Anda di halaman 1dari 21

APENDISITIS

Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks veriformis. Apendisitis akut
merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga
abdomen.

Anatomi

Gambar 1 Anatomi apendiks

Apendiks adalah organ yang berbentuk tabung, memiliki panjang yang berkisar
10 cm dan berpangkal di sekum. Lumen sempit pada bagian proksimal dan melebar
pada bagian distal. Secara histologi, kelenjar submukosa dan mukosa dipisahkan dari
lamina muskularis. Diantaranya terdapat pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian
luar dari apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar
yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Apabila letak dari apendiks adalah retrosekal,
maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale.
Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang mengikuti
a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n. torakalis X. Sehingga dapat dikatakan nyeri visceral pada apendisitis bermula
di sekitar umbilikus.
Pendarahan dari apendiks berasal dari a. apendikularis, apabila arteri ini
tersumbat, apendiks akan mengalami gangren.
Apendiks tiap hari menghasilkan lendir 1-2 ml per harinya dan dicurahkan ke
dalam lumen kemudian ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks berperan
dalam patogenesis apendisitis. Imunoglobulin yang terdapat pada sepanjang saluran
cerna termasuk apendiks adalah IgA yang berperan penting sebagai pelindung
terhadap infeksi.

Klasifikasi
Klasifikasi dari apendisitis akut mencakup :
1. Apendisitis akut fokalis/segmentalis
Apendisitis yang setelah sembuh akan menimbulkan striktur lokal
2. Apendisitis purulenta difusi
Dimana apendisitis yang sudah bertumpuk nanah
Sedangkan apendisitis kronik mencakup :
1. Apendisitis kronis fokalis/parsial
Apendisitis yang setelah sembuh akan timbul striktur lokal
2. Apendisitis kronis obliteritiva
Apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua

Etiologi
Yang menyebabkan terjadinya apendisitis akut adalah infeksi bakteri. Faktor
lain yang merupakan faktor pencetus adalah sumbatan lumen apendiks, hiperplasia
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis. Bisa juga disebabkan
oleh erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.
Pada stadium paling dini, hanya sedikit eksudat neutrophil yang ditemukan di
seluruh mukosa, submukosa, dan muskularis propria. Pembuluh subserosa mengalami
bendungan dan sering terdapat infiltrat neutrofilik perivaskular ringan. Reaksi
peradangan merubah serosa menjadi membran merah, dan granular. Ini merupakan
tanda dari apendisitis akut dini. Sedangkan kriteria histologi untuk mendiagnosis
apendisitis akut adalah infiltrasi neutrofilik muskularis propria. Biasanya neutrofil dan
ulserasi juga terdapat dalam mukosa.

Patofisiologi
Terjadinya obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat
(fekalith). Pada stadium awal, terjadi inflamasi mukosa kemudian berlanjut ke
submukosa dan melibatkan lapisan muscular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat
fibrinopurulen terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa
permukaan peritoneal yang bersebelahan seperti usus/dinding abdomen, sehingga
menyebabkan peritonitis lokal. Mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen yang menjadi distensi dengan pus. Sehingga arteri yang menyuplai apendiks
menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau
gangren. Perforasi segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Apabila
perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi.

Gambaran Klinis
Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini juga disertai mual dan
kadang ada muntah. Nafsu makan menurun. Dan dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi. Hal ini dapat mempermudah terjadinya
konstipasi
Apabila apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh
sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat
berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena
rangsangan dindingnya.

Diagnosis
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi
karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran
cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan
viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan.
Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang
tidak terlalu tinggi, antara 37,5 -38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah
terjadi perforasi.
Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi, penderita berjalan membungkuk
sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan
penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses.
Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari
tempat yang jauh dari lokasi nyeri.

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah:
Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-
tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di
titik Mc. Burney.
Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis. Defence muscular
adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietale.
Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan.
Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks.
Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hypogastrium

Untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan Alvarados score :
Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri di fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Peningkatan temperature (>37,5 C) 1
Peningkatan jumlah leukosit 10 x 10
9
/L 2
Neutrofilia dari 75% 1
Total 10

1 4 probable lakukan observasi
5 - 6 possible lakukan pemberian antibiotic
7 apendisitis akut lakukan pembedahan

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium darah, biasanya didapati peningkatan jumlah
leukosit (sel darah putih). Urinalisa diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya
berupa peradangan saluran kemih. Pada pasien wanita, pemeriksaan dokter kebidanan
dan kandungan diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis kelainan peradangan
saluran telur/kista indung telur kanan atau KET.
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran didalam lumen usus
buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dalam
menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di daerah
rongga panggul. Pemeriksaan CT scan hanya dipakai bila didapat keraguan dalam
menegakkan diagnosis.

Tatalaksana
Cara yang paling baik untuk mengatasinya dalah dengan appendektomi. Dengan
cara pasien dipersiapkan denga puasa 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan
dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional
operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di
atas daerah apendiks. Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik
untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa
nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan.
Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah
laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke
dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan
juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks.
Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih
kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih
baik.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami perdindingan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan letak usus
halus. Komplikasi usus buntu juga dapat meliputi infeksi luka, perlengketan, obstruksi
usus, abses abdomen/pelvis, dan jarang sekali dapat menimbulkan kematian.

Prognosis
Kebanyakan pasien setelah operasi appendektomi sembuh spontan tanpa
penyulit, namun komplikasi dapat terjadi apabila pengobatan tertunda atau telah
terjadi peritonitis/peradangan di dalam rongga perut. Cepat dan lambatnya
penyembuhan setelah operasi usus buntu tergantung dari usia pasien, kondisi, keadaan
umum pasien, penyakit penyerta misalnya diabetes mellitus, komplikasi dan keadaan
lainya yang biasanya sembuh antara 10 sampai 28 hari.
Alasan adanya kemungkinan ancaman jiwa dikarenakan peritonitis di dalam
rongga perut ini menyebabkan operasi usus buntu akut/emergensi perlu dilakukan
secepatnya. Kematian pasien dan komplikasi hebat jarang terjadi karena usus buntu
akut. Namun hal ini bisa terjadi bila peritonitis dibiarkan dan tidak diobati secara
benar.







HERNIA

Definisi
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Hernia adalah tonjolan keluarnya
organ atau jaringan melalui dinding rongga dimana rongga tersebut harusnya berada
dalam keadaan normal tertutup. Hernia adalah suatu keadaan keluarnya jaringan
organ tubuh dari suatu ruangan melalui suatu celah atau lubang keluar di bawah kulit
atau menuju rongga lain, dapat kongenital ataupun aquisita.
Hernia inguinalis terbagi menjadi 2 yaitu hernia inguinalis indirek dan hernia
inguinalis direk. Hernia inguinalis indirek disebut juga hernia inguinalis lateralis yaitu
hernia yang keluar dari rongga peritonium melalui anulus inguinalis internus yang
terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk ke dalam
kanalis inguinalis. Hernia inguinalis direk disebut juga hernia inguinalis medialis
yaitu hernia yang melalui dinding inguinal posteromedial dari vasa epigastrika
inferior di daerah yang dibatasi segitiga Hesselbach.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hernia adalah ketidak normalan
tubuh berupa tonjolan yang disebabkan karena kelemahan pada dinding otot
abdomen, dapat congenital maupun aquisita

