Anda di halaman 1dari 52

SAINS KIMIA

Volume : 9, Nomor : 1, 2005 ISSN : 1410 5152



JURNAL
(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)


Daftar Isi

1. Pembuatan Surfaktan dari Minyak Kemiri Melalui Reaksi Interesterifikasi Diikuti
Reaksi Amidasi
Daniel .................................................................................................................. 1-7

2. Peranan 2,6-Di-Tert-Butil-4-Metil Fenol Terhadap Stabilitas Panas dan Nyala
Kayu Kelapa Sawit yang Terimpregnasi Polistirena
Irfan Mustafa ...................................................................................................... 8-15

3. Peranan Anhidrida Maleat Terhadap Kompabilitas Polietilena dan Karet Alam
SIR 20 dengan Pengisi Pulp Tandan Kosong Sawit
Lely Risnawaty.................................................................................................... 16-20

4. Pemanfaatan Ekstrak Biji Buah Pinang (Areca Catechu L) Sebagai Anti Oksidan
Terhadap Minyak dan Lemak
Pina Barus ........................................................................................................... 21-24

5. Analisa Kadar Ion Cu
2+
pada Gliserol dengan Metode Spektrofotometri
Serapan Atom
Zul Alfian............................................................................................................. 25-27

6. Estimasi Kandungan Kurkumin pada Sediaan Herbal Komersial Secara
Spektrofotometri Derivatif
Irmanida Batubara............................................................................................. 28-34

7. Analisa Keefektifan Kitosan dalam Pengujian Limbah Industri Koagulasi Karet
Harry Agusnar.................................................................................................... 35-37

8. Sintesis Selulosa Kaproat Melalui Reaksi Interesterifikasi Antara Selulosa Asetat
dengan Metil Kaproat
Misdawati ............................................................................................................ 38-45

9. Pengujian Terhadap Pengikatan dan Pelepasan Sefaleksin pada Eritrosit Secara In Vitro
Matheus T Simanjuntak..................................................................................... 46-50


SAINS KIMIA

Volume : 9, Nomor : 1, 2005 ISSN : 1410 5152

JURNAL
(JOURNAL OF CHEMICAL SCIENCE)


Ucapan Terima Kasih



Kepada para mitra bestari Jurnal Sains Kimia yang telah mengevaluasi artikel-artikel Jurnal
Sains Kimia Volume 9 Nomor 1 Tahun 2005, kami mengucapkan banyak terima kasih:

1) Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D 2 artikel
(Bidang Kimia Polimer, Universitas Sumatera Utara)
2) Prof. Dr. Harlinah SPW, M.Sc 2 artikel
(Bidang Biokimia, Universitas Sumatera Utara)
3) Prof. Dr. Harlem Marpaung 2 artikel
(Bidang Kimia Sensor, Universitas Sumatera Utara)
4) Dr. Bastian Arifin, M.Sc 1 artikel
(Bidang Kimia Fisika, Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh)
5) Drs. Harry Agusnar, M.Sc, M.Phil 1 artikel
(Bidang Kimia Lingkungan, Universitas Sumatera Utara)





















Pembuatan Surfaktan dari Minyak Kemiri Melalui Reaksi Interesterifikasi Diikuti Reaksi Amidasi
(Daniel)

1
PEMBUATAN SURFAKTAN DARI MINYAK KEMIRI MELALUI
REAKSI INTERESTERIFIKASI DIIKUTI REAKSI AMIDASI



Daniel
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Mulawarman

Abstrak

Metil ester asam lemak campuran yang berasal dari minyak kemiri dibuat secara reaksi interesterifikasi
trigliserida dengan menggunakan pereaksi methanol dan katalis H
2
SO
4
dengan hasil reaksi sebesar 98-99%.
Selanjutnya metil ester asam lemak campuran diubah kedalam bentuk alkanolamida campuran melalui reaksi
amidasi. Reaksi dijalankan dengan mereaksikan metil ester asam lemak campuran dengan etanolamin pada suhu
refluks yang akan menghasilkan alkanolamida campuran sebesar 64%. Harga HLB pengamatan alkanolamida
campuran yang berasal dari minyak kemiri adalah sebesar 6,0 yang sesuai untuk digunakan sebagai bahan
pengemulsi.

Kata Kunci: Surfaktan, Metil Ester Asam Lemak, Interesterifikasi.

PENDAHULUAN

Turunan asam lemak etanolamida
banyak digunakan pada kosmetik, detergen
(bentuk bubuk maupun cairan), pelunak
pada pembuatan tekstil dan pencegah
korosif. Pembuatan senyawa alkanolamida
ini dilakukan dengan mereaksikan asam
lemak dan amina pada suhu 120
o
C
180
o
C. Sintesis senyawa etanolamida yang
telah dilakukan adalah melalui reaksi
antara asam lemak dengan etanolamina
ataupun dietanolamina dengan asam lemak
sering terjadi persaingan antara
terbentuknya amida dan ester apabila
kondisi reaksi tidak diatur dengan baik.
(Maag, 1984). Reaksi ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan pelarut
xilen seperti reaksi yang dilakukan pada
asam lemak dan dietilena triamin.
Reaksi antara monoetanolamina
dengan metil ester asam lemak untuk
membentuk alkanolamida juga telah
dikembangkan untuk pembuatan seramida
(amida asam lemak) yang banyak
digunakan dalam kosmetik dan sabun
kecantikan, dalam hal ini ternyata reaksi
amidasi lebih cepat terjadi daripada reaksi
esterifikasi apalagi jika airnya tidak
dipisahkan sehingga terjadi hidrolisis
terhadap ester karena adanya amina yang
bersifat basa (Urata dan Takaesi, 1998).
Reaksi amidasi antara asam lemak dengan
amina lebih baik dilakukan antara turunan
metil ester asam lemak dengan amina
sejauh tidak ada gugus hidroksil dari amina
tersebut karena dapat terjadi reaksi
interesterifikasi terhadap gugus ester
tersebut.
Asam oleat, linoleat dan linolenat
biasanya terdapat bersama dengan asam
lemak lain seperti asam laurat, asam
miristat, asam palmitat, asam stearat dan
asam lemak lainnya. Asam lemak tersebut
dapat diubah ke berbagai bentuk
turunannya antara lain dalam pembentukan
ester asam lemak denga poliol seperti
gliserol, sorbitol, sukrosa, manitol dan
sebagainya untuk membentuk surfaktan.
Ester asam lemak dengan poliol tersebut



Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 1-7

2
memiliki sifat surfaktan karena disamping
memiliki gugus ester juga masih memiliki
gugus hidroksil sehingga terjadi
keseimbangan antara gugus yang bersifat
lipofil dengan gugus yang bersifat hidrofil .
Minyak kemiri yang mengandung asam
lemak dengan rantai hidrokarbon panjang
yang bersifat lipofil, jika diubah ke
alkanolamida sehingga dapat bersifat
hidrofil dan lifpofil. Dengan adanya rantai
panjang hidrokarbon, akan terjadi gaya
london sehingga ester minyak kemiri yang
diubah ke bentuk alkanolamida dengan
rantai panjang hidrokarbon diduga akan
lebih bersifat lifofil dibandingkan dengan
rantai pendek. Karena makin panjang
rantai hidrokarbon, maka sifat lifofil akan
semakin bertambah. Dengan demikian
surfaktan nonionik yang dihasilkan akan
lebih menguntungkan yaitu mudah
bercampur dengan surfaktan yang lain
seperti surfaktan ionik, amfoter dan yang
bersifat biodegredable sehingga lebih
aman.
Dalam hubungan tersebut sangat
menarik untuk memanfaatkan minyak
nabati dalam hal ini minyak kemiri yang
mengandung asam oleat, linoleat dan
linolenat (asam lemak C
18
) untuk
digunakan sebagai bahan pereaksi dalam
pembuatan berbagai surfaktan, zat aditif
dan sebagainya.
Atas dasar pemikiran tersebut ingin
dilakukan penelitian tentang pembuatan
surfaktan campuran alkanolamida dari
minyak kemiri, dimana dilakukan reaksi
interesterifikasi dan selanjutnya reaksi
amidasi, dengan demikian minyak kemiri
dapat diubah menjadi surfaktan yang
memiliki gugus lifofil dan gugus hidrofil
tanpa memisahkan asam lemak yang
terdapat pada minyak kemiri itu sendiri.
Hal ini tentunya menarik untuk di kaji
apakah ada kaitan antara panjang rantai
hidrokarbon serta ikatan sebagai gugus
lifofil terhadap nilai keseimbangan
lipofilik-hidrofilik (HLB) serta kestabilan
bahan-bahan surfaktan tersebut. Nilai
HLB masing-masing alkanolamida
campuran dan alkanolamida dalam bentuk
tunggal ditentukan berdasarkan nilai
Konsentrasi Kritik Misel (KKM) yang
dapat diukur dengan tensiometer De-
Noay.
Metil ester asam lemak minyak kemiri
tersebut disintesa melalui reaksi
esterifikasi antara minyak kemiri dengan
methanol dalam pelarut benzene dan
katalis asam sulfat, yang menghasilkan
ester asam lemak campuran, hasil reaksi
98-99 %. Komposisi metil ester asam
lemak dari minyak kemiri tersebut
ditentukan berdasarkan analisa
Kromatografi GLC/FID. Kondisi GLC/FID
yang menggunakan kolom DEGS
20%/Chromosorb W, Kecepatan aliran gas
25 ml/menit, suhu kolom 100-185
o
C yang
diprogram 4
o
C/menit serta suhu injeksi
230
o
C. Berdasarkan analisa GLC/FID
tersebut diperoleh komposisi asam lemak
palmitat (7%), stearat (3%), oleat (24%),
linoleat (40%), linolenat (26%).
Pemurnian metil ester asam lemak
tersebut dapat dilakukan dengan
preparative kromatografi lapisan tipis pasa
terbalik dengan adsorbent silica gel
tersalinasi, develover kloroform-metanol-
air (7:2:1, V/V/V). Sedangkan
alkanolamida yang diperoleh dimurnikan
dengan cara yang sama, tetapi adsorben
yang digunakan silica gel tersalinasi F-254
serta developer kloroform-metanol-air-
asam asetat (70:20:5:5, V/V/V/V). Analisa
hasil reaksi dilakukan berdasarkan
prosedur analisa gravimetric dengan
pembentukan endapan dan kristalisasi.
Titik lebur alkanolamida 61
o
C. Sedangkan
analisa Kromatografi HPLC dengan
defector infra merah, kolom devosil 60-3
serta system pelarut etanol-asetonitril
(60:40, V/V).
Nilai HLB alkanolamida yang
diperoleh ditentukan berdasarkan
konsentrasi kritik missel (KKM) yang
Pembuatan Surfaktan dari Minyak Kemiri Melalui Reaksi Interesterifikasi Diikuti Reaksi Amidasi
(Daniel)

3
dapat diukur dengan menggunakan
tensiometer De-Naoy, Nilai HLB
pengamatan alkanolamida minyak kemiri
adalah sebesar 6,0.

BAHAN DAN METODA

Minyak yang digunakan dalam
penelitian ini adalah hasil buah kemiri.

Pembuatan Metil Ester
Pembuatan metil ester asam lemak
secara reaksi interesterifikasi dilakukan
dengan prosedur yang terdahulu
(Hamilton, 1990; Yamano dan Miyawake
1990; Brahmana 1991). Hanya basis
perhitungan stoikiometris dalam reaksi
interesterifikasi didasarkan pada dugaan
prosentase mana yang terbesar pada
minyak tersebut.
Kedalam labu leher tiga yang telah
dilengkapi dengan pendingin bola dan
tabung CaCl
2
serta pengaduk mekanik,
dimasukkan 80 gr sampel minyak
kemiri, 40 ml metanol dan 80 ml
benzen sambil diaduk dan didinginkan
diteteskan H
2
SO
4
2 ml secara perlahan.
Kemudian direfluks selama 5 jam.
Kelebihan metanol dan pelarut
diuapkan dengan alat rotariepavorator.
Residu yang diperoleh diekstraksi
dengan 100 ml n-heksan dan dicuci
dengan 25 ml aquades sebanyak 2 kali.
Lapisan atas diambil lalu ditambahkan
Na
2
SO
4
anhidrous lalu disaring.
Filtratnya dirotarievaporasi untuk
menguapkan n-heksan sehingga
diperoleh metil ester minyak kemiri
Campuran dan dianalisis dengan
spektrofotometer Gas Chromatografi
untuk menentukan komposisi asam
lemaknya dan dilakukan pemisahan
antara ester asam lemak jenuh dan
ester asam lemak tak jenuhnya.
Untuk sample yang digunakan
untuk analisis kromatografi gas cair
dilakukan pemurnian secara
rekromatografi pada kromatografi
lapisan tipis. Kromatografi lapisan tipis
ini menggunakan silica gel G-60 dan
developer kloroform/methanol/asam
asetat (90;10;1. V/V/V) dan difiksasi
secara cepat dengan uap Iodium tipis.
Pita kromatogram metil ester dikerok
untuk dielusi dengan kloroform-
methanol (8:2). Seluruh pita metil ester
lemak yang terjadi digabungkan
sebelum dilakukan perlakuan elusi.
Selanjutnya pelarut kloroform/
methanol diuapkan dan dilakukan
analisis secara kromatografi gas cair,
yang menggunakan 20% DEGS/
chromosorb W. suhu kolom 185
o
C dan
kecepatan aliran gas pembawa nitrogen
25 ml/menit. Suhu injeksi dan detector
230
o
C. Jenis detector yang digunakan
adalah Flame Ionization Detector
(FID).
.
Pembuatan Surfaktan Alkanolamida
dari Metil Ester Minyak Kemiri
Sebanyak 97,6 gr (0,1 mol) ester
minyak kemiri campuran dimasukkan
kedalam labu leher tiga yang
sebelumnya telah dilengkapi dengan
pendingin bola, termometer dan
pengaduk magnet, kemudian
ditambahkan 150 ml benzen kering.
Metil ester minyak kemiri dan benzen
diaduk hingga homogen. Selanjutnya
ditambahkan 100 ml etanolamin dan
katalis natrium metoksida, kemudian
direfluks selama 4-6 jam. Hasil refluks
kemudian didinginkan dan diuapkan
pelarutnya dengan rotarievaporator.
Selanjutnya dicuci dengan asam sitrat
10% untuk menghilangkan katalisnya.
Amida yang diperoleh kemudian dicuci
dengan diklorometan lalu disaring,
residu yang diperoleh dicuci dengan
petroleum eter sambil diaduk dan
dibiarkan pada suhu kamar. Hasil yang
diperoleh dikeringkan pada vakum
desikator. Hasil dianalisis dengan
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 1-7

4
spektroskopi FT-IR, dan selanjutnya
dilakukan penentuan HLB.

Penentuan Nilai HLB
Penentuan nilai HLB dari bahan
surfaktan alkanolamida yang terbentuk
dilakukan secara perhitungan teoritis. Yang
selanjutnya diuji secara pengamatan
berdasarkan harga konsentrasi kritik missel
(KKM) yang dapat diukur dengan
menggunakan Do-Naoy Tensiometer.
Secara teoritis nilai HLB dapat dihitung
berdasarkan rumus:
HLB = (harga gugus hidrofil) n (harga
gugus lofofil) + 7
HLB = 7 0,36 ln (Co/Cw) dimana
Cw=harga KKM dan Co= 100 Cw.
Selanjutnya untuk menetapkan
kestabilan bahan tersebut dilakukan
dengan metode penentuan volume
pengendapan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan metil ester asam lemak
dari minyak kemiri pemisahannya secara
kromatografi lapisan tipis akan
memberikan harga Rf mulai dari metil
Stearat (C18:0), palmitat (C16:0), Linoleat
(C18;2). Sedangkan Oleat memiliki harga
Rf sama dengan palmitat dan Linolenat Rf
nya sama dengan harga Rf linoleat.
Selanjutnya untuk mengetahui berapa hasil
pembentukan metil ester asam lemak
berdasarkan reaksi interesterifikasi
dilakukan penimbangan, dan terlebih
dahulu dilakukan pemisahan gliserol
maupun senyawa kimia lainnya dari metil
ester asam lemak yang terbentuk mengikuti
prosedur yang biasa dilakukan.
Pembentukan metil ester asam lemak
campuran dari minyak kemiri memberikan
hasil reaksi sebesar 98-99% Metil ester
tersebut ditentukan kandungan asam
lemak bebasnya yaitu berkisar antara 0,03-
0,05%. Hasil analisis spektroskopi FT-IR
memberikan puncak-puncak serapan pada
daerah bilangan gelombang 2923-2854;
1743; 1458; 1172 dan 725 cm
-1
(Gambar 1).




















Gambar 1. Spektrum FT-IR Metil ester asam lemak
campuran dari miyak kemiri

Metil ester yang diperoleh dari reaksi
antara methanol dengan minyak kemiri
menggunakan pelarut benzene dan katalis
asam sulfat dengan pemanasan pada
temperature 80
o
C selama 4-6 jam.
Spektrum FT-IR (gbr 1) menunjukkan
puncak serapan pada daerah bilangan
gelombang 2923 dan 2854 cm
-1
merupakan
serapan khas dari vibrasi stretching C-H
sp
3
yang didukung dengan vibrasi bending
C-H sp
3
pada daerah bilangan gelombang
1458 cm
-1
. Serapan pada daerah bilangan
gelombang 1743 cm
-1
adalah frekuensi
regangan gugus karbonil (C=O) dari ester
yang terbentuk dan didukung dengan
puncak vibrasi C-O-C ester pada daerah
bilangan gelombang 1172 cm
-1
. Spektrum
yang menunjukkan puncak vibrasi pada
daerah bilangan gelombang 725 cm
-1

adalah vibrasi rocking (CH
2
)
n
dari asam
lemak. Dari spectrum FT-IR metil ester di
atas maka senyawa yang terbentuk
Pembuatan Surfaktan dari Minyak Kemiri Melalui Reaksi Interesterifikasi Diikuti Reaksi Amidasi
(Daniel)

5
mengandung gugus C=O dan C-O-C yang
merupakan karakteristik dari ester dan
tidak mengandung OH.
Metil ester asam lemak campuran dari
minyak kemiri tersebut selanjutnya
dilakukan reaksi amidasi untuk
membentuk amida asam
lemak/alkanolamida. Pemurnian terhadap
alkanolamida yang terbentuk dilakukan
dengan work-up maupun destilasi secara
pengurangan tekanan terhadap sisa metil
ester asam lemak yang tidak ikut berekasi
membentuk alkanolamida. Juga dilakukan
analisa pengujian terhadap alkanolamida
yang terbentuk secara kromatografi lapisan
tipis maupun uji kualitatif secara
gravimetric melalui pembentukan endapan
dan uji titik lebur. Ternyata alkanolamida
yang diperoleh sebesar 64%. Dari hasil
analisa spektroskopi FT-IR memberikan
spectrum dengan puncak-puncak serapan
pada daerah bilangan gelombang 3301;
2923; 2859; 1643, 1558; 1465; 1060 dan
721 cm
-1
(Gambar 2). Puncak serapan pada
daerah bilangan gelombang 3301 cm
-1

menunjukkan adanya gugus OH hal ini
didukung dengan munculnya serapan pada
daerah bilangan gelombang 1060 cm
-1

menunjukkan adanya C=O dari amida.
Vibrasi CH sp
3
muncul pada daerah
bilangan gelombang 2923-2854 cm
-1
yang
didukung dengan munculnya serapan pada
daerah bilangan gelombang 1465 cm
-1

yang menunjukkan adanya vibrasi bending
C-H sp
3
. Vibrasi gugus C=O (karbonil)
muncul pada daerah bilangan gelombang
1643 cm-1 merupakan gugus khas dari
C=O amida.

























Gambar 2. Spektrum FT-IR alkanolamida
campuran dari minyak kemiri.

