Anda di halaman 1dari 8

Laporan : Bayi Dengan Hiperbilirubinemia

LAPORAN PENDAHULUAN DAN LAPORAN KASUS


ASUHAN KEBIDANAN
PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBINEMIA
DI RUANG BAYI RSU SARI MULIA BANJARMASIN


OLEH :
PUTRI SERRY BANON
S.12.1145


AKADEMI KEBIDANAN SARI MULIA BANJARMASIN
2013






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu keadaan yang menyerupai penyakit hati yang terdapat pada bayi baru lahir adalah terjadinya
hiperbillirubinemia yang merupakan salah satu kegawatan pada bayi baru lahir karena dapat menjadi penyebab
gangguan tumbuh kembang bayi (Guyton & Hall, 2006).
Kasus ikterus ditemukan pada ruang neonatus sekitar 60% bayi aterm dan pada 80 % bayi prematur selama minggu
pertama kehidupan. Ikterus tersebut timbul akibat penimbunan pigmen bilirubin tak terkonjugasi dalam
kulit. Bilirubin tak terkonjugasi tersebut bersifat neurotoksik bagi bayi pada tingkat tertentu dan pada berbagai
keadaan (Suriadi, 2001).
Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis atau patologis. Ikterus fisiologis terdapat pada
25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan sebesar 80%. Ikterus tersebut timbul
pada hari kedua atau ketiga, tidak punya dasar patologis, kadarnya tidak membahayakan, dan tidak menyebabkan
suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis adalah ikterus yang punya dasar patologis atau kadar bilirubinnya
mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologis yang dimaksud yaitu jenis bilirubin, saat
timbul dan hilangnya ikterus, serta penyebabnya. (WHO, 1992 dalam Wicaksono, 2011).
Neonatus yang mengalami ikterus dapat mengalami komplikasi akibat gejala sisa yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya. Oleh sebab itu perlu kiranya penanganan yang intensif untuk mencegah hal-
hal yang berbahaya bagi kehidupannya dikemudian hari. Perawat sebagai pemberi perawatan sekaligus pendidik
harus dapat memberikan pelayanan yang terbaik dengan berdasar pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Pada saat saya berpraktik di RSU Sari Mulia Banjarmasin. Ditemukan satu orang bayi yang mengalami
Hiperbilirubinemia. Penyakit ini memiliki pembahasan yang cukup banyak. Untuk Lebih lanjutnya akan saya bahas
pada Tinjauan teori. Oleh karena itu, saya ingin memperdalam pengetahuan saya dengan menulis kasus tentang
Asuhan kebidanan pada Bayi dengan Hiperbilirubinemia saat saya berpraktik di Ruang Bayi RSU Sari Mulia
Banjarmasin.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dibuat rumusan masalah tentang Bagaimana melakukan Asuhan Kebidanan
pada Anak yang mengalami Hiperbilirubinemia dengan baik dan benar, sesuai dengan standar asuhan kebidanan
yang dipelajari oleh mahasiswa praktik.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi sakit dengan Hiperbilirubinemia.
2. Tujuan Khusus :
Adapun tujuan yang dapat diambil dari penyusunan laporan ini adalah agar mahasiswa mampu :
a. Melakukan pengkajian dan pengumpulan data secara subjektif dan objektif pada kasus bayi dengan
Hiperbilirubin.
b. Mahasiswa dapat menyusun rencana asuhan kebidanan berdasarkan diagnosa.
c. Mahasiswa dapat melakukan asuhan kebidanan berdasarkan rencana asuhan.
d. Mahasiswa dapat melaksanakan tindakan dan evaluasi.


D. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan dapat memberikan informasi secara objektif tentang hiperbilirubinemia pada orang tua bayi sehingga
dapat menjadi pedoman dalam memberikan penyuluhan kepada warga sekitar dan memberikan pendidikan
kesehatan untuk menurunkan angka kesakitan pada anak.
2. Bagi Institusi
Sebagai Tolak ukur penilaian terhadap kemampuan mahasiswa yang telah mendapatkan pengetahuan dan skill yang
diberikan oleh para dosen.
3. Bagi Mahasiswa
Untuk menambah wawasan dan keterampilan kepada mahasiswa dalam hal mengetahui sebab-sebab
Hiperbilirubinemia pada bayi, serta menjadi suatu kesempatan yang berharga bagi mahasiswa untuk dapat
mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama masa kuliah.



BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi,
2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl.
Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar billirubinemia mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 1997).
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler,
sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).
Adapun Ikterus pada bayi dapat dibedakan menjadi :
1. Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis,
kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kern ikterus dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau
kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki karakteristik
sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
a. Timbul pada hari kedua - ketiga.
b. Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada
kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e. Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut
Menurut (Surasmi, 2003) bila:
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai
hubungan dengan keadaan yang patologis. (Brown dalam Tarigan, 2003) menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar
bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. (Utelly dalam Tarigan, 2003)
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus,
nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat
(bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik..

B. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut :
1. Polychetemia
2. Isoimmun Hemolytic Disease
3. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid, kloramfenikol)
5. Hemolisis ekstravaskuler
6. Cephalhematoma
7. Ecchymosis
8. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi empedu (atresia biliari), infeksi, masalah
metabolik galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI.
9. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.

C. Gejala klinis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin yaitu:
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis,
atau ibu dengan diabetik atau infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke
empat dan menurun pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orange,
ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya
dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul.
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai
ketegangan otot.

D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs
rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin
{protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan
dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang
terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia,
memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan
sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya
pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim
glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama
ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila
bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah ke otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin
tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui saluran darah otak
apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan
susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah
apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi
Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu
Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis
pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia (AH Markum, 1991).

E. Pathway





F. Diagnosa dan Interverensi
1. Resiko tinggi cedera berdasarkan meningkatnya kadar bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi.
Tujuan : Klien tidak menunjukan gejala sisa neurologis dan berlanjutnya komplikasi phototerapi.
Kriteria hasil : Rencana Rational.
a. Identifikasi adanya faktor resiko :
1) Bruising
2) Sepsis
3) Delayed ord clamping
4) Ibu dengan DM
5) Rh, ABO antagonis
6) Pletora
7) SGA
b. Kaji BBL terhadap adanya hiperbilirubinemia setia 2-4 jam lima hari pertama kehidupan
Rasional: BBL sangat rentan terhadap hiperbilirubinemia.
c. Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit dari kepala, sclera dan tubuh secara progresif terhadap ikterik setiap
pergantian shift
Rasional: Mengetahui addanya hiperbilirubinemi secara dini sehingga dapat dilakukan tindakan penanganan segera.
d. Monitor kadar bilirubin dan kolaborasi bila ada peningkatan kadar
Rasional: Peningkatan kadar bilirubin yang tinggi
e. Monittor kadar Hb, Hct ata adanya penurunan
Rasional: Adanya penurunan Hb, Hct menunjukan adanya hemolitik
f. Monitor retikulosit, kolaborasi bila ada peningkatan
g. Berikan phototerapi
Rasional: phototerapi berfungsi mendekomposisikan bilirubin dengan photoisomernya. Selama phototerapi perlu
diperhatikan adanya komplikasi seperti: hipertermi, Konjungtivitis, dehidrasi.
1) Sesuai protocol untuk waktu, prosedur, dan durasi.
2) Monitor kadar bilirubin setia 6 12 jam under therapy
3) Tutup mata dengan tameng mata, hindari tekanan pada hidung
4) Ganti bantalan mata sedikitnya 2 kali sehhari
5) Inspeksi mata dengan lampu sedikit nya 8 jam sekali
6) Pertahankan terapi cairan parenteral untuk hidrasi kolabborasi medis
7) Pertahankan suhu axila 36.5 dderajat Celsius
h. Lakukan transfusi tukar kolaborasi medis
Rasional: Transfusi tukar dilakukan bila terjadi hiperbilirubinemia pathologis karena terjadinya proses hemoliitik
berlebihan yang disebabkan oleh ABO antagonis.
1) Monitor vital sign selama dan setelah transfusi tukar
2) Periksa darah yang keluar dan masuk
3) Adanya faktor resiko membimbing perawat untuk waspada terhadap kemungkinan munculnya hiperbilirubinemia.

2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berdasarkan phototerapi.
Tujuan : Klien tiidak menunjjukan tanda-tanda kekurangan volume cairan
Rencana Rasional.
a. Pertahankan intake cairan :
1) Timbang BB perhari
2) Ukur intake output
3) Berikan intake extra peroral atau per IV jika ada kehilangan BB progresif,
4) meningkatnya suhu, diare, onsentrasi urine,
b. Kaji Output:
Rasional: Output yang berlebihan atau tidak seimbang dengan intake akan menyebabkan gangguan keseimbangan
cairan.
1) Kaji jumlah, warna urine setiap 4 jam
2) Kaji Diare yang berlebihan
3) Kaji Hidrasi:
Rasional: Hidrasi yang adekuat menunjukan keseimbangna cairan tubuh baik yang ditunjukan dengan suhu tubuh
36-37 derajat Celsius dan membran mukosa mulut lembab dan fontanela datar.
4) Monitor suhu tubuh tiap 4 jam
5) Inspeksi membran mukosa dan pontanel 1. Intake cairan yang adekuat metabolisme bilirubin akan berlangsung
sempurna dan terjadii keseimbangan dengan caairan yang keluar selama photo terapi karena penguapan.

3. Kerusakan integritas kulit berdasarkan efek dari phototerapi.
Tujuan : Klien tidak menunjukan gangguan integritas kulit
a. Monitor adanya kerusakan integritas kulit
Rasional: Deteksi dini kerusakan integritas kulit
b. Bersihkan kulit bayi dari kotoran setelah BAB, BAK
Rasional: Feses dan urine yang bersifat asam dapat mengiritasi kulit
c. Pertahankan suhu lingkungan netral dan suhu axial 36.5 derajat Celsius
Rasional: Suhu yang tinggi menyebabkan kulit kering sehingga kulit mudah pecah
d. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam.
Rasional: Perubahan posisi mempertahankan sirkulasi yang adekuat dan mencegah penekanan yang berlebihan pada
satu sisi.
Berikan istirahat setelah 24 jam phototerapi

G. Komplikasi
1. Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius).
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi
otot dan tangisan yang melengking.

H. Penatalaksanan
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik
glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam
empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.

6. Fototerapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin.
Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the
blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara
memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah
Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke
pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke
Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah
penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan
berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan
mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat
Badan Lahir Rendah.

7. Transfusi Pengganti.
Transfusi Pengganti dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan foto terapi. diindikasikan adanya faktor-
faktor :
a. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
b. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
c. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
d. Tes Coombs Positif
e. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
f. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
g. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
h. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
i. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.




BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN HIPERBILIRUBIN
DI RUANG BAYI RUMAH SAKIT SARI MULIA BANJARMASIN

TIDAK BISA DIPUBLIKASIKAN


BAB IV
PEMBAHASAN



BAB V
PENUTUP




DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal atau Bayi. EGC. Jakarta
http://arsipguntur.blogspot.com/2013/04/lp-hiperbilirubin.html (19 September 2013)
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I. Fajar Inter Pratama. Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. JNP
KR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai