Anda di halaman 1dari 25

1

MASA KECILKU
Kurang lebih sembilan bulan dalam kandungan, lahirlah seorang
bayi laki-laki dari rahim seorang wanita desa di lembah kawasan kaki
gunung Ciremai. Tepatnya di desa Kertawinangun, Kecamatan
Mandirancan, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Seseorang yang
dilahirkan semua tidak mengetahui dan tidak mengerti, kenapa ia
dilahirkan ke dunia. Kejadian ini hanya keinginan Yang Maha Kuasa,
karena Dialah yang tahu dan mengerti apa maksudnya seseorang
dilahirkan ke dunia ini.
Bayi laki-laki tersebut diberi nama ... panggilan sehari-hari dengan
sapaan .... Menurut Ijazah Sekolah Dasar tertulis 20 Mei 1955
mengenai tanggal kelahirnya.
Tak lama ia berada di desa tersebut, kemudian diboyong oleh orang
tuanya ke Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Bapaknya seorang prajurit
yang mengabdikan dirinya untuk berjuang dalam meraih kemerdekaan
bangsa dan negara yang kita cintai. Sejak kapan ia menjadi prajurit,
tepatnya tidak tahu, tapi yang jelas ia sudah masuk ketentaraan
menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Bayi kecil selalu berpindah-pindah tempat, mengikuti tempat tugas
sang ayah. Saya pun tidak mengingatnya berpindah-pindah tempat
tersebut, informasi ini didapat hanya dari cerita bunda tercinta.
Tempat kediaman yang mulai diingat sejak di Caringin. Sebuah rumah
milik penduduk. Pak Engkos dan bu Engkos menyediakan rumah
untuk didiami oleh keluarga kami. Entah dengan cara apa mengontrak
bulanan, tahunan, atau kost, dan sudah berapa lama kami tinggal di
2

sana. Yang jelas mulai kehidupan masa kecilku mulai diingat sejak
berada di keluarga Pak Engkos.
Tidak banyak untuk diingat waktu itu dalam memori saya, tapi
yang sangat berkesan adalah keceburnya saya di kolam yang berada di
pinggir sebuah Masjid. Pagi itu saya bangun dari tempat tidur.
Ternyata bunda sudah tidak ada di sampingku. Hatiku kesal sekali dan
menangis sekuat-kuatnya. Saya mencarinya, tapi tidak dijumpai di
rumah. Ternyata bunda berada di kolam sedang mencuci pakaian.
Setelah saya menghampirinya dan menangis tiada henti. Akhirnya
bunda emosi, pertama kali saya mendapat jeweran di telinga,
kemudian saya dilempar ke kolam yang dalam. Saya tidak tahu
persisnya berapa meter dalam kolam itu, tapi kolam itu sangat dalam
menurut ukuran anak berusia antara 2 sampai 3 tahun. Kerelep ...
kerelep ... kerelep saya meronta-ronta tenggelam di tengah kolam.
Akhirnya bunda menangkap saya kembali. Tangisku berhenti
seketika, rasa mual seakan muntah ditahannya. Bunda hanya
mengumpat dan memberi perhatian. Sejak kejadian itu saya selalu
berhati-hati bila sebelum dan bangun tidur.
Waktu berjalan dengan pasti, namun ingatanku mulai terang
ketika bertempat tinggal disuatu tempat di rumah penduduk juga dan
masih di kawasan Cicurug. Tempat tersebut disebut Kaum, karena
dekat dengan Masjid besar yang mengadapi lapangan tempat bermain
bola anak-anak maupun remaja. Dilokasi tersebut juga terdapat
pegadaian, kantor-kantor pemerintahan dan sekolah-sekolah. Bayi
kecil kini sudah berumur sekitar antara 5 sampai 6 tahun. Bunda
memasukan sekolah ke Taman Kanak-kanak, rupanya TK sudah ada
pada waktu itu.
3

Kebiasaan sehari-hari layaknya seorang anak, sepulang sekolah,
bermain dengan teman, tidur siang dan sebagainya. Entah bagaimana
ceritanya, pada waktu makan siang, saya pergi ke kebun di samping
rumah untuk memetik cabai, namun secara tiba-tiba seekor anjing gila
menyergap dan menggigit bagian ketiak lengan kiri. Dari belahan
punggung sampai ketiak berlumuran dengan darah, Saya pun nangis
kesakitan. Para tetangga berdatangan dan ibu panik sambil
memukulinya. Ada seseorang nyelutuk bu jangan dipukulin ... anak
lagi kesakitan, kok dipukulin. Ibu tersadar dari kepanikannya dengan
menghentikan pukulannya. Tak lama kemudian bapak datang dengan
seragam tentaranya, entah siapa yang memberikan informasi
kecelakaan itu. Kemudian dengan spontanitas mengeluarkan
senjatanya dan menembaki anjing-anjing yang suka bersarang di
kolong rumah. Memang rumah yang kami tempati berupa panggung,
terbuat dari bilik dan kayu. Di kolong rumah banyak anjing yang
bersarang sampai beranak pinak. Tidak menunggu waktu yang lama
saya di bawa ke rumah sakit Lembaga Pasteur di Bandung
menggunakan fasilitas mobil dinas tentara.
Rumah sakit Lembaga Pasteur merupakan rumah sakit khusus
tempat orang sakit yang digigit anjing gila. Rumah sakit semacam ini
satu-satunya yang ada di Indonesia pada waktu itu. Ada cerita
seseorang yang digigit anjing gila dari Seram Ambon, mau di bawa ke
Bandung, karena terlalu lama diperjalanan, tidak tertolong lagi, dia
menjadi gila seperti anjing gila. Selama 40 hari kami berada di
Bandung. Saya mendapat perawatan medis dengan seksama dan rutin
mendapat suntikan sekari tiga kali. Setiap satu kali mendapat suntikan
tiga titik, yaitu di paha, lengan dan perut dan setiap hari tiga kali yaitu
4

