Anda di halaman 1dari 11

1

PROPOSAL TUGAS AKHIR SKRIPSI




Pengaruh Abu Terbang (Fly Ash) Limbah Batu Bara terhadap Jumlah Produksi
Kokon Cacing Tanah Lumbricus rubellus










Disusun Oleh :
Ariani Anugrah Putri
11308144003
Biologi Swadana



JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Batu bara adalah bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap di Indonesia.
Pembakaran batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap akan
menghasilkan sisa pembakaran batu bara atau sering disebut juga Coal
Combustion Residue (CCR). Komponen CCR ini meliputi abu terbang ringan (Fly
ash), abu terbang berat (Bottom ash), dan asap yang mengandung sulfur. (Singh,
2013:539-544).
Pembangkit listrik di Indonesia masih mengandalkan batu bara sebagai
bahan bakar utama. Sejak tahun 2011 tercatat 14 dari 34 pembangkit listrik swasta
di Indonesia menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Pembangkit listrik
tenaga uap memproduksi energi sampai 33,96%. Biomassa abu terbang yang
dihasilkan cukup besar mengingat jumlah batu bara yang digunakan sebagai
bahan bakar cukup besar pula untuk memasok kebutuhan listrik di Indonesia
(Statistika PLN, 2011)

Gambar 1. Energi yang diproduksi oleh pembangkit listrik di Indonesia
tahun 2011 (Statistika PLN, 2011)
Beberapa PLTU besar di Indonesia sudah menyediakan teknologi
pengelolaan limbah hasil pembakaran batu bara. PLTU Tanjung B Unit 3 dan 4
sudah mendesain pembangkit listrik yang ramah lingkungan menggunakan FGD
3

(Flue Gas Desulfurization). Asap hasil pembakaran batu bara yang menghasilkan
gas sulfur akan ditangkap oleh lime stone atau batu kapur yang di campur air laut
pada FGD, sehingga asap yang terbuang lewat cerobong asap hanya uap air yang
ramah lingkungan. Limbah abu terbang khususnya fly ash yang terbawa oleh gas
pembakaran batu bara akan ditangkap oleh elektrostatic precipitator dan
ditampung dalam precipitator hopper (Dwiyanto, http://www.pln.co.id/)
Abu terbang akan di tumpuk begitu saja di dalam area industri dan akan
menimbulkan masalah bagi lingkungan. Abu terbang ini tidak akan jadi masalah
apabila dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan abu terbang masih terkendala
oleh status abu terbang itu sendiri yang masuk dalam kategori bahan berbahaya
dan beracun (B3) karena mengandung logam berat yang berbahaya bagi
lingkungan. Berbagai penelitian mengenai abu terbang dapat digunakan sebagai
bahan campuran pembuatan beton untuk keperluan pembangunan.
Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa abu terbang batu bara
PLTU Tanjung Jati B Jepara mengandung unsur-unsur makro dan mikro bagi
tanaman seperti P, K, Ca, Cl, Fe, Mn, Cu, Zn, dan Mo. Kandungan logam berat
yang terkandung dalam abu terbang ini meliputi Cd (0,0001%), Pb (0,0034%-
0,0046%), dan Zn (0,00150%-1,0155%) dan memiliki pH 9,36.
Bahan lain yang terkandung dalam abu terbang pada media tanaman dapat
diakumulasi oleh organisme non target seperti fauna tanah. Fauna tanah
merupakan kelompok heterotroph utama di dalam tanah. Fauna tanah terdiri dari
mikrofauna, makrofauna, dan mesofauna. Proses dekomposisi dalam tanah tidak
akan mempu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna tanah.
Makrofauna tanah mempunyai peranan penting dalam dekomposisi bahan organik
tanah untuk menyediakan unsur hara. Makrofauna yang disebut saprofagus
diantaranya adalah cacing tanah (Arief, 2001:122-123).
Logam berat dengan konsentrasi >2 ppm dalam tanah dapat menurunkan
rata-rata berat dan pertumbuhan cacing tanah, karena logam berat yang
terakumulasi dalam tubuh cacing tanah dapat mengganggu pola makan serta
fisiologis cacing tanah. Penelitian tentang kepadatan cacing tanah di kabupaten
gresik dan hubungannya dengan kadar logam berat timbal (Pb) dalam tanah yang
4

