang operasi. Penderita dibaringkan di meja dan dihubungkan dengan alat monitor irama jantung secara terus-menerus. Setelah pembiusan lokal, sebuah kateter lalu dimasukkan ke arteri lewat lipatan paha atau pergelangan tangan. Melalui kateter itu dimasukkan kateter lain yang mempunyai balon di ujungnya dan diarahkan ke jantung dengan bantuan monitor. Saat mencapai pembuluh darah yang tersumbat, balon dikembangkan untuk menyingkirkan plak, sehingga jantung kembali memperoleh pasokan darah secara normal. PTCA dianggap berisiko lebih kecil dan hanya memerlukan perawatan singkat (1-2 hari) di rumah sakit. Di dunia saat ini dilakukan lebih dari 1 juta kasus per tahunnya. Kelemahannya berupa risiko terjadinya penyempitan kembali (restenosis) hingga sebesar 50 persen dari diameter lumen di tempat yang sama dalam kurun waktu 3-6 bulan. Para ahli terus meneliti cara mengatasi masalah ini. Aneka obat seperti golongan kortikosteroid, sitostatik, penurun lemak, vitamin E dosis tinggi, dan lainnya telah dicoba. Tetapi gagal karena restenosis bersifat lokal. Obatnya pun harus diberikan lokal x lewat kateter dengan dua metode, yaitu radiasi sinar gama atau beta intrakoroner. Hambatannya adalah fasilitas yang terbatas dan efek samping yang mungkin timbul. Metode lain adalah dengan melapisi stent (semacam kerangka metal yang berfungsi sebagai penyangga supaya pembuluh darah tetap terbuka) dengan obat pencegah tumbuhnya jaringan baru, seperti Sirolimus dan Paclitaxel. Obat dilepas saat stent dicopot dan perlahan obat itu bereaksi dengan plak, sehingga pertumbuhan sel terhambat, bahkan terhenti. Metode ini bisa menurunkan angka restenosis hingga 5 persen dan pada penderita diabetes melitus bahkan mencapai 10 persen, serta terbukti aman karena tak dijumpai efek samping sistemik. Meski begitu, penelitian terus dilanjutkan karena metode ini masih belum sempurna. Angioplasti koroner yang dipaksakan pada lesi koroner berat dan melibatkan banyak pembuluh darah berisiko tinggi terjadinya penyempitan ulang dan bahkan penyumbatan. Lagi pula tindakan angioplasti berulang, terlebih bila memerlukan banyak stent, juga memerlukan biaya besar. Bisa jadi biaya angioplasti akhirnya malah lebih besar daripada tindakan bedah dan akhirnya penderita juga harus dikirim ke meja operasi dengan disertai risiko yang lebih tinggi. Pada keadaan demikian, pilihan bedah pintas koroner dari semula akan lebih menguntungkan. Operasi bedah juga lebih menguntungkan pada penderita dengan penyempitan yang terletak di posisi pembuluh koroner utama kiri, penderita diabetes melitus dan penderita dengan penurunan fungsi jantung. Dokter spesialis bedah jantung melakukan pemasangan pembuluh darah pintas (bypass) pada pembuluh darah koroner yang menyempit/tersumbat dengan menggunakan pembiusan total. Materi bypass dapat diambil dari pembuluh darah balik kaki, pembuluh darah di bawah dada atau di lengan. Teknik ini pertama kalinya diperkenalkan Dr Rene Favoloro di Cleveland Clinic, AS pada tahun 1969. Saat ini lebih dari 300 000 operasi ini telah dilakukan di AS setiap tahunnya. Sayangnya pembuluh darah baru yang ditanam (graft) tidak selalu terjamin bebas masalah. Bisa jadi dalam perjalanan waktu, graft menyempit/menyumbat, sehingga memerlukan angioplasti atau operasi ulangan. Risiko telah semakin kecil dengan meningkatnya pengalaman, penemuan obat- obatan dan perkembangan teknologi. Angka kematian berkisar antara 1-2 persen. Bahkan, di pusat jantung yang besar/terkenal, bisa mencapai di bawah 1 persen. xi Kini juga dikenal off pump bypass surgery, yaitu tindakan bedah jantung tanpa menggunakan bantuan mesin jantung paru. Penanaman graft dilakukan pada jantung yang masih berdenyut (beating heart). Teknik ini dapat mengurangi biaya operasi, mempersingkat masa rawat inap dan mengurangi trauma, maupun komplikasi akibat bedah. Namun manfaatnya masih memerlukan evaluasi jangka panjang. Pemilihan terapi PJK bergantung pada beberapa hal, seperti lokasi dan karakter penyempitan, jumlah pembuluh darah yang terlibat, fungsi jantung, adanya penyakit penyerta, usia, dan juga biaya. Masing-masing tindakan terbukti meningkatkan harapan dan kualitas hidup penderita PJK. Kekhawatiran risiko masing masing tindakan intervensi dapat dipahami, tetapi risiko itu telah jauh lebih kecil dibandingkan masa- masa sebelumnya. Pengambilan keputusan jenis tindakan oleh dokter yang merawat penderita secara objektif dan bijaksana sangatlah diperlukan untuk memberikan manfaat terapi yang sebesar mungkin bagi penderita PJK. Tentu saja berbagai tindakan ini perlu juga disertai perbaikan gaya hidup, yakni menerapkan pola makan yang sehat, diet rendah kolesterol, berolahraga secara teratur, dan menghindari stres.
