Anda di halaman 1dari 44

1

SKENARIO 1 BLOK ENDOKRIN


PENGELIHATAN TERGANGGU








Kelompok B-08

Ketua : Yolanda Syafitri 1102011296

Sekretaris : Siti Mutia Latifah 1102012281

Anggota : Siti Farhanah Aulia 1102012279

Siti Miftahul Jannah 1102012280

Tesha Islami Monika 1102012293

Thirafi Prastito 1102012294

Wina Hanriyani 1102012307

Winny Heria Utami 1102012308

Wiwiek Libranu Soerye 1102012309

Rachmat Putra Pratama 1102010225



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
JL. Letjend Soeprapto, Jakarta Pusat
2014/2015


2



SKENARIO 1


PENGELIHATAN TERGANGGU

Tn. A, 56 tahun, mengeluh pengelihatan terganggu di kedua mata sejak 2
bulan yang lalu. Kadang-kadang terlihat bintik gelap dan lingkaran-lingkaran
cahaya. Pasien sudah mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun. Saat ini telapak kaki
terasa kesemutan dan nyeri bila berjalan.
Tekanan darah 130/90 mmHg, berat badan 80 kg, tinggi badan 165 cm dan
indeks massa tubuh (IMT) 29,4 kg/m, lingkaran perut 108 cm. kulit teraba
kering dan pada pemeriksaan sensorik dengan monofilament Semmes Weinstein
10 gram sudah terdapat penurunan rasa nyeri. Pemeriksaan Ankle Brachial
Index 0,9. Pada pemeriksaan funduskopi terdapat mikroaneurisma dan
perdarahan dalam retina. Hasil laboratorium glukosa darah puasa 256 mg/dl,
glukosa darah 2 jam setelah makan 345 mg/dl, HbA1c 10,2 g/dl dan protein urin
positif 3.
Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat
komplikasi kronik mikroangiopati dan neuropati. Pasien juga diberikan edukasi
perencanaan makan diet 1900 kalori yang halal dan baik sesuai ajaran islam,
jenis olahraga yang sesuai dan pemberian insulin untuk mengontrol glukosa
darahnya, serta efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian obat.



















3


SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan menjelaskan insulin
1.1. struktur
1.2. sintesis
1.3. sekresi dan factor yang mempengaruhi
1.4. peran

2. Memahami dan menjelaskan Diabetes Melitus
2.1. Definisi
2.2. epidemiologi
2.3. klasifikasi
2.4. etiologi
2.5. patogenesis
2.6. diagnosis
2.7. diagnosis banding
2.8. Tatalaksana
2.9. Komplikasi
2.10. Pencegahan
2.11. Prognosis

3. Memahami dan menjelaskan Retinopati
3.1. Definisi Retinopati
3.2. epidemiologi Retinopati
3.3. klasifikasi Retinopati
3.4. Etiologi Retinopati
3.5. patogenesis Retinopati
3.6. diagnosis Retinopati
3.7. Tatalaksana Retinopati
3.8. Komplikasi retinopati
3.9. Pencegahan Retinopati
3.10. Prognosis Retinopati


4. Memahami dan menjelaskan makanan yang halal dan baik menurut Islam








4

LI 1. Memahami dan Menjelaskan tentang Insulin
LO 1.1 Struktur












Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang
dihubungkan oleh jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri
dari 30 asam amino. Ada perbedaan kecil dalam komposisi molekul asam amino dari suatu
spesies ke spesies lain. Perbedaan ini biasanya tidak cukup besar untuk dapat mempengaruhi
aktivitas biologis suatu insulin pada spesies heterolog tetapi sukup besar untuk menyebabkan
insulin bersifat antigenic. Bila insulin dari suatu spesies disuntikkan dalam jangka lama ke
spesies lain, akan terbentuk antibody antiinsulin yang menghambat insulin yang disuntikkan.
Hamper semua pasien yang pernah mendapat insulin sapi yang ada di pasaran selama lebih
dari 2 bulanmembentuk antibody terhadap insulin sapi, tetapi titernya biasanya rendah.
Insulin babi berbeda dari insulin manusia hanya pada satu residu asam amino dan memiliki
antigenisitas yang rendah. Insulin manusia yang dihasilkan dalam bakteri oleh teknologi
DNA rekombinan sekarang digunakan secara luas untuk menghindari pembentukan antibodi.




Glucose signaling
Glucose
GLUT-2
Glucose
Glucose-6-phosphate
ATP
Depolarization
of membrane
K+ channel
shut
Ca
2+

Channel
Opens
Insulin + C peptide




Cleavage
enzymes
Proinsulin
preproinsulin
Preproinsulin
Insulin Synthesis
B. cell
K+




Gambar 05. Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi
Glukosa

Insulin
Release
5

LO 1.2 Sintesis

Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada
retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami
pemecahan sehingga terbentuk proinsulin, yang kemudian dihimpun dalam gelembung-
gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini, sekali lagi dengan bantuan enzim
peptidase, proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah
siap untuk disekresikan secara bersamaan melalui membran sel. (Aschroft FM, Gribble FM,
1999. ATP-Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their role in health and disease.
Diabetologia 42: 903-19)
Mekanism diatas diperlukan bagi berlangsungnya proses metabolisme secara normal,
karena fungsi insulin memang sangat dibutuhkan dalam proses utilisasi glukosa yang ada
dalam darah. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan komponen utama yang
memberi rangsangan terhadap sel beta dalam memproduksi insulin. Disamping glukosa,
beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, dapat pula memiliki efek yang sama dalam
rangsangan terhadap sel beta. Mengenai bagaimana mekanisme sesungguhnya dari sintesis
dan sekresi insulin setelah adanya rangsangan tersebut, merupakan hal yang cukup rumit dan
belum sepenuhnya dapat dipahami secara jelas. (Aschroft FM, Gribble FM, 1999. ATP-
Sensitive K + Channels and insulin secretion :Their role in health and disease. Diabetologia
42: 903-19)

LO 1.3 Sekresi dan factor yang memperngaruhi


Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh
sel beta dalam dua fase, sehingga sekresinya berbentuk biphasic. Seperti dikemukakan,
sekresi insulin normal yang biphasic ini akan terjadi setelah adanya rangsangan seperti
glukosa yang berasal dari makanan atau minuman. Insulin yang dihasilkan ini, berfungsi
mengatur regulasi glukosa darah agar selalu dalam batas-batas fisiologis, baik saat puasa
maupun setelah mendapat beban. Dengan demikian, kedua fase sekresi insulin yang
berlangsung secara sinkron tersebut, menjaga kadar glukosa darah selalu dalam batas-batas
normal, sebagai cerminan metabolisme glukosa yang fisiologis.

Sekresi fase 1 (acute insulin secretion responce =AIR) adalah sekresi insulin yang
terjadi segera setelah ada rangsangan terhadap sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat.
Sekresi fase 1 (AIR) biasanya mempunyai puncak yang relatif tinggi, karena hal itu memang
diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa darah yang biasanya meningkat tajam, segera
setelah makan. Kinerja AIR yang cepat dan adekuat ini sangat penting bagi regulasi glukosa
yang normal karena pasa gilirannya berkontribusi besar dalam pengendalian kadar glukosa
6

darah postprandial. Dengan demikian, kehadiran AIR yang normal diperlukan untuk
mempertahankan berlangsungnya proses metabolisme glukosa secara fisiologis. AIR yang
berlangsung normal, bermanfaat dalam mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah
makan atau lonjakan glukosa darah postprandial (postprandial spike) dengan segala akibat
yang ditimbulkannya termasuk hiperinsulinemia kompensatif.

Selanjutnya, setelah sekresi fase 1 berakhir, muncul sekresi fase 2 (sustained phase,
latent phase), dimana sekresi insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam
waktu relatif lebih lama. Setelah berakhirnya fase 1, tugas pengaturan glukosa darah
selanjutnya diambil alih oleh sekresi fase 2. Sekresi insulin fase 2 yang berlangsung relatif
lebih lama, seberapa tinggi puncaknya (secara kuantitatif) akan ditentukan oleh seberapa
besar kadar glukosa darah di akhir fase 1, disamping faktor resistensi insulin. Jadi, terjadi
semacam mekanisme penyesuaian dari sekresi fase 2 terhadap kinerja fase 1 sebelumnya.
Apabila sekresi fase 1 tidak adekuat, terjadi mekanisme kompensasi dalam bentuk
peningkatan sekresi insulin pada fase 2. Peningkatan produksi insulin tersebut pada
hakikatnya dimaksudkan memenuhi kebutuhan tubuh agar kadar glukosa darah (postprandial)
tetap dalam batas batas normal. Dalam prospektif perjalanan penyakit, fase 2 sekresi insulin
akan banyak dipengaruhi oleh fase 1. Pada gambar dibawah ini ( Gb. 2 ) diperlihatkan
dinamika sekresi insulin pada keadaan normal, Toleransi Glukosa Terganggu ( Impaired
Glucose Tolerance = IGT ), dan Diabetes Mellitus Tipe 2.

Biasanya, dengan kinerja fase 1 yang normal, disertai pula oleh aksi insulin yang juga
normal di jaringan ( tanpa resistensi insulin ), sekresi fase 2 juga akan berlangsung normal.
Dengan demikian tidak dibutuhkan tambahan ( ekstra ) sintesis maupun sekresi insulin pada
fase 2 diatas normal untuk dapat mempertahankan keadaan normoglikemia. Ini adalah
keadaan fisiologis yang memang ideal karena tanpa peninggian kadar glukosa darah yang
dapat memberikan dampak glucotoxicity, juga tanpa hiperinsulinemia dengan berbagai
dampak negatifnya.


