Anda di halaman 1dari 48

1 | P a g e

PROGRAM PUSKESMAS
dalam
PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD

Maria Yosepha Pramithasari Jo
10 2008 179
_____________________________________________________________________________________________

Mahasiswa Program Studi Sarjana Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta 2011
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat
www.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia yang cenderung semakin luas penyebarannya dan semakin meningkat jumlah
kasusnya. Selain itu penyakit DBD merupakan penyakit endemic dan menular, dimana setiap
saat dapat menimbulkan kematian dan Kejadian Luar Biasa (KLB).
2 | P a g e

Di Indonesia penyakit DBD masih merupakan masalah kesehatan karena masih banyak daerah
yang endemic. Daerah endemic DBD pada umumnya merupakan sumber penyebaran penyakit ke
wilayah lain. Setiap KLB, DBD umumnya dimulai dengan peningkatan jumlah kasus di wilayah
tersebut.
Vector penyakit ini adalah Aedes aegypti, yang berkembang biak di air jernih dan tersebar luas
di rumah-rumah dan tempat-tempat umum di seluruh Indonesia kecuali yang ketinggian lebih
dari 1.000 meter diatas permukaan laut. Karena sampai saat ini belum ada obat untuk membunuh
virus Dengue maka pemberantasan penyakit DBD ditekan pada pengendalian vector dan
menyuluhan kepada masyarakat.
Untuk membatasi penyebaran penyakit DBD diperlukan pengasapan (fogging) secara massal,
abatisasi massal, dan penggerakkan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang terus-menerus
oleh masing-masing keluarga. PSN-DBD minimal sekali seminggu secara rutin agar setiap
rumah bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti.
Penyakit DBD mempunyai perjalanan yang sangat cepat dan sering menjadi fatal karena banyak
pasien yang meninggal akibat penanganan yang terlambat. Untuk itu penyuluhan dan eukasi
kepada masyarakan mengenai tanda dan gejala dini sangat penting berperan dalam program
puskesmas mengenai pemberantasan penyakit DBD.

ISI
A. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
Indonesia yang jumlah penderitnya cendrung meningkat dan penyebarannya semakin luas.
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18. Pada masa itu infeksi virus dengue
di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak menimbulkan kematian. Tetapi
sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat,
yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke Negara lain seperti,
Thailand, Vietnam, Malasya dan Indonesia. Tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya
dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
1
3 | P a g e

1. Frekuensi
. Di negara-negara di wilayah tropis, demam berdarah dengue umumnya meningkat pada musim
penghujan di mana banyak terdapat genangan air bersih yang menjadi tempat berkembang biak
nyamuk Aedes aegypty. Di daerah perkotaan, umumnya wabah demam berdarah kembali
meningkat menjelang awal musim kemarau. Daerah yang terjangkit demam berdarah dengue
pada umumnya adalah kota/wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan
memudahkan penularan penyakit ini, mengingat nyamuk Aedes aegypti jarak terbangnya
maksimal 100 meter. Hubungan transportasi yang baik antar daerah memudahkan penyebaran
penyakit ini ke daerah lain. Mengingat bahwa di Indonesia daerah yang padat penduduknya
makin bertambah dan transportasi semakin baik serta perilaku masyarakat dalam penampungan
air sangat rawan berkembangnya Jentik nyamuk Aedes aegypti dan virus dengue, maka masalah
penyakit demam berdarah dengue akan semakin besar bila tidak dilakukan upaya pemberantasan
secara intensif. Pencegahan berkembangnya nyamuk Aedes aegypti sebagai penular demam
berdarah dengue menjadi mutlak dilakukan.
1,2
1.1 Insiden
Angka insiden dirancang untuk mengukur rate pada orang sehat yang menjadi sakit selama suatu
perioede waktu tertentu, yaitu jumlah kasus baru suatu penyakit dalam suatu populasi selama
suatu periode waktu tertentu:



Insiden mengukur kemunculan penyakit, bearti kasus baru. Suatu perubahan pada insiden bearti
terdapat suatu perubahan dalam keseimbangan factor-faktor etiologi baik terjadi fliktuasi secara
alami maupun kemungkinan adnya penerapan suatu program pencegahn yang efektif. Angka
insiden digunakan untuk membuat pernyataan tntang probabilitas atau risiko penyakit. Insiden
DBD meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6,27
per 100.000 penduduk. Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi oleh
beberapa factor antara lain : status imun pejamu, kepadatan vector nyamuk, transmisi virus
dengue, keganasan (virulensi) virus dengue dn kondisi geografis setempat. Sampai saat ini DBD
4 | P a g e

telah ditemukan di seluruh propinsi dan 200 kota telah melaporkan adnya kejadian luar biasa
(KLB).
3

1.2 Case Fatality Rate



Ukuran ini menggambarkan probabilitas kematian di kalangan kasus yang didiagnosis. CFR
untuk penyakit yang sama dapat bervariasi besarnya pada wabah yang berbeda karena
keseimbangan antara agen, pejamu dan lingkungan.
3
CFR penyakit DBD mengalami penurunan dari tahun ke tahun walaupun masih tetap tinggi. CFR
tahun 1968 sebesar 43%, tahun 1971 sebesar 14%, tahun 1980 sebesar 4,8 % dan tahun 1999 di
atas 2%. Jumlah kasus demam berdarah dengue di Indonesia sejak januari sampai mei 2004
mencapai 64.000. Insiden rate 29,7 per 100.000 penduduk dengan kematian sebanyak 724 orang,
case fatality rate 1,1 %.
4

2. Distribusi
a. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang
DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak
pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan
proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas
yang tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga
memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena adanya
infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya
belum pernah ada pada suatu daerah. Pada awal terjadinya wabah di suatu negara,
distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur
kurang dari 15 tahun (86-95%) Namun pada wabah-wabah selanjutnya jumlah penderita
yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DBD
5 | P a g e

terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur
lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984.5.
4,5
b. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan
ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu
yang rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30
tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian
sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per
100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi
di Indonesia. Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit
disebabkan karena semakin baiknya saran transportasi penduduk, adanya pemukiman
baru, dan terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya
empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.
1
c. Distribusi Penyakit DBD Menurut Waktu
Pola berjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-320C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti
akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan
kelembaban tidak sama di setiap tempat maka pola terjadinya penyakit agak berbeda
untuk setiap tempat. Di pulau Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai
awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan
April-Mei setiap tahun.
5,6

3.Factor resiko
4,6

Ada tiga factor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu :
Agent (virus dengue)
Agen penyebab penyakit DBD berupa virus dengue dari Genus Flavivirus (Arbovirus
Grup B) salah satu Genus Familia Togaviradae. Dikenal ada empat serotipe virus
dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Virus dengue ini memiliki masa inkubasi
yang tidak terlalu lama yaitu antara 3-7 hari, virus akan terdapat di dalam tubuh manusia.
Dalam masa tersebut penderita merupakan sumber penular penyakit DBD. Vector utama
6 | P a g e

penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti ( di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus
di daerah pedesaan. Cirri-ciri nyamuk Ades aegypti adalah :
Sayap dan badan belang-belang atau bergaris putih
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
WC, tempayan, drum, barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban
bekas, pot tanaman, tempat minum burung, dan lain-lain.
Jarak terbang 100 m
Tahan suhu panas dan kelembapan tinggi
Reservoir adalah manusia yang sakit ( viremia)
Cara transmisi: penularan virus dengue dapat terjadi bila nyamuk tersebut n vimengisap
darah orang yang sakit dan viremia ( terdapat virus dalam darah). Virus berkembang
dalam tubuh manusia selama 8-10 hari terutama dalam kelnjar air liur dan jika nyamuk
itu mengigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air liur.
Host
Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Beberapa faktor yang
mempengaruhi manusia adalah:
a. Umur
Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus
dengue. Semua golongan umur dapat terserang virus dengue, meskipun baru berumur
beberapa hari setelah lahir. Saat pertama kali terjadi epdemi dengue di Gorontalo
kebanyakan anakanak berumur 1-5 tahun. Di Indonesia, Filipina dan Malaysia pada
awal tahun terjadi epidemi DBD penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tersebut
menyerang terutama pada anak-anak berumur antara 5-9 tahun, dan selama tahun
1968-1973 kurang lebih 95% kasus DBD menyerang anak-anak di bawah 15 tahun.
b. Jenis kelamin
Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD dikaitkan
dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Philippines dilaporkan bahwa rasio
antar jenis kelamin adalah 1:1. Di Thailand tidak ditemukan perbedaan kerentanan
terhadap serangan 16 DBD antara laki-laki dan perempuan, meskipun ditemukan
angka kematian yang lebih tinggi pada anak perempuan namun perbedaan angka
7 | P a g e

tersebut tidak signifikan. Singapura menyatakan bahwa insiden DBD pada anak laki-
laki lebih besar dari pada anak perempuan.