2.2 PERKEMBANGAN KEDOKTERAN KARDIOLOGI DI INDONESIA
2.2.1 Perkembangan di Indonesia Dalam 50 tahun terakhir, perkembangan Ilmu kardiologi terutama ilmu kardiologi Invasif, pacu jantung dan elektrofisiologi sungguh sangat pesat. Prosedur invasif di bidang kardiologi yang mulanya hanya digunakan untuk kepentingan riset menunjang konsep patofisiologi, tetapi pada akihirnya berkembang untuk tindakan diagnostik dan terapetik.
2.2.2 Pendidikan Spesialis Jantung Tindakan diagnostik (angiografi koroner) dan terapetik di bidang koroner (intervensi koroner perkutan, Percutaneos Coronary Intervention, PCI), saat ini merupakan tindakan baku untuk tatalaksana penyakit jantung koroner . Beberapa faktor yang mempengaruhi percepatan jumlah tindakan adalah prevalensi penyakit jantung yang tinggi di negara maju, kelompok umur tua yang makin banyak, bertambahnya insidens diabetes melitus, obesitas dan teknik tindakan yang makin baik. Diperkirakan lebih dari xii 1juta tindakan PCI di lakukan hanya di Amerika saja, dan jumlah tersebut akan semakin meningkat. Tidak hanya PCI yang mengalami kemajuan bermakna, tetapi tindakan invasif non koroner pun mengalami kemajuan yang sangat pesat. Balonisasi katup mitral pada penderita stenosis mitralis (Percutaneous Transvenous Mitral Commissurotomy, PTMC) telah dilakukan sejak tahun 1984 oleh Inoue dkk. Angka keberhasilan prosedur- prosedur ini sangat tinggi dan komplikasinya semakin rendah. Disamping itu, pacu jantung juga mengalami perkembangn yang menakjubkan. Pada awal tahun enam puluhan pacu jantung bersifat sangat sederhana, dengan entik fisis yang besar. Saat ini bentuk fisis semakin kecil, sehingga hanya diperlukan tindakan bedah minor untuk memasangnya, namun mempunyai kemampuan yang luar biasa, Indikasinya pun semakin berkembang, tidak hanya untuk bradikardia, tetapi juga untuk penyakit jantung tertentu seperti gagal jantung dan pencegahan kematian jantung mendadak. Tidak kalah pentingnya adalah perkembangan intervensi elektrofisiologi (ablasi kateter untuk takikardia). Tindakan ini merupakan satu-satunya terapi kuratif dalam bidang kardiologi. Takikardia Supraventrikular ( Supraventricular tachycardia, SVT), sindromWolf Parkinson White,flutter atrium, takikardia atrium, beberapa takikardia ventrikular, dan fibrilasi atrium telah dapat disembuhkan melalui prosedur ini.Angka keberhasilan ablasi kateter semakin tinggi, dan komplikasinya sangat rendah dengan angka kematian mendekati nol.. Tindakan ablasi kateter untuk pasien SVT dilakukan pertama kali di Indonesia pada tahun 1992 oleh penulis dan untuk takikardia ventrikular pada tahun 1996. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) untuk pasien gagal jantung dengan QRS lebar, telah pula dimulai penulis pada tahun 2000. Dengan makin berkembangnya tindakan intervensi kardiologi non bedah, maka tidak mengherankan bahwa minat untuk menjadi ahli kardiologi intervensi semakin tinggi. Di negara-negara maju, untuk menjadi seorang ahli intervensi harus melawati proses yang cukup panjang. Di Australia dan negara-negara Persemakmuran misalnya, pendidikan kardiologi lanjutan ini dikelola oleh perkumpulan dokter ahli (Royal Australian College of Physician).
2.2.3 Perkembangan Kardiologi Intervensi di Indonesia Perkembangan kardiologi intervensi di Indonesia tidak lepas dari peran beberapa dokter ahli seperti Otte J Rachman dan Teguh Santoso, yang boleh dikatakan sebagai poiner di bidang tersebut. Pada tahun 1987 secara terpisah mereka mulai xiii memperkenalkan PCI. Pemasangan pacu jantung dilakukan pertama kali pada tahun 1974, oleh para bedah ahli jantung yaitu Soerarso Hardjowasito dkk. PCI semakin berkembang pesat terutama sejak tersedianya stent pada sekitar tahun 1994, dan obat anti platelet yang sangat kuat seperti ticlopidine, clopidogrel, dan GP IIb/IIIa pada akhir dekade 1990, sehingga PCI menjadi relatif mudah dan aman . Meskipun bebagai tindakan intervensi yang sulit ini sudah dapat dilakukan di Indonesia, namun jumlahnya masih terlalu sedikit bila dibandingkan dengan negara-negara maju, bahkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Ada beberapa sebab yang mendasari, yaitu: Masalah ekonomi, sebagian besar masyarakat kita mampu membiayai intervensi non bedah tersebut. Asuransi kesehatan yang belum memadai. Saat ini hanya pegawai negeri dan keluarga sangat miskin saja yang mempunyai asuransi kesehatan. Itupun tidak dapat memberikan cakupan biaya yang diinginkan seperti untuk pemasangan ICD, pacu jantung kamar ganda dan lain sebagainya. Jumlah rumah saklit yang mempunyai fasilitas untuk tindakan invasif masih sangat sedikit ( hanya sekitar 17 rumah sakit di seluruh Indonesia, sedangkan di Amerika ada sekitar 2000 rumah sakit) Jumlah dokter yang kompeten di bidang kardiologi intervensi masih sangat sedikit. Di Indonesia ada sekitar 410 dokter ahli penyakit jantung, tetapi jumlah yang kompeten di bidang invasif tidak lebih dari 50 orang, dan lebih kurang dari 20 orang diantaranya mempunyai kompetensi di bidang kardiologi intervensi, sementara ahli elektrofisiologi hanya ada 3 orang saja . Yang menjadi masalah adalah, belum ada standarisasi mengenai kompetensi di bidang yang relatif masih baru. Walaupun perkumpulan dokter ahli sudah mempunyai kolegium, namun aturan mengenai bagaimana memperoleh keahlian di bidang ini dan bagaimana tatacara akreditas, masih belum jelas benar. Sementara itu Undang-Undang Praktik Kedokteran sudah menghadang didepan kita. Sebenarnya besar minat dokter ahli jantung muda untuk menjadi ahli kardiologi intervensi, namun fasilitas rumah sakit untuk pendidikan lanjutan masih sangat terbatas. Satu-satunya rumah sakit yang memadai untuk pendidikan kardiologi lanjutan seperti ini hanya di Pusat Jantung National-Harapan Kita. Pendapat ini didasari pada kenyataan bahwa, aktifitas PCI pertahun mencapai + 1500 kasus, pemasangan pacu jantung +150 kasus, intervensi elektrofisiologi + 150 kasus, dan intervensi pediatrik + 100 kasus, serta tindakan invasif keseluruhan yang mencapai xiv lebih dari 5000 kasus per tahun. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau beberapa dokter ahli jantung muda lebih memilih untuk belajar ke luar negeri. Sayangnya proses adaptasi dan kreditasi bagi mereka yang telah menjalani training intervensi di luar negeri, praktis belum ada.
2.2.4 Pendidikan Kardiologi Intervensi di Indonesia Di negara-negara maju seperti di Australia, untuk menjadi dokter ahli jantung, paling tidak harus melalui 2 tahap pendidikan (Junior Registrar dan Senior Registrar) yang masing-masing lamanya 3 tahun. Untuk pendidikan tahap pertama dan kedua, calon peserta harus lulus ujian nasional yang diselenggarakan oleh perkumpulan dokter ahli. Berdasarkan tanda kelulusan tersebut calon peserta dapat mengajukan lamaran ke rumah sakit yang mudah diakreditasi (hospital based) untuk menjalani program pendidikan (fellowship). Selama pendidikan peserta program tidak diperbolehkan untuk praktek, tetapi rumah sakit memberi gaji. Jadi, peserta program pendidikan tidak mengeluarkan biaya apapun, inilah keuntungan dari sistem hospital based. Keuntungan lainnya adalah jumlah lahan pendidikan bisa lebih banyak dan jumlah peserta program dapat dikontrol oleh perkumpulan dokter ahli. Sedangkan kerugiannya adalah jumlah pendidik dan rumah sakit yang diakreditasi harus memadai. Di Indonesia, pendidikan dokter spesialis pada umumnya dan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah khususnya, hanya dilakukan di universitas (university based). Untuk spesialis jantung dan pembuluh darah praktis hanya dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta dan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, meskipun ada upaya untuk memperluas pendidikan ke beberapa universitas. Lama pendidikan sekitar 5 tahun, dan tiap tahun setiap universitas menerima sekitar 10 sampai 15 orang dokter untuk dididik. Perbedaan konsep pendidikan kedokteran spsesialis antara negara maju dan negara kita adalah : di negara maju, seperti diuraikan diatas, peserta program dianggap bekerja di rumah sakit (bertanggung jawab kepada rumah sakit dimana mereka bekerja, meskipun mereka tetap belajar dari para staf senior), sedangkan di negara kita peserta program pendidikan benar-benar hanya dianggap belajar. Dengan sistem seperti ini wajar jika mereka harus membayar, yang kadang-kadang terlampau mahal untuk ukuran orang-orang tertentu. Disamping itu, peserta program lebih banyak bertanggung jawab kepada universitas / fakultas dibanding kepada rumah sakit. Pendidikan dokter ahli (spesialis I) dilakukan oleh Universitas melalui Universitas kedokteran cq xv Departemen terkait. Didalam perkumpulan dokter ahli, juga tedapat kolegium yang salah satu tugasnya mengurusi pendidikan spesialis I. Anggota kolegium, umunya juga berperan sebagai pengelola pendidikan kedokteran spesialis di Universitas, sehingga praktis ada semacam conflict of interest. Pendidikan keahlian yang lebih spesifik seperti kardiologi intervensi, elektrofisiologi dan pacu jantung di Indonesia belum diatur, atau boleh dikatakan belum ada. Padahal antusiasme para dokter ahli jantung muda untuk menjadi ahli kardiologi intervensi ataupun elektrofisiologi demikian besar. Di sisi lain, ada beberapa rumah sakit yang berpotensi dan berpeluang untuk dijadikan tempat belajar. Permasalahan ini perlu dipikirkan bersama. Akankah konsep university based seperti yang berlangsung selama ini ( peserta program diharuskan membayar) tetap dipertahankan ataukah kita berpaling mengikuti negara-negara maju yang menganut konsep hospital based.