7



Aksi Insulin
Insulin mempunyai fungsi penting pada berbagai proses metabolisme dalam tubuh
terutama metabolisme karbohidrat. Hormon ini sangat krusial perannya dalam proses
utilisasi glukosa oleh hampir seluruh jaringan tubuh, terutama pada otot, lemak, dan hepar.

Pada jaringan perifer seperti jaringan otot dan lemak, insulin berikatan dengan sejenis
reseptor (insulin receptor substrate = IRS) yang terdapat pada membran sel tersebut. Ikatan
antara insulin dan reseptor akan menghasilkan semacam sinyal yang berguna bagi proses
regulasi atau metabolisme glukosa didalam sel otot dan lemak, meskipun mekanisme kerja
yang sesungguhnya belum begitu jelas. Setelah berikatan, transduksi sinyal berperan dalam
meningkatkan kuantitas GLUT-4 (glucose transporter-4) dan selanjutnya juga pada
mendorong penempatannya pada membran sel. Proses sintesis dan translokasi GLUT-4 inilah
yang bekerja memasukkan glukosa dari ekstra ke intrasel untuk selanjutnya mengalami
metabolism (Gb. 3). Untuk mendapatkan proses metabolisme glukosa normal, selain
diperlukan mekanisme serta dinamika sekresi yang normal, dibutuhkan pula aksi insulin yang
berlangsung normal. Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap
insulin merupakan salah satu faktor etiologi terjadinya diabetes, khususnya diabetes tipe 2.


Insulin
Secreti
on
Intravenous
glucose
stimulation
First-Phase

Second
Phase
IGT

Normal

Type 2DM
Basal
0 5 10 15 20 25 30 ( minute )

Gb.2 Dinamika sekresi Insulin setelah beban glukosa intravena pada
keadaan normal dan keadaan disfungsi sel beta ( Ward, 84)
8

Baik atau buruknya regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme
glukosa di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi sebagai
kendaraan pengangkut glukosa melewati membrana sel kedalam sel. Dalam hal inilah
jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis glukosa tubuh. Peninggian kadar
glukosa darah puasa, lebih ditentukan oleh peningkatan produksi glukosa secara endogen
yang berasal dari proses glukoneogenesis dan glikogenolisis di jaringan hepar. Kedua proses
ini berlangsung secara normal pada orang sehat karena dikontrol oleh hormon insulin.
Manakala jaringan ( hepar ) resisten terhadap insulin, maka efek inhibisi hormon tersebut
terhadap mekanisme produksi glukosa endogen secara berlebihan menjadi tidak lagi optimal.
Semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah kemampuan inhibisinya terhadap
proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, dan semakin tinggi tingkat produksi glukosa dari
hepar.


1. binding ke reseptor, 2. translokasi GLUT 4 ke membran sel, 3. transportasi glukosa
meningkat, 4.disosiasi insulin dari reseptor, 5. GLUT 4 kembali menjauhi membran, 6.
kembali kesuasana semula.

Gambar. 3. Mekanisme normal dari aksi insulin dalam transport glukosa di jaringan
perifer ( Girard, 1995 )



9

Efek Metabolisme dari Insulin

Gangguan, baik dari produksi maupun aksi insulin, menyebabkan gangguan pada
metabolisme glukosa, dengan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Pada dasarnya ini
bermula dari hambatan dalam utilisasi glukosa yang kemudian diikuti oleh peningkatan kadar
glukosa darah. Secara klinis, gangguan tersebut dikenal sebagai gejala diabetes melitus. Pada
diabetes melitus tipe 2 (DMT2), yakni jenis diabetes yang paling sering ditemukan, gangguan
metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi
insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi
insulin), disertai oleh faktor lingkungan ( environment ). Sedangkan pada diabetes tipe 1
(DMT1), gangguan tersebut murni disebabkan defisiensi insulin secara absolut.

Gangguan metabolisme glukosa yang terjadi, diawali oleh kelainan pada dinamika sekresi
insulin berupa gangguan pada fase 1 sekresi insulin yang tidak sesuai kebutuhan (inadekuat).
Defisiensi insulin ini secara langsung menimbulkan dampak buruk terhadap homeostasis
glukosa darah. Yang pertama terjadi adalah hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) yakni
peningkatan kadar glukosa darah segera (10-30 menit) setelah beban glukosa (makan atau
minum).

Kelainan berupa disfungsi sel beta dan resistensi insulin merupakan faktor etiologi yang
bersifat bawaan (genetik). Secara klinis, perjalanan penyakit ini bersifat progressif dan
cenderung melibatkan pula gangguan metabolisme lemak ataupun protein. Peningkatan kadar
glukosa darah oleh karena utilisasi yang tidak berlangsung sempurna pada gilirannya secara
klinis sering memunculkan abnormalitas dari kadar lipid darah. Untuk mendapatkan kadar
glukosa yang normal dalam darah diperlukan obat-obatan yang dapat merangsang sel beta
untuk peningkatan sekresi insulin ( insulin secretagogue ) atau bila diperlukan secara
substitusi insulin, disamping obat-obatan yang berkhasiat menurunkan resistensi insulin (
insulin sensitizer ).

Tidak adekuatnya fase 1, yang kemudian diikuti peningkatan kinerja fase 2 sekresi
insulin, pada tahap awal belum akan menimbulkan gangguan terhadap kadar glukosa darah.
Secara klinis, barulah pada tahap dekompensasi, dapat terdeteksi keadaan yang dinamakan
Toleransi Glukosa Terganggu yang disebut juga sebagai prediabetic state. Pada tahap ini
10

mekanisme kompensasi sudah mulai tidak adekuat lagi, tubuh mengalami defisiensi yang
mungkin secara relatif, terjadi peningkatan kadar glukosa darah postprandial. Pada toleransi
glukosa terganggu (TGT) didapatkan kadar glukosa darah postprandial, atau setelah diberi
beban larutan 75 g glukosa dengan Test Toleransi Glukosa Oral ( TTGO ), berkisar diantara
140-200 mg/dl. Juga dinamakan sebagai prediabetes, bila kadar glukosa darah puasa antara
100 126 mg/dl, yang disebut juga sebagai Glukosa Darah Puasa Terganggu ( GDPT ).

Keadaan hiperglikemia yang terjadi, baik secara kronis pada tahap diabetes, atau
hiperglikemia akut postprandial yang terjadi ber-ulangkali setiap hari sejak tahap TGT,
memberi dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan
komplikasi kronis dari diabetes.Tingginya kadar glukosa darah (glucotoxicity) yang diikuti
pula oleh dislipidemia (lipotoxicity) bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan baik
secara langsung melalui stres oksidatif, dan proses glikosilasi yang meluas.

Resistensi insulin mulai menonjol peranannya semenjak perubahan atau konversi fase
TGT menjadi DMT2. Dikatakan bahwa pada saat tersebut faktor resistensi insulin mulai
dominan sebagai penyebab hiperglikemia maupun berbagai kerusakan jaringan. Ini terlihat
dari kenyataan bahwa pada tahap awal DMT2, meskipun dengan kadar insulin serum yang
cukup tinggi, namun hiperglikemia masih dapat terjadi. Kerusakan jaringan yang terjadi,
terutama mikrovaskular, meningkat secara tajam pada tahap diabetes, sedangkan gangguan
makrovaskular telah muncul semenjak prediabetes. Semakin tingginya tingkat resistensi
insulin dapat terlihat pula dari peningkatan kadar glukosa darah puasa maupun postprandial.
Sejalan dengan itu, pada hepar semakin tinggi tingkat resistensi insulin, semakin rendah
kemampuan inhibisinya terhadap proses glikogenolisis dan glukoneogenesis, menyebabkan
semakin tinggi pula tingkat produksi glukosa dari hepar.

Jadi, dapat disimpulkan perjalanan penyakit DMT2, pada awalnya ditentukan oleh kinerja
fase 1 yang kemudian memberi dampak negatif terhadap kinerja fase 2, dan berakibat
langsung terhadap peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia). Hiperglikemia terjadi
tidak hanya disebabkan oleh gangguan sekresi insulin (defisiensi insulin), tapi pada saat
bersamaan juga oleh rendahnya respons jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin).
Gangguan atau pengaruh lingkungan seperti gaya hidup atau obesitas akan mempercepat
progresivitas perjalanan penyakit. Gangguan metabolisme glukosa akan berlanjut pada
gangguan metabolisme lemak dan protein serta proses kerusakan berbagai jaringan tubuh.
11

Rangkaian kelainan yang dilatarbelakangi oleh resistensi insulin, selain daripada intoleransi
terhadap glukosa beserta berbagai akibatnya, sering menimbulkan kumpulan gejala yang
dinamakan sindroma metabolik.