Anatomi

Gambar 2 Anatomi usus halus
Usus halus
Panjangnya kira-kira 2-8 m dengan diameter 2,5 cm. Berentangdari sphincter
pylorus ke katup ileocecal. Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum) panjangnya 25 cm, usus kosong (jejunum) 1-2 m, dan usus penyerapan
(ileum) 2-4 m.
1). Usus dua belas jari (Duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak
setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua
belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale
dan berakhir di ligamentum Treitz. Usus dua belas jari merupakan organ
retroperitoneal, yang tidak terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus
dua belas jari yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari
terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Nama
duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari.
2). Usus Kosong (jejunum)
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian
kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan
(ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter
adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam
tubuh dengan mesenterium.
3). Usus Penyerapan (illeum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7
dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-
garam empedu

Usus besar

Gambar 3 Anatomi usus besar
Usus besar dimulai dari katup ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5 m
dan lebarnya 5-6 cm.Usus besar terbagi kedalam cecum, colon, dan rectum.
Vermiform appendix berada pada bagian distal dari cecum. Colon terbagi
menjadicolon ascending, colon transversal, colon descending, dan bagian sigmoid.
Bagian akhir dari usus besar adalah rectum dan anus. Sphincter internal dan eksternal
pada anus berfungsi untuk mengontrol pembukaan anus.

Klasifikasi
Berdasarkan sifatnya :
1) Hernia reponibel
Yaitu isi hernia masih dapat dikembalikan ke kavum abdominalis lagi tanpa
operasi.
2) Hernia ireponibel
Yaitu isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam rongga.
3) Hernia akreta
Yaitu perlengketan isi kantong pada peritonium kantong hernia.
4) Hernia inkarserata
Yaitu bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia.
Berdasarkan isinya :
1) Hernia adiposa
Adalah hernia yang isinya terdiri dari jaringan lemak.
2) Hernia litter
Adalah hernia inkarserata atau strangulata yang sebagian dinding ususnya saja
yang terjepit di dalam cincin hernia.
3) Slinding hernia
Adalah hernia yang isi hernianya menjadi sebagian dari dinding kantong hernia.

Etiologi
Penyebab dari hernia adalah adanya peningkatan tekanan intra abdominal akibat
adanya tindakan valsava maneuver seperti batuk, mengejan, mengangkat benda berat
atau menangis.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali congenital atau karena sebab
yang didapat. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk
hernia pada anulus internus yang cukup lebar, sehingga dapat dilalui oleh kantong dan
isi hernia. Selain itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati
pintu yang sudah terbuka cukup lebar itu.
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis yang
terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut dan kelemahan otot dinding perut
karena usia. Tekanan intra abdominal yang meninggi serta kronik seperti batuk
kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai hernia inguinalis.
Anak yang menjalani operasi hernia pada waktu bayi mempunyai kemungkinan
mendapat hernia kontralateral pada usia dewasa (16%). Bertambahnya umur menjadi
faktor risiko, dimungkinkan karena meningkatnya penyakit yang meninggikan
tekanan intra abdomen dan berkurangnya kekuatan jaringan penunjang.
Setelah apendektomi menjadi faktor risiko terjadi hernia inguinalis karena
kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan nervus ilioinguinalis
dan nervus iliofemoralis.

Patofisiologi
Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah faktor
kongenital yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu kehamilan yang
dapat menyebabkan masuknya isi rongga perut melalui kanalis inguinalis, faktor yang
kedua adalah faktor yang didapat seperti hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat
benda berat dan faktor usia, masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika
cukup panjang maka akan menonjol keluar dari anulus ingunalis eksternus. Apabila
hernia ini berlanjut tonjolan akan sampai ke skrotum karena kanal inguinalis berisi
tali sperma pada laki- laki, sehingga menyebakan hernia. Hernia ada yang dapat
kembali secara spontan maupun manual juga ada yang tidak dapat kembali secara
spontan ataupun manual akibat terjadi perlengketan antara isi hernia dengan dinding
kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan kembali. Keadaan ini akan
mengakibatkan kesulitan untuk berjalan atau berpindah sehingga aktivitas akan
terganggu. Jika terjadi penekanan terhadap cincin hernia maka isi hernia akan
mencekik sehingga terjadi hernia strangulate yang akan menimbulkan gejala ileus
yaitu gejala obstruksi usus sehingga menyebabkan peredaran darah terganggu yang
akan menyebabkan kurangnya suplai oksigen yang bisa menyebabkan Iskemik. Isi
hernia ini akan menjadi nekrosis.
Kalau kantong hernia terdiri atas usus dapat terjadi perforasi yang akhirnya
dapat menimbulkan abses lokal atau prioritas jika terjadi hubungan dengan rongga
perut. Obstruksi usus juga menyebabkan penurunan peristaltik usus yang bisa
menyebabkan konstipasi. Pada keadaan strangulata akan timbul gejala ileus yaitu
perut kembung, muntah dan obstipasi pada strangulasi nyeri yang timbul letih berat
dan kontineu, daerah benjolan menjadi merah

