Hampir tujuh dasawarsa sejak berakhirnya kolonialisme Eropa dengan berakhirnya Perang Dunia II dan dekolonisasi sejak 1945-an, bayangan dan ampas tertentu masih terlihat di banyak wilayah Dunia Muslim. Meski telah merdeka secara politik, tidak terlalu banyak kemajuan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Sampai sekarang, banyak wilayah Dunia Muslim masih bergumul dengan persoalan dasar menyangkut ketentraman, stabilitas politik, dan pembangunan. Konflik politik seolah tidak pernah selesai seperti bisa terlihat di banyak negara Muslim di Timur Tengah, Asia S Konflik berkepanjangan hampir tidak memberikan kesempatan menjalankan pembangunan sosial ekonomi yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan para warganya masing
Penjajahan Eropa dalam perspektif historiografi dan sejarah baik di k maupun Dunia Muslim sering digambarkan sebagai salah satu masa tergelap sejarah kaum Muslimin. Entitas politik Muslim seperti kesultanan, kerajaan atau dinasti sejak dari Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan sampai Asia Tenggara kekuatan kolonialisme semacam Prancis dan Italia di Afrika Utara, Inggris di Mesir, Iraq, kawasan Teluk Persia sampai India dan wilayah Selat Melaka, Belanda di Kepulauan Spanyol dan kemudian Amerika Serikat di Filipina.
Bayangan Kolonialisme: Revitalisasi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra Hampir tujuh dasawarsa sejak berakhirnya kolonialisme Eropa dengan berakhirnya Perang Dunia II an, bayangan dan ampas imperialisme-kolonialisme dalam batas tertentu masih terlihat di banyak wilayah Dunia Muslim. Meski telah merdeka secara politik, tidak terlalu banyak kemajuan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. ampai sekarang, banyak wilayah Dunia Muslim masih bergumul dengan persoalan dasar menyangkut ketentraman, stabilitas politik, dan pembangunan. Konflik politik seolah tidak pernah selesai seperti bisa terlihat di banyak negara Muslim di Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika. Konflik berkepanjangan hampir tidak memberikan kesempatan menjalankan pembangunan sosial ekonomi yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan para warganya masing-masing. Penjajahan Eropa dalam perspektif historiografi dan sejarah baik di kalangan sejarawan Barat maupun Dunia Muslim sering digambarkan sebagai salah satu masa tergelap sejarah kaum Muslimin. Entitas politik Muslim seperti kesultanan, kerajaan atau dinasti sejak dari Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan sampai Asia Tenggara satu persatu ditundukkan atau kekuatan kolonialisme semacam Prancis dan Italia di Afrika Utara, Inggris di Mesir, Iraq, kawasan Teluk Persia sampai India dan wilayah Selat Melaka, Belanda di Kepulauan Nusantara, dan bahkan Amerika Serikat di Filipina. Hampir tujuh dasawarsa sejak berakhirnya kolonialisme Eropa dengan berakhirnya Perang Dunia II kolonialisme dalam batas tertentu masih terlihat di banyak wilayah Dunia Muslim. Meski telah merdeka secara politik, tidak
ampai sekarang, banyak wilayah Dunia Muslim masih bergumul dengan persoalan dasar menyangkut ketentraman, stabilitas politik, dan pembangunan. Konflik politik seolah tidak pernah elatan dan Afrika. Konflik berkepanjangan hampir tidak memberikan kesempatan menjalankan pembangunan sosial- masing. alangan sejarawan Barat maupun Dunia Muslim sering digambarkan sebagai salah satu masa tergelap sejarah kaum Muslimin. Entitas politik Muslim seperti kesultanan, kerajaan atau dinasti sejak dari Afrika Utara, dikoptasi kekuatan kolonialisme semacam Prancis dan Italia di Afrika Utara, Inggris di Mesir, Iraq, kawasan Nusantara, dan bahkan Masih dalam historiografi dan sejarah yang bias, Dunia Muslim juga dipandang berada dalam kemunduran intelektualisme. Jika ada pemikiran Islam yang berkembang, dinamika pemikiran di kalangan ulama dan pemikir Muslim di berbagai wilayah Dunia Islam, tanpa pengecualian lebih dilihat hanya sebagai respon reaktif apologetik terhadap ekspansi politik, ekonomi dan tantangan pemikiran dan konsep yang datang bersama kolonialisme Eropa.
