Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran respiratori akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Penyakit ini sering didapatkan
pada anak usia kurang dari 2 tahun. Selain itu, bronkiolitis juga merupakan penyebab
tersering perawatan rumah sakit pada bayi di bawah 1 tahun, terutama usia antara 2
sampai 6 bulan. mumnya infeksi tersebut disebabkan oleh !irus. Se"ara klinis
ditandai dengan episode pertama whee#ing pada bayi yang didahului dengan gejala
infeksi saluran respiratori akut.
1,2
Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah pada
bayi dan anak yang berusia $ 2 tahun. %dapun penyebab yang telah diketahui antara
lain &espiratory syn"ytial !irus '() * +),-, %deno!irus, .uman metapneumo!irus '/
* 10,-, !irus 1nfluen#a, !irus Parainfluen#a tipe /, koinfeksi beberapa !irus lain '1)
* /), bayi dirawat-.
1
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling
sering terjadi pada usia 2-22 bulan, pun"aknya pada usia 2-+ bulan. Sembilan puluh
lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 3(, di antaranya
terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. 4renstein menyatakan bahwa bronkiolitis
paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia /-6 bulan yang tidak mendapatkan
%S1, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Bradley menyebutkan bahwa penyakit
akan lebih berat pada bayi muda. .al itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi
42 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pas"anatal. Beberapa prediktor lain untuk
beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan
masa gestasi 5 /2 minggu, usia 5 / bulan, sianosis, saturasi oksigen 5 0),, laju
respiratori 6 3) 78menit, adanya ronki, dan riwayat dysplasia bronkopulmoner
'bron"hopulmonary dysplasia, BP9-.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran respiratori akut-bawah yang
ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. mumnya infeksi tersebut
disebabkan oleh !irus. Se"ara klinis ditandai dengan episode pertama whee#ing pada
bayi yang didahului dengan gejala infeksi saluran respiratori akut.
Bronkiolitis adalah peradangan di bronkiolus. Penyakit ini sering didapatkan
pada anak usia kurang dari 2 tahun. Selain itu, bronkiolitis juga merupakan penyebab
tersering perawatan rumah sakit pada bayi di bawah 1 tahun, terutama usia antara 2
sampai 6 bulan. Penyakit ditandai oleh sindrom klinis berupa napas "epat, retraksi
dada, dan whee#ing.
Etiologi
Bronkiolitis merupakan penyebab terbanyak infeksi respiratori bawah pada
bayi dan anak yang berusia $ 2 tahun. %dapun penyebab yang telah diketahui antara
lain &espiratory syn"ytial !irus '() * +),-, %deno!irus, .uman metapneumo!irus '/
* 10,-, !irus 1nfluen#a, !irus Parainfluen#a tipe /, koinfeksi beberapa !irus lain '1)
* /), bayi dirawat-.
Sekitar 0(, dari kasus-kasus tersebut se"ara serologis terbukti disebabkan
oleh in!asi &S:. 4renstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti
%deno!irus, !irus 1nfluen#a, !irus Parainfluen#a, &hino!irus, dan mikoplasma, tetapi
belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh bakteri.
Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling
sering terjadi pada usia 2-22 bulan, pun"aknya pada usia 2-+ bulan. Sembilan puluh
lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 3(, di antaranya
terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. 4renstein menyatakan bahwa bronkiolitis
paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia /-6 bulan yang tidak mendapatkan
%S1, dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain 4renstein, ;ouden menyatakan
bahwa bronkiolitis terjadi 1,2( kali lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. 9ominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga disebutkan oleh Shay,
yaitu 1,( kali lebih banyak daripada anak perempuan, sedangkan <jaerli menyebutkan
6/, kasus bronkiolitis adalah laki-laki.
Sebanyak 11,2, anak berusia di bawah 1 tahun dan 6, anak berusia 1-2
tahun di %S pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 0).))) kasus
perawatan di &S dan menyebabkan 2()) kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis
merupakan 13, dari semua kasus perawatan di &S pada bayi. <rekuensi bronkiolitis
di negara-negara berkembang hampir sama dengan di %S. 1nsidens terbanyak terjadi
pada musim dingin atau pada musim hujan di =egara-negara tropis.
Shay dkk, meneliti data &S di %S selama 13 tahun yaitu tahun 10+)-1006, dan
menemukan 1,6( juta perawatan karena bronkiolitis pada anak berusia di bawah (
tahun, (3, pada anak berusia di bawah 6 bulan, dan +1, pada bayi. >erjadi kenaikan
angka perawatan di &S pada anak berusia 1-2 tahun di %S, dari 1,/ per 1))) pada
tahun 10+) menjadi 2,/ per 1))) pada tahun 1006. Pada periode yang sama terjadi
peningkan yang nyata perawatan di &S pada bayi, yaitu 2,2 kali dari 12,0 per 1)))
menjadi /1,2 per 1))), terutama pada usia di bawah 6 bulan yaitu meningkat 2/0,.
Selama tahun 10++-100), bayi laki-laki yang dirawat adalah 22,0 per 1))), lalu
meningkat menjadi /+,2 per 1))) selama tahun 1002-1006, sedangkan perempuan
meningkat dari 1(,1 per 1))) menjadi 22,2 per 1))) pada tahun yang sama. <jaerli
dalam penelitian retrospektif selama tujuh tahun 'tahun 100/-2)))- di =orwegia juga
menemukan bahwa usia di bawah 6 bulan merupakan 2(, dari seluruh perawatan
bronkiolitis.
&erata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah
21,3 per 1))), dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,+ per
1))) pada usia 1-2 tahun. 1wane yang meneliti se"ara prospektif di %S selama tahun
2)))-2))1 menemukan bahwa pada anak dengan pemeriksaan !irus positif, angka
perawatan di &S adalah /,( per 1))) akibat &S:, 1,2 per 1))) akibat !irus
Parainfluen#a, dan ),6 per 1))) akibat !irus 1nfluen#a. ;ima puluh persen dari
jumlah perawatan tersebut adalah bayi berusia di bawah enam bulan.
?edian lama perawatan adalah 2-2 hari, ke"uali pada bayi premature dan
kelainan bawaan seperti penyakit jantung bawaan 'P@B-. Bradley menyebutkan
bahwa penyakit akan lebih berat pada bayi muda. .al itu ditunjukkan dengan lebih
rendahnya saturasi 42 juga pada bayi yang terpapar asap rokok pas"anatal. Beberapa
prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis atau yang akan menimbulkan komplikasi
yaitu bayi dengan masa gestasi 5 /2 minggu, usia 5 / bulan, sianosis, saturasi
oksigen 5 0),, laju respiratori 6 3) 78menit, adanya ronki, dan riwayat dysplasia
bronkopulmoner 'bron"hopulmonary dysplasia, BP9-.
Aenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh beberapa
fa"tor, yaitu perubahan "riteria perawatan anak dengan 1&%, kebiasaan pengasuhan
dengan lebih banyak anak yang dititipkan di tempat penitipan anak '>P%-, dan fa"tor
!irus sendiri yaitu perubahan !irulensi strain &S:. Selain itu, terdapat juga fa"tor
perubahan "riteria diagnosti" terutama mikrobiologis dan panduan terapi, serta
turunnya mortalitas bayi premature dan bayi dengan kelainan bawaan kompleks yang
merupakan risiko tinggi perawatan karena &S:. 1wane yang meneliti dua daerah
urban di %merika Serikat, yaitu ?onroe Bounty, =ew Cork, dan 9a!idson Bounty,
>ennessee, menemukan bahwa usia muda terutama di bawah 1 tahun, ras kulit hitam
dan .ispanik, laki-laki, dan adanya penyakit kronis yang mendasari berhubungan
dengan tingginya angka perawatan.
%ngka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di =egara-negara berkembang
daripada di =egara-negara maju. .al ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status
gi#i dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di =egara
berkembang. %ngka mortalitas di =egara berkembang pada anak-anak yang dirawat
adalah 1-/,.
Patofisiologi
1nfeksi !irus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mu"us, timbunan
debris selular8sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit
peribronkial dan edema submukosa. Aarena tahanan aliran udara berbanding terbalik
dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa
akan memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang
memiliki penampang saluran respiratori ke"il. &esistensi pada bronkiolus meningkat
selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih ke"il
selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air-trapping dan hiperinflasi. %telektasis
dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja !entilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan !entilasi-
perfusi '!entilation-perfusion mismat"hing-, yang berikutnya akan menyebabkan
terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan. &etensi
karbondioksida 'hiperkapnea- tidak selalu terjadi, ke"uali pada beberapa pasien.
Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Aerja
pernapasan 'work of breathing- akan meningkat selama end-e7piratory lung !olume
meningkat dan "omplian"e paru menurun. .iperkapnea biasanya baru terjadi bila
respirasi men"apai 6) 78menit.
Pemulihan sel epitel baru tampak setelah /-2 hari, tetapi silia akan diganti
setelah dua minggu. @aringan mati 'debris- akan dibersihkan oleh makrofag.
Diagnosis
9iagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. %namnesis
Bronkiolitis merupakan penyakit yang menyebabkan penderita umur 5 1
tahun harus dirawat di &S, terutama lebih sering pada bayi berumur antara 2
dan 6 bulan.
Dejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat !irus, seperti
pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk
yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan whee#ing,
sianosis, merintih 'grunting-, napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan
penurunan napsu makan.
2. Pemeriksaan <isik
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah
adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas /+,(
o
B. Selain itu,
dapat juga ditemukan konjungti!itis ringan dan faringitis.
4bstruksi saluran respiratori-bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga whee#ing. saha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan
menimbulkan napas "uping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat
juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi,
dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia 5 6
minggu.
<rekuensi napas meningkat diatas () * 6) kali8menit. 9enyut nadi
juga biasanya meningkat. Suhu badan bisa normal atau meningkat tinggi
sampai men"apai 21
o
B. Pada beberapa pasien, dapat ditemukan konjungti!itis
dan otitis, juga faringitis. Seringkali dijumpai ekspirasi memanjang, tetapi
suara pernafasan normal. Pada auskultasi bisa terdengar ronkhi dan whee#ing
atau rales biasanya terdengar di seluruh permukaan paru. Pada beberapa
pasien didapatkan sianosis.
<rekuensi pernapasan yang meningkat merupakan gangguan
pertukaran gas dan frekuensi napas E 6) kali8menit menunjukkan adanya
penurunan Pa42 dan peningkatan PaB42. Saturasi oksigen 5 06, didapatkan
pada anak dengan peningkatan frekuensi napas, whee#ing, dan retraksi.
/. Pemeriksaan ;aboratorium dan Pemeriksaan Penunjang
a. ;aboratorium
Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit
biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. %nalisis gas darah
'%D9- diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang
membutuhkan !entilator mekanik. %D9 didapatkan hipoksemia, pada
bronkiolitis berat dapat disertai hiperkapnia dan asidosis.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik adalah jumlah leukosit yang
berkisar antara ())) * 22.))) sel8Fl. Pada keadaan leokositosis, batang
dan P?= banyak ditemukan.
b. Dambaran radiologi
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrate
'pat"hy infiltrate-, tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan
pada asma, pneumonia !iral atau atipikal, dan aspirasi. 9apat pula
ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada saat kon!alesens akibat
se"ret pekat ber"ampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping,
diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. ntuk
menemukan &S: dilakukan kultur !irus, rapid antigen dete"tion tests
'dire"t immunofluoresen"e assay dan en#yme-linked immunosorbent
assay, G;1S%-, atau polymerase "hain rea"tion 'PB&-, dan pengukuran
titer antibody pada fase akut dan kon!alesens.
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. 9igunakan
berbagai skala klinis, misalnya &espiratory 9istress %ssessment
1nstrument '&9%1- atau modifikasinya yang mengukur laju
pernapasan8respiratory rate '&&-, usaha napas, beratnya whee#ing, dan
oksigenasi.
". Serologi
1dentifikasi !irus bisa dilakukan dengan memeriksa sekresi nasal dengan
menggunakan teknik imunofluoresens untuk &S: dan beberapa !irus lain,
namun pemeriksaan ini mahal dan terbatas. Pemeriksaan rapid offi"e
te"hniHues saat ini dimungkinkan dengan menggunakan kit !irus tertentu.
Skala klinis yang digunakan %bul-%inine dan ;uyt adalah I
1. &espiratory &ate '&&-I dihitung manual, baik dengan palpasi dan melihat
gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali penghitungan dan
diambil rata-ratanya.
2. .eart &ate '.&-I diambil dari pulse o7ymetry yang diba"a lima kali
selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.
/. Saturasi 42 I diambil dari pulse o7ymetry yang diba"a lima kali selama
pengamatan 1 menit dan diambil rata-ratanya.
2. &espiratory "lini"al status yang dinilai menggunakan &9%1 menurut
;owell dkk.
(. Status akti!itas bayi 'empat tingkat I tidur, tenang, rewel, dan menangis-.
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh 9obson, menilai skor klinis sebagai
berikut I
1. Aeadaan umum I diberi skor ) 'tidur- hingga 2 'sangat rewel-.
2. Penggunaan otot bantu napas I skor ) 'tidak ada retraksi- hingga /
'retraksi berat-.
/. Jhee#ing I skor ) 'tidak ada- hingga / 'whee#ing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik-.
9alam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi
klinis yang dapat menyerupai penyakit lain. 9iagnosis banding sebaiknya
dipikirkan, misalnya asma, bron"hitis, gagal jantung kongestif, dan edema
paru, yang memiliki gambaran klinis menyerupai bronkiolitis. Selain itu,
pneumonia dengan berbagai sebab 'aspirasi, !irus, bakteri, dan mikoplasma-
juga dapat memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang
menyerupai bronkiolitis. 4leh karena itu, untuk menentukan diagnosis
bronkiolitis pada anak, penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang
usia terjadinya kasus, dan musim-musim tertentu dalam satu tahun.