Untuk mengetahui komposisi asam
lemak dari alkanolamida yang terbentuk
dilakukan dilakukan analisis secara
kromatografi gas sebagai basis perhitungan
HLB teorotis.
Komposisi asam lemak dari
alknolamida palmitat (7%), sterarat (3%),
oleat (24%), linoleat (40%), linilenat
(26%). Selanjutnya Harga HLB teoritis
dari amida palmitat 6,1; amida stearat 4,6;
amida oleat 6,5; amida linoleat 6,3; dan
amida linolenat 5,9. Untuk menghitung
HLB teoritis dari masing-masing amida
asam lemak campuran diperhitungkan
kembali berdasarkan komposisi asam
lemak yang dikandungnya. Atas dasar
tersebut diperoleh HLB teoritis dari
masing-masing amida asam lemak
campuran dari minyak kemirir. Secara
teoritis sebesar 6,9 dan secara pengamatan
6,0 dengan KKM 6,39. Harga HLB
pengamatan diperoleh dari
memperhitungkan nilai KKM setara
dengan Cw, sedangkan Co = adalah sama
dengan 100 KKM. Harga KKM amida
asam lemak minyak kemiri 6,39%, maka
Cw = 6,39 dan Co = 93,61. HLB
pengamatan = 7-0,36 ln Co/Cw, maka
diperoleh untuk amida asam lemak
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 1-7

6
campuran dari minyak kemiri 6,0 yang
diidentifikasi sebagai bahan pengemulsi.
Reaksi perubahan pada tahap
esterifikasi dapat dijelaskan secara prinsip
HSAB, dimana Hard Acid mengikat Hard
Base dan Soft Acid mengikat Soft Base.
Gugus Asil (R-C
(+)
= O) biarpun
elektrifilik yang hard acid, akan tetapi
lebih lemah bila dibandingkan dengan
elektrofilik H
(+)
demikian juga nukleofilik
HSO
4
-
lebih hard base bila dibandingkan
dengan CH
3
O
(-)
.
48
50
52
54
56
58
60
62
64
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Konsentrasi (%) = CMC
T
e
g
.

P
e
r
m
u
k
a
a
n

(
d
y
n
e
/
c
m
)

Gambar 3. Harga KKM/CMC dari alkanolamida
campuran minyak kemiri

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Metil ester asam lemak campuran dari
minyak kemiri dibuat secara reaksi
esterifikasi dari trigliserida minyak.
Hasil reaksi esterifikasi metil ester
minyak kemiri sebesar 98-99 %.
2. Nilai HLB teoritis untuk alkanolamida
campuran yang diperoleh adalah
sebesar 6,9 sedangkan HLB
pengamatan sebesar 6,0 yang dapat
digunakan sebagai bahan pengemulsi.








Saran
Diharapkan untuk penelitian lanjutan
agar dapat diuji kestabilan bahan surfaktan
tersebut.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini kami ucapkan
rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada
Rektor Universitas Sumatera Utara,
Promotor dan Co Promotor saya, Kepala
Laboratorium Kimia Organik/Proses
KImia FMIPA USU atas persetujuan dan
fasilitas yang digunakan dalam membantu
kelancaran pelaksanaan penelitian ini. Tak
lupa kami ucapkan terimakasih kepada
semua asisten laboratorium kimia
organik/proses kimia FMIPA USU serta
semua pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini. Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan bagi
penulis dalam rangka penyelesaian
disertasi pada Program Pascasarjana S3
Ilmu Kimia USU pada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Balakrishnan, S.. and D. Raghavan, (2003),
Synthesis of 13(140)-Hydroxy-cis-10-
nonadecenyl Amine Hydrochloride, J. Am.
Oil. Chem. Soc., 80 (3), 503
Billenstein, S dan Blaschke, G., (1984), Industrial
Production of Fatty Amines and Their
Derivatives, J. Am. Oil. Soc., 61 (2), 354.
Brahmana, H.R., Laporan Hasil Penelitian
Mengenai Sintesa Amida Sebagai Bahan
Pemantap Lateks, Lembaga Penelitian USU,
1991.
Brahmana, H.R., A Versatile Reaction to
Synthesize Related Aldehydes From PKO for
Perfumery Via Esterification, Amination and
Selective Reduction, dalam Proc. Of 1989
Int. P.O. Dev. Conference Chemistry,
Technology and Marketing, PORIM, Kuala
Lumpur, 142 (1990)
Hamilton, R.J., Esterification and
Interesterification, dalam Proc. Of 1989
Int. P.O. Dev. Conference Chemistry,
Technologi & Marketing, PORIM, Kuala
Lumpur, 67 (1990).
Pembuatan Surfaktan dari Minyak Kemiri Melalui Reaksi Interesterifikasi Diikuti Reaksi Amidasi
(Daniel)

7
George J. Piazza., Alberto, N., and Thomas A.
Foglia., (2003), Hydrolysis of Mono- and
Diepoxyoctadecanoates by Alumina , J.
Am. Oil. Chem. Soc., 80 (9), 901.
Martin, N.A., Swarbrick, J., and Cammarata, A.,
Physical Pharmacy, LEA & FEBIGER,
Phil., 1989.
Meffert, A., Technical Uses of Fatty Acid Ester,
dalam JAOCS, 61, 225 (1994)
Maag, H., (1984), "Fatty Acid Derivatives :
Important Surfactants for Household,
Cosmetic and Industrial Purposes", J. Am.
Oil. Chem. Soc., 61 (2), 259 - 267.
Urata, K. and N. Takaishi., (1998), "Applications of
Protecting Groups in the Synthesis of
Surfactants, Lipids, and Related
Compounds", J. Sur. & Det., 1 (1) 73 - 82.
Yamane, I and Y. Miyawaki., (1990),
Manufacturing Process of Sulfo Methyl
Ester and Their Aplication to Detergen,
Proceeding of Palm Oil Development
Conference Chemistry Tecnologi and
Marketing, PORIM, Kuala Lumpur,
Malaysia, 132
Yingui, W. dan Herrington., (1997), Thermal
Reaction of Fatty Acid With Dietilen
Triamine, J. Am. Oil. Chem. Soc. 74, 21

Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 8-15

8
PERANAN 2,6, Di-TERT-BUTIL-4-METIL FENOL TERHADAP
STABILITAS PANAS DAN NYALA KAYU KELAPA SAWIT YANG
TERIMPREGNASI POLISTIRENA



Irfan Mustafa
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Syiah Kuala, 23111

Abstrak

Impregnasi polistirena bekas yang dimodifikasi dengan asam akrilat dan benzoil peroksida sebagai inisiator, ke
dalam Kayu Kelapa Sawit (KKS) walaupun telah memperbaiki sifat mekanik KKS, namun stabilitas termalnya
masih rendah. Untuk meningkatkan stabilitas termal, khususnya stabilitas panas dan ketahanan nyala KKS, maka
dilakukan pemantapan resin Polistirena dengan antioksidan 2,6, di-tert butil-4-metil fenol (BHT).
Dalam penelitian ini perbaikan sifat-sifat termal, dilakukan dengan penggunaan BHT sebagai stabiliser pada
resin pengimpregnasi. Proses pengimpregnasi dilakukan dalam impregnator dengan kondisi tekanan, suhu dan
waktu yang optimum. Kinerja dari bahan stabiliser pada resin untuk impregnasi KKS tersebut diamati
menggunakan Uji sifat mekanis, Mikroskop Elektron Payaran (SEM), Spektroskopi Infra Merah Fourier
Transform (FT-IR) dan Analisa Termal Differensial (DTA) dari specimen KKS terimpregnasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stabilitas panas dan nyala KKS terimpregnasi dengan penambahan 0,02 g
BHT (10% dari resin) meningkat 5 sampai 8 kali dibandingkan tanpa antioksidan. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan Butil Hidroksi Toluena dalam berinteraksi dengan resin dan KKS serta kemampuannya dalam
mendeaktifkan radikal makro yang terbentuk akibat adanya pengaruh termal.

Kata Kunci: Impregnasi, Stabilitas Termal, BHT, Antioksidan, Stabiliser

PENDAHULUAN

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia
menghasilkan limbah padat kayu kelapa
sawit (KKS) yang cukup banyak sementara
pemanfaatannya masih terbatas secara
ekonomis karena kualitasnya yang rendah
dan mudah rusak karena pengaruh cuaca
dan serangga (Wirjosentono, dkk,2000).
Limbah batang kelapa sawit yang
dihasilkan pada waktu peremajaan
tanaman menimbulkan pencemaran dan
masalah lingkungan lainnya, sehingga
mendorong untuk memanfaatkan limbah
kayu kelapa sawit yang banyak dijumpai di
Indonesia untuk mengganti kayu
konvensional seperti Jati, Pinus, Meranti
dan lain sebagainya.
Perkembangan perkebunan kelapa
sawit yang banyak dijumpai di indonensia
terus meningkat dengan laju peremajaan
tanaman sekitar 10% maka dapat
menghasilkan batang kelapa sawit
sebanyak 11,7 juta pohon per tahun, yang
setara dengan 5,85 juta ton kayu per tahun.
Pemanfaatan KKS untuk keperluan
pertukangan sudah dilakukan hanya pada
batang bagian bawah (sampai 4 m dari
permukaan tanah) tetapi dalam jumlah
terbatas karena kesulitan pada
pengolahannya. Karena kebutuhan kayu di
Indonesia pada tahun 2000 mencapai 80
juta m
3
sementara kemampuan pasokannya
hanya 49 juta m
3
maka kemungkinan dari
penggunaan KKS sebagai substitusi kayu
konvensional perlu diteliti. (Prayitno,1995)
Kayu kelapa sawit harus mengalami
pengolahan khusus sebelum digunakan
untuk bahan bangunan atau perabotan
karena struktur KKS tidak memiliki serat
untuk fungsi mekanis, sehingga rapuh dan
tidak stabil. Untuk menjadi bahan yang
Peranan 2,6,-Di-Tret-4-Butil-4- Metil Fenol Terhadap Stabilitas dan Panas Kayu Kelapa Sawit
(Irfan Mustafa)

9
potensial KKS dapat dimodifikasi agar
mencapai kualitas yang baik melalui proses
impregnasi. Penelitian tentang
pemanfaatan limbah padat KKS untuk
dijadikan produk yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi telah dilakukan oleh
beberapa peneliti meskipun demikian
tinjauan secara komersil masih sedikit.
Zulkarnain dkk (1999) telah melakukan
impregnasi larutan resin getah Pinus
Merkusi ke dalam KKS, tetapi teknik ini
membutuhkan pelarut organik yang banyak
dan mahal. Sukatik (2001) juga telah
melakukan impregnasi resin Polipropilena
yang dimodifikasi dengan asam akrilat,
impregnasi ini dilakukan pada suhu tinggi
sehingga dapat menyebabkan kerusakan
kayu. Demikian juga penelitian yang
melakukan impregnasi KKS menggunakan
resin Polistirena termodifikasi. Walaupun
mampu memperbaiki sifat-sifat dari kayu
kelapa sawit, namun belum adanya suatu
bahasan khusus mengenai ketahanan
termal dari kayu yang dihasilkan.
Nurfajriani (2002).
Berdasarkan penelitian-penelitian di
atas, khususnya impregnasi dengan
menggunakan Polistirena termodifikasi,
peneliti mencoba mengambil bahasan
penting mengenai stabilitas termal dari
KKS yang diimpregnasi mengunakan
antioksidan Butil Hidroksi Toluena (BHT).
Hasil yang diperoleh, diharapkan akan
dapat memperbaiki sifat termal dari KKS
yang telah diimpregnasi.

BAHAN DAN METODA

Bahan

Sampel Kayu Kelapa Sawit (KKS)
yang digunakan berumur + 25 tahun dari
jenis Dura, ketinggian 10 meter dan
diameter 35 cm. Polistirena bekas
diperoleh dari tempat pembuangan akhir
(TPA) Kodya Medan.
Bahan Kimia yang digunakan pada
penelitian ini adalah asam akrilat, benzoil
peroksida, n-heksane (P.a.E.Merck),
toluena dari Brataco Chemica. Polistirena
murni dan daur ulang, BHT (2,6 di-tert-
butil-4-metil fenol)

Alat

Pisau Pemotong, dan ImpregnatorAlat
pencetak tekan di laboratorium Kimia
Polimer FMIPA USU. Uji tarik dan
kelenturan menggunakan alat uji tarik
model MFG SC-2 DE.

Prosedur Kerja

Penyediaan Bahan Baku Kayu Kelapa
Sawit (KKS)

Sampel Kayu Kelapa Sawit (KKS) yang
digunakan diambil dari bagian luar batang,
dikeringkan dalam udara terbuka selama
30 hari. Spesimen dipotong-potong dengan
ukuran panjang sesuai dengan ASTM
(American for Testing and Material) D
1324-60.

Penyediaan Resin Pengimpregnasi

Butiran polistirena bekas tersebut
ditimbang sebanyak 20 gram dimasukkan
ke dalam gelas ukur dilarutkan dengan
toluena, dicampur selama 5 menit lalu
ditambahkan dengan 0,1 gram benzoil
peroksida dicampur lagi hingga tercampur
rata, kemudian dimasukkan 3,6 gram asam
akrilat, dan dicampur lagi sampai
homogen. Setelah campuran benar-benar
homogen, ditambahkan BHT dengan
variasi 0; 0,005; 0,01; 0,015; 0,02; 0,025;
0,03.

Pembuatan Specimen Polistirena Hasil
Modifikasi

Resin sebanyak 3 gr diletakkan diantara 2
(Dua) lempengan stainless stell ukuran 15
x 15 cm yang sebelumnya sudah dilapisi
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 8-15

10
dengan kertas aluminium foil. Lempengan
kemudian diletakkan diantara pemanas
mesin pencetak tekan pada suhu leleh dan
diberi tekanan 100 KN, dibiarkan selama 3
menit. Setelah itu lempengan dikeluarkan
dan didinginkan serta sampelnya diambil.
Selanjutnya sampel dipotong dengan
pemotong Dumbbel ASTM 638.

Impregnasi Reaktif KKS Menggunakan
Resin Pengimpregnasi

KKS yang telah dibentuk menjadi
specimen bersama dengan resin
pengimpregnasi diatur sedemikian rupa di
dalam chamber impregnator yang
bertekanan dari tiga arah. Kemudian
dipasang penutupnya pada keadaan kedap
udara, chamber diletakkan di atas pemanas
dan dijepit agar penutup tetap pada
posisinya. Selanjutnya diatur kondisi
operasi impregnasi Optimum (seperti yang
telah dilaporkan oleh Nurfajriani (2002)

Karakterisasi bahan

Uji Kekuatan tarik

Pengujian kekuatan tarik dan
kemuluran dilakukan dengan alat uji terik
terhadap tiap spesimen dengan ketebalan 1
mm dan ukuran spesimen berdasarkan
ASTM D 638. Data pengukuran tegangan
regangan diubah menjadi kuat tarik (),
dan kemuluiran ().

Uji stabilitas termal

Pengujian ini didasarkan pada waktu
getas bahan dan untuk pengujian nyala
ditetapkan dalam ASTM-D635-1974.

Karakterisasi lanjutan

Dilakukan dengan analisa SEM, FT-IR
dan DTA.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi Awal Kayu Kelapa Sawit
(KKS)

Sampel diambil pada ketinggian 10
meter dari bagian permukaan tanah dan
bagian luar batang (periperal), kemudian
dibentuk menjadi specimen, dikeringkan
dalam udara terbuka, selanjutnya KKS
dipotong-potong ASTM (American for
Testing and Material) D 1324-60 Spesimen
kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu 40
o
C sampai diperoleh berat yang
konstan (meer dan Menzies,1997). Kayu
kelapa sawit hanya dikatagorikan pada
kelas IV, sedangkan data MoR dan MoE
KKS kering belum dapat diklarifikasikan
kedalam mutu kayu kelas manapun
menurut Standar Nasional Indonesia (SNI
03 3527-1994)

Modifikasi Resin Pengimpregnasi

Pemodifikasian resin Polistirena
dilakukan dengan menambahkan bahan
pemodifikasi asam akrilat yang berfungsi
sebagai jembatan penghubung (coupling
agent) antara polistirena dengan KKS dan
Benzoil Peroksida sebagai inisiator ter-
utama dalam Pembentukan radikal bebas.
Penambahan asam akrilat ini menyebabkan
rantai polistirena memiliki gugus polar
sehingga diharapkan dapat berinteraksi
dengan senyawa yang bersifat polar.
Penambahan asam akrilat juga meningkat-
kan sifat mekanis resin, sehingga terjadi
peningkatan kompatibilitas kayu terim-
pregnasi. Pemantapan sifat resin yang
termodifikasi dan kayu yang diimpregnasi,
yaitu dengan menambahkan bahan antiok-
sidan. Data Uji tarik dan Uji getas getas
menunjukkan terjadinya peningkatan sete-
lah ditambahkan antioksidan. Peningkatan
ini disebabkan oleh interaksi dari gugus
asam akrilat (cangkokan) dengan gugus
OH dari Butil hidroksi Toluena yang
ditambahkan.
Peranan 2,6,-Di-Tret-4-Butil-4- Metil Fenol Terhadap Stabilitas dan Panas Kayu Kelapa Sawit
(Irfan Mustafa)

11
Tabel 1. Data pengukuran sifat mekanis resin PS bekas modifikasi

Komposisi Resin (gr) / 100 ml Toluena No
PS As.Akr. BPO BHT
KekuatanTarik
/ Kgf/mm
2

Kemuluran
(%)
Waktu
Getas
(menit)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
20
20
20
20
20
20
20
20

-
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
3,6
-
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
0,1
-
-
0,005
0,01
0,015
0,02
0,025
0,03
0,35
0,51
0,68
0,7
0,74
0,82
0,79
0,62
2,38
0,56
1,19
2,3
3,1
3,6
2,38
2,17
50
40
180
210
270
330
300
300



Impregnasi resin Polistirena termodifi-
kasi ke dalam KKS

Kayu Kelapa Sawit yang telah
berbentuk spesimen dengan ukuran
tertentu, diimpregnasi reaktif dengan resin
Polistirena yang sudah dimodifikasi
dengan asam akrilat dan BHT, berdasarkan
kondisi optimum, Kayu Kelapa Sawit yang
telah dimpregnasikan, kemudian dilakukan
beberapa uji mekanis dan pengukuran
harga MoE dan MoR. Tabel 2.
menunjukkan penggunaan antioksidan
Butil Hidroksi Toluena berpengaruh
kepada sifat-sifat mekanik KKS yang
diimpregnasi. Hal ini disebabkan adanya
gugus polar pada BHT yang mampu
mengadakan interaksi dengan resin,
sekaligus dengan gugus OH (selulosa).
Hasil terbaik yang didapatkan adalah pada
penambahan antioksidan sebanyak 0,02 gr,
yaitu harga MoR adalah 617,12 Kg/cm
2

dan MoE sebesar 41,13 Kg/cm
2
.
Menurut data Standar Nasional
Indonesia (SNI, 1994), jika ditinjau dari
rapat massa, maka KKS hasil impregnasi
mengalami peningkatan dari kelas IV
(sebelum impregnasi) ke kelas III (setelah
impregnasi). Sedangkan Modulus
elastisitasnya KKS hasil impregnasi
dikatagorikan pada kelas III dan dari harga
MoE nya berada pada kelas IV.

Tabel 2. Data pengamatan Uji lentur

Specimen BHT
(gr)
MoR
(Kg/cm
2
)
MoE
(Kg/cm
2
)
M.jenis
(g/cm
3
)
Keterangan
KKS Kering - 119,8 12.372 0,36 Mampu nyala
KKS + resin - 507,41 34.102 0,62 Habis terbakar sendiri
KKS + resin + BHT 0,015
0,02
0,025
604,57
617,12
611,54
39,61
41,13
40.41
0,61
0,64
0.62
Tak mampu nyala
Harga b = 2, d = 1, I = 12 dan y = 0,3

Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 8-15

12
Sehingga dari hasil ini dapat disimpulkan,
bahwa penggunaan antioksidan, dapat juga
menaikkan harga MoE dan MoR kayu
impregnasi, walaupun tidak terlalu
signifikan.

Analisis Mikroskop Elektron Payaran
(SEM)

Analisa mikroskop payaran (SEM)
digunakan untuk melihat permukaan
penampang melintang dan membujur specimen
secara mikroskopis, sehingga topografi,
tonjolan, lekukan dan pori-pori pada
permukaan dapat terlihat.











Gambar 1. Foto SEM KKS sebelum diimpregnasi

Pada Gambar menunjukkan KKS memiliki
banyak pori atau rongga-rongga dan
mempunyai banyak serat ( fibril ) serta
Vasculer bundle (bagian terang) yang
mengelilingi parenkim (bagian yang gelap).





Gambar 2. Foto SEM Kayu Kelapa Sawit hasil
impregnasi
Gambar bagian permukaan dari KKS
yang telah diimpregnasikan, terlihat pori-
pori dari KKS sebagian besar telah terisi
oleh resin. Rongga-rongga KKS telah
tertutupi dan distribusi resin
pengimpregnasi merata, sehingga
permukaannya lebih rata. Resin
pengimpregnasi juga dapat memasuki
bagian dalam KKS, namun hanya sebagian
dari rongga kayu pori-pori yang terisi oleh
resin tersebut. sehingga dapat dikatakan
bahwa proses impregnasi telah terjadi dan
menyebabkan kenaikan sifat mekanik KKS
hasil impregnasi akibat pori-pori KKS
telah terisi oleh resin.

