Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Dalam pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit, klinik maupun


puskesmas sering terjadi kesalahan obat. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa hal misalnya karena ketidaktelitian petugas atau kurang
pemahaman pada saat penyiapan dan pemberian obat atau karena
kesalahan penulisan resep, dan dapat juga karena ketidaktahuan petugas
maupun kurangnya komunikasi. Dalam hal ini, kejadian ketidaksesuaian
dapat terjadi di beberapa tempat. Dari hasil survey di dapatkan bahwa
diskrepansi terjadi pada saat admisi sebesar 22%, pada saat pemindahan
pasien 66%, dan pada saat pasien pulang sebesar 12% (Santell J. Journal of
Qual and Patient Saf, 2006;32:225-9).
Masalah yang terjadi pada saat admisi dari 151 pasien minimum
mendapatkan 4 obat, 53% dari 150 pasien teridentifikasi minimum 1
diskrepansi yang tidak disengaja. Sedang jenis diskrepansi yang paling
banyak adalah omission. Dari data tersebut ditemukan sebanyak 38%
diskrepansi berpotensi membahayakan dalam tingkat serius. (Comish, et al.
Arch Intern Med. 2005; 165: 424-9).
Sedangkan masalah yang ditemukan saat discharge didapatkan
bahwa satu dari lima pasien mengalam adverse event saat transisi dari rumah
sakit ke rumah. Sedangkan 66% merupakan adverse drug event dan 62%
sebenarnya dapat dicegah. (Forster AJ, et al. Ann Intern Med. 2003; 138:
161-7).
Dari data diatas tampak bahwa masalah-masalah tersebut
seharusnya dapat dihindari maupun dicegah, salah satunya dengan cara
komunikasi, dalam hal ini dapat dilakukan dengan rekonsiliasi obat dimana
dengan dilakukannya rekonsiliasi akan didapatkan data obat yang pernah
digunakan dan sedang digunakan oleh pasien yang dapat dibandingkan
dengan obat yang akan digunakan. Dengan melakukan rekonsiliasi dapat
mencegah adanya diskrepansi dimana manfaat rekonsiliasi obat itu dapat
terbukti dengan adanya partisipasi apoteker dalam ronde, rekonsiliasi obat
dan verifikasi instruksi pengobatan menurunkan angka kesalahan obat secara
bermakna. (Scarsi, K et al. Am J Health-Syst Pharm. 2002; 59: 2089-92).
Disamping itu manfaat rekonsiliasi obat juga terbukti dimana 94%
pasien setelah pindah dari ICU berubah terapinya. Dengan rekonsiliasi maka,
hamper semua kesalahan obat dapat dicegah saat pasien akan pulang.
(Provonost P, et al. Journal of Critical Care. 2003; 18:201-205).

Tujuan
Tujuan dilakukan rekonsiliasi obat adalah:
a. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan
pasien.
b. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya
instruksi dokter; dan
c. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi
dokter

Pengertian
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan
untuk mencegah terjadinya kesalahan obat (medication error) seperti obat
tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat
(medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah
sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang
keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya.
Kegiatan rekonsiliasi obat di rumah sakit dilakukan pada saat:
1. Admisi
2. Transfer
3. Saat pasien akan pulang
Hal ini dapat digambarkan sesuai bagan berikut:

Jenis Diskrepansi
Diskrepansi dapat terjadi secara disengaja maupun tidak
1. Disengaja, tapi tidak dicatat :
Contoh : dokter memang bermaksud
menambah/mengganti/menghentikan obat, tetapi maksud ini tidak
dicatat secara jelas.
2. Tidak disengaja, salah dalam pencatatan
Contoh : Dokter secara tidak sengaja mencatat secara salah

Peran dokter dalam rekonsiliasi obat yaitu melakukan evaluasi terapi dimana
menentukan terapi yang akan diteruskan, dihentikan, ditambahkan, ataupun
dimodifikasi regimen dosis obat, disamping itu dokter berperan melakukan
pemantauan evaluasi kesesuaian penggunaan obat. Dokter jga harus
melakukan rekonsiliasi setiap akan menuliskan resep. Sedangkan peran
apoteker dalam rekonsiliasi obat yaitu memastikan informasi yang akurat
tentang obat yang digunakan serta mengidentifikasi adanya diskrepansi baik
yang disengaja maupun yang tidak disengaja, disamping harus mengatasi
diskrepansi dengan komunikasi.
Tahapan
Tahap proses rekonsiliasi obat yaitu:
a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat
mulai diberikan, diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi
pasien serta efek samping obat yang pernah terjadi. Khusus untuk
data alergi dan efek samping obat, dicatat tanggal kejadian, obat
yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan.
Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari pasien, keluarga
pasien, daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam
medic/medication chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih
dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
Semua obat yang digunakan oleh pasien baik resep maupun
obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
Data riwayat penggunaan obat yang dicatat meliputi nama obat,
dosis, frekuensi, rute, riwayat alergi, ESO, dan medication error
(Ketidakpatuhan, tidak mendapat obat, dan lain-lain).

Ada 3 informasi sumber data riwayat penggunaan obat yaitu :


1. Primer
Merupakan Infromasi verbal dari pasien atau keluarga atau yang
merawat, disamping itu dapat juga dari data obat pasien, serta
Obat yang dibawa pasien ( catat tanggal pemberian atau
penerimaan obat dan tanggal kadaluarsa)
2. Sekunder
Data didapat dari dokter yang merawat pasien sebelumnya atau
dari apoteker dimana pasien sering membeli obat di apotek
tersebut serta dapat juga dari petugas institusi kesehatan yang
merawat pasien sebelumnya (misalnya: puskesmas, panti
asuhan)
3. Tersier
Data didapat dari rekam medis atau dapat juga dari rekam
pemberian obat terbaru atau dari surat pengantar pemindahan /
transfer pasien atau dapat juga dari dokumentasi rekonsiliasi
obat sebelumnnya.

Jika ada perubahan pengobatan yang dikehendaki oleh dokter,


maka harus ditulis alasan perubahan tersebut mengapa dihentikan ,
diganti, dilanjutkan, mulai diberikan, riwayat alergi, maupun efek
samping obat yang terjadi. Sedangkan untuk data alergi dan efek
samping obat, dicatat pula tentang tanggal kejadian, obat yang
menyebabkan, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan. Dalam
melaksanakan pendataan obat maka yang perlu dicatat adalah nama
obat, dosis obat (dalam mcg / mg / g / unit), frekuensi pemberian dan
untuk pemberian “bila perlu”, rute pemberian serta jam pemberian.
Disamping data diatas adakalanya diperlukan informasi
tambahan dalam pengambilan keputusan, informasi tersebut berupa :
o Indikasi
o bentuk sediaan misalnya : inhaler, krim, spray, ointment,
lotion
o obat – obat over the counter (OTC)
o obat – obat yang baru saja digunakan atau dihentikan
o Kondisi khusus : Menyusui, kehamilan, gangguan ginjal
dan hepar
o Pola hidup : merokok, alcohol, obat yang digunakan pada
saat tertentu (recreational drugs)
o Waktu minum obat terakhir
o Tanggal pengambilan obat terakhir

b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data obat yang pernah,
sedang dan akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan
adalah bilamana ditemukan ketidakcocokan/perbedaan diantara data-
data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada obat yang
hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang
didokumentasikan pada rekam medic pasien. Ketidakcocokan ini
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan
resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak
tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan resep.
c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan
ketidaksesuaian dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang
dari 24 jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh apoteker adalah:
1) Menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau
tidak disengaja;
2) Mendokumentasikan alas an penghentian, penundaan, atau
pengganti; dan
3) Memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya
rekonsiliasi obat.
d. Komunikasi
Melakukan komunikasi dengan pasien dan / atau keluarga
pasien atau perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi. Apoteker
bertanggung jawab terhadap informasi obat yang diberikan. Disamping
itu diperlukan komunikasi antara apoteker, dokter, perawat, dan pasien
bila ada ketidaksesuaian segera hubungi dokter dalam waktu 24 jam,
selanjutnya dokter akan :
o Menentukan perbedaan tersebut disengaja atau tidak
o Mendokumentasikan mengapa obat distop, ditunda,
diganti, atau mulai diberikan
o Tanda tangan dan tanggal waktu dilakukan rekonsiliasi

Hal yang harus dikomunikasikan pada proses rekonsiliasi obat


meliputi :
o Data lengkap pasien
o Tanggal dan waktu proses rekonsiliasi dilakukan
o Sumber informasi
o Data obat, alergi, dan riwayat efek samping obat
o Maksud dan tujuan bila ada perbedaan obat
o Data petugas kesehatan

Setelah dilakukan rekonsiliasi obat harus dilanjutkan dengan


pemantauan terapi obat serta konseling obat pada pasien, baik selama
pasien dirawat di rumah sakit maupun saat pasien akan pulang.

Sebelum dilakukan rekonsiliasi perlu dilakukan penelusuran riwayat


penggunaan obat yaitu mencatat obat-obat yang pernah dan sedang
digunakan pasien sebelum dirawat di rumah sakit, riwayat alergi, efek
samping, medication error (ketidakpatuhan, mismanajemen obat di rumah
sakit), melakukan cek silang dengan sumber informasi lain.
Rekonsiliasi dilakukan dengan menggunakan form rekonsiliasi obat
seperti contoh berikut :
PENCATATAN OBAT SAAT TRANSFER

Nama Pasien :
Tanggal Lahir :
No. RM :
No. Nama Obat Jumlah Dosis Frekuensi Cara
Pemberian

PENCATATAN OBAT SAAT PULANG

Nama Pasien :
Tanggal Lahir :
No. RM :
No. Nama Obat Jumlah Dosis Frekuensi Cara
Pemberian

Pengobatan dilanjutkan :
o Poliklinik
o RS Lain
o PUSKESMAS
o Dokter luar

PENCATATAN OBAT SAAT TRANSFER KE RUMAH SAKIT LAIN

Nama Pasien :
Tanggal Lahir :
No. RM :
No. Nama Obat Jumlah Dosis Frekuensi Cara
Pemberian

Kesimpulan

Dalam melaksanakan terapi dengan penggunaan obat banyak terjadi


medication error khususnya tentang kesalahan obat. Hal ini dapat dicegah
atau dikurangi dengan cara melaksanakan rekonsiliasi obat yang dilakukan
pada saat admisi, saat transfer, serta saat pasien akan pulang. Adapun
tahapan rekonsiliasi adalah pengumpulan data, komparasi, konfirmasi, serta
komunikasi.

Tinjauan Pustaka
1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
2. Kementerian Kesehatan RI, Komisi Akreditasi Rumah Sakit, Standar
Nasional Akreditasi Rumah Sakit tahun 2017
3. Santell J. Journal of Qual and Patient Saf. 2006; 32: 225-9
4. Comish, et al. Arch Intern Med. 2005; 165: 424-9
5. Forster AJ, et al. Ann Intern Med. 2003; 138;161-7
6. Provonost P, et al. Journal of Critical Care. 2003; 18:201-205

Anda mungkin juga menyukai