2.3 KEBUTUHAN DOKTER AHLI JANTUNG DI INDONESIA
Jumlah dokter ahli jantung di Indonesia masih jauh dari kebutuhan. Jumlah dokter jantung di seluruh Indonesia saat ini 418 orang, sehingga satu dokter melayani 500.000 penduduk. Para dokter jantung kebanyakan enggan ditugaskan di daerah, sebagian besar dokter jantung terkonsentrasi di kota-kota besar. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari saat membuka seminar The Regional Cardiology Update II dan Konker Persatuan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (Perki) ke XI di Palembang, Jumat (23/2) mengatakan rasio dokter jantung dengan pasien di AS dan Eropa 1 : 20.000- 25.000, di Jepang 1 : 10.000-15.000. "Pasien penyakit jantung sangat memprihatinkan karena dokter jantung hanya ada di kota besar. Banyak pasien jantung di daerah yang tidak tertolong. Bahkan di ibukota provinsi seperti Bengkulu tidak ada dokter jantung," kata Siti Fadilah. Menteri Kesehatan mengatakan, Perki harus bisa mencetak dokter jantung yang berkualitas dan mau ditempatkan di daerah. Para dokter jantung diimbau tidak memberikan resep obat yang mahal. Ketua Umum Perki Muhammad Munawar mengatakan penyakit jantung koroner adalah penyakit pembunuh nomor satu di Indonesia sejak tahun 1992. Penyebabnya adalah gaya hidup masyarakat terutama pola makan. "Sampai sekarang baru dua tempat pendidikan dokter jantung di Jakarta dan Surabaya, kami akan berusaha membuka di 11 tempat pendidikan baru. Idealnya satu dokter jantung melayani 100.000 penduduk," ujar Munawar
xvi
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
KURANGNYA AHLI JANTUNG DI INDONESIA KETERBATASAN CENTER PENDIDIKAN JANTUNG BANYAK DOKTER JANTUNG DI KOTA BESAR xvii
ANGKA KEMATIAN YANG TINGGI AKIBAT PJK TINGGINYA BIAYA PELAYANAN KESEHATAN TERKAIT PJK PERUBAHAN GAYA HIDUP PELAYANANAN KESEHATAN YANG TIDAK MERATA xviii BAB IV PEMBAHASAN
Penyakit jantung koroner masih merupakan penyakit pembunuh nomer satu di Indonesia. Padahal perkembangan tekhnologi telah meningkat begitu pesat baik berupa prosedur diagnostik dan terapi yang tlah maju. Pada Negara maju, telah banyak riset dan penelitian dengan harapan dapat mencegah dan meningkatkan harapan hidup pada pasien penyakit jantung koroner Di era globalisasi tantangan ini tentunya memberikan dampak yang besar bagi perkembangan Negara kita, baik dampak positif ataupun negatif.
Menilik data Biro Pusat Statistik tahun ini, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai angka 255 juta jiwa, dengan pertumbuhan rata-rata per tahunnya sebesar 3 juta jiwa. Jadi bukanlah suatu isapan jempol belaka apabila potensi Indonesia di bidang kesehatan dianggap sangat potensial untuk mendulang pundi-pundi kekayaan sesuai dengan filosofi kapitalisme World Trade Organization (WTO). Faktanya, Indonesia merupakan negara yang cukup diminati oleh negara asing. Pertama, karena memiliki potensi pasar yang besar, terkait dengan jumlah penduduk yang besar. Kedua, kondisi perekonomian Indonesia saat ini menuju ke arah lebih baik. Dengan potensi yang demikian, tidaklah mengherankan jika kelak banyak dokter atau tenaga kesehatan asing yang berniat mencari kerja di Indonesia. Sayangnya, negara kita belum siap untuk memenuhi ekspektasi tersebut sementara negara tetangga kita sudah siap bertempur. Ada berbagai faktor dalam sistem pendidikan dan sumber daya manusia yang menghambat internasionalisasi bidang kesehatan, khususnya pendidikan dokter spesialis jantung. Misalnya saja kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah ditunjang dengan keterbatasan kita dalam penguasaan teknologi. Seharusnya liberalisasi pada bidang kesehatan menjadi cambuk bagi kita sehingga kita memfokuskan upaya kita pada peningkatan mutu atau profesionalisme. Dengan demikian, apapun yang terjadi dimasa mendatang dokter spesialis Indonesia tidak perlu takut lagi untuk bersaing, baik dalam cakup nasional maupun internasional.
Adapun kendala-kendala yang kita hadapi dalam rangka internasionalisasi pendidikan spesialis jantung di Indonesia adalah sistem pendidikan serta kualitas xix SDMnya yang tidak berstandar internasional, sebagaimana telah diutarakan di atas, Selain itu perubahan gaya hidup pada masyarakat, pelayanan kesehatan yang tidak merata dan tingginya biaya pelayanan juga perlu mendapat kajian yang penting.
