BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAMRATULANGI MANADO 2014
LEMBAR PENGESAHAN Telah dibacakan, dikoreksi, dan disetujui laporan kasus dengan judul
Seorang Anak Dengan Gagal Ginjal Kronik dan Tb Paru dalam Terapi Pada hari tanggal 2014
Mengetahui, Residen Pembimbing
dr. Valencia
Supervisor pembimbing,
dr. Hj.Nurhayati Masloman Sp.A (K)
Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Prof. Dr. dr. Adrian Umboh, Sp.A (K)
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. 1 GGK adalah penyakit ginjal di masa kanak-kanak yang paling berbahaya, dan dapat mematikan jika tidak diterapi. 2 Penyakit ini ditandai oleh kerusakan ireversibel fungsi ginjal yang secara bertahap dapat berkembang menjadi stadium akhir penyakit ginjal kronis,yaitu Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End-stage Renal Disease (ESRD). GGK telah muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat yang serius. Data dari United States Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa kejadian gagal ginjal meningkat di kalangan orang dewasa dan umumnya dikaitkan dengan hasil atau outcome yang buruk dan tingginya biaya perawatan. Dalam dasawarsa yang lalu, insiden dari GGK pada anak-anak semakin meningkat , terutama pada kaum miskin. Konsekuensi utama dari GGK tidak hanya mencakup progresi ke Gagal Ginjal Terminal (GGT), tetapi juga peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Pedoman praktek klinis bedasarkan bukti (evidence-based) menganjurkan deteksi dini dan terapi untuk penderita GGK ,terutama yang terkait dengan komplikasinya untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan pada akhirnya kualitas hidup pada anak-anak dengan kondisi kronis ini. 3
Definisi dan klasifikasi dari GGK penting untuk dapat mengidentifikasi individu yang terkena, sehingga dapat dimulai terapi dini yang efektif. Untuk mencapai tujuan ini, Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) sebagai kelompok kerja dari the National Kidney Foundation of the United States memberi definisi dari Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) sebagai "abnormalitas fungsi atau struktur ginjal (dilihat dari adanya abnormalitas pada urine, rontgen, atau pemeriksaan histology) yang persisten selama kurang lebih 3 bulan, dengan atau tanpa penurunan angka laju filtrasi glomerulus yaitu kurang dari 60mL/min1,73m 2 . 3
Kriteria GFR <60 mL/menit pada anak-anak dengan usia lebih muda dari 2 tahun tidak berlaku secara absolut, karena mereka biasanya memiliki nilai Laju Filtrasi Glomerular (LFG) atau Glomerular Filtration Rate(GFR) yang rendah, bahkan setelah dikoreksi sesuai luas permukaan tubuhnya. Pada pasien ini, GFR yang dihitung berdasar kreatinin serum dapat dibandingkan dengan nilai normal yang sesuai usianya untuk mendeteksi kerusakan ginjal 3 ,oleh karena itu sesuai dengan pedoman dari KDOQI CKD, ada satu kriteria diagnosis tambahan yaitu bukti adanya kerusakan struktural ginjal,sehingga pada anak dengan GFR yang normal namun memiliki bukti adanya kerusakan struktural atau fungsi ginjal maka sudah dapat didiagnosis sebagai GGK . 4
LAPORAN KASUS Identitas Pasien SK, seorang anak perempuan umur 13 Tahun 6 bulan, dengan alamat Kali Jaga 3, Pineleng, suku Minahasa , Bangsa Indonesia, agama Kristen Protestan. Identitas Orang Tua Nama ibu : Yulin Tombiling Umur : 42 Tahun Pekerjaan/pendidikan : Ibu Rumah Tangga/SMA Perkawinan : Pertama Alamat : Jln. Kali jaga 3 Pineleng
Nama ayah : Apelas Kaunang Umur : 45 Tahun Pekerjaan/pendidikan : Petani/SMA Perkawinan : Pertama Alamat : Jln. Kali Jaga 3 Pineleng
Masuk rumah sakit : 30 April 2014
ALLOANAMNESIS (Ibu Penderita)
Keluhan utama: Muntah dan pucat sejak 2 minggu SMRS. Keluhan tambahan: Batuk dan sesak napas.
Riwayat Penyakit Sekarang: Penderita datang dengan keluhan muntah 2 minggu SMRS. Frekuensi muntah 5x/hari, muntah berisi makanan bercampur lendir, volume muntah gelas aqua. Pucat juga dialami penderita. Pucat yang disadari keluarga sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk juga dialami. Batuk dialami sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk berlendir berwarna putih, batuk tidak disertai darah, batuk disertai sesak. Keringat malam juga dirasakan, keringat malam dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri dada juga dirasakan. Nyeri dada dirasakan sejak 1 minggu SMRS.Nyeri terasa seperti ditusuk tusuk, hilang timbul, serta nyeri > 5 menit, nyeri memberat terutama ketika beraktivitas. Pasien pernah dirawat di rumah sakit 3 bulan yang lalu dengan gangguan ginjal dan infeksi paru paru. Sejak saat itu penderita mulai meminum OAT/hari. Nafsu makan penderita menurun, berat badan penderita juga menurun. BAB biasa. BAK berkurang.
