Anda di halaman 1dari 11

Perceraian dalam Islam *

Oleh A. Fatih Syuhud


Talak adalah kisah sedih dalam jalinan rumah tangga. Ibarat sebuah drama, semua
orang berharap kisah jalinan rumah tangga antara suami dan istri berakhir bahagia.
Sampai kakek nenek dan beranak cucu dan bahkan sampai ke liang lahat. Dan ketika
akhir bahagia itu tidak terjadi, bukan hanya manusia yang kecewa, Allah dan Rasul-
Nya pun kecewa. Oleh karena itu, Allah menyarankan agar suami tidak mudah
menjatuhkan kata talak pada istrinya walaupun ada rasa tidak suka dalam hati. Dalam
QS An Nisa 4:19 Allah berfirman: Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.[1] Rasulullah bersabda: Perkara halal yang paling tidak disukai
Allah adalah talak.[2]

Namun demikian, Islam tidak menutup pintu perceraian rapat-rapat. Karena, ada
kalanya sebuah konflik rumah tangga memasuki tahap yang tidak dapat didamaikan
dan justru akan menimbulkan kesengsaraan dan konflik yang lebih hebat apabila
dilanjutkan. Dalam situasi seperti ini, maka syariah membolehkan adanya perceraian
seperti tersebut dalam QS An-Nisa 4:130 Jika keduanya bercerai, maka Allah akan
memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan
adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.[3]
Cerai Hanya Dua Kali
Tidak banyak suami yang mengerti bahwa haknya untuk menceraikan istri hanya dua
kali dalam arti selama tidak lebih dari dua kali maka suami boleh rujuk pada istrinya
kapan saja dalam masa iddah tanpa perlu akad nikah baru. Namun, apabila suami
sudah dua kali menceraikan istrinya, maka cerai yang ketiga adalah betul-betul yang
terakhir. Tidak ada lagi jalan bagi sumi untuk rujuk kecuali apabila istri menikah
dengan lelaki yang lain. Dalam QS Al-Baqarah 2:230 Allah menjelaskan secara
detail: Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.[4]
Ulama fiqih menyebut talak ketiga dengan talak bain bainunah kubro. Yaitu
perceraian yang berlangsung selamanya dan tidak ada jalan untuk rujuk. [5]
Oleh sebab itu, suami hendaknya berhati-hati dalam menjatuhkan kata talak.
Karena, tidak jarang terjadi kata talak dan semacamnya dijadikan senjata suami
untuk mengancam istri atau sebagai kata mainan suami saat bertengkar dengan
istri. Padahal kata talak tidak bisa dijadikan main-main. Kata talak, cerai dan pisah
adalah tiga kata talak sharih (eksplisit) yang apabila diucapkan oleh suami pada
istrinya maka jatuhlah talak walaupun tanpa ada niat sedikitpun dari suami untuk
menceraikan istrinya.[6]
Ucapan Talak Main-main Tetap Jatuh Talak
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud: Ada tiga perkara
yang serius dan main-main sama-sama dianggap serius. Yaitu, nikah, talak dan
rujuk.[7] Berkaitan dengan hadits ini, Al-Mubarakpuri dalam Tuhfadzul Ahfadzi
menyatakan:

(Rajah atau rujuk adalah kembalinya suami yang mentalak kepada istrinya. Yakni,
apabila suami mentalak, atau menikah atau rujuk lalu ia berkata Saya hanya main-
main, maka ucapan itu tidak dianggap. Al Qadhi mengatakan: Ulama sepakat bahwa
talaknya orang yang main-main itu terjadi. Apabila keluar kata talak dari lidah orang
yang berakal sehat, dan akil baligh maka tidak ada gunanya pengakuannya bahwa dia
hanya main-main. Karena kalau demikian, maka akan terjadi kesia-siaan hukum dan
pembatalan hukum Allah. Barangsiapa yang mengucapkan perkataan yang disebut
dalam hadits maka berlaku hukum yang tetap.)[8]
Ucapan Talak Orang Bodoh
Seperti disebut di muka bahwa talak yang diucapkan pada istri secara main-main pun
terjadi talak. Begitu juga ucapan orang yang bodoh yang tidak tahu bahwa
mengucapkan kata talak itu dapat terjadi talak walaupun tanpa niat. Dengan kata lain,
kebodohan atau ketidaktahuan seorang suami tidak dapat dijadikan alasan atas
kesalahannya dalam mengucapkan talak. Imam Syafii menyatakan bahwa kebodohan
tidak dapat menjadi alasan yang dimaafkan:
, ,