4.1 Dokter spesialis Jantung di Indonesia masih kurang 4.1.1 Rasio Dokter Spesialis. Dalam hal ketersediaan tenaga dokter spesialis, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Jumlah dokter ahli jantung di Indonesia masih jauh dari kebutuhan. Jumlah dokter jantung di seluruh Indonesia saat ini 418 orang, sehingga satu dokter melayani 500.000 penduduk. Para dokter jantung kebanyakan enggan ditugaskan di daerah, sebagian besar dokter jantung terkonsentrasi di kota- kota 4.1.2 Proyeksi Kebutuhan Dokter Spesialis. Saat ini belum ada proyeksi kebutuhan dokter spesialis di seluruh Indonesia yang disusun berdasarkan kebutuhan di seluruh rumah sakit pemerintah maupun permohonan yang diajukan oleh rumah sakit swasta. 4.1.3 Keterbatasan Waktu yang Dimiliki. Saat ini seorang lulusan dokter umum di Indonesia, pada umumnya harus melaksanakan Wajib Kerja Sarjana (WKS) sebagai dokter PTT selama 3 tahun. Demikian pula, pada saat akan mengikuti program pendidikan dokter spesialis, seorang calon residen paling sedikit harus menunggu sampai dengan 6 bulan. Kemudian setelah itu akan menjalani masa pendidikan selama 4 - 6 tahun. Oleh karena itu, maka rata-rata usia lulusan dokter spesialis di Indonesia adalah 35 tahun. Namun, pada saat itu umumnya para dokter lulusan baru belum mencapai tahap kemapanan secara sosial maupun ekonomi, sehingga waktu yang dapat digunakan untuk pengembangan ilmu spesialisnya menjadi sangat kurang.
4.2 Pendidikan dokter spesialis Jantung di Indonesia belum mampu mencetak dokter spesialis berstandar internasional Kendala yang ditemui dalam sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia, antara lain : xx 4.2.1 Berseberangannya Visi dan Misi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Kesehatan. Sampai dengan saat ini masih banyak kebijakan-kebijakan di antara kedua departemen tersebut yang tidak jarang menimbulkan konflik atau masalah, baik dalam hal proses pendidikan dokter spesialis yang berada di bawah naungan DepDikBud ataupun proses pelayanan yang menjadi tanggung jawab DepKes. 4.2.2 Sistem Pendidikan Tidak Efektif. Sejak tahun 1983 telah diterapkan Sistem Kredit Semester (SKS) pada pendidikan dokter umum di fakultas-fakultas kedokteran negeri. Namun pada kenyataannya sistem yang diterapkan pada tahap pendidikan dokter umum ini tidak efektif dan berdampak pada dokter umum yang dihasilkan sehingga mempengaruhi kualitas calon residen yang akan dididik di dalam program spesialisasi. Terlebih lagi jika mengingat selama menjalani WKS (Wajib Kerja Sarjana) di Puskesmas, mereka lebih banyak diberi tugas administratif (95%), sehingga kemampuan profesionalisme kedokterannya menjadi jauh menurun. 4.2.3 Materi Standar Pendidikan Dokter Spesialis Tidak Sinkron dengan Kebutuhan yang Ada dalam Pelayanan. Walaupun telah disepakati oleh konsorsium ilmu kesehatan dan berbagai organisasi profesi bahwa produk dokter spesialis maupun subspesialis yang dihasilkan harus memiliki karakter sebagai seorang "academic professional", namun pada pelaksanaannya belum ada kesinkronan antara kebutuhan pelayanan dengan pengembangan keilmuan pada proses pendidikan spesialis. 4.2.4 Minimnya Jumlah Rumah Sakit Pendidikan. Jumlah rumah sakit pendidikan yang sekarang dapat digunakan untuk pendidikan dokter spesialis hanya berjumlah 12 buah saja, dan semuanya dengan daya tampung yang sangat terbatas. 4.2.5 Rumah Sakit Pendidikan Tidak Memenuhi Standart. Tidak jarang terdapat benturan-benturan kebijakan dan kepentingan akibat beragamnya status kepegawaian para dokter yang bernaung di bawah DepKes dan DepDikBud, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan kesehatan terhadap pasien. Di samping itu pula, ada bagian-bagian disiplin ilmu spesialis yang seolah-olah seperti kerajaan kecil sehingga menyulitkan direktur rumah sakit dalam mengendalikan manajemen, menegakkan disiplin, serta menetapkan standar pelayanan, pola tarif ,dan jasa medik. xxi 4.2.6 Profesionalisme Staf Pengajar. Sebagian besar staf pengajar pada saat ini adalah pegawai negeri dan sekaligus bekerja secara paruh waktu di rumah sakit swasta. Hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi mutu residen yang sedang mereka didik. Rendahnya insentif yang diperoleh, terutama di rumah sakit - rumah sakit pemerintah, membuat para staf pengajar tidak puas dengan penghasilan tersebut. 4.2.7 Sistem Gaji Residen. Residen yang mengikuti pendidikan spesialis tidak mendapat gaji dari rumah sakit sehingga hal ini diduga menurunkan dedikasi dokter terhadap pasien, yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pelayanan kepada pasien. 4.2.8 Lamanya Waktu Pendidikan. Lamanya waktu yang harus ditempuh untuk menjadi seorang residen dalam program spesialis juga menyebabkan lambatnya pertambahan lulusan baru. 4.2.9 Ketiadaan Pengakuan Internasional Dan Regional. Sebagian besar lulusan dokter spesialis di Indonesia belum mendapat pengakuan internasional maupun regional. Sedangkan para lulusan dari negara tetangga lainnya seperti Filipina, Singapura, Malaysia, Hongkong, Bangladesh, dan India telah mendapat ijasah yang diakui secara internasional. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah untuk masuk ke Indonesia dan dengan demikian mereka memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan dengan para lulusan domestik. 4.2.10 Intervensi Perusahaan Farmasi. Bisnis perusahaan obat yang menghalalkan berbagai cara ikut mengkontaminasi iklim dunia pendidikan dan menyebabkan deteriorasi moral serta persaingan yang tidak sehat di antara para dokter.