pagi, siang dan malam. Bila dihitung satu hari saja mendapat 9 titik
suntikan. Selain itu diberi pil untuk diminum. Awal-awalnya memang
saya takut untuk disuntik, namun karena sudah terbiasa, saya tidak
takut lagi untuk disuntik. Bahkan bila waktu sudah datang untuk
disuntik saya berlarian sendiri ke tempat perawatan tanpa diantar oleh
ibu. Selama di rumah sakit Ibu dengan setia menungguinya, kadang-
kadang Ayahanda bersama Bapak dan ibu Engkos membesuknya. Pak
Engkos adalah orang Cicurug asli, yang sudah seperti saudara sendiri.
Anak dan cucu-cucunya pun sampai sekarang masih berkomunikasi
atau bersilaturahmi, walaupun keluarga kami sudah lama pindah ke
kampung halaman.
Peristiwa telah berlalu saya hidup seperti biasanya. Di rumah ibu
Ujum seorang nenek yang tidak mempunyai keluarga. Ia sebatang
kara setelah ditinggalkan suami tercinta. Namun ia seorang yang baik,
ramah dan tekun dalam ibadah. Waktu itu walaupun mengikuti tugas
Ayahanda, tapi Dia jarang pulang ke rumah kosan, karena sering tugas
ke luar daerah. Oleh karena itu setiap hari hanya saya, bunda dan
tetangga yang terdekat yang selalu bergaul dan berkomunikasi.
Pada waktu itu saya adalah anak pertama, dan tidak mempunyai
saudara kandung. Terkadang bermain seorang diri, jika Udi dan
Mimin anak tetangga sebelah tidak ada. Ingatan yang masih terbayang
di benak saya terjadi pada suatu hari, siang itu hujan turun dengan
lebatnya. Bunda rupanya tertidur pulas di kamar. Saya duduk
termenung seorang diri di emperan depan rumah, sambil melihat
turunnya air hujan yang jatuh dari genting. Pikiran melayang ke mana-
mana, sampai melamunkan menjadi seorang pengusaha dan menyetir
mobil sedan sendiri. Entah dari mana hayalan sederhana pada seorang
5

anak kecil seperti itu, saya pun tidak mengingatnya. Mungkin saja dari
obrolan orang-orang dewasa, atau mungkin dari cerita bioskop, di
mana sesekali keluarga tentara dibawa untuk menonton bioskop.
Perpindahan tempat tinggal pun terjadi, kini menempati rumah di
asrama khusus tentara. Odorata nama asrama tersebut. Gedungnya
permanen dan cukup luas, dihuni oleh beberapa keluarga tentara. Di
sini juga ada keluarga Uwa Sutrino, yaitu kakak sepupu dari bunda
yang juga menjadi anggota tentara. Mereka tidak dikarunia anak,
sehingga mereka memungut seorang anak laki-laki bernama Maman.
Mamanlah sahabat waktu kecil di Odorata yang paling dekat. Anak-
anak lain yang seusia juga banyak, tapi yang saya masih ingat adalah
Asep, Enur, Jamson, Ujang dan masih banyak lagi sebagai anak
kolong, tapi saya sudah tidak ingat lagi.
Lokasi Odorata di pinggir jalan raya Cicurug, dekat statsiun kereta
api. Kota kecil itu cukup ramai juga. Lalu lalang mobil sudah
dianggap sering, dan sesekali berisiknya suara kereta api melintas di
seberang jalan. Kota ini menjadi kenangan tersendiri, karena saya
dikhitan di sini dengan pesta agak mewah dipentaskan wayang golek.
Pagi hari saya disuruh ke halaman asrama, ternyata prosesi hitanan
akan dimulai. Hatiku was-was, gemetar dan sedikit takut.
Rasa ketakutan terusir oleh orang-orang di sekelilingku yang
menghiburnya, bahkan banyak juga yang sudah memberinya uang.
Kemudian saya duduk dipangkuan orang, tidak lama kemudian terasa
dingin menjalar di sekitar pangkal paha, akhirnya saya pun dibopong
ke ruang tamu asrama, dan ditidurkan pada kasur yang sudah
disediakan. Hatiku bertanya-tanya antara sudah dan belum
pelaksanaan khitanan. Rupanya pelaksanaan khitanan sudah selesai
6

dikerjakan oleh seorang Bengkong. Semuanya dengan cepat dan tak
terasa sakit sedikitpun, yang terasa hanyalah rasa dingin. Saya tidak
menangis waktu itu, hanya bunda yang menangis, melihat anak
semata wayangnya akan dikhitan. Kemudian banyak orang
menyalaminya dan memberinya uang, Perasaan bahagia dan gembira
tertanam dalam hati. Bagaimana tidak ? Uang sangat banyak dan
makan enak dengan ayam bekakak. Keluarga kami sangat bersyukur
dan berterima kasih, terutama kepada Allah SWT. Dan juga kepada
keluarga Pak Engkos karena segala sesuatu kebutuhan akomodasi dan
konsumsi, mereka yang mendukungnya.
Di sini pula saya mulai masuk sekolah dasar kelas satu. Mulai saat
itu Ayahanda dan bunda membiayai sekolah tiga orang, yaitu Paman
Samsuri adik kandung Bapak, Bibi Encoh adik kandung ibu, mereka
sekolah di SMP dan saya sendiri baru di SD. Tidak banyak yang
diceritakan dalam kegiatan sekolah.
Di samping asrama terdapat sebuah pabrik kayu, yang
memproduksi papan, peti, dan sebagainya. Di lokasi itulah tempat
bermain kami. Bila sore tiba saya bermain dengan teman-teman
dengan gembiranya, bermain kucing-kucingan hampir tak terlewatkan.
Bila mulai malam saya mengaji ke tempat pengajian di rumah
penduduk yang agak jauh dari asrama. Jaraknya sekitar dua kilo
meter masuk ke perkampungan. Jika pulang mengaji menelusuri jalan
perkampungan dan kadang sebelah kiri dan kanan kebun-kebun pisang
dan pohon kelapa yang menjulang tinggi. Waktu pulang hari sudah
malam, untuk menerangi gelapnya malam, kami selalu membawa
obor.
7