Perspektif historiografi dan sejarah Dunia Muslim semacam itu kian dipertanyakan para spesialis yang mendalami berbagai dinamika Dunia Muslim dan pemikiran Islam di tengah kekuasaan kolonialisme Eropa sedikitnya sejak dua dasawarsa silam. Tetapi, usaha akademis dan ilmiah memberikan perspektif baru itu belum banyak berhasil.
Dalam konteks itu, lokakarya tentang Dunia Muslim dalam abad 18 dan seterusnya di masa kolonialisme yang diselenggarakan New York University Abu Dhabi (NYUAD) di Abu Dhabi (14-15 September 2014) memiliki signifikansinya tersendiri. Menghadirkan sekitar 24 sejarawan dan peneliti dari Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan dan Indonesia yang mengabdikan diri untuk pengkajian sejarah Dunia Muslim, NYUAD Institute memandang sangat urgen melakukan visitasi atas perspektif historiografi dan sejarah Dunia Islam di masa kolonialisme.
Revisitasi penting dilakukan untuk dapat membangun karakterisasi berbagai ragam fenomena dan tren sosial, intelektual dan reljius yang berkembang di Dunia Muslim di masa kejayaan politik, ekonomi, budaya dan intelektual kolonialisme. Lebih jauh, lokakarya NYUADI bermaksud membangun karakterisasi itu berdasarkan hasil-hasil temuan kesarjanaan lebih baru.
Kajian-kajian baru yang berkembang dalam dasawarsa terakhir ini umumnya berfokus regional untuk mengeksplorasi sejarah sosial, intelektual, dan politik Dunia Muslim yang saling berhubungan satu sama lain sebelum kedatangan kekuatan kolonialisme Eropa. Apakah hubungan dan jaringan tersebut bertahan atau bahkan meningkat di tengah kehadiran dan represi kolonialisme?
Lebih jauh, atas dasar kajian-kajian baru itu pula, lokakarya mengajukan argumen tentang perlunya kajian dan pemahaman yang terkait satu sama lain tentang sejarah Dunia Muslim di masa tersebut. Dengan begitu orang dapat memahami lebih baik fenomena dan tren pemikiran, intelektualisme, dan sosial-politik yang terjadi di berbagai wilayah Dunia Muslim sejak dari Maroko di pesisir Lautan Atlantik sampai Indonesia yang diapit Lautan India dan Lautan Pasifik.
Dengan revisitasi semacam itu dapat sekaligus dihindari hegemoni historiografi nasionalis yang secara berlebihan menolak historiografi dan sejarah Dunia Islam yang diwariskan kesarjanaan kolonial. Dengan demikian, lokakarya NYUADI berusaha meletakkan keseimbangan antara historiografi Eurosentrisme dan nasionalisme yang keduanya cenderung menempatkan Islam dan kaum Muslim hanya pada pinggiran sejarah.
Menyimak presentasi lebih dari 20 makalah tentang Dunia Muslim sepanjang lokakarya, jelas sekali berbagai wilayah Dunia Muslim jauh daripada kejumudan yang selama ini dipegangi banyak sejarawan Barat dan Muslim sendiri. Berbagai terobosan dalam pemikiran dan gerakan Islam muncul secara genuinebukan sebagai respon apologetik terhadap hegemoni politik, ekonomi, sosial-budaya dan pemikiran Eropa atau Barat.
Pengalaman sejarah itu juga dapat terlihat di Indonesia seperti presentasi penulis Resonansi ini. Sejak abad 16 dan seterusnya, wilayah Nusantara menyaksikan kebangkitan intelektualisme Islam melalui jaringan ulama yang memainkan peran penting dalam konsolidasi keislaman warga Muslim. Di tengah represi politik dan ekonomi kolonial Belanda, dinamika kaum Muslim justru kian meningkat dengan pembentukan dan konsolidasi berbagai lembaga baru sejak dari pesantren, madrasah, peradilan agama sampai ormas Islam sejak dasawarsa pertama abad 20.