LO.1.4 peran insulin

Insulin memiliki efek yang luas dan kompleks, sehingga dikelompokkan sebagai
berikut :

Efek Kerja Cepat (detik)
Peningkatan transport glukosa, asam amino, dan K
+
ke
dalam sel peka insulin
Efek Kerja Menengah (menit)
Stimulasi sintesis protein
Penghambatan pemecahan protein
Pengaktifan enzim glikolitik dan glikogen sintase
Penghambatan fosforilase dan enzim glukoneogenik
Efek Kerja Lambat (jam) Peningkatan mRNA enzim lipogenik dan enzim lain

Efek insulin pada berbagai jaringan
Jaringan adipose
Meningkatkan pemasukan glukosa
Meningkatkan sintesis asam lemak
Meningkatkan sintesis gliserol fosfat
Meningkatkan pengendapan trigliserida
Mengaktifkan lipoprotein lipase
Menghambat lipase peka hormone
Meningkatkan ambilan K
+

Otot Meningkatkan pemasukan glukosa
FAKTOR YANG MENINGKATKAN SEKRESI INSULIN FAKTOR YANG MENURUNKAN
SEKRESI INSULIN
Peningkatan glukosa darah Penurunan kadar glukosa darah
Peningkatan asam lemak bebas Keadaan puasa
Peningkatan asam amino Somatostatin
Hormon gastrointestinal (gastrin, kolesistokinin,
sekretin, gastric inhibitory product (GIP)
Aktivitas alfa adrenergik
Hormon glukagon, hormon pertumbuhan, kortisol Leptin
Stimulasi parasimpatis (asetilkolin) dan beta
adrenergik

Keadaan resistensi insulin: obesitas

Obat-obatan: sulfonilurea

12

Meningkatkan sintesis glikogen
Meningkatkan ambilan asam amino
Meningkatkan sintesis protein di ribosom
Menurunkan katabolisme protein
Menurunkan pelepasan asam amino glukoneogenik
Meningkatkan ambilan keton
Meningkatkan ambilan K
+

Hati
Menurunkan ketogenesis
Meningkatkan sintesis protein
Meningkatkan sintesis lemak
Menurunkan pengeluaran glukosa akibat penurunan gluconeogenesis
dan peningkatan sintesis glikogen dan glikolisis
Umum Meningkatkan pertumbuhan sel

















Efek penting dari insulin adalah untuk menurunkan kadar glukosa, lemak, dan asam
amino darah dengan mendorong penyerapan bahan-bahan tersebut oleh sel dan
menyimpannya dalam bentuk glikogen, trigliserida, dan protein.

Efek pada Karbohidrat
Insulin merupakan satu-satunya hormon yang mampu menurunkan kadar gula darah,
mempunyai 4 efek sebagai berikut :
- Mempermudah transport glukosa ke dalam sebagian besar sel.
- Merangsang glikogenesis di otot rangka dan hati.
- Menghambat glikogenolisis.
- Menghambat glukoneogenesis, sehingga mengurangi pengeluaran glukosa oleh
hati.

Efek pada Lemak
13

Menurunkan asam lemak darah dan mendorong penyimpanan trigliserida :
- Insulin meningkatkan pemasukan asam lemak dari darah ke sel jaringan lemak.
- Meningkatkan transport glukosa ke sel jaringan lemak melalui rekrutmen GLUT-
4. Glukosa merupakan prekusor untuk pembentukan asam lemak dan gliserol
yang merupakan bahan mentah untuk membentuk trigliserida.
- Mendorong reaksi-reaksi kimia yang akhirnya mensintesis trigliserida.
- Menghambat lipolysis.

Efek pada Protein
Menurunkan kadar asam amino darah dan meningkatkan sintesis protein :
- Mendorong transport aktif asam amino ke dalam otot dan jaringan lain.
- Meningkatkan laju inkorporasi asam amino menjadi protein.
- Menghambat penguraian protein.

Pengontrol utama sekresi insulin : sistem umpan balik negative langsung antara sel
pancreas dan konsentrasi glukosa dalam darah. Hal lainnya yang mengatur sekresi
insulin adalah :
- Peningkatan kadar asam amino darah produksi insulin akan meningkat shg
sintesis protein meningkat dan kadar asam amino berkurang.
- Glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP) : hormone saluran cerna yang
dikeluarkan sbg respons thdp adanya makanan merangsang pengeluaran
insulin.
- Sistem syaraf otonom. Pulau Langerhans memiliki banyak persarafan
parasimpatis (vagus) peningkatan aktivitas PS sbg respons thdp adanya
makanan akan meningkatkan sekresi insulin.

Sedangkan stimulasinya akan dihambat oleh stimulasi simpatis dan peningkatan
epinefrin.

Mekanisme Kerja Insulin Sebagai Transporter Glukosa
Untuk mengangkut glukosa dari darah ke dalam sel dibutuhkan suatu pembawa/
pengangkut membrane plasma yang dikenal sebagai pengangkut glukosa (glucose
transporter, GLUT). Terdapat 6 bentuk GLUT yang telah diketahui dan dinamai
sesuai urutan penemuannya. Setiap anggota dari family GLUT memiliki fungsi yang
sedikit berbeda, misal :
- GLUT-1 berperan memindahkan glukosa menembus sawar darah otak.
- GLUT-2 berperan memindahkan glukosa yang masuk ke ginjal dan usus je akiran
darah sekitar melalui pembawa kotranspor.
14

- GLUT-3, pengangkut utama glukosa ke dalam neuron, dsb.

Pengangkut glukosa yang bertanggung jawab atas sebagian besar penyerapan glukosa
oleh mayoritas sel tubuh adalah GLUT-4, yang bekerja hanya setelah berikatan
dengan insulin. Banyak terdapat di otot rangka dan jaringan lemak. Molekul glukosa
tidak dapat dengan mudah menembus sawar sebagian besar sel tanpa adanya insulin,
shg kebanyakan jaringan bergantung pada insulin. Insulin akan mendorong
penyerapan glukosa melalui proses rekrutmen pengangkut.

Insulin berikatan dengan reseptor sel peka insulin.

Mempertahankan vesikel intrasel yang mengandung GLUT-4 untuk bergerak ke
membran plasma dan menyatu dengannya, shg GLUT-4 tersisip di membrane
plasma.

Dengan adanya GLUT-4 di membrane plasma, penyerapan glukosa menjadi
meningkat 10-30x.

Saat insulin berkurang, GLUT-4 akan mengalami endositosis, dimana ia akan
diambil kembali dari membrane plasma dan masuk ke dalam vesikel.



















Namun, ada beberapa jaringan yang tidak tergantung pada insulin untuk menyerap
glukosa :
- Otak, memerlukan pasokan gula konstan untuk kebutuhan energinya setiap saat,
bersifat permeable bebas thdp glukosa setiap saat melalui molekul GLUT-1 dan
GLUT-3.
- Otot yang sedang aktif, saat berolahraga otot tidak bergantung pada insulin untuk
menyerap glukosa, walaupun pada saat istirahat memerlukannya.
15

- Hati, tidak bergantung pada insulin karena tidak mengandung GLUT-4. Namun,
insulin akan meningkatkan metabolisme glukosa oleh hati dengan merangsang
fosforilasi glukosa untuk membentuk glukosa-6-fosfat. Fosforilasi glukosa yang
masuk ke dalam sel akan menjaga konsentrasi glukosa intrasel rendah, shg
gradient yang mempermudah difusi terfasilitasi glukosa ke dalam sel
dipertahankan.
Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta : EGC
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC


LI 3. Memahami dan Menjelaskan tentang Diabetes Melitus

LO 3.1 Memahami dan menjelaskan tentang definisi diabetes melitus

Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan
metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik
pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk,1999). Sedangkan menurut
Francis dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan
metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi
sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes mellitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin,kerja insulin,atau kedua-duanya.

Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-
duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes dapat menyebabkan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.

Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.

LO 3.2 Memahami dan menjelaskan tentang epidemiologi diabetes
melitus

Tingkat prevalensi DM tipe 2 cukup tinggi, diperkirakan sekitar 16 juta kasus DM di
Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. DM merupakan
penyebab kematian di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada
orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita DM paling sedikit
2,5 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan mereka yang tidak menderita
DM. Tujuh puluh lima persen penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskular.
Serangan jantung, gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi
utama. Selain itu kematian fetus intrauterine pada ibu penderita DM yang tidak terkontrol
16

juga meningkat. Dampak ekonomi pada DM jelas terlihat akibat biaya pengobatan dan
hilangnya pendapatan, selain konsekwensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti
kebutaan dan penyakit vaskuler (Price danWilson, 2002).

LO 3.3 Memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi diabetes
melitus

Secara klinis terdapat 2 macam diabetes, tetapi ada yang berpendapat bahwa diabetes
hanya merupakan suatu spektrum defisiensi insulin.
1. Juvenile Onset/Insulin Dependent/Ketosis Prone (IDDM/ Diabetes tipe 1)
Suatu individu mengalami kekurang insulin secara total atau hampir total.
Tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan
ketoasidosis.
Pada diabetes tipe ini , terdapat hubungan HLA tertentu pada kromosom 6 dan
beberapa auto-imunitas serologik dan cell mediated.
2. Stable/Maturity Onset/Non-Insulin Dependent (NIDDM / Diabetes tipe 2)
Individu dengan tipe ini meninjukkan defisiensi Insulin yang relatif , banyak
yang memerlukan suplementasi insulin, namun tidak akan menimbulkan kematian
akibat ketoasidosis bila pemakaian insulin dihentikan. Kenaikan jumlah insulin secara
absolut dapat terjadi dibandingkan dengan orang normal (berhubungan dengan
obesitas/inaktivitas fisik). Diabetes tipe ini tidak memiliki hubungan dengan HLA ,
virus atau auto-imunitas dan biasanya sel Beta masih berfungsi.
Klasifikasi DM menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 dan
Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3 bagian yaitu
Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun, menurut American
Diabetes Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian dengan tambahan PraDiabetes.
Menurut American Diabetes Association 2005 (ADA 2005) klasifikasi diabetes melitus, yaitu
1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM (destruksi
sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut)
Melalui proses imunologik Bentuk diabetes ini merupakan diabetes
tergantung insulin, biasanya disebut sebagai juvenile onset diabetes. Hal ini
disebabkan karena adanya destruksi sel beta pankreas karena autoimun. Kerusakan sel
beta pankreas bervariasi, kadang-kadang cepat pada suatu individu dan kadang-
kadang lambat pada individu yang lain.
Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah terjadi ketoasidosis. Pada
diabetes tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat
ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi
sama sekali. Sebagai marker terjadinya destruksi sel beta pankreas adalah
autoantibodi sel pulau langerhans dan atau aoutoantibodi insulin dan autoantibodi
asam glutamate dekarboksilase sekitar 85-90 % terdeteksi pada diabet tipe ini.
Diabetes melitus autoimun ini terjadi akibat pengaruh genetik dan faktor lingkungan.
b. Idiopatik Terdapat beberapa diabetes tipe 1 yang etiologinya tidak diketahui.
Hanya beberapa pasien yang diketahui mengalami insulinopenia dan cenderung untuk
terjadinya ketoasidosis tetapi bukan dikarenakan autoimun. Diabetes tipe ini biasanya
dialami oleh individu asal afrika dan asia. DM tipe 1 merupakan bentuk DM parah
yang sangat lazim terjadi pada anak remaja tetapi kadangkandang juga terjadi pada
orang dewasa, khususnya yang nonobesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika
hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan
17