Lingkungan (environment)
Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit dengue adalah:
1. lingkungan fisik
a. Letak geografis
Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai negara terutama
di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30 Lintang Utara dan 40 Lintang
Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Caribbean dengan tingkat kejadian
sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya. Infeksi virus dengue di Indonesia telah ada
sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter
berkebangsaan Belanda. Pada saat itu virus dengue menimbulkan penyakit yang disebut
penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut demam sendi
(knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima
hari, disertai nyeri otot, nyeri pada sendi dan nyeri kepala. Sehingga sampai saat ini
penyakit tersebut masih merupakan problem kesehatan masyarakat dan dapat muncul
secara endemik maupun epidemik yang menyebar dari suatu daerah ke daerah lain atau
dari suatu negara ke negara lain
b. Musim
Negara dengan 4 musim, epidemi DBD berlangsung pada musim panas, meskipun
ditemukan kasus DBD sporadis pada musim 18 dingin. Di Asia Tenggara epidemi DBD
terjadi pada musim hujan, seperti di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Philippines
epidemi DBD terjadi beberapa minggu setelah musim hujan. Periode epidemi yang
terutama berlangsung selama musim hujan dan erat kaitannya dengan kelembaban pada
musim hujan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas vektor dalam menggigit
karena didukung oleh lingkungan yang baik untuk masa inkubasi.

8 | P a g e

2. Lingkungan biologis
a. Populasi
Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya infeksi virus dengue,
karena daerah yang berpenduduk padat akan meningkatkan jumlah insiden kasus DBD
tersebut. Dengan semakin banyaknya manusia maka akan semakin besar peluang nyamuk
mengigit, sehingga penyebaran kasusu DBD dapat menyebar dengan cepat dalam suatu
wilayah.
b. Nutrisi
Teori nutrisi mempengaruhi derajat berat ringan penyakit dan ada hubungannya dengan
teori imunologi, bahwa pada gizi yang baik mempengaruhi peningkatan antibodi dan
karena ada reaksi antigen dan antibodi yang cukup baik, maka terjadi infeksi virus
dengue yang berat.
3. Lingkungan Sosial
a. Mobilitas penduduk
Mobilitas penduduk memegang peranan penting pada transmisi penularan infeksi virus
dengue. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran epidemi dari Queensland ke
New South Wales pada tahun 1942 adalah perpindahan personil militer dan angkatan
udara, karena jalur transportasi yang dilewati merupakan jalul penyebaran virus dengue

3.1 Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit
1,5
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya.
Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)
b. Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari
berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup
besar. Tempat-tempat umum itu antara lain :
i. Sekolah
9 | P a g e

Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling
rentan untuk terserang penyakit DBD.
ii. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang datang dari berbagai
wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus
dengue.
iii. Tempat umum lainnya seperti : Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan
lain-lain.
c. Pemukiman baru di pinggiran kota
Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan
diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari
masing-masing lokasi awal.

3.2 Tempat Perkembangbiakan Aedes aegypti
1,5

Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada tempat-tempat
penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam
atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari
rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung
berhubungan dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
a. Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan
sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.
b. Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air
tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum hewan peliharaan (ayam,
burung, dan lain-lain), barang bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas
bunga,perangkap semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.
c. Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain .




10 | P a g e

4. Tekhnik pancarian kasus DHF
5,7

Dalam menentukan kebijakan yang diambil dalam proses pemberantasan DBD, harus diadakan
penyelidikan epidemiologi (PE) yang tergabung dalam Proses Penanggulangan Fokus terlebih
dahulu. Penyelidikan epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka
DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan
rumah/bangunan sekitar, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100
meter.
Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Petugas Puskesmas memperkenalkan diri dan selanjutnya melakukan wawancara dengan
keluarga, untuk mengetahui ada tidaknya penderita DBD lainnya (sudah ada konfirmasi
dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan lainnya), dan penderita demam saat itu
dalam kurun waktu 1 minggu sebelumnya.
b. Bila ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas, dilakukan pemeriksaan kulit
(petekie) melalui uji tourniquet.
Cara melakukan uji Torniquet :
Uji tourniquet sebagai tanda penadarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptimf
test(dugaan keras), oleh karena pada awal perjalanan penyakit 83% kasus DBD
mempunyai hasil uji Torniquet positif. Uji tourniquet dinyatakan positif apabila
terdapat lebih dari 10 petekie (bintik-bintik merah) pada area 1 inci persegi (2,8 cm x 2,8
cm) di lengan bawah bagian depan termasuk pada lipatan siku.
Langkah-langkah uji Torniquet sebagai berikut :
o Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset sesuaikan dengan umur
anak, yaitu lebar manset = 2/3 lengan atas)
o Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik (pada saat kontraksi) dan
tekanan diastolik (pada saat relaksasi).
11 | P a g e

o Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara sistolik dan
diastolic (rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik) selama 5 menit. (bila telah
terlihat adanya bintik-bintik merah 10 buah, pembendungan dapat dihentikan).
o Lihat pada bagian bawah lengan depan atau daerah lipatan siku, apakah timbul
bintik-bintik merah sebagai tanda pendarahan.
o Hasil uji tourniquet dinyatakan positif (+), bila ditemukan 10 bintik pendarahan,
pada luas 1 inci persegi (2,8 cm
2
)
c. Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan air (TPA) dan tempat-tempat
lain yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti baik di dalam
maupun di luar rumah/bangunan.
4.1 Pelaksanaan Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)
Survei jentik dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. Semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada
tidaknya jentik.
2. Untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti : bak
mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya. Jika pada pandangan
(penglihatan) pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira 1 (satu) menit
untuk memastikan keberadaan jentik.
3. Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti: vas
bunga/pot, tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu
dipindahkan ke tempat lain.
4. Untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap, atau airnya keruh, biasanya
digunakan senter.
Adapun metode survey jentik secara visual dapat dilakukan sebagai berikut :
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat
genangan air tanpa mengambil jentiknya. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui
12 | P a g e

kepadatan jentik Aedes aegypti biasanya menggunakan persamaan house index sebagai
berikut :

e. Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter dari lokasi tempat tinggal
penderita.
f. Bila penderita adalah siswa sekolah atau pekerja, maka PE selain dilakukan di
rumah juga dilakukan di sekolah/tempat kerja penderita oleh puskesmas.
g. Hasil PE segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
untuk tindak lanjut lapangan dikoordinasikan dengan Kades/Lurah.
h. Bila hasil PE positif (Ditemukan 1 atau lebih penderita DBD lainnya dan atau 3
orang tersangka DBD, dan ditemukan jentik (5%), dilakukan penanggulangan
fokus, melakukan pengasapan (fogging), penyuluhan, pemberantasan sarang
nyamuk (PSN) dan larvasidasi selektif), sedangkan bila hasilnya negatif dilakukan
penyuluhan, PSN dan larvasidasi selektif.
Berikut adalah bagan penyelidikan epidemiologi yang tergabung dalam penanggulangan
fokus penanggulangan penderita DBD di lapangan :
Hasil Pemeriksaan Jentik Kecamatan/Wilayah Kerja Puskesmas
NO. Tanggal
pemeriksaan
jentik
Desa/kelurahan
yang diperiksa
Jumlah
rumah/bangunan
yang diperiksa
Jumlah
rumah/bangunan
yang positif
jentik
ABJ
(%)
1
2
3
13 | P a g e