Jokowi Butuh Menteri Petarung dan Pro Pemerataan Jumat, 19 September 2014, 06:00 WIB
Seorang deputi di Tim Transisi berucap, Paling tidak sepekan setelah pelantikan sebagai Pak Jokowi akan mengumumkan kabinetnya. Namun jika bisa cepat, maka pada hari pelantikan, Jokowi sudah bisa mengabarkan siapa yang menjadi menteri di pemerintahannya. Karena itu, saat ini Jokowi sedang menghimpun, menelisik, memilah, dan memilih setidaknya ada 300 nama yang berhasil diinventarisasi oleh Jokowi dan timnya. Mereka akan menilai integritasnya, karakternya, harta kekayaannya, keluarganya, kemampuannya, dan akseptabilitasnya.
Jokowi sudah mengumumkan bakal ada parpol. Lalu diembeli bahwa mereka adalah orang menteri, yaitu di kementerian luar negeri. Hingga kini masih belum jelas benar, apa saja nama kementeriannya. Dari nama itu setidaknya mulai terintip indikasi arah pemerintahannya. Setelah Jokowi Butuh Menteri Petarung dan Pro-
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha Seorang deputi di Tim Transisi berucap, Paling tidak sepekan setelah pelantikan sebagai Pak Jokowi akan mengumumkan kabinetnya. Namun jika bisa cepat, maka pada hari pelantikan, Jokowi sudah bisa mengabarkan siapa yang menjadi menteri di pemerintahannya. Karena itu, saat ini Jokowi sedang menghimpun, menelisik, memilah, dan memilih mereka. Ada yang bilang, setidaknya ada 300 nama yang berhasil diinventarisasi oleh Jokowi dan timnya. Mereka akan menilai integritasnya, karakternya, harta kekayaannya, keluarganya, kemampuannya, dan Jokowi sudah mengumumkan bakal ada 34 menteri. Dari jumlah itu, 18 dari nonparpol dan 16 dari parpol. Lalu diembeli bahwa mereka adalah orang-orang profesional. Selain itu juga ada satu wakil menteri, yaitu di kementerian luar negeri. Hingga kini masih belum jelas benar, apa saja nama nteriannya. Dari nama itu setidaknya mulai terintip indikasi arah pemerintahannya. Setelah Seorang deputi di Tim Transisi berucap, Paling tidak sepekan setelah pelantikan sebagai Presiden, Pak Jokowi akan mengumumkan kabinetnya. Namun jika bisa cepat, maka pada hari pelantikan, Jokowi sudah bisa mengabarkan siapa yang menjadi menteri di pemerintahannya. Karena itu, saat mereka. Ada yang bilang, setidaknya ada 300 nama yang berhasil diinventarisasi oleh Jokowi dan timnya. Mereka akan menilai integritasnya, karakternya, harta kekayaannya, keluarganya, kemampuannya, dan 34 menteri. Dari jumlah itu, 18 dari nonparpol dan 16 dari orang profesional. Selain itu juga ada satu wakil menteri, yaitu di kementerian luar negeri. Hingga kini masih belum jelas benar, apa saja nama nteriannya. Dari nama itu setidaknya mulai terintip indikasi arah pemerintahannya. Setelah muncul nama akan makin jelas sosok pemerintahan Jokowi. Namun menjadi jelas benar setelah melihat kinerjanya.
Siapa saja mereka? Yang pasti adalah dari partai-partai pengusungnya: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI. Namun jumlah kursi mereka di parlemen 'hanya' 37 persen. Hal ini tentu tak aman untuk stabilitas politik. Karena oposisi justru menguasai 63 persen kursi di parlemen. Untuk itu, kini ada upaya untuk menarik sejumlah partai lagi untuk masuk kabinet. Yang didekati pertama adalah PPP dan PAN. Rupanya tak sederhana. Kubu yang ingin membawa PPP ke pemerintahan tak begitu mudah mengkonsolidasi kekuatan. Suryadharma Ali, ketua umum PPP, dan pendukungnya ingin kukuh di oposisi. Kini, mereka saling pecat. PAN relatif solid, namun mereka gagal membuat kesepakatan. Akhirnya mereka ke Demokrat. Namun partai ini ingin tetap elegan di depan publik. Mereka ingin tetap menjadi oposisi. Bahasa diplomasinya adalah sebagai penyeimbang dan tak bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP) yang beroposisi. Upaya menggaet Golkar pun tak mudah. Aburizal Bakrie masih terlalu kuat. Upaya menggantinya dalam Munas Luar Biasa gagal.