Riwayat Penyakit Keluarga: Hanya penderita yang sakit seperti ini dalam keluarga.
Riwayat Antenatal dan Kelahiran: Pemeriksaan kehamilan teratur di Puskesmas Tateli sebanyak 8 kali.Suntikan TT ada sebanyak 2 kali, selama kehamilan ibu dalam keadaan sehat.
Riwayat kepandaian/ kemajuan bayi: Pertama kali membalik : 6 bulan Pertama kali tengkurap : 6 bulan Pertama kali duduk : 7 bulan Pertama kali merangkak : 8 bulan Pertama kali berdiri : 12 bulan Peratama kali berjalan : 12 bulan Pertama kali tertawa : 3 bulan Pertama kali berceloteh : 8 bulan Pertama kali memanggil mama : 10 bulan Pertama kali memanggil papa : 10 bulan
Anamnesis makanan terperinci sejak bayi sampai sekarang: ASI : lahir 6 Bulan PASI : 6 bulan 1 Tahun Bubur : 1 Tahun- 3 Tahun Bubur saring : 2 Tahun 3 Tahun Bubur halus : 3 Tahun 4 Tahun Bubur lembek : 3 Tahun- 4 Tahun Nasi : 4 Tahun - sekarang
I munisasi BCG : 1 kali Polio : 5 kali DPT : 4 kali Campak : 2 kali Hepatitis : 3 kali
Iktisar Keluarga
Keadaan sosial, Ekonomi, Kebiasaan dan Lingkungan: Penderita dan keluarga tinggal di kali jaga 3 Pineleng. Ayah penderita berusia 45 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan sebagai Petani. Ibu berusia 42 tahun, pendidikan terakhir SMA, pekerjaan ibu sebagai ibu Rumah Tangga.Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Penderita tinggal dirumah semi permanen, beratap seng, dinding kayu, lantai semen dengan jumlah kamar 2 buah, dihuni oleh 5 orang, 4 orang dewasa dan 1 orang anak. Sumber air minum dari PDAM. Sumber penerangan listrik PLN. WC dan kamar mandi berada diluar rumah, penanganan sampah dibuang di Tempat Pembuangan Sampah.
PEMERIKSAAN FISIK Berat Badan : 27 kg Tinggi badan : 134 cm Keadaan umum : tampak sakit Gizi : kurang Kesadaran : kompos mentis Tanda Vital: Tensi : 130/90 mmHg Nadi : 160x/m Respirasi : 68x/m Suhu Badan : 37,9 0 C
Kulit Warna : Sawo matang Efloresensi : normal Pigmentasi : tidak ada Jaringan Parut : tidak ada Lapisan Lemak : kurang Turgor kulit : kembali cepat Tonus : normal Edema : tidak ada
Kepala Bentuk : mesosefal Ubun-ubun besar : datar Rambut : warna hitam, tidak mudah dicabut Mata : exopthalmus/Enopthalmus: tidak ada Tekanan bola mata : normal pada perabaan Konjungtiva : anemis ada Sklera : ikterik tidak ada Refleks kornea : ada Pupil : bulat isokor refleks cahaya +/+, diameter 3mm/3mm Lensa : Jernih Fundus dan Visus : tidak dievaluasi Gerakan : normal
Telinga: Sekret : tidak ada
Hidung Pernapasan cuping hidung : ada Sekret : tidak ada
Mulut Bibir : sianosis tidak ada Lidah : beslag tidak ada Gigi : karies tidak ada Selaput mulut : basah Gusi : perdarahan tidak ada, hipertrofi tidak ada Bau pernapasan : foetor tidak ada
Tenggorokan Tonsil : T1/T1, hiperemis tidak ada Faring : tidak hiperemis
Leher Trakea : letak ditengah Kelenjar : tidak ada pembesaran KGB Kaku kuduk : tidak ada
Thoraks Bentuk : normal Rachitis rosary : tidak ada Ruang interkostal : normal Precordial Bulging : tidak ada Xiphosternum : tidak ada Harrison Groove : tidak ada Pernafasan Paradoksal : tidak ada Retraksi : ada, subcosta, intercosta
Paru-paru Inspeksi : simetris kiri sama dengan kanan Palpasi : stem fremitus kiri sama dengan kanan Perkusi : sonor kiri sama dengan kanan Perkusi : sonor kiri sama dengan kanan Auskultasi : suara pernapasan bronkovesikuler kasar, rhonki ada, wheezing tidak ada Jantung Frekuensi : 160x/menit Iktus kordis : tidak tampak Batas kiri : linea mid klavikula sinistra Batas kanan : linea parasternal dekstra Batas atas : ICS II-III Bunyi Jantung : M1>M2, A1>A2, P1<P2 Bising jantung : tidak ada
Abdomen Inspeksi : datar Palpasi : lemas Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus normal
Genitalia : Perempuan normal
Kelenjar Pembesaran : tidak ada
Tulang-belulang Deformitas : tidak ada
Otot-otot Atrofi/hipertrofi : tidak ada
Ekstremitas Akral : hangat ,CRT < 2 edema - - + +
Refleks-refleks Refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak ada, klonus tidak ada.
