Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT

TONSILITIS KRONIKA

Oleh :
Angga Nugraha (0918011103)





PEMBIMBING :
dr. Hadjiman Yotosoedarmo, Sp.THT




SMF ILMU PENYAKIT THT
RSU JENDERAL AHMAD YANI METRO
MEI 2014

STATUS PENDERITA

Masuk RSAY : 20 Mei 2014
Pukul : 10.00 WIB


1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Metro
Agama : Islam
2. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 20 Mei 2014, pukul 10.00 WIB
Keluhan utama : Sering nyeri menelan sejak 1 bulan SMRS
Keluhan tambahan : pilek, napas bau, badan terasa lemas
Riwayat Penyakit Sekarang :
1 bulan SMRS, pasien mengeluh sering nyeri menelan yang hilang timbul.
Nyeri menelan dirasakan terutama saat menelan makanan. Pasien juga mengeluh
perasaan tidak enak di tenggorokan dan bau mulut. Sebelumnya pasien juga
mengeluh nyeri menelan disertai dengan sering demam, batuk, pilek dengan lendir
putih yang kumat-kumatan dan hidung tersumbat, Keluhan nyeri menelan jika
mengkonsumsi makanan padat seperti nasi, tetapi tidak ada keluhan jika
mengkonsumsi cairan. Keluhan dirasa semakin hebat bila pasien mengkonsumsi
makanan pedas dan gorengan. Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga,
tidak ada kurang pendengaran dan tidak ada sakit kepala. Pasien meminum obat flu
yang dibeli di warung, pasien merasa baikan namun kambuh lagi.
2 minggu SMRS, pasien pergi berobat ke dokter spesialis THT. Setelah
diperiksa, pasien diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan disarankan
untuk dilakukan operasi pengangkatan amandel. Namun pasien belum mau
dioperasi dan lebih memilih untuk diberi pengobatan mengurangi gejala.
3 hari SMRS, pasien masih sering nyeri menelan dirasakan terutama saat
menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan tidak enak di tenggorokan dan
bau mulut. Tidak ada keluhan pilek dan hidung tersumbat, Tidak ada keluhan nyeri
hebat yang menyebabkan sulit membuka mulut ataupun suara yang serak. Tidak
ada keluhan telinga berdenging, terasa penuh, nyeri telinga, ataupun pendengaran
berkurang. Tidak ada keluhan pada mata, seperti pandangan ganda dan visus turun.
Sejak 3 tahun SMRS, pasien mengeluh nyeri menelan yang hilang timbul.
Nyeri menelan terutama dirasakan saat menelan makanan padat disertai demam,
batuk, pilek yang kumat-kumatan dan hidung tersumbat selama 3 tahun dalam
setahun lebih dari enam kali serangan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat (-), asma (-), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus(-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-), diabetes
mellitus (-).


3. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Status Presens
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Cukup
Nadi : 80 x/menit
Tensi : 120/80 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,3 C
Kepala dan Leher
Kepala : normocephal
Wajah : Simetris
Leher anterior : KGB tidak teraba membesar
Leher posterior : KGB tidak teraba membesar


Status Lokalis
1. Telinga

Pemeriksaan rutin khusus : Tidak dilakukan pemeriksaan.
Dextra Sinistra
Auricula Bentuk (N), Nyeri tekan (-) Bentuk (N), Nyeri tekan (-)
Preauricula Fistel (-), Abses (-),
Hiperemis (-), Nyeri tekan (-)
Tragus pain (-)
Fistel (-), Abses (-),
Hiperemis (-), Nyeri tekan
(-), Tragus pain (-)
Retroauricula Hiperemis (-), udema (-),
Nyeri tekan (-)
Hiperemis (-), udema (-),
Nyeri tekan (-)
Mastoid Hiperemis (-), udema (-),
Nyeri tekan (-)
Hiperemis (-), udema (-),
Nyeri tekan (-)
CAE Hiperemis (-), udema (-),
Corpus alineum (-)
Discharge (-)
Hiperemis (-), udema (-),
Corpus alineum (-)
Discharge (-)

Membran tympani:
Dextra Sinistra
Perforasi (-), MT Intak (-), MT Intak
Reflex cahaya (+) (+)
Warna Putih keabu-abuan Putih keabu-abuan
Bentuk Normal, bulging(-) Normal, bulging(-)

Hidung dan sinus paranasal
a. Hidung
















Pemeriksaan rutin khusus : tidak dilakukan pemeriksaan

b. Sinus Paranasal






Dextra Sinistra
Hidung Bentuk normal Bentuk normal
Sekret Mukoserous Mukoserous
Mukosa konka media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)
Mukosa konka inferior Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)
Meatus media Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)
Meatus inferior Hiperemis(-), hipertrofi (-) Hiperemis(-), hipertrofi(-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Massa (-) (-)

3. Tenggorok
Orofaring
Mukosa bucal : Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Ginggiva : Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Gigi geligi : Warna kuning gading, caries (-),
gangren(-)
Lidah 2/3 anterior : Dalam batas normal
Arkus faring : Simetris (+), hiperemis (-)
Palatum : Warna merah muda
Dinding posterior orofaring : Hiperemis (-), granulasi (-)

Tonsil:










Pemeriksaan rutin khusus : Tidak dilakukan


Dextra
Tidak dilakukan pemeriksaan
Dextra Sinistra
Ukuran T3 T3
Kripte Melebar Melebar
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Detritus (+) (+)
Fixative (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Pilar anterior Kemerahan Kemerahan

Nasofaring
Discharge : Tidak dilakukan pemeriksaan
Mukosa : Tidak dilakukan pemriksaan
Adenoid : Tidak hipertrofi
Massa : (-)

Laringofaring
Mukosa :
Massa : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lain-lain :

Laring
Epiglotis :
Plica vocalis :
- Gerakan :
- Posisi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Tumor :
Massa :

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Pemeriksaan darah rutin
Hb : 12,9 g/dl
Leukosit : 8,9 10
A
3/ ul
Ht : 39
Trombosit 288000/ul
LED 1 jam : 9 mm/jam
2 jam : 10 mm/jam


Kimia
GDS 97 mg/dl
Sero Imunologi
HBsAg negative

5. RESUME
Pemeriksaan Subjektif : Seorang anak laki-laki usia 10 tahun datang dengan keluhan residifitas 3
tahun : Odinofagia residif, ftekuensi > 6 kali/tahun, perasaan tenggorokan tidak nyaman (+), batuk dan
pilek (+), febris (+). Sulit konsentrasi (+), Nyeri menelan saat makanan padat (+), Tidak nyeri menelan
saat mengkonsumsi cairan. cephalgia (-), malaise (+), snoring (+), sleep apneu(-), halitosis (+). Riwayat
rhinorea (-), obstruksi cavum nasi (-), trismus (-), disfonia (-), tinitus low frequence (-), otalgia (-), hearing
loss(-).RPD: Riwayat alergi obat (-), asma (-), maag (-), hipertensi(-), diabetes mellitus(-).Riwayat
Penyakit Keluarga :Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-), diabetes
mellitus (-).
Pemeriksaan objektif = Tonsil: T3/T3 hiperemis, kripte melebar, tidak rata, detritus+ Pemeriksaan
lab = Pemeriksaan darah rutin = Hb : 12,9 g/dl, Leukosit : 8,9 10
A
3/ ul, Ht : 39, Trombosit 288000/ul,
Kimia : GDS 97 mg/dl.

6. DIAGNOSA BANDING
Tonsilitis kronis
Tonsilofaringitis kronis

7. DIAGNOSA SEMENTARA
Tonsilitis kronis
Dasar diagnosis : Odinofagia residif selama 3 tahun dengan ftekuensi > 6 kali/tahun, perasaan
tenggorokan tidak nyaman (+), batuk dan pilek (+), febris (+). Sulit konsentrasi (+), Nyeri menelan saat

makanan padat (+), Tidak nyeri menelan saat mengkonsumsi cairan. malaise (+), snoring (+), sleep
apneu(-), halitosis (+). Pemeriksaan Fisik :Tonsil: T3/T3 hiperemis, kripte melebar, tidak rata, detritus+

8. ANJURAN
Tonsilektomi

9. PROGNOSIS
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Vitam : Dubia ad bonam

10. PENATALAKSANAAN
Medika Mentosa pre operatif:
cefixim 3 x 250 mg
Metil prednisolon 3 x 2 tablet (1 tab = 8mg)
Asam mefenamat 3 x 500 mg.
Non Medika Mentosa post operatif :
Diet lunak
Tirah baring
Medikamentosa post operatif :
Antibiotika cefixim 3 x 250 mg
Antiinflamasi: Metil prednisolon 3 x 2 tablet (1 tab = 8mg)
Analgesik : Asam mefenamat 3 x 500 mg



11. KOMPLIKASI
Abses peritonsiler
(Tonsilo) Faringitis
Oklusi tuba kronik : OMA, OMSK.
Adenotonsilitis, rhinitis kronik, sinusitis

TINJAUAN PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan penyebab
tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997 temuan penderita ISPA
pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan temuan penderita ISPA pada tahun tersebut
adalah 78% - 82%. Sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat.
Di Amerika Serikat absensi sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA
(1)
.
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA
atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan
(2)
. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi
tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.
Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya
pada usia 6-15 Tahun
(3)
. Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997
sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh
jumlah kunjungan
(4)
.
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri
telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala
dan badan terasa meriang
(5)
.
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala
yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang
dan prestasi belajar yang kurang baik
(4,6)
.
Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari hasil/prestasi
belajarnya
(7}
. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi,
kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman
(8)
.

Hal ini sesuai dengan kesan masyarakat bahwa tonsilektomi dapat meningkatkan
prestasi belajar pada anak yang menderita penyakit amandel (tonsil) sehingga banyak orang tua
yang menginginkan operasi amandel untuk meningkatkan prestasi belajar anaknya, meskipun
belum tentu tonsilnya sakit
(8)
.
Belajar adalah aktivitas (usaha dengan sengaja) yang dapat menghasilkan perubahan
berupa kecakapan baru pada diri individu. Proses dan hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain kondisi fisiologis dan psikologis diri individu. Perubahan perilaku akibat
belajar tersebut menandai keberhasilan proses belajar dan mengajar dan digunakan sebagai
indikator prestasi belajar.
Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa tonsilitis kronik dapat mengganggu
kondisi fisiologis dan psikologis anak sehingga dapat mengganggu proses belajar
(9)
.


BAB II
EMBRIOLOGI DAN ANATOMI TONSIL

2.1 EMBRIOLOGI TONSIL
Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal
kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada
dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga.
Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada
usia kehamilan 20 minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh
sel-sel limfatik.
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula
(sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum (sebagai
pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai
stadium).
9


2.2 ANATOMI TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini
dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap
infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi

Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil

fisiologis pada masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan
kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin
waldeyer.










Gambar 2 : Cincin Waldeyer
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach's).
9,10

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral arofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan


permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak
berlubang-lubang kecil yang beijalan ke dalam "Cryptae Tonsillares" yang beijumlah 6-20
kripta. Pada bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah:
1. Anterior: arcus palatoglossus
2. Posterior: arcus palatopharyngeus
3. Superior: palatum mole
4. Inferior: 1/3 posterior lidah
5. Medial: ruang orofaring
6. Lateral: kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla

Gambar 3. Tonsil Palatina


Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
Adenoid atau tonsila faringeal adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang
terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasals
pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian
lateral.
Teibentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus
bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah
menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu
dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun.
Pembesaran yang teijadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen
seperti. virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.








Gambar 5. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior
adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring
superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil.
Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.
9

Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian
membentuk septa.
9

Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah
berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis
atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian
anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering teijadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.
9

Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris
eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A.
maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A.
lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden.
Adenoid
Tonsils


Arteri tonsilaris beijalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden
juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri
lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan
plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery"
memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari alas dan membentuk anastomosis dengan
a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus
dari faring.
9,10


Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui peajalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau

Gambar 6. Pendarahan Tonsil

disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan
pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion
sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaiingeus (N. IX).

Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen,
selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil
ditemukan pada usia 3 - 1 0 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T
berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu respon
imun tahap I, respon imun tahap n, dan migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I teijadi ketika
antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil
pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui
barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa
bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel
dendritik
It axillary glandi


Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte
dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun respon imun berikutnya
berupa migrasi limfosit. Peijalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit
berlangsung terns menerus dari darah ke tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan
kembali ke sirkulasi melalui limfe.


BAB III
TONSILITIS KRONIS
3.1 Definisi
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan
diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar
serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus.
10


Gambar 8. Tonsilitis
3.2 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission
on Acute Respiration Disease bekeija sama dengan Surgeon General of the Army
America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut:
25% disebabkan oleh Streptokokus (3 hemolitikus yang pada masa penyembuhan
tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak menunjukkan kenaikan
titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita. Sisanya adalah Pneumokokus,
Stafilokokus, Hemofilus influenza.


3.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :
10

Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.
3.4 Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang
berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut
sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning
kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan
jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran
kelenjar submandibula.
10

3.5 Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang
mungkin tampak, yakni:

1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
10

To : Tonsil masuk di dalam fossa
Ti : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T
4
: >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

3.6 Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terns menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat
banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang

kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen
yang tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang
rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau
Pneumokokus.
10

3.7 Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat teijadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar
atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai
komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut:
10
1. Komplikasi sekitar tonsila
Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan
abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil
dan penjalaran dari infeksi gigi.
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid,
kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya teijadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
Kista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan
ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa
cekungan, biasanya kecil dan multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
membentuk bahan keras seperti kapur. 2. Komplikasi Organ jauh
Demam rematik dan penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
Artritis dan fibrositis.

3.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis
atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi
(oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau
berulang-ulang.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh Celsus
dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga merupakan tindakan
pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara ilmiah oleh Lague dari Rheims
(1757).

KESIMPULAN

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab tersering morbiditas dan
mortalitas pada anak. Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar
posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain: fosa tonsil, kapsul tonsil, plika
triangularis.
Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya. Bila
tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul
tonsilitis.Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil yang disebabkan
oleh virus ataupun bakteri.
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan
diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar
serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus.
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri
telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala
dan badan terasa meriang.
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis
atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi pada
tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan
rasa tidak nyaman.

DAFTAR PUSTAKA

1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan Perilaku
Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit ISPA dan
pnemonia. Bui. Penelit. Kes.
2003; 31:60-71.
2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan saluran Nafas Bagian Atas
Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13.
Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994 : 194- 224.
3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan
pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang,
2001: 8-12.
4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr. Kariadi
Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-55.
5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus tonsil dan
jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami tonsilektomi. Kumpulan naskah ilmiah
KONAS XII PERHATI, Semarang:BP Undip;1999: 193- 205.
6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed.. Philadelphia:
WB Saunders Co; 1959: 239-57.
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome :http://www.emedicine.com/ped/topic
1630.htm.2002.
8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive sleep apnea.
Otolaryngol. Head and Neck Surgery. 2000; 123:9-16
9. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6
th
Ed. Edisi
Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
10. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Hmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183

Anda mungkin juga menyukai