Gejala klinis
Pada umumnya keluhan orang dewasa berupa benjolan di inguinalis yang
timbul pada waktu mengedan, batuk, atau mengangkat beban berat dan menghilang
pada waktu istirahat berbaring. Pada inspeksi perhatikan keadaan asimetris pada
kedua inguinalis, skrotum, atau labia dalam posisi berdiri dan berbaring. Pasien
diminta mengedan atau batuk sehingga adanya benjolan atau keadaan asimetris dapat
dilihat. Palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya,
dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat direposisi. Setelah benjolan dapat
direposisi dengan jari telunjuk, kadang cincin hernia dapat diraba berupa anulus
inguinalis yang melebar.
Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaaan isi hernia. Pada
hernia reponibel keluhan satu-satunya adanya benjolan di lipat paha yang muncul
pada waktu berdiri, batuk bersin, atau mengejan dan menghilang setelah berbaring.
Keluhan nyeri jarang dijumpai, kalau ada biasanya dirasakan di daerah epigastrium
atau paraumbilikal berupa nyeri viseral karena regangan pada mesenterium sewaktu
satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia. Nyeri yang disertai mual
atau muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi karena ileus atau strangulasi karena
nekrosis atau gangren.
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada inspeksi
saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul sebagai
penonjolan di regio ingunalis yang berjalan dari lateral atas ke medial bawah.
Kantong hernia yang kosong kadang dapat diraba pada vunikulus spermatikus sebagai
gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi gesekan dua permukaan
sutera. Tanda ini disebut tanda sarung tangan sutera, tetapi umumnya tanda ini sukar
ditentukan. Kalau kantong hernia berisi organ, tergantung isinya, pada palpasi
mungkin teraba usus,omentum (seperti karet), atau ovarium. Dengan jari telunjuk,
dapat dicoba mendorong isi hernia dengan menekan kulit skrotum melalui anulus
eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau tidak.
Dalam hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus
eksternus, pasien diminta mengedan. Kalau ujung jari menyentuh hernia, berarti
hernia inguinalis lateralis, disebut hernia inguinalis lateralis karena menonjol dari
perut di lateral pembuluh epigastrika inferior. Disebut juga indirek karena keluar
melalui dua pintu dan saluran yaitu, anulus dan kanalis inguinalis. Pada pemeriksaan
hernia lateralis akan tampak tonjolan berbentuk lonjong, sedangkan hernia medialis
berbentuk tonjolan bulat. Dan kalau sisi jari yang menyentuhnya, berarti hernia
inguinalis medialis. Dan jika kantong hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum,
disebut hernia skrotalis. Hernia inguinalis lateralis yang mencapai labium mayus
disebut hernia labialis. Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat
direposisi, atau jika tidak dapat direposisi, atas dasar tidak adanya pembatasan yang
jelas di sebelah cranial dan adanya hubungan ke cranial melalui anulus eksternus.
Hernia ini harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba
dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.