katabolisme yang disebabkan hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah,
glukagon plasma meningkat dan selsel pankreas gagal merespons semua stimulus
insulinogenik. Oleh karena itu diperlukan pemberian insulin eksogen untuk
memperbaiki katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar
glukosa darah (Karam, 2002). Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan
ekskresi urin poliuria), rasa haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan
terganggu, lelah, dan gejala ini dapat terjadi sewaktuwaktu (tibatiba) (WHO, 2008).
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Melitus (bervariasi
mulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
Pada penderita Diabet Mellitus tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin
tidak bisa membawa glukosa masuk kedalam jaringan karena terjadi resistensi insulin
yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh
karena terjadinya resistensi insulin ( reseptor insulin sudah tidak aktif karena
dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah ) akan mengakibatkan defisiensi relatif
insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain sehingga sel beta
pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset diabetes
mellitus tipe ini perlahan lahan karena itu gejalanya tidak terlihat ( asimtomatik ).
Adanya resistensi yang terjadi perlahan lahan akan mengakibatkan pula kesensitifan
akan glukosa perlahan-lahan berkurang. Oleh karena itu, diabetes tipe ini sering
terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. Komplikasi yang terjadi karena
ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat antibiotik oral.
DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada
orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari
normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab
gangguan kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM
tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain
terjadinya penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi
defisiensi respons sel pankreas terhadap glukosa (Karam, 2002). Gejala DM
tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. Gejala bisa
diketahui setelah beberapa tahun, kadangkadang komplikasi dapat terjadi.
Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anakanak yang
obesitas.
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
Defek genetik fungsi sel beta (MODY Maturity Onset Diabetes of the
Young): Kromosom 12, HNF-1 Kromosom 7, glukokinase Kromosom
20,HNF-4 Kromosom 13, insulin promoter factor Kromosom `17, HNF-
1 Kromosom 2, Neuro D1 DNA Mitokondria
Defek genetik kerja insulin : resisten insulin tipe A, leprechaunism, Sindrom
Rabson Medenhall, diabetes lipoatropik
Penyakit Eksokrin Pankreas (suatu kelenjar yang mengeluarkan hasil
produksinya melalui pembuluh), yaitu : Pankreatitis (radang pada pankreas)
Trauma/pankreatektomi (pankreas telah diangkat) Neoplasma Fibrosis
kistik Hemokromatosis Pankreatopati Fibro kalkulus (adanya jaringan ikat
dan batu pada pankreas)
18

Endokrinopati : Akromegali (terlampau banyak hormon pertumbuhan)
Sindrom cushing (terlampau banyak produksi kortikosteroid dalam tubuh)
Feokromositma (tumor anbak ginjal) Hipertiroidisme Somasostatinoma
Aldostreroma
Karena obat atau zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, agonis beta adrenergik, tiazid,
dilantin, interferon alfa
Infeksi : Rubella Kongenital
Sebab imunologi yang jarang : antibodi, antiiinsulin (tubuh menhasilkan zat
anti terhadap insulin sehingga insulin tidak dapat bekerja memasukkan
glugosa ke dalam sel)
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM : sindrom Down, sindrom
Klinefelter, sindrom turner, sindrom Wolframs.
4. Diabetes Melitus Gestasional
DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO,
2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun
memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM
gestationalPada golongan ini, kondisi diabetes dialami sementara selama masa
kehamilan. Artinya kondisi intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa
kehamilan, biasanya pada semester kedua dan ketiga dan umumnya hilang dengan
sendirinya setelah melahirkan. Diabetes melitus gestasional berhubungan dengan
meningkatnya komplikasi perinatal (sekitar waktu melahirkan) dan sang ibu memiliki
resiko untuk menderita penyakit DM yang lebih besar dalam jangka waktu 5-10 tahun
setelah melahirkan. Diabetes tipe ini merupakan intoleransi karbohidrat akibat
terjadinya hiperglikemia dengan berbagai keparahan dengan serangan atau
pengenalan awal selama masa kehamilan.
Pada wanita hamil, jumlah hormon estrogen yang dimiliki lebih banyak
daripada wanita normal karena plasenta juga menghasilkan estrogen yang bekerja
secara simpatis sehingga secara tidak langsung menghambat pengeluaran insulin
(sehingga terjadi resistensi insulin), mengakibatkan aktivasi glukagon untuk memecah
glikogen yang menyebabkan kadar gula darah pada wanita hamil meningkat.
Resistensi insulin ini membuat tubuh bekerja keras untuk menghasilkan insulin
sebanyak 3 kali dari normal. DM gestational terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat
dan menggunakan seluruh insulin yang digunakan selama kehamilan. Tanpa insulin,
glukosa tidak dihantarkan ke jaringan untuk dirubah menjadi energi, sehingga glukosa
meningkat dalam darah yang disebut dengan hiperglikemia (Anonim, 2009). Faktor
risiko nya adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas,riwayat keluarga dan riwayat
diabetes gestasional terdahulu. Diabetes gestational terjadi pada 35% wanita hamil
(Anonim, 2009). Mekanisme DM gestational belum diketahui secara pasti. Seseorang
diakatakan menderita Diabetes Melitus Gestasional apabila 2 atau lebih nilai berikutr
ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75 g glukosa oral
Puasa 105 mg/dl
1 jam 190 mg/dl
2 jam 165 mg/dl
3 jam 145 mg/dl
5. PraDiabetes
Pradiabetes merupakan DM yang terjadi sebelum berkembang menjadi DM
tipe 2. Penyakit ini ditandai dengan naiknya KGD melebihi normal tetapi belum
19

cukup tinggi untuk dikatakan DM. Di Amerika Serikat 57 juta orang menderita pra
diabetes. Penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa beberapa kerusakan jangka
panjang khususnya pada jantung dan sistem sirkulasi, kemungkinan sudah terjadi
pada pradiabetes, untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan diet nutrisi dan latihan
fisik (Anonim, 2009).
Klasifiaksi DM menurut WHO tahun 1985 :
1. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Pada jenis ini terdapat reaksi auto imun yang disebabkan karena pandangan
pada sel beta pankreasyang disebut ICA (Islet Cell Antobody). Reaksi ini dapat
menimbulkan kerusakan pda sel beta.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
3. Malnutrition Related Diabetes Mellitus (MRDM)
Diabetes ini disebabkan oleh adanya malnutrisi disertai defisiensi protein yang kronik yang
berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
1. Diabetes Gestasional
2. Diabetes tipe lain
Diebetes ini berhubungan dengan keadaan atau siindroma ini:
Penyakit pankreas
Penyakit hormonal
Kanker
Sindrom genetik tertentu
Sirosis hepatis
Klasifikasi diabetes melitus dan penggolongan glukosa menurut Riyadi (2007 :70) antara lain
:
1. Insulin Dependent Diabetes Melitus ( IDDM ) atau DM Tipe 1
Defisiensi insulin karena kerusakan sel-sel langerhans yang berhubungan dengan tipe HLA
(Human Leucocyte Antigen) spesifik, predisposisi pada insulin fenomena autoimun
(cenderung ketosis dan terjadi pada semua usia muda). Kelainan ini terjadi
karena kerusakan sistem imunitas (kekebalan tubh) yang kemudian merusak pulau
Langerhans di pankreas. Kelainan berdampak pada penurunan fungsi insulin.
2. Non Insulin Dependent Diabetes Melitus ( NIDDM ) atau DM Tipe 2
Diabetes resisten, lebih sering pada dewasa, tapi dapat terjadi pada semua umur. Kebanyakan
penderita kelebihan berat badan, ada kecenderungan familiar, mungkin perlu insulin pada
saat hiperglikemik selama stres.
3. Diabetes melitus tipe lain
DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu hiperglikemik terjadi karena
penyakit lain : penyakit pankreas, hormonal, alat/ bahan kimia, endrokrinopati, kelainan
reseptor insulin, sindrom genetik tertentu.
4. Impaired Glukosa Tolerance (gangguan toleransi glukosa)
Kadar glukosa antara normal dan diabetes, dapat menjadi normal atau tetap tidak berubah.
5. Gestational Diabetes Melitus ( GDM )
Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi selama kehamilan. Dalam kehamilan terjadi
perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemanasan makanan bagi
janin serta persiapan menyusui. Menjelang aterm, kebutuhan insulin
meningkat sehingga mencapai 3 kali lipat dari keadaan normal.
Bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin sehingga relatif hipoinsulin
maka mengakibatkan hiperglikemi. Resisten insulin juga disebabkan oleh adanya hormon
estrogen, progesteron, prolaktin dan plasenta laktogen. Hormon tersebut mempengaruhi
reseptor insulin pada sel sehingga mengurangi aktivitas insulin.

20

LO 3.4 Memahami dan menjelaskan tentang etiologi diabetes mellitus

a. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)
1) Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri tetapi mewarisi suatu
presdisposisi atau kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I.
Kecenderungan genetic ini ditentukan pada individu yang memililiki tipe antigen HLA
(Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung
jawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.
2) Faktor imunologi
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon
abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
3) Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel pancreas, sebagai contoh hasil
penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autuimun
yang dapat menimbulkan destuksi sel pancreas.
b. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)
Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan
memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Mellitus tak
tergantung insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI
ditandai dengan kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya
tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi
reaksi intraselluler yang meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada
pasien dengan DMTTI terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal
ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor yang responsif insulin
pada membran sel. Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara komplek reseptor
insulin dengan system transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan
dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan sekresi insulin, tetapi pada akhirnya
sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia
(Price,1995). Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung
insulin (DMTTI) atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang
merupakan suatu kelompok heterogen bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan,
terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi terkadang dapat timbul pada masa kanak-
kanak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:
1) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)
2) Obesitas
3) Riwayat keluarga










21

LO 3.5 Memahami dan menjelaskan tentang patogenesis diabetes
melitus

1. Resistensi insulin
Resistensi insulin adalah gangguan pada kerja insulin, sehingga meskipun kadar
insulin dalam darah normal, namun tidak memicu sinyal pada organ yang sensitif
terhadap insulin untuk mengaborbsi glukosa.
Kompensasi pankreas pada keadaan ini adalah mensekresi insulin lebih banyak lagi
hingga kapasitasnya dilampaui oleh peningkatan kebutuhan metabolik, akibatnya
sekresi insulin menjadi tidak adekuat.
Resistensi insulin
Pengeluran
glukosa oleh
hati
Penyerapan
glukosa oleh sel
Sintesis
trigliserida
Penguraian
protein
Penyerapan
asam amino
oleh sel
Lipolisis
Hiperglikemia
Glukosuria
Dieresis
osmotik
Poliuria
Volume
darah
Dehidrasi
Kegagalan
sirkulasi
perifer
Gagal ginjal
Defisiensi
glukosa
intrasel
Polifagia
Polidipsia
Sel menciut
Malfungsi
system saraf
Penurunan
aliran darah
otak
Kematian
Asam lemak
darah
Sumber
energy
alternatif
Ketosis
Ventilasi
Asidosis
metabolik
Koma
diabetes
Asam amino
darah

Glukoneogenesis
Hiperglikemi
a bertambah
parah
Otot melisut
Berat badan
22

Akibatnya terjadi hiperinsulinemia yang bertujuan untuk mempertahankan agar
glukosa darah tetap normal.
Asam lemak bebas (FFA) yang dilepaskan dari jaringan lemak akan disimpan di dalam
hati.
Selanjutnya terjadi proses glukoneogenesis yang mengakibatkan peningkatan
produksi glukosa dan trigliserida, dan peningkatan sekresi VLDL di hati.
Akibatnya terjadi lipid/lipoprotein yang abnormal, yaitu peningkatan small LDL dan
penurunan HDL.
FFA juga menghambat ambilan glukosa di dalam otot (insulin mediated glucose
uptake), sehingga menurunkan sensitivitas insulin di dalam otot.
Tabel 3. Abnormalitas dan makna klinis pada DM


Lingkungan
1. Obesitas; asam lemak dalam darah dan intrasel meningkat sehingga mempengaruhi
fungsi insulin dan pengeluaran sitokin yang diaktifkan thiazolidinedion sehingga
menyebabkan resistensi insulin. Abdominal fat lebih aktif secara lipolitik daripada
lemak subkutan, mungkin karena memiliki reseptor adrenergic yang lebih banyak.
Penyimpanan adipose abdominal lebih resisten terhadap efek antilipolitik insulin

Disfungsi dari sel beta
- Manifestasi : sekresi insulin tidak adekuat dalam menghadapi resistensi insulin dan
hiperglikemia.
- Kualitatif : hilangnya pola sekresi insulin
- Kuantitatif : menurunnya massa sel beta, degenarasi pulau langerhans,
pengendapan amiloid dalam pulau langerhans.
- Mekanisme kegagalan sel beta pada diabetes tipe 2 adanya pengendapan amiloid.
- 90% pasien DM tipe 2 ditemukan endapan amiloid pada saat autopsi
ABNORMALITAS MAKNA KLINIS
Penurunan pelepasan dan
responsivitas terhadap nitrit oksida
Gangguan fungsi dan reaktivitas endotel
Peningkatan ekspresi adhesi-
molekular
Peningkatan adhesi monosit ke dinding
pembuluh darah
Peningkatan adhesi trombosit dan
monosit
Pembentukan sel busa, trombosis dan
inflamasi
Peningkatan aktivitas prokoagulasi Trombosis
Penurunan aktivitas fibrinolisis Penurunan pemecahan bekuan darah
23

- Amilin merupakan komponen amiloid yang mengendap,secara normal dihasilkan
oleh sel beta pankreas dan disekresikan bersama dengan insulin sebagai repon
terhadap pemberian glukosa. Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi
insulin pada fase awal diabetes tipe 2,menyebabkan meningkatnya produksi amilin
sehingga mengendap sebagai amiloid di islet,sehingga amilin yang mengelilingi sel
beta mungkin sel beta menjadi refraktor dalam menerima sinyal glukosa. Aimiloid
bersifat toksik bagi sel beta sehingga berperan dalam kerusakan sel beta yang
ditemukan pada kasus diaberes tipe 2 tahap lanjut.


Diabetes sekunder
Tipe ini disebabkan oleh karena penyakit lain atau penggunaan obat-obatan yang
menyebabkan destruksi pancreatic beta cells atau peripheral insulin
resistance.Penyebab diabetes sekunder antara lain
Penyakit pankreas yang menyebabkan rusaknya sel beta (eg, hemochromatosis,
pancreatitis, cystic fibrosis, pancreatic cancer)
Syndrom hormonal yang memicu penurunan secretion sel beta (eg,
pheochromocytoma)
Syndrom hormonal yang memicu peripheral insulin resistance (eg, acromegaly,
Cushing syndrome, pheochromocytoma)
Obat-obatan (eg, phenytoin, glucocorticoids, estrogens)


LO 3.6 Memahami dan menjelaskan tentang diagnosis diabetes
melitus

1. Anamnesis
Diabetes melitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemia,
disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsi, nokturia), efek samping
diabetes pada organ akhir (IHD, retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau
komplikasi akibat meningkatnya keretanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam kandiada).
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien diketahui mengidap diabetes? Jika ya, bagaimana manifestasinya dan
apa obat yang didapat? Bagaimana pemantauan untuk kontrol: frekuensi pemeriksaan
pemeriksaan urin, tes darah, HbA
1
C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia?
Tanyakan mengenai komplikasi sebelumnya.
- Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hipergikemia.
- Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer
(klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi),
neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis muntah, kembung,
diare).
- Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser.
- Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida.
- Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria).
- Hipertensi tetapi.
24

- Diet/berat badan/olahraga.



Riwayat Pengobatan
- Apakah pasien sedang menjalani terapi diabetes: diet saja, obat-obatan
hipoglikemia oral, atau insulin?
- Tanyakan mengenai obat yang bersifat diabetogenik (misalnya kortikosteroid,
siklosporin)?
- Tanyakan riwayat merokok atau penggunaan alkohol?
- Apakah pasien memiliki alergi?

Riwayat Keluarga dan Sosial
- Adakah riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
- Siapa yang memberikan suntikan insulin/tes gula darah, dan sebagainya
(pasangan/pasien/perawat)?
2. Pemeriksaan Fisik
Diabetes melitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada seluruh tubuh. Maka
dalam pemeriksaan fisik harus dialkukan pemeriksaan secara lengkap.

























Gambar 08.
Keadaan-keadaan
yang mungkin
ditemukan dalam
pemeriksaan fisik
25

3.Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM
sebagai berikut:
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m
2
.
3. Hipertensi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam keluarga
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram
6. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau TG 250 mg/dl
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT,
sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT
merupakan tahap sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT
akan berkembang menjadi DM. 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainya kembali normal. Adanya TGT
sering berkaitan dengan resistensi insulin. pada kelompok TGT ini resiko terjadinya
aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan
penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan
sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkindan penegahan primer
dan skunder dapat segera diterapkan.
Pemeriksaan penyaring dapat dialakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standar.


Tabel 01. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM.
Bukan DM Belum pasti
DM
DM
Kadar glukosa
darah sewaktu
(mg/dl)


Plasma Vena

< 110 110-199 200
Plasma Kapiler

<90 90-199 200
Kadar glukosa
darah puasa
(mg/dl)


Plasma Vena

< 110 110-125 126
Plasma Kapiler

< 90 90-109 110


Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan Toleransi Glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah diberi beban glukosa 75 gram
pada TTGO.



26

Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa









Gambar 09. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa.








Keterangan:
GDP: Glukosa Darah Puasa
GDS: Glukosa Darah Sewaktu
GDPT: Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT: Toleransi Glukosa Terganggu
TTGO: Tes Toleransi Glukosa Oral
27

LO 3.7 Memahami dan Menjelaskan tentang diagnosis banding

DM TIPE 1
Mudah terjadi ketoasidosis
Pengobatan harus dengan insulin
Onset akut
Biasanya kurus
Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
Berhubungan dengan HLA-DR3 & DR4
Didapatkan antibodi sel islet
10% nya ada riwayat diabetes pada keluarga
30-50% kembar identik terkena

DM TIPE 2
Sukar terjadi ketoasidosis
Pengobatan tidak harus dengan insulin
Onset lambat
Gemuk / tidak gemuk
Biasanya terjadi pada umur >45 tahun
Tidak berhubungan dengan HLA
Tidak ada antibodi sel islet
30% nya ada riwayat diabetes pada keluarga
80% kembar identik terkena


LO 3.8 Memahami dan menjelaskan tentang komplikasi diabetes
melitus

Komplikasi Metabolik Akut :
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari
konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1
adalah:
A. Ketoasidosis Diabetik (DKA)
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM tipe 1. Hal ini bisa juga
terjadi pada DM tipe 2. Hal ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan
mengalami hal berikut:
Hiperglikemia
Hiperketonemia
Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatan lipolisis dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,
hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.
Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik.
28

Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil
akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok.
Akhimya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan
meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun
tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat
dilakukan sedini mungkin.


Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik
1. Dehidrasi 8. Poliuria
2. Hipotensi (postural atau supine) 9. Bingung
3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer 10. Kelelahan
4. Takikardi 11. Mual-muntah
5. Kusmaul breathing 12. Kaki kram
6. Nafas bau aseton 13. Pandangan kabur
7. Hipotermia 14. Koma (10%)

Tabel 02. Penatalaksanaan Ketoasidosis Metabolik
JAM KE
INFUS I

INFUS II

KOREKSI K
+


KOREKSI HCO
3

0
2 kolf. jam
1 kolf. jam
1
2 kolf
2
1 kolf
3
1 kolf
4
kolf
5





Pada jam ke-2: Bolus 180
mU/kgBB
Dilanjutkan dengan drip
insulin 90 mU/kgBB dalam
NaCl 0,9%

Bila gula darah <200
mg/dl, kecepatan dikurangi
45 mU/jam/kgBB

Bila gula darah stabil 200-
300 mg/dl selama 12 jam
dilakukan drip insulin 1-2
unit/jam disamping
dilakukan sliding scale
setiap 6 jam, bila kadar
glukosa darah:

Insulin sk
< 200 -
200-250 5 U
250-300 10 U
300-350 15 U
>350 20 U

Bila stabil dilanjutkan
dengan sliding scale tiap 6
jam.






50 mEq/6 jam (dalam
infus)


Bila kadar K
+

<3 3-4,5 4,5-6 >6


75 50 25 0
mEq/ 6 jam

Bila pH
<7 7-7,1 >7,1


100 50 0
mEq/HCO
3


26 13
mEq K
+
mEq K
+

Bila gula darah < 200
Stelah sliding tiap 6 jam
dapat diperhitungkan
Bila sudah sadar beri K
+

oral selama seminggu
bila pH meningkat
K
+
akan menurun
29

mg/dl ganti dextrose
5%
Chek CVP
Catatan: 1 kolf = 500
cc
insulin sehari
3 x sehari sebelum
makan, bila os sudah
makan.
oleh karena itu
pemberian
bikarbonat disertai
dengan pemberian
K
+


B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes
tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia
muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut:
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
Dehidrasi berat
Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani.
Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah
pada HHNK tidak terdapat ketosis.

Penatalaksanaan HHNK
Penatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis hanya dua tindakan yang terpenting
adalah:Pasien biasanya relatif sensitif insulin dan kira-kira diberikan dosis setengah dari dosis
insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis, biasanya 3 unit/jam.
C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa
darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang.
Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan sulfonilurea,
khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk,
memperllihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita
lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM. meskipun hipoglikemia sering
pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul
karena pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada
tubuhnya.
Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
30

6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi
hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari
hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
Tanda-tanda Hipoglikemia
1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug
sederhana.
3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau
tangan, berdebar-debar.
4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.
Keempat stadium hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral ataupun
suntikan. Ada beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa
diperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:
Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
P.Z.I : 18 jam setelah suntikan
3) Obat oral sedikit memberikan gejala saraf otonom (parasimpatik dan simpatik),
sedangkan akibat insulin sangat menonjol.

Penatalaksanaan Hipoglikemia
31


Gambar 10. Skema Penatalaksanaan Hipoglikemia

Komplikasi Kronik Jangka Panjang :
A. Mikrovaskular / Neuropati
- Retinopati, catarak penurunan penglihatan
- Nefropati gagal ginjal
- Neuropati perifer hilang rasa, malas bergerak
- Neuropati autonomik hipertensi, gastroparesis
- Kelainan pada kaki ulserasi, atropati
B. Makrovaskular
- Sirkulasi koroner iskemi miokardial/infark miokard
32

- Sirkulasi serebral transient ischaemic attack, strok
- Sirkulasi claudication, iskemik

LO 3.9 Memahami dan menjelaskan tentang penatalaksanaan diabetes
melitus

Non-Farmakoterapi
Edukasi
DM umumnya terjadi saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Timkes mendampingi pasien untuk menuju perubahan
perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,
tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan
kepada pasien.

Terapi gizi medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang
sangat direkomendasikan bagi pasien ddiabetes, Terapi gizi medis ini pada
pronsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
stasus gizi medis diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain :
Menurunkan berat badan, Menurunkan tekanan sistolik dan diastolik,
Menurunkan kadar glukosa darah, Memperbaiki profil lipid, Meningkatkan
sensitivitas reseptor insulin, Memperbaiki sistem koagulsi darah.
Tujuan terapi gizi medis ini adlah untuk mencapai dan mempertahankan:
Kadar glukosa darah mendekati normal
Glukosa puasa berkisar 90-130 mg/dl.
Glukosa darah 2 jam setelah makan <180 mg/dl.
Kadar A1c <7%.
Tekanan darah <130/80 mmHg.
Profil Lipid
Kolesterol LDL<100 mg/dl
Kolesterol HDL >40 mg/dl.
Trigliserida < 150 mg/dl.
Beran badan senormal mungkin.

Jenis Bahan Makanan
KARBOHIDRAT
Sebagai sumber energi, KH yang diberikan diabetisi tidak boleh lebih
dar 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari
70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (MUFA: monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram
karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4kilokalori.
Rekomendasi karbohidrat :
o Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung KH, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandungkan dengan jenis KH itu sendiri.
o Dari total kebutuhan kalori perhari, 60-70% diantaranya berasal dari
sumber KH.
33

o Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi, maka jumlah KH
maksimal 70% dari total kebutuhan kalori perhari.
o Julah serat 25-50 gram per hari.
o Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun
jangan sampai lebih dari total kebutuhan kalori perhari.
o Sebagai pemanis dapat digunakan pmanis non kalori seperti sakarin,
aspartame, acesulfame, dan sukralosa.
o Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dar10 gram/hari.
o Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/hari.
o Makanan yang mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

PROTEIN
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori perhari. Pada penderita kelainan ginjal dimana diperlukan
pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu
ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung
energi sebesar 2 kilokalori/gram.
Rekomendasi pemberian protein:
o Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
o Pada keadaan kadar glukosa yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
o Pada keadaan glukosa tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0
mg/kg BB/hari.
o Pada gangguan fungsi ginjal, asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/KgBB/hari dan tidak kurang dari 40gram.
o Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati
lebih dianjurkan dibanding protein hewani.

LEMAK
Lemak memiliki kandungan energi sebesar 9 kilokalori/gram. Bahan
makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam
lemak seperti vitami A, D, E, K. Berdasarkan rantai karbonnya , lemak
dibedakan menjadi lemak jenuh dan tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak
jenuh dan kolestrol sangat disarankan pada diabetisi karena terbukti dapat
memperbaiki profil lipid tidak normal bagi pasien diabetes. Asam lemak
tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid : MUFA),
merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi, dapat menurunkan
kadar trigliserida, kolestrol total, kolestrol VLDL, dan meningkatkan kadar
kolestrol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang
(polyunsaturated fatty acid= PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan
kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung
asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati
dan eningkatkan aktivitas enzyme lipoprotein lipase yang dapat
menurunkan kadar VLDL di jarngan perifer. Sehingga dapat menurunkan
kadar kolestrol LDL.
Rekomendasi Pemberian Lemak:
34

o Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori per hari.
o Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.
o Konsumsi kolestrol maksimal 300mg/hari, jika ada kolestrol LDL 100
mg/dl, maka maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg per hari.
o Batasi asam lemak bentuk trans.
o Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam
lemak tidak jenuh rantai panjang.
o Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari
asupan kalori perhari.

Penghitungan Jumlah Kalori
Perhitungan julah kalori ditentukan oleh stasus gizi, umur, ada tidaknya
stress akut, dan kegiatan jasmani. Penetuan stasu s gizi dapat dipakai indeks
massa tubuh (IMT) atau rumus Brocca.
Penentuan stasus gizi berdasarkan IMT
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi
dengat tinggi badan (dalam meter) kuadrat.
o Berat badan kurang <18,5
o Berat badan normal 18,5-22,9
o Berat badan lebih 23,0
o Dengan resiko 23-24.9
o Obes I 25-29,9
o Obes II 30

Penentuan stasus gizi berdasarkan rumus Brocca
Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan
rumus:
berat badan idaman (BBI kg) =(TB cm - 100) -10%.
Penetuan stasus gizi dihitung dari : (BB aktual : BB idaman) x 100%
o Berat badan kurang BB <90% BBI
o Berat badan normal BB 90-110% BBI
o Berat badan lebih BB 110-120% BBI
o Gemuk BB>120% BBI
Untuk kepentingan praktis dalam praktek digunakan rumus Brocca.
Penentuan kebutuhan kalori perhari:
1. Kebutuhan basal:
o Laki-laki : BB idaman (Kg) x 30 kalor
o Wanita : BB idaman (Kg) x 25 kalori

2. Koreksi atau penyesuaian:
o Umur diatas 40 tahun : -5%
o Aktivitas ringan : +10%
o Aktifitas sedang : +20%
o Aktifitas berat : +30%
o Berat badan gemuk : -20%
35

o Berat badan lebih : -10%
o Berat badan kurus : +10%

3. Stress metabolik : +10-30%
4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
5. Kehamilan trimester II dan menyusui : +500 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), makan siang (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan
besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali
dengan pengaturan jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk
merubah pola makan ini secara bertahap sesuai kondisi dan kebiasaan
penderita.

