Anda di halaman 1dari 10

Hukum Gugat Cerai (Khuluk) yang dilakukan istri pada suami dalam Islam

Oleh A. Fatih Syuhud


Dalam konteks pemtusan hubungan perkawinan, ada tiga metode dan istilah yang
dipakai dalam fiqih Islam yaitu cerai talak (talaq), gugat cerai (khuluk), dan fasakh.
Cerai talak adalah pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh suam
sedangkan gugat cerai adalah permintaan pemutusan hubungan perkawinan yang
dilakukan oleh istri. Dalam literatur kitab fiqih klasik, gugat cerai disebut juga
dengan khulu. Uraian di bawah umumnya berdasarkan pada fiqih madzhab Syafii.

Dalil Dasar
Dasar hukum dari masalah gugat cerai atau khulu adalah Al-Quran dan hadits.
Dalam QS Al-Baqarah: 229-230 Allah berfirman:

Artinya: Talak (yang dapat dirujuk) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri utuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia menikah
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikanya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk menikah
kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits sahih yang mengisahkan tentang istri
Tsabit bin Qais bin Syammas bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang datang pada
Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu
menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.[1]
Definisi Khulu
Definisi khuluk menurut madzhab Syafii adalah sebagai berikut:

(Khulu secara syariah adalah kata yang menunjukkan atas putusnya hubungan
perkawinan antara suami istri dengan tebusan [dari istri] yang memenuhi syarat-
syarat tertentu. Setiap kata yang menunjukkan pada talak, baik sharih atau kinayah,
maka sah khulu-nya dan terjadi talak bain.) [2]
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mendefinisikan khuluk demikian:

(Khuluk adalah istri yang menebus dirinya sendiri dengan harta yang diberikan pada
suami atau pisahnya istri dengan membayar sejumlah harta).[3]
Hukum Khuluk
Adapun hukum asal dari gugat cerai adalah boleh. Imam Nawawi menyatakan:


(Hukum asal dari khulu adalah boleh menurut ijmak ulama. Baik tebusannya berupa
seluruh mahar atau sebagian mahar atau harta lain yang lebih sedikit atau lebih
banyak. Khulu sah dalam keadaan konflik atau damai.)[4]
Al-Jaziri membagi hukum khuluk menjadi boleh, wajib, haram, dan makruh:




(Khuluk itu setipe dengan talak. Karena, talak itu terkadang tanpa tebusan dan
terkadang dengan tebusan. Yang kedua disebut khuluk. Seperti diketahui bahwa talak
itu boleh apabila diperlukan. Terkadang wajib apabila suami tidak mampu memberi
nafkah. Bisa juga haram apabila menimbulkan kezaliman pada istri dan anak. Hukum
asal adalah makruh menurut sebagian ulama dan haram menurut sebagian yang lain
selagi tidak ada kedaruratan untuk melakukannya).[5]
As-Syairazi dalam Al-Muhadzab menyatakan bahwa khuluk itu boleh secara mutlak
walaupun tanpa sebab asalkan kedua suami istri sama-sama rela. Apalagi kalau
karena ada sebab, baik sebab yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai
suami; atau sebab yang syari seperti suami tidak shalat atau tidak memberi nafkah.

: [ } { 222 ]
: ) (
[ ) ( ]
: [ } { 4 ]
(Apabila istri tidak menyukai suaminya karena buruk fisik atau perilakunya dan dia
kuatir tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh mengajukan
gugat cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS Al Baqaran 2:229
dan hadits Nabi dalam kisab Jamilah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais. Apabila istri
tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat untuk khuluk tanpa sebab maka
itupun dibolehkan karena adanya firman Allah dalam QS An Nisa 4:4).[6]
Talak Bain Bainunah Sughro
Pasangan suami istri yang bercerai dengan cara khuluk maka perceraiannya disebut
dengan talak bain bainunah sughro (talak bain kecil). Sering disingkat dengan talak
bain sughra Talak bain sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.[7] Ini berbeda halnya
dengan talak bain kubro atau talak tiga di mana suami tidak bisa lagi kembali ke istri
kecuali setelah istri menikah dengan lelaki lain sebagaimana disebut dalam QS Al-
Baqarah 2:230.[8]
Dalam konsekuensi talak bain sughro, Wahbah Al Zuhaili, seorang ulama fiqih
kontemporer, menyatakan:
: :