Tatalaksana
1. Pengobatan konservatif
Terbatas pada tindakan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau
penunjang untuk mempertahankan isi hernia yang telah direposisi. Reposisi tidak
dilakukan pada hernia inguinalis strangulata, kecuali pada pasien anak-anak,
reposisi spontan lebih sering (karena cincin hernia yang lebih elastis). Reposisi
dilakukan secara bimanual. Tangan kiri memegang hernia membentuk corong
sedangkan tangan kanan mendorongnya ke arah cincin hernia dengan sedikit
tekanan perlahan yang tetap sampai terjadi reposisi. Pemakaian bantalan
penyangga hanya bertujuan menahan hernia yang telah direposisi dan tidak pernah
menyembuhkan, sehingga harus dipakai seumur hidup. Namun, cara yang sudah
berumur lebih dari 4000 tahun ini masih saja dipakai sampai sekarang. Sebaiknya
cara seperti ini tidak dianjurkan karena menimbulkan komplikasi, antara lain
merusak kulit dan tonus otot dinding perut di daerah yang tertekan, sedangkan
strangulasi tetap mengancam.
2. Pengobatan operatif
Indikasi operatif sudah ada begitu diagnosa ditegakkan. Prinsip dasar operatif
hernia terdiri atas herniotomi dan hernioplastik. Pada herniotomi dilakukan
pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka dan isi hernia
dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi. Kantong hernia dijahit-ikat
setinggi mungkin lalu dipotong.
Pada hernioplastik dilakukan tindakan untuk memperkecil annulus inguinalis
internus dan memperkuat dinding belakang kanalis iguinalis. Hernioplastik lebih
penting dalam mencegah terjadinya residif dibandingkan dengan herniotomi. Hernia
bilateral pada orang dewasa, dianjurkan melakukan operasi dalam satu tahap kecuali
jika ada kontra indikasi. Begitu juga pada anak-anak dan bayi, operasi hernia bilateral
dilakukan dalam satu tahap, terutama pada hernia inguinalis sinistra.

Komplikasi
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Isi
hernia dapat tertahan dalam kantong, pada hernia ireponibel ini dapat terjadi kalau isi
hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas omentum, organ ekstraperitonial. Disini
tidak timbul gejala klinis kecuali berupa benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia
tercekik oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia strangulata yang menimbulkan
gejala obstruksi usus yang sederhana. Sumbatan dapat terjadi total atau parsial. Bila
cincin hernia sempit, kurang elastis, atau lebih kaku, lebih sering terjadi jepitan
parsial. Jarang terjadi inkarserasi retrograd, yaitu dua segmen usus terperangkap di
dalam kantong hernia dan satu segmen lainnya berada dalam rongga peritonium,
seperti huruf W.
Jepitan cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia.
Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem organ atau struktur di
dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya udem menyebabkan
jepitan pada cincin hernia makin bertambah, sehingga akhirnya peredaran darah
jaringan terganggu. Isi hernia terjadi nekrosis dan kantong hernia berisi transudat
berupa cairan serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi
yang akhirnya dapat menimbulkan abses local, fistel, atau peritonitis, jika terjadi
hubungan dengan dengan rongga perut.
Gambaran klinis hernia inguinalis lateralis inkarserata yang mengandung usus
dimulai dengan gambaran obstruksi usus dengan gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa. Bila sudah terjadi strangulasi karena gangguan vaskularisasi,
terjadi keadaan toksik akibat gangren dan gambaran klinis menjadi kompleks dan
sangat serius. Penderita mengeluh nyeri lebih hebat di tempat hernia. Nyeri akan
menetap karena rangsangan peritoneal.
Pada pemeriksaan local ditemukan benjolan yang tidak dapat dimasukkan
kembali disertai nyeri tekan dan tergantung keadaan isi hernia, dapat dijumpai tanda
peritonitis atau abses local. Hernia strangulata merupakan keadaan gawat darurat.
Oleh karena itu, perlu mendapat pertolongan segera.

























STRUMA

Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid, kelainan in dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi
kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan
pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka
akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia. Selain itu juga fungsi kelenjar tiroid dapat pula
terganggu.