Suatu ketika kami bertiga diantaranya Maman pulang mengaji, ia
yang membawa obor. Separuh jalan sudah dilaluinya. Namun ketika
berjalan melintasi kebun-kebun yang rindang dan gelap gulita,
terdengar suara anjing menggonggong seperti srigala yang memburu
mangsa. Suara anjing semakin mendekat sepertinya sedang mengejar
kami bertiga. Spontanitas kami bertiga berlarian, situasi yang cerai
berai untuk menyelamatkan diri masing-masing. Saya sangat
ketakutan, napas terengah-engah kecapaian, yang paling panik saya
kehilangan seorang teman, ternyata Maman tidak ada. Memang
Maman tidak bisa lari kencang.
Hatiku galau karena ketakutan antara trauma karena anjing dan
kehilangan seorang teman. Mau balik lagi untuk menyusul, sesuatu
yang tidak mungkin karena kami sangat ketakutan. Akhirnya kami
berdua menunggui di tepi jalan dan merasa sudah aman. Tidak lama
kami menunggu, dikejauhan terlihat cahaya obor. Ternyata Maman
bersama seseorang. Hati saya lega, ternyata orang itu yang menakut-
nakuti kami. Maman sendiri tidak ikut lari terus, karena memang dia
tidak bisa berlari, dia hanya berlindung di rerumpunan pohon pisang.
Setibanya di rumah kami pun berpisah dan tertidur dengan nyenyak
sampai pagi hari tiba.
Tahun 1962 usiaku sekitar tujuh tahun, waktu itu sekolah dasar
menerima murid yang sudah berumur minimal tujuh tahun. Bila tidak
ada keterangan dari surat keterangan lahir apalagi akte kelahiran yang
belum lazim pada waktu itu. Pihak sekolah dapat menerima muridnya
dengan mengukur tangan kanan anak menempel ke telinga kirinya
atau sebaliknya. Penerimaan siswa baru pada waktu itu sangat
sederhana, tidak banyak aturan, tapi kebiasaan itu merupakan aturan
8

yang selalu dipatuhinya oleh semua pihak. Tidak terasa akhir tahun
pelajaranpun tiba, biasanya bulan Desember diadakan samen, istilah
kenaikan kelas jaman dulu. Setelah naik kelas ke kelas dua dan
liburan sekolahpun tiba, bunda mengajakku pulang ke kampung
kelahiran.
Desa Kertawinangun merupakan kampung yang jauh dari
keramaian kota. Letaknya di lembah Gunung Ciremai, gunung
tertinggi di Jawa Barat. Ke ibu kota kecamatan Mandirancan berjarak
sekitar lima-enam kilometer dan ke kota kecil Kewedanaaan Cilimus
sekitar delapan kilometer. Saat itu suasana desa sangat mencekam.
Saya selalu mengikuti cerita-cerita orang dewasa tentang gentingnya
kampung dari ulah gerombolan DI-TII yang dipimpin oleh
Kartosuwirjo. Desa kami pun tidak luput dari gangguan gerombolan
DI-TII tersebut.
Waktu itu kami pulang hanya untuk bersilaturahmi, dan melihat
pembangunan rumah kami yang sedang dipugar, tapi dihentikan
pembangunannya baru sampai dongtong. Istilah dongtong adalah
singkatan dari gedong sepotong, yaitu pemasangan batu bata baru
sekitar tinggi satu meter. Terpaksa kami (bunda dan saya) menginap
di rumah Uwa. Di rumah kecil dengan dua kamar tidur yang dihuni
oleh banyak jiwa, diantaranya Uwa Nomi alias Embu kakak kandung
bunda, Uwa Miskam (Ekom) suami Embu, Nenek, buyut perempuan,
kakek (pamannya Uwa Ekom) dan tiga orang anak Uwa yaitu Ceu
Masniah (Nioh), Ceu Suniri (Iri) dan Ka Saduki (Duki).
Entah sudah berapa malam kami bermalam di kampung. Setiap
menjelang malam rasanya sangat mencekam. Walaupun saya baru
berumur tujuh tahunan yang tidak mengerti apa-apa. Tetapi saat itu
9

saya, anak-anak Embu dan anak-anak lainya sudah mengerti keadaan
situasi desa yang menakutkan dan mencekam, merasa tidak aman,
karena keseharian selalu disuguhkan dengan cerita-cerita tentang
keganasan, kebiadaban yang menakutkan oleh gerombolan DI-TII.
Memang Saya belum mengerti apa-apa, apa lagi masalah politik,
siapa itu DI-TII, apa tujuannya dan seperti apa orang-orangnya. Anak-
anak belum mengerti apa-apa. Yang tahu hanya dari cerita bunda,
Uwa, Nenek atau orang tua lainnya bahwa gerombolan DI-TII suka
merampok harta benda, bahkan sampai membunuh dengan kejamnya
kepada penduduk di desa yang tidak mempunyai dosa apa-apa.
Suatu malam yang gelap gulita, penerangan listrik pun belum
sampai ke desa itu, cahaya rembulan yang biasa menerangi alam desa
sudah tidak kelihatan lagi. Malam semakin sunyi, hanya binatang-
binatang malam yang memecahkan kesunyian malam. Malam itu
semakin larut, tiba-tiba dipecahkan oleh suara ketukan pintu depan.
Sepertinya ada tamu. Tapi orang tua semuanya sudah mengerti.
Memberi isyarat kepada kami, anak-anak empat orang, kemudian
bunda dan Embu semuanya disuruh masuk ke ranjang besi ukuran
nomor tiga. Kami semua tiduran tanpa bersuara sedikitpun.
Ketukan pintu bertambah kencang, akhirnya Nenek membukakan
pintu depan. Entah siapa, bagaimana dan apa yang dilakukan di luar
ranjang berkelambu putih yang kekuning-kuningan, karena sudah
lusuh dan kotor terkena debu. Kemudian tiada lama kemudian ada
seseorang menyoroti dengan baterai ke ranjang tempat kami berada.
Waktu sudah berlalu, keadaan sunyi kembali, rasa mencekam tetap
menghantui kami. Bunda akhirnya melangkahkan kaki ke luar
ranjang. Keadaan gelap gulita, fungsi matapun tidak melihat dengan
10

sempurna. Ketika kaki bunda menapak di lantai kamar, menginjak
cairan. Tapi bunda tidak curiga apa-apa. Setelah Uwa Ekom
membawa cempor (lampu dari minyak tanah), baru mengetahui bahwa
cairan itu adalah darah yang mengenang di lantai.
Peristiwa tragis menimpa keluarga kami, nenek sudah tak
bernyawa, bersimbah darah dekat pintu kamar, pamannya Uwa Ekom
tergeletak bersimbah darah di dapur, sedangkan buyut alhamdulillah
selamat sedang tiduran dikursi sofa di kamar. Kepanikan di keluarga
kami memecah keheningan malam. Setelah dua orang yang dicintai
menjadi korban kebiadaban gerombolan DI-TII. Bunda, Embu tidak
bisa menahan emosinya, menangis sejadi-jadinya. Untungnya tidak
lama kemudian Uwa Ekom menyuruh kami keluar rumah,
dikhawatirkan gerombolan datang kembali ke rumah lagi. Kami
semua isi rumah keluar rumah untuk bersembunyi di semak-semak
belukar yang berbukit. Keculi buyut yang sudah tua renta tidak ikut ke
luar rumah, ia hanya bisa tiduran di tempatnya.
Sesampainya di pekarangan rumah, keadaan malam menjadi terang
benderang, karena cahaya kobaran api dari sebuah rumah yang
terletak di bawah rumah Uwa terbakar. Api dan asap hitam keputih-
putihan membumbung tinggi. Rupanya rumah tersebut dibakar oleh
gerombolan DI-TII. Kami akhirnya berlarian ke bukit di sebelah
Timur rumah Uwa. Kebon kelapa, nangka, pisang dan lainnya berjajar
di bukit. Saya digendong Bunda melingkar di bawah pohon kelapa
yang bertengger di samping jalan setapak. Memang bukit itu dilintasi
selokan untuk pengairan sawah, di sisinya terdapat jalan setapak yang
biasa dilalui oleh orang-orang sekitar. Bunda menggendong dengan
erat, sambil memberi isyarat agar tidak menangis atau bersuara. Di
11

belukar yang gelap tidak takut oleh apapun, seperti ular berbisa,
kalajengking, dan binatang lainnya. Yang takut hanya oleh
gerombolan DI-TII saja.
Dikejauhan terdengar suara sepatu, tak lama kemudian suara
sepatu mendekat. Benar saja antara 6 sampai 7 orang gerombolan
sedang melintas di selokan, di atas tempat kami bersembunyi. Mereka
memakai seragam kemiliter-militeran lengkap dengan sepatu tentara,
sambil menyorot-nyoroti baterainya. Alhamdulillah kami masih di
lindungi oleh Allah Yang Maha Kuasa, kami terhindar dari
marabahaya yang lebih menyakitkan. Malam itu kami mengalami
sorotan baterai dua kali. Pertama kami berada di ranjang dan kedua di
tempat persembunyian.
Malam semakin dingin, rupanya sudah sekitar jam 3 pagi. Situasi
merasa aman setelah terdengar suara kentongan lima kali, lima kali,
merupakan sandi yang menerangkan situasi sudah aman. Mungkin
semua gerombolan sudah hengkang dari desa kami. Seluruh keluarga
kembali ke rumah. Keadaan gelap kembali, rumah Bapak Misri yang
dibakar tadi hangus menjadi abu dalam beberapa jam saja. Karena
rumah yang terbuat dari bilik bambu dan kayu sangat mudah dan
cepat terbakar api.
Besok harinya kami tidak tahu apa yang diperbuat oleh orang-
orang tua kami. Yang jelas mereka mengurus pemakaman nenek dan
sifat kakek dengan semestinya. Terkadang mereka mengombrol
tentang kejadian semalam. Tidak seluruhnya saya tangkap obrolan
mereka, namun yang saya tangkap mereka heran gerombolan datang
secara tiba-tiba di desa kami. Biasanya bila ada gerombolan masuk
desa dan pertanda bahaya, mesti bagian ronda keamanan memberikan
12

informasi melalui ketongan. Kentongan dibunyikan dengan cepat yang
disebut titir malam itu tidak terdengar. Ada kemungkinan bagian
ronda tidak mengetahui gerombolan datang, karena melalui jalan lain.
Secara rutin bagian keamanan secara bergiliran selalu mengadakan
ronda, dan selalu mengetahui gerombolan akan datang setelah
mendapat informasi dari desa Trijaya. Desa Trijaya adalah desa
tetangga yang paling ujung di kaki gunung Ciremai. Apabila
gerombolan sudah masuk di desa tersebut, pasti informasi tersebut
akan sampai ke bagian keamanan desa kami.
Saya pun tidak tahu reaksi Bi Encoh, anak nenek yang bungsu.
Malam itu ia menginap di rumah Ema Buk, yaitu kakak kandungnya
nenek. Ia merasa kehilangan ibunya dan kini menjadi seorang anak
yatim piatu. Bapaknya sudah meninggal lebih dahulu, ketika ia masih
dalam kandungan ibunya.
Hari pun berjalan dengan cepatnya, orang tua kami mengadakan
tahlilan sore hari. Tradisi tahlilan di desa kami masih harus
dilaksanakan. Seolah-olah kegiatan wajib untuk mendoakan kepada
para arwah yang baru meninggal. Setelah waktu Ashar tahlilan
dilaksanakan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, tetangga dan
handai taulan lainnya. Setelah selesai orang-orangpun kembali ke
rumahnya masing-masing. Tinggal keluarga kami di rumah, sambil
melihat orang tua memberesi seisi rumah, saya hanya bisa bermain ala
kadarnya.
Saat itu hari sudah sore, kami sekeluarga besar memutuskan
untuk mengungsi ke Mandirancan. Mandirancan adalah ibu kota
kecamatan yang dianggap aman dan tidak digangu oleh gerombolan,
karena di sana terdapat Pos Penjagaan TNI. Sekitar jam 4 sore kami
13

berangkat dari rumah bersama anak-anak Uwa. Jalan yang dilalui
adalah dari sisi kampung turun bukit, di sana terdapat pohon
kemuning yang rindang, rumpun bambu dan pohon-pohon besar
lainnya. Juga terdapat batu seperti arca yang didudukan pada sebuah
batu pipih di bawah pohon kemuning tersebut. Konon kabarnya
tempat yang dikeramatkan sejak dulu. Tempat itu disebut cibuyut.
Kemudian turun melalui jalan setapak. Di bawah keramat itu
terdapat bebelik, yaitu mata air yang jernih dalam kolam berdiameter
kurang lebih satu meter dan kedalaman hanya sekitar setengah meter,
letaknya percis dipinggir sungai Cikotok. Mata air ini dijadikan
tempat mengambil air minum penduduk sekitar.
Setelah itu kami menyeberangi sungai Cikotok. Secara
berseberangan juga terdapat Dam atau bangunan bendungan pengairan
sistim irigasi buatan Belanda. Sepanjang sungai irigasi yang disebut
Susukan terdapat jalan setapak menuju ke hilir. Jalan terobosan inilah
yang kami lalui. Akhirnya tembus ke jalan raya antara Cilimus
Mandirancan. Jalan tersebut merupakan jalan kabupaten, tapi
keadaannya masih belum diaspal seperti sekarang. Badan jalan
memang cukup lebar, namun berkerikil bercampur pasir.
Sore menjelang malam masih berjalan di jalan tersebut. Tidak ada
kendaraan mobil atau sepeda motor yang lewat. Memang kendaraan
bermotor masih langka waktu itu. Kami hanya berjalan kaki sekitar
lima kilometer. Tapi saya merasa senang, berlari-larian dengan teman-
teman sebaya dari keluarga-keluarga lain pun banyak yang sama-sama
mengungsi. Ibu-ibu membawa buntelan entah apa yang dibawa.
Namun para bapak memilih unruk berdiam di kampung untuk berjaga-
jaga di rumah mereka masing-masing.
14

Matahari sudah mu;ai turun di ufuk Barat, layung memerah
kekuning-kuningan tampak dengan indahnya. Lambat laun matahari
sudah mulai masuk dikaki Gunung Ciremai. Suasana alam pertanda
mulai malam. Sawah menghijau dan bertebangan burung-burung
mencari sarangnya. Kanan dan kiri jalan berjejer pohon jati, kadang-
kadang kami memetik daunnya yang masih muda, untuk dioles-
oleskan pada kuku supaya menjadi merah. Terkadang pula belari-
larian dengan anak-anak lainnya. Keindahan alam mengusir
ketegangan jiwa kami. Dalam perjalanan kami menemui turunan,
sebelum melewati jembatan kayu sungai Cipager. Diturunan tersebut
sebelah kiri dan kanan terdapat kebun-kebun yang rimbun oleh
pepohonan seperti pohon akasia, pohon kelapa, jati, dan rumpun
bambu dan rumpun pisang serta pohon-pohon lainya.
Hari mulai gelap, udara mulai sejuk, dan semilir angin menebak
rumpun bambu, terdengar suara gemerisik gesekan daun-daun bambu,
yang diiringi oleh bunyi tonggeret, gaang, jangkrik bersahut-sahutan
di sana-sini. Juga terdengar suara gemuruh air sungai, yang dipandu
suara kodok-kodok besar maupun kecil. Sungguh suasana alam ini
tidak akan terlupakan.
Setelah sampai ke pemukiman penduduk di Mandirancan, kami
disambut oleh penduduk setempat. Mereka saling menyediakan
tempat untuk kami bermalam. Akhirnya kami pun bermalam disalah
satu rumah, untuk beristirahat dan tertidur beralaskan tikar bersama-
sama dengan nyenyaknya. Setelah melaksanakan shalat shubuh, kami
harus pulang kembali ke desa. Perjalanan pagi tidak terasa lelah,
walaupun menempuh perjalanan yang mendaki. Entah sudah berapa
hari kami mengungsi ke Mandirancan.
15

Suatu hari saya mendengar obrolan orang-orang tua, saya menjadi
pendengar yang setia. Dari obrolan itu saya dapat menyimpulkan agar
keluarga kami harus segera meninggalkan desa kampung halaman
kami. Banyak nasehat kepada bunda, sebagai istri tentara sangat
bahaya, karena bila gerombolan dapat mengetahuinya, keluarga kami
akan menjadi incaran mereka, juga sebaliknya pihak TNI pun selalu
memburu gerombolan dan keluarganya. Demikianlah suasana perang
antara TNI dengan gerombolan DI-TII pada waktu itu. Akhirnya kami
berangkat kembali ke Cicurug Sukabumi. Selamat tinggal pada
saudara-saudara kami, selamat tinggal kampung kami. Saat itu kami
berpisah dengan anak-anak Embu yaitu Ceu Nioh, Cue Iri, Ka Duki
dan teman-teman lainya untuk waktu yang tidak ditentukan, sebulan,
setahun atau beberapa tahun.
Suasana berubah, Saya melewati hari-hari seperti biasanya,
seperti sekolah, bermain, belajar sore dan tidur. Tidak ada tontonan
seperti TV, Playstyson seperti anak-anak sekarang. Kadang-kadang
kami nonton bioskop yang diputar hanya pada hari minggu. Setahun
sudah dilewatinya. Saya sekarang sudah berumur sepuluh tahun, dan
sudah kelas 3 SD. Entah apa kebijakan orang tua untuk pindah ke
kampung halaman. Ternyata rumah yang dulu dihentikan
pembangunannya, kini sudah hampir selesai, walaupun belum seratus
prosen. Mulai saat itupun saya harus berpisah pula dengan kota kecil
Cicurug, meninggalkan teman-teman, meninggal sekolah,
meninggalkan segudang kenangan diwaktu kecilku.
Suatu hari perpindahan keluarga kami tiba. Kami pulang kampung
dengan menaiki truk tentara. Suatu sore truk tiba di lapangan
kampungku. Secara spontanitas para saudara dan tetangga
16

mengangkut barang-barang kami. Tidak banyak barang yang di bawa,
barang-barang yang dibawa hanya lemari, ranjang, kasur, dan barang-
barang dapur lainnya. Namun sewaktu kami pindah Ayahda tidak
kelihatan .....
Saya sejak saat itu mulai menempuh hidup baru. Sedikit demi
sedikit beradaptasi dengan kehidupan di kampung, hidup jauh dari
kehidupan keramaian kota. Desa Kertawinangun merupakan desa
kecil, berpenduduk sekitar 2000 jiwa. Desa tersebut terletak di bawah
kaki Gunung Ciremai, memang ada satu desa lagi yang persis di kaki
gunung yang menjulang tinggi tersebut yaitu desa Trijaya. Kampung
halaman kami saat itu mulai kondusif, gangguan gerombolan DI-TII
sudah tidak ada lagi. Konon katanya gerombolan DI-TII sudah dikikis
habis oleh kekuatan TNI yang dibantu oleh penduduk setempat
dengan gerakan pagar betis. Dengan pagar betis tersebut kekuatan
gerombolan DI-TII digunung mulai melemah, dan akhirnya menyerah
setelah pimpinannya Kartosuwirjo ditangkap TNI.
Desa kecil dan nyaman tersebut mempunyai makna tersendiri
dalam hidupku, dan mungkin bagi teman-teman sebayaku. Umumnya
para penduduk berpenghidupan dari hasil pertanian dan gaya hidupnya
bersahaja. Kesahajaan inilah yang mendorong hidup kekeluargaan,
persaudaraan dan gotong royong yang sangat erat sekali. Tidak terlalu
lebar jurang pemisah antara sikaya dan simiskin, karena pada
umumnya kekayaan mereka hampir merata.
Sebagai kampung halaman tempat saya dilahirkan, mulai saat itu
aku dididik dan disekolahkan untuk memulai lagi menimba ilmu
pengetahuan umum maupun ilmu agama. Saya disekolahkan mulai
17

kelas 3 dan bersamaan satu kelas dengan Ceu Iri yang seumur
denganku, bila sore menjelang Maghrib saya pergi mengaji ke Masjid.
Waktu itu saya sering mendapatkan motivasi untuk belajar dari
orang tua. Motivasi itu sederhana sekali, maklum bunda hanya
mengeyam pendidikan sampai kelas 3 Sekolah Rakyat (SR). Bunda
selalu memberi pertanyaan apa cita-citamu bila nanti sudah dewasa ?
Pertanyaan mengenai cita-cita tidak ku jawab dengan pasti. Mungkin
karena foktor usiaku yang masih kecil, dan belum matang untuk
memikirkan hal semacam itu. Apalagi cita-citaku dan khayalku masih
kabur dan tidak mengkristal dalam bayanganku. Juga ditambah faktor
pendukung seperti faktor lingkungan yang tidak memungkinkan untuk
membentuk karakter seseorang dengan membentuk cita-cita yang
setinggi langit.
Keadaan desaku ini, merupakan alam lingkungan yang serba
minus. Sawah pertanian tidak terlalu luas yang dimiliki oleh
penduduk. Persawahan yang agak luas hanya dimiliki oleh para
pamong desa, yaitu bengkok sebagai gaji mereka bekerja. Sebagian
besar penduduk sebagai buruh tani, atau buruh bangunan. Suasana
kehidupan seperti itu tidak memungkinkan dapat membentuk
karakterku dan teman-teman sebayaku untuk tumbuh dengan baik.
Bila diumpamakan bagaikan sebatang pohon yang tumbuh di atas
tanah tandus dan kering, tentu akan tumbuh tidak subur dan
berkembang. Mungkin faktor nasib yang menentukan nasib baik dan
nasib buruk bagi masa depan mereka.
Tapi untunglah, walaupun keadaan demikian masih ada embun
pagi yang selalu membasahi bumi, yang didambakan oleh setiap
pohon yang kekeringan. Embun pagi yang suci dan bersih dapat
18

memupuk dan mendorong jiwaku dengan kesucian dan keikhlasan
orang tuaku dalam mendidik ku setiap hari. Dorongan itu walaupun
sederhana dan lugu, tapi selalu berarti bagi hidupku, selalu
membangkitkan semangatku dikala mendapat rintangan yang
membayang-bayangi keputusasaan. Berbagai rintangan, hambatan,
dan kesulitan selalu datang dan melilit kehidupanku dan keluargaku.
Bunda sebagi ibu ramah tangga, dan kadang-kadang sekali gus
sebagai kepala keluarga. Fenomena ini karena Ayahda seorang tentara
yang masih aktif dan bertugas di Bogor. Pulang kampung tidak
menentu, sebulan, dua bulan atau lebih Dia tidak pulang kampung.
Jadi bundalah yang berperan di keluarga kami. Di rumah hanya kami
berdua, tentu rasa sepi dan bosan akan cepat menjalar di tubuh saya.
Untung ada saudara sepupu kami yang tinggal di sebelah rumah. Jadi
kalau sore dan malam kami selalu bersama. Mengaji ke mesjid
bersama, belajar di rumah bersama.
Akhir tahun pelajaran pun datang, samen (kenaikan kelas)
dilaksanakan di sekolah. Letak sekolah kami tidak jauh dari rumah,
sekitar puluhan meter berada di sebelah atas rumah kami. Bangunan
sekolah memang cukup kekar, buatan jaman Belanda. Meja dan
bangku murid terbuat dari kayu jati yang sangat kekar sekali. Bangku
semacam ini pada jaman sekarang sudah tidak ada lagi, yang didesain
dengan kemiringan yang terjangkau untuk menulis bagi siswa SD.
Tengah meja bagian atas terdapat lubang untuk tempat
menyimpan botol tinta. Waktu itu kami belajar sudah memakai buku
tulis, tidak seperti waktu kelas satu atau dua menulis kadangkala
menggunakan sabak. Karena masih langkanya buku tulis dan apalagi
buku sumber mata pelajaran, hanya dimiliki oleh guru. Sering kami
19

hanya mencatat pelajaran ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah dan lain-
lainnya di papan tulis dan sayapun menyalinnya hanya pada satu buku
tulis. Sedangkan berhitung harus mempunyai buku khusus, karena
sering ada latihan-latihan untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan
guru, baik untuk dikerjakan di sekolah maupun sebagai pekerjaan
rumah. Terkadang buku tulis yang sudah penuh dengan tulisan tinta
dengan penah, sering direndam sampai tintanya luntur, kemudian
dijemur sampai kering. Kemudian digunakan kembali untuk menulis
pelajaran yang baru. Kami waktu itu mempunyai buku tulis antara tiga
sampai lima buah saja.
Hari itu samen dimulai dengan acara makan bersama. Murid-
murid secara antri membawa piring dan sendok dari rumah masing-
masing. Secara bergiliran diberi nasi dengan gulai daging kambing
oleh Bapak dan Ibu guru. Nasi yang berkuah dengan seiris daging
rasanya nikmat sekali. Waktu itu saya makan daging terhitung jarang
sekali, kalau tidak ada yang hajatan atau lebaran tidak menemukan
makan dengan daging. Setelah semua kebagian murid-murid makan di
kelasnya masing-masing atau ditempat lain menurut selera. Akhir dari
kegiatan samen tersebut baru dibagi raport. Semua anak-anak merasa
gembira karena mendapat raport tersebut. Termasuk saya merasa
bangga menerima raport tersebut, walaupun belum tahu naik atau
tidak naik kelas.
Sesampai di rumah ternyata baru mengerti bahwa saya tidak naik
kelas, setelah dibacakan dan diterangkan oleh orang tua. Nasib buruk
juga menimpa Ceu Iri tidak naik kelas. Entah apa yang menyebabkan
kami berdua tidak naik kelas. Yang pasti saya mungkin tidak bisa
mengikuti pelajaran di sekolah. Sebab yang saya alami semuanya
20

masih asing dan tidak cepat untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekolah. Saat itu saya baru melaksanakan perpindahan tempat tinggal
dari Cicurug ke kampung halaman. Tapi kenapa dengan Ceu Iri ?
Hatiku merasa ciut ketika Ayahda datang ke kampung. Tapi setelah
Dia mengetahui saya tidak naik kelas, dan Dia tidak marah, hati saya
merasa tenang kembali. Sejak saat itu saya merasa mengalami
kegagalan dalam sekolah. Dengan rasa berat kami berdua harus
mengulang di kelas tiga selama satu tahun lagi. Peristiwa itu menjadi
cambuk untuk saya, agar lebih giat lagi untuk belajar.
Tahun 1965 saya mengulang di kelas tiga. Tahun ini juga terjadi
peristiwa Gerakan 30 September oleh PKI. Peristiwa yang
menghebohkan secara nasional itu, saya pun masih belum mengerti
apa-apa. Namun saya mengetahui printiwa itu juga dari obrolan
orang-orang tua, bahwa PKI memberontak terhadap Pemerintah
Republik Indonesia untuk mengganti ideologi lain. Mereka adalah
partai yang berhaluan Komunis yang menginginkan haluan dasar
negara RI Pancasila digantikan oleh faham Komunis.
Apa itu Komunis ? Saya belum mengetahuinya. Peristiwa itu
terjadi di pusat Pemerintahan Negara yaitu di Jakarta. Kampungku
pada waktu itu pun juga banyak yang menganut faham Komunis
tersebut. Karena pertolongan dari Allah SWT. Negara yang kita cintai
tidak sampai dikuasai oleh orang-orang PKI. Dan terselamatkan oleh
kegesitan TNI untuk menumpas G.30 S/PKI, walaupun terdapat 7
Jendral TNI yang gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Situasi kampung
pun agak heboh antara warga penduduk setempat. Mereka ada yang
mendukung PKI dan banyak juga yang anti PKI. Tidak sedikit terjadi
pertentangan yang berakhir pada permusuhan antara saudara, antara
21

tetangga, bahkan terdapat antara suami dan istri terjadi pertikaian
dalam memperebutkan kebenaran.
Pada suatu malam Saya mengikuti orang-orang tua ke rumah
salah satu saudara Ayahanda di Jalan Canggah kampung kami. Di
sana sudah banyak yang duduk-duduk di luar rumah Bapak Wanda
yang mempunyai radio. Setahu saya Dia lah satu-satunya yang
mempunyai pesawat radio di kampung kami pada waktu itu. Rupanya
para penduduk ingin mengetahui secara langsung situasi Jakarta, dari
pidato Presiden Sukarno. Pidato Presiden Sukarno pun dimulai,
suaranya bersemangat, menggebu-gebu, ciri pidatonya Presiden
Sukarno. Dia Presiden pertama yang berwibawa, dikagumi oleh tua,
muda mupun anak-anak. Maklum Dia sudah terkenal sebagai orator
setingkat internasional.
Isi pidato saya tidak mengetahuinya secara jelas atau mungkin
tidak dimengertinya. Semua yang diucapkannya memberikan
gambaran bahwa Jakarta sudah dapat diamankan oleh TNI. Bahkan
pernyataan Presiden Sukarno bahwa PKI adalah kadangku dan TNI
adalah anakku merupakan pernyataan seorang pemimpin yang tidak
memihak terhadap perang saudara, walaupun mempunyai faham yang
sangat berbeda.
Pernyataan Presiden tersebut mendapat pro dan kontra. Hal itu
adalah masalah politik, merupakan makanan bagi orang-orang yang
berpendidikan. Bagi orang awam yang tinggal di desa tidak mengerti
politik. Yang tahu adalah peristiwa berdarah bagi para pahlawan
nasional. Situasi bergejolak sampai ke desa-desa. Para pimpinan PKI
ditangkap dan dipenjarakan sampai keakar-akarnya. Tidak terlepas di
desa kami. Bunda pun merasa waswas dan khawatir terdapat
22