. ..
( konsekuensi hukum dari talak bain bainunah sughra menurut ijmak ulama adalah
(a) hilangnya kepemilikan, bukan kehalalan, karena talak. (b) Haram
istimta[bercumbu] secara mutlak dan khalwat [berduaan] setelahnya pada waktu
talak. (c) Suami tidak boleh rujuk pada istri kecuali dengan akad yang baru. (d) boleh
menikah lagi baik dalam masa iddah atau setelahnya dengan akad yang baru. (e)
Quota talak yang dimiliki suami menjadi berkurang sebagaimana talak raji.)[9]
Sebagaimana diketahui ada tiga macam pemutusan hubungan perkawinan yaitu
fasakh, talak raji dan talak bain. Talak bain terdiri dari dua macam yaitu talak bain
shughra dan kubra. Kalau talak raji adalah talak satu dan talak dua di mana suami
boleh kembali atau rujuk pada istri selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah
baru.
Talak bain sughro adalah istilah yang kurang begitu dikenal di kalangan ahli fiqih
salaf. Istilah yang dikenal saat itu adalah talak bain bainunah kubro atau bainunah
muharromah. Sedangkan bain sughro disebut dengan talak bain saja.[10]
Istilah bainunah sughro baru dikenal dalam literatur fiqih kontemporer (khalaf).
Seperti dalam kitab Fiqhus Sunnah, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Al-Mausuah al-
Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, al-Fiqh alal Madzahib al-Arbaah.[11]
Khuluk di Luar Pengadilan
Khuluk, sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan secara langsung antara suami istri
tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam Nawawi
dalam Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab:
.
(Khuluk dapat dilakukan tanpa hakim karena khuluk merupakan pemutusan akad
dengan saling sukarela yang bertujuan untuk menolak kemudaratan. Oleh karena itu
ia tidak membutuhkan adanya hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual
beli).[12]
Walaupun khuluk dapat dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu tidak
diakui negara. Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang
Indonesia, maka pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan
Agama.[13] Harus juga dinginat, bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama
dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Seperti,
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), suami tidak memberi nafkah,
ditinggal suami selama 2 tahun berturut-turut, dan lain-lain.[14]
Khuluk di Pengadilan Agama
Suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal
formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim.
[15]
Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu, seorang istri atau wakilnya dapat
mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang tinggal
di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan
suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan
Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat. [16]
Berbeda dengan khuluk yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang
diajukan melalui lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
a. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
b. suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau
alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan
anda;
c. suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan
dilangsungkan;
d. suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
e. suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau
penyakit yang dideritanya;
f. terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk
rukun kembali;
g. suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
h. suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam
keluarga.[17]
Syarat-syarat di atas tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti
yang menguatkan gugatan.
Gugat Cerai Tanpa Kerelaan Suami
Gugat cerai pada dasarnya harus dilakukan atas sepengetahuan dan kerelaan suami.
Karena pihak yang memberi kata cerai dalam khuluk adalah suami. Jadi, kalau suami
tidak rela atau tidak mau meluluskan gugatan perceraian istri, maka khuluk tidak bisa
terjadi.
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan Agama dapat
meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa kehadiran suami apabila
berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih
baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang tidak
bisa didamaikan, atau suami tidak bertenggung jawab, terjadi KDRT yang
membahayakan istri dan lain sebagainya.[18] Dalam konteks ini, maka hakim dapat
menceraikan keduanya bukan dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah
Al-Fiqhiyah dinyatakan:
:
(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari
sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka
hakim dapat menceraikan keduanya.)[19]
Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada istri, hanya istri kurang
menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan kewajibannya
sebagai istri, maka istri dapat mengajukan khuluk dan sunnah bagi suami untuk
meluluskannya. Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka ada dua pendapat
ulama. Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami. Konsekuensinya,
hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan mayoritas ulama, termasuk
madzhab Syafii.
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk bercerai walaupun
suami tidak rela. Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali. Al-Mardawi
dalam Al-Inshaf: menyatakan:


. .

(Apabila istri marah pada suami dan takut tidak dapat menjalankan perintah Allah
dalam memenuhi hak-hak suami maka istri boleh melakukan gugat cerai. Al-
Halwani menyatakan gugat cerai dalam konteks ini sunnah. Adapun suami maka
menurut pendapat yang sahih adalah sunnah mengabulkan permintaan istri. Syekh
Taqiuddin dan sebagian hakim Suriah menyatakan bahwa suami wajib memenuhi
permintaan istri.)[20]
Ibnu Uthaimin, ulama Hanbali kontemporer, menyatakan:


(Seandainya kita tidak memungkinkan mendamaikan kedua suami istri, lalu suami
menolak untuk menceraikan istri, sedang istri menolak hidup bersama suami, maka
ulama berpendapat atas wajibnya khuluk dengan syarat istri harus mengembalikan
mahar secara penuh. Ini juga pendapat sebagian ulama madzhab Hanbali, termasuk
Ibnu Taimiyah)[21]
Dari pandangan di atas, maka Abdullah bin Baz, salah satu ulama madzhab Hanbali
saat ini, berpendapat bahwa hakim boleh mengabulkan permintaan istri walau tanpa
persetujuan dan kehadiran suami di pengadilan seperti dinyatakna dalam salah satu
fatwanya berikut.


(Apabila suami menolak untuk hadir ke pengadilan bersama istri yang mengajukan
gugat cerai, maka wajib bagi hakim untuk menceraikannya apabila istri meminta hal
itu dengan mengembalikan maharnya dengan dasar dua hadits di atas dan karena
makna dan ketetapan yang terkandung dalam syariah dan tujuannya).[22]
Pandangan ini berdsarkan pada hadits yang menceritakan kisah istri Tsabit bin Qais
di atas.[23]
Kesimpulan
Khuluk atau gugat cerai dari seorang istri pada suami hukumnya boleh dan sah
dilakukan kapan saja baik dalam damai atau karena konflik rumah tangga. Karena
faktor kesalahan suami atau karena istri tidak lagi mencintai suami. Dengan syarat
adanya kerelaan suami. Dan dapat dilakukan di depan pengadilan atau di luar
pengadilan.
Gugat cerai di Pengadilan Agama yang disebabkan oleh perilaku suami yang tidak
bertanggungjawab dapat diluluskan oleh hakim dengan sistem talak (bukan khuluk)
tanpa perlu persetujuan suami.
Adapun gugat cerai yang murni karena istri tak lagi mencintai suami, bukan karena
kesalahan suami, maka suami disunnahkan untuk menerima permintaan istri. Dalam
konteks ini, maka ulama berbeda pendapat apakah hakim berhak menceraikan mereka
secara khuluk atau tidak.[]
Footnote dan Referensi
[1] Hadits riwayat Bukhari no. 4973; riwayat Baihaqi dalam Sunan al-Kubro no.
15237; Abu Naim dalam Al-Mustakhroj no. 5275; Teks asal dari Sahih Bukhari
sebagai berikut:


[2] Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arbaah, IV/185 mengutip definisi
khuluk menurut madzhab Syafii.
[3] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, IX/490; Mujam Al-Mustalahat al-Fiqhiyah,
II/46 48).
[4] Abu Syaraf An-Nawawi dalam Raudah at-Talibin 7/374; Al-Hashni dalam
Kifayatul Akhyar, III/40.
[5] Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arbaah, IV/186.
[6] As-Syairozi, Al-Muhadzab, II/289.
[7] KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 119
[8] QS Al-Baqarah 2:230 ,
,

[9] Wahbah Zuhaili, dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, IX/415.
[10] Lihat misalnya dalam Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, XXII/63; Ianah at-
Talibin, IV/165.
[11] Masing-masing ditulis oleh Sayyid Sabiq, Wahbah Zuhaili, Kumpulan ulama
Kuwait, Al-Jaziri.
[12] Imam Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13.
[13] KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 114
[14] KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 116.
[15] Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1
tahun 1974 tentang Perkawinan
[16] Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama.
[17] Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975.
[18] Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, II/290.
[19] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285.
usuf Qaradaw sepakat dalam hal ini. Dia menyatakan dalam fatwanya:

)
.( ) (

)

0102/ten.iwadaraq.www//:ptth :kniLl) .( -02-23-09-38-15/4/687.html)
[20] Al-Mardawi, Al-Inshaf, VIII/382.
[21] Ibnu Uthaimin, Syarhul Mumtik ala Syarhil Mustaqnik, /40. Teks fawa
selengkapnya:

: :



.
[22] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmuk Fatawa, XXI/259 .. Teks lengkap
fatwanya sebagai berikut:

( )) :

(( )) :





.
Dalam hal suami tidak melakukan kesalahan tetapi istri meminta cerai, Yusuf
Qardhawi bersikap hati-hati. a menyatakan:


:kniL) .
http://www.qaradawi.net/2010-02-23-09-38-15/4/687.html)
[23] Teks hadits:


- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2013/10/hukum-gugat-cerai-khuluk-
dalam-islam/#sthash.gXI9ITss.dpuf

Anda mungkin juga menyukai