Anatomi

Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini memiliki dua
bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing berbetuk lonjong
berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan berkisar 10-20 gram.
Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme dan bertanggung jawab
atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini memproduksi hormon tiroksin (T4)
dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan hormon tersebut ke dalam aliran darah.
Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul T4 dan 3 atom yodium pada setiap
molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH
(thyroid stimulating hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis.
Hormon tiroid memiliki efek pada pertumbuhan sel, perkembangan dan
metabolisme energi. Selain itu hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan
pematangan jaringan tubuh dan energi, mengatur kecepatan metabolisme tubuh dan
reaksi metabolik, menambah sintesis asam ribonukleat (RNA), menambah produksi
panas, absorpsi intestinal terhadap glukosa, merangsang pertumbuhan somatis dan
berperan dalam perkembangan normal sistem saraf pusat. Tidak adanya hormon-
hormon ini, membuat retardasi mental dan kematanganneurologik timbul pada saat
lahir dan bayi

Klasifikasi
1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasarkan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan stimulasi
kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini
biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi
secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis dari
hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan
kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai
kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat
pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang
beredar dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan,
sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban,
konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu
dan penurunan kemampuan bicara. Gambar penderitahipotiroidisme dapat terlihat di
bawah ini.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik hormon tiroid
yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau adanya sejenis antibodi dalam
darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga tidak hanya produksi hormon yang
berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa
berat badan menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,
tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak
teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.

2. Berdasarkan klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan struma
nodusa toksik. Penggunaan istilah diffusa dan nodusa menunjukan kepada perubahan
bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain jika
tidak diberikan tindakan medis. Nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara
klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena
jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),
bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.
Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap selama
berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam sirkulasi darah,
mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif.
Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan
pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai
hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan
mencegah pembentukan. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan
mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya
rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan
menelan, koma dan dapat meninggal.b. Struma Non Toksik Struma non toksik dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non
toksik. Struma non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik.
Struma ini disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang
sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung yodium dan
goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid
sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan
kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya
gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas),
biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul.
Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya
endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan
seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang
diekskresi lewat urin.
Untuk nodul tunggal tiroid yang bukan oleh karena keganasan dilakukan
tindakan isthmolobektomi, sedangkan pada multinodular dilakukan tindakan subtotal
tiroidektomi atau near total tiroidektomi, tapi para Ahli Bedah Endokrin
menganjurkan total tiroidektomi.

Diagnosis
1. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum
mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH
plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar
tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal
pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan
pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan
yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid
dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di
layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-
kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan
kemungkinan karsinoma.
3. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-
99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam
kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu selama beberapa
menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi
dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
4. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi
aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel
ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena
lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan
preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpertasi oleh ahli
sitologi.