Analisis FT-IR

Analisis FT-IR Resin ( PS bekas dan PS
modifikasi )

Spektroskopi FT-IR membantu
memberikan informasi tentang perubahan
gugus fungsi dan adanya interaksi secara
kimia.
Data spektrum FT-IR menunjukkan
serapan yang khas untuk resin polistirena
yaitu 3026,1; 2850,6;1600,8; 1492,8;
1452,3; 1373,2 cm
-1
dan gugus asam
akrilat ( C= O) yaitu disekitar 1724,2 cm
-1
.
Dengan adanya penambahan antioksidan
Butil Hidroksil Toluena ke dalam resin,
ternyata spektrum FT-IR menunjukkan
adanya gugus baru di serapan 3440,8 cm
-1

yang diperkuat dengan 1164,9 cm
-1
adalah
merupakan gugus OH dari fenol atau Ar C-
OH. Kemudian adanya serapan di 1870
1725 cm
-1
semakin mempertajam interaksi
dari gugus C=O dengan munculnya dua
puncak. Data lainnya yang mendukung
adalah serapan 30803030 cm
-1
sebagai
bentukan dari Ar C-H.




Peranan 2,6,-Di-Tret-4-Butil-4- Metil Fenol Terhadap Stabilitas dan Panas Kayu Kelapa Sawit
(Irfan Mustafa)

13
Tabel 3. Data FT-IR Resin Polistirena modifikasi (BHT)
Bil. Gel. (cm
-1
) pergeseran Gugus fungsi Keterangan
s3028 dan 2850,6
1625-1575
1492,8 - 1450,4
1300-1100
840
800-700
3026 dan 2850,6
1600,8
1492,8 - 1452,3
1373,2
CH (Aromatik)
Ar C-C
Uluran CH
2
-
(CH
2
)n
Polistirena
1728,1 1728,1 C=O As.akrilat
3440,8
1164,9
O-H
Ar C-OH

BHT

Dari data diatas, menunjukkan telah
terjadinya interaksi antara resin dan
antioksidan yang ditambahkan, karena gugus
fenol yang dipunyai oleh BHT dapat terikat
dengan resin polistirena termodifikasi.

Analisis FT-IR KKS awal dan KKS
hasil Impregnasi

Spektroskopi FT-IR ini dilakukan
untuk mengetahui informasi tentang
perubahan gugus fungsi dan interaksi yang
terjadi antara resin dengan selulosa KKS, dan
untuk mengetahui adanya gugus karbonil serta
serapan khas matriks dari resin polistirena.
Analisa ini juga sangat penting dalam
menginformasikan seberapa jauh resin dapat
masuk ke dalam KKS.
Data FT-IR dari KKS awal, menunjukkan
beberapa gugus penting dari rangkaian kayu
kelapa sawit, dimana kandungannya adalah
selulosa. Hal ini dapat dilihat pada bilangan
gelombang dan gugus fungsinya. Sedangkan
spektrum KKS yang telah diimpregnasi,
menginformasikan tentang keberadaan gugus
dasar KKS dan gugus resin yang
diimpregnasikan serta interaksi keduanya.
Adanya serapan pada 1/ 3429,2 cm
-1
yang
merupakan gugus hidroksil (-OH) selulosa
KKS dan diperkuat dengan serapan 1029,9 dan
1242,1 cm
-1
. Serapan pada daerah 1600,8 cm
-1

merupakan gugus C-C selulosa serta serapan di
1242,1 cm
-1
menunjukkan keberadaan C-O-C
dalam selulosa. Sedangkan untuk bilangan
gelombang 2920,0 cm
-1
merupakan khas dari
C-H yang diperkuat dengan serapan 1373,2
cm
-1.

Tabel 4. Data FT-IR KKS hasil impregnasi (BHT )
Bil. Gel. (cm
-1
) Pergeseran Gugus fungsi Keterangan
3429,2 dan 1029,9
2920,0
1600,8
1373,2
1242,1
3429,2 dan 1029,9
2920,0
1600,8
1373,2
1242,1
OH
CH
C-C
CH
3
, CH
2

C-O-C (sel)
Kayu Kelapa Sawit
3024,2 dan 2850,6
1600,8
1492,8 - 1450,4
1728
3024,2 dan 2850,6
1600,8
1492,8 - 1450,4
1728
CH (Aromatik)
Ar C-C
Uluran CH
2
-
C = O
Resin Polistirena
termodifikasi
3427,3
1164,9
OH
Ar C-OH

BHT
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 8-15

14
Data di atas menunjukkan adanya
pergeseran serapan pada daerah 3421,5
menjadi 3429,2 cm
-1
setelah KKS
diimpregnasi. Hal ini dimungkinkan dengan
adanya ikatan hidrogen antar molekul yang
bertambah akibat interaksi gugus hidroksil dari
resin termodifikasi dengan gugus OH dalam
selulosa KKS. Pergeseran lainnya adalah pada
3058,9 menjadi 2920 cm
-1
yaitu gugus C-H
selulosa.
Demikian juga gugus fungsi dari resin
yaitu, dengan adanya serapan pada daerah
3024 dan 2850,6 cm
-1
adalah khas dari
Polistirena yang diperkuat pada serapan
1492,8-1450,4 cm
-1
dan adanya serapan C=O
pada daerah 1728 cm
-1
. serta serapan pada
1600,8 cm
-1
yang memperkuat keberadaan
resin didalam KKS yang diimpregnasi.
Spektrum FT-IR dari KKS yang
diimpregnasikan resin dengan penambahan
antioksidan ternyata menunjukkan hasil yang
sedikit berbeda. Perbedaan yang sangat
signifikan adalah dengan munculnya gugus
fenol (senyawa BHT) pada bilangan
gelombang 1166,9 cm
-1
. Perbedaan lainnya
adalah serapan pada 987,5 yang merupakan
bentukan dari benzena tersubstitusi. Sedangkan
serapan pada bilangan gelombang yang lainnya
hanyalah merupakan pergeseran yang terjadi
akibat adanya interaksi antar molekul seperti
3421,5 menjadi 3427,3 cm
-1
dengan
munculnya beberapa puncak yang mewakili
gugus OH. Hal ini dimungkinkan dengan
adanya ikatan hidrogen antar molekul yang
bertambah akibat interaksi gugus hidroksil dari
resin termodifikasi dengan gugus OH dalam
selulosa KKS.

Analisis Termal (DTA)

DTA adalah merupakan salah satu metode
untuk menetukan perubahan termal suatu
bahan sebagai fungsi temperatur. Hasil analisis
termal untuk resin Polistirena modifikasi, dapat
diketahui mempunyai suhu leleh 120

140
o
C
sedangkan Polistirena modifikasi dengan
penambahan BHT, ternyata mengalami
peningkatan sampai range suhu 150190
o
C
DTA untuk KKS sebelum di impregnasi
terlihat bahwa reaksi cenderung melepaskan
kalor (reaksi eksoterm), ini terjadi karena KKS
bersifat hidrofil dan banyak mempunyai
susunan gugus OH selulosa yang mudah
terurai menjadi lebih sederhana. Dari kurva
terlihat bahwa KKS sebelum impregnasi,
terdekomposisi seluruhnya pada suhu 390
o
C.
Penyusun KKS seperti lignin dan hemiselulosa
meleleh di 110-150
o
C sedangkan pada suhu
210 230 merupakan lelehan selulosa yang
berakhir di sekitar 260-280
o
C. Semakin besar
temperatur tersebut, menunjukkan bahwa
selulosa penyusun KKS adalah selulosa yang
berupa kristalin.
Sedangkan data DTA untuk KKS setelah
impregnasi resin modifikasi tanpa antioksidan
mengalami banyak perubahan reaksi baik
secara eksoterm atau endotermis, karena
pengaruh dari resin yang telah memasukinya.
Dari data diperoleh adanya puncak pelelehan
pada suhu 110, 120, 150 dan 160
o
C yang
bersifat eksotermis dari resin dan mengalami
masa transisi dengan reaksi endotermis untuk
temperatur glass yang dimulai dari range
225
o
C335
o
C dengan puncak eksotermis pada
305
o
C. Reaksi ini berakhir dengan proses
dekomposisi dari komponen yang terjadi pada
temperatur 410435
o
C.
Kayu Kelapa Sawit yang diimpregnasi
resin modifikasi dengan penggunaan
antioksidan, memperlihatkan adanya
perbedaan dan kenaikan temperatur pada
tingkat tertentu. Data yang didapatkan terlihat
adanya kenaikan untuk fase leleh resin dari
110-120 menjadi 135
o
C dan berakhir di sekitar
190
o
C. Sedangkan temperatur transisi
mengalami kenaikan dari suhu sebelumnya
menjadi 230-360 dengan puncak tertinggi pada
320
o
C bersifat eksotermis dan berakhir untuk
proses dekomposisi pada suhu 425-450
o
C.
Dari data-data tersebut, ternyata dengan
penggunaan metode impergnasi akan
memberikan sejumlah pengaruh termal
terhadap KKS, karena pengaruh masuknya
resin dapat meningkatkan soliditas
specimen sehingga lebih sukar
terdekomposisi. Demikain juga
penggunaan antioksidan akan dapat
meningkatkan stabilitas termal KKS,
sehingga memperjelas peranan dari Butil
Hidroksi Toluena dalam mengatasi
pengaruh termal yang diberikan terhadap
Kayu Kelapa Sawit yang terimpregnasi.
Peranan 2,6,-Di-Tret-4-Butil-4- Metil Fenol Terhadap Stabilitas dan Panas Kayu Kelapa Sawit
(Irfan Mustafa)

15
KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian ini dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. KKS dapat diimpregnasikan dengan resin
polistirena termodifikasi asam akrilat dan
Butil Hidroksi Toluena, serta dapat
meningkatkan mutu KKS sehingga dapat
digunakan untuk kayu pertukangan dengan
interaksi fisik-kimia antara polistirena
dengan selulosa KKS.
2. Penggunaan 2,6 di-tert-butil-4-metil fenol
sebanyak 10 %, ternyata mampu
meningkattkan stabilitas termal KKS yang
diimpregnasi pada tekanan 1 kg/cm
2
,
waktu 9 jam dan konsentrasi resin 20
%(b/v).
3. KKS setelah dimpregnasi dengan resin
polistirena termodifikasi, kualitasnya
meningkat. Harga MoR dan MoE KKS
awal (119,8 dan 12.372,51) kg/cm
2
setelah
diimpregnasi menjadi (617,12 dan 41,13)
kg/cm
2
. Menurut SNI tentang mutu kayu
dari harga MoR-nya KKS terimpregnasi
dikatagorikan pada kelas III dan dari harga
MoE-nya berada pada kelas IV.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Prof.Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D,
Dr.Purboyo Guritno, MSc, Drs.Thamrin, MSc
dan bapak Drs. Harry Agusnar, MSc, M.Phil
atas bimbingan selama melakukan penelitian
dan penulisan. Juga terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuannya.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmatNya
dan memberikan balasan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew S, (2002),Ordered Nanoporous Polymers
from Polystyrene-Polylactide Block
Copolymers, Journal AM.Chem.Soc.
Vol.124.
Al-Malaika, S, (1997),Reaktive Modifiers For
Polymers, Blanckie Academic and
professional, London.
Al-Malaika, S. and G. Scot, (1983), Degradasi and
Stabilisation of Polyoleofins, App. Sci.Publ,
Ltd. London
Billmeyer,W.F, (1984),Textbook of Polymer
Science, 3ed, Johm Wiley and Sons, New
York.
Cowd,.(1991),Kimia Polimer, ITB Bandung.
Darwin. Y dan Thamrin, (2001), Pembuatan kayu
termoplastis dari batang Kayu Kelapa
Sawit, FMIPA USU.
Dodd, J.W, (1987),Termal Method : Analitical
Chemistry by Open Learning, John Wilwy
and sons, New York.
Dodong,A,(1996),Sistem Pengeringan Kayu,
Kanisius, Yogyakarta.
Dumanauw, J.F, (1993),Mengenal Kayu,
Kanisius, Yogyakarta.
Fengel,D.G. Wegener, (1996),Kayu,Kimia dan
Ultra Struktur, Gajah mada University
Press, Yogyakarta.
Fernanda, (1997), Modification of Wood with
Coupling Agent J.of.Apl.Polymer Science,
1227-1235.
Gerald scott,Norman G,(1985),Polymer
Degradation dan Stabilisation, Melbourne
Sydney.
Kirk-Orthmer, (1987),Encyclopedia of Oil Palm
solid Waste Based Industries in
Indonesia,Proceedings of The Third
National Seminar, Malaysia.
Lubis,A., Guritno, P dan Darnoko, (1994),
Prospek Industri dengan bahan baku
Limbah padat Kelapa Sawit di Indonesia,
Berita PPKS, 2, 203-208.
Norman,G dan Gerald,S,(1985),Polymer
Degradation dan Stabilisation, Cambridge
University Press.
Prayitno, T.A dan Darnoko, (1994), Karakterisasi
papan Partikel dari pohon Kelapa Sawit,
Berita PPKS, 12, 65-71.
Rabek, F.J., (1980), Experimental Methods in
Polymer Chemistry,JohnWiley and
Sons,New York.
Sastrohamijoyo,H,(1995),Kimia
Kayu,Gajahmada University Press,
Yogyakarta.
Seymour,R.B.,(1984), Polymer Composites,
Utrecht, Nederland
Sukatik, (2001), Impregnasi Kayu Kelapa Sawit
dengan Polipropilena bekas yang
dimodifikasi dengan asam akrilat, Thesis
Kimia PPs-USU, Medan
Surdia, T. and S. Saito, (1995), Pengetahuan
Bahan Teknik,Pradanya Paramita, Jakarta.
Wirjosentono, B., A.N.Sitompul, Sumarno, T.A.
Siregar dan S.B. Lubis, (1995), Analisis dan
Karakterisasi Polimer, USU Press, Medan.
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 16-20

16
PERANAN ANHIDRIDA MALEAT TERHADAP KOMPATIBILITAS
POLIETILENA DAN KARET ALAM SIR 20 DENGAN PENGISI PULP
TANDAN KOSONG SAWIT




Lely Risnawaty Daulay
Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri Medan

Abstrak

Kompatibiitas antara bahan pengisi pulp tandan kosong sawit didalam matriks polietilena dan karet alam SIR 20
adalah sangat rendah. Untuk itu diselidiki pengaruh anhidrida maleat terhadap kompatibilitas dalam matriks
pelietilena dan karet alam SIR 20 yang dibandingkan dengan tampa penambahan anhidrida maleat dengan
menggunakan labu plastomil. Dilaporkan bahwa terlihat perubahan yang nyata dari kompatibilitas bahan pengisi
dalam matriks polietilena dan karet alam SIR 20 dengan adanya penambahan anhidrida maleat.Pada uji mekanis
terjadi peningkatan kuat tarik dan karakterisasi dari DTA terjadi interaksi yang positif antara pengisi dan matriks
polietilena dan karet alam SIR 20. Dalam foto SEM terlihat bahwa pengisi pulp tandan kosong sawit menyebar
secara merata dibandingkan dengan tampa anhidrida maleat. Hasil spektoskopi infra merah menunjukkan
anhidrida maleat berikatan dengan matriks polietilena dan karet alam SIR 20 dan bahan pengisi pulp tandan
kosong sawit.

Kata kunci: polietilena, karet alam, pulp, anhidrida maleat, kompatibilitas

PENDAHULUAN

Limbah padat tandan kosong sawit
yang berasal dari perkebunan kelapa sawit
merupakan sumber karbohidrat dan
lignoselulosa tersedia melimpah ruah di
Indonesia sampai saat ini belum
dimamfaatkan secara optimal Dengan
kandungan selulosa yang cukup tinggi ,
tandan kosong sawit dapat digunakan
sebagai bahan baku pulp.Dalam hal lain ,
pulp tandan kosong sawit telah digunakan
sebagai pengisi matriks polimer karena
harganya murah dan tersedia dalam jumlah
banyak, Wirjosentono menggunakan
serbuk tandan kosong sawit sebagai
pengisi matriks poliolefin untuk digunakan
sebagai film kemasan, tetapi dapat
terdegradasi oleh pengaruh mikroba dan
cuaca.
Polietilena adalah salah satu polimer
terbesar penggunaan. dan produksinya
pada pasca pemakaian sukar terdegradasi
dalam alam sehingga menimbulkan
masalah pencemaran. Pencampuran
polietilena dengan pulp tandan kosong
sawit cenderung untuk tidak berlangsung
secara homogen dan mempunyai
kompatibilitas yang rendah karena
mempunyai sifat kepolaran yangberbeda.
Dalam penelitian ini dilakukan
pencampuran antara polietilena dan karet
alam SIR 20 dengan pengisi pulp tandan
kosong sawit. Penambahan anhidra maleat
diselidiki untuk mengetahui adanya
peningkatan kompatibilitas antara matriks
polimer dengan bahan pengisi. Anhidra
maleat berfungsi sebagai penguat sehingga
dapat meningkatkan interaksi antara bahan
pengisi dan matriks polimer.
Untuk mengetahui adanya peningkatan
kompatibilitas dengan penambahan
anhidrida maleat dapat diselidiki melalui
uji tarik dan permukaan campuran polimer.
Teknik mikroskopi elektro payaran (SEM)
dan pengujian sifat mekanis seperti yang
Peranan Anhidrida Maleat Terhadap Kompabilitas Polietilena dan Karet Alam SIR 20
(Lely Risnawaty Daulay)

17
telah diselidiki Zaini et al,.Untuk
melengkapi informasi antara pengisi dan
matriks polimer interaksi yang terjadi
antara polietilena/karet alam SIR20 dan
pulp tandan kosong sawit serta anhidrida
maleat juga diselidiki dengan cara yang
telah dilaporkan oleh Yeh Wang yaitu
dengan menggunakan FTIR dan
pengukuran sifat termal.

BAHAN DAN METODA

Bahan

Bahan yang dipakai untuk penelitian
ini adalah polietilena (PE) komersil dari
Philips, karet alam SIR 20 dari Balai
Pengujian & Sertifikasi Mutu Barang
Medan, pulp tandan kosong sawit (PTKS)
dari Balai Selulosa Bandung dihaluskan
sampai ukuran 53 m dan anhidrida
maleat.

Metoda

Polietilena, karet alam SIR 20 dengan
pulp TKS ynag sudah halus, benzoil
peroksida dan anhidrida maleat dicampur.
Pencampuran dilakukan dengan
menggunakan labu plastomil computer
pada temperatur 135
0
C, kecepatan putar
60 rpm selama 10 menit. Variasi komposisi
pencampuran seperti pada Tabel 1. Hasil
pencampuran dicetak tekan menjadi
specimen pada suhu 135
0
C selama menit
dengan tebal 0,2 mm. Specimen uji
mekanis dibentuk menurut ASTM 638-72
Type IV selanjutnya dikarakterisasi dengan
mikroskopi elektro payaran (SEM),
Spektroskop infra merah FTIR dan
dynamic thermal analysis (DTA). Uji kuat
tarik dan kemuluran dari specimen
dilakukan dengan alat uji tarik Autograph
(AGS 500) Shimadzu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Mekanik
Campuran polietilena, karet alam SIR
20 dan pengisi pulp tandan kosong sawit
dengan penambahan anhidrida maleat lebih
kompatibel daripada tampa anhidrida
maleat..Kekuatan tarik (MPa) dan
kemuluran (mm) dari specimen campuran
terlihat pada Tabel 2. Terlihat perbedaan
yang nyata dari pengaruh penambahan
anhidrida maleat dan tampa anhidrida
maleat terhadap kekuatan tarik dari
campuran polimer. Ini berarti adanya
penambahan anhidrida maleat akan
meningkatkan kuat tarik dan juga
kemuluran. Ini disebabkan anhidrida
maleat yang bersifat polar mengikat gugus
non polar pada polietilena dan karet alam
SIR 20 dengan gugus polar pulp tandan
kosong sawit.

