Dalam dunia farmasi di Indonesia, pencampuran obat merupakan salah satu dari operasi farmasi yang paling umum. Ahli farmasi mengembangkan obat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yang bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yang sesuai untuk di konsumsi oleh masyarakat. Sudah banyak pabrik pabrik obat yang ada di Indonesia mengembangkan produk pencampuran untuk obat. Semakin hari semakin banyak jenis dan ragam penyakit yang muncul. Perkembangan obat pun terus dikembangkan. Seiring dengan perkembangan di bidang obat, bentuk sediaan dalam bidang farmasi juga semakin bervariasi. Sediaan obat tersebut antara lain sediaan padat seperti serbuk, tablet, dan kapsul. Sediaan setengah padat seperti salep, cream, pasta, suppositoria, dan gel. Serta bentuk sediaan cair yaitu suspensi, larutan, dan emulsi. Sediaan obat yang berupa padat, semi padat, maupun cair memiliki kelebihan masing masing yang diharapkan mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi konsumen. Masyarakat tentunya akan menggunakan obat yang menurut mereka praktis dan fungsinya lebih banyak. Bentuk sediaan padat seperti halnya kapsul terdiri dari cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keunggulan dari pengkonsumsian kapsul bagi konsumen adalah dapat menutupi bau dan rasa dari obat yang tidak enak. Namun, obat dengan bentuk sediaan padat lebih sukar untuk ditelan. Bentuk lain dari sediaan obat selain padat yaitu semi padat, seperti halnya salep maupun gel. Salep dan gel lebih banyak digunakan konsumen untuk mengobati penyakit dari luar. Pembuatan salep pun haruslah tak berbau menyengat. Kelemahan dari penggunaan obat berbentuk salep ini ialah mudah ditumbuhi mikroba. Bentuk sediaan yang terakhir adalah sediaan cair, seperti sirup. Pembuatan obat sirup lebih disenangi konsumen anak anak dengan variasi bermacam macam rasa dan aroma buah. Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam proses pencampuran, yaitu sifat fisik dari bahan yang akan dicampur, seperti kerapatan, viskositas, dan kemampuan bercampur. Dalam hal ini penggunan obat padat, semi padat, maupun cair memiliki kelemahan tersendiri. Misalkan pada pembuatan salep, para ahli farmasi harus bisa memformulasikan dan memproduksi sediaan secara tepat untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan. Dengan cara melakukan dan menentukan formulasi dengan benar dan memperhatikan konsentrasi serta karakteristik bahan yang digunakan dikombinasikan dengan baik dan benar. Salep yang merupakan sediaan setengah padat mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Depkes. 1979). Salep tidak boleh berbau tengik, kecuali dinyatakan lain kadar bahn obat dalam salep yang mengandung bobat keras atau obat narkotik adalah 10% (Moh. Anief. 1997). Peraturan pembuatan salep pun perlu diperhatikan. Zat zat yang larut dalam dasar salep dilarutkan bila perlu dengan pemanasan rendah. Zat-zat yang larut mudah dalam air, jika tak diberikan petunjuk lain, lebih dulu dilarutkan dalam air, asal air yang dibutuhkan untuk melarutkannya dapat diserap oleh jumlah campuran lemak yang ditentukan, banyaknya air yang dipakai dikurangkan dari jumlah campuran lemak yang telah ditentukan. Zat-zat yang sukar larut tak cukup larut dalam lemak-lemak dan air, mula-mula diserbuk dan diayak dengan ayakan B-40. Pada pembuatan salep-salep ini, zat padat dicampur dengan setengah atau bobot sama lemak, yang jika perlu telah cair atau tidak dicairkan, ditambahkan sedikit demi sedikit. Jika salep- salep dibuat dengan jalan mencairkan, maka campuran harus diaduk sampai dingin (Van Duin. 1947). Pembuatan salep pun harus memiliki kualitas dasar meliputi stabil pada suatu suhu, lunak digunakan di kulit, mudah dipakai, dan terdistribusi secara merata. Dalam rangka mengoptimalkan metode untuk mengendalikan kontaminasi mikroba obat-obatan, perlu untuk memahami sumber - sumber dan rute dari mana kontaminasi mungkin berasal. Kontaminasi mikroba dari bahan baku selalu akan ditransfer ke produk, sedangkan kontaminasi lebih lanjut mungkin diperoleh dari peralatan dan lingkungan, dari operator proses dan bahan kemasan. Zat-zat yang dapat dilarutkan dalam dasar salep, Umumnya kelarutan obat dalam minyak lemak lebih besar daripada dalam vaselin. Champora, Mentholum, Phenolum, Thymolum dan Guayacolum lebih mudah dilarutkan dengan cara digerus dalam mortir dengan minyak lemak. Bila dasar salep mengandung vaselin, maka zat-zat tersebut digerus halus dan tambahkan sebagian (+ sama banyak) Vaselin sampai homogen, baru ditambahkan sisa vaselin dan bagian dasar salep yang lain. Champora dapat dihaluskan dengan tambahan Spiritus fortior atau eter secukupnya sampai larut setelah itu ditambahkan dasar salep sedikit demi sedikit, diaduk sampai spiritus fortiornya menguap. Bila zat-zat tersebut bersama-sama dalam salep, lebih mudah dicampur dan digerus dulu biar meleleh baru ditambahkan dasar salep sedikit demi sedikit (IMO,hal 55). Untuk mengantisipasi tumbuhnya mikroba pada sediaan selalu di lengkapi dengan zat pengawet atau zat anti bakteri. Selain itu tetap menjaga stabilitas dari sediaan salah satunya dengan cara memperkecil ukuran partikel sehingga zat mudah terlarut. Zat aktif stabil pada pH tertentu, oleh karena itu diperlukan dapar untuk mempertahankan pH sediaan. Untuk kontaminasi mikroba pada alat ataupun kemasan biasanya digunakan uji sterilitas (bloomefield, 2007).