; ,


(Kalau orang bodoh dimaafkan maka niscaya kebodohan itu lebih baik dari
kepintaran kebodohan atas hukum tidak dapat dipakai sebagai alasan setelah
adanya risalah kenabian berdasarkan QS An-Nisa 4:165 supaya tidak ada alasan bagi
manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.)[9]
Sebagian ulama menyatakan bahwa kebodohan atau ketidaktahuan itu dimaafkan
dalam beberapa kasus khusus sebagai berikut:
Pertama, ketidaktahuan pada hukum-hukum talak dan sighat (kata) talak bagi muslim
yang tinggal di negara yang jauh dari negara Islam dan sulit bagi penduduknya untuk
berhubungan dengan ulama atau tidak tergerak untuk melakukan itu. Karena ulama
fiqih berpendapat bagi orang yang tinggal di negara nonmuslim (darul harb) dan tidak
tahu bahwa ia berkewajiban shalat, zakat, dan lainnya dan dia tidak melaksakan
kewajibannya itu maka ia tidak wajib dalil mengqadhanya karena samarnya petunjuk
baginya dan tidak sampainya perintah syariah padanya secara faktual. Maka,
ketidaktahuan pada ajaran syariah itu menjadi alasan yang dimaafkan (udzur).
Berbeda halnya orang yang masuk Islam di negara muslim karena tersebarnya
informasi hukum syariah dan kemungkin untuk dapat bertanya. As-Suyuthi dalam
Ashbah wan Nadzair menyatakan: Setiap orang yang tidak tahu atas keharaman
sesuatu yang diketahui oleh kebanyakan orang maka pengakuan tidaktahunya itu
tidak diterima kecuali kalau dia baru masuk Islam atau dia hidup di pedalaman yang
jauh dari informasi seperti haramnya zina, membunuh, mencuri, minum alkohol,
berbicara dalam shalat, makan saat puasa.[10]
Kedua, talak orang yang tidak tahu arti dari talak itu sendiri. Mayoritas ulama fiqih
berpendapat tidak terjadi talak bagi orang yang tidak tahu arti kata yang menunjukkan
pada talak. Seperti, apabila orang non-Arab berkata pada istrinya Anti Taliq (Kamu
tertalak) tapi tidak mengerti artinya, maka tidak terjadi talak.
Az-Zarkasyi menyatakan: Apabila orang non-Arab mengucapkan kata kufur, atau
iman, atau talak, atau itaq, atau jual beli, dan lain-lain tapi tidak mengerti artinya,
maka kata-katanya tidak dianggap. Begitu juga orang Arab yang berbicara dengan
bahasa non-Arab yang tidak dia mengerti maknanya maka isi perkataan tidak
dianggap.[11]
Termasuk juga ketidaktahuan dalam menghitung seperti suami menyatakan mentalak
istrinya dengan talak satu padahal sebenarnya talak dua, dia tidak tahu berhitung,
tetapi dia bermaksud pada artinya, maka ulama berbeda pendapat. Menurut satu
pendapat: terjadi talak satu, sedang pendapat lain terjadi talak dua.
Ketiga, apabila orang Arab berbicara dengan kalimat bahasa Arab akan tetapi tidak
mengerti maknanya secara syariah, seperti dia berkata pada istrinya:
(Kamu tertalak sunnah) atau (Kamu tertalak bidah) sedangkan dia
tidak tahu pengertian lafadznya, atau suami berkata dengan kata khuluk atau nikah,
maka menurut Izzuddin bin Abdussalam: Kata-katanya tidak dianggap karena suami
tidak punya pemahaman atas maksudnya kecuali apabila dia bermaksud dengan kata
yang diucapkannya.[12]
Dalam koteks inilah maka Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijmak menyatakan: Ulama
berbeda pendapat dalam soal talaknya orang bodoh. Pendapat pertama: talak terjadi.
Pendapat kedua, talak tidak terjadi. Pendapat ketiga, talak terjadi secara hukum
kecuali ada bukti atas tidak adanya maksud suami untuk bercerai maka dihukumi
tidak terjadi talak.[13]
Talak Suami yang Sedang Marah
Ucapan cerai umumnya diucapkan pada saat ketika suami sedang marah. Hampir
Kecil kemungkinan suami mengucapkan kata talak secara serius kecuali saat emosi
karena sedang terlibat pertengkaran dengan istrinya. Oleh karena itu, kebanyakan
ulama fiqih madzhab Syafii sepakat bahwa talak yang diucapkan ketika sedang
marah itu sah dan jatuh talak. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk menyatakan: Talak
terjadi di saat rela (normal) atau marah, serius atau main-main berdasarkan hadits
bahwa bersabda: Ada tiga hal yang waktu serius dan bercanda sama-sama dianggap
serius yaitu nikah, talak dan rujuk.[14]
Al-Bakri dalam Ianah at-Talibin mengutip Imam Ramli menyatakan hal yang sama
dengan pengecualian orang yang marahnya mencapai puncak sampai hilang akal
seperti orang gila maka dalam kasus terakhir talaknya tidak sah:

: : .
: . .
(Ulama madzhab Syafii sepakat jatuhnya talak orang yang marah. Syamsuddin Ar-
Ramli pernah ditanya tentang sumpah talak saat marah yang sangat yang keluar dari
kesadaran apakah talak terjadi atau tidak? Dan apakah dibenarkan pengakuan orang
yang bersumpah saat sedang sangat marah dan tidak sadar? Ar-Ramli menjawab:
Kemarahannya tidak dianggap. Tapi kalau sampai hilang akal maka dimaafkan.)[15]
Ulama fiqih dari madzhab Hanbali juga berpendapat bahwa talak dalam keadaan
marah itu sah dan jatuh talak selagi masih belum hilang akal seperti keterangan Ar-
Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha[16] Sedangkan pendapat kalangan ulama
madzhab Maliki menyatakan sahnya talak orang marah walaupun kemarahannya
mencapai tahap hilang akal seperti orang gila.[17]
Adapun perspektif yang sama sekali berbeda dalam soal ini adalah pandangan ulama
madzhab Hanafi. Mereka menegaskan bahwa talak orang marah hukumnya tidak sah,
sia-sia dan tidak dianggap secara syari. [18] Pendapat jumhur ulama madzhab Hanafi
ini didukung oleh sebagian kecil dari madzhab Hanbali seperti Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah di mana ia membagi marah menjadi tiga tingkatan yaitu marah biasa, marah
sedang dan marah yang sangat. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa talaknya orang
yang marah biasa hukumnya sah. Sedangkan marah yang level sedang maka terdapat
perbedaan ulama tentang sah dan tidaknya. Adapun talaknya orang yang sangat
marah sampai hilang kesadarannya, maka ulama sepakat atas ketidaksahan
talaknya.[19]
Talak Keliru karena Keseleo Lidah
Talaknya orang yang salah ucap. Suami yang berkata pada istrinya: Beri aku minum.
Lalu mulutnya tak terasa mengatakan Kamu ditalak, maka talaknya tidak sah
menurut madzhab Syafii dan Hanbali karena tidak adanya maksud. Dan ucapan
tanpa maksud tidak dianggap.
Madzhab Hanafi berpendapat: talaknya sah walaupun dia tidak memilih pada
hukumnya karena bicaranya merupakan kehendak sendiri.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa apabila memang betul-betul keseleo lidah saat
hendak mengucapkan yang selain talak, maka talaknya tidak terjadi.[20]
Talak Rujuk, Bain Sughro dan Bain Kubro
Talak dari segi terjadinya perpisahan suami dan istri terbagi menjadi tiga macam
yaitu talak raji, talak bain bainunah sughro atau biasa disingkat dengan talak baik
sughro dan talak bain bainunah kubro yang biasa disebut dengan talak bain atau talak
tiga. Ketiga macam talak ini terjadi dalam situasi tertentu dan memiliki implikasi
hukum yang berbeda sebagai berikut:
Pertama, talak raji atau talak rujuk. Adalah talak satu atau talak dua yang dijatuhkan
suami pada istri. Disebut talak raji karena suami dapat kembali (rujuk) kapan saja ia
mau selama masa iddah belum habis tanpa perlu akad nikah baru. Namun, apabila
keinginan untuk rujuk itu ketika masa iddah sudah habis, maka harus dilakukan akad
nikah baru dengan maskawin yang baru pula. Perlu diketahui bahwa selama masa
iddah suami tidak boleh melakukan hubungan intim, bercumbu, khalwat (berduaan),
melakukan perjalanan berdua, dan lain-lain karena istrinya berstatus dicerai. Kecuali
setelah suami menyatakan rujuk. Ini pendangan madzhab Syafii. Adapun madzhab
Hanafi dan Hanbali memiliki pandangan yang berbeda.[21]
Kedua, talak bain bainunah sughro. Yaitu talak yang menghilangkan hak suami
untuk kembali (rujuk) kecuali dengan akad nikah dan mahar baru. Talak tipe ini
terjadi dalam beberapa situasi yaitu: a) istri yang dicerai tanpa terjadinya hubungan
intim[22]; b) talak raji yang habis masa iddahnya; c) khuluk atau gugat cerai istri
dengan membayar sejumlah harta pada suami; d) gugat cerai istri yang diberikan oleh
pengadilan.
Adapun implikasi hukum dari talak bain sughro adalah: a) Hilangnya kepemilikan
dan kehalalan suami pada istri; b) berkurangnya quota talak yang dimiliki suami; c)
hilangnya hak saling mewarisi antara suami-istri.[23]
Ketiga, talak bain bainunah kubro atau talak tiga. Yaitu, talak ketiga yang dilakukan
suami. Apabila suami menjatuhkan talak satu lalu rujuk, kemudian talak kedua lalu
rujuk lagi, maka ketiga suami menjatuhkan talak yang ketiga itu disebut dengan talak
bain kubro atau talak tiga atau talak terakhir. Dengan talak tiga ini, maka suami tidak
lagi boleh untuk rujuk pada istri kecuali si istri menikah dengan suami kedua dengan
nikah yang syari.[24]
Kesimpulan
Perkawinan yang ideal adalah pernikahan yang bertujuan untuk hidup berdua
selamanya membina mahligai rumah tangga yang islami dan dikaruniai anak-anak
yang berkualitas baik dari segi ketaatan pada syariah Islam maupun dalam segi level
pendidikan. Namun, tidak semua yang ideal itu dapat menjadi kenyataan. Apabila
kebahagiaan yang ingin dicapai ternyata kandas terombang-ambing ombak konflik
yang semakin memanas, maka Islam memberi solusi terakhir yaitu pereraian.
Perceraian hendaknya tidak dibuat mainan. Tapi juga tidak ditabukan. Ia boleh
dipakai pada saat yang tepat dan untuk tujuan yang tepat yaitu demi kemaslahatan
semua pihak yang terkait. []
FOOTNOTE
[1] Teks Arab dari QS An Nisa 4:19:


