Anda di halaman 1dari 3

Article

Mengenal Lebih Dekat, Fuel Cell (2)


Keunggulan fuel cell
Jika berbicara tentang keunggulan fuel cell, maka salah satunya adalah tingkat efisiensi energi
yang dihasilkan. Jika pada pembangkit listrik tenaga termal, suhu pembakaran sekitar 550o C,
secara teoritis memiliki tingkat efisiensinya maksimal 60 %. Namun untuk fuel cell yang
menggunakan hydrogen sebagai sumber energinya, pada suhu kamar pun, secara teoritis
memiliki tingkat efisiensi mencapai 83 %.
Kenapa tingkat efisiensi dari fuel cell, bisa tinggi? Agar lebih mudah dipahami mungkin kita
bisa mengambil contoh dari perbandingan filamen pada bohlam dan LED (Light Emitting
Dioda).
Filamen pada lampu bohlam, akan mengubah energi listri menjadi energi panas terlebih
dahulu. Kemudian dari energi panas diubah menjadi energi cahaya. Namun energi panas yang
seharusnya diubah menjadi energi listrik, kebanyakan lolos keluar menuju lingkungan. Hal ini
dapat dirasakan dengan memegang lampu bohlam yang terasa hangat. Sedangkan pada LED,
energi listrik segera diubah menjadi energi cahaya, tanpa diubah terlebih dahulu menjadi energi
panas. Sehingga daya yang hilang dan konsumsi daya dari LED sangat kecil bila dibanding
lampu bohlam.
Seperti halnya contoh diatas, pada pembangkit listrik tenaga thermal, bahan bakarnya terlebih
dahulu diubah menjadi energi panas (dibakar), kemudian baru diubah menjadi energi listrik.
Dengan perlakuan seperti itu, resiko loss (kehilangan) akan sangat besar, khususnya ketika
pengubahan energi panas menjadi energi listrik, banyak energi panas yang lolos. Hal inilah
penyebab rendahnya efisiensi pada pembangkit listrik tenaga thermal.
Berbeda dengan pembangkit listrik tenaga thermal, pada fuel cell, bahan bakar (hidrogen)
secara langsung diubah menjadi energi listrik tanpa melewati perubahan ke energi panas
terlebih dahulu. Hal ini lah yang menyababkan tingkat efisiensi pada fuel cell tinggi.
Sebenarnya secara teoritis efisiensi energi fuel cell dapat mencapai 100%. Namun bila bahan
bakar yang digunakan bukanlah hidrogen melainkan karbon. Karbon secara teoritis memiliki
tingkat efisiensi energi sangat tinggi, maksimal mencapai 100 %. Hal ini lebih besar bila
dibandingkan dengan hidrogen (83 %) dan bahan baker fosil (90%).
Namun katalis, yang berfungsi mengambil elekron dari karbon, hingga saat ini belum
ditemukan, sehingga secara kenyataan karbon tidak bisa digunakan pada fuel cell. Seandainya
katalis ini bisa ditemukan mungkin akan lahir peradaban "energi karbon".
Katalis pada fuel cell
Kendala terbesar pada fuel cell adalah harga, akibat mahalnya platina. Sebagai gambaran,
pada PEFC, salah satu tipe fuel cell, yang digunakan pada mobil/rumah tangga (dengan daya
1 / 3
Article
100 K Watt) dibutuhkan sekitar 100 gram platina. Jika seandainya harga platina saat ini sekitar
8000 yen (sekitar Rp 620.000) maka untuk 100 gram platina berkisar 800.000 yen (sekitar 62
juta). Sangat lah mahal!.
Selain itu diperkirakan platina yang terkandung dibumi hanya berkisar 28.000 ton. Sehingga
bisa disimpulkan apabila tidak ditemukan alternative pengganti platina, yang jumlahnya sangat
terbatas dan harganya yang sangat mahal, maka tamatlah riwayat fuel cell.
Untuk itu, ada beberapa cara yang dikembangkan. Salah satunya adalah untuk menghemat
penggunaan platina, maka cukuplah digunakan partikel platina bukan logam secara
kesuluruhan. Katalis pada prinsipnya bekerja hanya pada permukaan platina saja. Sehingga
jika partikel platina semakin kecil, luas permukaan katalis akan semakin besar, sehingga dapat
menghemat penggunaan platina. Biasanya partikel platina tersebut dilekatkan pada carbon
yang telah dipadatkan dengan teknologi karbon nanotube. Dengan perkembangan
nanoteknologi saat ini, muncul teknologi karbon nanohorn yang dikembangkan oleh
perusahaan jepang, NEC, dan diperkirakan mampu meningkatkan tingkat efisiensi dan lamanya
waktu (lifetime) kerja fuel cell.
Cara lainnya adalah menggantikan platina dengan logam lain. Salah satu logam yang potensial
adalah perpaduan kobalt dengan nikel. QuantumSphare Inc., perusahaan yang berbasis di
California, mengklaim berhasil mengembangan nanomaterial nikel-kobalt yang mampu
menggantikan penggunaan platina pada fuel cell. Dan mampu menghemat biaya pembuatan
fuel cell hingga 50 %. Namun perlu pengorbanan kecil pada performance dari fuel cell. Sebagai
perbandingan, jika menggantikan platina pada katoda secara kesuluruhan (7.7 mikrogram/cm2)
dengan nikel-kobalt, akan menghemat biaya 90% namun performance, dibanding platina murni,
turun 27 %.
Pemanfaatan fuel cell saat ini dan masa datang
Penerapan fuel cell untuk skala rumah tangga sudah mulai diterapkan sejak tahun 2005 yang
lalu. Di jepang sendiri sudah terpasang sekitar 600 fuel cell skala rumah tangga. Namun untuk
harga satu buah fuel cell saat ini bisa menghabiskan ratusan ribu yen (puluhan juta rupiah).
Diharapkan pada tahun 2020 nanti, harganya bisa menjadi 1/10-nya.
Dengan adanya pemakaian fuel cell pd rumah tangga, maka sudah tidak diperlukannya lagi
kabel pengalir listrik (dari pembangkit listrik ke rumah), sehingga loss dayanya menjadi nol.
Selain itu, bila panas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan lagi, salah satunya utk memanaskan
air/ ofuro (kebiasaan merendam orang jepang di air panas) dengan koordinasi seperti ini, maka
tingkat efisiensi pemanfaatan energi fuel cell bisa mencapai 80 %.
Untuk saat ini penggunaan fuel cell pada skala rumah tangga di jepang masih menggunakan
gas alam sebagai bahan bakarnya. Dengan menggunakan system perpipaan gas yang sudah
terpasang di setiap rumah, gas tersebut dialirkan kemudian akan diubah menjadi hidrogen dan
baru kemudian dialirkan ke fuel cell. Dimasa depan, Jika hidrogen bisa dihasilkan secara
massal, dengan pemanfaatan rute aliran gas ini, hidrogen bisa dialirkan langsung ke fuel cell
yang telah terpasang di setiap rumah di Jepang.
2 / 3
Article
Selain pada rumah, fuel cell mulai digunakan secara luas pada hand phone. Hp saat ini,
khususnya di jepang, sudah mulai dilengkapi dengan berbagai macam fitur yang sangat tinggi,
seperti MP3 player, TV, navigasi, dll. Sehingga untuk mampu menjalankan fitur2 tingkat tinggi
maka diperlukan baterai dengan daya tinggi dan tahan lama. Apabila melihat perkembangan
baterai saat ini (baterai litium) maka hal ini menjadilah mustahil.
Yang diharapkan saat ini adalah fuel cell. Seandainya baterai hp saat ini digantikan dengan
fuel cell dengan ukuran yang sama, mampu meningkatkan waktu guna hp minimal 10 kali lipat
dibanding baterai lithium. Tidak hanya hp, penggunaan fuel cell saat ini sudah mulai diterapkan
pada perangkat elektronik mobile lainnya, seperti laptop, dan digital kamera.
Jenis Fuel Cell yang banyak digunakan pada perangkat elektronik mobile adalah DMFC (Direct
Methanol Fuel Cell). DMFC merupakan salah satu jenis PMFC, dengan methanol sebagai
bahan bakarnya. Keunggulan dari DMFC ini, terletak pada methanol. Berbeda dengan
hidrogen, yang sangat sulit untuk dibawa kemana-mana, methanol dapat disimpan dalam botol
plastik sehingga dapat dibawa ketika berpergian. Namun ada sisi negatif dari methanol, yaitu
merupakan zat yang berbahaya. Sehingga penggunaan methanol diperlukan kehati-hatian
tinggi.
Mengingat methanol cukup berbahaya bagi manusia, maka saat ini sedang dicari alternatif
lainnya seperti ethanol atau NaBH4 (yang dikembangkan oleh Millennium Cell Corp).
Pengunaan fuel cell pun saat ini, sudah mulai merambah ke alat transportasi massal. Seperti
Bis, dan yang baru- baru ini adalah pada kereta api. Pada tanggal 19 Oktober yang lalu, Japan
Railway East melakukan uji coba kereta yang digerakkan oleh fuel cell, untuk pertama kalinya
didunia. Kereta ini disebut NE Train (New Energy Train). Dengan fuel cell berdaya 65 K Watt
dan 7 tank hydrogen yang terletak dibagian bawah dan baterai kedua yang terletak di atap,
kereta ini hanya menghasilkan air sebagai limbahnya dan mampu jalan tanpa kabel. NE Train
ini mampu berlari pada kecepatan maksimal 100 kph selama 50 sampai 100 km tanpa
memerlukan pengisian ulang hidrogen. Pihak JR berharap pada 10-20 tahun mendatang, NE
Train ini bisa digunakan secara luas pada commuter train.
Dedy Eka Priyanto

3 / 3

Anda mungkin juga menyukai