RESUME Seorang anak perempuan, umur 13 tahun, berat badan 13 kg, tinggi badan 134 cm, masuk rumah sakit pada tanggal 30 april 2014 di Ruang Perawatan Intensif dengan keluhan keluhan muntah 2 minggu SMRS. Frekuensi muntah 5x/hari, muntah berisi makanan bercampur lendir, volume muntah gelas aqua. Pucat juga dialami penderita 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Batuk juga dialalmi penderita sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk berlendir berwarna putih, batuk tidak disertai darah, batuk disertai sesak. Keringat malam juga dirasakan, keringat malam dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri dada juga dirasakan. Nyeri dada dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Nyeri terasa seperti ditusuk tusuk, hilang timbul, serta nyeri > 5 menit, nyeri memberat terutama ketika beraktivitas. Pasien pernah dirawat di rumah sakit 3 bulan yang lalu dengan gangguan ginjal dan infeksi paru paru. Sejak saat itu penderita mulai meminum OAT/hari. Nafsu makan penderita menurun, berat badan penderita juga menurun. BAB biasa. BAK kurang. Pasien kemudian pindah ruangan di Irina E atas tanggal 10 mei 2014.
FOLLOW UP RPI 30/April/ 2014 Keluhan : Muntah (+) 5x sejak kemarin volume gelas aqua, batuk berlendir (+), sesak nafas (+), pucat (+), nyeri dada (+), keringat malam (+), demam, intake berkurang, BAK kurang. Keadaan Umum : Tampak sakit berat Kesadaran : Somnolen Tanda Vital : Tensi : 130/90 mmHg Nadi : 160x/m Respirasi : 68x/m Suhu Badan : 37,9 0 C
Penatalaksanaan: O2 1-2 l/m via nasal kanul IVFD NaCl 0,9 % (IWL + Urin = 697 cc/kg= 9-10 gtt/m (makro)) Inj Diazepam 8 mg IV (k/p) Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Vitamin B6 1x 2 tab Captopril 3x 18 mg (do : 0,3 mg/kgBB/kali) Allopurinol 1x 300 mg Paracetamol 1x 500mg Susu 2x100 cc nephrisol Diuresis /jam Follow up 18 mei 2014 Keluhan : Demam (-), Sesak (-), Intake (+) Keadaan Umum : Tampak sakit Kesadaran : Kompos mentis Tanda Vital : Tensi : 120/70 mmHg Nadi : 84x/m Respirasi : 24x/m Suhu Badan : 36,2 0 C SSP : Pupil bulat isokor 3mm- 3 mm, RC (+/+), RF (+/+), RP (-/-), Spastis (-), klonus (-). CV : Bising (-), akral hangat, CRT 2, sianosis (-) RT : Simetris, retraksi (-), Cor : bising (-) Pulmo : sp. Bronkovesikuler kasar, rhonki +/+, wheezing -/- GIT : Datar, lemas bising usus (+) normal. Hepar dan lien tidak teraba Hemato : Conj.an (-), sclera ikterus (-) Diagnosis : - Chronic Kidney Disease (LFG = 18,6) - TB paru dalam terapi ( 2 bulan ) Penatalaksanaan: O2 1-2 l/m via nasal kanul IVFD NaCl 0,9 % (IWL + Urin = 697 cc/kg= 9-10 gtt/m (makro)) Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Vitamin B6 1x 2 tab Captopril 3x 18 mg (do : 0,3 mg/kgBB/kali) Susu 2x100 cc nephrisol Digoxin 2x 0,140 mg BD/ 24 jam Diet Rendah Garam Follow up 18 mei 2014 Keluhan : Kejang (-), Demam (-), Sesak (-), Intake (+) Keadaan Umum : Tampak sakit Kesadaran : Kompos mentis Tanda Vital : Tensi : 120/80 mmHg Nadi : 72x/m Respirasi : 32x/m Suhu Badan : 36,5 0 C SSP : Pupil bulat isokor 3mm- 3 mm, RC (+/+), RF (+/+), RP (-/-), Spastis (-), klonus (-). CV : Bising (-), akral hangat, CRT 2, sianosis (-) RT : Simetris, retraksi (-), Cor : bising (-) Pulmo : sp. Bronkovesikuler kasar, rhonki +/+, wheezing -/- GIT : Datar, lemas bising usus (+) normal. Hepar dan lien tidak teraba Hemato : Conj.an (-), sclera ikterus (-) Diagnosis : - Chronic Kidney Disease (LFG = 18,6) - TB paru dalam terapi ( 2 bulan )) Penatalaksanaan: O2 1-2 l/m via nasal kanul IVFD NaCl 0,9 % (IWL + Urin = 697 cc/kg= 9-10 gtt/m (makro)) Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Vitamin B6 1x 2 tab Captopril 3x 18 mg (do : 0,3 mg/kgBB/kali) Susu 2x100 cc nephrisol Diuresis /jam Digoxin 2x 0,140 mg BD/ 24 jam Diet Rendah Garam Follow up 19 mei 2014 Keluhan : Kejang (-), Demam (-), Sesak (-), Intake (+) Keadaan Umum : Tampak sakit Kesadaran : Kompos mentis Tanda Vital : Tensi : 110/70 mmHg Nadi : 80x/m Respirasi : 32x/m Suhu Badan : 36,2 0 C SSP : Pupil bulat isokor 3mm- 3 mm, RC (+/+), RF (+/+), RP (-/-), Spastis (-), klonus (-). CV : Bising (-), akral hangat, CRT 2, sianosis (-) RT : Simetris, retraksi (-), Cor : bising (-) Pulmo : sp. Bronkovesikuler kasar, rhonki +/+, wheezing -/- GIT : Datar, lemas bising usus (+) normal. Hepar dan lien tidak teraba Hemato : Conj.an (-), sclera ikterus (-) Diagnosis : - Chronic Kidney Disease (LFG = 18,6) - TB paru dalam terapi ( 2 bulan )) Penatalaksanaan: IVFD NaCl 0,9 % (IWL + Urin = 697 cc/kg= 9-10 gtt/m (makro)) Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Susu 2x100 cc nephrisol BD/4 jam dan 24 jam Diet Rendah Garam Follow up 20 mei 2014 Keluhan : Kejang (-), Demam (-), Sesak (-), Intake (+) Keadaan Umum : Tampak sakit Kesadaran : Kompos mentis Tanda Vital : Tensi : 110/70 mmHg Nadi : 86x/m Respirasi : 28x/m Suhu Badan : 36,4 0 C SSP : Pupil bulat isokor 3mm- 3 mm, RC (+/+), RF (+/+), RP (-/-), Spastis (-), klonus (-). CV : Bising (-), akral hangat, CRT 2, sianosis (-) RT : Simetris, retraksi (-), Cor : bising (-) Pulmo : sp. Bronkovesikuler kasar, rhonki +/+, wheezing -/- GIT : Datar, lemas bising usus (+) normal. Hepar dan lien tidak teraba Hemato : Conj.an (-), sclera ikterus (-) Diagnosis : - Chronic Kidney Disease (LFG = 18,6) - TB paru dalam terapi ( 2 bulan ) Penatalaksanaan: IVFD NaCl 0,9 % (IWL + Urin = 697 cc/kg= 9-10 gtt/m (makro)) Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Vitamin B6 1x 2 tab Captopril 3x 18 mg (do : 0,3 mg/kgBB/kali) Susu 2x100 cc nephrisol Diuresis /jam Digoxin 2x 0,140 mg BD/ 24 jam Follow up 21 mei 2014 Keluhan : Kejang (-), Demam (-), Sesak (-), Intake (+) Keadaan Umum : Tampak sakit Kesadaran : Kompos mentis Tanda Vital : Tensi : 120/70 mmHg Nadi : 80x/m Respirasi : 28x/m Suhu Badan : 36,2 0 C SSP : Pupil bulat isokor 3mm- 3 mm, RC (+/+), RF (+/+), RP (-/-), Spastis (-), klonus (-). CV : Bising (-), akral hangat, CRT 2, sianosis (-) RT : Simetris, retraksi (-), Cor : bising (-) Pulmo : sp. Bronkovesikuler kasar, rhonki +/+, wheezing -/- GIT : Datar, lemas bising usus (+) normal. Hepar dan lien tidak teraba Hemato : Conj.an (-), sclera ikterus (-) Diagnosis : - Chronic Kidney Disease (LFG = 18,6) - TB paru dalam terapi ( 2 bulan ) Penatalaksanaan: IVFD NaCl 0,9 % (IWL + Urin = 697 cc/kg= 9-10 gtt/m (makro)) Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Vitamin B6 1x 2 tab Captopril 3x 18 mg (do : 0,3 mg/kgBB/kali) Allopurinol 1x 300 mg Susu 2x100 cc nephrisol BD 24 jam Follow up 22 mei 2014 Keluhan : Kejang (-), Demam (-), Sesak (-), Intake (+) Keadaan Umum : Tampak sakit Kesadaran : Kompos mentis Tanda Vital : Tensi : 120/80 mmHg Nadi : 80x/m Respirasi : 28x/m Suhu Badan : 36,9 0 C SSP : Pupil bulat isokor 3mm- 3 mm, RC (+/+), RF (+/+), RP (-/-), Spastis (-), klonus (-). CV : Bising (-), akral hangat, CRT 2, sianosis (-) RT : Simetris, retraksi (-), Cor : bising (-) Pulmo : sp. Bronkovesikuler kasar, rhonki +/+, wheezing -/- GIT : Datar, lemas bising usus (+) normal. Hepar dan lien tidak teraba Hemato : Conj.an (-), sclera ikterus (-) Diagnosis : - Chronic Kidney Disease (LFG = 18,6) - TB paru dalam terapi ( 2 bulan )
Penatalaksanaan: Rifampisin 1x 300 mg INH 1X 200 mg Furosemid 3x50 mg Vitamin B6 1x 2 tab Captopril 3x 18 mg (do : 0,3 mg/kgBB/kali) Diet Rendah Garam Pro : Rawat Jalan
PEMBAHASAN
CKD adalah suatu keadaan kerusakan ginjal atau LFG <60 mL/menit/1,73 m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih. Seorang anak dikatakan menderita CKD jika terdapat salah satu dari kriteria di bawah ini: 5-10
1. Kerusakan ginjal >3 bulan yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktur atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan LFG yang bermanifestasi sebagai satu atau lebih gejala: a. Abnormalitas komposisi urine atau darah b. Abnormalitas pemeriksaan pencitraan c. Abnormalitas biopsi ginjal 2. LFG <60 mL/menit/1,73 m2 selama >3 bulan dengan atau tanpa gejala kerusakan ginjal lain yang telah disebutkan. Berdasarkan kriteria diatas maka pada kasus ini penderita dapat didiagnosis dengan Cronic Kidney Disease. Hal ini didasarkan pada beberapa criteria yang terpenuhi pada kasus ini. Pada kasus ini penderita, didiagnosis dengan Chronic Kidney Disease hal ini didasarkan pada anamnesis yaitu pasien pernah menderita gangguan ginjal akut 3 bulan sebelumnya serta pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya peningkatan ureum (111 mg/dl) serta kreatinin (21,6 mg/dl), Perununan LFG (2,96 mL/menit/1,73m 2 ). Selain itu juga ditemukan adanya abnormalitas pada urine penderita, yaitu dengan ditemukan adanya leukosuria (5-6/lpk), hematuria (10-20/lpk) serta proteinuria (+++). Berdasarkan klasifikasi CKD maka penderita ini dikategorikan pada derajat 5 berdasarkan angka LFG yaitu : 5
Derajat LFG (mL/menit/1,73m 2 ) Deskripsi 1 >90 Kerusakan ginjal dengan LFG normal /meningkat 2 60-89 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 3 30-59 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang 4 15-29 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat 5 <15 atau dialysis Gagal Ginjal