Tabel 1. Komposisi campuran polimer dalam labu plastomil
Polietilena
Karet alam SIR 20
PTKS
Benzoil peroksida Anhidrida maleat
42 28 30 2 -
42 28 30 2 3

Tabel 2. Kekuatan tarik (MPa) dan kemuluran (mm) dari campuran polietilena, karet alam SIR 20 dan pulp TKS
dengan anhidrida maleat dan tanpa anhidrida maleat

Komposisi (%)
PE Karet Alam
SIR 20
Pulp TKS BPO AM
Kuat tarik Kemuluran
42 28 30 - - 2,79 26,02
42 28 30 0,25 - 2,82 30,92
42 28 30 0,25 3,0 4,38 63,52
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 16-20

18
Morphologi
Morphologi permukaan untuk
campuran polimer yang ditambah dengan
anhidrida maleat dan tampa anhidrida
maleat didasarkan pada SEM terlihat pada
Gambar 1a-1b. Permukaan antara matriks
polietilena, karet alam SIR 20 dan pengisi
pulp TKS tampa penambahan anhidrida
maleat menunjukkan adhesi yang lemah.
Pada permukaan specimen terlihat pengisi
selulosa tidak menyebar secara merata
dibandingkan dengan penambahan
anhidrida maleat yang terdistribusi secara
merata. Penambahan anhidrida maleat
telah mengubah permukaan polimer
sehingga matrik menjadi kompatibel
karena adanya interaksi antara polietilena,
karet alam SIR 20 dengan pulp tandan
kosong sawit.
Pengukuran termal diffrensial (DTA)
Hasil dari pengukuran termal
diffrensial (DTA) terlihat pada Gambar 2a-
2b. Puncak (Tg) dari polietilena, karet
alam SIR 20 dan pulp tandan kosog sawit
pada suhu 149,05
0
C dan puncak (Tg) dari
polietilena, karet alam SIR 20, pulp tandan
kosong sawit dan anhidrida maleat pada
suhu 133,28
0
C. Adanya perubahan puncak
(Tg) disebabkan adanya anhidrida maleat
sehingga terjadi interaksi yang kuat antara
pengisi pulp tandan kosong sawit dan
matriks polimer. Jadi kompatibilitas
polietilena, karet alam SIR 20, pulp tandan
kosong sawit dengan adanya anhidrida
maleat lebih baik dibandingkan tanpa ada
anhidrida maleat.














(1a) (1b)

Gambar 1a dan 1b. Fota SEM campuran polietilena, karet alam SIR 20 dan pulp TKS dengan
anhidrida maleat dan tampa anhidrida maleat











Gambar 2 a. Pengukuran termal diffrensial (DTA) campuran polietilena, karet alam SIR 20 dan pulp TKS
dengan anhidrida maleat
Peranan Anhidrida Maleat Terhadap Kompabilitas Polietilena dan Karet Alam SIR 20
(Lely Risnawaty Daulay)

19











Gambar 2 b. Pengukuran termal diffrensial (DTA) campuran polietilena, karet alam SIR 20, dan pulp TKS tanpa
anhidrida maleat

Spektroskopi inframerah
Spektroskopi inframerah yang
dihasilkan dari sampel film polietioenadan
karet alam SIR 20 dengan pengisi pulp
tandan kosong sawit dengan adanya
anhidrida maleat dan tampa anhidrida
maleat terlihat pada Gambar 3a 3b.
Absorbsi dengan panjang gelombang 3052
cm dan 3886 cm untuk pulp tandan kosong
sawit adalah karakterisasi dari ikatan
hidrogen atau sterching vibrasi untuk OH.
Absorbsi untuk panjang gelombang 2339-
2923 cm untuk streching CH. Puncak 1701
karakterisasi untuk C=O dari anhidrida
maleat. Munculnya pita serapan 1029
adanya gugus C-O-C menunjukkan adanya
indikasi telah terjadi interaksi antara
polietilena dan karet alam SIR 20 dengan
pulp tandan kosong sawit dan anhidrida
maleat alam SIR 20 dan pulp TKS dengan
anhidrida maleat










Gambar 3 a. Spektra inframerah campuran polietilena, karet alam SIR 20 dan pulp TKS dengan anhidrida
maleat











Gambar 3 b. Spektra inframerah campuran polietilena, karet alam SIR 20 dan pulp TKS tanpa anhidrida maleat


Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 16-20

20
KESIMPULAN DAN SARAN
Peranan anhidrida maleat terhadap
kompatibilitas polietilena dan karet alam SIR
20 dengan pengisi pulp tandan kosong sawit
dalam labu plastomil telah diselidiki.
Campuran polietilena dan karet alam alam SIR
20 dengan pulp TKS dengan penambahan
anhidrida maleat mempunyai kompatibilitas
yang lebih tinggi bila dibandingkan tampa
anhidrida maleat. Ini dapat dilihat dari
penyelidikan sifat mekanis campuran
polietilena dan karet alam SIR 20 dengan
penambahan anhidrida maleat mempunyai
kekuatan tarik yang lebih tinggi aripada tampa
adanya anhidrida maleat.
Penyelidikan SEM dan DTA terjadi
interaksi yang positif melalui polietilena dan
karet alam SIR 20 dengan pengisi pulp tandan
kosong sawit dengan adanya anhidrida maleat.
Analisis spektroskopi FT inframerah
menunjukkan bahwa anhidrida maleat
berikatan dengan polietilena dan karet alam
SIR 20 dengan pulp tandan kosong sawit.

DAFTAR PUSTAKA

Darnoko, Guritno, P. Sugiharto. A., and., Sugesty,
S, (1996), Pulping of Oil Palm Empty Fruit
Bunches with Surfactant, in : Proc, Oil Pal
Trunk and Palmwood
Wirjosentono, (1999), Pembuatan Poliblen Mampu
Terdgradasi Menggunakan Teknik
Pengolahan Reaktif Polyolefin dan Serat
Limbah Kelapa Sawit, FMIPA, USU Medan
Sain, M . M, Kokta, 1994, Polyolefin Wood Filler
Composites, I Performance of phenylene
Bismaleide- modified Wood Fibre in
Polypropylene Composites, J App, Polym,
Sci. 54, 1545- 1559
Schut, J, H, 1997, Wood Filled Thermoplastic
Comercial Plas, World, 55, 10: 12-15
Laurent, M. Matuana, John. J. Balatimez, 1998,
Effet of Surface Properties on the Adhesion
between PVC and Wood Veneer Laminates,
Polymer Engeenering and Science
Brookfield Center, Vol, 38, Iss, 5, 765
Mishra, S, And Naik, J. B, 2000, The
Compatibilising Effect of Maleic Anhidride
and Swelling and Mechanical Properties of
Plant Fiber- Reinforced NovolacComposites
Science and Technology, 60, 1720- 1735

W. DALE ELLIS, J L. ODELL, 1999, Wood-
Polymer Composites Made with Acrilic
Monomers, Isocyanate, and Maleic
Anhidride, USDA, Forest Products
Laboratory, One Giffort Pinchot Drive,
Madison, Wisconsin 53705-2398, USA
Zaini, M. J., Z. Ismail., M. Y. A. Fuad, and J.
Mustafah, 1994, Application of oil Palm
Wood Flour as Filler in PP. Polym. J. (Jap).
26, 5: 637-642
Wang, Yeh-C, Sum- M Lai, Hsun-C Chan, Hasiao-
F Shen, 2003, Effectivenees of
Functionalized Polyolefins as
Compatibilizers for Polyethylene/Wood
Flour Composites, Polym Engineering and
Csience, Brookfield Center, 43, 933,13


Pemanfaatan Ekstrak Biji Buah Pinang (Areca Catechu L) Sebagai Anti Oksidan
(Pina Barus)

21
PEMANFAATAN EKSTRAK BIJI BUAH PINANG (Areca Catechu L)
SEBAGAI ANTI OKSIDAN TERHADAP MINYAK DAN LEMAK



Pina Barus
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155



Abstrak

Ekstrak biji buah pinang (Areca catechu L) dapat digunakan sebagai antioksidan terhadap minyak/lemak. Dari
50 g bubuk biji buah pinang diekstraksi dengan etanol-air (4:1) v/v (ekstrak A); Aseton-air (4:1) v/v (ekstrak B)
dan dengan air pada suhu 80
0
C (ekstrak C). Total polifenol dari ekstrak A, B dan C ditentukan secara volumetris
(AOAC). Uji aktivitas antioksidan ekstrak A, B dan C terhadap asam linoleat pada kosentrasi 200 dan 400 ppm.
Aktivitas antioksidan ditentukan melalui pengukuran bilangan peroksida dan absorbansi pada nm E
cm
232
% 1
1

(Carotein Bleaching Method). Sebagai pembanding digunakan BHT dalam kosentrasi yang sama. Dari hasil
penelitian menyatakan bahwa ekstrak biji buah pinang dapat digunakan sebagai antioksidan terhadap minyak dan
lemak, walaupun tidak sebaik BHT. Uji statistik menunjukkan bahwa ketiga ekstrak tidak begitu nyata dalam hal
aktivitas antioksidannya.

Kata kunci: biji buah pinang, antioksidan, bilangan peroksida, absorbsi.

PENDAHULUAN

Pemanfaatan biji-bijian, daun, batang
dan akar berbagai tanaman telah dicoba
sebagai antioksidan terhadap minyak dan
lemak menggantikan antioksidan sintetis.
Hal ini dilakukan karena adanya dugaan
bahwa pemanfaatan antioksidan sintetis
seperti BHT dan BHA dapat menyebabkan
kanker. Dalam penelitian ini dicoba
menggunakan ekstrak biji buah pinang
(Areca catechu L) sebagai antioksidan
terhadap asam linoleat. Biji buah pinang
disebutkan mengandung tannin yaitu
senyawa polifenol dimana senyawa
polifenol ini mempunyai aktivitas
antioksidan terhadap minyak atau lemak.
Ekstraksi dilakukan menggunakan tiga
jenis pelarut yaitu : Etanal air =
(4:1) v/v; Aceton Air = (4:1) v/v dan Air
pada 80
0
C. Ekstrak kasar dipekatkan
ditentukan kadar polifenol secara
volumetris (AOAC). Selanjutnya
digunakan sebagai antioksidan terhadap
asam linoleat pada kosentrasi 200 dan 400
ppm. Aktivitas antioksidan ditentukan
dengan menentukan bilangan peroksida
(PV) dan absorbsi pada
nm E
cm
232
% 1
1
(Metoda Carotine Bleaching).
Data selanjutnya diolah secara statistik
sederhana untuk melihat perbedaan
aktivitas antioksidan dari ketiga ekstrak
kasar tersebut. Bandingkan dengan BHT.

BAHAN DAN METODA

Bahan

Biji buah pinang yang digunakan
dalam penelitian ini adalah jenis pinang
merah diambil dari daerah Pancur Batu
Kab. Deli Serdang Propinsi Sumatera
Utara. Bahan kimia yang digunakan adalah
yang pro-analis (pa) dibeli dari agen
penjualan bahan kimia di kota Medan.
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 21-24

22
Metoda

Biji buah pinang dikeringkan pada
panas matahari lalu ditumbuk halus
60 80 mesh.
Selanjutnya dilakukan ekstraksi
menggunakan tiga jenis pelarut yaitu:
Etanol Air (4 : 1) v/v; Aceton Air (4 :
1) v/v dan Air pada 80
0
C. Filtrat yang
diperoleh dibebaskan dari pelarut dengan
menguapkannya pada rotatorievoporator.
Kadar polifenol dalam masing-masing
ekstrak ditentukan secara volumetris
(AOAC). Selanjutnya dari masing-masing
ekstrak diuji aktivitas antioksidannya
terhadap asam linoleat. Kadar ekstrak
kasar yang digunakan masing-masing 200
dan 400 ppm. Aktivitas anti oksidannya
ditentukan pula dengan mengamati
perubahan bilangan peroksida (PV) dan
absorbansi pada nm E
cm
232
% 1
1
.

PENENTUAN TOTAL POLIFENOL
1. Metode volumetri
Penentuan polifenol dengan
volumetris.
Reagen
1. KMnO
4
0,04 N
2. Larutan indigo carmine, larutkan
1,5 g indigo carmine (bebas dari
biru) dalam 1 L air yang berisi 50
ml H
2
SO
4
(p).
3. Larutan gelatin, merendam 25 gr
gelatin selama 1 jam dalam larutan
NaCl jenuh dipanaskan sampai
gelatin larut, didinginkan dan
larutkan dengan larutan NaCl
(jenuh) ke dalam 1 L.
4. Larutan asam NaCl
Ke dalam 975 ml NaCl (jenuh),
ditambahkan 25 ml H
2
SO
4
(p)

Prosedur
- Tempatkan aliquot juice yang telah
disaring (10-20 ml berisi 0,01 g tannin)
dalam cawan porselin, tambahkan 20
ml indigo carmine dan +
500 700 ml air.
- Tambahkan KMnO
4
dari buret 1 ml
dan digoyang sampai warna menjadi
hijau terang.
- Kemudian tambahkan setetes sampai
warna menjadi pink. Catat ml KMnO
4

(A).
- Ke dalam 50 ml filtrat juice dalam labu
250 ml, tambahkan 25 ml larutan
gelatin dan sempurnakan volume
dengan larutan asam NaCl.
- Pindahkan ke labu conikal, tambahkan
sedikit penyaring (kaolin, kieselgur),
biarkan 15 menit dan saring.
- Ke dalam 50 ml filtrat (10 ml juice),
tambahkan 20 ml larutan indigo
carmine, dan tambahkan kira-kira 50
70 ml air, dan titrasi dengan larutan
KMnO
4
(B).

% polifenol = titrat x 100 x g tannin/ml KMnO
4

(as. gallotannic) ml yang diperoleh

A = Total polifenol dalam material
B = Non fenol material
A-B = Fenol sebenarnya
1 ml KMnO
4
0,1 N = 0,0042 g tannin

2. Metode kolorimetri
Dasar: Pembentukan warna biru
oleh reduksi asam phosphotung-
statmolybdic oleh tannin.


Pemanfaatan Ekstrak Biji Buah Pinang (Areca Catechu L) Sebagai Anti Oksidan
(Pina Barus)

23
Reagen
a) Folin Denis Reagen
Ke 750 ml air, tambahkan 100 g
Na-tungstate (Na
2
WO
4
. 2H
2
O), 20
g phospho molybic dan 50 ml
H
3
PO
4
85%. Refluks campuran
selama 2 jam, didinginkan pada
25
0
C dan dilarutkan dengan 1000
ml air.
b) Na
2
CO
3
jenuh
Ke dalam 100 ml air tambahkan 35
gr Na
2
CO
3
anhidrat, larutkan pada
70 80
0
C dan dinginkan 1 malam
lebih.
c) Larutan standar asam tannat
Larutkan 100 mg asam tannik
dalam 1 l air. Siapkan larutan segar
untuk masing-masing penetapan
(1 ml = 0,1 mg asam tannik).

Preparasi Kurva Standar
- Pipet 0 10 ml adiquot larutan standar
asam tannic ke dalam labu volumetrik
100 ml berisi 75 ml air. Tambahkan
5 ml Reagen Folin Denis dan 10 ml
Na
2
CO
3
ke masing-masing labu
volumetri dan buat ke 100 ml air.
Campurkan dan ukur warna selama
30 menit pada 760 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil percobaan diperoleh data
sebagai berikut:
Total polifenol dalam ekstrak A = 7,52
g; ekstrak B = 8,23 g dan ekstrak C = 9,24 g.
Pengujian aktivitas antioksidan dari
ketiga ekstrak A, B dan C terhadap asam
linoleat sebagai berikut:
Dari data yang diperoleh ternyata biji
buah pinang dapat digunakan sebagai
antioksidan terhadap minyak dan lemak,
walaupun tidak sebaik BHT. Aktivitas
antioksidan dan ketiga ekstrak A, B dan C
ternyata tidak berbeda nyata. Penggunaan
antioksidan pada batas sampaio 600 ppm
dalam minyak dan lemak masih
dimungkinkan, apalagi antioksidan yang
digunakan adalah bersumber dari alam
(antioksidan alami).

Tabel Aktivitas antioksidan ekstrak A, B dan C dari
biji buah pinang

Fraksinasi yang
digunakan
PV
(meg O
2
/kg
minyak)
nm E
cm
232
% 1
1

Asam Linoleat (Kontrol)
LO + 200 ppm BHT
LO + 400 ppm BHT
LO + 200 ppm Ekstrak A
LO + 400 ppm Ekstrak A
LO + 200 ppm Ekstrak B
LO + 400 ppm Ekstrak B
LO + 200 ppm Ekstrak C
LO + 400 ppm Ekstrak C

298,7
156,7
136,9
283,0
268,0
278,0
245,3
236,6
216,0

27,04
13,46
10,25
25,12
22,06
26,61
23,74
22,06
20,13

Penggunaan antioksidan ini masih
dalam bentuk ekstrak kasar, jadai akan
lebih bermakna apabila ekstrak kasar itu
dapat difraksinasi atau dalam keadaan
lebih murni. Aktivitas antioksidan ini
masih diamati pada waktu 1 minggu
setelah diaplikasikan. Agar pemanfaatan
antioksidan ini lebih dapar direkomendasi
tentunya diamati paling sedikit tiga minggu
setelah aplikasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai kesimpulan dari penelitian ini
adalah:
Biji buah pinang dapat digunakan
sebagai sumber antioksidan terhadap
minyak dan lemak. Karena itu disarankan
bahwa penelitian ini dilanjutkan agar
diperoleh ekstrak biji buah pinang yang
lebih murni atau menentukan komponen
polifenol yang terdapat pada biji buah
pinang yang berfungsi sebagai antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA

Dan E. Pratt and Paula M. Birac, (1989), "Source of
Antioxidant Activity of Soybeans and Soy
Products". J. of Food Science 44, 1720-
1722.
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 21-24

24
Deiana M., A. Rosa., V. Casu., F. Cottiglia., L.
Bonsigmore., and M.A. Dessi., (2003).,
"Chemical Composition and Antioxidant
Activity of Extract From Dephegnidium. L".
JAOAC. 80. 1. 65-70.
Freidoon Shahidi, Cyril Desilva and Ryszard
Amarowiz, (2003), "Antioxidant Activity of
Extract of Defatted Seeds of Niger (Guizotia
Abyssinica)". JAOAC. 80. 5. 443 450.
Jorma Matikainen., Matti Laantera., and Seppu
Kaltia., "Determination of Degree of
Oxidation Methyl Linolent and Linoleat by
Weigting Method". JAOAC. 80 . 6. 591-593.
Naczk. M., T. Nicholas., R. Zadernowski., and F.
Shahich., (1994)., "Antioxidan Activity of
Condensed Tannin of Beach Pea, Canolla
Hulls, Evening Prima Rose., and Faba
Beans", J. Agric Food Chem. 42. 2196-2200.
Naczk, M., and T. Nicholas., (1996), "Protein
Precipitation Capasity of Crude Canolla
Tannins., Effect of pH., Tanin and
Protein Consentrating", J. Agric. Food
Chem. 44, 2144-2148.
Naczk, M; J. Pink; Amarowiez D.Pink; F. Shahidi,
(2001), "Multivariate Model for The
Prediction of Soluble Tannin in Crude
Extracts of Poliphenols From Canolla and
Repeseed Hulls", JAOAC. 78 . 4, 411-414.
Sihombing Toguan, (2000), "Pinang Budidaya
dan Prospek Bisnis" Penebar Swadaya,
Jakarta.
Silvia Taga M., E.E. Miller and D.E. Pratt, (1994),
"Chia Seeds as a Source of Natural Lipid
Antioxidant", JAOAC. 61. 5. 928 931.
Suna Kim., Jaebok Park., and In Kyeong Hwang.,
(2002)., "Changes of FA Composition and
Antioxidan Activity of Pigmen Extracts From
Korean Red Papper Powder (Capsicium
annum. L) Due to Processing Conditions",
JAOAC. 79 . 12. 1267-1269.















Analisa Kadar Ion Cu
2+
pada Glyserol dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom
(Zul Alfian)

25
ANALISA KADAR ION CU
2+
PADA GLYSEROL DENGAN
METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (SSA)



Zul Alfian
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155


Abstrak

Telah dilakukan analisa logam Cu didalam glyserol yang berperan sebagai katalis dalam bentuk Cupper
Chromite. Sampel glyserol yang digunakan dalam pengujian diambil dari tangki penyimpanan sementara antar
tiap proses.
Kadar logam Cu dalam glyserol dapat ditentukan dengan menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom
(SSA), dimana serapan atom-atom yang teratomisasi kebentuk dasar sebanding dengan konsentrasi analit pada
panjang gelombang tertentu.
Kadar logam Cu dalam glyserol yang diperoleh adalah 0,777 ppm 1,579 ppm sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia (SNI).