Tatalaksana
1. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada penderita hipertiroid :
a. Kekambuhan setelah terapi yang adekuat
b. Hipertiroid yang hebat dengan kelenjar tiroid sangat besar
c. Hipertiroid yang sulit dikontrol dengan obat anti tiroid
d. Bila kadar T4 >70 p mol/L
Total atau near total thyroidectomy dianjurkan dilakukan untuk penderita
kanker tiroid dengan ukuran tumor > 1-1,5cm, ada nodul tiroid kontralateral, ada
metastasis regional atau metastasis jauh, riwayat kanker tiroid dalam keluarga atau
ada riwayat radiasi di derah kepala leher. Karena hampir 20-90% kanker tiroid tipe
papiller dan Hurthle cell cancer ditemukan ada metastasis ke kelenjar regional, maka
central compartment neck dissection perlu dipertimbangkan pada penderita sejenis
ini8.
Pada pasien PTC dan FTC yang dilakukan total thyroidectomy harus dilakukan
ablasi dengan I 131, tujuannya untuk menghancurkan sisa jaringan tiroid yang masih
ada. Ablasi tiroid berguna untuk mengurangi kemungkinan rekurensi lokoregional,
juga berguna untuk pengawasan jangka panjang pasien dengan pemeriksaan whole-
body iodine scans dan pemeriksaan thyroglobulin2. Kadar Tg yang tinggi pasca
operasi menunjukkan bahwa masih ada sisa sel kanker dalam tubuh yang mungkin
tidak terdeteksi oleh pemeriksaan I131 atau pemeriksaan konvensional lainnya15.
Penelitian menunjukkan bahwa makin banyak jaringan tiroid yang tersisa pasca
operasi, makin jelek untuk prognosis penderita15.
Pada penderita FTC dengan widely invasive harus dilakukan total
thyroidectomy tanpa dilakukan diseksi kelenjar karena tipe ini cenderung metastasis
secara hematogen, sedang untuk FTC dengan minimally invasive maka lobektomi
tiroid saja sudah dianggap cukup2. Terapi standar untuk penderita PTC yang
mengalami rekurensi di leher adalah operasi kemudian diberi terapi tambahan dengan
RAI (Radioactive Iodine) dan selanjutnya diteruskan dengan terapi supresi TSH1,2.
Untuk penderita kanker tiroid pasca operasi perlu diberikan terapi supresi TSH
dengan pemberian Thyroxine, pada awalnya dianjurkan kadar TSH mencapai < 0,1
mU/L, untuk penderita dengan resiko rendah, apabila setelah 1 tahun tidak ada tanda
rekurensi maka kadar thyroxine bisa diturunkan dan kadar TSH dipertahankan terus
pada kisaran 0,1 mU/L selama 3-5 tahun setelah remisi dicapai; tapi ATA
menganjurkan di pertahankan 5-10 tahun15. Beberapa penelitian retrospektif
menunjukkan bahwa pasien yang diberikan terapi thyroxine dengan dosis supresif
menunjukkan angka rekurensi yang jauh lebih rendah15. Terapi supresi TSH bukan
hanya perlu untuk menggantikan fungsi tiroid tetapi juga berperan untuk mencegah
rekurensi kanker dan metastasis. TSH perlu ditekan karena pada permukaan sel tiroid
terdapat reseptor TSH yang dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhan sel, baik sel
normal maupun sel kanker8.
Peranan operasi untuk ATC masih kontroversi dan sudah diketahui bahwa
operasisendiri tidak mampu mengubah perjalanan penyakit ini7. Junor dkk
melaporkan bahwa penderita ATC yang dilakukan total atau partial thyroidectomy
kemudian diberikan EBRT dapat memperpanjang survival penderita dibandingkan
dengan penderita yang hanya dilakukan biopsi saja
2. Radioterapi
Radioterapi dalam hal ini adalah Radioactive Iodine, External Bean Radio
therapy (EBRT) atau keduanya mempunyai peranan dalam meningkatkan survival
pada pasien yang tumornya tidak bersih diangkat.
Radioactive iodine therapy juga berperan menurunkan angka kematian pada
penderita yang mengalami metastasis jauh18. Peranan radioterapi adjuvan untuk pasca
operasi kanker tiroid (WTC) masih diperdebatkan dan menurut Lin, Tsang dkk.
Radioterapi adjuvant tidak memperbaiki survival penderita usia >45 tahun dan
stadium lanjut. Survival penderita stadium 3 yang diberikan radioterapi tambahan
tidak lebih baik dari penderita stadium 3 yang tidak diberikan radioterapi19. Walaupun
radioterapi terbukti bisa mengecilkan tumor pada penderita PTC dan FTC tetapi tidak
memperbaiki survival penderita19.
Radioiodine ablation yang bertujuan untuk menghancurkan sisa tiroid biasanya
dilakukan 1 sampai 3 bulan pasca operasi, tindakan ini dapat menurunkan resiko
rekurensi dan kematian pada kelompok penderita resiko tinggi. Ablasi tiroid ini tidak
bermanfaat untuk kelompok penderita resiko rendah dan tidak dianjurkan untuk
penderita yang tidak dilakukan total atau near total thyroidectomy.
3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid
Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini
bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu
untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga
diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi pengangkatan
kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah
propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol.