9alam menilai kegawatan penderita dapat digunakan &espiratory 9istress
%ssessment 1nstrument '&9%1- yang menilai distress napas berdasarkan 2
!ariabel respirasi yaitu whee#ing dan retraksi I
=ilai 6 1( I kategori berat
=ilai 5 / I kategori ringan
Diagnosis Banding
%sma bron"hial
Bronkopneumonia
%spirasi benda asing
Dagal jantung
<ibrosis kistik
Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian
oksigen, minimal handling pada bayi, "airan intra!ena dan ke"ukupan "airan,
penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi
bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi
seperti kortikosteroid, anti!iral seperti riba!irin, dan pen"egahan dengan !aksin &S:,
&S: immunoglobulin 'poly"lonal-, atau humani#ed &S: mono"lonal antibody
'Pali!i#umab-.
1. Bronkodilator
Peran bronkodilator masih "ontro!ersial. &e!iew Bo"hrane baru-baru ini yang
dikutip oleh Jainwright tentang penggunaan bronkodilator untuk bronkiolitis
menunjukkan perbaikan skor klinis untuk jangka pendek, tetapi tidak terdapat
perbaikan gejala oksigenasi atau angka perawatan di &S.
Bronkodilator digunakan se"ara luas untuk bayi-bayi dengan
bronkiolitis, yaitu sekitar 6+-06, bayi di pusat pelayanan pediatri" tersier di
Aanada. Pada sur!ey yang dilakukan pada ++ pusat pelayanan pediatri" di
Gropa, (2 pusat pelayanan melaporkan penggunaan bronkodilator pada semua
pasien dengan bronkiolitis, dan 1( pusat pelayanan melaporkan hanya
menggunakan bronkodilator pada pasien risiko tinggi. 9i 1nggris dan
%ustralia, penggunaan bronkodilator lebih jarang.
Johl dan Bherni"k menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan
sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori ke"il pada bayi dengan
bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi K-adrenergik
dan agonis L-adrenergik.
Aelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator L-adrenergik
selektif adalah I
1. Aerja konstriktor L-adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa,
membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan
sedikit efek pada !entilation-perfusion mat"hing.
2. &elaksasi otot bronkus karena efek L-adrenergik.
/. Aerja L-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
2. Gfek fisiologik antihistamin yang melawah efek histamine seperti edema.
(. ?engurangi sekresi kataral.
Gfek Gpinefrin terhadap denyut jantung
Penelitian membandingkan antara nebulasi epinefrin dengan normal salina
didapatkan dalam bentuk 1, epinefrin tartrat dengan sodium metabisolfit dan
!ehikulum sebanyak 2 ml, diberikan tiga kali dengan inter!al 2 jam selama 22
jam pertama dibandingkan dengan normal salin. >idak ada perbedaan
bermakna pada laju respiratori, tekanan darah, atau usaha napas sebelum
maupun setelah perlakuan. %kan tetapi, epinefrin menyebabkan kenaikan
yang se"ara statisti" tidak bermakna pada laju pernapasan yaitu sebesar 2
78menit, dan kenaikan tekanan darah sebesar ( mm.g baik sistolik maupun
diastoli", dan nampak usaha napas lebih rendah.
Beberapa peneliti lain memberikan nebulisasi rasemi" epinefrin untuk
mengurangi efek pada jantung, melaporkan kenaikan tekanan sistolik segera
setelah dan 2( menit pas"anebulisasi, tetapi tidak terjadi pada 1(, /), dan 6)
menit pas"anebulisasi. Selain itu, ditemukan juga perbaikan skor klinis untuk
jangka pendek setelah pemberian inhalasi bronkodilator. Perbaikan klinis
menetap menentukan lamanya perawatan di &S dan kesiapan pulang.
Penggunaan bronkodilator, khususnya bronkodilator kerja "epat,
kemungkinan tidak akan mempengaruhi keluaran yang menetap lebih lama
ke"uali bila terapi diberikan lebih sering. Gfek K-adrenergik dari nebulisasi
epinefrin dapat mengurangi edema jalan napas yang berperan dalam
patofisiologi bronkiolitis akut. Pengurangan sementara edema dapat
memperbaiki fungsi paru dan pengeluaran se"ret sehingga memberikan
keuntungan jangka panjang. %kan tetapi, epinefrin tidak menurunkan se"ara
bermakna lama perawatan atau lamanya waktu yang diperlukan hingga pasien
layak untuk dipulangkan.
Gfek pemberian terapi suportif
%bul-%inine dan ;uyt meneliti efek jangka pendek nebulisasi adrenalin
dibandingkan dengan salin pla"ebo pada bayi dengan bronkiolitis sedang-
berat. Penelitian dilakukan pada /+ bayi, 10 bayi diberi nebulisasi / ml le!o-
adrenalin '/ mg- dosis tunggal sementara 10 bayi lainnya diberi ),0, salin
pla"ebo dengan oksigen 6 l8menit. Aeluaran yang dinilai yaitu &&, .&,
saturasi 42, &9%1, dan tingkat akti!itas pada saat * 2), ), 2), 2), dan 6)
menit kemudian.
.asil penelitian menunjukkan bahwa pemberian terapi suportif
sebelum perlakuan menyebabkan penurunan bermakna dari && yaitu 2,/
78menit, .& 2,6 78menit, tetapi tidak ada perubahan pada saturasi 42 dan
&9%1 serta parameter keluaran yang lain. Peneliti menekankan bahwa terapi
suportif 'menurunkan suhu badan, membersihkan se"ret hidung, mengganti
popok sehingga bayi tidak basah, minum bila sudah memungkinkan, dan
minimal handling- akan memberikan penurunan && dan .& yang bermakna.
%da dua hal penting dalam penelitian penyakit akut yang dapat sembuh
spontan. Cang pertama adalah menilai efek terapi suportif dan mengobser!asi
pasien. Cang kedua adalah membandingkan terapi yang menggunakan pelarut
yang diteliti karena pelarutnya juga mungkin berpengaruh positif.
Perbandingan efek terapi epinefrin dengan L-agonis
9ari 11 penelitian tentang penggunaan epinefrin pada bronkiolitis, satu
penelitian adalah penelitian tanpa kontrol pada pasien yang memakai
!entilator, sedangkan 1) penelitian dilakukan pada pasien tanpa !entilator
'enam penelitian membandingkan epinefrin dengan albuterol, empat
penelitian membandingkan epinefrin dengan pla"ebo-. Pada sebagian besar
penelitian, epinefrin diberikan dengan nebuli#er melalui masker oksigen
dengan aliran 6 l8menit, meskipun ada yang diberikan se"ara parenteral
dengan dosis ),( * + mg. Aeluaran yang diukur adalah perubahan skor klinis,
yang diukur dengan pulse o7ymetry dan lainnya diukur dengan uji fungsi
paru. Aebanyakan penelitian melaporkan perbaikan pada keluaran jangka
pendek, meskipun kondisi beberapa pasien memburuk yang diukur dengan
skor klinis, uji fungsi paru, atau oksimetri.
