Anda di halaman 1dari 9

http://www.askep.

net/asuhan-keperawatan-
urtikaria-2.html
Asuhan Keperawatan Urtikaria
Wednesday, December 26th 2012. | Asuhan Keperawatan, Info Kesehatan, Penyakit dan
pengobatan
Pengertian Urtikaria
Urtikaria ialah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya ditandai
dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat
dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi halo. Keluhan
subyektif biasanya gatal, rasa tersengat atau tertusuk. (1-3)
Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, buduran, kaligata. (1,2,4,5)
Sedangkan angioedema atau angioneuretik edema adalah urtika yang mengenai lapisan kulit
yang lebih dalam daripada dermis, dapat di submukosa, atau di subkutis, juga dapat mengenai
saluran napas, saluran cerna, dan organ kardiovaskular. (1)
Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik, keadaan ini merupakan masalah untuk
penderita, maupun dokter. Walaupun patogenesis dan penyebab yang dicurigai telah
ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil seperti
yang diharapkan.(1)

Epidemiologi Urtikaria
Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria
dibanding orang muda. Umur rata-rata penderita urtikaria adalah 35 tahun, dan jarang
dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun atau lebih dari 60 tahun. (1,4,6,7)
Beberapa referensi mengatakan urtikaria lebih sering mengenai wanita dibanding laki-laki
yaitu 4:1, namun perbandingan ini bervariasi pada urtikaria yang lain.(1,6)
Etiologi Urtikaria
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya(1). Diduga penyebab
urtikaria bermacam-macam, antara lain :
1. Obat
Bermacam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik maupun non-
imunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria, secara imunologik terdapat
2 tipe, yaitu tipe I atau II. Contohnya ialah aspirin, obat anti inflamasi non steroid, penisilin,
sepalosporin, diuretik, dan alkohol. Sedangkan obat yang secara non-imunologik langsung
merangsang sel mast untuk melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras. Aspirin
menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin di asam arakidonat. (1,5)
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi
imunologik, pada beberapa kasus urtikaria terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari
setelah mengkonsumsi makanan tersebut. Makanan berupa protein atau bahan yang
dicampurkan ke dalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering
menimbulkan urtikaria alergika. Makanan yang paling sering menimbulkan urtikaria pada
orang dewasa yaitu, ikan, kerang, udang, telur, kacang, buah beri, coklat, arbei, keju.
Sedangkan pada bayi yang paling sering yaitu, susu dan produk susu, telur, tepung, dan buah-
buah sitrus (jeruk). (1,2,5,8)
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, agaknya hal ini lebih
banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi venom dan toksin
bakteri, biasanya dapat pula mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga
lainnya menimbulkan urtika bentuk papular di sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh
sendiri setelah beberapa hari, minggu, atau bulan. (1.8)
4. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseovulfin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik, dan
sabun germisid sering menimbulkan urtikaria. (1)
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang, dan
aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik. (1-3,8)
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis
serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria. (1,3)
7. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh
- Faktor dingin, yakni berenang atau memegang benda dingin.
- Faktor panas, misalnya sinar matahari, radiasi, dan panas pembakaran.
- Faktor tekanan, yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau
semprotan air. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena darier. (1,5,8)
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri, virus,
jamur, maupun infeksi parasit.
- Infeksi oleh bakteri contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi dan sinusitis.
- Infeksi virus hepatitis, mononukleosis dan infeksi virus coxsackie pernah dilaporkan
sebagai faktor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang idiopatik perlu dipikirkan
kemungkinan infeksi virus subklinis.
- Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering dilaporkan sebagai penyebab urtikaria. Infeksi
cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga Schistosoma atau Echinococcus dapat
menyebabkan urtikaria. Infeksi parasit biasanya paling sering pada daerah beriklim tropis.
(1,2,5,8)
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas
dan vasodilatasi kapiler. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hipnosis menghambat eritema
dan urtika, pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema
meningkat. (1,2)
10. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan
penurunan autosomal dominan. (1,5)
11. Penyakt sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering
disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi. Contoh penyakit sistemik yang sering
menyebabkan urtikaria yaitu, sistemik lupus eritematosa (SLE), penyakit serum, hipetiroid,
penyakit tiroid autoimun, karsinoma, limfoma, penyakit rheumatoid arthritis, leukositoklast
vaskulitis, polisitemia vera (urtikaria akne-urtikaria papul melebihi vesikel), demam
reumatik, dan reaksi transfusi darah. (1,5)
Klasifikasi Urtikaria
Terdapat beberapa penggolongan urtikaria
Berdasarkan lamanya serangan berlangsung (1-5)
- Urtikaria akut, bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4
minggu tetapi timbul setiap hari.