[2] Teks asal dari QS: Hadits riwayat Ibnu Majah,
Hakin, Nasai, Abu Dawud, Baihaqi. Menurut Ibnu Jauzi hadits ini dhaif, namun
menurut takhrij (evaluasi) dari Ibnu Hajar dalam At-Talkhis hadits ini sahih.
Daruqutni dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib 9/143 juga menyatakan sanad hadits ini
bisa dipercaya (tsiqat).
[3] Teks asal dari QS An Nisa 4:13:


[4] Teks asal dari QS Al Baqarah 2:23:


[5] Uraian lebih detail lihat Talak Rujuk, Bain Sughro dan Bain Kubro di bagian
lain dalam tulisan ini.
[6] Al Ghazi dalam Fathul Qarib menyatakan:

[7] Teks asal:

. Selain oleh Abu Dawud,


hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim. Dalam Al-
Mustadrak 2/216 menyatakan hadits ini sanadnya sahih.
[8] Al-Mubarakpuri dalam Tuhfadzul Ahfadzi bi Syarh Jamik at Tirmidzi, hlm. 3/268.
[9] Az-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fil Qawaid al-Fiqhiyah hlm. 2/16
[10] As-Suyuthi dalam Al-Ashbah wan Nadzair, hlm. 200.
[11] Az-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fil Qawaid al-Fiqhiyah 2/13.
[12] Izzuddin bin Abadussalam, dalam Qawaidul Ahkam, hlm 2/21
[13] Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak, hlm. 172. Teks asal:

