Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Petani merupakan bagian terbesar produsen pangan dan produk-produk pertanian lainnya
seharusnya memegang peran dan pelaksana utama pembangunan pertanian di negara Indonesiayang
agraris. Setelah kita melaksanakan pembangunan pertanian selama lebih dari setengah abad yang
terjadi di lapangan tidak demikian. Petani dan masyarakat pedesaan dalam posisi yang marginal dan
memprihatinkan. Petani belum ditempatkan sebagai subyek atau penentu keputusan kegiatan
pembangunan pertanian namun tetap sebagai obyek pembangunan pertanian yang secara nasional
dirancang dan dilaksanakan oleh Pemerintah, bersama dengan segala jajaran dan petugasnya, serta
didukung oleh mitra kerja Pemerintah termasuk dunia usaha dan dunia pendidikan dan penelitian.
Banyak jenis program dan proyek pemberdayaan petani telah dilaksanakan oleh Pemerintah, melalui
Departemen Pertanian dan departemen-departemen lainnya, namun program-program tersebut
masih terpusat pada ketergantungan petani pada Pemerintah. Pola pemberdayaan masih satu arah
dengan inisiatif dan pelaksana program adalah Pemerintah dengan para petugas lapangannya.
Program pemberdayaan petani kurang bersifat partisipatoris sehingga kurang efektif dalam
membebaskan petani dari berbagai bentuk cekaman dan tekanan yang menekan kehidupan mereka.
Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu melaksanakan program pelatihan petani PHT melalui
kegiatan SLPHT (Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu) dengan menerapkan pendekatan
partisipatoris dan prinsip petani belajar dari pengalaman telah menghasilkan harapan bahwa petani
dapat mandiri, percaya diri dan lebih bermartabat sebagai manusia bebas dalam menentukan nasib
dan masa depan mereka. Program pelatihan SLPHT dapat menghasilkan para alumni yang mampu
melakukan kegiatan perencanaan dan percobaan untuk memperoleh teknologi budidaya tanaman
yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lokal dan kebutuhan petani yang spesifik. Makalah ini
menguraikan lebih lanjut tentang beberapa latar belakang masalah, prinsip dan sasaran pelaksanaan
SLPHT serta pemunculan gagasan Sains Petani oleh para alumni SLPHT. Makalah juga akan
membahas bagaimana seharusnya para peneliti dari Universitas menyikapi gagasan Sains Petani.
Kebijakan Ketahanan Pangan dengan Pertanian Konvensional
Akar permasalahan yang membawa petani pada kondisi ketergantungan adalah kebijakan Pemerintah
tentang Ketahanan Pangan atau dulu dinamakan program Swa Sembada Beras atau Swa Sembada
Pangan. Program ini bertujuan memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduk yang setiap tahun
selalu meningkat seiring dengan laju peningkatan populasi penduduk yang masih secara
eksponensial. Keinginan agar bangsa ini dapat berswa sembada beras sudah menjadi program utama
Pemerintah Indonesia sejak Kabinet Indonesia yang pertama.
Sejak tahun 1970an Pemerintah Presiden Suharto telah menetapkan kebijakan bahwa untuk
meningkatkan produksi padi secara cepat hanya dapat dicapai bila para petani padi dapat
menerapkan teknologi pertanian modern yang kemudian dikenal sebagai teknologi "revolusi hijau".
Teknologi revolusi hijau merupakan teknologi budidaya tanaman padi yang pada waktu itu
dimasyarakatkan oleh Pemerintah dengan istilah Panca Usaha Tani (pengolahan tanah, pemupukan
dengan pupuk buatan, perbaikan jaringan pengairan, penanaman benih unggul, serta
pengendalianhama dan penyakit dengan pestisida). Kebijakan tersebut pada prinsipnya tetap diikuti
oleh Pemerintah periode-periode berikutnya. Setiap tahun Pemerintah selalu menetapkan target
produksi padi yang dihasilkan oleh para petani padi. Keberhasilan suatu Kabinet atau Menteri
Pertanian dalam mencapai target produksi selalu digunakan sebagai salah satu kriteria keberhasilan
Pemerintah dalam melaksanakan program kerjanya. Oleh karena itu Pemerintah selalu berusaha
membuat banyak kebijakan, program proyek, dan bantuan yang ditujukan pada petani agar mereka
dapat meningkatkan produksi sawahnya.