- Urtikaria kronik, bila serangan lebih dari 6 minggu.
Berdasarkan morfologi klinis (1)
- Urtikaria papular bila berbentuk papul.
- Urtikaria gutata bila besarnya sebesar tetesan air.
- Urtikaria girata bila ukuran besar.
Berdasarkan luas dan dalamnya jaringan terkena (1,8)
- Urtikaria lokal
- Urtikaria generalisata
- Angioedema
Berdasarkan penyebab dan mekanisme terjadi urtikaria (1,2,4,6,8)
- Urtikaria imunologik
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
b. Ikut sertanya komplemen
c. Reaksi alergi tipe IV
- Urtikaria nonimunologik
a. langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator. (misalnya obat golongan
opiat dan bahan kontras)
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakidonat (misalnya aspirin, obat
anti inflamasi non-steroid)
c. Trauma fisik, misalnya dermografisme, rangsangan dingin, panas atau sinar, dan bahan
kolinergik.
- Urtikaria Idiopatik
Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya.
Patogenesis Urtikaria
Sel mast merupakan sel efektor primer pada patogenesis timbulnya gejala-gejala urtikaria. Di
kulit, sel mast terdapat di dermis. Selain itu sel mast juga terdapat di pembuluh darah,
pembuluh limfe, saraf-saraf, dan organ tubuh.(6) Granul-granul dalam sel mast mengandung
histamin, heparin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan Eosinophile
Chemotactic Factor (ECF). Ada 2 macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel
mast mukosa. Yang pertama ditemukan sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah
histamin dan heparin. Pelepasan mediator tersebut dihambat kromoglikat yang mencegah
influks kalsium ke dalam sel. Sel mast yang kedua ditemukan di saluran cerna dan nafas.
Proliferasi sel mast oleh dipicu IL-3 dan IL-4 dan bertambah pada infeksi parasit.(9)
Sel mast akan melepaskan mediator-mediator radang seperti histamin, leukotrin (SRSA),
kinin, serotonin, PEG, PAF, dan lain-lain. Pelepasan mediator-mediator radang ini karena
rangsangan dari beberapa faktor, antara lain faktor imunologik (reaksi alergi tipe I, II, III, IV,
dan genetik yaitu defisiensi C1 esterase inhibitor) dan faktor nonimunologik (bahan kimia
pelepas mediator, faktor fisik, efek kolinergik, alkohol, emosi, demam) (1,10). Mediator-
mediator yang dilepaskan akan memberikan pengaruh-pengaruh yang berbeda.(12)
Salah satu mediator yang dilepaskan oleh sel mast yang sangat penting dalam proses
timbulnya gejala-gejala pada urtikaria adalah histamin. Ada beberapa mekanisme pelepasan
histamin. Faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya menyebabkan degranulasi sel mast
dan melepaskan histamin ke jaringan dan sirkulasi. Histamin menyebabkan kontraksi sel
endotel sehingga terjadi kebocoran, dimana cairan berpindah dari intravaskuler ke
ekstravaskuler, sehingga timbullah edema.(5)
Bila telah masuk ke dalam kulit, histamin menyebabkan triple response of Lewis, yaitu
eritema lokal (vasodilatasi), suatu flare dengan karakteristik eritema di luar batas dari eritema
lokal, hingga terbentuk suatu wheal akibat kebocoran cairan vena-vena postkapiler.
Pembuluh darah terdiri dari 2 reseptor histamin. Reseptor yang selama ini diteliti adalah H1
dan H2.(5)
Reseptor H1 ketika dirangsang oleh histamin, akan menyebabkan refleks dari akson,
vasodilatasi dan pruritus. Perangsangan reseptor H1, melalui saraf sensorik, menyebabkan
kontrakasi otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, pruritus, dan bersin.
Ketika reseptor H2 dirangsang, terjadi vasodilatasi. Disamping itu reseptor H2 juga terdapat
di permukaan membrane dari sel mast dan ketika dirangsang, akan menyebabkan produksi
dari histamine. Aktivasi reseptor H2 sendiri akan menyebabkan peningkatan produksi asam
lambung. Aktivasi H1 dan H2 bersamaan akan mengakibatkan hipotensi, takikardi,
kemerahan, dan sakit kepala.(5,10)
Gambaran Klinis
Urtikaria merupakan suatu kondisi kulit dengan manifestasi klinik berupa eritema dan edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berbatas tegas pada kulit atau
membran mukosa, kadang-kadang bagian tengah tampak lebih pucat. Bentuknya dapat
papular seperti pada urtikaria akibat sengatan serangga, besarnya dapat lentikular, numular,
sampai plakat. Keluhan subyektif biasanya terasa gatal, rasa terbakar, atau tertusuk. (1,3,6)
Berikut adalah tabel gambaran klinis Urtikaria/Angioedema berdasarkan stimulus dan tipe
respon:

Apabila mengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan submukosa atau
subkutan, juga beberapa alat dalam misalnya saluran cerna dan napas, disebut angioedema.
Pada keadaan ini jaringan yang sering terkena adalah muka, disertai sesak nafas, serak dan
rinitis. (1,3,6)
Dermografisme, berupa edema dan eritema yang linear di kulit yang terkena goresan benda
tumpul, timbul dalam waktu kurang lebih 30 menit. Pada urtikari akibat tekanan, urtika
timbul pada tempat yang tertekan, misalnya di sekitar pinggang. Urtikaria kolinergik dapat
timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang dan pekerjaan berat.
Biasanya terasa sangat gatal, ukuran lesi bervariasi dari beberapa mm sampai numular dan
konfluen membentuk plakat. Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri
perut, diare, muntah-muntah, dan nyeri kepala. (1,6,8)
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin.
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi
atau kelainan pada alat dalam.(1) Pemeriksaan darah rutin bisa bermanfaat untuk mengetahui
kemungkinan adanya penyakit penyerta, misalnya urtikaria vaskulitis atau adanya infeksi
penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum,
faal ginjal, faal hati, faal hati dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis.
Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema
berulang tanpa urtikaria.(12) Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria
dingin.(1)
Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan tes kulit
invivo (skin prick test), pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent test-RASTs) atau
invitro yang mempunyai makna yang sama.(6,7,12) Pada prinsipnya tes kulit dan RAST,
hanya bisa memberikan informasi adanya reaksi hipersensitivitas tipe I. Untuk urtikaria akut,
tes-tes alergi mungkin sangat bermanfaat, khususnya bila urtikaria muncul sebagai bagian
dari reaksi anafilaksis. Untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing
autoantibodies, tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri (autologous serum
skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana. (7, 12)
Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi
hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini dipertimbangkan
secara hati-hati untuk menjamin keamanannya. Adanya alergen kontak terhadap karet sarung
tangan atau buah-buahan, dapat dilakukan tes pada lengan bawah, pada kasus urtikaria
kontak. Tes provokasi oral mungkin diperlukan untuk mengetahui kemungkinan urtikaria
akibat obat atau makanan tertentu. (1,7)
Tes eleminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk
beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu. Pada urtikaria fisik akibat sinar
dapat dilakukan tes foto tempel.(12)
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.(12)
Tes fisik lainnya bisa dengan es atau air hangat apabila dicurigai adanya alergi pada suhu
tertentu.(12)
B. Pemeriksaan Histopatologik
Perubahan histopatologik tidak terlalu nampak dan tidak selalu diperlukan tetapi dapat
membantu diagnosis (1,2). Epidermis pada umumnya normal. Ikatan-ikatan kolagen di
retikular dermis terpisah oleh edema dan ada infiltrat inflamasi limfositik perivaskular.
Biasanya juga terdapat peningkatan jumlah sel mast.(2)
Infiltrat limfositik ini biasanya ditemukan pada lesi urtikaria akut dan kronik. Beberapa lesi
urtikaria mengandung infiltrat seluler campuran, antara lain limfosit, PMN, dan sel inflamasi
lainnya. Tipe infiltrat campuran biasanya merupakan karakteristik dari bentuk refraktur dari
urtikaria kronik seperti urtikaria mediasi-autoimun.(7)
Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapiler di papila dermis, geligi epidermis
mendatar, dan serat kolagen membengkak. Pada tingkat permulaan tidak tampak infiltrasi
selular dan pada tingkat lanjut terdapat infiltrasi leukosit, terutama disekitar pembuluh darah.
(1)
Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan membantu diagnosis. Urtikaria dapat
juga mencakup kelainan histopatologis yang luas, mulai infiltrasi berbagai macam sel radang
yang agak jarang dengan edema dermis yang menonjol disertai infiltrasi sel-sel radang yang
relatif banyak. Sel-sel infiltrat tersebut terdiri dari neutrofil, limfosit dan eosinofil. Adanya
infiltrat eosinofil, lebih mengarah pada urtikaria alergi.(1)
Diagnosis Urtikaria
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, gejala, dan pemeriksaan fisik.
1. Anamnesa
Berdasarkan dari anamnesa pasien, keluhan subyektif biasanya gatal, rasa terbakar, atau
tertusuk pada daerah lesi. Selain itu, pasien memiliki alergi terhadap obat dan makanan
tertentu, atau pernah mengalami suatu pengalaman yang merupakan salah satu penyebab
urtikaria, misalnya pernah mengalami suatu penyakit sistemik atau mengalami trauma psikis
kejiwaan atau fisik yang berhubungan dengan suhu maupun tekanan. (1,3,6)
2. Pemeriksaan klinik
Pada pemeriksaan kulit ditemukan
a. Lokalisasi : Pada badan, tapi dapat juga mengenai ekstremitas, kepala dan leher. (11)
b. Efloresensi : Eritema dan edema setempat berbatas tegas, kadang-kadang bagian tengah
tampak pucat. Bentuknya dapat papular. Epidermis di sekitar urtikaria normal. (1,6,8)
c. Ukurannya dari beberapa milimeter hingga sentimeter, dapat berbentuk dari lentikular,
numular, sampai plakat. Karakteristik lesi berwarna kemerahan dan terasa gatal. (1,8)
Dalam membantu diagnosis, perlu pula dilakukan pemeriksaan untuk membuktikan penyebab
urtikaria, misalnya: (1,8,12)
- Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi atau kelainan pada organ dalam.
- Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan
adanya infeksi lokal.
- Pemeriksaan kadar IgE, eosinofil, dan komplemen.
- Tes kulit, meskipun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu diagnosis.
Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test) serta tes intradermal.
- Tes eliminasi makanan
- Pemeriksaan histopatologik
- Tes dengan es (ice cube test) dan air hangat.
- Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
- Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria kolinergik.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada urtikaria antara lain adalah :
1. Pitiriasis Rosea
5. Makula eritema pada Pitiriasis Rosea* Gambar
Pitiriasis rosea merupakan suatu penyakit ringan yang menyebabkan peradangan kulit disertai
pembentukan sisik berwarna kemerahan. Seperti pada urtikaria, pitiriasis rosea juga sering
terjadi pada golongan dewasa muda dan adanya eritema dengan peninggian dan berbatas
tegas serta gatal. Bentuknya bisa bulat atau lonjong. Untuk membedakan pitiriasis rosea dari
urtikaria, pada urtikaria tidak mempunyai sisik. (1,3)
2. Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan
dari luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama, atau mempunyai struktur kimia
serupa, pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi. Persamaan dermatitis kontak
alergi dengan urtikaria adalah pada gambaran kliniknya yaitu terjadi eritema dengan
peninggian atau pembengkakan. Untuk membedakan dermatitis kontak alergi dari urtikaria,
pada anamnesis diketahui adanya kontak dengan alergen seperti nikel, lateks, dan sebagainya
beberapa menit atau beberapa jam sebelum timbul gejala eritema tersebut.(1,14)
TERAPI
Terapi terbaik untuk urtikaria adalah mengobati penyebabnya dan jika memungkinkan
menghindari penyebab yang dicurigai.(3,4,12)
Obat lini pertama untuk urtikaria adalah antihistamin antagonis reseptor H1. Obat ini
berfungsi untuk mengurangi rasa gatal, serta memendekkan durasi terjadinya eritema dan
pembengkakan.(4)
Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin
telah diketahui dengan jelas, yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya.
Berdasarkan reseptor yang dihambat, antihistamin dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
antagonis reseptor H1 dan H2. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria difokuskan pada
efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun efektivitas tersebut acapkali
berkaitan dengan efek samping farmakologik, yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat
antihistamin baru yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedatif, golongan ini
disebut antihistamin nonklasik.(4)
Antihistamin Klasik sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi tetapi sebaiknya
dikombinasikan dengan antihistamin nonklasik. Biasanya antihistamin nonklasik diberikan
pada siang hari dan klasik antihistamin diberikan pada malam hari. Antihistamin antagonis
reseptor H1 klasik dengan kerja singkat seperti hidroksizina dihidroklorida, terdapat dalam
bentuk tablet dan sirup diberikan dengan dosis 50-100 mg per hari pada dewasa, sedangkan
untuk anak berumur di bawah 6 tahun dengan dosis 50 mg perhari, anak diatas umur 6 tahun
dengan dosis 50-100 mg per hari dengan dosis terbagi. Penggunaan obat ini sebaiknya
dihindari pada kehamilan trimester pertama. Disamping itu dapat diberikan antihistamin
antagonis reseptor H1 kerja panjang (long acting) seperti difenhidramina diberikan dengan
dosis 25-50 mg perhari dan dosis pada anak 5 mg/kgBB perhari dengan dosis maksimal 300
mg perhari.(4,7)
Berikut adalah bagan manajemen terapi untuk kronik urtikaria.
Prognosis Urtikaria
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi. Kebanyakan
kasus dapat disembuhkan dalam 1-4 hari. Urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena
penyebabnya sulit dicari. Hal ini juga tergantung dari penyebab dari urtikaria itu sendiri.
(1,7,15)
KESIMPULAN
Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan non-imunologik,
biasanya ditandai dengan edema setempat yang timbul mendadak dan menghilang perlahan-
lahan. Urtikaria dapat terjadi pada semua umur. Penyebabnya yaitu faktor imunologik
(reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, IV, dan genetik) dan faktor non-imunologik (bahan
kimia pelepas mediator, faktor fisik, efek kolinergik, alkohol, emosi, demam). Gejala yang
timbul biasanya berupa edema setempat yang eritem, kemudian biasanya disertai gatal.
Pengobatan yang selama ini diberikan sesuai dengan kausa dan diberikan juga anti
histamin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aishah S. Urtikaria. ln:Djuanda A, Hamzah Mochtar, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Tempat. Indonesia: Balai Penerbit FKUI Jakarta; 2007.p.169-81
2. Arnold H L, Odom R B, James W D. Urticaria in : Andrews Disease of the Skin Clinical
Dermatology. USA: WB Saunders; 1990.p.1147-57
3. Moschella S L, Hurley H J. Disorder of immunity hypersensitivity and inflammation in :
Dermatology 3rd Edition. USA: W.B.Saunders Company; 1992.p.286-301.
4. Grattan C, Black A. Urticaria and Angioedema. ln:Horn D, Mascaro J, Saurat J, Mancini
A, Salasche S, Stingl G,eds. Dermatology Volume One. Inggris: Mosby; 2003.p. 287-302
5. Habif T P. Urticaria and Angioedema in : Clinical Dermatology 4th Edition A color Guide
To diagnosis and therapy . London: Mosby; 2004.p.129-59.
6. Soter N A . Urticaria and Angioedema in : Fitzpatrick Dermatology in General Medicine
5th Edition Volume One . New York: McGraw Hill;1999.p.1409-19.
7. Sheikh J. Urticaria . ( Online ). (2007 ). ( 22 screens ). Available from :
URL:http://www.emedicine.com. Accessed on : 05/06/2008.
8. Orkin M, Maibach H I, Dahl M V. Urticaria and Angioedema in : Dermatology 1st Edition
. Minessota. Prentice Hall Intternational Inc. 1991 : 417-21.
9. Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Indonesia: Balai Penerbitan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2004.p.46-48
10. Linscott M S. Urticaria. ( Online ). ( 2008 ). ( 19 screens ), Available from :
URL:http://www.emedicine.com . Accessed on : 05/06/2008.
11. Siregar R S. Urtikaria dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2. Jakarta:
EGC; 2003.p.124-26.
12. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2006.p.257-61.
13. Stulberg D L, Wolfrey J. Pityriasis Rosea. ( Online ).( 2004 ) ( 17 screens ) . Available
from : www.american familyphysician.com. Accessed on : 05/06/2008.
14. Anonymous. Allergic Contact Dermatitis ( Online ). (2008).(4 screens ). Available from :
URL:http://www.dermnetNZ.com. Accessed on ; 05/06/2008.
15. Brown R G, Burns T. Berbagai Kelainan Eritematous dan Papuloskuamosa serta Penyakit
Kulit akibat Sinar Matahari dalam : Lecture notes dermatologi edisi 8 terjemahan. Jakarta:
Penerbit Erlangga;2006.p.151-53.

Anda mungkin juga menyukai