Selain itu pada anamnesa didapatkan bahwa penderita merupakan penderita Tb yang dalam terapi 3 bulan.Penderita saat ini sedang mengkonsumsi obat OAT yang terdiri dari Rifampisin 1x 300 mg, serta INH 1x 200 mg. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, penderita tampak pucat,adanya hipertensi, serta edema pada dorsum pedis. Pada kasus ini penderita terlihat pucat karena disebabkan oleh adanya keadaan anemia, yaitu keadaan dimana hemoglobin dalam darah kurang dari normal, dimana pada kasus ini Hb penderita adalah 6,6 mg/dL. Anemia merupakan hal yang umum terjadi pada pasien dengan Gagal ginjal Kronik hal ini disebabkan karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada interstitial, tubular atau sel endotelial) serta adanya faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia diantaranya kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival- time dari eritrosit. 9,11 Pada kasus ini juga dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan didapatkan adanya peningkatan tekanan darah pada penderita yaitu 130/90 mmHg. Anak-anak dengan Gagal ginjal biasanya memiliki hipertensi berkelanjutan yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau produksi renin yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular. 9 Pada pasien ini juga ditemukan adanya edema pada kedua kaki. Edema pada kedua dorsum kaki mungkin disebababkan karena adanya gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang utama. Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin. Pada Gagal ginjal, kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat sampah maupun overload cairan pada tubuh. 11 Pada pemeriksaan penunjang pada kasus ini didapatkan adanya peningkatan ureum dan kalium. Keadaan Hiperuricemia sering terjadi pada kasus gagal ginjal kronik. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan ekskresi pada ginjal yang berakibat pada adanya akumulasi ureum dan kreatinin. Walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai ukuran kapasitas ekskresi dari ginjal. akumulasi dari kedua molekul ini tidak bertanggung jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome pada gagal ginjal yang berat. Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal ginjal dapat berperan dalam terjadinya uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic, protein-bound, charged, dan uncharged compound. Sebagai tambahan, produk ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat, hippurat, produk dari metabolism asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol, benzoate, dan indol. Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ. Dialisis kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan ini. 12 Kadar urea yang tinggi juga dapat menyebabkan gangguan pada mulut, yaitu kadar urea yang tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor uremikum (bau nafas seperti ammonia),dan uremic frost .Gangguan pada serebral terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi,dan dapat menyebabkan coma uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic pericarditis maupun uremic cardiomyopathy. 13
Hiperkalemia juga terjadi pada pasien ini. Hiperkalemia terjadi karena adanya gangguan ekskresi kalium, ginjal mempunyai kapasitas untuk ekskresi kalium,dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat GFR <10mL/menit/1.73m 2 , apabila hiperkalemia terjadi pada GFR >10mL/menit/1.73m 2 , harus dicari penyebab dari hiperkalemia, termasuk diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic hypoaldosteronism, asidosis metabolic yang berat, tranfusi darah, hemolisis, katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor,B-blocker, dan aldosteron antagonist. 10,11 Hipokalemia juga dapat terjadi namun jarang ditemukan, hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang rendah, penggunaan diuretic yang berlebihan, kehilangan kalium dari GIT. Dapat juga terjadi hipokalemia yang dosebabkan karena terbuangnya kalium yang berlebihan pada penyakit primer yang mendasari gagal ginjal kronik, misalnya sindrom fanconi,renal tubular acidosis, maupun bentuk kelainan herediter atau yang didapat lainnya. Namun pada keadaan GFR yang menurun sekali,maka hipokalemia sendiri akan berkurang dan dapat terjadi hiperkalemia. 14
Ganguan ekskresi natrium juga terjadi pada gagal ginjal kronik. Gangguan ekskresi natrium terjadi karena terganggunya kemampuan nefron untuk mengatur keseimbangan natrium, pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh meningkat,walau kadang tidak begitu terlihat pada pemeriksaan fisik. Pada berbagai bentuk gangguan ginjal (misalnya : Glomerulonefritis), terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak dapat menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah yang diekskresikan, hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan pada ginjal. 15 Pada penderita ini terjadi hiponatremia. Hiponatremia (dilutional hyponatremia) pada gangguan ginjal kronik terjadi karena adanya , retensi dari air yang berlebihan, sehingga menyebabkan dilusi pada cairan intravascular. 16 Kerusakan pada ginjal juga dapat dinilai pada pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya proteinuria, abnormalitas dari sedimen urin dan abnormalitas dari studi pencitraan. Pemeriksaan sedimen urin dan imaging studies / studi pencitraan dapat mengetahui bentuk kelainan yang mendasari PGK, dan juga mengetahui lokasi kerusakan pada ginjal. 17
Pada pemeriksaan urine penderita pada kasus ini didapatkan adanya leukosituria, hematuria, serta proteiuria serta berkurangnya jumlah urine. Pada pemeriksaan sedimen urin, sel dapat berasal dari traktus urinarius hingga genitalia eksterna, silinder cast terbentuk di tubulus dari tamm-horsfall protein yang menangkap sel-sel, debris, kristal,lemak,dan protein yang terfiltrasi. Cast ini terbentuk pada urin yang konsentrat atau dalam keadaan pH yang asam. Sejumlah besar sel darah merah, leukosit atau selular cast dalam sedimen urin menunjukkan adanya penyakit ginjal akut maupun kronis. Penyebab hematuria banyak ditemui pada gangguan nefron dan urologic. Dysmorphic red cell dan red blood cell cast sering ditemukan pada glomerulonefritis, pyuria dan pus cell cast menunjukkan nefritis tubulointerstitial, apabila disertai hematuria maka dapat merujuk pada kelainan glomerular. Eosinofiluria secara khusus dikaitkan dengan alergic tubulointerstitial nephritis. 12 Pengukuran kadar nitrogen urea darah atau Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin serum juga berguna untuk evaluasi gambaran fungsi ginjal secara umum. Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu membuat estimasi laju filtrasi glomerulus (LFG) atau Glomerular Filtration Rate (GFR) yang akurat.Untuk menetapkan GFR yang lebih tepat dapat dilakukan pengukuran dengan klirens kreatinin atau klirens inulin atau penetapan GFR secara kedokteran nuklir. Evaluasi fungsi tubulus diukur melalui pengukuran metabolisme air dan mineral serta keseimbangan asam basa. 9 Kadar BUN normal pada seorang anak dengan gizi dan hidrasi yang baik dianggap mencerminkan GFR yang normal.Meskipun bebas filtrasi dalam glomerulus, urea mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal. Reabsorbsi urea disepanjang tubulus proksimal dan loop of Henle terjadi secara pasif, reabsorbsi dalam duktus collegentes sangat bergantung pada vasopressin. Dalam keadaan antidiuresis atau apabila aliran kemih berkurang, absorbsi urea dalam nefron distal meningkat,dan menurun bila telah terjadi diuresis.Dibandingkan dengan kreatinin serum, BUN agak kurang akurat dalam menilai GFR, hal ini dikarenakan danya proses reabsorbsi urea dalam tubulus ginjal. Kreatinin serum dapat menggambarkan estimasi GFR, namun gambaran yang lebih tepat didapat dengan memakai salah satu dari beberapa formula dan nomogram. Sebagian besar formula tersebut didasari pada korelasi antara GFR (mL/min/1.73m2) dengan kadar kreatinin serum yang dapat diperoleh dari rumus Schwartz sebagai berikut: k X L GFR = ---------- L = tinggi badan dalam sentimeter (cm). k = konstatanta proporsional, yang dihubungkan dengan ekskresi kreatinin per unit ukuran tubuh, nilai k dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5. Nilai Konstanta (k) untuk penghitungan nilai GFR 18 Usia Nilai k BBLR 1 tahun 0,33 Bayi aterm 1 tahun 0,45 1 tahun -13 tahun 0,55 Remaja (13 21 tahun) Laki-laki 0,7 Remaja (13 21 tahun) Perempuan 0,57 Dari: Schwartz GJ, Brion LP, Spitzer A: Pediatr Clin North Am 1987;34:571 Pcr = kreatinin serum (mg/dL). Tatalaksana utama pada penderita ini adalah mengatasi keadaan eksaserbasi akutnya, yaitu dengan dialisis akut. Indikasi untuk dilakukan dialisis akut baik untuk peritoneal dialisis maupun hemodialisis adalah sama yaitu, meliputi sindroma uremia (muntah, kejang, penurunan kesadaran), tanda kelebihan cairan (hipertensi, edema paru), asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena, dan indikasi biokimiawi meliputi hiperkalemia (Kalium serum >7 mEq/L), ureum darah >200-300 mg/dL atau kreatinin 15 mg/dL, dan bikarbonat plasma <12 mEq/L.9 Dialisis akut dapat dilakukan dengan peritoneal dialisis ataupun hemodialisis. 10,11
GFR = k X L Pcr Hemodialisis adalah suatu proses pemisahan zat tertentu (toksin uremik) dari darah melalui membran semi permeabel di dalam dialiser, dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisat. Pada hemodialisis, pengeluaran zat terlarut dan kelebihan cairan terjadi dengan cepat (3- 5 jam) sehingga diperlukan oleh pasien dengan gangguan elektrolit, kelebihan cairan dan hiperkatabolik yang memerlukan koreksi cepat. Perubahan zat terlarut dan pengeluaran cairan yang terlalu cepat dapat menyebabkan hipotensi sehingga tidak dapat ditolerir oleh pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Sedangkan dialisis peritoneal mempunyai kemampuan mengeluarkan zat terlarut dari darah 1/8 dari hemodialisis, dan kemampuan mengeluarkan cairan dari hemodialisis. 18 Pada penderita ini didapatkan adanya tanda-tanda kelebihan cairan, asidosis metabolik, hiperkalemia, peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang merupakan indikasi dilakukan hemodialisis. Penatalaksanaan lainnya untuk penderita CKD adalah tatalaksana suportif dan substitusi. Penatalaksanaan suportif meliputi tatalaksana untuk hipertensi, anemia, dan dietetik, sedangkan tatalaksana substitusi meliputi pemberian eritropoeitin, pemberian vitamin D. Hipertensi pada pasien CKD disebabkan karena tingginya kadar renin akibat ginjal yang rusak, hipervolemia, dan berkurangnya zat vasodilator. Bila LFG menurun, dan jumlah urine berkurang, hipertensi terjadi akibat kelebihan cairan. Target tekanan darah pada anak dengan CKD adalah di bawah persentil 90 sesuai usia dan jenis kelamin. Pemberian terapi farmakologis pada hipertensi dimulai dengan pemberian diuretika, , bila dengan diuretika tidak berhasil atau hipertensi semakin berat dapat diberikan preparat beta blocker dan atau vasodilator perifer. Bila dengan gabungan obat tersebut tidak memberikan hasil dapat diberikan antagonis kalsium,dan pada hipertensi krisis akut dapat digunakan nifedipine sublingual. Pada penderita ini, pilihan terapi farmakologik untuk hipertensi merupakan kombinasi antara diuretika pada penderita diberikan Furosemide 1x40 mg, penghambat kalsium pada penderita ini sempat diberikan preparat captopril 3x8 mg, dan anti adrenergik sentral IVFD klonidin 12cc/jam. Furosemide merupakan loop diuretic yang poten dan dianjurkan pada anak dan remaja dengan hipertensi disertai penurunan faal ginjal. Sedangkan klonidin bekerja dengan menghambat aktivitas simpatetik di SSP melalui rangsangan terhadap reseptor a-2 adrenergik pada pusat vasomotor, yang pada akhirnya menyebabkan berkurangnya aktivitas renin plasma. Klonidin dapat memberikan hasil pengobatan yang maksimal bila dikombinasikan dengan diuretika. Sedangkan penghambat kalsium berperan dalam vasodilator perifer. Anemia pada CKD terjadi akibat produksi eritropoietin yang menurun dan massa sel tubular renal yang berkurang. Kompensasi jantung terhadap anemia menyebabkan hipertrofi ventrikel dan kardiomiopati sehinga meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung atau penyakit jantung iskemik. 19
Rekomendasi KDOQI menyebutkan target hemoglobin 11 hingga 12 g/dL pada penderita CKD, dan penderita dengan kadar feritin serum <100 ng/mL harus mendapat suplementasi besi 19,20 Recombinant human erythropoietin (rHuEPO) dengan dosis 50-150 mg/kgBB/hari subkutan digunakan untuk anemia akibat CKD, pemberian rhuEPO dapat mengurangi atau menghindari kebutuhan transfusi darah pada CKD. Penderita yang menjalani dialisis secara teratur diberi asam folat oral 1 mg/hari, dan bila terjadi defisiensi asam folat, dosis asam folat yang digunakan adalah 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu. Transfusi PRC diberikan bila kadar Hb <6 g/dL. 1,8,9,13
Dietetik memegang peranan penting pada anak CKD karena penderita rentan terhadap malnutrisi dan hipoalbuminemia. Tantangan bagi dokter anak dan ahli gizi adalah untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal. Kebutuhan energi harus memenuhi recommended dietary allowance (RDA) untuk anak normal dengan tinggi sesuai. Jika terdapat malnutrisi, asupan kalori dapat ditingkatkan untuk memperbaiki penambahan berat badan dan pertumbuhan linier. Asupan kalori harus cukup untuk meningkatkan efisiensi protein (protein-sparing effect) dan mencegah pasien dari proses katabolik. Diet restriksi protein hingga kini masih menjadi perdebatan. Analisis Cochrane menyimpulkan bahwa restriksi protein dapat mengurangi proteinuri pada nefropati diabetes. Sedangkan rekomendasi KDOQI menganjurkan asupan protein 0,8 hingga 1 g/kgBB/hari dan asupan kalori sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari pada anak CKD. 1,3,9,13
Dengan melakukan penanganan lebih awal dapat mencegah/ menghambat progresifitas penyakit. Pencegahan dalam penanganan CKD ini memiliki 3 aspek penting yaitu: 1 Primer, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi pemaparan terhadap faktor- faktor yang dapat menyebabkan penyakit ginjal. Misalnya strategi untuk mengurangi pemaparan antenatal terhadap infeksi, pencegahan penyakit ginjal yang diturunkan dengan cara konseling genetik, pencegahan obesitas, deteksi awal dan penanganan hipertensi dan kencing manis. 2 Sekunder, pencegahan terjadinya progresifitas kerusakan ginjal dari CKD derajat 1-5 dengan melakukan penanganan yang tepat pada setiap derajat CKD. 3 Tersier, berfokus pada penundaan komplikasi jangka panjang, disabilitas atau kecacatan akibat CKD dengan cara renal replacemet therapy misalnya dialisis atau transplantasi ginjal. Berdasarkan data epidemiologi, prognosis penderita CKD adalah buruk sejalan dengan fungsi ginjal yang terus menurun. Penyebab kematian utama pada CKD adalah penyakit kardiovaskular. Dengan adanya renal replacement therapy dapat meningkatkan angka harapan hidup pada CKD derajat 5 . Transplantasi ginjal memerlukan dana dan peralatan yang mahal serta sumber daya manusia dan dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau reaksi penolakkan tubuh. CAPD meningkatkan angka harapan hidup dan quality of life dibandingkan hemodialisis. Prognosis penderita ini buruk karena keterlambatan pengobatan. Bagi keluarga penderita, dilakukannya CAPD akan sangat memberatkan karena kemampuan ekonomi yang terbatas.
Daftar pustaka 1. Sjaifullah M,Noer, Gagal ginjal kronik pada anak (Chronic Renal Failure in Children).Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR:RSU Dr. Soetomo.2005.Surabaya
2. SN,Wong .Hongkong Journal of Pediatrics (New Series).Chronic Renal Failure in Children. Vol 9. No. 1, 2004
3. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification .National Kidney Foundation (NKF) NKDOQI.2002.
4. Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed. Chapter 535.2 Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier.
5. Hogg RJ, Furth S, Lemley KV, Portman R, Schwartz GJ, Coresh J,et al. National kidney foundations kidney disease outcomes quality initiative clinical practise guidelines for chronic kidney disease in children and adolescents: evaluation, classification, and stratification. Pediatrics. 2003;111:1461-21.
6. Perazella MA, Reilly RF. Chronic kidney disease: a new classification and staging system. Hospital Physician. 2003;45:18-22.
7. Whyte DA, Fine RN. Chronic kidney disease in children. Peds in rev. 2008;29:335-41.
8. Kanitkar CM. Chronic kidney disease in children: an Indian perspective. MJAFI. 2009;65:45-49.
9. Levey AS, Eckardt KU, Tsukamoto Y, Levin A, Coresh J, Rossert J, et al. Definition and classification of chronic kidney disease: a position statement from kidney disease: improving global outcomes (KDIGO). Kidney International. 2005:67;2089-100.
10. Grifin P,Rodgers. Prospective Study of Chronic Kidney Disease in Children. NIDDK (National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease).2009.USA
11. Fischbach M, Edefonti A, Schroder C, Watsn A. Hemodialysis in children: general practical guidelines. Pediatr Nephrol. 2005: 20;1054-66.
12. Indian Society of Nephrology. Markers of Chronic Kidney Disease other than Proteinuria. Indian J Nephrol 2005;15, Supplement 1: S10-S13.Alatas, Dr. Husein et al : Ilmu Kesehatan Anak, edisi ke 7, buku 2, Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1997, hal 573 761.
13. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al : Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 17, buku 2, EGC 2004, hal 1028 1042.) .
14. R,Bashoum.Essentials of Clinical Nephrology. University of Mansoura, Mansoura, Egypt.2007.
15. Pardede O Sudung,Chunnaedy Swanty.Penyakit Ginjal Kronik Pada Anak.Sari Pediatri 2009. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM,Jakarta.
16. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Behrman RM, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders, 2004. Hal 1770-75.
17. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta:Balai Penerbit FKUI. 2002. Hal 615-27.
18. Warady BA, Schaefer F, Holloway M, Alexander S, Kandert M, Piraino B, et al. ISPD guidelines/recommendations consensus guidelines for the treatment of peritonitis in pediatric patients receiving peritoneal dialysis. Peritoneal Dialysis Int. 2000:20;610-24.
19. Rigden, SP. The management of chronic and end stage renal failure in children. Dalam: Webb N, Postlethwaite R,penyunting. Clinical Pediatric Nephrology. Edisi ke-3. Oxford University Press; 2003.p.427-45.
20. Balfe JW. Continuous peritoneal dialysis in children: past, present and future. Saudi J Kidney Dis Transplant. 1997:8;279-84.