. : . : . : :

[14] Lihat Abu Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab hlm. 17/68.
Teks asal:

. .
[15] Al-Bakri dalam Ianah at Thalibin, hlm. 4/9. Lihat juga, As-Syarbini dalam
Mughnil Muhtaj 3/279-287; Al-Bujairami dalam Hasyiyah Bujairami alal Khatib
3/416; As-Syairazi dalam Al-Muhadzab 2/77; Al-Kuhji dalam Zadul Muhtaj bi
Syarhil Minhaj 3/358.
[16] Ar-Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayatil Muntaha, hlm.
6/16. Teks asal:
:

[17] Lihat Ad-Dasuqi dalam Hasyiyah ad Dasuqi alas Syarhil Kabir, hlm. 8/65. Teks
asal:

[18] Lihat Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 2/427; Wahbah Zuhaili dalam
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu 7/365.
[19] Pembagian marah menjadi tiga dibuat oleh Ibn.ul Qayyim dalam kitab Ighatsatul
Lahfan fi Hukmi Talaqil Ghadban, hlm. 39; dan Zadul Maad, hlm. 2/427. Lihat juga
perbandingan hukum antar madzhab oleh Al-Jaziri dalam Al-Madzahib al-Arbaah,
hlm. 3/294.
[20] Lihat Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 20/167.
[21] Abu Zakariya Al-Anshari, dalam Asnal Mathalib fi Syarhi Raud at Thalib
17/101. Ini pendapat jumhur dalam madzhab Syafii. Adapun pendapat madzhab
Hanafi dan Hanbali sangat berbeda. Menurut mereka boleh hukumnya suami
melakukan hubungan apapun dengan istri yang ditalak raji selama masa iddah
termasuk hubungan intim dengan niat rujuk. Dan makruh tanzih apabila tidak niat
rujuk. Dan bahwa mencium atau menyentuh istri yang ditalak raji itu pertanda rujuk
walaupun tanpa niat menurut madzhab Hanafi. Lihat Al-Mausuah Al-Fiqhiyah
30/310..
[22] QS Al-Ahzab 33:49

Artinya: Hai orang-orang yang


beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah
mereka mutah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
[23] Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, hlm. 9/415.
[24] Ibid.
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2014/01/cerai-dalam-
islam/#sthash.eEQjk3wF.dpuf












Ancaman Keras atas Wanita yang
Minta Cerai Tanpa Alasan yang Benar
Oleh: Abu Misykah
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
teruntuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasarnya, seorang wanita (istri) haram meminta (menuntut) cerai terhadap
suaminya kecuali adanya sebab yang dibenarkan; seperti perlakuan suami yang buruk
terhadap dirinya -tidak mencukupkan nafkahnya, suka memukul dan menganiaya, dan
semisalnya- atau tidak ada rasa suka dalam dirinya terhadap suaminya sehingga
membuatkan takut akan menelantarkan hak-hak suami.
Meminta cerai tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat termasuk dosa besar yang
wajib dijauhi dan ditinggalkan istri muslimah.
Diriwayatkan dari Tsauban Radhiyallahu 'Anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda,


Siapa saja wanita yang meminta (menuntut) cerai kepada suaminya tanpa alasan
yang dibenarkan maka diharamkan bau surga atas wanita tersebut. (HR. Abu
Dawud, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Abi Dawud)
Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Penulis Tuhfah
al-Ahwadzi, menjelaskan tentang makna diharamkannya bau surga baginya: dia
dilarang menciumnya. Ini sebagai bentuk ancaman serius. Atau itu terjadi berkaitan
pada satu waktu dan tidak pada selainnya. Maksudnya: ia tidak mendapati bau surga
di saat orang-orang suka berbuat baik (muhsinun) pertama kali menciumnya. Atau ia
tidak mendapati bau surga sama sekali sebagai ancaman yang serius.
Sebagian ulama lain menjelaskan maknanya: diharamkan baginya mencium bau surga
walaupun ia memasuki surga tersebut.
Alasan yang Membolehkan Wanita Minta Cerai
Ancaman diatas akan menimpa wanita yang menggugat cerai suami jika tanpa
disertai alasan yang dibenarkan. Yaitu alasan yang benar-benar mengharuskannya
bercerai. Contohnya: perlakuan suami yang buruk -tidak mencukupkan nafkahnya,
suka memukul dan menganiaya, dan semisalnya-, suami tidak mau menjalaskan
perintah agama & beraklak buruk, ia membencinya (tidak ada rasa suka/cinta kepada
suaminya) sehingga ia tidak bisa hidup bersamanya, terjadi penyimpangan seksual,
tidak bisa memenuhi kebutuhan batin, dan semisalnya.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma menyampaikan; Istari Tsabit bin Qais
datang kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan berkata:


Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais, tidaklah aku mencelanya atas agama dan
akhlaknya, akan tetapi aku khawatir kekufuran dalam Islam. Maka Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: Apakah kamu mau mengembalikan kebun
miliknya itu? Ia menjawab, Ya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda: Terimalah (wahai Tsabit) kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu.
(HR. Al-Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Baari, bahwa Istari Tsabit tidak menginginkan
pisah dari suaminya karena akhlak suaminya yang buruk dan tidak pula karena
agamanya yang kurang. Tapi karena suaminya berparas jelek dan tidak
menyenangkan hatinya sehingga ia merasa jijik dan tidak ada rasa suka kepadanya.
Kemudian dia mengadu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam karena takut
akan terjerumus ke dalam kekufuran karena rasa tidak suka yang ada dalam dirinya
sehingga melakukan sesuatu yang bisa menciderai pernikahannya. Ia tahu bahwa hal
itu haram sehingga takut kebenciannya mendorongnya ke dalam keharaman tersebut.
(Diringkas dari Fathul Baari: 9/399)
Hadits tersebut menerangkan bahwa rasa benci seorang wanita kepada suaminya
karena tidak adanya rasa cinta & takutnya ia akan menelantarkan hak-hak suaminya
menjadi satu udzur untuk meminta pisah dari suaminya, tapi bagi wanita tersebut
mengajukan khulu dengan mengembalikan mahar yang telah diberikan suaminya
dahulu. Namun jika ia masih bisa bersabar dan berharap ridha Allah dengan tetap
menjaga keluarganya tentu ini lebih utama.
Syaikh Ibmu Jibrin menjelaskan beberapa perkara yang membolehkan seorang wanita
mengajukan Khulu:
Pertama, Apabila seorang wanita membenci karakter akhlak suaminya seperti kasar,
temperamen, mudah tersinggung, sering marah-marah, terlalu saklek, kurang bisa
menerima kekurangan maka ia boleh mengajukan khulu.
Kedua, apabila tidak suka dengan tampangnya seperti memiliki cacat, buruk rupa,
kurang pada panca inderanya, maka ia dibolehkan meminta khulu.
Ketiga, apabila ada cacat dalam agamanya seperti suka meninggalkan shalat,
meremehkan shalat Jamaah, tidak puasa Ramadhan tanpa udzur syari, atau
melakukan perbuatan haram seperti zina, mabuk-mabukan, suka nongkrong, maka
dibolehkan baginya menuntut khulu.
Keempat, jika suami tidak memberikan haknya seperti nafkah, pakaian, dan
kebutuhan pokoknya padahal ia mampu memberikannya; maka istri tersebut boleh
mengajukan khulu.
Kelima, apabila suami tidak bisa menunaikan kewajiban nafkah batin karena
memiliki penyakit seksual atau tidak adil dalam pembagian jatah giliran. Maka ia
boleh mengajukan Khulu.
Ringkasnya, bahwa istri berkewajiban mentaati suaminya dan memberikan pelayakan
yang baik kepadanya. Tidak boleh meminta pisah darinya tanpa ada alasan yang
dibenarkan syariat dan tanpa ada bahaya yang bisa mengancamnya. Jika karena sang
istri punya Pria Idaman Lain (PIL) lalu ia menggugat cerai suaminya maka ia telah
melakukan dosa besar dan diancam dengan kehinaan di akhirat; tidak akan mencium
bau surga. Wallahu Taala Alam. [PurWDvoa-islam.com]
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2013/09/11/26754/ancaman-
keras-atas-wanita-yang-minta-cerai-tanpa-alasan-benar/#sthash.9EnXdKSM.dpuf

Anda mungkin juga menyukai