Sejak tahun 100/ telah dilakukan delapan penelitian a"ak terkontrol
pada 66) anak dengan bronkiolitis yang diberi epinefrin, baik dibandingkan
dengan salin pla"ebo maupun dengan nebulisasi L2 agonis seperti salbutamol
dan albuterol. Aing dkk. ?elakukan meta-analisis terhadap delapan penelitian
tersebut. Aeluaran yang dinilai adalah perubahan jangka pendek pada skor
klinis, status fisiologis '&&, .&, dan saturasi 42-, pemeriksaan fisis 'mengi,
retraksi-, dan lama perawatan di &S.
9ua penelitian yang metodologinya dinilai sangat baik, dengan jumlah
subyek /2(, membandingkan ra"emi" epinefrin dengan albuterol dan
dibandingkan dengan salin, atau epinefrin dibandingkan dengan pla"ebo
menunjukkan hasil tidak ada perbedaan bermakna pada lama perawatan
maupun saat siap dipulangkan pada kelompok yang diteliti.
9ari tiga penelitian yang se"ara metodologi dinilai baik, dua di
antaranya membandingkan antara epinefrin dan salbutamol, sedangkan satu
penelitian lainnya membandingkan antara ra"emi" epinefrin dan salin pla"ebo,
dan dilakukan pada 131 subyek. 9ua penelitian tidak menunjukkan perbedaan
bermakna pada perubahan skor klinis dan lama perawatan, tetapi satu
penelitian menunjukkan lebih pendeknya lama perawatan pada kelompok
epinefrin.
>iga penelitian dengan kategori metodologi sedang dengan jumlah
subyek 122M satu penelitian membandingkan antara ra"emi" epinefrin dan
pla"ebo, dengan hasil perbaikan skor klinis tetapi peningkatan saturasi
oksigen hanya pada awal pengamatan, yaitu setelah 1( dan /) menit. 9ua
penelitian yang membandingkan antara epinefrin dan salbutamol,
menunjukkan adanya perbaikan klinis selain .& setelah 1 jam dan penurunan
indikasi rawat pada kelompok epinefrin, tetapi satu penelitian tidak
menunjukkan peningkatan saturasi oksigen meskipun ada penurunan && pada
kelompok epinefrin. Selain itu, ditemukan berbagai efek samping epinefrin
berupa peningkatan .&, pu"at, tremor, dan hipertensi ringan.
Johl dan Bherni"k berpendapat bahwa tidak ada pengobatan
bronkiolitis yang memperpendek lama perawatan, termasuk albuterol,
kortikosteroid, maupun epinefrin. %kan tetapi, dibandingkan dengan albuterol,
epinefrin dapat mengurangi tahanan saluran respiratori dan menghasilkan
perbaikan klinis yang lebih baik.
Gfek pemberian terapi L-agonis
Beta-agonis masih sering digunakan dengan alas an 1(-2(, pasien
bronkiolitis nantinya akan menjadi asma. 1nhalasi L2-agonis diberikan satu
kali sebagai trial dose. Aarena efek akan tampak dalam 1 jam, maka dosis
ulangan hanya diberikan bila pasien menunjukkan perbaikan klinis fungsi
paru yang jelas dan menetap.
9ilakukan meta-analisis efekti!itas L2-agonis inhalasi pada bronkiolitis
dengan penelitian a"ak terkontrol, tiga penelitian pada pasien rawat inap dan
lima penelitian pasien rawat jalan. .asil penelitian pada pasien rawat inap
saling bertentangan I satu penelitian menunjukkan efekti!itas dengan
perbaikan skor klinis yang bermakna dan lama perawatan lebih singkat,
sedangkan dua penelitian lain tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada
skor klinis, tetapi ada penurunan saturasi oksigen yang bermakna. Penelitian
pada pasien rawat jalan menunjukkan bahwa pemberian L2-agonis jangka
pendek tidak mempunyai dampak terhadap && dan angka perawatan, tetapi
mempunyai dampak terhadap penurunan saturasi 42 dan laju denyut jantung
yang bermakna se"ara statisti". Cang diteliti pada dua penelitian adalah
albuterol 2,( mg pada semua pasien atau ),1( mg8kgBB, dan satu
penelitianmenggunakan fenoterol ),2 ml8kgBB yang diberikan dengan
inter!al /) menit * 6 jam.
9obson meneliti se"ara prospektif, double-blind, pla"e "ontrolled,
randomi#ed "lini"al trial pada (2 anak berusia di bawah 22 bulan dengan
bronkiolitis sedang * berat yang diberi albuterol nebulisasi 1,2( mg untuk
anak dengan berat badan 5 1) kg atau 2,( mg untuk berat badan 6 1) kg
dalam normal salin agar menjadi / ml dibandingkan dengan pla"ebo. Semua
memperoleh terapi suportif seperti oksigen, "airan intra!ena, isap lender, dan
fisioterapi. Aeluaran yang dinilai berupa keluaran primer dan sekunder.
Aeluaran primer yaitu perbaikan saturasi 42 dan waktu yang dibutuhkan
hingga pasien memenuhi "riteria pulang 'Sa42, penggunaan otot bantu napas,
dan mengi-. Aeluaran sekunder yaitu lama perawatan. .asil penelitian
menunjukkan bahwa nebulisasi albuterol tidak memper"epat penyembuhan
atau mengurangi beratnya penyakit.
Aing juga mengkaji 1/ penelitian yang menilai berbagai ma"am
bronkodilator, sebagian dengan perlakuan ganda, dengan jumlah subyek
seluruhnya 0(6. Sebelas penelitian membandingkan salbutamol atau albuterol
dengan salin pla"ebo, nebulisasi salin pla"ebo atau pla"ebo yang tidak
dijelaskan atau kontrol. Gmpat penelitian membandingkan dengan nebulisasi
ipratropium-bromida, 2 penelitian membandingkan dengan salbutamol atau
albuterol oral. Satu penelitian membandingkan salbutamol ?91 'metered dose
inhaler- dengan salbutamol oral. Aeluaran yang diteliti umumnya hal-hal
pengganti 'surrogate measures- misalnya perbaikan skor klinis, dan
berlangsung jangka pendek. Aeragaman dan perbedaan obat, dosis, deli!ery
system, setting dan keluaran menyulitkan perbandingan atau penelitian umum.
>ujuh penelitian menilai hal-hal yang mempengaruhi lama perawatan,
ternyata tidak ada perubahan bermakna pada berbagai kelompok. 9ari 12
penelitian dengan pembanding salin pla"ebo, tiga di antaranya menunjukkan
perbaikan berbagai pengukuran klinis jangka pendek, yaitu /) * 6) menit
pas"aperlakuan dengan nebulisasi bronkodilator, tetapi satu penelitian bahkan
memburuk. Gnam penelitian tidak melaporkan efek samping, tujuh penelitian
melaporkan peningkatan .& dan penurunan sementara saturasi oksigen.