4.3 Upaya menginternasionalisasi Pendidikan Dokter Spesialis 4.3.1 Meningkatkan Profesionalisme Dokter Spesialis Upaya yang paling penting untuk meningkatkan mutu dan daya saing dokter spesialis Indonesia adalah meningkatkan profesionalisme dokter spesialis. Langkah- langkah strategis yang penting dilakukan adalah sebagai berikut : 4.3.1.1 Perlu dibedakan jalur pendidikan akademis dengan profesi. xxii Pendidikan profesi yang akan menghasil dokter spesialis ataupun subspesialis sebaiknya sepenuhnya diselenggarakan dan menjadi tanggung jawab dari masing-masing kolegium bidang spesialisasi tertentu. Dengan demikian pendidikan dokter spesialis berada dalam basis rumah sakit dan tingkat penerimaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan DepKes. Namun demikian, demi untuk meningkatkan nilai keilmuan maka rumah sakit pendidikan yang diselenggarakan oleh universitas pun perlu terus ditingkatkan. Jalur pendidikan akademis sepenuhnya diselenggarakan dan menjadi tanggung jawab universitas, di samping yang berasal dari perguruan tinggi. Dengan demikian diharapkan terdapat suatu hubungan yang harmonis dan timbal balik antara pengembangan ilmu itu sendiri dengan pemecahan masalah-masalah yang berkembang dari pelayanan profesi. Perlu ditingkatkan terus kerja sama multidisiplin di dalam pengembangan penelitian maupun pendidikan profesi sehingga produk-produk yang dihasilkan pada akhirnya dapat memecahkan semua permasalahan yang timbul di lapangan. 4.3.1.2 Di dalam proses pendidikan spesialis diperlukan adanya ujian masuk bagi para Calon residen secara nasional. Dengan dilakukannya ujian tersebut maka dapat diterapkan penilaian terhadap kemampuan - kemampuan dasar yang diperlukan oleh seorang dokter spesialis dan rekomendasi penyesuaian bidang spesialis yang paling tepat dan sesuai dengan kemampuan dasar tersebut. Hal ini telah dilaksanakan di Amerika Serikat dalam bentuk "National Matching Program". Di dalam program ini malah telah diberikan pula kepada para calon residen, berbagai rumah sakit pusat pendidikan yang dapat menerima mereka ataupun memerlukan bidang spesialis tertentu yang mungkin berkesesuaian dengan kemampuan dan pilihan para kandidat. Walaupun tidak memiliki sistem residensi dalam pendidikan spesialis, proses seleksi yang hampir mirip dilakukan pula di Inggris dalam bentuk seleksi bagi para lulusan dokter umum, yang di sana diharuskan untuk memilih bidang spesialisasi tertentu setelah menjadi "senior house officer" di suatu rumah sakit. Dengan adanya proses seleksi tersebut, maka mejadi kewajiban pemerintah untuk menetapkan proyeksi kebutuhan xxiii dokter spesialis di Indonesia, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. 4.3.1.3 Perlu diadakan ujian nasional yang diselenggarakan oleh kolegium organisasi profesi setelah selesai pendidikan spesialis, bahkan organisasi profesi dianjurkan untuk meningkatkannya menjadi ujian regional maupun internasional melalui kerja sama organisasi profesi internasional. 4.3.1.4 CME (Continuing Medical Education) yang dilembagakan, peer review, "clinical audit" dan relisensi bagi yang sudah lulus. Hal ini sangat diperlukan agar supaya para lulusan dapat terus menjaga dan meningkatkan kemampuannya sehingga tidak tertinggal oleh kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dan mutu pelayanan yang diberikan tetap sesuai dengan standar yang masih berlaku. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan secara melembaga oleh organisasi profesi dan ditunjang pula oleh rumah sakit tempat dokter tersebut bekerja melalui "sponsorship" untuk mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Hendaknya pula di dalam sistem penggajian tenaga dokter spesialis tetap di suatu rumah sakit telah mencakup aspek tersebut. Dengan diberlakukannya "peer review" dan "clinical audit"di rumah sakit maka standar pelayanan yang bermutu dapat dipertahankan dan terdapat umpan balik bagi para dokter spesialis untuk menjaga kualitas pelayanannya. Rlisensi secara berkala menjadi syarat mutlak untuk menilai pengetahuan dan ketrampilan seorang dokter spesialis setelah mengikuti berbagai program CME. 4.3.1.5 Dilakukan akreditasi oleh pemerintah, dalam hal ini kerja sama antara DepDikBud, DepKes, dan organisasi profesi pada setiap rumah sakit pendidikan, fakultas kedokteran, dan pusat-pusat pendidikan spesialis non universitas. Dengan demikian tercapai suatu standarisasi materi maupun mutu pelayanan dokter spesialis di Indonesia, serta memudahkan di dalam pengawasan pelaksanaan proses pendidikan. Dengan dilakukannya hal tersebut maka diharapkan dapat melindungi kepentingan dan keselamatan pasien Hal ini sejalan dengan akan diberlakukannya oleh pemerintah tentang Undang-Undang Kesehatan dan Perlindungan Konsumen setelah mengalami pengesahan oleh DPR RI. Dengan adanya usaha-usaha tersebut diharapkan akan menghasilkan dokter spesialis yang bermutu tinggi, bertaraf internasional, dan memiliki daya saing xxiv di awal abad ini. Tentunya kitalah yang menentukan arah pendidikan dokter spesialis di negara kita; mengutip dari pernyataan Prof. Dr. M. Ahmad Djojosugito, dr, MHA, MBA, MM, SpBO, FICS yaitu apakah dokter spesialis di Indonesia akan menjadi "a society of kuli, atau malahan menjadi "kuli among the professional societies, atau justru kita menjadi " society of proffesionals or being professional among the societies ". 