Anda di halaman 1dari 25
ISSN 1858 — 4543 JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN (JIPP) Diterbitkan oleh PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA ISSN 1858-4543 Penanggung Jawab Nyoman Dantes Dewan Redaksi I Made Gosong (Ketua) Gde Anggan Suhandana (anggota) ‘Nengah Bawa Atmadja (anggota) T Wayan Koyan (anggota) Nyoman Natajaya (anggota) Wayan Lasmawan (anggota) Penyunting Bahasa Indonesia 1 Nengah Martha I Nyoman Seloka Sudiara Penyunting Bahasa Inggris Luh Putu Artini A.A. Istri Ngurah Marhaeni Tata Letak I Nyoman Laba Jayanta Sirkulasi Luh Putu Santiari Luh Rini Natarini Nyoman Budiasa Distribusi Gede Masyawan Gede Mangku Tirta JIPP terbit dua kali setahun (Juni dan Desember) ‘Alamat Redaksi : Program Pascasarjana Undiksha Jalan Udayana Kampus Tengah, Singaraja Persyaratan dan pedoman penulisan naskah tercantum di halaman dalam-belakang + JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN Diterbitkan Oleh PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA Astuti , Ni Luh Putu Puji Bukatiasa , | Wayan Gelgel , I Made Jazadi, Iwan ISSN 1858 — 4543 Vol. 5 No. 2, Juni 2009 DAFTAR ISI Analisis Tes Bahasa Indonesi Segi Pendekatan Komunikatif dan Integratif pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar No I Penebel Efektivitas Implementasi Sekolah Standar Nasional (SSN) di SMP Negeri 1 Tabanan Bali Pengaruh Pembelajaran Inovatif terhadap Hasil Belajar Bahasa Inggris Siswa Kelas 7 SMP Tunas Daud dengan Pengendalian Kecerdasan Linguistik ‘Studi Evaluatif Tentang Efektivitas Pengelolaan Perpustakaan Sekolah pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Denpasar Tahun 2007/2008 Profesionalisme Guru dalam Sinergi Kebijakan Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum, ‘Halaman 41 1152 1165 1176 1187 Kivori, Julian Robert Foundational Factors in The Design For Basic Indonesian Language Syllabus for Indonesian Language Leamers in Papua New Guinea Upper Secondary Schools Mandi, Made Kompatibilitas SMK Seni Ukir Tangeb Kabupaten Badung dengan Kebutuhan Pasar Mardana, | Wayan Retorika Ragam Tutur Dalang Nardayana, Pertunjukan Wayang Kulit Cenk Blonk (Kajian pada Lakon Kumbakama Lina) Nilan , Pam Indonesia: New Directions in Educational Research Rahayu, Ni Luh Utami Alih Kode dalam Perkuliahan Bahasa Inggris i Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali ii 1209 1224 1240 1257 1280 PROFESIONALISME GURU DALAM SINERGI KEBLJAKAN SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI KURIKULUM oleh Iwan Jazadi? ABSTRAK Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang berlaku di Indonesia dewasa ini tidak dapat menghapus praktik-praktik pembuatan keputusan tentang kurikulum secara sentralistik karena justru pemberlakuannya didukung oleh kebijakan dan dokumen teknis dari pemerintah pusat. Pada kenyataannya, banyak guru yang mengeluh bahwa KTSP adalah singkatan dari “kurikulum tidak siap pakai”, karena mereka harus menyiapkan sendiri kurikulum sebelum diterapkan dalam proses belajar mengajar. Tulisan ini membahas bagaimana guru dan sekolah sebagai suatu komunitas profesional dapat mengembangkan diri, khususnya dalam pembuatan keputusan yang tepat tentang kurikulum melalui sinergi kebijakan sentralistik dan desentralistik. Kata Kunci: profesionalisme guru, kurikulum — sentralistik, _kurikulum desentralistik. SYNERGIZING CENTRAL AND DESENTRALIZED CURRICULUM POLICEES FORWARDS TEACHERS PROFESSIONALISM ABSTRACT School-based curriculum (KTSP) now in use in Indonesia cannot disregard centralized decision making on curriculum because it is endorsed by policies and technical documents from the central government. In fact, many teachers lament that XTSP is an abbreviation of “not ready to use curriculum”, because they have to prepare the curriculum themselves prior to its application in the teaching and leaming process. This article discusses how teachers and schools as professional community can develop themselves, especially in making appropriate decisions on curriculum by synergizing centralized and decentralized policies. Key Words: teachers professionalism, centralized curriculum, desentralized curriculum ? STKIP Hamzanwadi Selong JIPP, Juni 2009 1187 1. PENDAHULUAN Kebijakan