Upaya menambah kekuatan di parlemen merupakan kebutuhan yang tak terelakkan. Realitas politik demikian tak terduga. Walau presiden tak bisa dijatuhkan, namun kewenangan parlemen yang luas bisa sangat mengganggu kinerja pemerintah. Contoh nyata adalah upaya KMP untuk mengubah pilkada langsung menjadi pilkada lewat DPRD walaupun wacana ini pernah menguat pada 2012, jauh sebelum ada KMP. Pemerintah sulit bekerja efektif jika para kepala daerah dikuasai KMP. Karena itu upaya menarik partai-partai di KMP menjadi kebutuhan mendesak, yakni menggagalkan perubahan cara pemilihan kepala daerah. Hadirnya dukungan Demokrat akan membuyarkan rencana tersebut. Pada sisi lain, KMP juga mulai menyiapkan pembentukan Pansus Pilpres yang lalu. Ini bukan hal sepele.
Realitas ini membuat transaksi politik dalam penyusunan kabinet menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Apakah dukungan Demokrat itu gratis? Dalam politik tak ada sesuatu yang berlalu begitu saja. Kita tunggu saja susunan kabinet dan personalia lembaga negara lain maupun pimpinan di BUMN.
Jokowi juga harus mempertimbangkan elemen-elemen yang selama ini sudah mendukungnya. Misalnya dari relawan, ormas, kelompok kepentingan, maupun kalangan pengusaha. Mereka tentu memiliki aspirasi siapa kandidat yang mereka usung untuk menjadi menteri. Karena itu kita bisa membayangkan betapa tak sederhana bagi Jokowi dalam menyusun kabinet.
Di tengah kesibukan menyusun kabinet, sebaiknya Jokowi fokus pada arah kebijakan pemerintahannya ke depan. Jokowi sudah menetapkan Nawa Cita yang menjadi programnya. Semuanya berporos dari doktrin Tri Sakti warisan Bung Karno. Sebuah program yang kini menjadi demikian revolusioner, karena kita sudah lama menjadi kompromistis dengan ekonomi pasar bebas. Sedangkan Tri Sakti justru berasal dari sisi seberangnya. Karena itu untuk mewujudkannya bukanlah perkara gampang. Di antara contoh konkretnya adalah mengubah ketahanan pangan menjadi kedaulatan pangan. Kita juga akan melihat bagaimana soal pengelolaan BUMN serta budgeting di kementerian keuangan. Kementerian perindustrian dan perdagangan akan berada di ujung pertempuran.
Jokowi membutuhkan menteri petarung dan dengan mindset yang berbeda dengan yang ada selama ini. Dua hal itu tak bisa dipoles. Keduanya melekat dalam di mentalitas dan cara berpikir. Mentalitas dibentuk sejak kecil hingga dewasa. Sedangkan cara berpikir digerakkan oleh keyakinan dan worldview, sudah menjadi ideologi. Jokowi tak sekadar membutuhkan menteri teknokrat yang menguasai detil dan berwawasan luas, Jokowi juga membutuhkan para pejuang yang nasionalistik dan prorakyat. Bukan pro asing dan pro pemodal besar. Mentalitas petarung dibutuhkan untuk menghadapi mafia, sedangkan mindset dibutuhkan agar tak ada lagi keraguan saat melangkah. Masalah kedaulatan dan pemerataan ekonomi butuh pemihakan, tak bisa ditransaksikan hanya sekadar oleh neraca keuangan dan kemanisme pasar. Inilah revolusi sejati yang dibutuhkan bangsa Indonesia.
Niccolo Machiavelli membuat bab tersendiri ihwal mengangkat menteri. Menurutnya, ada tige jenis orang. Pertama, orang yang mengerti dengan sendirinya. Kedua, orang yang menghargai apa yang dipahami oleh orang lain. Ketiga, orang yang tidak bisa mengerti dengan sendirinya namun juga tak menunjukkan tanda-tanda bisa memahami orang lain. Yang termasuk kategori yang pertama adalah yang paling sempurna, katanya, dalam bukunya yang terkenal, Il Principe. Buku yang berisi nasihat untuk para penguasa.
Kini, Jokowi sedang bertaruh. Bukan hanya bagi dirinya, tapi bagi negeri ini. Kita harus membantunya agar dia memilih orang yang tepat.