Anda mungkin juga menyukai

  • Penyakit Geriatri - RA
    Penyakit Geriatri - RA
    Dokumen9 halaman
    Penyakit Geriatri - RA
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Daftar Tabel 1
    Daftar Tabel 1
    Dokumen3 halaman
    Daftar Tabel 1
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen2 halaman
    Cover
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Rangkuman Skin Care
    Rangkuman Skin Care
    Dokumen1 halaman
    Rangkuman Skin Care
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Malnutrisi
    Penyakit Malnutrisi
    Dokumen11 halaman
    Penyakit Malnutrisi
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Rubeo La
    Rubeo La
    Dokumen11 halaman
    Rubeo La
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Fraktur
    Daftar Isi Fraktur
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Fraktur
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Referat
    Daftar Isi Referat
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi Referat
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Diabetik Ketoasidosis
    Diabetik Ketoasidosis
    Dokumen11 halaman
    Diabetik Ketoasidosis
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Balita - Dermatitis
    Penyakit Balita - Dermatitis
    Dokumen10 halaman
    Penyakit Balita - Dermatitis
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Referat Ocd
    Referat Ocd
    Dokumen15 halaman
    Referat Ocd
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Waldeyer Ring
    Waldeyer Ring
    Dokumen11 halaman
    Waldeyer Ring
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Leadership Komitmen
    Leadership Komitmen
    Dokumen1 halaman
    Leadership Komitmen
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Rubeo La
    Rubeo La
    Dokumen11 halaman
    Rubeo La
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Referat Pre Eklamsia
    Referat Pre Eklamsia
    Dokumen15 halaman
    Referat Pre Eklamsia
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Keratitis
    Keratitis
    Dokumen31 halaman
    Keratitis
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Nefropati Diabetik
    Nefropati Diabetik
    Dokumen23 halaman
    Nefropati Diabetik
    wheiinhy
    Belum ada peringkat
  • Preeklamsi Ringan
    Preeklamsi Ringan
    Dokumen22 halaman
    Preeklamsi Ringan
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Referat Pre Eklamsia
    Referat Pre Eklamsia
    Dokumen15 halaman
    Referat Pre Eklamsia
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Rangkuman Anatomi Mata
    Rangkuman Anatomi Mata
    Dokumen6 halaman
    Rangkuman Anatomi Mata
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Rangkuman Katarak
    Rangkuman Katarak
    Dokumen11 halaman
    Rangkuman Katarak
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Waldeyer Ring Combine
    Waldeyer Ring Combine
    Dokumen25 halaman
    Waldeyer Ring Combine
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    100% (1)
  • Penyakit Akut - Diare
    Penyakit Akut - Diare
    Dokumen8 halaman
    Penyakit Akut - Diare
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Keratitis
    Keratitis
    Dokumen10 halaman
    Keratitis
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Maternal - Varisela
    Penyakit Maternal - Varisela
    Dokumen11 halaman
    Penyakit Maternal - Varisela
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Malnutrisi
    Penyakit Malnutrisi
    Dokumen11 halaman
    Penyakit Malnutrisi
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Klasifikasi Migren
    Klasifikasi Migren
    Dokumen4 halaman
    Klasifikasi Migren
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Malnutrisi
    Penyakit Malnutrisi
    Dokumen11 halaman
    Penyakit Malnutrisi
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Akut - Diare
    Penyakit Akut - Diare
    Dokumen8 halaman
    Penyakit Akut - Diare
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Geriatri - RA
    Penyakit Geriatri - RA
    Dokumen9 halaman
    Penyakit Geriatri - RA
    Tiara Rachmaputeri Arianto
    Belum ada peringkat