kurikulum di negeri kita terus berganti. Kurikulum tahun 1945, 1956, 1967, 1975, 1984, 1994, yang kesemuanya bercorak sentralistik. Kemudian, Kurikulum 2004 yang juga disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan terakhir—kurikulum diperkenalkan pada tahun 2006, yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang lahir di era otonomi daerah, tetap dibuat secara sentralistik, famun dengan mengakomodasi pesan _perbedaan kondisi daerah dan kebutuhan tokal, bahkan dalam banyak hal dapat dimaknai pelimpahan —kewenangan kepada daerah, sekolah dan masyarakat. Perubahan kurikulum yang terus menerus ini umumnya —dipersepsi masyarakat secara agak negatif, seperti dalam pemyatean “ganti Menteri, ganti kurilulum, ganti buku pelajaran, dan lainlain.” Di sisi lain, perubahan pola Pembuatan ‘keputusan kurikulun dari sentralisasi menjadi desentralisasi sejak awal milineum ini belum dirasakan membawa perbaikan mutu pendidikan, Bahkan, sebagian besar guru belum merasakan adanya perbedsan dalam mengajar ketika dulu berada dalam sentralisasi Orde Baru dan era otonomi SUPP, Juni 2009 saat Korikulum baru terus disosialisasikan, tetapi tidak dirasakan ‘menyentuh sampai ke akar-akar masalah Pendidikan, sehingga guru, pasca sosialisasi dan pelatihan, kembali lagi ke dalam kelas dengan kebiasaan mengajar ‘yang telah dipraktikkan selama ini. Paparan di atas adalah ringkasan masalah yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini. Argument pokoknya adalah bahwa kebijakan sentralisasi dan desentralisasi pengembangan kurikulum harus dilakukan secara bersama untuk menyediakan dukungan «dan pengembangan maksimal bagi guru dan sekolah dalam keseluruhan sistem. Tidak satupun dari kedua kebijakan ini secara individual atau terpisah~— mampu menyediakan dukungan penuh terhadap pengembangan sekolah dan guru dalam sistem pendidikan umum. Berdasarkan kajian sistem pendidikan dari berbagai belahan dunia, mengemukakan alasan-alasan kebijakan sentralisasi kurikulum, beberapa contoh implementasinya yang berhasil, dan kemudian hubungan —_pengalaman tersebut dengan teori perubahan dalam pendidikan. Selain itu dibahas pula proses internal dari agenda desentralisasi kurikutum, dan bagaimana hal ini beuar- tulisan ini benar membutuhkan sistem dengan skala ‘yang lebih besar, yaitu dukungan pusat. Penuli akan mengawali kajian tersebut dengan —_pertantanyaan, “Mengapa urikulum disentratisasikan 2”, Perencanaan kurikulum dapat mengacu pada pembuatan keputusan tentang kurikulum dan persiapan paket pengajaran yang dipakai di ruang kelas. Paket bisa mungkin berisi beberapa atau semua dari __komponen-komponen. berikut ini: garis-garis besar atau kerangka kerja kurikulum, silabus, buku teks, skema penilaian, dan panduan feknis Iainnya, Hal-hal tersebut bisa disiapkan secara nasional, atau di tingkat pemerintuhan negara bagian atau provinsi, ‘tau Kabupaten, Bagaimanapun, semakin sebuah kebijakan dibuat oleh tatatan yang lebih lokal, semakin besar peluang sumber- sumber belajar dihasilkan mencakup kondisi dan permasalahan belajar yang sesungguhnya. Pengakuan ini mendasari pembahasan berikut, 2. PEMBAHASAN Ada banyak alasan mengapa sebuah negara mengadopsi kurikulum yang tersentralisasi, dan tidak ‘memindahkan kewenangan ke sistem pendidikan yang lebih rendah. Alasan tersebut bisa ditemukan dengan mudah HPP, Juni 2009 dari pengalaman panjang dalam Pengembangan = kurikulum yang disentfllisasi, seperti Australia dan Inggris. Di kedua negara tersebut, sekitar dua dekade sampai dengan akhir 80-an, pemerintah daerah mempunyai aturan yong luas dalam kebijakan kurikulurn, dan sekolah dan guru diberikan kebebasan dalam == mengembangkan keurikulum mereka, Namun, sejak akhir 1980-an pemerintah di kedua negara tersebut mulai memperkenalkan proses kurikulum yang lebih tersentralisasi. Ads beberapa alasan mengapa hal ini dilakukan, Pertama, kedua negara tersebut melihat kebutuban politik dalam rangks ‘meningkatkan stander prestasi untuk membawa negaranya setara dengan negara lain. Keinginan ini dibuktikan dengan pidato dari menteri dan perdana menteri di negara-negara _tersebut. Seperti contoh, Kenneth Baker, Menteri Luar Negeri Inggris, mengatakan: ‘Sckarang kita harus bergerak cepat ke sekolah kita tidak cukup memadai untuk menjadi pedoman dan sesuai dengan Kebutuban kita, kita harus bergerak ke arah yang lebih dekat ke pengaturan yang dilakukan dengan berhasil oleh negara-negara Eropa yang lain (DES 1987f, dikutip dalam Ross, 2000: 62). 