ABJ (Angka Bebas Jentik) : jumlah rumah/bangunan bebas jentik (tidak ditemukan
jentik) dibagi jumlah rumah/bangunan yang diperiksa dalam kurun waktu yang sama di
suatu esa/kelurahan dikalikan dengan 100%


Dalam penentuan kebijakan dari hasil pelaksanaan penyelidikan epidemiologi, maka disediakan
fasilitas pencarian kasus lewat metode case based reasoning. Silahkan masukkan nilai-nilai dari
indikator penyelidikan epidemiologi yang ada, maka anda akan dihubungkan dengan kasus-kasus
yang serupa yang dapat dijadikan patokan kebijakan pemberantasan demam berdarah (DBD).
Nilai indikator yang anda masukkan mempunyai batasan daerah penyelidikan epidemiologis
yaitu dalam sekop kelurahan/desa.

B. Upaya Kesehatan Pokok Puskesmas
1. Pemberantasan vector DBD
1,4,6

a. Menggunakan insektisida
Abatisasi : adalah menaburkan bubuk abate ke dalam penampung air untuk membunuh
larva dan nyamuk. Cara melakukan abatisasi : untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram
bubuk abate. Bila tidak ada alat untuk menakar gunakan sendok makan. Satu sendo
14 | P a g e

makan peres ( diratakan atasnya) berisi 10 gram abate, selanjutnya tinggal membagi atau
menambah sesuai jumlah air.dalam takaran yang dianjurkan seperti di atas, aman bagi
manusia dan tidak akan menimbulkan keracunan. Penaburan abate perlu di ulang selama
3 bulan.
Fogging dengan malathion atau fonitrothion. Melakukan pengasapan saja tidak cukup,
karena penyemprotan hanya mematikan nyamuk dewasa.

b. Tanpa insektisida
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan melaksanakan penyuluhan 3M:
Menguras tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali
Menutup rapat-rapat tempat penampungan air
Menguburkan, mengumpulkan, memanfaatkan atau menyingkirkan barang-barang
bekas yang dapat menampung air hujan seperti kaleng bekas, plastic bekas dan
lain-lain.
Selain itu ditambah dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M Plus, seperti :
Ganti air vas bunga, minuman burung dan tempat-tempat lain seminggu sekali
Perbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar
Tutup lubang-lubang pada potongan bamboo, pohon dan lain-lain, misalnya
dengan tanah.
Bersihkan/keringkan tempat-tempat yang dapat menampung air seperti pelepah
pisang atau tanaman lainnya termasuk tempat-tempat lain yang dapat menampung
air hujan di pekarangan, kebun, pemakaman, rumah kosong, dan lain-lain.
Pemeliharaan ikan pemakan jentik nyamuk
Pasang kawat kasa di rumah
Pencahayaan dan ventilasi memadai
Jangan biarkan menggantuk pakian di rumah
Tidur menggunakan kelambu
Gunakan obat nyamuk untuk mencegah gigtan nyamuk..


15 | P a g e

2. Pencegahan

a. Pencegahan Primer
5

Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini
merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau
mencegah orang yang sehat menjadi sakit.

1. Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat
yang berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan
insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan
pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan
sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau
keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik
dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat
menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk
mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil
jentiknya. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti
adalah :
House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa.
HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%
Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa.
CI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%
Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang
diperiksa. BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah
rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%
16 | P a g e

Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang
dilakukan tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan
yang dipilih secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih
menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

2. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasim nyamuk
Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
a. Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa
atau larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin,
organofosfor, karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan
dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang
dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor
(Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat perindukan
nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
b. Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate
atau vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan
pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia
affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan
cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax
merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
c. Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah
nyamuk kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela,
dan ventilasi di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di
kamar tidur, atau di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

17 | P a g e

3. Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di
beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun system surveilans
pasif tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun system ini berguna
untuk memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans
pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai
pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita termasuk
tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans
aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga
mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus
yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan
laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan
peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi
penyakit DBD.

c. Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan
masyarakat dengan cara :
1. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas
yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2. Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segera
melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian
pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan
pengamatan penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan
adanya penularan lebih lanjut.
18 | P a g e

3. Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB)
kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan
seperlunya.

b. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari
kriteria klinis dan laboratorium.
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji
tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan
tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas
siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5
menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga
bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih
dari 20 petekia.
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi
perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi,
biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
19 | P a g e

c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan
ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan
ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang
tidak terdeteksi.
c. Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi dengue.
d.. Pengobatan Penderita DBD
Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
1. Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi :
a. Istirahat total di tempat tidur.
b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit).
Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.
c. Berikan makanan lunak
d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres,
antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal karena
dapat menyebabkan perdarahan.
e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
2. Penatalaksanaan pada pasien syok :
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat
dan dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta
Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24
jam.Nilai normal Hemoglobin :
Anak-anak : 11,5 12,5 gr/100 ml darah
Laki-laki dewasa : 13 16 gr/100 ml darah
Wanita dewasa : 12 14 gr/100 ml darah
Nilai normal Hematokrit :
20 | P a g e

Anak-anak : 33 38 vol %
Laki-laki dewasa : 40 48 vol %
Wanita dewasa : 37 43 vol %
c. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka
diberi transfusi darah.e.
e. Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD lainnya dan
pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta
tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya dicatat dalam
formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah
melalui Camat dan penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud
penyelidikan epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan dan luas
penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih
lanjut dilokasi tersebut. Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan
penderita panas tanpa sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3
plus, larvasida, fogging fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat
tinggal penderita DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari
penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE
tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan penyuluhan dan kegiatan 3M.

C. Pencegahan Tersier

Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan
melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan
dengan :
a. Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan
untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.
b. Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti:
21 | P a g e

i. Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan yang
dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan (SMP), Abatisasi selektif, dan penyuluhan
kesehatan kepada masyarakat.
ii. Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang
dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan
3M, penyuluhan tetap dilakukan.
iii. Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi
penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase
rumah yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan
penyuluhan.
iv. Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan air
laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik 5%. Kegiatan yang dilakukan
adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.

2 .Gejala umum DHF, Diagnosis dan Pengobatan di Puskesmas
a. Gejala/tanda :
Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah dan lesu
Seringkali uluhati terasa nyeri karena perdarahan di lambung
Tampak bintik-bintik merah seperti bekas gigitan nyamuk disebabkan
pecahnya pembulu darah kapiler di kulit
Untuk membedakannya kulit direnggangkan apabila bintik merah hilang,
bukan tanda DHF.
Kadang-kadang terjadi perdarahan di hidung (mimisan)
Bila sudah parah, penderita gelisah, ujung tangan dan kaki dingin dan
berkeringat. Bila tidak segera ditolong dapat meninggal dunia.
22 | P a g e

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan trombositopenia (100.000/m
3
).
Biasanya baru terjadi pada hari ketiga atau keempat. Pada orang normal 4-10
trombosit/LP (dengan rata-rata 10/LP) menunjukan jumlah trombosit yang
cukup. Rata-rata kurang dari 2-3/LP dianggap rendah (kurang dari 100.000).
Hemokonsentrasi, Ht meningkat 20% atau lebih dari nilai sebelumnya.
Biasanya terjadi pada hari ke-3 atau 4. Contoh waktu pertama kali datang =
30%, nilai Ht pemeriksaan berikutnya =38%

nilai Ht meningkat
Bila tidak tersedi alat haemotrokit/centrifuge dapat digunakan perhitungan
hemoglobin sahli
b. Diagnosis
Adanya 2 atau 3 kriteria klinik yang disertai trombositopenia sudah cukup untuk
mendiagnosis demam berdarah dengue.
c. Pengobatan di Puskesma
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi
pada kasus DBD dengan komplikasi perlu perawatan intensif.
Tirah baring selama masih demam
Obat antipiretik atau kompres panas hangat.
Untuk menurunkan suhu dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat
tidak dianjurkan oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau
asidosis.
Diajurkan pemberian cairan elektrolit (mencegah dehidrasi sebagai akibat
demam, anoreksia dan muntah) per oral, jus buah, sirup, susu. Disamping air
putih, dianjurkan diberikan selama 2 hari.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok. Periode kritis adalah pada
saat suhu turun pada umumnya hari ke-3 -5 fase demam.
23 | P a g e

Pemeriksaan kadar hematokrit berkala untuk pengawasan hasil pemberian
cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman
kebutuhan cairan vena.
Jenis cairan kristaloid : larutan ringer laktat ( RL), larutan ringer asetat (RA),
larutan garam faali (GF), detroksa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL),
detroksa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA). (catatan : untukresusitasi
syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang mengandung
dekstran)
Cairan koloid : dekstran 40, plasma, albumin.

3. Promosi kesehatan
Penyuluhan dan penggerakan masyarakat untuk PNS (pemberantasan sarang nyamuk),
penyuluhan tentang informasi tentang demam berdarah dan pencegahannya dilakukan
melalui jalur informasi yang ada :
a. Penyuluhan kelompok : PKK, organisasi social masyarakat lain, kelmpok agama, guru,
murid di sekolah, pengelola tempat umum/instansi.
b. Penyuluha perorangan : kepada ibu-ibu pengunjung posyandu, kepada
penderita/keluarganya di puskesmas
c. Kunjungan rumah oleh kader/petugas puskesmas.
d. Penyuluhan melalu media massa : TV, radio dan lain-lain (oleh Dinas Kesehatan Tk. II, I,
Pusat)
Menggerakam masyarakat untuk melaksanankan PSN penting terutama sebelum musim
penularan (musim hujan) yang pelaksanaannya dikoordinasi oleh kepala wilayah setempat.
Di tingkat puskesmas, usaha pemberantasan sarang nyamuk seyogyanya diintegrasikan
dalam program sanitasi lingkungan.
4. Angka Bebas Jentik
Merupakan salah satu indicator keberhasilan program pemberantasan vector penular DBD.
Angka Bebas Jentik sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vector melalui gerakan PSN-
24 | P a g e

3M menunjukan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD. Rata-rata ABJ yang
dibawah 95% menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD di
lingkunagnnya masing-masing belum optimal.
5. Indicator Kejadian Luar Biasa
KLB-DBD adalah peningkatan kejadian kesakitan 2 kali atau lebih jumlah kasus DBD dalam
suatu wilayah, dalam kurun waktu 1 minggu/1 bulan dibandingkan dengan minggu/bulan
sebelumnya atau bulan yang sama pada tahun lalu. Kejadian Luar Biasa (KLB). Kejadian
berjangkitnya demam berdarah dengue di suatu tempat dapat menimbulkan ledakan jumlah
penderitanya. Dalam ukuran tertentu, ledakan jumlah penderita di suatu wilayah
dibandingkan dengan jumlah kejadian di tempat yang sama pada kurun waktu yang sama
tahun sebelumnya, di Indonesia kejadian itu disebut sebagai Kejadian Luar Biasa.
Departemen Kesehatan mendefinisikan Kejadian Luar Biasa sebagai berikut: Kejadian Luar
Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian
kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk
dalam kurun waktu tertentu. (Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004).
Kriteria penetapan KLB Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut: Kriteria KLB
Demam Berdarah Dengue adalah: (1) timbulnya penyakit demam berdarah dengue (DBD)
yang sebelumnya tidak ada di suatu daerah Tingkat II. (2) Adanya peningkatan kejadian
kesakitan DBD dua kali atau lebih dibandingkan jumlah kesakitan yang biasa terjadi pada
kurun waktu yang sama tahun sebelumnya. (Ditjen PPM & PLP 1987:2). Dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2002 tentang Indikator Indonesia Sehat
2010 dirumuskan indikator KLB Demam Berdarah Dengue yaitu: Angka kesakitan
(morbiditas) DBD adalah jumlah kasus DBD di suatu wilayah tertentu selama satu tahun
dibagi jumlah penduduk di wilayah dan kurun waktu yang sama, dikalikan 100.000.

6. Surveillance Epidemiologi
Sistem surveilan penyakit DBD adalah pengamatan penyakit DBD di puskesmas meliputi
kegiatan pencatatan, pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan
mingguan, laporan mingguan wabah, laporan bulanan program P2DBD, penentuan
25 | P a g e

desa/kelurahan rawan, mengetahui distribusi kasus DBD/ kasus tersangka DBD per
RW/dusun, menentukan musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit.
Tujuan :
Deteksi secara dini adanya outbreak atas kasus-kasus yang endemis, sehingga
dapat dilakukan usaha penanggulangan secepatnya.
Mengetahui factor-faktor terpenting yang menyebabkan atau membantu adanya
penularan-penularan atau wabah.
Daerah pelaksanaan :
Surveillance tidak hanya dilaksanakan di desa-desa dimana sudah pernah terdapat
penderitaan/penularan DHF saja, tetapi harus dilaksanakan juga di daerah-daerah
yang receptive, yaitu daerah-daerah dimana diketahui terdapat Aedes afypti saja
sudah cukup untuk menyatakan receptive.
Pelaksanaan:
Penemuan penderita
Untuk hal ini perlu ditentukan kriteria yang standar guna diagnose klinis dan
konfirmasi laboratorium dari DHF
Pelaporan penderita
Penderita yang telah ditemukan di puskesmas/puskesmas pembantu perlu
dilaporkan kepada unit-unit surveillance epidemiologi.
Penelitian wabah.
Bila dicurigai adanya wabah perlu dilakukan penelitian di lapangan, maksudnya
ialah :
o Untuk mengetahui adanya penderita-penderita lain atau penderita-
penderita tersangka DHF yang perlu dikonfirmasi laboratorium.
o Menentukan luas daerah yag terkena dan yang perlu ditanggulangangi.
o Peneliaian sumber-sumber (inventory) mengenai keadaan umum setempat,
mengenai fasilitas dan factor-faktor yang berperan penting pada timbulnya
wabah.
o Setiap kasus demam berdarah/tersangka demam berdarah perlu dilakukan
kunjungan rumah oleh petugas puskesmas untuk penyuluhan dan
pemeriksaan jentik di rumah kasusu tersebut dan 20 rumah
26 | P a g e

disekelilingnya. Bila terdapat jentik, masyarakat diminta melakukan
pemberantasan sarang nyamuk, berupa penyemprotan atau fogging,
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Dati II. Priorotas fogging adalah pada
area dengan kasus demam berdarah yang mengelompok dan yang
meninggal.
Surveillance Vektor
Untuk tingkat puskesmas kegiatanya membantu Tim dari Dati II atau Dati I dalam
pelaksanaan surveillance vector.

c.Management Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggungjawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
Fungsi Puskesmas
Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan
kemampuan untuk hidup sehat.
Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat
wilayah kerjanya.
Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara:
Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka
menolong dirinya sendiri.
Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan
menggunakan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien.
Menberi bantuan yang bersifat bimbingan tekhnis materi dan rujukan medis maupun
rujukan kesehatan kepada msyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan.
Member pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat.
27 | P a g e

Bekerjaan dengan sector-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program
puskesmas.