Penerapan teknologi pertanian konvesional dalam program nasional Ketahanan Pangan di Indonesia
oleh Pemerintah dibebankan pada puluhan juta petani padi. Pemerintah menyediakan berbagai
bentuk fasilitas yang dharapkan dapat digunakan petani sebaik mungkin untuk meningkatkan
produksi sawahnya. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain dalam bentuk penyediaan benih, pupuk
kimia, pestisida, sistem jaringan irigasi dan kredit. Program peningkatan produksi pertanian dari
Pemerintah yang didukung oleh dunia industri dan para peneliti/pakar/akademisi semakin
memojokkan petani (khususnya petani gurem) dalam posisi yang tidak berdaya dalam menentukan
masa depannya.
Pertanian dengan teknologi revolusi hijau sering disebut sebagai pertanian konvensional, pertanian
modern, pertanian industri atau pertanian boros energi. Disebut sebagai pertanian konvensional
karena teknologi tersebut sangat umum digunakan di seluruh dunia dan pada kebanyakan komoditi
pertanian penting. Pertanian konvensional dinamakan pertanian modern karena pertanian ini
memanfaatkan berbagai masukan produksi berupa hasil teknologi modern seperti varietas unggul,
pupuk buatan dan pestisida kimia. Hampir semua masukan produksi modern berasal dari luar
ekosistem dan bahan bakunya berasal dari bahan bakar fossil sebagai sumberdaya alam tak
terbarukan Karena itu sistem pertanian modern sering juga dinamakan sebagai pertanian boros
energi. Pertanian konvensional juga dikenal sebagai pertanian industri karena kegiatan produksi
pertanian dianggap sebagai kegiatan pabrik yang memproses masukan produksi seperti benih, pupuk,
dan yang lain menjadi keluaran yang berupa pangan dan hasil pertanian lainnya serta keuntungan
usaha tani. Gliessmann (2007) menyatakan bahwa pendekatan dan praktek pertanian konvensional
terutama untuk peningkatan produksi pangan telah diikuti banyak negara baik negara maju maupun
negara sedang berkembang. Menurut Gliessmann, teknologi pertanian konvnsional tersebut bertumpu
pada tehnik-tehnik budidaya sebagai berikut:
1) Pengolahan Tanah Intensif,
2) Budidaya Monokultur,
3) Aplikasi Berbagai Pupuk Sintetik,
4) Perluasan dan intensifikasi jaringan irigasi,
5) Pengendalian hama, penyakit, gulma dengan pestisida kimia,
6) Manipulasi Genom Tanaman dan Binatang yang menghasilkan varietas-varietas unggul tanaman
melalui teknologi pemuliaan tanaman serta rekayasa genetik.
Agar pertanian konvensional berhasil meningkatkan produksi sesuai target jangka pendek
diperlukan:
inovasi teknologi yang cepat,
modal besar agar produsen dapat menerapkan teknologi produksi dan pengelolaannya,
pertanian skala besar,
penanaman varietas unggul secara seragam dalam areal luas dan terus menerus sepanjang musim,
penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara intensif dan ekstensif,
efisiensi penggunaan tenaga kerja tinggi sehingga mengarah pada penggunaan alat dan mesin
pertanian,
penerapan prinsip-prinsip agrobisnis.
Dampak Pertanian Konvensional
Dari pengalaman selama berpuluh tahun di semua negara, penerapan pertanian konvensional tidak
membawa keadaan yang lebih baik tetapi justru menimbulkan masalah-masalah baru. Penerapan
teknologi pertanian konvensional secara luas dan seragam mengakibatkan dampak negatif bagi
lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Menurut Gliessmann (2007) dampak
samping pertanian konvensional meliputi:
1. Degradasi dan Penurunan Kesuburan Tanah.
2. Penggunaan Air Berkelebihan dan Kerusakan Sistem Hidrologi.
3. Pencemaran Lingkungan berupa kandungan bahan berbahaya di lingkungan dan makanan.
4. Ketergantungan petani pada Input-input Eksternal.
5. Kehilangan Diversitas Genetik seperti berbagai jenis tanaman dan varietas tanaman pangan
lokal/tradisional.