=ebulisasi ipratropium-bromida bersama salbutamol dibandingkan satu sama
lain se"ara tunggal dan pla"ebo pada penelitian degan empat perlakuan.
Penelitian lain membandingkan nebulisasi ipratropium-bromida dengan
nebulisasi salbutamol, dan yang lain membandingkan nebulisasi ipratropium-
bromida ditambah albuterol dengan albuterol ditambah saline pla"ebo. Pada
pengamatan lama perawatan dan perbaikan skor klinis pada penelitian dengan
salbutamol semua tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Satu
penelitian menunjukkan perbaikan saturasi oksigen pada gabungan
ipratropium-bromida dengan salbutamol yang dibandingkan dengan hanya
ipratropium-bromida atau salbutamol sendiri-sendiri, tetapi bila gabungan ini
dibandingkan dengan pla"ebo tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
>idak ada perbedaan bermakna antara && pada albuterol ditambah saline
pla"ebo, dan && pada ipratropium-bromida ditambah albuterol.
2. Aortikosteroid
Darrison dkk. ?elakukan meta-analisis steroid sistemik pada pengobatan
bronkiolitis untuk menjawab dua pertanyaan primer. Pertanyaan pertama,
apakah pengobatan steroidsistemik pada bayi yang dirawat dengan
bronkiolitis berhubungan dengan penurunan lama rawat di rumah sakitN
Pertanyaan kedua, apakah pengobatan tersebut dapat mengurangi gejalaN
Aortikosteroid yang digunakan adalah prednisone, prednisolon,
metilprednisolon, hidrokortison, dan deksametason. ntuk penyamaan
dilakukan kon!ersi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat
tersebut dalam eHui!alen mg8kgBB prednisone. &ata-rata dosis per hari
berkisar antara ),6 * 6,/ mg8kgBB, dan rata-rata total paparan antara /,) *
1+,0 mg8kgBB. Bara pemberian adalah se"ara oral, intramus"ular, dan
intra!ena. >idak ada efek merugikan yang dilaporkan.
.asil meta-analisis menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid
pada bronkiolitis lebih efektif daripada yang dilaporkan sebelumnya, yaitu
kortikosteroid menyebabkan penurunan skor gejala klinis dan lamanya
perawatan di rumah sakit yang bermakna se"ara statisti". Sangat mungkin
keuntungan kortikosteroid bergantung pada beratnya penyakit saat dimulainya
pengobatan.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa pasien yang tidak
menggunakan !entilator, atau pasien yang mempunyai skor gejala lebih tinggi
ketika masuk, lebih responsi!e terhadap pengobatan. %da dua implikasi
penelitian, yaitu yang pertamaM karena hasilnya didapat pada kasus berat,
maka tidak dapat digeneralisasikan pada semua pasien rawat jalan, dan keduaM
semakin berat penyakit maka semakin banyak keuntungan yang diperoleh
dengan pemberian steroid sistemik. 1ni merupakan sasaran pemberian
kortikosteroid yang memerlukan penelitian lebih lanjut.
Aeluaran yang diukur dari berbagai penelitian adalah perbaikan klinis
baik diukur dengan maupun tanpa skor klinis, lama penggunaan oksigen, dan
lama perawatan. Aarena lama perawatan dapat bergantung pada fa"tor
nonmedis, maka beberapa penelitian menggunakan "riteria kesiapan pulang.
Penelitian multisenter randomi#ed double blind pla"ebo "ontrolled
dilakukan oleh Bade dkk. di lima rumah sakit di Jest Corkshire. Seratus enam
puluh satu bayi yang dirawat selama musim dingin tahun 100(-1006
dinebulisasi 1 mg budesonid atau pla"ebo, diberikan dua kali sehari hingga 2
minggu setelah pulang, dan dilakukan pemantauan selama 12 minggu.
Aeluaran yang dinilai adalah lama perawatan, waktu yang diperlukan hingga
bebas gejala, angka perawatan kembali, kunjungan ke dokter, dan penggunaan
obat untuk mengatasi mengi. .asilnya menunjukkan tidak ada keuntungan
klinis jangka pendek maupun jangka panjang pada pemberian nebulisasi
kortikosteroid pada bronkiolitis fase akut. ntuk memastikan bahwa tidak ada
yang terlewat dari efek sesaat kortikosteroid pada gejala, peneliti melakukan
analisis data 1 bulan setelah pasien pulang dan data keseluruhan setelah 12
minggu. &ata-rata hari batuk dan8atau mengi selama 2+ hari setelah pulang
sama dengan selama 12 minggu yaitu 13 hari dibandingkan 13,1 hari.
Aemungkinan tidak terlihatnya efek perbaikan oleh kortikosteroid adalah
karena deposisi di paru sedikit. Pada bayi dengan asma atau anak ke"il dengan
tidak breathing yang normal, hanya kurang dari 2), dosis budesonid
nebulisasi yang masuk ke mulut. Peneliti memperkirakan deposisi di paru
mungkin bahkan lebih sedikit lagi karena adanya takipnea, air trapping, dan
sekresi berlebihan akibat bronkiolitis.
Aing melakukan meta-analisis penelitian dengan kortikosteroid,
dengan "ara oral, parenteral, maupun inhalasi. Pada lima penelitian
kortikosteroid oral dibandingkan dengan pla"ebo, empat penelitian meneliti
angka dan lamanya perawatan dengan hasil I satu penelitian dengan
deksametason menunjukkan angka yang lebih rendah, tetapi penelitian dengan
deksametason lain tidak menunjukkan perbedaan bermaknaM penelitian dengan
prednisolon menunjukkan lama perawatan lebih rendah pada bayi yang
menggunakan !entilatorM penelitian oral prednisolon justru menunjukkan lebih
tingginya angka perawatan. Penelitian dengan prednisolon ditambah
nebulisasi albuterol menunjukkan perbaikan skor klinis pada hari ke-2, tetapi
perbedaan ini tidak terlihat pada hari ke-/ * 6.
Aortikosteroid deksametason intramus"ular maupun intra!ena,
dibandingkan dengan pla"ebo, tidak menunjukkan perbedaan pada lama
perawatan maupun waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan gejala klinis.
Pada enam penelitian kortikosteroid per inhalasi, lima nebulisasi budesonid
atau dengan metered dose inhaler '?91- dan satu flutikason propionate ?91
diberikan selama 2 minggu * / bulan, memiliki kualitas penelitian yang lebih
rendah daripada se"ara oral maupun parenteral. .asilnya menunjukkan
berkurangnya kebutuhan terapi inhalasi 2 tahun kemudian pada kelompok
yang menggunakan budesonid selama 2 bulan dibandingkan dengan selama 3
hari dan kelompok kontrol. 9ua penelitian menunjukkan memburuknya gejala
klinis jangka lama seperti mengi, batuk 1 tahun kemudian, atau perawatan
kembali di rumah sakit 6 bulan kemudian. Penggunaan flutikason propionate
selama / bulan dibandingkan dengan pla"ebo menunjukkan berkurangnya
episode batuk malam pada minggu ke-/6 pas"aterapi, tetapi tidak ada
perbedaan gejala batuk dan mengi pada minggu ke-/, 6, 12 dan 22.
Barben O .ammer merangkum terapi di bagian rawat jalan dan rawat
inap. 9i bagian rawat jalan dilaporkan penggunaan 00, salbutamol, dan /),
ipratropium-bromida dikombinasikan dengan salbutamol. Aortikosteroid
digunakan 0),, dengan "ara penggunaan +), inhalasi, 21, sistemik.
Aromoglikat digunakan 1+,. 9i bagian rawat inap penggunaannya adalah
06, salbutamol, ((, ipratropium-bromida 'sebagian besar dikombinasi
dengan salbutamol-. Aortikosteroid pada +(, terutama inhalasi. >eofilin
digunakan pada 13,, dan riba!irin +,.
Guropean So"iety for Pediatri"s 1nfe"tion 9isease 'SP19- tahun 100(
meneliti ++ pusat pelayanan di 10 negara. 9ilaporkan penggunaan
bronkodilator, yaitu M 61, se"ara rutin dan /2, pada bayi risiko tinggi.
Steroid 11, digunakan se"ara regular dan 60, pada bayi risiko tinggi.
Pediatri" 1n!estigators Bollaborati!e =etwork in 1nfe"tions, Aanada
tahun 1006 meneliti 0 rumah sakit pelayanan tingkat / se"ara retrospektif.
9ilaporkan penggunaan bronkodilator +(, dan steroid 2+, se"ara regular.
Bonsensus of %ustralian Pediatri" &espiratory Droup 100/
melaporkan penggunaan bronkodilator hanya (, se"ara rutinM steroid hanya
digunakan 1, se"ara rutin.
Perbedaan penggunaan bronkodilator maupun steroid ini
men"erminkan kebiasaan tiap =egara yang disesuaikan dengan masing-
masing Panduan =asional maupun "onsensus yang berdasarkan bukti.
9ari pemikiran bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan
ke"enderungan asma maka kortikosteroid lebih efektif pada anak dengan
predisposisi asma daripada dengan anak yang tidak. Aarena fa"tor
predisposisi tersebut tidak dapat diidentifikasi sebelumnya, maka penggunaan
kortikosteroid harus dipertimbangkan dengan bijaksana pada bayi yang
dirawat dengan bronkiolitis.
/. &iba!irin
&iba!irin yaitu suatu purin nu"leoside deri!ate guanosine sintetik bekerja
mempengaruhi pengeluaran m&=% !irus yang men"egah sintesis protein.
Sejak dii#inkan penggunaannya pada tahun 10+( oleh <ood and 9rug
%dministration '<9%-, riba!irin telah digunakan se"ara luas di %merika tara
untuk bayi risiko tinggi bronkiolitis yang disebabkan oleh &S:. Aarena
beberapa penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan, maka %meri"an
%"ademy of Pediatri"s '%%P- mere!isi rekomendasinya tentang penggunaan
riba!irin, dari Pshould beQ menjadi Pmay be "onsideredQ.
Bo"hrane re!iew menyimpulkan bahwa riba!irin tidak menunjukkan
efek positif yang menetap. Duerguerian meneliti efekti!itas klinis riba!irin
pada bayi yang sebelumnya sehat kemudian menggunakan !entilator karena
distress respirasi akibat bronkiolitis &S:. 9igunakan riba!irin aerosol 2)
mg8ml dibandingkan dengan pla"ebo yaitu =aBl ),0, diberikan 1+ jam per
hari selama maksimum 3 hari atau sampai ekstubasi. .asilnya menunjukkan
aerosol ditoleransi dengan baik dan tidak dilaporkan adanya kematian namun
analisis keluaran menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua
kelompok perlakuan pada lamanya penggunaan !entilator, terapi aerosol, lama
perawatan di unit intensif, total terapi oksigen, dan lama perawatan di rumah
sakit. Penelitian ini menunjukkan tidak efektifnya riba!irin aerosol untuk
mengurangi lamanya penggunaan !entilator dan perjalanan penyakit pada
bayi yang menderita bronkiolitis &S:. 9ilaporkan adanya plugging karena
sisa riba!irin di pipa endotrakeal dan !entilation "ir"uit. ?eert tahun 1002
juga menyatakan bahwa riba!irin tidak mengurangi lamanya !entilasi
mekanik.
Sebaliknya, Gdell yang meneliti se"ara prospektif pada bayi dengan
bronkiolitis &S: berat sebelum ( hari dari gejala awal segera diberi riba!irin
dosis tinggi jangka pendek I 6) mg8ml selama 2 jam, diberikan / kali sampai
total 6 g81)) ml tiap 22 jam selama / hari dibandingkan dengan terapi
konser!atif. Pemberian terapi konser!atif berupa 42 untuk mempertahankan
saturasi 42 transkutan 6 02,, "airan intra!ena, nebulisasi 2,( mg albuterol
tiap / * 2 jam, methylprednisolone 1 mg8kg berat badan8kali intra!ena tiap 12
jam selama / hari dan ranitidine oral / mg8kg per kali tiap 12 jam. Pada
pengamatan 1 tahun kemudian kelompok riba!irin mempunyai lebih sedikit
episode penyakit saluran respiratori reaktif '2,3R2,/ dibanding 6,2R2,2
episode per pasien8tahun-, berat penyakit saluran respiratori reaktif berkurang
'),)+ dibanding 1,)0 penyakit sedang sampai berat per pasien8tahun-, dan
perawatan oleh karena penyakit saluran respiratori berkurang '2( hari
perawatan disbanding 0)81)) pasien8tahun-. Gdell menyimpulkan pemberian
riba!irin dini kurang dari ( hari akan mengurangi insidens dan beratnya
penyakit saluran respiratori reaktif maupun perawatan di rumah sakit,
sehingga akan mengurangi biaya. Gfek yang menguntungkan ini mungkin
juga efek sinergistik pemberian riba!irin sedini mungkin ditambah
pengobatan lain yang berpotensi mengurangi reakti!itas saluran respiratori.
Beberapa penelitian yang melaporkan hasil positif riba!irin adalah Smith,
yang menunjukkan berkurangnya waktu penggunaan !entilatorM Darrison
melaporkan perbaikan fungsi paru yang dinyatakan dengan berkurangnya
whee#ing, penyakit saluran respiratori reaktif dan pneumonia.
9ata in!itro menunjukkan pemberian 1 kali saja riba!irin sedini mungkin
pada kultur sel trakea yang diinfeksi &S: akan menurunkan konsentrasi
kemokin dan menurunkan tingkat inflamasi. Pemberian riba!irin dini dapat
mengurangi risiko inflamasi karena !irus yang mengakibatkan jejas paru.