1. Jenjang tingkat pelayanan kesehatan
Jenjang (Hirarkir) Komponen/Unsur pelayanan kesehatan
Tingkat Rumah Tangga Pelayanan kesehatan oleh individu atau oleh
keluarganya sendiri
Tingkat Masyarakat Kegiatan swadaya masyarakat dalam menolong
mereka sendiri oleh kelompok Paguyuban,
Saka Bhakti Husada, anggota RW, RT dam
masyarakat
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Profersional
Tingkat Pertama
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas
Keliling, Praktek Dokter Swasta,dll
Fasilitas Pelayanan Rujukan yanglebih Tinggi Rumah Sakit kelas B dan A, Lembaga
Spesialistik Swasta, Lab Kes, Lab Klinik
Swasta.


2. Azaz Penyelengaraan Puskesmas
Penyelenggaraan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan harus menerapkan
aazas penyelenggaraan puskesmas secara terpadu. Azas penyelenggaraan puskesmas tersebut
dikembangkan dari ketiga fungsi puskesmas. Dasar pemikirannya adalah pentingnya menerapkan
prinsip dasar dari setiap fungsi puskesmas dalam menyelenggarakan setiap upaya puskesmas,
baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan. Azaspenyelenggaraan
puskesmas yang dimaksud adalah:
1. Azas Pertanggungjawaban Wilayah
28 | P a g e

Puskesmas bertanggungjawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah kerjanya. Untuk ini puskesmas harus melaksanakan
kegiatan, antara lain sebagai berikut:
Menggerakan pembangunan berbagai sector tingkat kecamatan sehingga
berwawasan kesehatan.
Memantau dampak berbagai uapaya pembangunan terhadap kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya.
Membina setiap upaya kesehatan strata pertama yang diselenggarakan oleh
masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya.
Menyelengarakan upaya kesehatan strata pertama (primer) secara merata dan
terjangkau di wilayah kerjanya.
2. Azas Pemberdayaan Masyarakat
Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga masyarakat, agar berperan aktif
dalam penyelenggaraan setiap upaya puskesmas. Untuk itu berbagai potensi masyarakat
perlu dihimpun melalui Pembentukan Badan Penyatuan Puskesmas (BPP). Beberapa
kegiatan yang dilaksanakan oleh puskesmas dalam rangka pemberdayaan masyarakat
antara lain:
Upaya kesehatan ibu dan anaka: Posyandu, Polindes, Bina Keluarga Balita (BKB)
Upaya Pengobatan : Posyandu, Posa Obat Desa (POD)
Upaya Perbaikan Gizi : Posyandu, Panti Pemulihan Gizi, Keluarga Sadar Gizi
(Kadarzi).
Upaya Kesehatan Sekolah : Dokter Kecil, Penyetaraan guru dan orang tua/wali
murid, Sakti Bakti Husada, Pos Kesehatan Pesantren
Upaya Kesehatan Lingkungan : Kelompok Pemakai Air (Pokmair), Desa
Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL)
Upaya Kesehatan Usia Lanjut : Posyandu Usila, Panti Wedra
Upaya Kesehatan Kerja : Pos Upaya Kesehatan Kerja ( Pos UKK)
Upaya Kesehatan Jiwa : Posyandu, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat
(TPKJM)
Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional : Taman Obat Keluarga (TOGA),
Pembinaan Pengobatan Tradisional (Battra)
29 | P a g e

Upaya Pembinaan dan Jasmanan Kesehatan (inovatif) : dana sehat, Tabungan Ibu
Bersalin (Tabulin), mobilisasi dana kegamaan
3. Azas Keterpaduan
Untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya serta diperolehnya hasil yang optimal,
penyelenggaraan setiap upaya puskesmas harus diselenggarakan secara terpadu, jika
mungkin sejak tahap perencanaan, ada dua macam keterpaduan yang perlu diperhatikan
yakni:
a. Keterpaduan Lintas Program
Upaya memadukan penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan yang menjadi
tanggungjawab puskesmas. Contoh keterpaduan lintas program antara lain:
Manajemen Terpad Balita Sakit (MTBS) : ketrpaduan KIA dengan P2M,
Gizi, Promosi Kesehatan Pengobatan.
Upaya Kesehatan Sekolah : ketrpaduan kesehatan lingkungan dengan
promosi kesehatan, pengobatan, kesehatan gizi, kesehatan reproduksi remaja
dan kesehatan jiwa.
Puskesma keliling: keterpaduan pengobatan dengan KIA/KB, gizi, promosi
kesehatan, kesehatan gizi. Keterpaduan KIA dengan KB, Gizi, P2M,
kesehatan jiwa, promosi kesehatan.
b. Keterpaduan lintas sektoral
Upaya memadukan penyelenggaraan upaya puskesmas (wajib, pengembangan dan
inovasi) dengan berbagai program dari sector terkait tingkat kecamatan, termasuk
organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha. Contoh ketrpaduan lintas sektoral antara
lain:
Upaya kesehatan sekolah : keterpadua sector kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, pendidikan, agama.
Upaya promosi kesehatan: keterpadua sector kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, pendidikan, agama dan kesehatan.
Upaya kesehatan ibu dan anak : keterpaduan sector kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, PKK,PLKB.
30 | P a g e

Upaya perbaikan gizi : keterpaduan sector kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, pertanian, pendidikan, agama, koperasi, dunia usaha, PKK,
PLKB.
Upaya pembiayaan dan jaminan kesehatan : keterpaduan sector kesehatan
dengan camat, lurah/kepala desa. Tenaga kerja, koperasi, dunia usaha
organisasi masyarakat.
Upaya kesehatan kerja : keterpaduan sector kesehatan dengan camat/lurah
kepala desa, tenaga kerja, dunia usaha
4. Azas Rujukan
Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama, kemampuan yang dimiliki oleh
puskesmas terbatas. Padahal puskesmas berhadapan langsung dengan masyarakat dengan
berbagai permasalahan kesehatannya. Untuk membantu puskesmas menyelesaikan
masalah dan juga untuk meningkatkan efisiensi, maka penyelenggaraan setiap upaya
Puskesmas harus ditopang oleh azas rujukan.
Rujkan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab atas kasus penyakit atau
masalah kesehatan yang diselenggarakan timbale balik, baik secara vertical dalam arti
dari satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata pelayanan kesehatan lainnya,
maupun secara horizontal dalam arti antara strata sarana pelayanan kesehatan yang sama.
Sesuai dengan jenis upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas ada dua
macam rujukan yang dikenal yakni:
a. Rujukan upayakesehatan perorangan :
Cakupan rujukan pelayanan kesehatan perorangan adalah kasus penyakit. Apabila
puskesmas tidak mampu mananggulangi suatu kasusu penyakit tertentu, maka
puskesmas tersebut wajib merujuknya ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih
mampu. Sabaliknya pasien pasca rawat inap yang hanya memerlukan rawat jalan
sederhan dirujuk ke puskesmas. Rujukan upaya kesehatn perorangan dibedakan
menjadi tiga macam:
Rujukan kasus untuk keperluan diagnostic, pengobatan, tindakan medic
(misal: operasi)
Rujukan bahan pemeriksaan (specimen) untuk pemeriksaan laboratorium
31 | P a g e

Rujukan ilmu pengetahuan antara lain mendatangkan tenaga yang lebih
kompoten untuk melakukan bimbingan tentang puskesmas dan atau pun
menyelenggarakan pelayanan medic di puskesmas.
b. Rujukan upaya kesehatan masyarakat
Cakupan rujukan pelayanan kesehatan masyarakat adalah masalah kesehatan
misalnya kejadian luar biasa, pencemaran lingkungan dan bencana.
Rjukan pelayan kesehatan masyarakat juga dilakukan apabila satu puskesmas tidak
mampu menyelenggarakan upaya kesehatan wajib dan pengembangan, padahal upaya
kesehatan masyarakat telah menjadi kebutuhan masyarakat. Apabila puskesmas tidak
,mampu menyelenggarakan upaya kesehatan, puskesmas wajib merujuknya ke dinas
kesehatan kabupaten/kota.
Rujukan upaya kesehatan dibagi menjadi tiga macam:
Rujukan sarana dan logistic : peminjaman alat laboratorium, peminjaman alat
audiovisual, bantuan obat, vaksin, bahan-bahan habis pakai dan bahan
makanan.
Rujukan tenaga : dukungan ahli untuk penyelidikan KLB, bantuan
penyelesaian masalah hukum kesehatan, penanggulangan masalah kesehatan
karena bancana alam.
Rujukan operasional : menyerahkan sepenuhnya kewenangan dan tanggung
jawab penyelesaian masalah kesehatan masyarakat atau penyelenggara upaya
kesehatan masyarakat ( antara lain : UKS, UKK, UKJ, pemeriksaan contoh air
bersih) kepada Dnas Kesehatan Kabupatan/Kota.