6. Peningkatan kesenjangan Global antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang
7. Kehilangan Pengendalian Komunitas Lokal terhadap Produksi Pertanian
Pertanian Konvensional mengakibatkan kerusakan lingkungan serta semakin menghabiskan energi
dari sumberdaya alam tidak terbarukan. Harga energi semakin lama semakin meningkat karena
persediaan bahan bakar fosil semakin habis. Dilihat dari sisi ekonomi, keuntungan yang diperoleh dari
pertanian konvensional semakin menurun. Fenomena pertanian konvensional dengan segala dampak
sampingnya tersebut tidak hanya terjadi di luar negeri tetapi sudah dan sedang terjadi diIndonesia,
termasuk dalam pelaksanaan program ketahanan pangan. Kondisi lingkungan dan ekonomi di
ekosistem persawahan kita sudah sedemikian kritis sehingga sulit untuk melaksanakan kegiatan
intensifikasi pertanian secara efektif dan efisien. Berbagai bentuk pemborosan ekonomi, lingkungan
dan sosial budaya sedang terjadi di lahan-lahan sawah dan pedesaan saat ini. Kita akan mewarisi
generasi mendatang dengan kerusakan dan biaya lingkungan yang sangat mahal yang sulit untuk
dikembalikan lagi.
Dengan kesadaran manusia akan lingkungan dan masa depan bumi, praktek Pertanian Konvensional
secara bertahap harus diubah dan dikonversikan menjadi Pertanian Berkelanjutan yang bertumpu
pada kemampuan, kemandirian dan kreativitas petani dalam mengelola sumberdaya lokal yang
mereka miliki. Dukungan politik Pemerintah terhadap konversi pertanian konvensional ke pertanian
berkelanjutan harus jelas, tegas dan konsisten agar ekosistem pertanian di Indonesia dapat segera
diselamatkan dan dihindarkan dari kerusakan yang lebih parah.
Ketidakberdayaan Petani
Penerapan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang bertumpu pada
teknologi pertanian konvensional membuat petani dan kelompok tani semakin tidak berdaya, tidak
mandiri dan tidak percaya diri. Mereka sangat tergantung pada uluran tangan pihak-pihak lain
terutama pemerintah, pengusaha dan peneliti. Dengan ketergantungan tersebut berbagai potensi,
aktivitas, kreatifitas dan kearifan petani menjadi tersumbat dan tidak dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan bangsa.
Berbagai kendala yang dihadapi petani yang meliputi kendala internal seperti keterbatasan bibit, air,
pupuk, pestisida, modal, pengetahuan dan teknologi serta kendala eksternal seperti akses pasar,
penetapan harga, perubahan iklim dan lain-lainnya telah digunakan oleh Pemerintah sebagai alasan
melakukan intervensi dalam proses pengambilan keputusan petani dalam mengelola lahannya sendiri
yang terbatas. Ketergantungan petani pada Pemerintah, pengusaha sarana produksi serta
rekomendasi peneliti membuat petani semakin tidak mampu dan tidak berani mengambil keputusan
yang terbaik dalam mengelola produksi pertanian yang sesuai dengan keberadaan dan potensi
mereka sendiri yang sangat khas lokal.
Petani selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dalam program pembangunan pertanian yang
dirancang dan dilaksanakan Pemerintah yang didukung oleh pengusaha dan peneliti, termasuk
peneliti dari Perguruan Tinggi. Bagi Pemerintah petani sampai saat ini masih dianggap sebagai obyek
berbagai program dan proyek pembangunan pertanian. Bagi pengusaha petani dianggap sebagai
pasar potensial banyak jenis produk-produk industri pertanian seperti benih, pupuk, pestisida dan alat
mesin pertanian. Bagi sebagian peneliti dan akademisi, petani dianggap sebagai obyek kegiatan
penelitian serta sebagai pengguna akhir hasil kegiatan atau proyek penelitian yang dilaksanakan atas
biaya dari lembaga pemerintah atau swasta sesuai dengan "pesan-pesan" tertentu. Banyak kegiatan
penelitian universitas yang kurang relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Persepsi dan
orientasi peneliti tentang suatu permasalahan lapangan seringkali berbeda dengan persepsi dan
orientasi petani. Di samping banyak topik penelitian para peneliti yang kurang relevan, juga sebagian
besar hasil-hasil penelitian tidak sampai pada tangan petani.