.asil yang tidak konsisten antar berbagai penelitian ini dapat
dijelaskan dengan perbedaan banyaknya !irus dan pelepasan kemokin dalam
stadium penyakit yang berbeda, waktu pemberian riba!irin, pla"ebo yang
berbeda pada beberapa penelitian '=aBl ),0, atau air-, !ariable peran"u, dan
sampel yang ke"il menyebabkan kekuatan statisti" rendah.
2. >erapi suportif lainnya
.elio7
.elio7 adalah "ampuran helium dan oksigen. .elio7 digunakan oleh Bara"h
sejak tahun 10/( untuk asma berat dan sumbatan saluran respiratori atas.
Aarena hasilnya "ontro!ersial, maka helio7 tidak digunakan se"ara luas. Gfek
positifnya dikarenakan densitas .elio7 yang lebih rendah daripada "ampuran
udara dan oksigen, sehingga mengurangi tekanan dorong yang dibutuhkan
pada aliran turbulen dan mempertahankan aliran laminar. .al ini akan
mengurangi kerja respirasi dengan mengurangi tahanan aliran udara.
Pada bayi dengan bronkiolitis karena &S: derajat sedang-berat, helio7
akan memperbaiki status respirasi se"ara klinis, yang ditunjukkan dengan
perbaikan skor klinis serta berkurangnya takikardi dan takipnea. &espons
yang baik ini terlihat pada jam pertama dan berlangsung selama terapi helio7
diberikan. %kan tetapi, perawatan di pediatri" intensi!e "are unit 'P1B- tidak
dapat diturunkan meskipun pasien mendapat helio7.
&e"ombinant .uman 9eo7yribonu"lease 1 'rh9=ase 1-
Patofisiologi bronkiolitis yaitu inflamasi, edema dan produksi mu"us akan
menyebabkan mu"ous plug. Sebagian atau seluruh saluran respiratori dapat
tersumbat, kemudian udara dapat terperangkap, sehingga dapat terjadi
hiperinflasi atau atelektasis. 4leh karena sel-sel inflamasi mengalami lisis,
maka terbentuk banyak 9=% pada mu"ous plug. 9=% akan menyebabkan
peningkatan !iskositas dan meningkatkan daya lekat se"ret. 4leh karena itu,
rh9=ase dapat digunakan sebagai mukolitik yang efektif, dan hal ini sudah
dibuktikan pada fibrosis kistik. =asr melakukan suatu randomi#ed, double-
blind, pla"ebo "ontrolled trial, yaitu nebulisasi rh9=ase solusion 1 mg8ml
pada 2,( ml pelarut 'terdiri dari 1() m? =aBl, 1,2 m? BaBl dengan p. 6-
satu kali per hari selama ( hari yang dibandingkan dengan pla"ebo. Aedua
kelompok juga mendapatkan nebulisasi albuterol. Aeluaran yang dinilai
adalah skor klinis dan skor radiologis dada. .asil penelitian menunjukkan
bahwa skor klinis dan saturasi oksigen tidak berbeda bermakna, sedangkan
skor gambaran radiologis dada berbeda bermakna. Selain itu dilaporkan juga
bahwa lama perawatan menjadi lebih pendek. >idak dilaporkan adanya efek
samping.
Ariteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan
pemberian oksigen selama 1) jam terakhir 'ditandai dengan saturasi oksigen
menetap di atas 0/, atau stabil selama 2 jam-, retraksi dada minimal, mampu
makan8minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain.
Pencegahan
1. 1mmunoglobulin
Pendekatan profilaksis pada populasi risiko tinggi adalah meningkatkan
'augmentation- antibody yang menetralisasi 'neutrali#ing antibody- protein <
dan D dengan "ara pemberian dari luar dan imunisasi ibu. Pada manusia, efek
immunoglobulin yang mengandung &S: neutrali#ing antibody titer tinggi
atau antibody mono"lonal terhadap protein < akan mengurangi beratnya
penyakit. Bila pada bayi premature atau bayi dengan penyakit paru kronis
diberikan &S: hyperimmune globulin atau antibody mono"lonal terhadap
protein < yang disebut dengan Pali!i#umab setiap bulan, diberikan se"ara
intramuskuler tiap hari, lama perawatan &S: akan berkurang se"ara
bermakna. %kan tetapi, risiko efek samping kemungkinan meningkat pada
bayi dengan penyakit jantung sianotik. %%P merekomendasikan profilaksis
pada musim &S: boleh diberikan hanya pada bayi dengan risiko tinggi yang
tidak menderita penyakit jantung sianotik.
Sebaiknya profilaksis hanya diberikan pada bayi dengan penyakit paru
kronis atau bayi premature yang mempunyai banyak fa"tor risiko untuk
dirawat di rumah sakit. &odrigue# meneliti pemberian &S:1D '&S:
immunoglobulin- dengan dosis 1()) mg8kgBB, dibandingkan dengan infuse
pla"ebo albumin. .asilnya menunjukkan bahwa bayi dengan penyakit paru
ringan tidak memperoleh keuntungan dari &S:1D, tetapi bayi dengan
penyakit lebih berat mempunyai 1,6 hari perawatan yang lebih singkat dan 2,3
hari perawatan di 1B yang lebih "epat.
Aeputusan menggunakan pali!i#umab harus mempertimbangkan
efeti!itas, keamanan, serta indi!idu atau populasi risiko tinggi untuk
menderita &S: berat.
?enurut Standar Pelayanan ?edis Aesehatan %nak Gdisi 1 tahun
2))2, imunisasi pasif dilakukan dengan pemberian gamaglobulin yang
mengandung titer antibody protektif tinggi. 9osis yang dianjurkan 3()
mg8kgBB setiap bulan, diberikan se"ara intra!ena pada anak umur 5 22 bulan.
1ndikasi lain adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 5 /( minggu dan
bayi dengan dysplasia bron"hopulmonary. Produk lain adalah antibody kelas
1g% mono"lonal yang diberikan melalui tetes hidung setiap hari dan antibody
kelas 1gD mono"lonal yang diberikan se"ara intramus"ular setiap bulan.
2. :aksinasi
Aarena besarnya masalah kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh &S:
yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan menghabiskan biaya
perawatan yang "ukup besar, maka dilakukan penelitian terhadap !aksin &S:.
<isher menjelaskan karakteristik infeksi &S: pada bayi dan anak yang tidak
dirawat di rumah sakit, dan kelompok tersebut akan menjadi target
pen"egahan karena sangat berisiko menderita penyakit &S: berat.
Sesudah penelitian dengan !aksin inaktif, dikembangkan !aksin li!e-
attenuated. :aksin &S: pertama, yang terdiri dari "old-passaged mutan,
efektif untuk orang dewasa, tetapi pada anak terlalu !irulen dan tidak stabil
karena dapat berubah menjadi !irus biasa kembali. Aemudian, dari permukaan
glikoprotein murni dikembangkan 9=% dan pepti" sintetik. :aksin li!e-
attenuated mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan
menginduksi imunitas mukosa dan sistemik.