Kata Kunci: Analisa, glycerol, SSA.


PENDAHULUAN

Perkembangan industri di negara kita
semakin pesat. Perkembangan ini mampu
untuk meningkatkan taraf hidup rakyat.
Kebanyakan industri menggunakan air
sebagai kebutuhan primer, namun efek
sampingnya adalah dihasilkannya limbah
cair yang banyak mengandung logam
berat. Terkadang industri masih
mengabaikan suatu proses yang steril,
sehingga pada produk yang dihasilkan
masih terdapat logam-logam berat yang
berbahaya bagi proses selanjutnya atau
dikonsumsi manusia.
Pencemaran lingkungan oleh logam-
logam berbahaya dapat terjadi jika orang
atau pabrik yang menggunakan logam
tersebut untuk proses produksinya tidak
memperhatikan keselamatan lingkungan.
Mereka tidak memantau buangan limbah
pabriknya sehingga berbahaya bagi
lingkungan hidup.
Pengawasan juga perlu dilakukan pada
produk yang dihasilkan, dimana produk
yang dihasilkan pasti terkontaminasi oleh
logam sebagai katalis atau alatalat
produksi. Misalnya pada proses
pengolahan oleochemical untuk
menghasilkan glyserin dipakai Cupper
Cromite sebagai katalis. Walaupun melalui
proses pemurnian secara destilasi
fraksinasi, tetap didapati logam katalis
tersebut didalam produk akhir walaupun
dalam jumlah yang sangat kecil. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengawasan
terhadap hasil produksi tiap tahap untuk
mengetahui jumlah logam katalis yang
terkandung didalam hasil produksi yang
dapat dilakukan dengan metode pengabuan
suhu tinggi atau dengan menggunakan
metode spektrofotometri serapan atom atau
sinar UV-Visible. Pada analisa pengabuan
persentase harga katalis dihitung dari
jumlah abu yang dihasilkan dalam
sejumlah sampel. Sedangkan pada metode
spektofotometri serapan atom adalah
berdasarkan serapan dari atom-atom yang
teratomisasi kebentuk dasar oleh nyala gas
pembakar. Pada metode spektrofotometri
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 25-27

26
UV-Visible, logam di dalam sampel
dikomplekskan dengan senyawa
pengkompleks sehingga dapat menyerap
cahaya pada panjang gelombang tertentu.

BAHAN DAN METODA

BAHAN
Sampel Glyserol water, Aquades bebas
CO
2
, HNO3 6N, Larutan standar Cu 1000
ppm, Aquabides.

ALAT
Neraca analitis, Mettler AE 200,Karet
penghisap,Corong ,Kertas saring,Whatman
41,Spektrrofotometer Serapan Atom
Varian AA/55,Botol Aqua, Alat- alat gelas
yang biasa digunakan di Lab. Kimia.

CARA KERJA

Pengambilan Sampel
Sampel yang dianalisa, yaitu glyserol.
Sampel tersebut diambil dari tangki
penyimpanan sementara antar tiap tahap
proses dan hasil produksi akhir.

Preparasi Sampel.
a. Dipipet sebanyak 50 ml masing-
masing sampel glyserol ke dalam
beaker glass 100 ml yang berbeda-
beda.
b. Kemudian ditambahkan 5ml HNO
3
6N
dan dikocok, atur pH larutan hingga
3 dengan menambahkan Asam lalu
disaring dengan kertas saring Whatman
41, filtratnya daimbil dan dipekatkan
dengan cara dipanaskan sampai
volumenya setengah dari volume awal.
Setelah itu filtrat tersebut didinginkan
dan sampel siap untuk dianalisa





Pembuatan Larutan Standar Mg
a. Pembuatan larutan standart Cu 100
ppm.
Kedalam labu ukur 100 ml dipipet 10
ml larutan standart Cu 1000 ppm,
kemudian diencerkan dengan aquadest
sampai garis tanda, kemudian dikocok.
b. Pembuatan larutan standart Cu 10 ppm.
Kedalam labu ukur 100 ml, dipipet 10
ml larutan standart Mg 100 ppm,
kemudian diencerkan dengan aquadest
sampai garis tanda, lalu dikocok.
c. Larutan standart Mg 0 (blanko): 0;
0,5; 1; 2; 3; ppm.
Kedalam 6 buah labu ukur 100 ml
dipipet, masing-masing sebanyak 0; 5;
10; 20; dan 30 ml larutan standart Mg
10 ppm lalu diencerkan dengan
aquadest sampai garis tanda, lalu
dikocok

Pengukuran dengan SSA
(Spektrofotometer Serapan Atom)
Alat Spektrofotometer Serapan Atom
yang tersedia dihidupkan dan dibiarkan
selama 15 menit untuk menstabilkan
alat.
Penentuan Cu.
- Masing-masing larutan standart Cu
(0; 0,5; 1; 2; 3; ppm). Dipipet ke
dalam tabung yang berbeda-beda.
Kemudian diaspirasikan secara
berurutan kedalam nyala SSA untuk
kurva kalibrasi.
- Setelah itu dilakukan pengukuran
terhadap masing-masing sampel
seperti halnya dengan pengukuran
larutan standart Cu, lalu catat
hasilnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan
diperoleh data sebagimana dapat dilihat
pada Tabel 1.

Analisa Kadar Ion Cu
2+
pada Glyserol dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom
(Zul Alfian)

27
Tabel 1. Hasil pengukuran Cu pada air umpan
boiler dengan menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom Nyala =
udara asetilen.
Sampel
(ppm)
Absorbansi
(A)
Rata-
rata
Konsentrasi
(ppm)
Rata-
Rata
Cu 0 0.0005 0
0.0007 0.0007 0 0
0.0009 0
Cu 0.5 0.0851 0.5
0.0857 0.0851 0.5 0.5
0.0845 0.5
Cu 1 0.1598 1
0.1598 0.1597 1 1
0.1595 1
Cu 2 0.3409 2
0.3406 0.3408 2 2
0.3409 2
Cu 3 0.5091 3
0.5095 0.5091 3 3
0.5087 3

Tabel 2. Hasil pengukuran Cu pada Glyserol
dengan menggunakan Spektrofotometer
Serapan Atom
Tanggal


Sampel

Absorbansi

Konsentrasi
(ppm)

25-02-2003 G2 0.1203 0.777
14-03-2003 G2 0.2512 1.597

PEMBAHASAN

Penetapan kadar logam Cu dalam
glyserol yang berperan sebaga katalis dapat
dilakukan dengan metode spektrofotometri
serapan atom dengan cara destruksi kering.
Penetapan kadar logam Cu dalam
glyserol yang berbentuk cupper chromite
dapat dilakukan dengan berbagai metode,
antara lain dengan metode pengabuan, atau
cara spektrofotometri baik serapan atom
maupun UV- Visible.
Kadar logam Cu pada Glyserol
sebesar 0.777 ppm dan 1.597 ppm,
menurut dari hasil penelitian ini dapat
dilihat bahwa kadar logam Cu tersebut
tidak berbahaya untuk pembuatan bahan
lain dari glyserin dan tidak akan berbahaya
jika dikonsumsi manusia nantinya karena
masih dibawah standar yang ditetapkan.

KESIMPULAN

Dari hasil analisis yang dilakukan
terhadap glyserol dapat diambil
kesimpulan bahwa kadar ion Cu
2+
yang
terdapat dalam glyserol dengan
menggunakan metode Spektroskopi
Serapan Atom (SSA) masih sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI).

SARAN

Perlu dianalisis logam-logam berat
yang lain seperti ion Co
2+
, Ni
2+
, Fe
2+
, Al
3+

dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

Walsh, A. The Application of Atomic Absorbtion
Spectra to Chemicals Analysis
Spectrochemicaln Acta. 1995
Pedoman Pengolahan Kelapa Sawit. Standart
Analisa Laboratorium Dan Pengolahan
Limbah PKS- PKS PTP Nusantara IV
BAH JAMBI. Pabatu, 2001.
S. M. Khopkar, Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-
Press, Jakarta, 1990.
Naibaho Ponten, Teknologi Pengolahan Kelapa
Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit,
Medan, 1996.
M. Junus, Penanggulangan Permasalahan Yang
Dipantau Secara Visual Dalam
Pengoperasian Pabrik Kelapa Sawit.
Pabatu, 1997.


Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 28-34

28
ESTIMASI KANDUNGAN KURKUMIN PADA SEDIAAN HERBAL
KOMERSIAL SECARA SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF


Irmanida Batubara, Mohamad Rafi, Latifah K. Darusman
Jurusan Kimia FMIPA
Institut Pertanian Bogor


Abstrak

Estimasi kadar kurkumin pada sediaan herbal komersial telah ditentukan dengan metode spektrofotometri
derivatif tanpa adanya pemisahan dari sediaan awal. Metode ini didasarkan pada jarak antara dua puncak
(amplitudo puncak ke puncak) pada derivat spektrum standar dan ekstrak contoh. Puncak 441,5 dan 477 nm
derivat kedua dari ekstrak jamu Curmino dan puncak 452 nm derivat ketiga ekstrak Cursil70 dipilih sebagai
daerah kerja untuk estimasi kadar kurkumin.
Kurva kalibrasi dari amplitudo puncak ke puncak (D
L
) derivat kedua ekstrak Curmino (r = 0,9992) maupun
amplitudo puncak (D
Z
) derivat ketiga ekstrak Cursil-70(r = 0,9938) linear pada konsentrasi 2 10 ppm.

Kata kunci: Kurkumin, Spektrofotometri, Herbal.



PENDAHULUAN

Jaminan terhadap kualitas produk
biofarmaka (sumberdaya alam baik
tumbuhan, hewan, maupun mikroba yang
memiliki manfaat sebagai obat, makanan
fungsional dan suplemen diet (obat dan
nutraceutical) bagi manusia, hewan, dan
lingkungan) semakin meningkat dengan
meningkatnya permintaan terhadap
biofarmaka tersebut. Untuk itu perlu
dilakukan standardisasi bahan baku
maupun produk biofarmaka. Konsep
penggunaan obat tradisional yang semula
digunakan oleh masyarakat untuk
swamedikasi seperti diakui WHO sudah
mengarah untuk dapat dipergunakan pada
sistem pelayanan kesehatan. Dengan
demikian, tentunya persyaratan yang harus
dipenuhi bukan lagi berdasarkan data
empirik, namun harus sesuai dengan
kaidah yang diterapkan pada sistem
pelayanan kesehatan yaitu harus dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik
mutu, keamanan, dan khasiatnya. Salah
satu dari tiga konsep untuk menyusun
parameter standar umum yang dapat
dipertimbangkan dari suatu produk
biofarmaka adalah simplisia sebagai bahan
dengan kandungan kimia yang
bertanggung jawab terhadap respons
biologis harus mempunyai spesifikasi
kimia yaitu informasi (jenis dan kadar)
senyawa kandungan.
Sediaan herbal komersial yang banyak
beredar di Indonesia ialah sediaan yang
berasal dari temulawak dan kunyit. Baik
temulawak maupun kunyit memiliki
senyawa yang bertanggung jawab terhadap
respons biologis berupa zat warna yaitu
kurkuminoid. Kurkuminoid di antaranya
merupakan campuran kurkumin, mono-
desmetoksikurkumin, dan bisdesme-
toksikurkumin.
Kontrol kualitas pada sediaan herbal
komersial memerlukan suatu teknik
analisis yang mudah dan cepat. Untuk
analisis kuantitatif kurkumin, telah
digunakan dua cara analisis yaitu dengan
metode spektroskopi dan metode KCKT.
Analisis spektroskopi yang selama ini telah
digunakan ialah analisis menggunakan cara
Estimasi Kandungan Kurkumin pada Sediaan Herbal Komersial Secara Spektrofotometri Derivatif
(Irmanida Batubara, Mohammad Rafi, Latifah K. Darusman)

29
biasa. Untuk tujuan analisis kualitatif dan
kuantitatif ini, dapat dikembangkan metode
spektrofotometri derivatif.
Spektrofotometri derivatif pada daerah
UV-Vis merupakan teknik yang berguna
untuk tujuan analisis kualitatif maupun
kuantitatif pada absorpsi yang tumpang
tindih dari analat dengan matriks yang ada
di dalam sampel. Teknik spektrofotometri
derivatif menawarkan beberapa keuntungan
dibandingkan dengan spektrofotometri
konvensional seperti dapat memilih puncak
yang tajam di antara spektrum yang lebar dan
meningkatkan resolusi dari spektra yang
tumpang tindih. Spektrofotometri derivatif
juga dapat menghasilkan daerah sidik jari yang
lebih baik dibandingkan dengan spektra
absorpsi yang umum. Spektrofotometri
derivatif yang dikombinasikan dengan teknik
zero crossing, least square deconvolution, atau
transformasi Fourier untuk teknik pemrosesan
data telah banyak dikembangkan untuk analisis
kuantitatif senyawa aktif pada formulasi obat.

BAHAN DAN METODA
Bahan
Bahan yang digunakan ialah standar
kurkumin, metanol, dan tetrahidrofuran.
Sedangkan peralatan yang digunakan
adalah labu takar, pipet volumetrik, dan
spektrofotometer UV-Vis HITACHI U-
2800. Spektra contoh dan standar diukur
dari panjang gelombang 370-700 nm
dengan lebar celah 1,5 nm, kecepatan
pengamatan 100 nm/menit, dan
penghalusan spektra yang tinggi dengan
menggunakan piranti lunak UV solutions
versi 2.0 Hitachi
Sampel sediaan herbal komersial yang
digunakan ialah Curmino dan Cursil70.
Sampel ini ditimbang dengan jumlah
kurang lebih 0,5 gram lalu diekstraksi
menggunakan tetrahidrofuran (THF).
Ekstrak THF kemudian diencerkan dengan
metanol lalu dibaca menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 370-700 nm. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis untuk
memperoleh spektrum derivatifnya dengan
menggunakan piranti lunak UV solutions
versi 2.0 Hitachi

Metode

Pembuatan Kurva Standar dan Analisis
Sampel

Standar kurkumin ditimbang dengan
teliti sekitar 2 mg, kemudian dilarutkan
dengan metanol di dalam labu volumetrik
5 ml sampai batas dan dikocok hingga larut
sempurna. Sebanyak 20, 40, 60, 80
mikroliter larutan tersebut dipindahkan ke
dalam empat labu volumetrik 10 ml,
masing-masing dilarutkan dengan metanol
sampai batas volume labu, kemudian
dikocok hingga larut sempurna.
Spektrum absorbsi standar kurkumin
(2-10 ppm) dibuat dengan blanko metanol
dari panjang gelombang 370-700 nm
demikian pula untuk sampel. Spektrum
derivatif kedua dan ketiga dibuat dari
spektrum absorbsi yang diperoleh. Puncak
441,5 dan 477 nm derivat kedua spektra
ekstrak jamu Curmino dan puncak 452 nm
derivat spektra ketiga ekstrak Cursil70
dipilih sebagai daerah kerja untuk estimasi
kadar kurkumin setelah dibandingkan
dengan derivat spektrum kedua dan ketiga
dari standar kurkumin. Untuk estimasi
kandungan kurkumin pada Curmino kurva
kalibrasi dibuat dengan menghitung jarak
antara puncak ke puncak (441,5-477 nm)
sedangkan untuk Cursil70 dibuat dengan
menghitung amplitudo puncak pada
panjang gelombang 452 nm. Estimasi
kandungan kurkumin dapat ditentukan
setelah diperoleh kurva kalibrasi untuk
setiap sampel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dua sampel yang digunakan pada
penelitian ini ialah sampel yang
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 28-34

30
mengandung kurkumin dalam sediaan
herbal komersialnya. Kedua sampel ini
memiliki indikasi untuk mengobati gejala
hepatitis atau penyakit kuning yaitu
Curmino dan Cursil70. Jenis ekstrak
kurkumin yang terdapat dalam kedua
sampel ini berbeda. Curmino di dalam
kemasannya dinyatakan berguna untuk
mencegah dan mengobati penyakit kuning
juga gangguan pada hati. Kapsul ini
mengandung curcumae xanthorrhizae
rhizome extract yang ekivalen dengan 5
mg kurkumin. Oleh karena itu sampel
Curmino mewakili jenis sampel yang
hanya terdiri dari ekstrak satu jenis
tumbuhan. Sedangkan Cursil70
merupakan ramuan ekstrak tumbuhan yang
diolah, keseluruhan ramuan dalam obat ini
terbuat dari bahan alam. Kandungan
Cursil70 ialah PytoCur20 mg, oleum
xanthorrhizae 30 mg, dan Silybum
marianum extractum sicc setara silimarin
70 mg. Oleh karena itu Cursil70
mewakili sampel yang terdiri dari ekstrak
lebih dari satu jenis tanaman.
Kadar kurkumin pada sediaan herbal
komersial perlu dianalisis karena kurkumin
diketahui merupakan senyawa yang
bertanggung jawab terhadap aktivitas
antihepatitis, antihiperlipidemia,
antiinflamasi, antioksidan,
antikarsinogenik, antimikroba, antiviral
dan detoksifikasi
5
. Kurkumin sebagai
bahan yang akan dianalisis menggunakan
spektrofotometri sinar tampak secara
konvensional dapat langsung dianalisis
karena kurkumin merupakan salah satu
komponen zat warna kuning yang
tergolong dalam kurkuminoid.
Spektrum absorpsi dari standar
kurkumin maupun ekstrak Curmino
(Gambar 1) dan ekstrak Cursil70 yang
diperoleh hampir identik. Namun, spektra
ekstrak Curmino menunjukkan nilai
absorpsi yang lebih tinggi. Nilai absorpsi
yang lebih tinggi ini terjadi akibat adanya
efek matriks dari sampel yang dianalisis
walaupun kedua spektrum ini dibuat
dengan konsentrasi kurkumin yang sama.
Hal ini akan menyebabkan kesalahan
pembacaan kadar bila dilakukan
pembacaan kadar kurkumin menggunakan
spektrofotometri konvensional. Untuk
spektra Cursil70 dengan konsentrasi 10
ppm menunjukkan absorpsi yang tinggi
pula walaupun tidak dapat dibandingkan
dengan spektra standar kurkumin. Kedua
spektra pada Cursil70 dan standar
kurkumin tak dapat dibandingkan karena
dalam label kemasan tidak tertera jumlah
kurkumin yang dikandung dalam setiap
kapsulnya.

4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
1 .3
1 .4
1 .5
1 .6
1 .7
1 .8
1 .9
2 .0
2 .1
2 .2
2 .3
2 .4

Gambar 1. Spektra Absorpsi ( ) larutan standar kurkumin dan ( ) ekstrak Curmino. Konsentrasi 5 ppm

Estimasi Kandungan Kurkumin pada Sediaan Herbal Komersial Secara Spektrofotometri Derivatif
(Irmanida Batubara, Mohammad Rafi, Latifah K. Darusman)

31
4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
1 . 3
1 . 4
1 . 5
1 . 6
1 . 7
1 . 8
1 . 9
2 . 0
2 . 1

Gambar 2. Spektra Absorpsi ( ) larutan standar kurkumin (C = 5 ppm) dan ( ) ekstrak Cursil70 (C = 10
ppm)

Untuk menghilangkan pengaruh matrik pada
sample, dilakukan derivatisasi spektra absorpsi
sample. Dengan melakukan pengukuran jarak
antara puncak ke puncak pada spectra absorbsi
sample maka efek matrik dapat dihilangkan.
Penghilangan efek matrik terjadi karena absorpsi
dari variabel lainnya yang tumpang tindih dengan
analat akan lebih halus pada spektra derivatif.




4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
- 0 .0 1 0
- 0 .0 0 5
0 .0 0 0
0 .0 0 5

(a)


4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
- 0 . 0 0 0 2 0
- 0 . 0 0 0 1 5
- 0 . 0 0 0 1 0
- 0 . 0 0 0 0 5
0 . 0 0 0 0 0
0 . 0 0 0 0 5
0 . 0 0 0 1 0
0 . 0 0 0 1 5

(b)
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 28-34

32
4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
0 . 0 0 0 0 0
0 . 0 0 0 0 1

(c)
Gambar 3. Derivat spektra standar kurkumin ( ) dan ekstrak Curmino ( ) (a) pertama, (b) kedua, dan (c)
ketiga
Spektra derivatif pertama, kedua, dan ketiga
tiap sampel beserta standar ditunjukkan pada
Gambar 3 untuk ekstrak Curmino dan
Gambar 4 untuk ekstrak Cursil70. Derivatif
kedua dari spektra Curmino dan standar
kurkumin terlihat adanya tumpang tindih pada
daerah dengan panjang gelombang 441,5-
477,0 nm. Untuk spektra derivatif Cursil70
tidak terdapat daerah yang tumpang tindih
dengan standar kurkumin baik pada derivate
pertama, kedua maupun ketiga sehingga
dipilih suatu puncak identik dari kedua
spektra tersebut yaitu pada panjang
gelombang 452 nm.