Pemberdayaan Petani melalui SLPHT
Program/Proyek Pemerintah yang dinilai paling berhasil dalam lebih memberdayakan petani adalah
pelatihan petani untuk menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui program
SLPHT (Sekolah Lapangan PHT). Sejak 1989 sampai sekarang lebih dari satu juta
petani Indonesiasudah mengikuti program SLPHT yang diselenggarakan oleh Pemerintah dengan
dukungan dana APBN, APBD, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Program SLPHT terutama
dipusatkan pada pelatihan para petani padi di sentra-sentra beras di beberapa propinsi. Sampai saat
ini, SLPHT juga diselenggarakan untuk melatih para petani palawija, sayuran dataran rendah, sayuran
dataran tinggi dan perkebunan.
Asas-asas SLPHT padi adalah menggunakan sawah selama satu musim tanam sebagai sarana dan
tempat belajar utama bagi petani untuk mengelola ekosistem pertanian secara berkelanjutan. Cara
belajar lewat pengalaman oleh petani dengan melakukan pengamatan agroekosistem,
mengungkapkan dan menganalisis hasil pengamatan, serta menyimpulkan dan menerapkan teknologi
dengan metode serta bahan yang praktis dan sesuai dengan kondisi ekosistem dan petani yang khas
lokal.
Selama satu musim tanam petani bersama kelompoknya belajar sendiri dan memutuskan sendiri
teknologi pertanian yang paling tepat yang bisa mereka lakakukan sehingga mereka tidak tergantung
pada orang-orang atau pihak-pihak lain. Mengamati, menghitung, mengukur, membandingkan,
menganalisis, membuat hipotesis serta mengambil kesimpulan atas dasar penalaran ilmiah,
merupakan kegiatan yang mereka lakukan pada setiap hari pertemuan. Bila petani ingin mendalami
topik-topik khusus yang ingin mereka ketahui, mereka dilatih melakukan berbagai bentuk pengujian
dan percobaan yang mereka rancang dan amati bersama. Hasil pengujian dan percobaan tersebut
menghasilkan beberapa teknologi yang menurut keyakinan mereka dapat menyelesaikan masalah
yang dihadapi. Topik-topik khusus meliputi berbagai masalah pengelolaan ekosistem termasuk
budidaya tanaman, pengelolaan tanah dan pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman
sampai masalah pengolahan dan pemasaran hasil (Untung, 2007).
Setelah petani menyelesaikan satu periode SLPHT (disebut "alumni" SLPHT) banyak pengalaman,
pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan coba-coba yang mereka peroleh di SLPHT kemudian
diterapkan dan dilanjutkan di lahan sawahnya masing-masing. Dalam menerapkan berbagai prinsip
dan teknologi PHT para petani alumni SLPHT selalu melaksanakannya secara terpadu, holistik dan
berkelompok dalam kelompok taninya masing-masing. Hasil positif yang dirasakan petani setelah
melalui pengalaman bertahun-tahun, para alumni SLPHT merasa semakin mampu menyelesaikan
berbagai permasalahannya selama ini secara mandiri.
Sejak penyelenggaraan SLPHT, banyak konsep dan teknologi yang ditemukan sendiri oleh petani
alumni SLPHT di banyak propinsi dan pada banyak komoditi pertanian (pangan, hortikultura,
perkebunan). Beberapa teknologi kreasi petani dapat menghasilkan keluaran yang secara ekologi dan
ekonomi lebih baik daripada teknologi hasil para peneliti dan lembaga-lembaga penelitian, termasuk
peneliti Universitas. Berbeda dengan temuan para peneliti maka hasil temuan petani dengan cepat
dan luas diseminasikan pada para petani di tingkat lokal, daerah, nasional dan bahkan sampai tingkat
global. Kelihatannya proses diseminasi hasil percobaan ke pengguna akhir lebih cepat dan efektif
melalui jaringan komunikasi petani daripada melalui prosedur birokrasi pemerintah. Hasil-hasil dan
perolehan tersebut membuat petani lebih percaya diri dan ingin disejajarkan dengan kelompok
peneliti profesional yang bekerja di lembaga-lembaga penelitian pertanian dan universitas.
Konsep Sains Petani
Dari pengalaman-pengalaman tersebut di atas kelompok petani alumni SLPHT memunculkan istilah
Sains Petani yang mungkin saya artikan sebagai suatu sains yang dikembangkan dengan prinsip: "
dari, oleh dan untuk petani". Petani alumni SLPHT menyadari bahwa penyelesaian permasalahan
lapangan yang dinamis tidak dapat dilakukan dengan mengikuti kebiasaan orang tua atau orang
sekitarnya tetapi harus dapat dibuktikan dengan penalaran ilmiah. Caranya adalah dengan melakukan
percobaan, pengkajian, pengamatan, analisis dan pengambilan kesimpulan tentang penyelesaian
masalah yang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan petani setempat. Kegiatan-kegiatan percobaan
dan pengkajian tersebut dilaksanakan sendiri oleh petani dan kelompok tani. Bila dipandang perlu
dapat dilaksanakan bekerjasama dengan pihak-pihak lain, termasuk peneliti dari universitas. Petani
sudah memiliki modal untuk mengembangkan dan menerapkan Sains Petani yang berupa intuisi,
pengalaman, pengetahuan dan budaya baru dalam mengelola secara bijaksana dan berkelanjutan
segala sumberdaya yang mereka miliki, termasuk sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
sumber dana yang terbatas.
Konsep Sains Petani perlu ditanggapi oleh komunitas peneliti di lembaga-lembaga penelitian dan
uniiversitas secara positif dan kreatif. Meskipun dalam pihak lain gagasan Sains Petani dapat
dianggap sebagai tantangan dan kritik bagi pemerintah, universitas dan para peneliti agar mereka
meninjau kembali kebijakan, strategi dan program yang menempatkan petani pada posisi lemah,
yaitu di bawah posisi Pemerintah, Lembaga Penelitian dan Universitas. Kita harus menempatkan
petani pada posisi yang sejajar sebagai mitra kerja Pemerintah, lembaga Penelitian dan Universitas
dalam melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian.
Petani memerlukan pengakuan, dukungan serta kerjasama yang positif untuk mengembangkan Sains
Petani sehingga petani secara mandiri mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas temuan, kearifan
dan teknologi petani yang paling sesuai dengan kondisi lingkungan sosial budaya setempat yang
beranekaragam. Diharapkan bahwa dengan kerjasama antara "petani peneliti" dengan para peneliti
universitas dapat memperkaya dan memajukan khazanah ilmu pengetahuan kita.
Kesimpulan
1. Program Ketahanan Pangan untuk mencapai sasaran produksi pangan jangka pendek
semakin memojokkan petani pada posisi lemah, terpinggirkan serta tidak berdaya.
2. Petani tidak mampu secara mandiri mengambil keputusan mengenai pengelolaan
lahan sawahnya yang sesuai dengan kondisi dan kemampuannya.
3. Penerapan teknologi pertanian konvensional termasuk untuk peningkatan produksi
pangan mengakibatkan dampak samping negatif bagi lingkungan, sosial budaya serta secara
ekonomi semakin tidak efektif dan efisien.
4. Pelatihan SLPHT mampu mengubah petani alumni SLPHT dari budaya pasif tidak
berdaya menjadi budaya aktif, kreatif, inovatif dan berwawasan ilmiah.
5. Sains Petani sebagai suatu ilmu yang dikembangkan dengan prinsip "dari, oleh dan
untuk" petani merupakan pernyataan kemandirian dan kemampuan petani sekaligus sebagai
koreksi bagi komunitas peneliti pertanian yang masih mempertahankan kesenjangan
komunikasi dengan petani.
6. Konsep Sains Petani perlu ditanggapi secara positif dan kreatif oleh para peneliti,
yaitu dengan menerapkan kemitraan kerja sejajar dengan para petani.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas
    Tugas
    Dokumen5 halaman
    Tugas
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen2 halaman
    Untitled
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • PPM Bunga Sepatu
    PPM Bunga Sepatu
    Dokumen8 halaman
    PPM Bunga Sepatu
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Model Hu Bung An
    Model Hu Bung An
    Dokumen8 halaman
    Model Hu Bung An
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Model Hu Bung An
    Model Hu Bung An
    Dokumen8 halaman
    Model Hu Bung An
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Matematika
    Matematika
    Dokumen11 halaman
    Matematika
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Edit This 0 Comments
    Edit This 0 Comments
    Dokumen2 halaman
    Edit This 0 Comments
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Tugas Coleterata
    Tugas Coleterata
    Dokumen4 halaman
    Tugas Coleterata
    Joko Tegar
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat
  • Dari Everand
    Belum ada peringkat