Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH SEMINAR TUBERKULOSIS

TUBERKULOSIS PADA PENDERITA HIV














Disusun oleh:

Reiva Wisharilla MD 0906639865
Samuel Raymond RW 0906639915
Wahyu Permatasari 0906639972
Yohanes Edwin Budiman 0906508541






Modul Praktik Klinik Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
November 2012
BAB I
PENDAHULUAN

AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome ) merupakan masalah global yang penting
dan merupakan masalah yang sangat kompleks. Dewasa ini dunia telah mengalami suatu
pandemi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai penyebab AIDS. Penyakit
HIV/AIDS sampai sekarang masih ditakuti karena sangat mematikan. HIV/AIDS menyebabkan
berbagai krisis secara bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,
krisis ekonomi, pendidikan dan kemanusiaan.
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak
Negara di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari HIV

Penyakit Tuberkulosis (TB) sejak lama merupakan penyakit menular yang endemis di
Indonesia. Tahun 1940 sampai 1970an ditemukan berbagai obat TB sehingga angka TB
diberbagai negara Eropa dan Amerika menurun dengan amat tajam dari waktu ke waktu, tetapi
belakangan tampak fenomena baru dan penurunan yang tajam ini tidak terjadi. Beberapa faktor
jelas berperan dalam perlambatan penurunan TB ini seperti perpindahan penduduk, pengungsi
akibat perang, kemiskinan dan infeksi HIV.
1,2
Antara TB dan HIV mempunyai hubungan yang kuat karena dengan infeksi HIV maka
angka penyakit TB mengalami peningkatan lagi. Tuberkulosis paru merupakan infeksi
oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV. Infeksi HIV merupakan faktor resiko
untuk berkembangnya TB melalui mekanisme berupa reaktivasi infeksi laten, progresiviti yang
cepat pada infeksi primer atau reinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis).
1









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi dan permasalahan ko-infeksi TB pada HIV
Menurut data UNAIDS (United Programmes on HIV AIDS) yaitu badan WHO dunia yang
menanggulangi permasalahan AIDS memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 24
juta orang di dunia sejak tahun 1981 dan menjadikannya sebagai suatu destruksi pandemik yang
terbesar dalam sejarah manusia.
3
Sampai saat ini, benua Afrika masih menjadi region terbanyak dengan penduduk yang
terinfeksi HIV/AIDS. Berdasarkan fakta epidemiologi HIV/AIDS di Afrika Selatan menurut
UNAIDS pada tahun 2008 ini, bahwa sekitar 5,7 juta (64%) orang yang telah menjadi ODHA
(Orang Dengan HIV AIDS), dengan rata-rata prevalensi usia 15-49 tahun sekitar 5,4 juta orang,
3,2 juta diantaranya termasuk wanita 15 tahun keatas, 280.000 anak-anak usia 0-14 tahun dan
telah tercatat 350.000 pengidap HIV AIDS yang meninggal. Kemudian disusul Asia Tenggara
yaitu sekitar 15 % dari total keseluruhan, sehingga menyebabkan kematian lebih dari 500.000
anak.
4
Statistik kasus yang dilaporkan oleh Ditjen PPM & PL Depkes RI, sampai dengan
September 2009 secara kumulatif jumlah kasus yang dilaporkan adalah 18442 di 32 Provinsi.
Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun, disusul
kelompok umur 30-39 tahun dan kelompok umur 40-49 tahun.
5
Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat HIV paling nyata di Afrika namun angka
morbiditas dan mortalitas akibat koinfeksi ini mungkin paling banyak di Asia Tenggara. Situasi
di Asia berpotensi untuk menyebabkan peningkatan koinfeksi ini karena beberapa alasan yaitu
karena prevalensi TB laten di Asia lebih tinggi dibandingkan Afrika (40-45% di Asia dan 30% di
Afrika), persentase jumlah populasi penduduk yang tinggal di lingkungan kumuh lebih besar di
Asia sehingga mempermudah penularan serta prevalensi TB dengan resistensi obat yang lebih
besar pada daerah Asia Tenggara akibat program pengobatan TB yang tidak efektif. WHO
memperkirakan akan adanya peningkatan yang dramatis infeksi HIV di Asia pada dekade
berikut.
Kasus koinfeksi TB-HIV terjadi sebanyak 24% - 45% kasus TB pada infeksi HIV
asimptomatik dan sebanyak 70 % pada pasien dengan AIDS, dengan bentuk terbanyak adalah
TB ekstrapulmoner termasuk limfadenitis, bakteremia, penyakit sistem saraf pusat (tuberkuloma,
meningitis TB). Tingginya angka kejadian TB pada penderita HIV dengan uji tuberkulin positif
dan berpotensi terjadi TB aktif maka perlu diadakan strategi terapi pencegahan TB yang optimal
dan sebaiknya mendapat prioritas tinggi pada pasien HIV.
Menurut data dari WHO tahun 2008, TB merupakan penyebab utama kematian terkait HIV
di seluruh Dunia. Di beberapa negara dengan prevalensi HIV yang lebih tinggi, hingga 80% dari
orang uji TB positif HIV. Sekitar 30% dari orang yang terinfeksi HIV diperkirakan memiliki
infeksi laten TB. Pada tahun 2008, ada sebuah perkiraan 1,4 juta kasus baru TB di antara orang
dengan infeksi HIV dan TB menyumbang 23% dari kematian terkait AIDS.

2.2 HIV/AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah
putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai Nol)
6

AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media
hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa
pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik

B. Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.

Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana
lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper
lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.
Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme)
6,7

Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai
lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi.
Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1
7
Struktur HIV :
Bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut envelope dan di bagian dalam
terdapat sebuah inti (CORE).
1. Envelope : HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan mempunyai bentuk bulat seperti
bola. Lapisan paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari dua lapisan molekul lemak
yang disebut lipids. Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika partikel virus yang
baru terbentuk dengan membentuk tonjolan dan lepas dari sel tersebut.
Selubung virus terisi oleh protein yang berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan
(rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol dari permukaan selubung. Protein ini
disebut env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN
(gp) 120 dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur
dalam envelope virus.
3
2. Inti/ CORE : dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang
berbentuk peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus
lainnya, P 24. Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing
memiliki 9 gen dari virus. 3 diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang
diperlukan untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env,
misalnya mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk
gp 120 dan gp 41, yang merupakan komponen env.3 buah gen pengatur, tat, rev dan nef
dan 3 gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk
memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat
turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya
menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein
yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang
diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein
nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam
siklus hidup virus, yaitu : REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan
PROTASE. Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan
envelope
1


Gambar 1: struktur virus HIV-1

C. Cara Penularan
1. Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun
Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap
pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Orang yang sering
berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko
tinggi terinfeksi virus HIV.
1.1. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis
dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
1.2. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria
maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

2. Transmisi Non Seksual
2.1 Transmisi Parenral
2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga
terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat
sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat
sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
2.2. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko
sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
TABEL 1. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia dikaitkan dengan faktor resiko
dilapor s/d Desember 2010





Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi baik
melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain
itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan
udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak
akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan kerja
penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

D. Patofisiologi
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara vertical,
horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara langsung dengan
diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh darah atau secara tidak
langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang terjadi pada kontak seksual. Begitu
mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat
dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala
Faktor Resiko AIDS
Heteroseksual/HeterosexuaL 12717
Homo-Biseksual/Homo-Bisexual 724
Transfusi Darah/Blood Transfusion 48
Transmisi Perinatal/Perinatal Trans. 628
Tak Diketahui/Unknown 772
dan tanda infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot,
mual, muntah, sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut.
Pada vase ini terjadi penurunan CD 4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load akan
meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada suatu titik tertentu.
Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan cenderung terus meningkat.
Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4 secara perlahan dalam waktu beberapa
tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum
akhirnya jatuh ke stadium AIDS
1
.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target
HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk bisa masuk ke sel target, gp
120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD 4 ini terdapat pada permukaan
limfosit T, monosit, makrofag, Langerhans, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk
masuk ke sel HIV memerlukan chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor
lain yang memiliki peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran
HIV dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran,
seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti masuk ke dalam
sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNS
(ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan RNA sebagai template untuk
mensisntesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse
transcriptase untuk mensintesis DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai
provirus. Provirus masuk ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host dengan perantara
enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk melakukan
transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut sebagai keadaan laten.
Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel host. Bila sel host teraktivasi oleh
inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain maka sel akan memicu nuclear factor sehingga
menjadi aktif dan berikatan dengan 5 LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen
tersebut. LTR berisi berbagai elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi
replikasi DNA. Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari
mikroorganisme lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan
tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV, terutama virus
DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur berfungsi
sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA mengalami translasi
menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan RNA menjadi inti virus baru. Inti
beserta perangkat lengkap virion baru ini membentuk tonjolan pada permukaan sel host,
kemudian polipeptida dipecah oleh enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti
virus baru dilengkapi oleh kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk
virus baru yang lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel
target berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 10
9
-10
11

virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari
waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan jumlah Limfosit T-CD4
melalui beberapa mekanisme
1
:
1. Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya
penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus yang tidak terintegritasi
dengan nucleus akan menggangu sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV dengan
limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi
3. Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat menyebabkan
disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal sekitarnya.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi
1
.
5. Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan reseptor CD4
Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan kematian sel melalui
apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-
CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi 200/mm3 atau lebih
rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan system imun, sehingga
pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen menjadi lemah dan meningkatkan
resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi
sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi
sekundernya.
E. Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis kontinum yang
dikenal sebagai spektrum infeksi HIV. Perjalanan penyakit dimulai saat terjadi penularan dan
pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan terinfeksi (misalnya, homozigot dengan
gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih
lanjut. Setelah infeksi awal oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan.
Namun, pasien ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang
lain. Fase ini disebut window period (masa jendela). Manifestasi klinis pada orang yang
terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi positif.
Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip mononukleosis infeksiosa yang
berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa malaise, demam, diare, limfadenopati, dan
ruam makulopapular. Beberapa orang mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan
pneumonitis. Selama periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer.
Kadar limfosit CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk
pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase asimtomatik.
Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali mendekati normal. Namun,
kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik
virus maupun antibodi virus ditemukan di dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi
virus berlangsung di jaringan limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode
laten walaupun fase infeksi klinisnya mungkin laten
5
.
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien biasanya telah
turun di bawah 300 sel /. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan imunosupresi dan gejala
ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-penyakit terkait AIDS . CDC telah
mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk kategori klinis ini

F. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor
dan infeksi oportunistik :
1. Manifestadi tumor diantaranya;
a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi
pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan
kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi Oportunistik diantaranya
2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%
penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.
2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke
organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Berkurangnya nafsu makan, diare khronis, penurunan berat badan lebih 10% per bulan.
3. Manifestasi Neurologis
Manifestasi Neurologis timbul pada sekitar 10% kasus AIDS. Biasanya manifestasi ini timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang biasa terjadi adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati dan neuropari perifer.

G. Pemeriksaan HIV
Skrining HIV
Terdapat banyak pendapat mengenai populasi yang sebaiknya mendapatkan skrining HIV. The
U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) merekomendasikan skrining HIV bagi semua
remaja dan orang dewasa dengan faktor risiko HIV, dan wanita hamil. The Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) merekomendasikan skrining pada pasien semau pasien di instansi
kesehatan, kecuali pasien tersebut menolak; serta bagi semua orang dengan faktor risiko tinggi
HIV, harus diskrining minimal setahun sekali.
7
Modalitas skrining yang banyak digunakan yaitu ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent
assay) dengan sensitivitas tinggi. Kebanyakan ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi HIV-1
tipe M, N, O, serta HIV-2. Hasil ELISA yang positif sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi yaitu Western Blot. Kriteria diagnostik spesifik yang dihasilkan dari pemeriksaan
tersebut termasuk positif, negatif, maupun indeterminate. Pemeriksaan terhadap HIV-2 juga
sebaiknya dilakukan pada semua pasien di daerah endemik HIV-2, atau memiliki hasil
indeterminate dari HIV-1.
8

Hitung Sel T CD4+
Pemeriksaan ini adalah indikator yang cukup dapat diandalkan untuk mengetahui risiko terkena
infeksi oportunistik. Jumlah normal CD4 berkisar antara 500-2000 sel/L. Setelah serokonversi,
CD4 biasanya berada dalam jumlah rendah (rata-rata 700 sel/L). Di Amerika, definisi AIDS
adalah CD4 <200 sel/L, karena tingginya risiko infeksi oportunistik pada level ini. Pada anak
usia di bawah 5 tahun, persentase CD4 lebih bermakna daripada hitung absolutnya. Persentase
<25% adalah indikasi memulai terapi.
9

Viral Load (VL)
VL pada darah perifer biasanya dipakai sebagai penanda alternatif untuk mengetahui laju
replikasi virus. Disebut alternatif, karena kebanyakan replikasi viral terjadi pada nodus limfatik,
daripada darah perifer. Tes ini dapat menyajikan data berupa amplifikasi RNA viral
menggunakan nucleic acid sequence-based amplification (NASBA), atau reverse-transcription
polymerase chain reaction (RT-PCR). Akan tetapi, pemeriksaan VL kuantitatif tidak bisa
digunakan sebagai alat diagnosis, karena kemungkinan adanya positif palsu. Biasanya, VL
berkaitan dengan laju progresi menjadi AIDS, walaupun kemampuan prediktabilitasnya masih
lebih inferior dari CD4. Dari literature, diketahui bahwa pasien dengan VL >30.000/L memiliki
kemungkinan meninggal karena AIDS lebih tinggi daripada pasien terinfeksi HIV dengan VL
tidak terdeteksi.
Dengan terapi ART (anti-retroviral) yang adekuat, VL dapat ditekan hingga mencapai tingkat
tidak terdeteksi (<20-75 kopi/ L). Pada tingkatan ini, biasanya jumlah CD4 meningkat, dan
risiko infeksi oportunistik berkurang. Virologic Failure (VF) didefinisikan sebagai jumlah VL
yang secara persisten mencapai angka >200 kopi/ L, walaupun sudah mendapatkan regimen
terapi yang adekuat.
10

Pemeriksaan HIV Sekunder
Kultur virus dapat digunakan pada pemeriksaan resistensi obat secara fenotipik, walaupun
sensitivitasnya berkurang seiring dengan menurunnya VL. Selain itu, pemeriksaan ini sangat
mahal. PCR untuk deteksi DNA proviral juga dapat dilakukan; namun hanya terbatas pada bayi
baru lahir, karena populasi ini tidak bisa dites dengan pemeriksaan serologis (oleh karena adanya
antibodi maternal yang persisten hingga 9 bulan atau lebih). Sementara pemeriksaan genotipe
DNA/RNA virus digunakan untuk mengetahui mutasi dan membantu memilih terapi.

Temuan Histologis
Pemeriksaan PA dapat memberikan gambaran infeksi HIV atau AIDS, misalnya penampakan
nodus limfa yang mengalami kerusakan, hiperplasia, sel T multinuklear raksasa (khas pada HIV
ensefalopati), mikrogliosis, serta hilangnya gambaran folikuler dendritik yang normal.
Mikroskop elektron dapat menunjukkan keberadaan virion di dalam fagosom makrofaga.

Pemeriksaan Infeksi Oportunistik
Pemeriksaan ko-infeksi oportunistik di bawah ini sebaiknya dilakukan dengan segera pada
pasien yang baru terdiagnosis infeksi HIV.
11
a. PPD (purified protein derivative) pada skin test untuk TB/tuberkulosis, dilanjutkan
dengan foto toraks.
b. Cytomegalovirus (CMV) dengan tes serologi. Keberadaan IgG anti-CMV
mengindikasikan pasien yang pernah terpajan CMV. Lanjutkan dengan pemeriksaan
oftalmologi untuk mengevaluasi retinitis CMV pada hasil tes CD4 yang rendah.
c. Sifilis dengan RPR (rapid plasma reagent). Hasil positif sebaiknya dilanjutkan dengan
pungsi lumbal, terutama jika terdapat gejala neurologis.
d. Tes amplifikasi cepat untuk infeksi gonokokus dan klamidia. Pemeriksaan panggul
dilakukan pada wanita, untuk menyingkrkan kemungkinan trikomoniasis.
e. Serologi hepatitis A, B, dan C dilakukan pada pasien untuk menentukan kebutuhan akan
vaksinasi dan mengevaluasi infeksi kronik. Pemeriksaan krusial lainnya adalah tes fungsi
liver.
f. Antibodi anti-toksoplasma diukur untuk mengetahui kejadian toksoplasmosis, karena
pada imunosupresi, reinfeksi dapat terjadi sewaktu-waktu. Pasien dengan infeksi
toksoplasma sebelumnya memerlukan profilaksis apabila CD4 berada dalam jumlah
<100/ L.
g. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya untuk mengetahui adanya diare, angiomatosis
basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory disease
(PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia oral
(EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.

Pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan lainnya, yaitu BUN, kreatinin serum, serta urinalisis lengkap, dilakukan untuk
mengetahui nefropati yang terasosiasi HIV. Skrining kimiawi serum dan obat-obatan dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi metabolit atau infeksius lainnya.
12

Klasifikasi Hasil Pemeriksaan
CDC mengklasifikasikan infeksi HIV menjadi kategori sebagai berikut:
a. Kategori A adalah infeksi HIV asimtomatik, tanpa adanya riwayat gejala maupun keadaan
AIDS.
b. Kategori B adalah terdapatnya gejala-gejala yang terkait HIV; termasuk: diare,
angiomatosis basiler, kandidiasis orofaring, kandidiasis vulvovaginal, pelvic inflammatory
disease (PID) termasuk klamidia, GO, atau gardnerella, neoplasma servikal, leukoplakia
oral (EBV), purpura trombositopenik, neuropati perifer, dan herpes zoster.
c. Kategori C adalah infeksi HIV dengan AIDS.
d. Kategori A1, B1, dan C1 yaitu CD4 >500/ L.
e. Kategori A2, B2, dan C2 yaitu CD4 200-400/ L.
f. Kategori A3, B3, dan C3 yaitu CD4 <200/ L.
H. Tatalaksana HIV
Agen Antiretroviral (ARV)
13
Terapi Antiretroviral/ARV merupakan bagian dari Integrated Management of Adolescence and
Adult Illness (IMAI). Selain sebagai tatalaksana, saat ini terapi ARV juga dianggap sebagai suatu
bentuk pencegahan.Terapi ARV yang baik pada ODHA akan menurunkan penyebaran HIV
hingga 92%.

Pemilihan Terapi Antiretroviral
13,14
Terapi antiretroviral, sebaiknya, diberikan dalam bentuk kombinasi dan dipantau secara ketat
untuk mengevaluasi kemajuan terapi, munculnya efek samping, dan kemungkinan timbulnya
resistensi. Untuk memulai terapi ARV, perhatikan apakah pasien telah memenuhi syarat berikut
ini:
a. Jika tidak tersedia tes CD4, maka penentuan mulai terapi didasari oleh pemantauan klinis.
Stadium klinis tatalaksana HIV/AIDS dirangkum dalam tabel berikut.
Stadium 1
a. Tidak ada gejala
b. Limfadenopati generalisata persisten
Stadium 2
a. Penurunan berat badan <10% yang tidak diketahui penyebabnya
b. ISPA berulang
c. Herpes zoster
d. Keilitis angularis
e. Ulkus mulut berulang
f. Ruam papul yang gatal di kulit (PPE/Papular Pruritic Eruption)
g. Dermatitis seboroik
h. Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3
a. Penurunan BB >10% yang tidak diketahui penyebabnya
b. Diare kronis >1 bulan
c. Demam menetap idiopatik
d. Kandidiasis mulut menetap
e. Oral Hairy Leukoplakia
f. TB paru
g. Infeksi bakteri berat (pneumonia, empiema, meningitis, infeksi
tulang/sendi, bakteremia, dll)
h. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingitivis atau periodontitis
i. Anemia idiopatik (<8 g/dL), neutropenia (<0,5x10
9
/L)
j. Trombositopenia kronik (<50x10
9
/L)
Stadium 4
a. Sindrom wasting
b. Pneumonia berulang
c. Infeksi HSV
d. Kandidiasis esofageal
e. TB ekstra-paru
f. Kaposi-Sarkoma
g. Infeksi CMV
h. Toksoplasmosis CNS
i. Ensefalopati HIV
j. Infeksi kriptokokus ekstrapulmoner
k. Infeksi mycobacteria non-tuberkulosis
l. Leukoensefalopati multipel yang progresif
m. Kriptosporidiosis kronis
n. Isosporiasis kronis
o. Mikosis diseminata
p. Septikemia yang berulang
q. Limfoma
r. Kankr serviks invasif
s. Leishmaniasis diseminata
t. Nefropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomatik
b. Jika tersedia pemeriksaan CD4, lakukan:
1) Mulai terapi ARV pada semua pasien HIV dengan jumlah CD4 <350 sel/mm
3
tanpa
memandang stadium klinis.
2) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien HIV dengan TB aktif, ibu hamil, dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
c. Saat memulai terapi ARV pada ODHA dewasa:
Target Populasi Stadium Klinis Jumlah Sel CD4 Rekomendasi
ODHA dewasa 1 dan 2 >350 sel/mm
3
Belum mulai terapi.
Monitor gejala klinis
dan jumlah CD4
selama 12 bulan
<350 sel/mm
3
Mulai terapi
3 dan 4 CD4 berapapun Mulai terapi
Ko-infeksi TB Apapun CD4 berapapun Mulai terapi
Ko-infeksi Hepatitis B
kronik aktif
Apapun CD4 berapapun Mulai terapi
Ibu hamil Apapun CD4 berapapun Mulai terapi
Infeksi oportunistik 4: Leukoensefalopati,
Kaposi, CMV,
Mikrosporidiosis,
Kriptosporidiosis
CD4 berapapun Mulai terapi ARV
langsung setelah
penegakan diagnosis
infeksi
4: TB, PCP, MAC,
Kriptokokosis
CD4 berapapun Mulai terapi ARV 2
minggu setelah
antibiotik

Obat Antiretroviral
13,15
Obat antiretrovirus dapat dibagi menjadi lima golongan:




1. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
Uncoating Penetration
Early protein synthesis
Nucleic acid synthesis
Late protein synthesis and processing
Packaging and assembly
adsorption
amantadine
purine or pyrimidine
analogs
Viral release
protease
inhibitors
Neuraminidase
inhibitors
Enfuvirtide
Reverse transcriptase (RT) merupakan pengubah RNA virus menadi DNA proviral
sebelum bergabung dengan kromosom hospes. NRTI merupakan suatu penghambat RT.
Oleh karena RT bekerja pada awal infeksi, NRTI juga bekerja pada tahap awal replikasi
virus HIV sehingga obat ini akan menghambat infeksi akut pada sel yang rentan, tetapi
hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV.

Obat NRTI akan jauh lebih efektif jika sehingga lebih efektif jika diberikan dalam
kombinasi dengan 3 atau 4 obat lainnya. Komplikasi utama golongan obat ini adalah
asidosis laktat dan hepatomegali berat dengan steanosis. Contoh obat golongan ini yaitu
zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, emtrisitabin, abakavir.

Zidovudin menghambat enzim RT HIV, setelah gugus azitomidin (AZT) pada zidovudin
mengalami fosforilasi untuk berikatan ke ujung rantai 3 virus dan menghambat rekasi
transkripsi terbalik. Monoterapi dengan zidovudin direkomendasikan sebagai profilaksis
transmisi HIV dari ibu ke anak. Semua obat lainnya di golongan ini bekerja pada HIV
RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus.

2. NtRTI (Nucleotide reverse Transcriptase Inhibitor)
Tenofovir disoproksil fumarat merupakan NtRTI pertama untuk terapi infeksi HIV-1.
Bekerja pada HIV RT dan HBV RT dengan cara menghentikan pembentukan rantai
DNA virus. Obat ini digunakan dalam kombinasi dengan obat antiretrovirus lainnya.
Tidak seperti NRTI yang harus melalui 3 tahap fosforilasi intraselular untuk menjadi
bentuk aktif, NtRTI hanya membutuhkan 2 tahap fosforilasi saja. Dengan ini, reaksi obat
menjadi lebih cepat dan konversinya menjadi bentuk aktif lebih sempurna.

Contoh obat golongan ini adalah Tenofovir disoproksil. Kebanyakan digunakan untuk
infeksi HIV dalam kombinasi dengan efavirenz, tidak boleh dalam kombinasi dengan
lamivudin dan abakavir.

3. NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)
Merupakan penghambat enzim RT dengan cara berikatan di tempat yang dekat dengan
tempat aktif enzim dan menginduksi perubahan konformasi situs aktif enzim. NNRTI
tidak mengalami fosforilasi untuk menjadi bentuk aktif, seperti NRTI dan NtRTI.
Golongan obat ini hanya efektif terhadap HIV-1,. Seluruh senyawa NNRTI
dimetabolisme oleh P450 sehingga memiliki kecenderungan untuk berinteraksi dengan
obat lain.

Contoh obat golongan ini adalah nevirapin, delavirdin, efavirenz. Cara kerjanya adalah
pada situs alosterik tempat ikatan non-substrat HIV-1 RT. Obat ini sering dipakai
dengan kombinasi dengan anti-HIV lainnya, terutama NRTI dan NtRTI.


4. PI (Protease Inhibitor)
Golongan PI bekerja dengan berikatan dengan situs aktif HIV-protease secara reversibel.
HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan pelepasan poliprotein virus.
Hal ini menyebabkan terhambatnya pelepasan polipeptida prekursor virus oleh enzim
protease, sehingga menghambat maturasi virus. Oleh karena itu, sel akan menghasilkan
partikel virus yang imatur dan tidak virulen.

Resistensi terhadap PI, pada umumnya, terjadi akibat akumulasi mutasi gen protease.
Pada mulanya, terjadi resistensi tingkat rendah, namun berujung pada resistensi berat
yang menyebabkan resistensi silang dengan PI lainnya.


Semua golongan PI dapat mengakibatkan efek samping gastrointestinal, seperti mual,
muntah, diare, dan paraestesia; serta intoleransi glukosa, diabetes, hiperkolestrolemia,
dan hipertrigliseridemia. Karena semua HIV-PI merupakan substrat dan inhibitor
sitokrom P450 yang banyak dipakai obat lain, interaksi sangat umum terjadi.

Contoh
obat golongan ini ialah sakuinavir, ritonavir, indinavir, nelfinavir, amprenavir, lopinavir,
atazanavir.

Sakuinavir bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease. Sedangkan semua obat
lainnya selain Sakuinavir merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitor.
Penggunaan obat ini adalah dikombinasikan dengan sesame PI atau bersama NRTI.

5. Viral Entry Inhibitor
Obat seperti Enfuvitid bekerja dengan cara menghambat fusi virus ke sel. Selain
enfuvirtid, bisiklam sedang dalam studi klinis saat ini. Golongan obat ini berkerja
dengan cara menghambat masuknya HIV ke sel melalui reseptor CXCR4. Enfuvirtid
berikatan dengan bagian HR1 (first heptad-repeat) pada subunit gp41 envelope
glikoprotein virus serta menghambat terjadinya perubahan konformasi yang dibutuhkan
fusi virus ke membran sel. Efek sampingnya adalah Pada umumnya, reaksi lokal seperti
nyeri, eritema, pruritus, iritasi, dan nodul/kista. Pernah dilaporkan adanya eosinofilia
dan pneumonia bakterial. Isolat kliniss yang resisten terhadap NRTI, NNRTI, atau PI
tetap peka terhadap enfuvirtid.

Pemilihan Regimen Terapi
14,15
Pemilihan regimen terapi tergantung pada efikasi virologis, toksisitas, biaya, frekuensi dosis dan
kepatuhan, potensi interaksi obat, hasil tes resistensi, dan kondisi komorbid. Terapi antiretroviral
tunggal atau kombinasi dua obat tidak direkomendasikan karena sangat potensial terjadi
resistensi obat. Pada pasien dengan diare, tidak usah khawatir jika diare masih persisten setelah
tatalaksana ARV sudah adekuat, karena keadaan ini umum diujumpai. Berikan tatalaksana diare
yang sama dengan tatalaksana non-ODHA.

Kombinasi dua NRTI dengan PI sangat kuat dan lama kemampuannya untuk menekan replikasi
virus. Kombinasi dua NRTI dengan satu NNRTI juga bagus untuk menekan virus serta
meningkatkan perbaikan imunologis. Kombinasi seperti ini juga sangat dianjurkan WHO untuk
negara dengan sumber daya kurang (limited resource) seperti di Indonesia.

Regimen ART yang diusulkan untuk Indonesia menurut Depkes RI tahun 2003 adalah:
A + B
A B
Nevirapine Zidovudin + Didanosin
Nelfinavir Zidovudin + Lamivudin
Didanosin + Stavudin
Didanosin + Lamivudin

Sementara guideline DHHS 2011 memberikan standar regimen ARV sebagai berikut:
Efavirenz/tenofovir/emtricitabine (EFV/TDF/FTC)
Ritonavir-boosted atazanavir + tenofovir/emtricitabine (ATV/r + TDF/FTC)
Ritonavir-boosted darunavir + tenofovir/emtricitabine (DRV/r + TDF/FTC)
Raltegravir + tenofovir/emtricitabine

Regimen Lini Pertama. Yang digunakan untuk ODHA yang belum mendapat terapi ARV
sebelumnya (treatment-nave) ialah:
Populasi Target Rekomendasi Catatan
Dewasa dan Remaja
AZT/Zidovudin atau TDF/
Tenofovir + 3TC/Lamivudin
atau FTC/Emtrisitabin +
EFV/Evafirenz atau
NVP/Nevirapin
Gunakan fixed dose
Ibu Hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP
EFV tidak boleh pada
trimester pertama.
Koinfeksi HIV/TB
AZT atau TDF + 3TC atau
FTC + EFV
Mulai ARV setelah 6 minggu
terapi TB.
Koinfeksi HIV/HBV
TDF + 3TC atau FTC + EFV
atau NVP
Diperlukan 2 terapi ARV yang
memiliki aktivitas anti-HBV

Regimen Lini Ke-2. Rekomendasi Regimen lini 2 adalah 2 NRTI + boosted-PI (bPI). Regimen
lini kedua yang disediakan oleh Pemerintah Indonesia dan disediakan secara gratis oleh
pemerintah ialah TDF/AZT + 3TC + Lopinavir/Ritonavir (LPV/RTV).
Sebelum beranjak dari lini pertama ke lini kedua, perbaikan kepatuhan harus dilakukan terlebih
dahulu, barulah setelah itu cek ulang VL dan kriteria lainnya.
Gagal Terapi ARV
1,14,15
Apabila setelah memulai terapi 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi dan tidak terjadi respon
terapi yang diharapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan Gagal Terapi. Gagal terapi
menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis, dan virologis. Jumlah virus (viral
load/VL) yang menetap di atas 5000 kopi/ml dapat mengkonfirmasi gagal terapi. Bila
pemeriksaan VL tidak tersedia, gunakan kriteria imunologis untuk menentukan gagal terapi
secara klinis.
Kegagalan
Terapi
Kriteria Keterangan
Kegagalan
klinis
a. Terapi ARV telah berjalan selama
minimal 6 bulan.
b. Kepatuhan pasien: 80%<N<95%
c. Ada interaksi obat yang menyebabkan
penurunan kadar ARV darah
d. PPE atau Prurigo timbul kembali
e. Penurunan Hb >1g/dL
Selalu evaluasi kemungkinan
adanya interaksi obat.
Kriteria yang harus ada adalah (a),
(b), dan (c).
Kegagalan
imunologis
a. Penurunan CD4 kembali seperti awal
sebelum pengobatan
ATAU
b. Penurunan sebesar 50% dari nilai CD4
tertinggi yang pernah dicapai
ATAU
c. Jumlah CD4 tetap < 100 sel/mm
3
setelah
satu tahun pengobatan dengan ARV
WHO menyatakan bahwa jumlah
CD4 bukan merupakan prediktor
yang baik dalam menentukan
kegagalan pengobatan. Sekitar 8-
40% pasien yang memiliki
kegagalan imunologis, terbukti
masih dalam kondisi virological
suppression dan tidak memerlukan
perpindahan ke lini ke-2.
Kriteria (a) hanya bisa dipakai jika
ada data mengenai kriteria (b).
Kegagalan
virologis
a. Pasien telah terapi ARV minimal 6 bulan
b. Pemeriksaan VL diulang setelah 4-8
minggu
c. VL >5000 kopi/ml
VL dapat digunakan sebagai
prediktor kepatuhan minum obat.
VL diharapkan menjadi
undetectable (<50 kopi/ml) dalam
waktu 6 bulan pengobatan.

Profilaksis Infeksi Oportunistik
16
Profilaksis diberikan terutama jika pasien masuk ke kategori 3. Jika pasien berada dalam kategori
2 dan terus membaik (jumlah CD4-nya), maka pemberian profilaksis boleh dihentikan.
Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX; Bactrim) untuk Pneumocystisjiroveci dan
toksoplasma
Azitromsin atau klaritromisin mingguan untuk Mycobacterium avium

Pengobatan Infeksi Oportunistik
17
Pengobatan infeksi oportunistik sebaiknya langsung ditargetkan pada etiologi infeksinya. Jika
keadaan tidak memungkinkan, sebenarnya mengingkatkan jumlah CD4 dan mengurangi VL
sudah dapat menghilangkan risiko maupun komorbiditas infeksi oportunistik secara signifikan.
Khusus untuk TB, studi HAART menunjukkan bahwa risiko TB pada pasien tanpa trapi ARV
adalah sebanyak 2 kali lipat dari pasien yang telah mendapat ARV.

2.3 TB-HIV
1. Epidemiologi
Pasien HIV memiliki kemungkinan 20-37 kali lipat akan memiliki TB dibandingkan dengan
orang yang tidak memiliki infeksi HIV. TB adalah salah satu penyebab utama kematian pada
pasien HIV secara global. Dari 1,7 juta orang yang meninggal karena TB tahun 2009, 400.000 di
antaranya adalah pasien HIV. Dari 9,4 juta kasus TB yang baru ditemukan tahun 2009, 1,2 juta
di antaranya adalah pasien HIV. Semakin tinggi prevalensi HIV di suatu daerah, semakin tinggi
juga prevalensi koinfeksi HIV-TB pada penderita HIV di daerah tersebut.
18


Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan kemungkinan koinfeksi
TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh pasien TB sebagai
bagian dari penatalaksanaan rutin.
19,20
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah,
konseling dan pemeriksaaan HIV hanya diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan
tanda-tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko
tinggi terpajan HIV. Tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru
tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya :
a. ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB/TB kronik

2. Diagnosis
Diagnosis TB pada pasien dengan level CD4 yang sudah diketahui. Pemeriksaan minimal yang
perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto
toraks dan jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita TB-HIV dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Infeksi dini (CD4>200/mm3) Infeksi lanjut (CD4<200/mm3)
Dahak mikroskopis Sering positif Sering negatif
TB ekstraparu Jarang Umum/banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi Tb, kavitas di puncak Tipikal primer TB
milier/interstisial
Adenopati hilus/mediastinum Tidak ada Ada
Efusi pleura Tidak ada Ada
Tabel Manifestasi Klinis TB pada pasien HIV
19


Terdapat perbedaan manifestasi klinis antara pasien TB-HIV dengan infeksi HIV dini dan infeksi
lanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan pula pendekatan klinis yang berbeda untuk mendiagnosisnya.
Selain itu, apabila dibandingkan dengan pasien TB non-HIV, hasil BTA lebih sering negatif, foto
polos lebih sering atipikal, dan TB lebih sering ekstraparu. Hal ini diakibatkan oleh sistem imun
yang sudah terganggu sehingga reaksi imun terhadap TB berbeda dari orang biasa. Oleh karena
itu, penting untuk mengetahui karakteristik TB-HIV ini.

Diagnosis HIV pada pasien TB
Apabila seorang pasien sudah didiagnosis menderita TB, maka terdapat juga gambaran klinis
penderita HIV, seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Riwayat faktor risiko Tanda Gejala
PMS Penurunan berat badan (>10kg
atau >20% berat badan semula)
Scar pada herpes zoster
Herpes zoster Diare (>1 bulan) Sarkoma Kaposi
Pneumonia (rekurens/tidak) Nyeri retrosternal saat menelan
(candidiasis esofageal)
Candidiasis oral
Infeksi bakteri yang parah Sensasi terbakar pada kaki
(neuropati sensori perifer)
Limfadenopati generalisata
simteris
TB yang baru ditatalaksana Ulkus genital persisten
Tabel Gambaran klinis infeksi HIV
19



3. Tatalaksana
Untuk daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi dan dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV,
konseling dan pemeriksaan HIV sangat diperlukan untuk seluruh kasus TB sebagai bagian dari
penatalaksanaan rutin. Daerah dengan prevalensi yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan gejala HIV atau dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV.
20

Terapi dengan Anti Retro Viral (ARV) dapat menurunkan laju sampai sebesar 90% pada tingkat
individu dan sebesar 60% pada tingkat populasi, selain itu mampu menurunkan rekurensi TB
sebesar 50%. Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan
TB tanpa HIV/AIDS, yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis dan waktu yang tepat.
Pasien TB-HIV yang tidak mendapatkan respon pengobatan, harus dipikirkan adanya resistensi
atau malabsorbsi obat sehingga dosis yang diterima tidak cukup untuk terapi. Strategi WHO
Konsep The Three Is untuk TB/HIV
20

1. IPT (Isoniazid Preventif Treatment) jika ada indikasi
2. ICF (Intensified Case Finding) untuk menemukan kasus TB aktif
3. IC (Infection Control) untuk mencegah dan pengendalian infeksi TB di tempat pelayanan
kesehatan

Tabel Obat ARV
20,21

No. Jenis Obat Dosis
A. Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI)
1. Abakavir (ABC) 300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari
2. Didanosin (ddI) 250 mg 1x/hari (BB<60 kg)
3. Lamivudin (3TC) 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari
4. Stavudin (d4T) 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60 kg)
5. Zidovudin (ZDV atau AZT) 300 mg 2x/hari
B. Nukleotida
1. Tenofir (TDF) 300 mg 1x/hari
C. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI)
1. Efavirenz (EFV) 600 mg 1x/hari
2. Nevirapine (NVP) 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari
D. Protease Inhibitor
1. Indinavir/ritonavir (IDV/r) 800 mg/100 mg 2x/hari
2. Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg 2x/hari
3. Nelfinavir (NFV) 1250 mg 2x/hari
4. Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)
1000 mg/100 mg 2x/hari atau 1600 mg/200 mg 1 x/hari
5. Ritonavir (RTV/r) Kapsul 100 mg. Larutan oral 400 mg/5 ml
** Ritonavir dipakai sebagai booster untuk PI lainnya

Pada pemeriksaan HIV penderita TB yang memberikan hasil positif, rekomendasi penggunaan
terapi ARV adalah:
20,21

1. Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2
minggu dan tidak lebih dari 8 minggu, berapapun jumlah CD4.
2. Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang memulai terapi ARV selama dalam
terapi TB. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir dan nevirapin. Obat yang dapat
digunakan AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah OAT selesai, EFV dapat diganti dengan
NVP.

Rekomendasi tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-HIV,
potensi menurunkan transmisi bila semua pasien HIV memulai terapi ARV lebih cepat,
meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan kekambuhan TB.

Tabel 2. Panduan Pengobatan ARV pada ODHA yang kemudian muncul TB aktif
20,21

Pilihan
Obat
Panduan Pengobatan ARV
pada waktu TB terdiagnosis
Pilihan obat ARV
Lini pertama 2NRTI+EFV Teruskan dengan 2 NRTI+EFV
2NRTI+NVP Ganti dengan 2 NRTI+EFV atau tetap
teruskan 2 NRTI+NVP. Tripel NRTI
dapat digunakan bila EFV dan NVP tidak
dapat digunakan.
Lini kedua 2 NRTI+PI/r Dianjurkan menggunakan OAT tanpa
rifampisin. Jika rifampisin perlu
digunakan maka gunakan LPV/r dengan
dosis 800 mg/200 mg 2x/hari. Perlu
evaluasi fungsi hati ketat









DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related disorders.
In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL. editors.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 17
th
ed. The United States of America:
McGraw-Hill
2. Ditjen PP & PL Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2009
3. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI 2002.
4. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.
Geneva. 2010.
5. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
6. Djuanda A., Penyakit Kelamin AIDS (Aqcuired Immuno Deficincy Syndrome) Dalam Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ke-4. Jakarta : Fakultas kedokteran Universitas Indonesia
: 2005
7. U.S. Preventive Services Task Force. Screening for HIV. Available at
http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf/uspshivi.htm. Accessed June 16, 2011.
8. [Guideline] Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Owens DK. Screening for HIV
in health care settings: a guidance statement from the American College of Physicians and
HIV Medicine Association. Ann Intern Med. Jan 20 2009;150(2):125-31.
9. Hull MW, Rollet K, Odueyungbo A, Saeed S, Potter M, Cox J, et al. Factors Associated
With Discordance Between Absolute CD4 Cell Count and CD4 Cell Percentage in Patients
Coinfected With HIV and Hepatitis C Virus. Clin Infect Dis. Jun 2012;54(12):1798-1805
10. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of
antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents. Department of Health and
Human Services. January 10, 2011; 1-174. Accessed June 16, 2011. Available at
http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/ AdultandAdolescentGL.pdf.
11. Hoffmann CJ, Brown TT. Thyroid function abnormalities in HIV-infected patients. Clin
Infect Dis. Aug 15 2007;45(4):488-94.
12. Lee PL, Yiannoutsos CT, Ernst T, Chang L, Marra CM, Jarvik JG, et al. A multi-center 1H
MRS study of the AIDS dementia complex: validation and preliminary analysis. J Magn
Reson Imaging. Jun 2003;17(6):625-33.
13. Louisa M, Setiabudy R. Antivirus. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth,
editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1995.
14. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Orang Dewasa dan Remaja.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
15. Konsorsium Upaya Kesehatan Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran:
Tatalaksana HIV/AIDS. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
16. Spector SA, McKinley GF, Lalezari JP, Samo T, Andruczk R, Follansbee S, et al. Oral
ganciclovir for the prevention of cytomegalovirus disease in persons with AIDS. Roche
Cooperative Oral Ganciclovir Study Group. N Engl J Med. Jun 6 1996;334(23):1491-7.
17. Impact of antiretroviral therapy on tuberculosis incidence among HIV-positive patients in
high-income countries. Clin Infect Dis. May 2012;54(9):1364-72.
18. WHO. The Three I's for HIV/TB. Diunduh dari
http://www.who.int/hiv/topics/tb/3is/en/index.html tanggal 7 November 2012 jam 20.00
19. International Standard for Tuberculosis Care.
20. PDPI. Tuberculosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011
21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV dan Terapi Retroviral pada Orang Dewasa. 2011

Anda mungkin juga menyukai