1189 Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris waktu itu, juga mengatakan bahwa: Saya percaya bahwa pemerintah harus mengambil tanggung Jawab untuk mengatur —standarisasi_— dalam pendidikan bagi anak-anak kita. Oleh kkaronanye, Kita sedang menyiapkan Jeurikulum nasional untuk pelajaran- pelajaran dasar. Sangat penting bagi amak-anak kita untuk menguasai Keterampilan-keterampilan daar seperti: membaca, menulis, mengeja, fafa bahasa, aritmatika, “dan juga mereka mengerti dasar —ilrau pengetahuan dan tcknologi (1987, dlikutip dalam Ross, 2000: 66). Dengan gaya yang sama, John Dawkins, Menteri Pendidikan Australia, menilai: Kita membutubkan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat. Kurikulum yang penuh sikap dan nilai-nilai ee inisiatif dan tanggung jawaby _unggul, kerjasama tim, dan daya saing. Apa yang dibutubkan adalah ‘mengembangkan kerangka kerja yang sedethana yang mencakup wilayah me Juas tentang ilmu pengetahuan yang sesuai dari dan penggabungan kketerampilan dan pengalaman bagi siswa — “menuntut ilmu di sekolah,- i fetutuban kurta yang berbeda atau spesifik dari bagian-bagian yang berbeda di Australia (Dawkins, 1988, dikutip di Marsh, 1994:13) Dalam praktiknya, alasannya adalah berhubungan dengan masalah ekonomi, yaitu_membangun kekuatan ekonomi IPP, Juni 2009 negara dari keunggulan sumber daya ‘manusia (Marsh, 1994: 44). Alasan kedua —_berhubungan dengan konsistensi dari ketentuan yang berlaku di seluruh negeri. Dalam dokumen konsultasi kurikulum nasional di Inggris (DES 1987), disebutkan bahwa, “kurikulum —nasional akan membantu mobilitas kerja orang tua, karena mereka dapat pindah ke daerah lain tanpa takut anak mereka tidak bisa ‘melanjutkan —pendidikan mereka” (dikutip di Ross, 2000:65). Di Australia, Justifikasi yang sama berlaku di seluruh negeri dan melewati batas-batas negara bagian. Jones (1992, dalam Marsh, 1994: 44) mencontohkan satu kasus siswa yang berada di kelas 8 di Sydney, di ‘tempatkan pada kelas 7 di Queensland dan di tahun yang sama pindh ke ‘Canberra di mana dia diterima di kelas 6. Dengan adanya kurikulum —secara nasional, . masalah-masalah seperti ini akan dapat diatasi. ‘Ada juga alasan tain dalam Pengembangan kurikulum sentralistik. Salah satu pandangan adalah bahwa Pendidikan, termasuk di dalamnya Ketenfuan Karikulum dati bahan ajar, ‘merupakan tanggung jawab pemerintah Pusat. Sebagai contoh, kasus ini terjadi New Zealand, Singapura, Brunei 1190 Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Di negara-negara _tersebut, sistem. pendidikan mempunyai fungsi ganda: untuk menyatukan rakyat dan untuk meniyiapkan —tériaga kerja yang kompetitif. Lebih penting lagi, tujuan tersebut telah disadari dan dirasakan oleh mayoritas rakyatnya. Faktor dari luar pendidikan adalah ketersediaan dunia kerja yang memadai dan pertumbuhan Jjumlah penduduk yang relatif terkontrol, telah memungkinkan berjalannya sistem sentralistik ini, termasuk di dalamnya sistem pendidikan (Azis & Maemunah, 1995; Barritigton, 1995; Boonchuay & Siaroon, 1995; Yeoh, 1995). Alasan Jain _sentralisasi kkurikculum adalah untuk mengontrol tingkah laku warga negara, Alasan ini bisa menjadi dasar dari pengembangan kurikulum di tingkat negara bagian dan Kabupaten, sehingga perlu disentralisasikan secara__nasional Penerapan alasan ini. umumnya berlangsung dengan nyata di negara dengan karakter beragam atau penduduk yang besar, Di negara seperti ini, biasanya, pembuat ——_—kebijakan mengklaim, bahwa “pendidikan untuk pemberdaysan dan pekerjaan untuk seluruh rakyat” (lihat contoh, Freire, JIPP, Juni 2009 1972; Illich, 1973). Young (1983: 161) smengamati: Mereka yang memutuskan tentang isi Jeurikulum resmi kelihatennya tidak ‘ngin mendelegasikan kekuasaannya secarasignifikan. Alasan dari Keengganan ini bisa jadi terkait dua hal. Alasan pertama dan lebih nyata adalah ebutuhan yang _menonjol untuk melakukan Kontrol terhadap kecenderungan keragaman kurikulum

Anda mungkin juga menyukai