4.3.2 Meningkatkan Produksi Dokter Spesialis Dengan Semangat Mencerdaskan Bangsa 4.3.2.1 Melibatkan rumah sakit dan institusi pendidikan pemerintah dan swasta pada pendidikan dokter spesialis. Hal ini sejalan dengan akan disahkannya Undang-Undang Anti Monopoli dan Kartel oleh DPR RI dan akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Undang-undang tersebut juga akan termasuk pula dalam bidang jasa pelayanan kedokteran, yang memiliki implikasi bahwa pendidikan spesialis tidak menjadi monopoli pemerintah. Keuntungan lain yang diperoleh dengan mekanisme tersebut adalah penambahan wawasan akan kasus-kasus penyakit oleh para residen, pengenalan terhadap alat-alat dan teknologi kedokteran maju yang sering tidak terdapat di rumah sakit pemerintah. 4.3.2.2 Penerimaan residen dipermudah, tapi dengan seleksi objektif. Juga diusahakan agar lebih banyak yang masih berusia muda, bahkan kalau mungkin secara langsung dari para lulusan dokter yang baru. 4.3.2.3 Residen tidak dipungut bayaran pendidikan, kecuali iuran organisasi, malahan mereka mendapat gaji yg progresif sesuai senioritas dan beban tanggung jawabnya. Hal ini telah dijalankan di negara-negara maju. 4.3.2.4 Mengembangkan jalur-jalur pengembangan karir dokter umum yang fleksibel dan memungkinkan untuk mengikuti pendidikan spesialis yang lebih awal dan cepat. Dengan diberlakukannya WKS dengan sistem dokter PTT, maka akan lebih banyak dokter yang akan bekerja di swasta, oleh karena daya serap instansi pemerintah dan TNI/POLRI hanya sekitar 15% saja. Dengan demikian kelak para calon residen sebagian besar adalah dokter swasta. Keadaan tersebut menuntut fleksibilitas peraturan yang dapat mengijinkan spesialisasi dapat lebih cepat dilaksanakan. xxv 4.3.3 Menetapkan Prosedur Masuknya Tenaga Dokter Asing Di Indonesia Saat ini telah tersusun draft/konsep Peraturan Menteri Kesehatan RI Tentang Penggunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Pendatang. Sebelum konsep tersebut menjadi peraturan yang resmi perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam dan melibatkan berbagai pihak sehingga dicapai konsep yang baik dan matang, serta terintegrasi dengan berbagai kebijakan yang bersifat lintas sektoral dan berkaitan dengan hal tersebut. 4.3.4 Menyusun Agenda Nasional Dalam Memasuki Era Global Mengingat proses pendidikan untuk menghasilkan dokter spesialis yang handal memerlukan waktu yang lama, maka perlu juga dilakukan upaya- upaya strategis yang diwujudkan dalam agenda nasional yang berkaitan dengan dokter spesialis dan melalui pentahapan program baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang yang secara bersama disusun oleh instansi-instansi yang terkait.
xxvi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN 5.1.1 Jumlah dokter spesialis Jantung di Indonesia relatif sangat sedikit karena pusat- pusat pendidikan dokter spesialis jumlahnya sedikit dan kemampuannya terbatas. 5.1.2 Diperkirakan akan terjadi krisis ketenagaan dokter spesialis Jantung di Indonesia, berhubung jumlah dokter spesialis dalam usia produktif akan menurun, sedangkan jumlah penggantinya tidak mencukupi. Oleh karena itu, akan banyak rumah sakit swasta di Indonesia yang memalingkan perhatiannya kepada para dokter spesialis asing yang bersedia bekerja di Indonesia. 5.1.3 Dengan bertambah banyaknya rumah sakit modern, baik yang dibangun oleh Penanam Modal Asing (PMA) maupun Dalam Negeri (PMDN), yang dilengkapi dengan perlengkapan canggih dan dokter subspesialis dari luar negeri karena masih sangat sedikitnya tenaga tersebut di Indonesia. 5.1.4 Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, upaya yang paling baik adalah meningkatkan mutu pendidikan dokter spesialis jantung sesuai dengan mutu internasional. Usaha-usaha ke arah tersebut tidak boleh ditunda-tunda dan memerlukan cara berfikir kita yang radikal sehingga menghasilkan kebijakan- kebijakan yang hasilnya baru dapat dipetik dalam 10 tahun mendatang. Tidak terdapat "Crash program" untuk menghasilkan dokter spesialis jantung , sebab pendidikan dokter spesialis memerlukan waktu yang lama.