penculikan atau pembinasaan oleh kelompok PKI terhadap keluarga
TNI. Kelompok mereka masih solid waktu itu, konon khabarnya bila
ingin membinasakan seseorang atau keluarga TNI bisa dilakukan oleh
kelompok PKI dari desa lain, atau sebaliknya untuk menghindari
sakwasangka dari saudara atau tetangga. Kebetulan waktu itu
Ayahanda sedang bertugas untuk mengamankan Ibu Kota Jakarta.
Bahkan menurut cerita Ayahda, Ia bertugas di lapangan terbang
Kemayoran. Dia memberhentikan dan melarang Subandrio Cs. untuk
kabur dari Jakarta. Sehingga gembong PKI Subandiro tersebut tidak
bisa untuk melarikan diri dari Jakarta.
Masalah politik dan hiruk pikuk G 30 S/PKI terlah berlalu.
Situasi desa pun aman dan damai. Walaupun secara ekonomi waktu
itu masih belum makmur. Kadang-kadang kami makan nasi hanya
sekali sehari dengan lauk sepotong ikan asin dan sambal terasi. Bila
tidak ada hanya cukup dengan sanggrai garam yang dicampur bawah
merah dan cabai. Makanan lainnya bulgur dari tepung jagung, atau
bekatul yang dipanggang dan diberi sedikit garam.
Keseharian penduduk pulih bekerja seperti biasanya. Tidak
terasa bulan demi bulan dan tahun ketahun dilalui dengan singkatnya.
Untuk menghilangkan kebosanan Bunda selalu ke sawah. Kami hanya
mempunyai warisan sawah seratus bata yang biasa ditanami padi
setahun dua kali. Untuk menambah penghasilan mencari nafkah,
Bunda juga sering menjadi buruh tani dengan cara nyeblok kepada
orang yang mempunyai sawah. Dengan cara menyangkul sawah,
biasanya menyuruh orang lain, nandur menanam padi, ngoyos
(membersihkan tanaman padi dari rumput) dan dibuat yaitu memetik
padi pada waktu panen datang. Adapun pembagian adalah bila
23

ceblokan dalam satu petak mendapat satu sangga atau lima geugeus,
penyeblok mendapat bagian satu geugeus. Dari hasil ceblokan Bunda
sering mendapat lima geugeus atau enam geugeus. Sore harinya saya
menjemputnya dengan membawa pikulan. Walaupun Ayahda seorang
tentara dan mempunyai gaji, tapi Bunda selalu prihatin dan berusaha
untuk mencari tambahan nafkah.
Selain bersekolah saya pun membantu pekerjaan orang tua.
Setidaktidaknya dapat meringankan beban Bunda. Bila sore sudah
datang Bunda belum pulang dari sawah, saya harus memasak nasi
dengan meliwet, lauknya seadanya yang disisakan dari pagi hari.
Kemudian menyalakan lampu tempel dan menutup jendela-jendela.
Jika hari Minggu saya ke gunung mencari kayu bakar bersama-sama
teman sebaya. Waktu itu umumnya memasak menggunakan kayu
bakar.
Suatu ketika Bunda sedang dibuat (menuai padi) di sawah
ceblokan, kemudian sore harinya saya menjemputnya, dan memikul
enam geugeus padi hasil bagian nyeblok. Rasanya berat sekali, jalan
setapak menuruni galengan sawah-sawah, terkadang menemui jalan
becek dan licin. Badanku basah kuyup oleh keringat. Sampai di rumah
mulai malam. Bunda terus memasak nasi, dan saya mengisi lampu-
lampu dengan minyak tanah. Setelah selesai tugas masing-masing
saya mandi dan beristirahat.
Waktu itu Bunda secara tiba-tiba berkata Nanti kamu harus jadi
orang, harus pintar, jangan seperti ibu-bapakmu ! ujarnya. Saya
diam saja, sambil duduk-duduk di kursi meja makan bawaan dari
Cicurug. Bunda melanjutkan pembicaraannya Ibu tidak sekolah
tinggi, tidak seperti jaman sekarang, jaman sudah merdeka. Dulu
24

masih jaman jajahan Belanda dan jajahan Jepang, jarang orang bisa
untuk bersekolah. Orang model kita paling tidak sekolah sampai kelas
tiga SR, itupun harus pergi ke kecamatan, karena di sini belum ada
sekolah, lanjutnya.
Sekolah kan perlu uang bu ! ... mana mungkin saya bisa
sekolah tinggi, untuk makan kita sekarang pun susah sekali. Saya
menimpalinya. Tapi ... kalau kamu ada kemauan tentu ada jalan!
gumam Bunda lagi. Saya berpikir dengan kata-kata Bunda itu.
Perkataan sederhana seperti itu keluar dari seorang ibu yang lugu,
namun perkataan itu mengandung makna yang dalam. Nasihat bunda
itu masih ku ingat untuk menggantung cita-cita dalam hidup di masa
depan.
Keseharian pekerjaan ku sama dengan anak-anak sebaya
lainnya. Setelah pulang sekolah kadang kala menjemput Bunda ke
sawah. Mencari rumput setelah memelihara kambing. Jika hari
Minggu pergi ke gunung mencari kayu bakar. Karena perekonomian
terjepit kadang kala berfikir bagaimana untuk mendapatkan uang.
Waktu itu memang sulit untuk mendapatkan uang, jangankan saya
masih anak seuasia SD, orang tua pun merasa kesulitan mencari uang.
Petani merasa punya uang setelah menjual hasil pertaniaannya. Itupun
jika sawahnya menghasilkan padi yang baik, tidak terkena hama.
Keinginanku untuk mendapatkan uang semakin tinggi. Tetapi karena
keterbatasan usia, tenaga, pengalaman dan lain sebagainya, yang tak
mungkin untuk dengan mudah mencari uang.
Tatkala saya menjemput Bunda ke sawah, saya melihat padi yang
terlewat dipetik orang. Kadang padi terselip dikerumunan jerami, atau
rangkaian padi yang pendek. Akhirnya saya mencari sisa-sisa padi-
25

padi di sawah setelah dipanen atau nyasag. Nyasag biasa dilakukan
oleh orang-orang penduduk kampung yang tidak mempunyai sawah.
Padi hasil nyasag kemudian dijemur, setelah kering ditumbuk menjadi
beras, lalu dijual kepedagang. Selain itu pekerjaan untuk mencari uang
adalah mencari pasir di sungai pada waktu sore hari sambil mandi.
Pasir yang sudah terkumpul banyak, kemudian ditawarkan ke orang
yang sedang membangun rumah. Biasanya pasir diangkut dengan
dipikul ke pelataran rumah yang sedang dibangun. Takarannya
biasanya menggunakan kaleng blek. Dua cara untuk mendapatkan
uang tersebut sering saya lakukan. Rasanya bahagia sekali bila
mendapat uang hasil dari kerja sendiri. Tak hanya itu bagi orang
remaja atau dewasa lapangan kerja untuk mendapatkan uang adalah
seperti buruh bangunan, buruh tani mencangkul, dan buruh tenaga
untuk mengangkut padi dari sawah.

Anda mungkin juga menyukai