Latihan jasmani
- Latihan jasmani teratur dapat memperbaiki kendali glukosa darah,
mempertahankan atau menurunkan berat badan, serta dapat
meningkatkan kadar kolesterol HDL.
- Latihan jasmani yang dianjurkan: Dikerjakan sedikitnya selama 150
menit/minggu dengan latihan aerobik sedang (mencapai 50-70% denyut
jantung maksimal), atau 90 menit/minggu dengan latihan aerobic berat
(mencapai denyutjantung>70% maksimal). Latihan jasmani dibagi
menjadi 3-4 x aktivitas/minggu.

Famakoterapi
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.
1. Terapi Insulin
a. Sediaan :Termasuk obat utama DM 1 dan beberapa tipe 2. Suntikan
insulin dulakukan dengan IV, IM, SK (jangka panjang). Pada SK insulin
akan berdifusi ke sirkulasi perifer yang seharusnya langsung masuk ke
sirkulasi portal, karena efek langsung hormone ini pada hepar menjadi
kurang.
b. Indikasi dan tujuan : Insulin SK diberikan pada DM 1, DM 2 yang tidak
dapat diatasi dengan diet/ antidiabetik oral, dll. Tujuan pemberian insulin
adalah selain untuk menormalkan kadar insulin juga untuk memperbaiki
semua aspek metabolism.
c. Dosis : Kebutuhan insulin pada DM antara 5-150 U sehari tergantung
dari keadaan pasien.
- Dosis awal DM muda 0,7-1,5 U/kgBB
- Untuk DM dewasa kurus 8-10 U insulin kerja sedang diberikan 20-
30mnt sblm makan pagi, dan 4-5 U sebelum makan malam.
- DM dewasa gemuk 20 U pagi hari dan 10 U sebelum makan malam.
d. ES : Hipoglikemi, alergi dan resisten, lipoatrofi dan lipohipertrofi, edem,
kembung,dll.
e. Interaksi : antagonis (adrenalin, glukokortikoid, kortikotropin, progestin,
GH, Tiroid, estrogen, glucagon,dll)


36

2. Obat Antidiabetik Oral
a. Sulfonylurea ( insulin secretagogues )
Pemberian : 15-30 mnt sebelum makan
Mek. Kerja : berinteraksi dengan ATP sensitive K channel pada
membrane sel beta depolarisasi membrane dan keadaan ini membuka
kanal Ca. sehingga Ca masuk sel beta, merangsang sekresi insulin.
Farmakokinetik :masa paruh dan metabolism sulfonylurea generasi 1
sangat bervariasi. Semua sulfonylurea dimetabolisme di hepar dan
dieksresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien
gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat.
ES : hipoglikemi bahkan sampai koma, mual, muntah, diare,
hematologic (leukopenia, agranulositosis), susunan saraf pusat
(vertigo, bingung, ataksia), mata dsbg.
Indikasi : untuk pasien DM yang diabetesnya di peroleh pada usia
diatas 40 tahun. Kegagalan disebabkan perubahan farmakogenetik
obat, misalnya penghancuran yang terlalu cepat.
Peringatan : Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien
DM juvenile, pasien yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, DM
berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat.
Interaksi : meningkatkan hipoglikemia (insulin, alcohol, sulfonamide,
probenezid, kloramfenikol)

b. Meglitinid
Pemberian : sesaat sebelum makan
Mek. Kerja : sama dengan sulfonylurea, tetapi struktur kimianya
berbeda. Merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-
independent di sel beta pankreas.
Pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam
waktu 1 jam. Masa paruh 1 jam, sehingga harus diberikan beberapa
kali sehari sebelum makan.
Farmakokinetik : metabolism utama di hepar, 10% di ginjal.
ES : hipoglikemi, gangguan saluran cerna, dan alergi.

c. Biguanid
Pemberian : sebelum/saat/sesudah makan
Teridiri : fenformin (ditarik dari peredaran karena sebabin asidosis
laktat), buformin, metformin.
Mek. Kerja : merupakan antihiperglikemik, metformin dapat
menurunkan produksi glukosa dihepar dan meningkatkan sensitivitas
jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi karena
adanya aktivasi kinase di sel (AMP activated protein kinase). Pada
DM yang gemuk, biguanid dapat menurunkan BB.
Farmakokinetik : metformin oral di absorpsi di intestine, dalam darah
tidak terikat protein plasma, eksresi dalam urin utuh, masa paruh
sekitar 2 jam.
Dosis : awal 2x500 mg, maintenance dose 3x500 mg, max 2,5 gr.
Diminum saat makan.
Indikasi : pasien DM yang tidak memberikan respon dengan
sulfonylurea dapat diatasi dengan metformin, atau kombinasi dengan
insulin atau sulfonylurea.
37

ES :mual, muntah, diare, metallic taste, ketosis (pada pasien yang
mutlak dengan insulin eksogen), gangguan keseimbangan elektrolit
cairan tubuh.
KI : kehamilan, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremi
dan penyakit jantung kongestif dan penyakit paru, dengan hipoksia
kronik, pemberian zat kontras intravena atau yang akan di operasi
harus dihentikan dan sesudah 48 jam boleh.

d. Tiazolidinedion
Pemberian : tidak bergantung pada jadwal makan
Mek. Kerja : berikatan pada peroxisome proliferators activated
receptor (PPAR ) suatu resptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer.
ES: peningkatan BB, edem, menambah volum plasma dan
memperburuk gagal jantung kongestif, hipoglikemi.
KI : gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Perlu
pemantauan faal hati secara berkala.
Interaksi : dengan insulin dapat menyebabkan edem.

e. Penghambat enzim Alfa-glikosidase (Acarbose)
Pemberian : bersama makan suapan pertama
Mek. Kerja : memperlambat absoprsi glukosa (polisakarida, dekstrin,
dan disakarida) di usus halus, sehingga dapat menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Kerjanya tidak mempengaruhi sekresi
insulin.
ES : kembung, flatulens.
Interaksi : dengan insulin menimbulkan hipoglikemi.

f. DPP-4 Inhibitor
Pemberian : diberikan bersama makan dan atau sebelum makan
Mek. Kerja : glucagon like peptide 1 (GLP-1) merupakan suatu
hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L dimukosa usus. GLP-1
merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glucagon. Namun, sekresi GLP-1
menurun pada DM-2.

Tabel 03. Kriteria pengendalian pasien diabetes melitus
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl)
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)
AIC (%)
Kolestrol total (mg/dl)
Kolestrol LDL (mg/dl)
Kolestrol HDL (mg/dl)
Trigliserida (mg/dl)
80-109
110-144
<6,5
<200
<100
>45
<150
110-125
145-179
6,5-8
200-259
100-129

150-199
126
180
>8
240
130

200
38

IMT (kg/m
2
)
Tekanan darah (mmhg)
18,5-22,9
<130/80

23-25
130-140/80-90
>25
>140/90

Untuk pasien berumur > 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari pada
biasanya (pausa < 150 mg/dl dan sesudah makan < 200 mg/dl), demikian pula kadar lipid,
tekanan darah, dll mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang.


LO 3.10 Memahami dan menjelaskan tentang pencegahan diabetes
melitus

1. Usaha Pencegahan Primer
Pencegahan primer berarti mencegah terjadinya diabetes melitus. Untuk dapat
menghayati dan melaksanakan benar usah pencegahan primer harus dikanali dahulu faktor
yang berpengaruh terjadinya penyakit diabetes melitus. Faktor yang berpengaruh pada
terjadinya diabetes melitus adalah:
Faktor keturunan
Faktor kegiatan jamnasi yang kurang
Faktor kehemukan/distribusi lemak
Faktor nutrisi berlebihan
Faktor lain, obat-obatan, hormon
Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya DM. keturunan oang yang
mengidap DM (apalagi kalau kedua orang tuanya mengidap DM jelas lebih besar
kemungkinannya untuk mengidap DM daripada orang normal). Demikian pula saudara
kembar identik pengidap DM, hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap DM
nantinya.
Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah tetapi faktor lingkuangan
(kegemukan, kegiatan jasmani, nutrisi berlebih) merupakan faktor yang dapat diubah dan
diperbaiki.
Usaha pencegahan primer ini dilakukan secara menyeluruh pada masyarakat tetapi
diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko
tinggi untuk kemudian mengidap DM.


Orang-orang yang menpunyai resiko tinggi untuk mengidap DM
1. Orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya
2. Orang yang berpotensi untuk terganggu toleransi glukosnya
- Ibu dengan DM saat hamil
- Ibu dengan riwayat melahirkan anak > 4 kg
- Saudara kembar DM
- Anak yang kedua orang tunya DM
- Orang/kelompok yang mangalami perubahan pola/gaya hidup ke arah
kegiatan jasmani yang kurang
- Orang yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersama
dengan DM, seperti tekanan darah tinggi, dislipidemia, dan
kegemukan.
39

Tindakan yang di lakukan untuk usaha pencegahan primer meliputi: penyuluhan
mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan memberikan
pedoman sebagai berikut:
Mempertahankan pola makan sehari-hari yang sehat dan seimbang yaitu:
- Meningkatkan konsumsi sayur dan buah
- Membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana
- Mempertahankan berat badan normal/idaman sesuai dengan umur dan tinggi
badan
Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan
Menghindari obat yang bersifat diabetogenik
2. Usaha Pencegahan Sekunder
Usaha pencegahan sekunder dimulai dengan usaha mendeteksi diri penderita DM.
karena itu dianjurkan untuk setiap kesemapatan terutama untuk meraka yang mempunyai
resiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaring glukosa darah. Dengan demikian mereka
yang mempunyai resiko tinggi DM dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang
dicurigai DM akan dapat ditindak lanjuti, sampai diyakini benar mereka mengidap DM.Bagi
mereka dapat ditegakkan diagnosis dini DM kemudian dapat dikelola dengan baik guna
mencegah penyulit lebih lanjut.
Pengelolaan untuk mencegah terjadinya penyulit dikerjakan bersama bersama oleh
dokter dan para petugas kesehatan. Peran dokter dalam mendapatkan hasil pengendalian
glukosa darah yang baik sangat menonjol. Walapun demikian, hasil pengelolaan yang baik
tidak akan dapat dicapai tanpa keikutsetaan aktif para penderita DM.