4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
- 0 .0 1 0
- 0 .0 0 5
0 .0 0 0
0 .0 0 5

(a)

4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
- 0 . 0 0 0 2 0
- 0 . 0 0 0 1 5
- 0 . 0 0 0 1 0
- 0 . 0 0 0 0 5
0 . 0 0 0 0 0
0 . 0 0 0 0 5
0 . 0 0 0 1 0
0 . 0 0 0 1 5

(b)
Estimasi Kandungan Kurkumin pada Sediaan Herbal Komersial Secara Spektrofotometri Derivatif
(Irmanida Batubara, Mohammad Rafi, Latifah K. Darusman)

33
4 0 0 4 5 0 5 0 0 5 5 0
n m
0 . 0 0 0 0 0
0 . 0 0 0 0 1

(c)
Gambar 4. Derivat spektra standar kurkumin ( ) dan ekstrak Cursil70 ( ) (a) pertama, (b) kedua, dan (c)
ketiga


Perbedaan hasil pertumpangtindihan
spectra pada kedua sample ini terjadi karena
matriks yang terdapat dalam kedua sample ini
berbeda. Curmino hanya mengandung satu
macam ekstrak yaitu hanya ekstrak temulawak,
sehingga matrik lain pada sample sediaan
herbal komersial ini hanya berupa bahan
pengisi atau bahan pengikat ekstrak temulawak
saja. Sedangkan sample Cursil70 memiliki
matriks yang lebih kompleks. Hal ini terjadi
karena pada Cursil70 selain mengandung
ekstrak temulawak, juga terkandung ekstrak
kunyit yang juga mengandung kurkumin dan
ekstrak silimarin yang tidak mengandung
kurkumin. Selain ketiga jenis ekstrak tersebut,
dalam sediaan herbal komersial Cursil70
juga masih mengandung bahan pengisi atau
bahan pengikat ekstrak. Oleh karena itu
pertumpangtindihan spectra pada sample
Cursil70 lebih sulit untuk didapatkan.
Derivat kedua dan ketiga dari spektrum
deret standar kurkumin ditunjukkan pada
Gambar 5. Hubungan yang linear diperoleh
dari spektrum standar kurkumin (2-10 ppm)
dari jarak amplitudo puncak ke puncak (D
L
)
441,5-477,0 nm pada derivat kedua spektranya
untuk estimasi kandungan kurkumin pada
ekstrak Curmino. Sedangkan untuk estimasi
kandungan kurkumin pada ekstrak Cursil70
hubungan yang linear diperoleh dari jarak
amplitudo puncak (D
Z
) 452 nm pada derivat
ketiga spektranya. Persamaan garis dari kurva
standar yang diperoleh yaitu:

Curmino
2
D
441,5-477,0
= 4 x 10
-6
+ 7,5 x 10
-5

C (r = 0,9992)
Cursil70
3
D
452
= -1 x 10
-8
+ 1,955 x
10
-6
C (r = 0,9938)

Dari persamaan kurva standard tersebut
diperoleh estimasi kandungan kurkumin pada
sediaan herbal komersial Curmino dan
Cursil70 masing-masing sebesar 4,6 mg/500
mg dan 166,5 mg/500 mg.

4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0
n m
- 0 .0 0 0 4
- 0 .0 0 0 3
- 0 .0 0 0 2
- 0 .0 0 0 1
0 .0 0 0 0
0 .0 0 0 1
0 .0 0 0 2
0 .0 0 0 3
0 .0 0 0 4

(a)
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 28-34

34
4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0
n m
- 0 . 0 0 0 0 1
0 . 0 0 0 0 0
0 . 0 0 0 0 1
0 . 0 0 0 0 2

(b)
Gambar 5. Derivat spektrum deret standar kurkumin (2-10 pm) (a) kedua dan (b) ketiga

KESIMPULAN
Spektrofotometri derivatif dapat
digunakan untuk estimasi kandungan
kurkumin pada sediaan herbal komersial.
Metode yang dikembangkan ini lebih
mudah, cepat, dan murah karena tidak
membutuhkan banyak pelarut maupun
pereaksi. Selain itu, pengaruh matriks pada
sample dapat dihilangkan bila
menggunakan analisis ini dibandingkan
dengan menggunakan metode
spektrofotometri konvensional. Metode ini
masih dalam pengembangan agar dapat
digunakan sebagai sebuah teknik analisis
yang akurat dalam menentukan kandungan
kurkumin.

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN. 1993. Standard of ASEAN herbal
medicine. Vol 1. Jakarta: ASEAN
Countries.
Dirjen POM. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
El-Gindy A. 2000. First Derivative
Spectrophotometric and LC Determination
of Benoxinate HCl and its degradation
Products. J Pharm Biomed Anal 22:215-234.
Hassan EM. 2000. Determination of Ipratropium
bromide in Vials Using Kinetic and First-
Derivative Spectrophotometric Methods. J
Pharm Biomed Anal 22: 1183-1189.
Karpinska J, Mikoluc B, Piotrowska. 1998.
Application of Derivative Spectrophotometry
for Determination of Coenzyme Q10 in
Pharmaceuticals and Plasma. J Pharm
Biomed Anal 17: 1345-1350.
Raggi MA et al. 2000. Quantitation of Olanzapine
in Tablets by HPLC, CZE, Derivative
Spectrometry and Linear Voltammetry. J
Pharm Biomed Anal 23: 973-981.
Surekha A & Jain NK. 2000. Difference
Spectrophotometric Estimation of
Amlodipine besylate. Indian Drugs 37: 351-
353.
Taylor SJ, McDowell IJ. 1992. Determination of
Curcuminoid pigments in turmeric by
reversed-phase high-performance liquid
chromatography. Chromatographia. 34:73-
77.
Uslu B & Azkan SA. 2002. Determination of
Lamivudine and Zidovudine in Binary
Mixtures Using First Derivative
Spectrophotometric, First Derivative of the
Ratio-Spectra and High Performance Liquid
Chromatography-UV Methods. Anal Chim
Acta 466:175-185.
WHO. 1999. WHO monographs on selected
medicinal plants-vol 1. ISBN 92 4 154517
8. Geneva: WHO.




Analisa Keefektifan Kitosan dalam Pengujian Limbah
(Harry Agusnar)

35
ANALISA KEEFEKTIFAN KITOSAN DALAM PENGUJIAN
LIMBAH INDUSTRI KOAGULASI KARET


Harry Agusnar
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155


Abstrak

Telah dilakukan penelitian dengan pengujian limbah industri penggumpalan karet, dengan memakai
kitosan pada beberapa pH. Adapun kondisi pengujian optimum adalah 20 ppm kitosan pada pH 4,8
6,0. Diantara parameter yang diamati dan yang ditemukan adalah menurunnya turbiditas / kekeruhan
dari 267 ke 5,5 NTU, warna dari 1605 ke 51 TCU, COD dari 2802 ke 2298 ppm, BOD dari 1400 ke 75
ppm. Limbah mengandung protein 0,01%.

Kata Kunci: Kitosan, Limbah Karet, Koagulasi.

PENDAHULUAN

Partikel karet dalam lateks distabilkan
oleh protein dalam bentuk koloid. Asam
protein amino memiliki dua muatan yang
berlawanan, positif dan negatif. Jika ujung-
ujung molekul protein yang lengket dengan
partikel karet bermuatan positif, maka ujung
yang lain akan membentuk lapisan yang
bermuatan negatif yang akan mengganggu
partikel karet dari saling mendekati.
Fenomena ini menghindari koagulasi karet
dalam lateks. Jika molekul protein diambil
dari lateks, maka partikel karet saling
mendekati dan terjadilah penggumpalan
(koagulasi). Dengan demikian, dalam
medium alkalin Stabilizer protein
bermuatan negatif kemudian distabilkan oleh
kelompok hidroksil yang bermuatan negatif.
Dilapangan, lateks karet distabilkan dengan
amonia. Pada sisi lain, didalam medium asam
muatan negatif lapisan penstabil dinetralisir
oleh proton asam, dengan lapisan yang
runtuh (collap), partikel karet menggumpal.
Pada beberapa pusat koagulasi dilapangan ini
dilakukan dengan asam formik.
Limbah koagulasi karet dari perusahaan
banyak mengandung jumlah protein secara
mendasar seperti yang diuraikan diatas. Jika
limbah tidak diuji, protein menjadi rusak, dan
kadang-kadang menimbulkan aroma yang
tidak sedap. Limbah yang belum diuji
mengakibatkan pencemaran terhadap
lingkungan. Untuk menghindari ini makanya
kitosan dipilih dengan alasan-alasan yang
ramah lingkungan.
Kitosan adalah suatu turunan dari kitin
polimer yang terjadi secara alami ataupun
poly (N-acetylglucosamine). Kedua-duanya
baik kitin maupun kitosan bisa dilihat
sebagai turunan sellulosa, dimana perpaduan
amina, acetamida dan kelompok acetyl
menanamkan perbedaan sifat psikokimianya
dari sellulosa, tetapi bukannya mengubah
kedalam materi yang bernilai (Muzzareli,
1997). Kitin biasanya diperoleh dari
cangkang udang yang dewasa ini diberbagai
negara merupakan produk limbah pada
industri-industri makanan laut (knorr, 1984).
Kitin tidak larut dalam pelarut umum
(solvent) dan bentuknya yang padat bisa
merusak lingkungan.
Menurut struktur, kitosan adalah sebuah
poly elektrolit kationik yang didasarkan pada
polyamina. Itu adalah padatan amorfus putih
yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam
asam cair, larutannya mengalami
biodegradasi yang lambat. Kelompok amino
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 35-37

36
bebas pada kitosan menimbulkan sifat-sifat
polykationik dan asam anionik khelat
chilating (Bough, 1982). Telah dilaporkan
bahwa kitosan bisa dipakai untuk menguji
limbah, dimana bertindak sebagai koagulan
(penggumpal) aktif untuk menahan padatan
(Bough, 1975, 1976). Kitosan bisa juga
memisahkan protein dari limbah dan lumpur
yang dibentuk bisa dipakai sebagai sumber
protein pada makanan hewan (Oke, 1978)
Kitosan telah dilaporkan sangat efektif
dalam pengujian limbah cair dan limbah
industri. Namun demikian, tak satupun
nampak untuk limbah perusahaan
pengolahan karet. Keefektifan kitosan untuk
limbah demikian dievaluasi dalam
pengamataan ini. Sekarang, limbah dari
perusahaan pengolahan lateks pada
umumnya diuji secara tidak memuaskan,
pengujian biologis biasa memakai kolom
oksidasi terbuka yang besar.

BAHAN DAN METODA

Kitosan telah dibuat dalam laboratorium,
terutama dari cangkang udang. Untuk
pemakaian, kitosan dilarutkan dalam 1%
asam asetat pada suatu konsentrasi 1000
ppm. Limbah penggumpalan karet (RCE)
disuplai oleh perusahaan pengolahan karet
perang besar estate, bukannya dari
laboratorium. Sampel-sampel diambil pada
titik outlet sebentar sebelum memasuki
kolam pengujian perusahaan. Analisa COD,
BOD dan kandungan protein telah dilakukan
menurut metoda-metoda standar.

Analisa
Percobaan telah dilakukan oleh Jar Tes
standar pada model Hazen Floc Tester EFT
2-6 yang mempunyai enam beaker, bisa
sekaligus diaduk pada kecepatan yang sama.
Kekeruhan (turbiditas) diukur oleh Hach
turbidimeter model 2100A (dengan unit
NTU). BOD dibaca secara langsung dari
meter G.Vittadin BOD, dan COD dibaca dari
COD SpectrophotometerDR 2000.
Kandungan protein diukur dengan memakai
Kjehdal standar dan akhirnya kation dan
anion dianalisa pada instrumen Dionex 100
Ion Chromatografi.

Pengaruh pH
Tes ini melihat keefektifan penyerapan
pada beberapa pH dalam Tes Jar. Enam
beaker telah diisi dengan 500 ml sampel
dimana pH dan kekeruhan telah diukur.
Konsentrasi larutan kitosan 1000 ppm
kemudian ditambahkan dengan jumlah
tertentu. pH disesuaikan dengan 1 M HCl
ataupun 1 M NaOH pada nilai yang
dibutuhkan. Campuran diaduk selama 40
menit yang diikuti oleh pengendapan 1 jam
hingga lumpur berpisah dari supernatant.
Akhirnya, turbiditas dan warna diukur.

Pengaruh Jumlah Kitosan
Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan jumlah optimum kitosan yang
dibutuhkan untuk penyerapan maksimum,
dengan demikian dihindarilah limbah. Untuk
mencapainya, prosedur diatas diikuti, tetapi
pada kandungan enam beaker ditambahkan
jumlah larutan kitosan yang berbeda, yakni 1,
3, 5, 7, 9, 11 ml masing-masing, seluruhnya
berkonsentrasi 1000 ppm. Langkah yang lain
menyusul.

Alum Sebagai Suatu Koagulan Alternatif
Alum sendiri (yang dipersiapkan pada
konsentrasi 1000 ppm), serta campuraan
alum dan kitosan telah diuji terhadap
keefektifan koagulasi. Rasio (volume) untuk
mendapatkan rasio yang dibutuhkan adalah
16:4, 12: 8 dan 4:16. pH disesuaikan pada
nilai optimum.

Analisa Kinetik
Jumlah larutan kitosan tertentu (22 ppm)
ditambahkan kedalam 500 ml sampel dalam
beaker dan diaduk selama 20 menit,
kemudian turbiditas diukur pada jarak/selang
waktu 10 menit, dengan demikian kinetik
penyerapan bisa diukur.
Analisa Keefektifan Kitosan dalam Pengujian Limbah
(Harry Agusnar)

37
Analisa Kebauan
1. Analisa terdiri dari mencium kebauan
dari sampel yang diuji, diambil dari
sampel besar, dan kemudian diencerkan
dengan air suling hingga tidak ada lagi
bau yang terdeteksi. Faktor dilusi telah
dicatat.
2. Prosedur alternatif, sampel dilintaskan
pada sebuah kolom sinter yang disertai
dengan 2 gr kitosan yang ditutupi dengan
wol kaca. 10 ml Eluen telah dikoleksi,
kebauan diuji dan diencerkan sama
seperti sebelumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pH
pH sangat berpengaruh untuk penyerapan
parsial atau penyerapan menyeluruh dalam
pengujian RCE. Dengan 22 ppm kitosan
yang ditambahkan ke sampel 350 NTU
turbiditas yang belum diuji, pH optimum
untuk turbuditas minimum sampel yang telah
diuji adalah 5-6. Diluar batasan ini, turbiditas
yang lebih tinggi menunjukkan penyerapan
yang tidak sempurna (Seperti pada tabel 1).
Dengan tes lainnya, bilamana penyesuaian
pH dibutuhkan, dilakukan untuk memenuhi
nilai ini.

Pengaruh Jumlah Kitosan
Gambar 33.2 menunjukkan bahwa makin
banyak kitosan yang dipakai, makin baiklah
sampel yang diuji. Namun demikian, limbah
nampak jika jumlah besar kitosan dipakai
untuk reduksi turbiditas yang sangat kecil.
Pada tabel ini menunjukkan bahwa 22 ppm
dinyatakan optimum.

Kinetik Koagulasi
Koagulasi tidak terjadi pada waktu yang
sangat lama, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3. Setelah 40 menit turbiditas
direduksi dari 200 NTUke 30 NTU. Proses
mengikuti angka order pertama dengan angka
konstan1,15 x 10
-1
mol
-1
.

Tabel 1. Nilai Turbiditi dan warna setelah perawatan
dengan kitosan
Perbandingan
Kitosan : Alum
Turbiditi /
NTU
Warna /
TCU
20 : 0 5.50 51
16 : 4 4.30 53
12 : 8 15.00 74
8 : 12 16.00 69
4 : 16 17.00 133
0 : 20 36.00 172

Tabel 2. Kandungan Protein didalam limbah
pengolahan koagulasi karet
Turbiditi / NTU Kandungan Protein
250 0.01
125 0.008
90 0.004

Tabel 3. Jumlah Kation dan Anion yang diserap oleh
kitosan
Ion
Limbah sebelum
dirawat
Limbah sesudah
dirawat
NH4 27.6 27.3
K 31.1 30.9
Mg 97.6 96.1
F 41.8 14.9
SO4 78.2 41.4

KESIMPULAN
Pada kondisi kitosan 20 ppm didapati
Turbiditas menunjukkan 5,50 NTU berarti
hampir 90 % reduksi terjadi. Begitupun
kandungan protein setelah perlakuan dengan
kitosan didapati kadarnya menurun. Ini
menunjukkan kitosan sangat efektif untuk
digunakan sebagai koagulasi pada limbah
karet.

DAFTAR PUSTAKA
Bough, W.A. 1975. J Food Sc. 40: 297.
Bough, W.A. 1976. Process Biochem. 11(1): 1976.
Knorr, D. 1982, J. Food Sc, 47: 593.
Knorr, D. 1984, Food Tech.: 85.
Kobayashi, Y., nishiyama, M., Maturo, R.,Takura, S.
And Nishi, N. 1982. Proc. Second Inter.
Conf. Chitin-Chitosan, Japan.
Mallete, W.G., Quigleg, H.J. and Adiches, D. 1985.
Proc. Third Inter. Conf.chitin-Chitosan, Italy.
Muzzarelli, R.A.A. (Ed.) 1997. Chitin, Oxford:
Pergamon Press.
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 38-45

38
SINTESIS SELULOSA KAPROAT MELALUI REAKSI
INTERESTERIFIKASI ANTARA SELULOSA
ASETAT DENGAN METIL KAPROAT


Misdawati
Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Al-Washliyah

Abstrak

Selulosa telah diasetilasi dengan asetat anhidrid menggunakan asam sulfat pekat sebagai katalis dalam pelarut
asam asetat-glasial.
Interesterifikasi metil kaproat dengan selulosa asetat menggunakan pelarut metanol dan katalis natrium
metoksida pada suhu refluks menghasilkan senyawa baru selulosa kaproat.
Senyawa metil kaproat, selulosa asetat dan selulosa kaproat dikonfirmasikan melalui analisis spektroskopi FT-IR
dan analis permukaan dengan Scanning Electron Microscopy.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi asetil mencapai 44,08% dengan derajat substitusi 2,95. Selulosa
kaproat yang diperoleh dengan rendemen reaksi sebesar 60%.

Kata Kunci: Sintesis, Selulosa Kaproat, Interesterifikasi.

