Anda di halaman 1dari 8

TUGAS FARMASI RUMAH SAKIT

PELAYANAN FARMASI KLINIK


“Rekonsiliasi Obat”

Kelompok 7
Ni Putu Nurdika Asih 182211101025
Huuril maula A. 182211101026
Erika Dwi R. 182211101027
Luna Ivanka D. E 182211101028

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2018
REKONSILIASI OBAT

Pelayanan kesehatan di rumah sakit yang dilakukan oleh tenaga kesehatan


kepada pasien dapat menimbulkan kesalahan dalam pengobatan (medication
error). Medication error dapat terjadi di berbagai tahap pelayanan kesehatan, salah
satunya ketika pasien baru masuk rumah sakit, perpindahan kamar atau rujukan
dari rumah sakit lain. Hal tersebut dapat terjadi karena kesalahan dalam
komunikasi atau tidak adanya informasi penting terkait obat atau hal lainnya
tentang pasien. Salah satu upaya untuk meminimalkan medication error tersebut
yaitu dengan dilakukannya rekonsiliasi obat oleh tenaga kesehatan yang ada di
rumah sakit.
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi
pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk
mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat
(medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit
ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari
Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya (Kemenkes RI, 2014).

1. Tujuan dan Tahap Proses Rekonsiliasi Obat menurut Permenkes RI No.


58 Tahun 2014
1.1 Tujuan dilakukannya rekonsiliasi Obat adalah:
a. memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien
b. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi
dokter
c. mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter

1.2 Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:


a. Pengumpulan data
Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan
pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti,
dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat yang
pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal
kejadian, Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan Obat didapatkan
dari pasien, keluarga pasien, daftar Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan
rekam medik/medication chart. Data Obat yang dapat digunakan tidak lebih dari
3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep
maupun Obat bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.

b. Komparasi
Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan
akan digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula
terjadi bila ada Obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep
maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya
perbedaan pada saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian


dokumentasi.
Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24
jam. Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker adalah: 1) menentukan bahwa
adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja; 2) mendokumentasikan
alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan 3) memberikan tanda tangan,
tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi Obat.
Rekonsiliasi obat dapat membantu meningkatkan pelayanan farmasi klinik
seperti memberi informasi mengenai kakuratan obat yang yang digunakan pasien
di rumah sakit, ketidak sesuaian obat akibat tidak terdokumentasikannya instruksi
dokter di rumah sakit, serta ketidaksesuaian pemberian obat akibat tak terbacanya
industry doker di rumah sakit
2. Gambaran Peran Apoteker dan Tenaga Kefarmasian dalam Rekonsiliasi
Obat di Rumah Sakit
Proses rekonsiliasi obat di rumah sakit dilakukan dengan membandingkan
intruksi pengobatan dari dokter dan obat yang telah didapt pasien oleh apoteker.
Biasanya kegiatan ini dilakukan saat proses UDD bagi pasien rawat inap dan
sebelum penyerahan obat kepada bagi pasien rawat jalan. Apoteker juga akan
mencatat jika ada alergi obat atau reaksi dari efek samping obat. Hal itu kemudian
akan dicatat dan dilaporkan kepada kepala bagian farmasi nantinya. Namun,
catatan harian itu belum didokumentasikan dan direkap berkala. Catatan masih
berupa laporan harian yang dikumpulkan apoteker (Hidayanti, 2017).
Berdasarkan hasil observasi, poteker dibantu TTK juga melakukan
komparasi catatan jika ada etidak cocokan data penggunaan obat yang sedang dan
akan digunakan, maka akan dikonfirmasi ke dokteratau perawat dahulu.
Berdasarkan hasil observasi TTKlangsung menanyakan begitu ada
ketidakcocokan kepada perawat. Pada saat itu tidak dilakukan konfirmasi ke
dokter karena dianggap hanya kesalahan penulisan dan perawat sudah tahu
kebenarannya. Sedangkan jika ada perubahan terapi obat maka hal tersebut akan
dijelaskan oleh apoteker. Selain pasien, jka ada keluarga pasien yang
mendampingi maka keluarganya juga akan diberi pengetahuan tentang obat
tersebut (Hidayanti, 2017).

3. Peranan Apoteker dalam Rekonsiliasi Obat


Apoteker memiliki peranan penting dalam implementasi rekonsiliasi obat.
Sebagai bagian dari tenaga kesehatan professional yang berada dalam garda depan
pemberian layanan kesehatan, apoteker memiliki kesempatan yang besar untuk
berinteraksi dengan pasien dan menggali informasi terkait riwayat penggunaan
obat. Peran tersebut semakin strategis bagi apoteker yang bekerja di komunitas,
dalam hal ini adalah apotek, mengingat kecenderungan masyarakat di Indonesia
ketika mengalami gangguan kesehatan, khususnya gangguan kesehatan yang
minor (antara lain: batuk dan pilek), akan datang meminta saran kepada apoteker
di apotek terkait jalan keluar untuk masalah kesehatan yang dialaminya.
Pemberian layanan kesehatan oleh apoteker semakin kuat dengan diterbitkannya
beberapa dokumen legalitas oleh pemerintah (UU NO.36 thn 2009).
Lebih lanjut, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35
tahun 2014 menyatakan salah satu peran dan fungsi apoteker di apotek adalah
melakukan rekonsiliasi obat. Peran dan fungsi tersebut dikejawantahkan secara
implisit dalam langkah dan kegiatan pelayanan kefarmasian klinik (Menkes RI,
2014).

4. Manfaat Rekonsiliasi Obat


Bukti penelitian terpublikasi membuktikan besarnya manfaat dari
pelaksanaan rekonsiliasi obat, baik ditinjau dari kemanfaatan secara outcome
klinis maupun finansial. Implementasi rekonsiliasi obat memungkinkan proses
identifikasi kesalahan pemberian obat akibat kesenjangan pemberian informasi
dapat dilakukan sedini mungkin dan pada setiap tahap terjadinya perpindahan
proses pemberian layanan kesehatan. Proses tersebut menjadi krusial, khususnya
untuk kelompok pasien dengan penyakit kronis yang memiliki risiko pergantian
setting pemberian layanan kesehatan yang tinggi. Kegagalan melakukan
identifikasi kesalahan pemberian obat akan menyebabkan perburukan kondisi
klinis yang, pada akhirnya, berdampak pada peningkatan kebutuhan layanan dan
biaya kesehatan. Peningkatan kebutuhan layanan dan biaya kesehatan tersebut
berpotensi menghadirkan permasalahan bagi pemerintah, khususnya setelah
bangsa Indonesia mengimplementasikan sistem Jaminan Kesehatan Nasional per
1 Januari 2014 (Setiawan dkk., 2015).

5. Kebijakan Rekonsiliasi Obat Rumah Sakit


(Permenkes RI No.72 2016)
MENIMBANG:
1. Bahwa pelayanan instalasi farmasi meliputi pelayanan farmasi klinis.
2. Bahwa pelayanan farmasi klinis bertujuan untuk mengelola terapi obat yang
diperoleh pasien selama dirawat di rumah sakit.
3. Bahwa dalam pengelolaan terapi obat pasien saat awal masuk rumah sakit
diperlukan kolaburasi antara Dokter Penanggung Jawab (DPJP) dan Apoteker
Penanggung Jawab (APJP) agar terapi obat yang akan diberikan berlandaskan
terapi obat yang telah digunakan pasien sebelumnya yang disebut dengan
rekonsiliasi obat sehingga terapi obat yang diberikan dapat mencapai efek
terapi yang diinginkan dan menghindari permasalahan terkait obat atau Drug
Related Problems (DRP’s).
4. Bahwa dalam proses rekonsiliasi obat diperlukan kebijakan rumah sakit yang
mengatur tentang rekonsiliasi di rumah sakit

MENGINGAT:
1. Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1963 tentang Farmasi.
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1197 tahun 2004  tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
KESATU: Perlu adanya proses rekonsiliasi obat untuk pasien baru di ruang
keperawatan yang dilakukan oleh APJP dibantu oleh perawat.
KEDUA:  Terapi obat pada pasien terkait jenis obat ataupun dosis sebelum masuk
ruang  dan harus diketahui oleh DPJP agar terapi berikutnya yang diberikan di
ruang  berdasarkan pada terapi sebelumnya yang didapatkan sehingga tidak terjadi
medication error terkait salah dosis, duplikasi, salah pemberian obat, dsb.
KETIGA:  APJP mengkomunikasikan dengan DPJP obat-obat yang sebelumnya
dikonsumsi pasien dan DPJP menentukan status obat tersebut apakah lanjut, tunda
atau henti            .
KEEMPAT: Kebijakan ini berlaku selama 3 tahun dan akan dilakukan evaluasi
minimal 1 tahun sekali.
KELIMA: Apabila hasil evaluasi mensyaratkan adanya perubahan, maka akan
dilakukakan perubahan dan perbaikan sebagaimana mestinya.

6. Contoh Rekonsiliasi Obat


(The Office of Interprofessional Education and Practice, 2009)
1. Ketidakcocokan/perbedaan yang tidak didokumentasikan
Seorang pasien menerima terapi atenolol untuk hipertensi dirawat di tempat
operasi. Dokter mengaku tidak memesan/meresepkan atenolol ketika pasien
masuk karena dikhawatirkan akan terjadi perioperative hypotension. Alasan
tersebut tidak didokumentasikan di rekam medis. Pasien dipulangkan hari
ketiga pasca operasi dan diberikan resep yang tidak termasuk obat atenolol.
Pasien merasa ragu apakah terapi atenolol tidak dilanjutkan di rumah, dan pasien
menghubungi dokter keluarga untuk meminta saran. Dokter keluarga
menghubungi dokter bedah yang bersangkutan dan menanyakan mengenai terapi
atenolol. Namun dokter bedah tidak mengetahui alasan atenolol tidak diberikan
dan kemudian menghubungi apotek untuk menanyakan hal tersebut. Apoteker
tidak memiliki catatan mengenai perubahan terapi. Apoteker di unit bedah
menghubungi dokter namun yang bersangkutan sedang tidak bertugas.
2. Ketidakcocokan/perbedaan yang tidak disengaja
 Seorang pasien geriatri dirawat dirumah sakit dengan diagnose
Community-acquired pneumonia. Terapi antibiotik dan terapi
symptomatic diresepkan dan dimulai. Dua hari kemudian pasien
mengalami infkark miokard dan ditemukan bahwa terapi beta-blocker
diabaikan secara tidak sengaja ketika masuk rumah sakit.
 Seorang pasien dirawat di rumah sakit untuk operasi penggantian
tempurung lutut. Setelah 4-5 hari dirawat pasien tidak termotivasi dan
menolak untuk bangun dari tempat tidur. Keluarga mengatakan bahwa
pasien sudah rutin minum obat anti depresan dan ketika dirawat tidak
mendapatkan perintah untuk dilanjutkan. Selanjutnya anti depresan
diresepkan dan menyebabkan meningkatnya angka Long of Stay (LOS).
Daftar Pustaka

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-


undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta.

Hidayanti, E. 2017. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah


Sakit X Tahun 2017. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 58 dan 59 tahun 2014 tentang standar tarif
pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan.
Jakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016 tentang standar pelayanan
kefarmasian di rumah sakit. Jakarta.

Setiawan E, Irawati S, Presley B, dan Wardhani SA. 2015. Persepsi dan


Kecenderungan Keterlibatan Apoteker di Apotek pada Proses Rekonsiliasi
Obat. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 2(1), 91-98.

The Office of Interprofessional Education and Practice, 2009,


https://meds.queensu.ca/central/assets/modules/ mr/1.html

Anda mungkin juga menyukai