pernah dilakukan menunjukkan bahwa salah satu logam berat yaitu kadar Pb tidak
ada hubungan dengan kepadatan cacing tanah tetapi mempengaruhi berat dan
panjang cacing tanah (Ningrum, 2014:122-128).
Penelitian ini menggunakan objek penelitian berupa cacing tanah
(Lumbricus rubellus). Cacing tanah digunakan sebagai objek percobaan karena
perannya yang sangat penting di alam, yaitu sebagai penyedia unsur hara dalam
tanah. Kemampuan bereproduksi cacing tanah (L.rubellus) dalam media
bercampurkan abu terbang digunakan sebagai parameter untuk melihat dampak
penggunaan abu terbang terhadap makrofauna tanah.
B. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang dapat muncul dalam penelitian ini adalah tingkat
kematian cacing tanah (L.rubellus), pertumbuhan cacing tanah (L.rubellus)
meliputi berat dan panjang tubuh, bioakumulasi logam berat dalam tubuh cacing
tanah (L.rubellus), perilaku cacing tanah (L.rubellus) dalam media bercampurkan
abu terbang (Fly Ash), kemampuan bereproduksi cacing tanah (L.rubellus) yang
meliputi jumlah kokon, berat kokon, dan viabilitas kokon. Masalah lingkungan
yang dapat timbul dari penelitian ini adalah logam berat yang terkandung dalam
abu terbang apabila dicampurkan ke dalam tanah akan menyebar ke lingkungan
sehingga mempengaruhi kualitas air.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini hanya dibatasi tentang daya reproduksi cacing tanah jenis
L.rubellus dalam menghasilkan kokon apabila ditempatkan dalam media yang
bercampur abu terbang batu bara. Daya reproduksi cacing yang diamati hanya
sebatas menghitung jumlah kokon yang terbentuk sepanjang waktu pengamatan.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukanan, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh abu terbang batu bara terhadap jumlah produksi
kokon cacing tanah (L.rubellus)?
2. Bagaimana grafik jumlah produksi kokon cacing tanah (L.rubellus) selama
pengamatan?
5

E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh abu terbang batu bara terhadap produksi kokon
cacing tanah (L.rubellus).
2. Mengetahui tingkat produksi kokon cacing tanah (L.rubellus) yang
ditunjukkan dengan grafik selama pengamatan.
F. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai
dampak pemanfaatan abu terbang (fly ash) sebagai campuran pupuk terhadap
organisme bermanfaat yang hidup berdampingan dengan tanaman dan sebagai
pertimbangan dalam dosis abu terbang apabila digunakan sebagai pengganti
pupuk tanaman.



















6







BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Abu Terbang (fly ash)
Abu terbang merupakan material oksida anorganik berwarna abu-abu
kehitaman yang mengandung silica dan alumina aktif karena sudah melalui proses
pembakaran pada suhu tinggi. Abu terbang merupakan sisa-sisa pembakaran
batubara yang dialirkan dari ruang pembakaran melalui ketel berupa semburan
asap (Widyaningsih, dkk., 2011: 1).
Berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun, abu terbang dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat
kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindian secara alami dan
mencemari lingkungan. Penyumbang produksi abu terbang batubara terbesar
adalah sektor pembangkit listrik (Widyaningsih, dkk., 2011: 1)
Batubara merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga
listrik, karena biayanya yang relatif murah dan mudah didapatkan karena
produknya yang berlimpah. Pembakaran batubara dapat menyebabkan emisi
logam seperti As, Hg, Cd, dan Pb. Besar kecilnya kandungan logam juga berbeda-
beda dan bergantung pada asal produksinya. Beberapa peneliti menyebutkan
bahwa batubara lignit (asal kayu) dan batubara subbituminus (asal batuan) kurang
mengandung logam- logam tersebut daripada batubara bituminous (mineral asli)
(Widyaningsih, dkk., 2011: 1).
Menurut American Society for Testing and Materials ( ASTM ) C618,
pembagian abu terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang
7