?enurut ?urphy, !aksin li!e-attenuated sangat menjanjikan
berdasarkan !irus yang disebut dengan "p&S: yang dibuat dengan e7tensi!e
passage pada temperature suboptimal. "p&S: hanya bisa sedikit dilemahkan
pada simpanse dan manusia dan mengandung ( non-ts amino a"id
substitusions pada tiga protein '=, <, dan ;-. Selanjutnya ketiganya menjadi
fenotip yang dilemahkan. >idak ada satu pun dari kandidat !aksin &S: yang
didapat se"ara biologis terbukti "ukup lemah untuk digunakan sebagai !aksin
untuk anak. %kan tetapi, dapat dianggap sebagai suatu awal dari proses untuk
selanjutnya dilemahkan dengan re!erse geneti"s. %ntigeni" "himeri" !irus
memberikan "ara "epat pengembangan kandidat !aksin baru namun harus
sangat dipertimbangkan penggunaannya. Gpidemiologi &S:, P1:1, P1:2, dan
P1:/ 'Parainfluen#a !irus serotype 1,2,/- menunjukkan bahwa akan lebih
tepat memberikan !aksinasi se"ara berkala dan dengan mempertimbangkan
usia anak. 9ianjurkan pemberian li!e-attenuated &S: dan P1:/ sebagai
!aksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali, dengan dosis pertama sebelum
atau pada usia 1 bulan, diikuti dengan !aksin bi!alen P1:1 dan P1:2 pada
usia 2 dan 6 bulan. <isher juga menganjurkan dua dosis untuk menstimulasi
imunitas. Se"ara umum, imunisasi merupakan masalah yang kompleks, karena
imunisasi harus lengkap pada bulan pertama kehidupan tetapi bayi muda
masih sulit menstimulasi imunitas yang memadai.
Sub"ommittee on 9iagnosis and ?anagement of Bron"hiolitis,
%meri"an %"ademy of Pediatri"s 2))6 memberikan panduan berdasar bukti
yang telah disetujui oleh >he %meri"an %"ademy of <amily Physi"ians, the
%meri"an Bollege of Bhest Physi"ians dan >he %meri"an >hora"i" So"iety
sebagai berikut I
1. Alinisi seharusnya mendiagnosis bronkiolitis dan menilai beratnya
penyakit berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Se"ara rutin
tidak diperlukan pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
2. ntuk membuat keputusan mengenai penatalaksanaan dan e!aluasi
bronkiolitis harus dinilai fa"tor risiko beratnya penyakit seperti umur 5 12
minggu, riwayat prematuritas, penyakit jantung paru yang mendasari, atau
immunodefisiensi.
/. Bronkodilator seharusnya tidak rutin digunakan pada penatalaksanaan
bronkiolitis.
2. 9apat diberikan terapi K-adrenergik dan L-adrenergik dengan pengawasan
ketat. Bronkodilator inhalasi sebaiknya dilanjutkan hanya jika terdapat
respons klinis positif nyata dengan menggunakan alat e!aluasi yang
objektif.
(. >erapi kortikosteroid harusnya tidak rutin digunakan.
6. &iba!irin tidak rutin digunakan.
3. >erapi antibakteri seharusnya hanya digunakan khusus pada anak dengan
bronkiolitis bersamaan dengan infeksi sekunder.
+. Bila diberikan Pali!i#umab profilaksis harus diberikan setiap bulan
sampai ( kali dengan dosis 1( mg8kg per kali se"ara intramuskuler mulai
bulan =o!ember atau 9esember.
0. .arus dinilai hidrasi dan kemampuan minum per oral.
1). <isioterapi dada seharusnya tidak rutin digunakan.
11. 1ndikasi pemberian oksigen adalah jika Sp42 selalu dibawah 0), pada
bayi yang sebelumnya sehat. @ika Sp42 terus dibawah 0), harus
diberikan oksigen untuk mempertahankan Sp42 diatas 0),. 4ksigen
dapat dihentikan jika Sp42 E 0), dan bayi dapat minum dengan baik dan
distress respirasinya ringan.
12. Aetika terjadi perbaikan klinis anak, tidak rutin diperlukan penilaian Sp42
terus menerus.
1/. Bayi premature atau yang mempunyai riwayat penyakit jantung paru yang
mengganggu hemodinamik memerlukan monitoring ketat saat oksigen
dihentikan.
12. 9ianjurkan pemberian %S1 pada bayi untuk mengurangi risiko terjadinya
infeksi saluran nafas bawah.
1(. Bayi harus dihindarkan dari asap rokok.
16. Perlu dilakukan edukasi tentang kebersihan tangan dan "ara desinfeksinya
pada petugas kesehatan dan keluarga pasien dengan al"ohol atau sabun
antisepti".
Pognosis
Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan
berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan bahwa 2/,
bayi dengan riwayat bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia / tahun,
dibandingkan dengan 1, pada kelompok kontrol.
Penelitian di =orwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan
bronkiolitis mempunyai ke"enderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru
pada usia 3 tahun dibandingkan dengan kontrol. .al ini menunjukkan adanya
hiperreakti!itas bron"hial yang menetap selama beberapa tahun setelah menderita
bronkiolitis pada bayi muda, baik pada &S: positif maupun &S: negati!e.
Sekitar 2) * (), bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena &S: akan
menderita mengi di kemudian hari. Peran !irus respiratori pada mengi dijelaskan
dengan kesamaan respons inflamasi yang ditunjukkan pada serangan asma dan
infeksi !irus. 1nfeksi &S: dihubungkan dengan respons sel >, yang terutama ditandai
dengan produksi sitokin oleh sel >h tipe 2M hal yang juga terjadi pada asma. Aeadaan
ini ditandai dengan penggunaan sel > dan eosinofil, serta pelepasan mediator yang
larut 'histamine, kinin, dan leukotrien lain-. Pada anak dengan bronkiolitis, mengi
yang lebih sering dan berat berhubungan dengan peningkatan kadar antibody 1gG
terhadap &S: dan !irus Parainfluen#a, menunjukkan antibody yang dirangsang !irus
meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. &S: juga dapat mempengaruhi mengi
dengan "ara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya saluran
respiratori.
@umlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya
akan menderita mengi pada usia 3 tahun, yaitu median 0+ sel8mm
/
. %danya
eosinofilia meramalkan bahwa mengi akan berlanjut pada masa anak-anak. .al ini
diterangkan dengan kelainan imunologis yang mendahului bronkiolitis atau yang
dipi"u oleh bronkiolitis, dan bukan karena kerusakan stru"tural jalan napas yang
disebabkan bronkiolitis. >elah diteliti pengaruh riwayat keluarga dengan asma, jenis
kelamin, dan paparan pasif asap rokok, tetapi hanya eosinofilia yang mempunyai
hubungan bermakna.
>idak dapat dibuktikan se"ara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak
dengan ke"enderungan asma, tetapi bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan
dengan asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat
mengurangi pre!alensi asma pada anak dari kelompok pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai