Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Iptek Kesehatan di Bidang Bahan
Baku Obat, Sediaan Obat, Perbekalan Farmasi dan Alat Kesehatan
Arah penelitian, pengembangan dan penerapan Iptekkes di bidang bahan baku obat, sediaan obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan periode tahun 2005-2025 disusun berdasarkan skala prioritas, yaitu a) Bioteknologi farmasi untuk produksi bahan baku obat, obat, isolat bahan alam obat, b) Produk herbal terstandar dan fitofarmaka, c) New drug delivery system and drug targeting, d) Teknologi instrumentasi medik untuk diagnostik dan terapi kesehatan, e) Pengembangan Iptek kontrasepsi, f) Teknologi Obat, Perbekalan farmasi dan Alat kesehatan (OPA) tepat guna untuk kegawatdaruratan, g) Teknologi aplikasi standar K3, dan h) biosensor untuk mendeteksi materi bioterorisme. Indikator keberhasilan penelitian dan pengembangan Iptek kesehatan di bidang obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan, mencakup, a) Jumlah produk bahan baku obat, obat baru (new chemical entity), isolat bahan alam obat, b) Jumlah formula dan bentuk sediaan baru obat esensial, c) Jumlah simplisia dan ekstrak terstandar untuk produk herbal terstandar dan fitofarmaka, d) Jumlah produk fitofarmaka untuk penyakit kronik dan degeneratif, e) Jumlah prototipe kontrasepsi, f) Jumlah prototipe instrumentasi medik untuk diagnostik dan terapi kesehatan, g) jumlah prototipe OPA tepat guna untuk kegawatdaruratan, h) Jumlah prototipe aplikasi standar K3 serta prototipe biosensor untuk deteksi materi bioterorisme. Industri farmasi merupakan salah satu industri farmasi yang mengalokasikan dana yang cukup besar untuk penelitian dan pengembangan. Dari data IMS Health World Review tahun 2004, industri farmasi membelanjakan tidak kurang dari US$ 100 Miliar per tahun untuk penelitian dan pengembangan. Dana terbesar terutama digunakan untuk uji klinik yaitu sekatar 40%. Proses penemuan obat baru merupakan langkah yang sangat panjang dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar, penelitian dan pengembangan suatu obat dibagi menjadi beberapa tahapan sbb: 1. Sintesis dan screening molekul 2. Studi pada hewan percobaan 3. Studi pada manusia yang sehat (healthy volunteers) 4. Studi pada manusia yang sakit (pasien) 5. Studi pada manusia yang sakit dengan populasi diperbesar 6. Studi lanjutan (post marketing surveillance) Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap awal dari rangkaian penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau senyawa yang berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian obat biasanya ditargetkan untuk suatu daerah tertapetik yang khas, potensi relatif pada produk saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut sebagai hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut. Ada dua paradigma teknologi baru yang berpengaruh radikal terhadap industri farmasi yaitu teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT) dan bioteknologi. Dalam hal R&D, ICTmemungkinkan mekanisasi dan automatisasi penemuan obat dan proses pengembangannya. Dengan Combinatorial Chemistry dapat dilakuakn sintesis molekul yang lebih masal yang dikontrol oleh robot komputer. Dengan menggunakan teknologi ini permutasi dan kombinasi building block kimia dapat dilakukan secra cepat, mencapai ratusan ribu senyawa tiap minggu. Dengan metode yang lama hanya mengasilkan beberapa ratus senyawa kimia. Kombinasi dariCombinatorial Chemsitry dan High Throuhput Screening (HTS) dapat meningkatakan 7 kali lipat dalam pengujian (test) senyawa kimia untuk dikembankan lebih lanjut sebagai obat penemuan baru. Pada saat yang sama telah dikembangkan program komputer yang dapat menunjukkan (display) tiga dimensi images of molecule ketika dirotasi dan juga memberikan representasi dinamik dari potensi reaksi antara obat dengan enzim tertentu. Selain itu komputer dapat menunjukkan manipulasi dari sites of biochemical action dan prediksi tentang toksisitas dan khasiat (efficacy) dari struktur kimia termaskud serta efek biologisnya. Selain itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan pengertian tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi- kondisi yang dapat meningkatkan peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara stabilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau metode yang diusulkan dari pemberian obat, seperti juga melihat kembali literatur tentang formulasi, bioavaibilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang serupa, seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan bioavaibilitas suatu kandidat obat baru. Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan dalam bentuk molekul optimumnya. Setelah disintesis, suatu senyawa melalui proses screening, yang melibatkan pengujian awal obat pada sejumlah kecil hewan dari jenis yang berbeda (biasanya 3 jenis hewan) ditambah uji mikrobiologi untuk menemukan adanya efek senyawa kimia yang menguntungkan. Meskipun ada faktor lucky (kebetulan) dalam upaya ini, umumnya pendekatannya cukup terkontrol berdasarkan struktur senyawa yang telah diketahui. Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas, mutagenesis dan karsinogenitas, di samping pemeriksaan LD50, toksisitas akut dan kronik. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata. Hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau tidak. Penelitian toksistas merupakan cara potesial untuk mengevaluasi: 1. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis 2. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagensis) 3. Pertumbuhan tumor (onkogenesis atau karsinogenesis) 4. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenik) ` Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetika obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Semua hasil pengamatan pada hewan tersebut menetukan apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan uji pada manusia atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sam dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. Di samping uji pada hewan untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contonya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji antimikroba pada pembenihan mikroba, uji antioksidan dengan DPPH, uji antiinflamasi, dll untuk menggantikan uji khasiat pada hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksistas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat menggambarkan toksisitas pada manusia. Di samping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji klinis. Oleh karenanya, pada uji pra-klnis ini dirancang dengan pertimbangan: 1. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan lepada manusia 2. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju dengan pertimbangan khusus untuk anak-anak, wanita hamil atau orang usia lanjut. 3. Efek obat menurut dugaan pada manusia. Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon obat tersebut menjadi IND (Investigasional New Drug) atau obat baru dalam penelitian. Setelah calon obat dinaytakan mempunyai kemanfaatan danaman pada hewan percobaan maka selanjutnya diji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia Uji klinis pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu: Fase I, calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Fase III, melibatkan kelompok besar pasien. Di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Semula uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos satu atau lebih kurang 10.000 seyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatnnya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional di Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), di AS adalah FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul, dll) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang suda ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik,mikro-enkapsulasi, dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. (Baca lebih lengkap : Perkembangan Produk Bioteknologi di Dunia) Setelah calon dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka panjang untuk melihat terapetik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan. Sebagai contoh cerivastatin (suatu antihiperkolesterolemia yag dapat merusak ginjal), entero-vioform (kliokuinol suatu anti-disentri amuba yang pada orang Jepang bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot mata/SMON disesase), fenil pranol amin/PPA yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung, triglitazon (antidiabetes yang bisa merusak hati), dan Viox (rofecoxib) yang bisa merusak jantung. Penemuan obat baru chemotheraupetica (New Chemical Entity/NCE) saat ini cenderung mengalami penurunan karena diberlakukannya syarat yang sangat ketat untuk dapat diterima, diregistrasi dan diizinkan beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di negara-negara Eropa, AS dan negara maju lainnya. Persyaratan ketat ini memerlukan penelitian farmakologi dan kemanan yang jauh lebih luas dan dengan sendirinya memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jangka penemuan obat baru sejak awal ditemukan suatu bahan kimia harus sampai menjadi obat baru yang diizinkan beredar memerlukan waktu 10-12 tahun dan biaya peneltian lebih kurang USD 350-800 juta. Tahapan Pengembangan Produk Baru
Tahapan dalam pengembangan produk baru menyesuaikan dengan kondisi perusahaan.Menurut Ulrich & Eppinger (2008) dan Donald & Winer (2004), tahapan prosespengembangan produk baru seperti terlihat dalam Gambar 3 dan 4 di bawah ini:
Gambar 1. Tahapan Proses Pengembangan Produk dari Ulrich & Eppinger
Proses R n D dari Hulu ke Hilir Pengembangan (Research and development /R&D) adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji produk tersebut. Jadi penelitian pengembangan bersifat longitudinal (bertahap bisa multy years). Sesuai dengan namanya, Research & Developmnet dipahami sebagai kegiatan penelitian yang dimulai dengan research dan diteruskan dengan development. Kegiatan research dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhan pengguna (needs assessment), sedangkan kegiatan development dilakukan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran. Pemahaman ini tidak terlalu tepat. Kegiatan research tidak hanya dilakukan pada tahap needs assesment, tapi juga pada proses pengembangan produk, yang memerlukan kegiatan pengumpulan data dan analisis data, yaitu pada tahap proses validasi ahli dan pada tahap validasi empiris atau uji-coba. Planning Concept Development System-Level Design Detail Design Testing and Refinement Production Sedangkan nama development mengacu pada produk yang dihasilkan dalam proyek penelitian. Karakteristik langkah pokok R&D yang membedakannya dengan pendekatan penelitian lain. Borg and Gall, 1983 menjelaskan 4 ciri utama R&D, yaitu: 1. Studying research findings pertinent to the product to be developed. (melakukan studi atau penelitian awal untuk mencari temuan-temuan penelaitian terkait dengan produk yang akan dikembangkan). 2. Developing the product base on this findings. (mengembangkan produk berdasarkan temuan penelitian tersebut). 3. Field testing it in the setting where it will be used eventually. (dilakukannya uji lapangan dalam seting atau situasi senyatanya dimana produk tersebut nantinya digunakan). 4. Revising it to correct the deficiencies found in the field-testing stage. (melakukan revisi untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam tahap-tahap uji lapangan).
Langkah-langkah Penelitian Pengembangan
Menurut Borg dan Gall (1989) ada langkah pelaksanaan strategi penelitian dan pengembangan yang dilakukan untuk menghasilkan produk tertentu dan untuk menguji keefektifan produk yang dimaksud. Adapun langkah-langkah penelitian dan pengembangan adalah :
Gambar 2. Langkah-langkah Penelitian Pengembangan Menurut Borg dan Gall (1989) Potensi dan Masalah Pengumpulan Data Desain Produk Validasi Desain Revisi Desain Uji Coba Produk Revisi Produk Uji Coba Pemakaian Produksi Massal Berikut penjelasan dari skema langkah-langkah penelitian dan pengembangan menurut Borg & Gall : 1. Analisis Kebutuhan (needs assessment) Suatu proses yang yang sistematis untuk menentukan tujuan, mengidentifikasi ketidaksesuaian antara kenyataan dan kondisi yang diinginkan. Meliputi kajian pustaka, pengamatan atau observasi kelas dan persiapan laporan awal. Penelitian awal atau analisis kebutuhan sangat penting dilakukan guna memperoleh informasi awal untuk melakukan pengembangan. Ini bisa dilakukan misalnya melalui pengamatan kelas untuk melihat kondisi riil lapangan. 2. Perencanaan Perencanaan, yang mencakup merumuskan kemampuan, merumuskan tujuan khusus untuk menentukan urutan bahan, dan uji coba skala kecil (uji ahli atau ujicoba pada skala kecil, atau expert judgement). 3. Pengembangan format produk awal Pengembangan format produk awal yang mencakup penyiapan bahan- bahan pembelajaran, handbook dan alat-alat evaluasi. Format pengembangan program yang dimaksud apakah ber upa bahan cetak, urutan proses, atau prosedur yang dilengkapi dengan video. 4. Validasi produk awal Uji ahli atau Validasi, dilakukan dengan responden para ahli perancangan model atau produk. Kegiatan ini dilakukan untuk mereview produk awal, memberikan masukan untuk perbaikan. Proses validasi ini disebut dengan Expert Judgement atau Teknik Delphi. 5. Revisi produk tahap awal Dilakukan berdasarkan hasil validasi awal. Hasil uji coba lapangan tersebut diperoleh informasi kualitatif tentang program atau produk yang dikembangkan. 6. Uji coba produk Dilakukan terhadap 5-15 sekolah dengan melibatkan 30-100 subjek data kuantitatif. Hasil belajar dikumpulkan dan dianalisis sesuai dengan Tujuan khusus yang ingin dicapai. Atau jika kemungkinan dibandingkan dengan kelompok control. 7. Revisi produk Dikerjakan berdasarkan hasil uji coba lapangan. Hasil uji coba lapangan dengan melibatkan kelompok subjek lebih besar. Dimaksudkan untuk menentukan keberhasilan produk dalam pencapaian Tujuan dan mengumpulkan informasi. 8. Uji coba lapangan Melibatkan 10-30 sekolah terhadap 40-200 subjek yang disertai wawancara, observasi, dan penyampaian angket kemudian dilakukan analisis. 9. Revisi produk akhir Melakukan refisi terhadap produk akhir, berdasarkan saran dalam uji coba lapangan. 10. Desiminasi dan implementasi Melaporkan dan menyebarluaskan produk melalui pertemuan dan jurnal ilmiah, bekerjasama dengan penerbit untuk sosialisasi produk untuk komersial, dan memantau distribusi dan kontrol kualitas.
Prosedur penelitian pengembangan menurut Borg dan Gall, dapat dilakukan dengan lebih sederhana melibatkan 5 langkah utama: 1. Melakukan analisis produk yang akan dikembangkan 2. Mengembangkan produk awal 3. Validasi ahli dan revisi 4. Ujicoba lapangan skala kecil dan revisi produk 5. Uji coba lapangan skala besar dan produk akhir Berikut Output Pembangunan Iptek Kesehatan dan Obat Tahun 2025 1. Program penelitian dan pengembangan Iptek kesehatan: tersedianya Iptek kesehatan dan obat yang berdaya guna dan tepat guna sesuai sosial budaya pengguna. 2. Program difusi dan pemanfaatan Iptek kesehatan: tersosialisasinya dan termanfaatkannya Iptek kesehatan dan obat tepat guna serta ramah lingkungan. 3. Program penguatan kelembagaan Iptek kesehatan: meningkatnya kapasitas kelembagaan, jejaring dan akreditasi pranata penelitian dan pengembangan, penguatan lembaga penelitian bidang kesehatan dan obat sesuai dengan pengembangan daerah. 4. Program peningkatan kapasitas Iptek sistem produksi kesehatan: terlaksananya pengawasan, audit dan assessment teknologi, penetapan standar nasional, asistensi peningkatan kemampuan industri kecil dan percepatan transformasi industri bidang kesehatan dan obat. Penelitian, pengembangan, dan penerapan Iptek kesehatan mencakup a) Penelitian, pengembangan dan penerapan Iptek kesehatan di bidang gizi dan makanan, b) Penelitian, pengembangan dan penerapan Iptek kesehatan di bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, c) Penelitian, pengembangan dan penerapan Iptek kesehatan di bidang bahan baku obat, sediaan obat, perbekalan farmasi dan alat kesehatan.
Gambar 3. ROAD MAP Pengembangan Obat Dan Sediaan Farmasi