kelas C dan abu terbang kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran
batubara antrasit dan bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari
pembakaran batubara lignit dan subbituminus (ASTM C618, www.astm.org/).
2. Klasifikasi Cacing Tanah
Cacing tanah termasuk invertebrata dari phylum annelida, ordo
olyghocaeta, dan kelas clitellata yang hidup dalam tanah berukuran 1cm hingga 2
m. Olighochaeta yang hidup di daratan (terrestrial) ada 10 famili dan berukuran
lebih besar disebut Megadrila. Cacing tanah yang hidup di air ada tujuh famili dan
berukuran lebih kecil disebut Microdrila. Kelompok Megadrila ini yang biasanya
dikenal sebagai cacing tanah (earth-worm) yang tersebar 1.800 spesies di seluruh
dunia (Hanafiah, dkk., 2005:78).
Cacing tanah menurut Yulipriyanto (2010) dalam bukunya yang berjudul
Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu cacing epigeik (little dwellers), cacing endogeik (shallow soil dwelling), dan
anecik (deep burrowers). Kalsifikasi cacing tanah paling baru dapat
dikelompokkan menjadi lima. Pembagian ini didasari oleh perilaku, kemampuan
membuat lubang, makanan kesukaan, warna tubuh, bentuk, dan ukuran. Cacing
tanah dapat dibagi dalam kategori-kategori yang mempertimbangkan penampilan
dasar, seperti :
a. Epigeik (little dwellers) yaitu cacing tanah yang aktif di permukaan tanah
terutama seresah lantai hutan, berpigmen, dan pada umumnya tidak
membuat liang dan menghuni lapisan seresah. Beberapa cacing hidup di
bawah serpihan kayu dan dapat dimasukkan dalam kategori ini. beberapa
contoh cacing dalam kelompok ini adalah L.rubellus dan L.castaneus
(Yulipriyanto, 2010 : 182).
b. Aneciques (deep burrowers) adalah jenis cacing tanah yang berukuran
besar membentuk liang berukuran besar yang datang ke permukaan tanah
apabila terlalu lembab. cacing jenis ini pada umumnya akan membawa
seresah masuk ke dalam tanah pada malam hari. Lumbricus terestris
merupakan cacing yang terkenan dari kelompok ini (Yulipriyanto, 2010 :
182).
8

c. Endogeik (shallow soil dwelling) yaitu cacing tanah yang hidup dekat
permukaan tanah pada lapisan horizon organik kira-kira 30 cm. Sering
naik ke permukaan atau turun dari permukaan tanah tergantung dari
temperatur. Beberapa contoh cacing ini adalah Allolobophora chlorotica,
Aporrectodea caliginosa, dan Allobophora rosea (Yulipriyanto, 2010 :
182).
d. Coprophagic yaitu spesies cacing tanah yang hidup pada kotoran hewan.
Contoh : Eisenia foetida (holarctic), Dendrobaena veneta (Italia utara),
Melaphire schmardae (China) (Yulipriyanto, 2010 : 182).
e. Arboricolous adalah spesies cacing tanah yang hidup di tanah hutan hujan
tropis. Cacing ini mirip dengan cacing tipe epigeic karena mempunyai
kokon yang besar (Yulipriyanto, 2010 : 183).
3. Reproduksi Cacing Tanah
Cacing tanah adalah hewan hermaprodit. Pertukaran sperma berlangsung
antara dua cacing selama perkawinan. Sperma yang masak dan sel telur serta
cairan makanan disimpan dalam kokon yang dihasilkan klitelium, struktur seperti
sadel dekat pangkal anterior tubuh. telur dibuahi oleh sperma dalam kokon
kemudian meluncur dari tubuh cacing dan disimpan dalam atau atas permukaan
tanah. Telur akan menetas selama 3 minggu, setiap kokon menghasilkan 2-20 bayi
cacing (Yulipriyanto, 2010 : 188).
4. Perilaku Cacing Tanah
Cacing sering terlihat ada di permukaan tanah. Cacing tanah pada
umumnya muncul di permukaan tanah setelah hujan menggenangi tanah atau telah
terjadi badai karena cacing membutuhkan lingkungan lembab untuk respirasi.
Teori lain menyatakan bahwa cacing tanah yang muncul ke permukaan karena
mereka ingin melakukan perkawinan (Yulipriyanto, 2010 : 188).
B. Hipotesis
Abu terbang dapat memengaruhi jumlah produksi kokon cacing tanah
L.rubellus dan memengaruhi tingkat produksi kokon dari waktu ke waktu.


9







BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dari Bulan September-November 2014,
bertempat di Kebun Biologi Universitas Negeri Yogyakarta.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah ember, ayakan, pengaduk, baskom persegi
panjang ukuran 30cmx20cmx5cm. Bahan yang dibutuhkan adalah cacing tanah
jenis L.rubellus usia 2 bulan yang diambil dari peternakan cacing di daerah
Kasongan, tanah inseptisol, abu terbang batu baru PLTU Tanjung Jati B Jepara,
bekatul, kipas angin, timbangan, masker, sarung tangan, pH meter, Lux meter,
Hidrometer, termometer, dan higrometer.
C. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
berbagai perlakuan yang ditambahkan pada media tanam. Perlakuan terdiri dari
(1) kontrol (tanpa penambahan abu terbang), (2) 20 ton/ha abu terbang, (3) 50
ton/ha abu terbang, (4) 80 ton/ha abu terbang (5) 100 ton/ha abu terbang.
D. Cara Kerja
1. Persiapan Hewan Cacing Tanah
a. Cacing tanah L.rubellus diambil dari budi daya cacing tanah berumur 2
bulan.
b. Sebelum diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu di laboratorium
selama 7 hari.
2. Penataan Tanaman di Lapangan
10

a. Tanah inseptisol diambil dari daerah Banguntapan, Bantul.
b. Cacing L.rubellus yang diberikan berjumlah 10 pasang tiap wadah
c. Tanah yang telah diambil kemudian diayak dan dicampurkan/diaduk
secara merata dengan abu terbang sesuai dengan dosis tertentu (cacing
tanah : tanah = 1: 5).
d. Makanan berupa bekatul diberikan seriap hari dengan dosis berat cacing
tanah : bekatul = 1:1.
e. Penyiraman dilakukan setiap hari untuk menjaga kelembaban.
3. Pengamatan
a. Pengamatan dilakukan setiap 1 minggu sekali selama 2 bulan.
b. Parameter yang diamati adalah jumlah kokon cacing yang dihasilkan.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dilakukan analisa varian.
Apabila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan New
Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf =5%
















11

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. ASCTM C618 www.astm.org/ diakses pada 8 September 2014 pukul
18.10 WIB.
Hanafiah, Kemas., dkk. 2005. Biologi Tanah Ekologi dan Makrobiologi Tanah.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Nofyan, Erwin. 2009. Pengaruh Insektisida Karbofuran terhadap Produksi dan
Viabilitas Kokon Cacing Tanah Pontoscolex corethrurus Fr.Mull. Jurnal
Penelitian Sains Universitas Sriwijaya.
Widyaningsih, Senny., dkk. 2011. Karakterisasi Abu Terbang PLTU Cilacap
untuk Menurunkan Kesadahan Air di Desa Darmakradenan Kecamatan
Ajibarang Kabupaten Banyumas. Jurnal Molekul Vol 6 No.1 Mei : 35-39
Universitas Jenderal Soedirman.
Yulipriyanto. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengelolaannya. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Gond, D.P., S. Singh, A. Pal, & B.W. Tewary. 2013. Growth, yield and metal
residues in Solanum melongena grown in fly ash amended soils. Journal of
Environmental Biology 34: 539-544.
Dwiyanto,Bambang. 2012. Pembangkit Tanjung Jati B Unit 4 Beroperasi, Listrik
Jawa Bali Kian Handal. http://www.pln.co.id/ diakses pada 16 September
2014 pukul 23.00
Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta:Kanisius.
Ningrum, Iva Stya., Rachmadiarti, Fida., Budi, Widowati. 2014. Kepadatan
Cacing Tanah di Kabupaten Gresik dan Hubungannya dengan Kadar
Logam Berat Timbal dalam Tanah. Surabaya : Jurnal LenteraBio Unnesa
Vol. 3 No. 2.
Sekretariat PLN. 2011. Katalog Statistika PLN 2011. Diterbitkan oleh Sekretariat
Perusahaan PT. PLN (Persero).

Anda mungkin juga menyukai