Selulosa merupakan salah satu polimer
alam yang melimpah dan dapat
dimodifikasi dimana kegunaannya sangat
luas mulai dari bidang industri kertas, film
transparant, film fotografi, plastik
biodegradable, sampai untuk membran
yang digunakan diberbagai bidang industri
(Whistler, 1993).
Turunan selulosa dikembangkan pada
awal tahun 1883, pada saat Braconnot
mensintesis selulosa nitrat dari berbagai
material selulosa dan memperoleh bubuk
yang mudah meledak (xyloidines), yang
dapat dilarutkan dalam asam asetat.Pada
tahun 1985 turunan ester yang beredar
diperdagangkan dijumpai sekitar 815 ribu
ton berupa selulosa ester organik. Seiring
perkembangan industri pulp, saat ini lebih
kurang 13% dari produksi pulp di dunia
diubah menjadi turunan selulosa. Dari segi
teknis turunan selulosa yang paling penting
adalah ester dan eter selulosa yang lingkup
penggunaannya sangat luas.
Selulosa dapat dimodifikasi melalui
reaksi esterifikasi menghasilkan suatu ester
organik dan salah satu diantaranya yang
dikenal dengan nama selulosa asetat.
Selulosa asetat merupakan selulosa
terpenting dalam industri serat dan tekstil
yang banyak diproduksi dalam skala besar,
biasanya dibuat dari serat kapas dan pulp
kayu kualitas tinggi (Ueda dan Saka,
1988). Hal ini disebabkan karena pulp
kualitas rendah memiliki derajat
polimerisasi rendah yang mengandung
hemiselulosa, dimana hemiselulosa
terpisah dalam larutan, yang menjadi
permasalahan dalam industri seperti
kemampuan penyaringan, kekeruhan dan
perubahan viskositas (Matsumura dan Saka
1992). Modifikasi selulosa untuk
menghasilkan selulosa asetat dapat
dilakukan dengan menggunakan asam
asetat anhidrid sebagai zat pengasetilasi
dalam pelarut asam asetat glasial dan asam
sulfat pekat sebagai katalisator. Untuk
memperoleh pembentukan ester yang lebih
cepat dan sama maka perlu perlakuan awal
selulosa dengan air atau asam asetat.
Kecepatan asetilasi selulosa yang
membengkak tiga kali lebih tinggi dari
pada selulosa yang tidak membengkak
(Wegener,1995). Selulosa ini umumnya
Sintesis Selulosa Kaproat Melalui Reaksi Interesterifikasi
(Misdawati)

39
diperlukan untuk mengurangi kristalinitas
dan membuatnya lebih reaktif (Rich,1986).
Selulosa kaproat merupakan ester asam
lemak dengan rantai atom C yang lebih
panjang dari selulosa asetat. Selulosa
kaproat merupakan salah satu ester organik
yang mempunyai sifat-sifat yang diingin-
kan seperti titik lebur rendah, ketahanan air
tinggi, stabilitas panas dan kesesuaian
dengan resin dan pembuat plastis. Senyawa
ester selulosa asam lemak seperti selulosa
kaproat umumnya diperoleh melalui
esterifikasi antara selulosa dengan
anhidrida kaproat menggunakan asam
sulfat sebagai katalisator (Garcia, 1998).

BAHAN DAN METODA

Bahan
Bahan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah : asam asetat glasial,
asetat anhidrid, asam kaproat, aquadest,
metanol, nheksan, etanol., Semuanya
diperoleh dari EMerck, sebagai penyaring
digunakan kertas saring whatman., pulp kraft
dari PT. Toba Pulp Lestari.
Alat
Labu leher tiga, pendingin bola,
pengaduk magnet, hot plat, gelas ukur, gelas
beaker, kertas saring, oven pompa vakum,
alat destilasi vakum dan rotary evaporator,
penangas air, labu alas, thermometer, neraca
analitik, spatula, rotary evaporator, statif dan
klem, corong buchner, pipet tetes, pipet
volum, biuret.dan desikator.
Metode
Pada penelitian ini dilakukan tiga taha-
pan reaksi yaitu asetilasi antara selulosa de-
ngan asetat anhidrid, esterifikasi antara asam
kaproat dengan metanol dan interesterifikasi
antara selulosa asetat dengan metil kaproat.
Sintesis Selulosa Asetat
Selulosa ditimbang sebanyak 3,0 gram
kemudian dimasukkan kedalam labu leher
tiga lalu ditambahkan asam asetat glasial
sebanyak 150 ml lalu diaduk selama 20
menit pada suhu 40
0
C untuk mengaktivasi
serat pulp. Kemudian campuran larutan 0,15
ml asam sulfat pekat dan 20 ml asam asetat
glasial dimasukkan kedalam campuran
pertama tetes demi tetes melalui sebuah
corong penetes (droping funnel) dan diaduk
kontiniu selama 2 jam pada suhu 50
0
C, lalu
didinginkan sampai suhu kamar. Campuran
kemudian diasetilasii dengan asetat anhidrid
sebanyak 20 ml diaduk selama 6 jam lagi
pada suhu 50
0
C dan dilanjutkan dengan
pengadukan selama 12 jam pada suhu
kamar. Hasil reaksi kemudian disaring,
residu yang tidak larut dicuci berulangkalii
dengan aquades, kemudian dicuci dengan
etanol berulangkali terakhir dikeringkan
dengan vakum, selanjutnya disimpan dalam
desikator. Hasil diidentifikasi secara
spektroskopi FT-IR dan analisis permukaan
dengan Scanning Electron Microscopy
(SEM).
Penentuan Derajat Substitusi (DS)
Disiapkan dua buah gelas erlenmeyer,
kemudian hasil asetilasi ditimbang sebanyak
0,1542 gram didalam gelas erlenmeyer yang
sudah diketahui berat kosongnya. Kemudian
ditambahkan larutan campuran
dikhlorometana : etanol (4 : 1) sebanyak 20
ml. Lalu diaduk selama 1 jam, setelah itu
ditambahkan 25 mll larutan KOH 0,3978 N.
Demikian juga halnya dengan gelas
erlenmeyer kedua dimasukkan 25 ml larutan
KOH 0,3978 N. Kedua gelas erlenmeyer
dilengakapii dengan pendingin bola dan
dipanaskan bersamaan diatas penangas air
selama 60 menit, setelah itu didinginkan.
Kedalam masing-masing larutan
ditambahkan larutan indikator
phenolpthalein sebanyak 3 tetes sehingga
warna larutan menjadi merah muda dan
dititrasi dengan larutan HCl 0,5314 N.
Titrasii dihentikan tepat saat warna
merahnya hilang kemudian dicatat volume
titrasinya. Volume titrasi pada larutan yang
terdapat pada erlenmeyer pertama dicatat
sebagai volume titrasi sampel (V
1
).
Sedangkan volume titrasi larutan pada
erlenmeyer kedua dicatat sebagai volume
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 38-45

40
titrasi blanko (V
0
). Sehingga dapat
diperoleh bilangan penyabunan. Dari
bilangan penyabunan dapat ditentukan %
asetilasinya dengan menggunakan
persamaan 2. Dengan mengetahui %
asetilasinya maka dapat ditentukan derajat
substitusinya menggunakan persamaan 1.

Sintesis Metil Kaproat
Sebanyak 125 ml asam kaproat
dimasukkan kedalam labu lehar tiga volume
500 ml kemudian ditambahkan 60 ml
metanol dan 120 ml benzena. Lalu
dihubungkan dengan pengaduk magnet,
penangas air yang diberi es, kondensor yang
ujungnya dihubungkan dengan tabung yang
berisi natrium sulfat anhidrous dan kapas.
Melalui corong penetes sambil diaduk
ditambahkan secara pelan-pelan 1 ml asam
sulfat pekat. Campuran direfluks selama
5jam. Hasil reaksi yang diperoleh diuapkan
melalui rotary evaporator untuk
menghilangkan benzena serta kelebihan
methanol. Residu yang tertinggal dalam labu
dilarutkan dengan 120 ml n- heksan
kemudian dicuci berturut-turut sebanyak dua
kali dengan masing-masing 25 ml aquadest.
Hasil cucian dikeringkan dengan natrium
sulfat anhydrous. Selanjutnya hasil yang
telah dikeringkan diuapkan melalui rotary
evaporator untuk menghilangkan n-heksana
dan dilanjutkan dengan destilasi vakum pada
suhu 40
0
C dan tekanan 17 mmHg. Destilat
yang diperoleh diidentifikasi secara
spektroskopi FT-IR.

Sintesis Selulosa Kaproat
Kedalam labu leher tiga dimasukkan 2
gram selulosa asetat kemudian labu
dihubungkan dengan pendingin bola yang
ujungnya bagian atas dengan tabung kaca
yang berisi CaCl
2
dan kapas. Selanjutnya
ditambah 100 ml metanol kering dan 0.02
gram natrium metoksida sambil diaduk.
Secara perlahan-lahan melalui corong
penetes ditambahkan metil kaproat 13 ml
tetes demi tetes kemudian direfluks selama
30 jam. Kemudian hasil reaksi diuapkan
melalui rotary evaporator untuk
memisahkan methanol dan metil asetat
yang terbentuk., residunya berupa selulosa
kaproat dicuci berulang kali dengan
metanol. Hasil dikeringkan dengan vakum
setelah itu disimpan dalam desikator
kemudian diidentifikasi secara
spektroskopi FT IR, dan analisis
permukaan dengan Scanning Electron
Microscopy (SEM).
Pembuatan Metil Kaproat
Metil kaproat yang dihasilkan dengan
rendemen reaksi sebesar 90% diperoleh
dari reaksi sebagai berikut:




CH
3
(CH
2
)
3
CH
2
C + CH
3
OH H
2
SO
4


CH
3
(CH
2
)
3
CH
2
C + H
2
O
OH 80
0
C

Hasil analisis spektroskopi FT-IR metil
kaproat memberikan spektrum dengan
puncak-puncak serapan pada daerah
bilangan gelombang 2929 2856; 1458
1436 720 1743; 1247 1170 dan 725
(Gambar 1).
Spektrum FT-IR (Gambar 1) menun-
jukkan puncak serapan pada daerah bilang-
an gelombang 2929 dan 2856 cm
-1

merupakan serapan khas dari vibrasi
stretching C-H sp
3
yang didukung dengan
vibrasi bending C-H sp
3
pada daerah
bilangan gelombang 1458 dan 1437cm
-1
.
Serapan pada daerah bilangan gelombang
1744 cm
-1
adalah frekuensi regangan gugus
karbonil (C=0) dari ester yang terbentuk
dan didukung dengan puncak vibrasi C-O-
C ester pada daerah bilangan gelombang

O
Benzena
metil kaproat
OCH
3

as. kaproat metanol

O
Sintesis Selulosa Kaproat Melalui Reaksi Interesterifikasi
(Misdawati)

41
O
O
1170 cm
-1
. Serapan pada daerah bilangan
gelombang 1720 cm
-1-
adalah frekuensi
regangan gugus karbonil (C=O) dari ester
C8 yang masih bercampur dengan C6
tetapi secara signifikan tidak mengganggu
untuk reaksi selanjutnya. Spektrum yang
menunjukkan puncak vibrasi pada daerah
bilangan gelombang 725cm
-1
adalah
vibrasi rocking dari (CH
2
)
n
pada (CH
2
)
4
.
Dari spektrum FT-IR metil kaproat diatas
maka senyawa yang terbentuk
mengandung gugus C=O dan C-O-C yang
merupakan karakteristik dari ester.

Pembuatan Selulosa Asetat
Asetilasi selulosa dengan asetat
anhidrid menggunakan pelarut asetat
glasial dan katalisator asam sulfat pekat
menghasilkan selulosa asetat dengan
kandungan asetil 44,08 % dan mempunyai
derajat substitusi (DS) 2,92. Penggunaan
asetat anhidrid dengan perbandingan moll
(selulosa: asetat anhidrid 1 : 3 ) diharapkan
agar ketiga gugus hikrosksill pada setiap
monomer dapat terasetilasi secara
sempurna membentuk triester dengan
waktu pengadukan selama 5 jam pada
suhu 50
0
C. Reaksi asetilasi selulosa
dengan menggunakan katalis asam sulfat
pekat berlangsung menurut reaksi berikut:

CH
2
OH O
H O CH
3
C
H O + O H
2
SO
4

CH
3
C
OH H H O

H OH asetat anhidrid
n
Selulosa

O

CH
2
O C CH
3

O
H H O O
O + CH
3
C
OCCH
3
H OH

O H

H O - C CH
3
n


Pada spektrum ini dapat dilihat bahwa
puncak serapan pada daerah bilangan
gelombang 3382 cm
-1
merupakan pita
serapan gugus hidroksil (OH) pada unit
anhidroglukosa, sedangkan puncak serapan
pada daerah bilangan gelombang 1164
merupakan serapan dari ikatan C-O-C dari
bentuk glikosida. Kemudian puncak
serapan pada daerah bilangan gelombang
1033 cm
-1
merupakan rentangan C-O
gugus hidroksil (OH) pada unit
anhidroglukosa dan puncak serapan pada
daerah bilangan gelombang 898 cm
-1
khas
untuk piranosa (Hendri, J, 1999;
Silvestrein,1986). Puncak-puncak diatas
merupakan puncak yang menunjukkan
gugus penyusun dari selulosa
Dengan membandingkan spektrum
selulosa tanpa asetilasi dengan spektrum
selulosa yang terasetilasi seperti yang
ditunjukkan pada Gambar.

Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 38-45

42

Gambar 1. Spektrum FT-IR Selulosa Asetat

Pada Gambar 1 selulosa terasetilasi
dapat dilihat bahwa puncak serapan pada
daerah bilangan gelombang 1033 hilang
dari spektrum FT-IR selulosa (Gambar 2)
dan muncul puncak serapan pada daerah
bilangan gelombang 1751 cm
-1
tumpul
agak lebar yang merupakan pita serapan
gugus karbonil (C=0) ester, dan
terbentuknya ester ini didukung dengan
munculnya pita serapan pada daerah
bilangan gelombang 1242 cm
-1
yang
merupakan pita serapan yang khas C-O
ester dari asetat (Bilmann, 1983). Pita
serapan pada daerah bilangan gelombang
1161 cm
1
merupakan serapan dari ikatan
C-O-C glikosida tri asetil selulosa. Pita
serapan pada daerah bilangan gelombang
1045 cm
-1
adalah ikatan C-O-C siklik pada
selulosa tri asetat.
Adanya puncak-puncak ini
membuktikan bahwa telah terjadi asetilasi
pada gugus hidroksil selulosa, namun
serapan pada daerah bilangan gelombang
3483 cm
-1
menunjukkan bahwa selulosa
masih memiliki gugus hidroksil yang
belum terasetilasi. Walaupun demikian
selulosa tri asetat sudah benar-benar
terbentuk, karena selulosa tri asetat adalah
residu yang tidak terlarut dalam medium
asetilasi (Saka dan Takanishi, 1998), kalau
yang terbentuk mono dan diester maka
produk ini akan larut dalam medium
asetilasi. Terbentuknya selulosa tri asetat
juga didukung dengan diperolehnya DS =
2,92 dengan persen asetil 44,08 %.
Esterifikasi pada tiga gugus hidroksil pada
masing-masing unit anhidroglukosa
didalam rantai selulosa menghasilkan
selulosa tri-asetat yang memiliki DS=3,
tetapi dalam prakteknya tri asetat DS
mendekati 3 yaitu sekitar 2,8 - 2,95
(Shapped, 1984 dan Rich, 1984). Dalam
hal ini produk selulosa tri asetat dengan DS
yang sama tingginya dengan 2,8, 43,5%
asetil (92% gugus hidroksil terasetilasi)
sudah dapat diterima (Kluk, 1964; Austin,
1984).
Hasil analisis SEM dengan pembesaran
200 kali dapat dilihat pada Gambar 2.
















Gambar 2 dan Gambar 3. Foto SEM Selulosa dan
Foto SEM Selulosa Asetat

Analisis permukaan dengan SEM
menunjukkan bahwa selulosa
menunjukkan serat yang baik dengan
ukuran yang sama, sedangkan pada
selulosa tri asetat (yang terasetilasi)
menunjukkan permukaan mengalami
perubahan. seratnya menjadi berubah
sehingga pori-porinya menjadi lebih kecil
dan rapat yang mengakibatkan daya serap
terhadap air berkurang.
Sintesis Selulosa Kaproat Melalui Reaksi Interesterifikasi
(Misdawati)

43
CH
3
OH
Pembuatan Selulosa Kaproat
Selulosa kaproat yang diperoleh
dengan rendemen reaksi sebesar 65%
dengan reaksi sebagai berikut:

O O
Sel O C + CH
3
(CH
2
)
3
CH
2
C NaOCH
3

CH
3
OCH
3

selulosa asetat metil kaproat

O O


Sel O - C + CH
3
C
C
5
H
11
OCH
3


selulosa kaproat metil asetat


Dalam reaksi interesterifikasi ini
adanya katalis NaOCH
3
berdasarkan
prinsip HSAB (Hard Soft Acid Base) maka
gugus asetil (-CO-CH
3
) dari selulosa asetat
yang merupakan hard acid segera bereaksi
dengan gugus metoksi (-OCH
3
) dari metil
kaproat yang hard base membentuk metil
asetat. Selanjutnya gugus alkoksi dari
selulosa yang soft base akan bereaksi
dengan gugus kaprosil yang soft acid
membentuk selulosa kaproat.
Hasil analisis spektroskopii FT-IR
selulosa kaproat memberikan spektrum
dengan puncak-puncak serapan pada
daerah bilangan gelombang 3448; 2935
2877; 1751; 1373; 1242; 1049 dan 721
(Gambar 4).
Spektrum FT-IR senyawa selulosa
kaproat memberikan puncak serapan pada
daerah gelombang bilangan 3448 cm
-1

yang merupakan serapan khas untuk gugus
hidroksil (OH-), puncak serapan pada
daerah bilangan gelombang 1751 cm
-1

adalah regangan gugus karbonill (C=0) dan
didukung puncak vibrasi C-O-C pada
daerah bilangan gelombang 1242 cm
-1
.
Puncak serapan pada daerah bilangan
gelombang 2935 cm
-1
merupakan serapan
khas dari vibrasi stretching C-H sp
3
yang
didukung dengan vibrasi bending C-H sp
3

pada daerah bilangan gelombang 721 cm
-1

yang tajam adalah vibrasi rocking dari
(CH
2
)n pada (CH
2
)
4

Spektrum ini bila dibandingkan dengan
spectrum FT-IR selulosa asetat yang belum
di interesterifikasi (gambar 4.2.2) tampak
perbedaan yang jelas pada daerah bilangan
gelombang sekitar 3448 cm
-1
yaitu serapan
gugus OH yang lebih lebar dan besar. Juga
tampak perbedaan yang jelas pada daerah
bilangan gelombang 721 cm
-1
dimana pada
selulosa asetat tidak terdapat puncak
tersebut yang menandakan serapan.gugus
(CH
2
)n.
Hasil analisis SEM pada Gambar 4
adalah sebagai berikut:









Gambar 4. Foto SEM Selulosa Kaproat

Dari analisis SEM pada Gambar 4
dapat dilihat perbedaan dimana permukaan
selulosa kaproat mengalami perubahan
dimana pori-porinya jauh lebih rapat dan
padat sehingga menjadi kurang menyerap
air jika dibandingkan dengan selulosa
asetat.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat
disimpulkan bahwa senyawa yang
terbentuk adalah selulosa kaproat.
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 38-45

44
KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang
dilakukan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Selulosa asetat yang terbentuk
merupakan residu yang tidak larut
dalam medium asetilasi dan
mempunyai derajat substitusi (DS) =
2,92 dengan kandungan asetil 44,08%.
2. Selulosa kaproat dapat disintesis
melalui reaksi interesterifikasi antara
selulosa asetat dengan metil kaproat
menggunakan katalis NaOCH
3
dan
pelarut metanol pada suhu refluks.

DAFTAR PUSTAKA

Austin, G.T., (1984), Man made and Film
Industries, in Shreves Chemical Process
Industries, 8
th
Ed., Mc Graw- Hill Book
Company, New York.
Barsha, J and Wyck, P.V., (1996). Cellulose in,
Krik-othmer Encyclopedia of Chemical
Technologic, 2
nd
Ed., 4, 593-614, john
Wiley & Sons, Inc. New York.
Biemen, K., (1983). Tables of Spectral Data for
Structure Dtermination of Organic
compounds, Springer Verlag Berlin
Heidelberg.
Billmeyer, W.F., (1984), Textbook of Polymer
Science , 3
rd
Ed., John Willey & Sons, New
York.
Brahmana, H.R., (1994), Sintesa Alkil Eter dan
Ester Selulosa Turunan Asam Lemak Kelapa
Sawit (CPO) dan Inti Sawit (CPOK) dengan
Natrium Selulosa Pinus Merkusii, Laporan
Penelitian Hibah Bersaing 1/3, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Fengel, D dan Wegener, G., (1995), Kayu, Gajah
Mada University Press, , Yogyakarta.
Fringant,C., Rinudo, M., Foray, M.F., Bardet, M.,
(1998), Preparation of Mixed Esters of
Starch or Use of An External Plasticizer:
Two Different Ways to Change The
Properties of Starch Acetate Films,
Carbohydrate polymers, 35, 97 106.

Funaki, Y., Ueda, K., Saka, S., (1993),
Characterizing of Cellulose Acetate in
Aceton Selution. Studies on Prehump (II) in
GPC Pattern , J. Appl. Polym. Sci., 48, 419
423.
Garcia, C.V., Thiebaud, S.S.,. Borredon, M.E.,
Ghozzelino, G., (1998), Cellulose
Esterification Wiyh Fatty Acid and
Anhydride in Lithium Chloride / N,N-
Dimethylacetomide Medium, J. Am. Oil.
Chem. Soc., 75, 315.
Gupta, B.S., (1992), Manufactured Textile Fibers,
in Riegels Hand book of Indusrtial
Chemistry, 9
th
Ed., 735 758, Van Nostran
Reinhold, New York.
Inagaki, H., and Philips, G.O., (1989), Cellulosuc
Utilization, Reearch and Rewards in
Cellulosics, Elsevier Science Publisher Ltd,
London.
Klug, E.D., (1964), Cellulosa Derivates in Kirk
Othmer Encyclopedia of Chemical
Technology, 2
nd
Ed., 4, 679 684, John
Wiley & Sons, Inc. New York.
Kumar S., and Kohli K., (1985), Chemical
Modification of Wood : Reaction swith
Thiocetic Acid and Its Effect on Physical and
Mechanical Properties and Biological
Resistence, Proceeding of The Second
Internastional Symposium on Polimeric
Reniewable Resources Materials, Florida.
Leyes, C. E., (1986), Hawleys Condensed
Chemical Dictionary, 12
th
Ed., Van
Nostrand Reinhold, New York.
March, J., (1992), Advance organic Chemistry ,
fourth edition, A Wiley Interscience
publication, John Wiley & Sons, New York.
Mark, F.h., and J.J. Mc. Ketta., (1987),
Encyclopedia of Chemical Technology , Vol.
1, 2
nd
Ed., Completely Revised.
Matsumura H., and Saka S., (1992), Cellulosa
Triacetate Prepared from Low Grade Pulp
(I). Insoluble in Acetilatyion Solution,
Mokkuzai Gakkashi, 38 (3), 270-276.
Matsumura H., and Saka S., (1992), Cellulosa
Triacetate prepared from Low-Grade Pulp (II).
Insoluble in Acetilatyion Solution, Mokkuzai
Gakkashi, 38(9), 862-868.


Sintesis Selulosa Kaproat Melalui Reaksi Interesterifikasi
(Misdawati)

45
Saka, S., and Takanishi, K., (1998), Celulosa
Triacetat Prepared from Low Grade
Hardwood Dissolving Pulp and Its Insoluble
Residues in Acetylation Mediums , J.Appl.
Polym. Sci., Vol. 67, 289 297.
Journal of Pulp and Paper Science : Vol 28 No. 5
May 2002.

Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 46-50

46
PENGUJIAN TERHADAP PENGIKATAN DAN PELEPASAN
SEFALEKSIN PADA ERITROSIT SECARA IN VITRO


Matheus Timbul Simanjuntak
Jurusan Farmasi FMIPA
Universitas Sumatera Utara
Jl. Bioteknologi No. 1 Kampus USU Medan 20155


Abstrak

Telah dilakukan penelitian mengenai pengujian terhadap pengikatan dan pelepasan sefaleksin pada eritrosit
manusia secara in vitro. Pengikatan dan pelepasan sefaleksin terhadap eritrosit manusia dilakukan pada
temperatur kamar, pH
in
= pH
out
= 7,4. Hasil percobaan pengikatan sefaleksin terhadap eritrosit manusia
menunjukkan adanya kenaikan konsentrasi obat terikat dengan menaiknya konsentrasi sefaleksin dan pada
konsentrasi di atas 1 mM terjadi peningkatan yang lebih tajam dan pelepasan sefaleksin dari ikatan sefaleksin
terhadap eritrosit manusia berlangsung dengan cepat.

Kata Kunci: Sefaleksin, eritrosit, ikatan protein, in vitro


PENDAHULUAN

Eritrosit dapat berfungsi sebagai pembawa
obat karena mempunyai sifat biodegradasi,
nonimunogenik dan dapat ditargetkan secara
selektif pada hati atau limpa tergantung pada
karakteristik membran, sehingga dapat
diaplikasikan untuk penyampaian secara
target terbatas terutama untuk pengobatan
penyakit yang terjadi pada lisosom dan
toksisitas logam. (Gennaro, 2000)
Sefaleksin merupakan suatu antimikroba
turunan amino sefalosporin yang bersifat
lipofilik dan sukar diabsorbsi pada usus halus
dari kelinci percobaan (Kimura T. dkk, 1985)
dengan pKa
1
= 2,5, pKa
2
= 5,2, dan pKa
3
=
7,3 dan luas digunakan untuk pengobatan
(Moffat, 1986).
Berbagai penelitian tentang ikatan protein
terhadap obat pada eritosit manusia telah
dilakukan antara lain untuk; golongan
sulfonamid (Matsumoto, et al., 1989),
zonisamid dengan metode sentrifugasi dan
ultrafiltrasi menyatakan bahwa sel utuh dan
karbonik anhidrase mempunyai afinitas yang
tinggi untuk berikatan (Matsumoto, et
al.,1989), sulfadimetoksin dan metabolit
utamanya (Otagiri, et al., 1989), pentosifilin
dengan metode spektroskopi spin resonansi
yang menyatakan bahwa fluiditas pada daerah
posfolipid dalam eritrosit meningkat dengan
peningkatan konsentrasi obat dan adanya
interaksi liposom dengan eritrosit
menyebabkan perubahan dalam molekul
membran sel di sekitar Band 3 yang
menghasilkan pelepasan protein dari
membran eritrosit (Sato, et al., 1990),
terhadap metabolit hidroklotiazid ditemukan
adanya dua ikatan dan salah satu adalah pada
karbonik anhidrase (Yamazaki, et al., 1990),
modifikasi liposom dengan glisirrhizin (Tsuji,
et al., 1991), karprofen (Kohita, et al., 1994),
glisirrhizin (Ishida, et al., 2001) dan KE 298
(Endo, et al., 2001). Namun bagaimana
hubungan antara sefaleksin dengan eritrosit
belum banyak diteliti sampai saat ini.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
dilakukan penelitian terhadap pengikatan dan
pelepasan sefaleksin pada eritrosit manusia
secara in vitro.

BAHAN DAN METODA
Pengujian Terhadap Pengikatan dan Pelepasan Sefaleksin pada Eritrosit Secara In Vitro
(Matheus T Simanjuntak)

47

Bahan
Sefaleksin (Sigma, St.Louis, M.O), darah
manusia (PMI), Natrium Klorida (Widatra
Bhakti, Pandaan), membran selulosa
(Cellophan Tubing Seamless).

Pembuatan Kurva Serapan Sefaleksin
Ditimbang seksama 50 mg sefaleksin dan
dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml,
dilarutkan dengan larutan natrium klorida
fisiologis dan dicukupkan volume sampai
garis tanda. Larutan ini dipipet 3,4 ml dan
dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml
kemudian dicukupkan volume dengan
penambahan larutan natrium klorida fisiologis
sampai garis tanda, konsentrasi sefaleksin =
17 mcg/ml. Ukur serapan larutan dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang
220-320 nm.

Pembuatan Larutan Induk Baku
Ditimbang seksama 35 mg sefaleksin,
dimasukkan dalam labu tentukur 100 ml
dilarutkan dalam larutan natrium klorida
fisiologis dan dicukupkan volumenya hingga
garis tanda.

Pembuatan Kurva Kalibrasi
Dari larutan induk baku dibuat larutan
sefaleksin dengan berbagai konsentrasi yaitu:
0,002; 0,006; 0,01; 0,02; 0,03; 0,04; 0,05;
0,06; 0,07; 0,08; 0,09; 0,1 mM dengan cara
memipet larutan induk baku 0; 0,1; 0,3; 0,5;
1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; 4; 4,5; 5 ml ke dalam
labu tentukur 50 ml, kemudian ditambahkan
larutan natrium klorida fisiologis sampai garis
tanda. Ukur serapan pada panjang gelombang
263 nm.

Pencucian Membran Selulosa
Membran selulosa dengan panjang 12 cm
dimasukkan dalam wadah yang telah berisi
aquadest, kemudian dipanaskan selama 3 jam
sampai transparan.
Penyediaan Media Eritrosit
Ke dalam 5 ml eritrosit yang
bercampur dengan antikoagulansia
ditambahkan 5 ml larutan natrium klorida
fisiologis dingin, campur sampai homogen
dengan bantuan pencampur sentuh (touch-
mixer). Disentrifuge dengan kecepatan 3000
rpm selama 5 menit. Pisahkan supernatan dari
endapan. Endapan (eritrosit) ditambah
kembali dengan 5 ml larutan natrium klorida
fisiologis dingin campur sampai homogen
dengan bantuan touch-mixer. Kemudian
disentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit
dan kembali dilakukan pemisahan supernatan
dari endapan. Percobaan diulangi sampai
diperoleh supernatan yang jernih. Eritrosit
yang telah bersih disimpan pada temperatur
dingin.

Percobaan Pengikatan Sefaleksin
Terhadap Eritrosit

1. Untuk Blanko 1
Masukkan 10 ml larutan natrium klorida
fisiologis ke dalam membran selulosa
dengan panjang 12 cm, ikat ke 2 ujung
membran dengan benang bedah dan
dilakukan uji kebocoran, kemudian
masukkan ke dalam beakerglass 250 ml
yang telah berisi medium berupa 50 ml
larutan natrium klorida fisiologis. Setiap
15 menit aduk perlahan-lahan, dan
lakukan percobaan selama 1 jam. Ukur
absorbansi dari larutan medium pada =
263 nm.

2. Untuk Blanko 2
2 ml darah yang telah dicuci dicampur
dengan 8 ml larutan natrium klorida
fisiologis didalam membran selulosa
dengan panjang 12 cm, ikat ke 2 ujung
membran dengan benang bedah dan
dilakukan uji kebocoran, kemudian
masukkan ke dalam beaker glass 250 ml
yang telah berisi medium 50 ml larutan
natrium klorida fisiologis. Setiap 15 menit
aduk perlahan-lahan, dan lakukan
percobaan selama 1 jam. Ukur absorbansi
dari larutan medium pada = 263 nm.

3. Untuk Blanko 3
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 46-50

48
Masukkan 10 ml larutan natrium klorida
fisiologis ke dalam membran selulosa
dengan panjang 12 cm, ikat ke 2 ujung
membran dengan benang bedah dan
dilakukan uji kebocoran, kemudian
masukkan ke dalam beakerglass 250 ml
yang berisi medium 50 ml larutan
sefaleksin dalam larutan natrium klorida
fisiologis dengan konsentrasi 0,02 mM.
Setiap 15 menit aduk perlahan-lahan, dan
lakukan percobaan selama 1 jam. Ukur
absorbansi dari larutan medium pada =
263 nm.

4. Untuk Sampel
2 ml darah yang telah dicuci dicampur
dengan 8 ml larutan natrium klorida
fisiologis didalam membran selulosa
dengan panjang 12 cm, ikat ke 2 ujung
membran dengan benang bedah dan
dilakukan uji kebocoran, kemudian
masukkan ke dalam beaker glass 250 ml
yang berisi medium 50 ml larutan
sefaleksin dalam larutan natrium klorida
fisiologis dengan konsentrasi 0,02 mM.
Setiap 15 menit aduk perlahan-lahan, dan
lakukan percobaan selama 1 jam. Ukur
absorbansi dari larutan medium pada =
263 nm. Lakukan percobaan sama seperti
prosedur di atas dengan variasi
konsentrassi 0,02 mM 1,5 mM.

Percobaan Pelepasan Sefaleksin dari
pengikatan dengan eritrosit

1) Untuk sampel 1
2 ml darah yang telah dicuci dicampur dengan
8 ml larutan natrium klorida fisiologis
didalam membran selulosa dengan panjang 12
cm, ikat ke 2 ujung membran dengan benang
bedah dan dilakukan uji kebocoran, kemudian
masukkan ke dalam beakerglass 250 ml yang
berisi larutan sefaleksin 0,5 mM didiamkan
selama 1 jam. Dilakukan uji pelepasan
terhadap hasil pengikatan di atas dengan
menggunakan medium 200 ml larutan natrium
klorida fisiologis. Dilakukan variasi waktu
sampling sampai dengan setengah jam.
Volume 10 ml medium yang digunakan
segera diganti dengan 10 ml larutan natrium
klorida fisiologis. Larutan medium yang
diperoleh diukur dengan menggunakan
spektrofotometer ultraviolet pada = 263 nm

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kurva serapan sefaleksin dalam larutan
natrium klorida fisiologis
Serapan maksimum larutan sefaleksin dengan
konsentrasi 17 mcg/ml dalam larutan natrium
klorida fisiologis dengan metode
spektrofotometer ultraviolet diperoleh pada
panjang gelombang 263 nm. Hasil ini hampir
sesuai dengan Farmakope Indonesia Edisi IV
yang menyatakan bahwa maks sefaleksin
adalah 262 nm.
Kurva kalibrasi sefaleksin dalam larutan
natrium klorida fisiologis
Kurva kalibrasi dari larutan sefaleksin dibuat
dengan mengukur absorbansi pada panjang
gelombang 263 nm dengan metode
spektrofotometri dari suatu seri larutan
sefaleksin dalam larutan natrium klorida
fisiologis dengan interval konsentrasi
pengukuran yaitu 0,002 mM; 0,006 mM; 0,01
mM; 0,02 mM; 0,03 mM; 0,04 mM; 0,05
mM; 0,06 mM; 0,07 mM; 0,08 mM; 0,09
mM; 0,1 mM. Dari grafik absorbansi vs
konsentrasi diperoleh harga persamaan garis
regresi Y = 9,2408X + 0,0062 dengan
koefisien korelasi (r) = 0,9989 yang
memperlihatkan adanya korelasi liner antara
peningkatan konsentrasi dengan absorbsi
dalam inerval 0,002 mM 0,1 mM.
Pengikatan sefaleksin terhadap eritrosit
Percobaan ini dilakukan untuk mengeta-
hui kemampuan dari sefaleksin untuk
berikatan dengan eritrosit manusia.
Rancangan urutan percobaan pengikatan
sefaleksin terhadap eritrosit seperti yang
tercantum pada metodologi dilakukan dengan
maksud :
1. Prosedur a: untuk mengetahui pengaruh
membran selulosa terhadap larutan.
2. Prosedur b: untuk mengetahui pengaruh
eritrosit terhadap membran selulosa.
Pengujian Terhadap Pengikatan dan Pelepasan Sefaleksin pada Eritrosit Secara In Vitro
(Matheus T Simanjuntak)

49
3. Prosedur c: untuk mengetahui pengaruh
membran selulosa terhadap obat.
4. Prosedur d: untuk mengetahui pengaruh
eritrosit terhadap obat.













Gambar 1. Grafik konsentrasi obat bebas vs
konsentrasi awal dari pengikatan
sefaleksin terhadap eritrosit manusia
pada temperatur kamar, pH
in
= pH
out
=
7,4
Hasil gambar 1 yaitu grafik konsentrasi
obat bebas versus konsentrasi awal sefaleksin
terlihat bahwa adanya peningkatan secara
bertahap konsentrasi obat bebas dengan
meningkatnya konsentrasi awal sefaleksin
sampai 0,8 mM namun pada konsentrasi awal
sefaleksin lebih besar dari 0,8 mM hampir
tidak mengalami kenaikan, hal ini mungkin
karena kapasitas pengikatan obat terhadap
eritrosit telah maksimum (jenuh).


















Gambar 2. Grafik konsentrasi obat terikat vs
konsentrasi awal dari pengikatan
sefaleksin terhadap eritrosit manusia pada
temperatur kamar, pH
in
= pH
out
= 7,4
Pada grafik konsentrasi obat terikat versus
konsentrasi awal sefaleksin menunjukkan
adanya peningkatan secara linier pada jarak
konsentrasi awal konsentrasi 0 1,5 mM.

















Gambar 3. Grafik obat terikat vs obat bebas dari
sefaleksin terhadap eritrosit manusia pada
temperatur kamar, pH
in
= pH
out
= 7,4
Dari hasil grafik obat yang terikat vs obat
bebas, didapat bahwa semakin tinggi
konsentrasi obat bebas, dengan kata lain
konsentrasi sefaleksin tinggi, maka makin
tinggi konsentrasi obat terikat. Di atas
konsentrasi 1 mM, terjadi peningkatan yang
sangat tajam pada konsentrasi obat terikat, hal
ini diduga kemungkinan diakibatkan oleh
karena eritrosit pecah

sehingga permukaan eritrosit akan bertambah
luas untuk tempat berikatan dengan
sefaleksin. Dalam penelitian ini juga telah
dilakukan pengamatan dengan mikroskop
terhadap eritrosit pada berbagai konsentrasi
awal sefaleksin yaitu 0,2 mM; 0,6 mM; 1,2
mM; 1,5 mM.
Dari pengamatan secara makroskopis dari
eritrosit (gambar tidak diperlihatkan)
diketahui bahwa semakin meningkat
konsentrasi awal sefaleksin, maka bentuk
eritrosit semakin tidak beraturan terutama
pada konsentrasi sefaleksin lebih besar dari 1
mM.
Dengan mempergunakan Scatchard Plot
dari rasio obat yang terikat dan obat bebas vs
obat yang terikat (Shargel, 1988), diperoleh
tetapan ikatan (Ka) dan tempat berikatan (n)
0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0.03
0.035
0.04
0.045
0.05
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Konsentrasi Awal (mM)
O
b
a
t

b
e
b
a
s

(
m
M
/
m
L

e
r
i
t
r
o
s
i
t
)
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Konsentrasi Awal (mM)
O
b
a
t

t
e
r
i
k
a
t

(
m
M
/
m
L

e
r
i
t
r
o
s
i
t
)
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05
Obat Bebas (mM/mL eritrosit)
O
b
a
t

t
e
r
i
k
a
t

(
m
M
/
m
L

e
r
i
t
r
o
s
i
t
)
Jurnal Sains Kimia
Vol 9, No.1, 2005: 46-50

50
dari sefaleksin terhadap eritrosit. (grafik tidak
diperlihatkan)

Pelepasan sefaleksin dari eritrosit manusia
Urutan percobaan pelepasan sefaleksin
dari ikatan sefaleksin terhadap eritrosit
manusia seperti yang tercantum pada
metodologi dilakukan dengan maksud :
1. Prosedur a : untuk mengetahui
pengaruh eritrosit terhadap obat.
2. Prosedur b : untuk mengetahui
pengaruh eritrosit
terhadap membran
selulosa.
3. Prosedur c : untuk mengetahui
pengaruh memban
selulosa terhadap
larutan.











Gambar 4. Grafik % kumulatif obat terlepas vs waktu
pada temperatur kamar, pH
in
= pH
out
= 7,4
Gambar 4 yaitu % kumulatif sefaleksin
yang terlepas dari ikatan sefaleksin terhadap
eritrosit manusia terlihat bahwa sefaleksin
dilepas dengan cepat, yaitu:
Pada menit ke 1 sefaleksin dilepas sebanyak
63,548 %
Pada menit ke 26 sefaleksin dilepas
sebanyak 82,561 %
Pada menit ke 126 sefaleksin dilepas
sebanyak 98,830 %

KESIMPULAN

1. Percobaan pengikatan sefaleksin terhadap
eritrosit manusia dilakukan pada
temperatur kamar, pH
in
= pH
out
= 7,4 yang
menunjukkan adanya kenaikan
konsentrasi obat terikat dengan
menaiknya konsentrasi sefaleksin dan
pada konsentrasi di atas 1 mM terjadi
peningkatan yang lebih tajam.
2. Pelepasan sefaleksin dari ikatan sefaleksin
terhadap eritrosit manusia berlangsung
dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA

DitJen POM, 1995, Farmakope Indonesia. Edisi Ke IV,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta, hal. 179-
181.
Endo, H. , Yoshida, H., Hasegawa, M., Ohmi, N.,
Horiuchi, N., Hamada, Y., Higuchi, S., 2001,
Stereo and Selectivity and Species difference in
Plasma Protein Binding of KE-298 and Its
Metabolits, Biology Pharmacetical Bulletin,
Japan, Vol. 24 : 800-805.
Gennaro, R.A., 2000, Remington. The Science and
Pactice Pharmacyl, 20
th
Edition,University of
The Sciences in Philadelphia, p.903-920.
Ishida, S., Sakiya, Y., Ichikawa, T., Kinoshita, M.,
Awazu, S., 1989, Binding of Glycyrrhizin to
Human Serum and Human Serum Albumin,
Chemical Pharmaceutical Bulletin, Tokyo,
Japan, Vol. 37 : 226-228.
Kimura, T., Yamamoto, T., Ishizuka, R., 1985,
Transport of Cefadroxil, an Amino
Cephalosporine Across Artificial Membrane and
Rabbit Ileum, Biochemistry Pharmacology, 34
(1) : 81-84.

0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140
Waktu (menit)
%
K
u
m
u
la
t
if
O
b
a
t
T
e
r
le
p
a
s

Anda mungkin juga menyukai