32 | P a g e


Formulir Rujukan Pasien
Kepada
Yth. Direktur Rumah Sakit
Di
Bersama ini kami merujuk penderita Demam Berdarah Dengue (DBD):
Nama :
Umur : .thn.bln
Jenis kelamin: (L/P)
Nama orang tua:
Alamat : jln.No.RtRwKelurahanKecamatan
Tangggal muali sakit:
Tanggal mulai rawat:
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Pengobatan yang telah diberikan:
(Nama sarana pelayanan kesehatan)
Dokter /paramedic yang merawat
(Nama terang)
33 | P a g e



3. Rapat kerja Puskesmas
1. Rapat kerja bulanan
Setelah puskesmas selesai melaksanakan Lokakarya Penggalangan Puskesmas maka
segala keputusan yang telah diambil secara bersama harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
Salah satu usaha untuk melaksanakan tindak lanjut dari loka karya penggalangan tim
adalah rapat kerja rutin setiap bulan.
Tujuan
Timbulnya kebiasaan pada seluruh petugas puskesmas untuk selalu mengadakan
tindak lanjut dari setiap kegiatan dalam melaksanakan program kesehatan.
Adanya suatu sistem manajemen sederhana dan terselenggaranya rapat kerja utin
bulanan puskesmas, untuk melakukan penilaian program yang sedang berjalan
secara teratur, dan hambatan-hambatan yang dijumpai selama satu bulan yang lalu
dapat dipecahkan bersama.
34 | P a g e

Pelaksanaan:
Rapat kerja bulanan puskesmas penyelenggaraan diadakan oleh kepala puskesmas dibantu
oleh staf.
Pengarah : kepala puskesmas
Peserta : dokter/perawat gigi,perawat/PK.C, bidan/PK.E, sanitarian/PK.AB, pekerja
kesehatan, petugas P3M, petugas SP2TP, petugas gizi dan petugas lain, termasuk
yang ada di puskesmas pembantu.
Waktu : biasanya rapat diadakan pada hari sabtu atau minggu pertama tiap bulan atau
hari lain yang dianggap tepat, dengan acara:
Pembukaan
Laporan hasil kegiatan bulan lalu dari masing-masing petugas berdasarkan
rencana kerjanya.
Laporan cakupan posyandu per desa dari masing-masing tim
Laporan hasil rapat dinas kesehatan
Laporan hasil rapat kecamatan
Analisis masalah hambatan
Pemecahan masalah
Pembuatan rencana kerja
Tambahan pengetahuan.
2. Rapat Kerja Tribulanan Lintas Sektoral
Salah satu cara untuk memelihara kerjasama ialah dengan mengadakan pertemuan
berkala dan membahas pelaksanaan kerjasama mauapun masalah yang dihadapi dan
sekaligus mencari pemecahannya bersama-sama.
a. Tujuan
Umum : meningkat dan terpeliharanya hubungan kerja sama lintas sektoral
Khusus : a. terlaksananya pertemuan lintas sector berkala untuk mengkaji
kegiatan kerjasama selama 3 bulan yang lalu dalam pembinaan PSM di bidang
kesehatan. b. terpecahkannya masalah dan hambatan yang dihadapi dalam rangka
kerjasama lintas sektoral. c. terumusnya mekanisme dan rencana kerjasama lintas
sektoral tribulanan berikutnya.
35 | P a g e

b. Pelaksanaan
Pengarah : camat
Peserta : undangan rapat ditanda tangani oleh camat dan disampaikan kepada :
Tim Pembina Posyandu/KB-Kes Dati II, Tim Penggerak PKK Kecamatan,
Puskesmas di wilayah kerja, BKKBN Kecamatan, Bangdes Kecamatan, sector
lain yang diperlukan.
Waktu : pertemuan sebaiknya dilakukan pada hari sabtu akhir tribulan, dengan
acara:
Pembukaan
Laporan kegiatan posyandu
Laporan dan hambatan dari sector-sektor
Tanggapan dan kebijaksanaan dari Tim Dati II
Analisa masalah
Pemecahan masalah
Rencana kerja dari sector-sektor
Kesepakatan pembinaan

4. Pemantauan Pelaksanaan ( Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu
Puskesmas, SP2TP)
a. Pengertian,
SP2TP adalah tata cara pencatatan dan pelaporan yang lengkap untuk pengelolaan
puskesmas, meliputi keadaan fisik, tenaga, sarana, dan kegiatan pokok yang dilakukan
serta hasil yang dicapai oleh puskesmas. Dengan melakukan SP2TP sebaik-baiknya, akan
didapat data dan informasi yang diperlukan dengan perencanaan, pengerak pelaksana,
pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penilaian penampilan puskesmas serta
situasi kesehatan masyarakat umum.
b. Ruang Lingkup
SP2TP dilakukan oleh semua puskesmas ( termasuk puskesma dengan perawatan,
puskesmas pembantu, puskesmas keliling)
Pencatatan dan pelaporan mencakup:
36 | P a g e

Data umum dan demografi wilayah kerja puskesmas
Data ketenagaan di puskesmas
Data sarana yang dimiliki puskesmas
Data kegiatan pokok puskesmas, yang dilakukan di dalam maupun di luar
gedung puskesmas.
Pelaporan dilakukan secara periodic (bulanan, tribulanan, semester dan tahunan)
dengan menggunakan formulir yang baku. Seyogyanya berjenjang dari puskesmas
ke Dati II, dari Dati II ke Dati I, dan dari Dati I ke pusat. Namun sementara ini
dapat dilakukan dari Dati II langsung ke pusat, dengan tindasan ke propinsi.
c. Pelaksanaan SP2TP
Pelaksanaan SP2TP terdiri dri 3 kegiatan, ialah:
Pencatatan dengan menggunakan format
Pengiriman laporan dengan menggunakan format secara periodic
Pengolahan analisis dan pemanfaatan data/informasi.
1. Pencatatan
Pencatatan di lakukan di dalam gedung puskesmas/ puskesmas pembantu, yaitu
mengisi :
Family folder (kartu individu dan kartu tanda pengenal keluarga)
Buku registrasi:
Rawat jalan/rawat nginap
Penimbangan
Kohort ibu
Kohort anak
Persalinan
Laboratorium
Pengamatan penyakit menular
Imunisasi
P.K.M
Kartu indeks penyakit (kelompok penyakit) yang disertai distribusi jenis kelamin,
golongan, umur dan desa.
Kartu perusahaan
37 | P a g e

Kartu murid
Sensus harian (penyakit dan kegiatan puskesmas)
2. Pelaporan
a. Bulanan
Data kesakitan (Format LB.1)
Data kematian ( Format LB.2)
Data operasional (Format LB.3), (gizi, imunisasi, KIA)
Data manajemen obat (Format LB.4)
b. Triwulan
Data kegiatan puskesmas (Format LT)
c. Tahunan
Umum, fasilitas (Format LSD.1)
Sarana (Format LSD.2)
Tenaga (Format LSD.3)

5. Formulir Laporan DHF
Tabel 1. Jumlah Pasien DBD (lama dan baru) yang Dirawat Berdasarkan Usia dan Jenis
Kelamin
Tanggal
Nama Rumah Sakit
Diagnosa Dewasa Anak (<18 tahun) Total
Laki-
laki
perempuan Laki-
laki
perempuan
Suspect
DBD
DBD+ SYOK
TOTAL

38 | P a g e


Tabel 2. Jumlah Pasien DBD baru dan pulang (sembuh atau meninggal)
Tanggal
Nama Rumah Sakit
Diagnosa Nasuk (baru) Pulang Total
Dewasa Anak Meninggal
<24 jam
>24 jam
Sembuh
Tersangka
DBD
DBD+SYOK
TOTAL

6. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu
kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi
antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW).
Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

7. Peran Dokter Dalam Puskesmas
Menjadi seorang dokter adalah sebuah aktivitas mulia bila dilandasi dengan niat yang baik.
Selain mempelajari berbagai macam teori mengenai penyakit dan obat-obatan yang sangat detail,
seorang dokter juga perlu belajar cara berinteraksi dengan orang lain, agar dapat memberikan
pelayanan holistik pada pasiennya.
WHO menetapkan 5 standar dokter ideal yang dirangkum dalam 5 stars doctor, antara lain:
39 | P a g e

1. Health care provider (penyedia layanan kesehatan) yaitu kemampuan dokter
sebagai tenaga medis, memberikan tindakan terhadap keluhan-keluhan pasiennya.
Tindakan kesehatan yang dilakukan dapat berupa kuratif, preventif, promotif dan
rehabilitatif.
2. Decision maker (pembuat keputusan), salah satu peran seorang dokter yaitu
memberikan keputusan terhadap suatu permasalahan, yang sudah ditimbang dari
sudut pandang medis dari ilmu yang dikuasainya.
3. Community leader (pemimpin komunitas), didalam lingkungan bermasyarakat,
seorang dokter harus dapat mengayomi masyarakat untuk dapat hidup sehat, dapat
menjadi contoh bagi komunitas disekelilingnya
4. Manager (manajer), adakalanya seorang dokter akan menjadi pemimpin dari
sebuah lembaga kesehatan (puskesmas, DinKes atau Rumah Sakit), untuk itu,
kemampuan mengelola sistem, staf, dan berkolaborasi dengan struktur lembaga
merupakan sesuatu yang perlu dimiliki oleh setiap dokter.
5. Communicator (penyampai), memutuskan untuk menjadi seorang dokter, berarti
memutuskan untuk menjadi pekerja sosial, yang berhubungan dengan manusia. Di
masyarakat, dokter merupakan sosok panutan, lantaran karena ilmunya yang luas
dan kepeduliannya terhadap hidup sesama. Untuk itu, keterampilan berkomunikasi,
menyampaikan sesuatu dengan baik merupakan softskill yang harus dimiliki setiap
dokter
Dalam menghadirkan pelayanan kesehatan, seorang dokter akan berkolaborasi dengan
tenaga kesehatan lainnya, antara lain perawat, ahli gizi, ahli farmasi, bidan, sanitarian dan
petugas administratif. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang area kerja masing-
masing disiplin ilmu, agar tidak saling tumpang tindih dan menimbulkan konflik lintas
profesi.





40 | P a g e

D .Evaluasi program DHF dengan Pendekatan Sistem
LINGKUNGAN

MASUKAN PROSES KELUARAN DAMPAK

UMPAN BALIK


1. Masukan (input) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem dan
terdiri ari unsure tenaga (man), dana (money), sarana (material), dan metoda (methode)
yang merupakan variable dalam melaksanakan evaluasi program pemberantasan Demam
Berarah Dengue.
2. Proses (process) adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem yang
terdiri dari unsure perencanaan (planning), orgnisasi (organization), pelaksanaan
(activities) dan pengawasan (controling) yang merupakan variable dalam melaksanakan
evaluasi program DBD.
3. Keluaran (output)
Kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari berlangsungnya proses dalam sistem
dari kegiatan pemberantasan DBD
4. Dampak (impact)
Akibat yang dihasilkan oleh keluaran dalam pemberantasan DBD
5. Umpan balik (feed back)
Kumpulan bagian atau elemen yang merupakan keluaran sistem dan sekaligus sebagai
masukan dalam program pemberantasan DBD
6. Lingkungn (environment)
Dunia luat yang tidak dikelola oleh sistem tetapi mempunyai pengaruh terhadap sistem.

41 | P a g e

No Variable Unsure
1. Masukan
a. Tenaga


Dokas kesehter, koordinator P2M,petugas laboratorium,
petugas kesehatan lingkungan,petugas administrasi, kader
aktif, jumantik
b. Dana Dana untuk pelaksanaan program diperoleh dari
1. APBD :
2. Swadaya masyarakat
c. Sarana 1. Medis : stetoskop, timbangan BB,
thermometer,tensimeter,senter,
2. Alat pemeriksaan Laboratorium
3. Formulir
4. Obat-obatan
5. Larvasida
Non medis : gedung puskesmas, ruang tunggu, ruang
administrasi, ruang periksa,ruang tindakan,
apotik,perlengkapan adminstrasi.
Metode :

1. penemuan penderita tersangka
2. rujukan kasus tersangak DBD
3. surveilans kasus
4. surveilans vector
5. pemberantasan vector
6. penyuluhan kesehatan
7. pelatihan kader
8. pencatatan dan pelaporan
2 Proses 1. penemuan penderita tersangka
2. rujukan kasus tersangak DBD
3. surveilans kasus
4. surveilans vector
5. pemberantasan vector
6. penyuluhan kesehatan
42 | P a g e

7. pelatihan kader
8. pencatatan dan pelaporan
3. Pengorganisasian Melalui pembagian tugas
4. Keluaran 1. Jumlah tersangka
2. Rujukan kasus tersangka
3. Surveilens kasus dan vector
4. Program pemberantasan vector
5. Penyuluhan kesehatan
6. Pelatihan kader
7. Pencatatan dan pelaporan
5. Lingkungan A. Lingkungan fisik
1. Luas daerah
Luas wilayah kerja
Jumlah RT/RW
2. Keadaan penduduk
Jumlah penduduk
Jumlak KK
3. kat Keadaan geografis
4. Lokasi
Jarak puskesmas dengan pemukiman
penduduk
Transportasi
Jarak dengn fasilitas umum

B. Lingkung non fisik
Social
Ekonomi
Budaya
Mata pencarian penduduk
Tingkat pendidikan
43 | P a g e


6. Umpan balik Adanya pencatatan dan pelapotan
Rapat kerja
7. Dampak Langsung :penurunan angka
morbiditas dan mortalitas kasus
DBD
Tidak langsung : peningkatan
derajat kesehatan masyarakat.

1. Prioritas pemilihan masalah
Ditinjau dari sudut pelaksanaan program kesehatan, penetapan prioritas masalah diandang amat
sangat penting, karena:
1. Terbatasanya sumber daya yang tersedia dan karena itu tidak mungkin menyelesaikan
semua masalah.
2. Adanya hubungan antara satu masalah dengan masalah lain dank arena itu tidak perlu
semua masalah diselesaikan.
Cara menetapkan prioritas masalah yang dianjurka adalah memakai tekhnik kajian data. Untuk
dapat menetapkan prioritas masalah dengan tekhnik kajian data, ada beberapa kegiatan yang
harus dilakukan. Kegiatan yang dimaksud:
1. Melakukan pengumpulan data
Yang dimaksud dengan data adalah hasil dari suatu pengukuran dan ataupun pengamatan.
Agar data yang dikumpulkan tersebut dapat menghasilkan kesimpulan tentang prioritas
masalah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Jenis data
Dapat dipergunakan pendapat Blum (1976) yang membedakan data kessehatan atas
empat macam yakni data tentang perilaku (behavior), lingkungan (environment),
pelayanan kesehatan (health service) dan keturunan (heredity). Tetapi apabila waktu,
tenaga, sarana, dan dana cukup tersedia, tidak ada salahnya mengumpulkan data yang
44 | P a g e

lebih lengkap, seperti :keadaan geografis. Pemerintahan, kependudukan, pendidikan,
pekerjaan dan mata pencarian, keadaan social budaya, kesehatan.
b. Sumber data
Ada tiga sumber data yang dikenal yakni sumber primer, sumber sekunder dan
sumber tersier. Contoh sumber primer adalah hasil pemeriksaan atau wawancara
langsung dengan masyarakat. Contoh sumber data sukender adalah laporan bulanan
puskesmas dan kantor kecamatan. Sedangkan contoh sumber data tersier adalah hasil
publikasi badan-badan resmi, seperti kantor dinas statistic, dinas kesehatan dan kantor
kabupaten.
c. Jumlah responden
Kumpulkan data dengan lengkap dalam arti mencangkup seluruh penduduk. Dalam
kehidupan sehari-hari pengumpulan data secara total sulit dilakukan. Lazimnya
diambil data dari sebagian penduduk saja, yang besarnya karena hanya merupakan
suatu survey diskriptif, ditentukan dengan menggunakan rumus sampel :



d. Cara mengambil sampel
Jika jumlah sampel telah ditentukan, lanjutkan dengan menetapkan cara pengambilan
sampel. Ada empat cara pengambilan sampel yang dikenal yakni cara simple random,
systematic random sampling, stratified random sampling dan cluster random
sampling. Pililah yang sesuai.
e. Cara mengumpulkan data
Cara mengumpulkan data ada empat yakni wawancara, pemeriksaan, pengamatan,
serta peran serta.
2. Melakukan pengolahan data
Pengolahan data ialah menyusun data yang tersedia sedemikian rupa sehingga jelas sifat-
sifat yang dimiliki. Cara pengolahan data secara umum dapat dibedakan atas tiga macam
yakni manual, mekanikal, serta elektrikal.
3. Melakukan penyajian data
Ada tiga macam penyajian data yang lazim dipergunakan yakni secara tekstular, tabular
dan grafikal.
45 | P a g e

4. Memilih prioritas masalah
Cara yang dianjurkan adalah memakai criteria yang dituangkan dalam bentuk matriks.
Dikenal dengan nama tekhnik criteria matriks. Secara umum dapat dibedakan menjadi
tiga macam:
a. Pentingnya masalah
Makin penting (importancy) masalah tersebut, makin diprioritaskan penyelesaiannya.
Ukuran pentingnya masalah banyak macam. Beberapa diantaranya yang terpenting
adalah:
Besarnya masalah (prevalence)
Akibat yang ditimbulkan oleh maslah (severity)
Kenaikan besarnya masalah (rate of increase)
Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (degree of unmeet need)
Keuntungan social karena selesainya masalah (social benefit)
Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public concern)
Suasana politik (poltikal climate)
b. Kelayakan tekhnologi
Makin layak tekhnologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah (technical feasibility), makin diprioritaskan masalah tersebut. Kelayakan
tekhnologi yang dimaksud adalah menunjukan pada pengasaan ilmu dan tekhnologi
yang sesuai.
c. Sumber daya yang tersedia
Makin tersedia sumber daya yang dipakai untuk mengatasi maslah makin
diprioritaskan masalah. Sumber daya yang dimaksud adalah tenaga,dana,dan sarana.
Berikan nilai 1 (tidak penting) sampai 5 (sangat penting) untuk setiap criteria yang sesuai.
Prioritas masalah adalah jumlah yang paling besar.
No Daftar masalah I T R JUMLAH
ITR
P S RI DU SB PB PC
1
46 | P a g e

2

2. .Menetapkan prioritas jalan keluar
1. Menyusun alternative jalan keluar
Untuk memilih alternative jalan keluar cobalah berpikir kreatif, yang dikenal dengan
tekhnik analog atau popular dengan sebutan synectic technique. Atau cobalah tempu
langka-langkah berikut:
Menentukan berbagai penyebab masalah
Lakukan curah pendapat (brain storming) dengan membahas data yang telah
dikumpulkan. Gunakan alat bantu diagram hubungan sebab-akibat (cause-effect
diagram) atau diagram tulang ikan (fish bone diagram)
Memeriksa kebenaran penyebab masalah
Lakukan pengumpulan data tambahan. Coba lakukan uji statistic untuk
mengidentifikasi penyebab masalah yang sebenarnya.
Mengubah penyebab masalah menjadi kegiatan

2. Memilih prioritas jalan keluar
Karena kemampuan yang dimiliki oleh suatu organisasi terbatas pilihlah salah satu dari
alternative jalan keluar yang paling menjanjikan. Cara pemilihan prioritas jalan keluar yang
dianjurkan adalah memakai criteria matriks.
a. Efektifitas jalan keluar
Dengan member nilai 1(paling tidak efektif) sampai angak 5 (paling efektif). Untuk
menetapkan efektifitas jalan keluar, gunakan criteria:
Besarnya masalah yang dapat diselesaikan
Hitunglah besar masalah (magnitude) yang dapat diatasi apabila jalan keluar
tersebut dilaksanakan,
Pentingnya jalan keluar
Hitunglah penting jalan keluar (importancy) dengan mengatasi masalah yang
dihadapi, untuk setiap alternative.
47 | P a g e

Sensitifitas jalan keluar
Hitunglah sensitifitas jalan keluar (vunerability) dalam mengatasi masalah yang
dihadapi. Sensitifitas yang dimaksud dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar
mengatasi masalah.
b. Efisiensi jalan keluar
Tetapkan nilai efisiensi untuk setiap alternative jalan keluar, yakni dengan member angka
1 (paling tidak efisien) sampai dengan angka 5 (paling efisien). Nilai efisien diakitkan
dengan biaya (cost) yang diperlukan.
Hitunglah nilai P (prioritas) dengan membagi hasil perkalian nilai MIV dengan nilai C. jalan
keluar dengan nilai P paling tinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih.
3. Melakukan uji lapangan
Tujuan utama yang ingin dicapai bukan lagi mempermasalhkan jalan keluar yang telah
terpilih melainkan hanya menilai berbagai factor penopang dan factor penghambat.
4. Memperbaiki prioritas jalan keluar
Dengan memanfaatkan berbagai factor penopang dan bersama itu meniadakan factor
penghambat/
5. Menyusun uraian rencana prioritas jalan keluar
NO Daftar alternative jalan keluar Efektifitas Efisensi Junlah


M I V C
1
2
3



48 | P a g e

Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. Widoyono. Demam berdarah dengue.Penyakit tropis,epidemiologi,penularan,pencegahan
dan pemberantasan. Jakarta. Erlangga; 2008.h.59
2. www.
3. Bustan M N. Ukuran Epidemiologi. Pengantar epidemiologi.Cetakan ke-2. Jakarta.
Rineka Cipta;2006.h 75
4. Depertemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana
pelayanan kesehatan. Jakarta. Depertemen Kesehatan; 2005.hal 1
5. www.
6. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Tatalaksanan demam berdarah
dengue. Jakarta. Dpertemen Kesehatan;2001.hal.2
7. Departemen Kesehatan RI. Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue oleh
jumantik. Edisi ke-3 Jakarta. Departemen Kesehatan;2007.hal.7
8. http://www.scribd.com/doc/34490032/demam-berdarah
9. http://www.dinkes-
kabtangerang.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=88:pencegahan-demam-
berdarah-dbd&catid=12:kesehatan-umum&Itemid=35
10. http://www.litbang.depkes.go.id/download/seminar/desentralisasi6-80606/MakalahFarid.pdf
11. http://journal.ui.ac.id/?hal=detailArtikel&q=598

Anda mungkin juga menyukai