5.2 SARAN 5.2.1 Meningkatkan Profesionalisme Dokter Spesialis Jantung Upaya yang paling penting untuk meningkatkan mutu dan daya saing dokter spesialis Indonesia adalah meningkatkan profesionalisme dokter spesialis. Langkah- langkah strategis yang penting dilakukan adalah sebagai berikut : Perlu dibedakan jalur pendidikan akademis dengan profesi. Di dalam proses pendidikan spesialis diperlukan adanya ujian masuk bagi para Calon residen secara nasional. Perlu diadakan ujian nasional yang diselenggarakan oleh kolegium organisasi profesi setelah selesai pendidikan spesialis, bahkan organisasi profesi xxvii dianjurkan untuk meningkatkannya menjadi ujian regional maupun internasional melalui kerja sama organisasi profesi internasional. CME (Continuing Medical Education) yang dilembagakan, peer review, "clinical audit" dan relisensi bagi yang sudah lulus. Dilakukan akreditasi oleh pemerintah, dalam hal ini kerja sama antara DepDikBud, DepKes, dan organisasi profesi pada setiap rumah sakit pendidikan, fakultas kedokteran, dan pusat-pusat pendidikan spesialis non universitas. 5.2.2 Meningkatkan Produksi Dokter Spesialis Jantung Dengan Semangat Mencerdaskan Bangsa Melibatkan rumah sakit dan institusi pendidikan pemerintah dan swasta pada pendidikan dokter spesialis. Penerimaan residen dipermudah, tapi dengan seleksi objektif. Juga diusahakan agar lebih banyak yang masih berusia muda, bahkan kalau mungkin secara langsung dari para lulusan dokter yang baru. Residen tidak dipungut bayaran pendidikan, kecuali iuran organisasi, malahan mereka mendapat gaji yg progresif sesuai senioritas dan beban tanggung jawabnya. Hal ini telah dijalankan di negara-negara maju. Mengembangkan jalur-jalur pengembangan karir dokter umum yang fleksibel dan memungkinkan untuk mengikuti pendidikan spesialis yang lebih awal dan cepat.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
xxviii 1. Adipranoto JD, Penyakit Jantung Koroner, Pedoman Diagnosis Dan Terapi, Lab/SMF Ilmu Penyakit Jantung FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2006 2. Munawar M Jurnal Kardiologi Indonesia. Januari 2007, http://www.jantunghipertensi.com, 10 February, 2010, 15:52 3. Almatsier M.: Kiat Profesi dalam Mengantisipasi Masuknya Tenaga Kerja Asing, disajikan pada Seminar Nasional III dan Hospital Expo XI, Jakarta, 16 - 19 Maret 1999. 4. Djojosugito, M.A. : Masyarakat Kedokteran Indonesia Menghadapi 2010 (Masyarakat Orthopaedi Indonesia sebagai kajian khusus), Pidato Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Luar Biasadalam Ilmu bedah Orthopaedi , pada Fakultas Kedokteran UI , Jakarta 2 September 1999. 5. Gough,M.H. : How Should Surgical Trainee be Selected ? in Oxford Textbook of Surgery, edited by Morris P.J. and Malt R.A., Vol. 2, Oxford University Press, 1994. 6. Grol R. and Lawrence M.: Quality Improvement by Peer Review, Oxford Medical Publications, Oxford University Press, 1993. 7. Ingerani : Legalitas Tenaga Kerja Asing di Rumah Sakit , disajikan pada Seminar Nasional III dan Hospital Expo XI, Jakarta, 16 - 19 Maret 1999. 8. Karnadihardja W.: Peran dan Posisi Komite Medik dalam Sistem Manajemen Rumah Sakit, Dalam Seminar : Spesialis, Komite Medik dan Sistem Manajemen RS, Selasa 30 Maret 1999 di Auditorium FK-UGM Yogyakarta. 9. Karnadihardja W.: Peran Komite Medik dalam Proses Peningkatan Mutu Rumah Sakit , dalam Seminar : Peningkatan Mutu Pelayanan di Rumah sakit Melalui Indikator Klinik Rumah Sakit, diselenggarakan oleh Dirjen Yanmed, Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta DepKes RI , Jakarta 22 Juni 1999. 10. Panyarachun , A. : Chulalongkorn, Thailand's Beloved Monarch Reformed His Ancient Land and Opened It to The West, Without Surrendering Its Sovereignty, in Special Double Issue TIME, The Most Influential Asians of the 20 th Century, August 23 & 30 1999. 11. Satrio U.S. : Dokter Spesialis dan Permasalahannya Ditinjau dari Aspek Pemanfaatan, Jendela Rumah Sakit , No. 11, Th. V 1999: 12 - 13, 38 - 40. 12. Snook I.D. Jr : Hospitals, What They Are and How They Work, 2 nd Edition, An Asper Publication, 1992. xxix 13. Suwarganda J., Lameijer W., Zandstra D.F. : Preeliminary Feasibility Study - Rumah Sakit Dago (RSD) General Hospital, Thorax and Pacemaker Center, Bandung, Indonesia, January 1999. 14. Trisnantono L.. : Data Jumlah Tenaga Medik pada Semua Rumah Sakit Menurut Kualifikasi di Propinsi Indonesia Tahun 1999 (per Desember 1998) Magister Manajemen Rumah Sakit, Universitas Gajah Mada, Agustus 1998. 15. Trisnantono L. : Spesialis dan Sistem Manajemen Rumah Sakit - Mencari Hubungan yang Terbaik, Dalam Seminar : Spesialis, Komite Medik dan Sistem Manajemen RS, Selasa 30 Maret 1999 di Auditorium FK-UGM Yogyakarta.