Tujuan pengelolaan DM
Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan gejala DM.
Jangka panjang : mencegah penyulit DM baik mikroangiopati, makroangiopati
maupun retinopati.
Saran untuk mencapai sasaran kadar glukosa darah yang terkendali baik telah
berulangkali dikemukakan dan telah berulang kali pula dibicarakan dan ditekankan kembali
oleh para pengelola kesehatan pada setiap kesempatan pertemuan dengan penderita DM.

3. Usaha Pencegahan Tersier
Usaha pencegahan tersier dilalakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan
kalau penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit DM adalah:
Pembuluh darah otak : stroke dan segala gejala sisanya
Pembuluh darah mata : kebutaan
Pembuluh darah ginjal : gagal ginjal kronik
Pembuluh darah tungkai bawah : amputasi tungkai bawah
Untuk mencegah terjadinya kecacatan tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini
penyulit DM agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di samping tentu saja
pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah.

LO 3.11 Memahami dan menjelaskan tentang prognosis diabetes
melitus

Sekitar 60% pasien DM tipe 1 yang mendapat terapi insulin dapat bertahan hidup
seperti orang normal.Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik, dan
kemungkinan meninggal lebih cepat.

40


LI 4. Memahami dan Menjelaskan tentang Retinopati Diabetik
LO 4.1 Memahami dan menjelaskan tentang definisi Retinopati
Diabetik

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh kerusakan
dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus, meliputi arteriol prekapiler retina, kapiler-kapiler
dan vena-vena.








Gambar 11. Gambaran retina normal dan retinopati

LO 4.2 Memahami dan menjelaskan tentang epidemiologi Retinopati
Diabetik

Penelitian epidemiologis di Amerika, Australia, Eropa, dan Asia melaporkan bahwa
jumlah penderita retinopati DM akan meningkat dari 100,8 juta pada tahun 2010 menjadi
154,9 juta pada tahun 2030 dengan 30% diantaranya terancam mengalami kebutaan.4 The
Diab Care Asia 2008 Study melibatkan 1 785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer
dan sekunder di Indonesia dan melaporkan bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi
retinopati, dan 6,4% di antaranya merupakan retinopati DM proliferatif

LO 4.3 Memahami dan menjelaskan tentang klasifikasi Retinopati
Diabetik

Retinopati Diabetik dibagi dalam:
Retinopati Diabetes non proliferatif
NPDR (Non proliferative diabetik retinopathy) adalah suatu mirkoangiopati progresif
yang ditandai oleh kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh halus. Kebanyakan orang
dengan NPDR tidak mengalami gejala atau dengan gejala yang minimal pada fase sebelum
masa dimana telah tampak lesi vaskuler melalui ophtalmoskopi.
Retinopati Proliferatif
Penyulit mata yang paling parah pada diabetes melitus adalah retinopati diabetes
proliferatif, karena retina yang sudah iskemik atau pucat tersebut bereaksi dengan
membentuk pembuluh darah baru yang abnormal (neovaskuler). Neovaskuler atau pembuluh
darah liar ini merupakan ciri PDR dan bersifat rapuh serta mudah pecah sehingga sewaktu-
waktu dapat berdarah kedalam badan kaca yang mengisi rongga mata, menyebabkan pasien
mengeluh melihat floaters (bayangan benda-benda hitam melayang mengikuti penggerakan
mata) atau mengeluh mendadak penglihatannya terhalang.

Tabel 04. Klasifikasi Berdasarkan ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy
Study)
Klasifikasi Tanda Pemeriksaan Mata
41

Derajat 1
Derajat 2
Derajat 3








Derajat 4




Derajat 5

Tidak terdapat retinopati DM
Hanya terdapat mikroaneurisma
Retinopati DM non-proliferatif derajat ringan -sedang yang ditandai
oleh mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda:
Venous loops
Perdarahan
Hard exudates
Soft exudates
Intraretinal microvascular abnormalities
(IRMA)
Venous beading
Retinopati DM non-proliferatif derajat sedang-berat yang ditandai
oleh:
Perdarahan derajat sedang-berat
Mikroaneurisma
IRMA
Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh neovaskularisasi dan
perdarahan vitreous

LO 4.4 Memahami dan menjelaskan tentang etiologi Retinopati
Diabetik

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya
terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang
akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil
pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling
sedikit 3-5 tahun setelah menderita penyakit ini. Sedangkan diabetes tipe II retinopati sudah
dapat terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.

LO 4.5 Memahami dan menjelaskan tentang patofisiologi Retinopati
Diabetik

Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi
melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxy- gen
intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak
perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric
oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan mem-
perparah kerusakan.
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi
dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi
sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim
endotel.
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C
(PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi
oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhe- sion molecule-1 (ICAM-1) yang
memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut me- nimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada
retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga
42

merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran
basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endo- telnya, dan kekurangan jumlah perisit.
Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous




LO 4.6 Memahami dan menjelaskan tentang diagnosis Retinopati
Diabetik

Diagnosis retinopati diabetic didasarkan atas hasil pemeriksaan funduskopi. Pemeriksaan
dengan fundal fluorescein angiography (FFA) merupakan metode diagnosis yang paling
dipercaya. Namun dalam klinik, pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan
untuk skrining.
Pandealki, Karel. 2009. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : EGC.


LO 4.7 Memahami dan menjelaskan tentang penatalaksanaan
Retinopati Diabetik

Tatalaksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita
retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus
menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-
sedang dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk
mencegah per- burukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi
setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk
menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan
pascatindakan. Panretinal laser photocoagula- tion harus segera dilakukan pada penderita
retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula
signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi
pilihan

LO 4.8 Memahami dan menjelaskan tentang komplikasi Retinopati
Diabetik

Penyakit ini merupakan salah satu penyebab kebutaan di negara-negara Barat, terutama
individu produktif. Di Amerika Serikat terdapat kebutaan 5.000 orang pertahun akibat
retinopati diabetik, sedangkan di Inggris penyakit ini merupakan penyebab kebutaan nomor 4
dari seluruh penyebab kebutaan.

LO 4.9 Memahami dan menjelaskan tentang pencegahan Retinopati
Diabetik

Pada tahun 2010, The American Diabetes Association menetapkan beberapa
rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak
berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata
43

lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM di-
tegakkan. Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh
dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita
DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata.
Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil
pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda
retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan
mata rutin sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko
terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan
menyeluruh tentang risiko tersebut.

LO 4.10 Memahami dan menjelaskan tentang prognosis Retinopati
Diabetik

Penyakit ini merupakan penyulit diabetes yang paling penting karena angka
kejadiannya mencapai 40-50% penderita diabetes dan prognosisnya kurang baik terutama
bagi penglihatan.

LI 5. Memahami dan Menjelaskan tentang Makanan Halal dan Baik
Sesuai Tuntunan Islam


Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.(QS. 2:168)


Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat
kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al
Ma'idah: 3)
Karena itu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan
wasilah itu tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa
di samping yang tersebut dalam ayat itu, adalagi yang diharamkan memakannya berdasarkan
hadis Rasulullah saw. seperti memakan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat,
tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan binatang-binatang tersebut hanya
makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh
beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri
halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan
beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat Al-Maidah dan
dalam ayat 173 surat kedua ini.




44


DAFTAR PUSTAKA


1. Brooks GF, Butel JS, Morse SA (2004): Jawetz, Melnick and Adelbergs Medical
Microbiology, 23rd edition, International Edition, McGraw-Hill, Kuala Lumpur.
2. Ganiswarna, SG, Setiabudy, R, Suyatna, FD, dkk, (2006). Farmakologi Dan Terapi
Edisi 5. Jakarta, Gaya Baru.
3. Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta : EGC
4. http://id.scribd.com/doc/46552081/RetiNopaTi-Diabetik
5. http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/PAST/15-3/rooh.htm
6. http://www.scribd.com/doc/60339987/21/II-8-2-Pemeriksaan-Fisik
7. Idrus, Alwi dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan IPD
8. Junquiera L.C., Carneiro J, (2007) Histologi Dasar, Text dan Atlas, Edisi 10. Jakarta,
EGC.
9. Kowalak, JP, dkk (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
10. Kumar, V. dkk. (2007). Buku Ajar Patologi Robbins edisi 7. Jakarta, EGC.
11. Pandealki, Karel. 2009. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi V. Jakarta : EGC
12. PERKENI. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia
13. Purnamasari, Dyah. 2009. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.
14. Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC
15. Snell, R.S. (1997), Clinical Anatomi for Medical Student, 3
th
edition Indonesia,
Jakarta: EGC.
16. Utama, H. (2009). Penatalaksanaan Diabetes Terpadu edisi 7. Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai