Anda di halaman 1dari 34

1

DEPRESI

A. Definisi
Depresi adalah gangguan alam perasaan (mood) yang ditandai
dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan
sehingga hilangnya kegairahan hidup. (Hawari, 2001).
Depresi adalah suatu mood sedih (disforia) yang berlangsung lebih
dari empat minggu, yang disertai prilaku seperti perubahan tidur,
gangguan konsentrasi, iritabilitas, sangat cemas, kurang bersemangat,
sering menangis, waspada berlebihan, pesimis, merasa tidak berharga, dan
mengantisipasi kegagalan. (DSM-IV-TR,2000 dalam Videbeck, 2008).
Depresi adalah suatu gangguan alam perasaan yang ditandai
dengan perasaan sedih dan berduka yang berlebihan dan berkepanjangan.
(Purwaningsih, 2009).
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan
depresif unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang
(distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas,
menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua
aspek kehidupannya (Ingram dkk, 1993).

B. Angka Kejadian
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar
10% perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah
2

didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi
5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dkk, 2010).

1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga
adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor
psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang
dipelajari tentang ketidakberdayaan (Ismail dkk, 2010).
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi
gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita
dibandingkan dengan laki-laki (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain
disebutkan bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi
dibandingkan laki-laki (Akhtar, 2007). Walaupun alasan adanya
perbedaan tersebut tidak diketahui, alasan untuk perbedaan tersebut
didalilkan sebagai keterlibatan dari perbedaan hormonal, efek
kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan model perilaku
keputusasaan yang dipelajari (Kaplan, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan
bahwa prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria
kemungkinan dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon
yang langsung mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan
mood contohnya dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual
Syndrome). Untuk wanita yang telah menikah, depresi dapat
diperparah dengan masalah keluarga dan pekerjaan, merawat anak dan
orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara
usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak
atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat
diusia kurang dari 20 tahun. Mungkin berhubungan dengan
meningkatnya pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam
kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).
3

Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif
berat adalah kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien
mempunyai onset antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif
berat juga memiliki onset selama masa anak-anak atau pada lanjut usia.
Beberapa data epidemiologis menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresif berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia
kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat prevalensi
tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang
terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang
didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi
terbanyak ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah
untuk menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah
namun hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan
yang bercerai atau berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan
oleh Akhtar (2007) memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari
depresi didapatkan pada pasangan yang bercerai atau berpisah.
4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan
gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan
disbanding daerah perkotaan (Ismail dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy
on An Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok
responden dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang
cukup tinggi yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007)
ditemukan tingkat depresi terendah pada kelompok pendidikan
4

Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat
depresi yang tertinggi ditemukan pada responden dengan kelompok
pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%). Walaupun hasil ini
dapat menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi pada tingkat
pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif dengan
terjadinya gangguan depresif (Kaplan, 2010).

C. Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor
dan gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada
anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik
keluarga tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor
penting di dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika.
Tetapi, pola penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang
kompleks. Bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek
psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan
peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada
sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa
sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat
berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara
derajat pertama (Kaplan, 2010; Tomb, 2004).
2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di
dalam metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter
norepinefrin, serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam
penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
5

khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif,
regulasi neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan, 2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan
terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada
pasien dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal
melantonin, penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian
tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon)
dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada
laki-laki (Trisdale, 2003).

Gambar 1.1 Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi
katekolamin pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina
otak diketahui kadang-kadang menimbulkan depresi lambat
(Ingram dkk, 1993).
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak)
menurun dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami
6

episode depresi dan meningkat di saat mereka gembira (Ingram
dkk, 1993).
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi
indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5
HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk,
1993).
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol
dan kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian
dexametason. Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason
dan hasil abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama
pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit
ini dalam keluarga (Ingram dkk, 1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul
amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin
merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi (Ingram dkk,
1993).
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan
selama hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab
eksterna. Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung,
pesimis dan kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku
lebih riang, energetik dan lebih ramah dari rata-rata (Ismail dkk, 2010).
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya
dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami
stres besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog
menyatakan bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif
7

mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam pertumbuhan
perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru
dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon
mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif.
Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika menghadapi
stres kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial dan
lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan
psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor
pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah
psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga dari
generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik,
dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka
anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi
terhadap gangguan depresif (Ismail dkk, 2010).
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih
banyak peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak
memuaskan dan mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan
pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh
menjadi hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi
diketahui juga lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua di
masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi lainnya (Ingram dkk,
1993).
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,
pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,
sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode
gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik
dan lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan
depresif muncul (Ismail dkk, 2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan,
8

2010; Slotten, 2004). Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan
pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama.
Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan
keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi
sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stresor external (Kaplan, 2010).

D. Klasifikasi
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
9

F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan
gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap
lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang
lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang
tercantum di bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya
menderita suasana perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat
dan kegembiraan, dan berkurangnya energy yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas.
Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja. Gejala
lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
10

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit
dari hari ke hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan
sekitarnya, namun dapat memperlihatkan variasi diurnal yang khas
seiring berlalunya waktu. Sebagaimana pada episode manik, gambaran
klinisnya juga menunjukkan variasi individual yang mencolok, dan
gambaran tak khas adalah lumrah, terutama di masa remaja. Pada
beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan agitasi motorik mungkin
pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada depresinya, dan
perubahan suasana perasaan (mood) mungkin juga terselubung oleh
cirri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol berlebih, perilaku
histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang sudah ada
sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode depresif
dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok
dan memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas
mempunyai makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala
somatik ialah kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang
biasanya dapat dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap
lingkungan atau peristiwa yang biasanya menyenangkan, bangun pagi
lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya, depresi yang lebih parah
pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor
yang nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain), kehilangan
nafsu makan secara mencolok, penurunan berat badan (sering
ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat badan bulan terakhir),
11

kehilangan libido secara mencolok. Biasanya, sindrom somatik ini
hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala itu pasti
dijumpai (Depkes RI, 1993).

F32.0 Episode depresif ringan
Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat
dan kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang
sebagai gejala depresi yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari
ini, ditambah sekurang-kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada
untuk menegakkan diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat
di antaranya. Lamanya seluruh episode berlansung ialah sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah
tentang gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan
pekerjaan biasa dan kegiatan social, namun mungkin ia tidak akan
berhenti berfungsi sama sekali (Depkes RI, 1993).
F32.1 Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling
khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah
sekurang-kurangnya tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya.
Beberapa gejala mungkin tampil amat menyolok, namun ini tidak
esensial apabila secara keseluruhan ada cukup banyak variasi
gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2
minggu (Depkes RI, 1993).
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya
menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga (Depkes RI, 1993).

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Pada episode depresif berat, penderita biasanya
menunjukkan ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali
apabila retardasi merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan
12

perasaan dirinya tak berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri
merupakan bahaya nyata terutama pada beberapa kasus berat.
Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik hampir selalu ada pada
episode dpresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode
depresif ringan dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya
empat gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas
berat. Namun, apabila gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi)
menyolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu utnuk
melaporkan banyak gejalanya secara terinci. Dalam hal demikian,
penentuan menyeluruh dalam subkategori episode berat masih dapat
dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya berlangsung
sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan
beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin
penderita akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode
depresif berat tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya,
harus digunakan subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut
F32.2 terssebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif.
Wahamnya biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau
malapetaka yang mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung
jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya
berupa suara yang menghina atau menuduh atau bau kotoran atau
daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju
pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan
sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana perasaan (mood).
13

Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari
skizofrenia katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik
lainnya. Kategori ini hendaknya hanya digunakan untuk episode
depresif berat tunggal dengan gejala psikotik; untuk episode
selanjutnya harus digunakan subkategori gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya
Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai
dengan gambaran yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-
F32.3, meskipun kesan diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya
sebagai depresi. Contohnya termasuk campuran gejala depresif
(khususnya jenis somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non
diagnostik seperti ketegangan, keresahan dan penderitaan; dan
campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau keletihan
menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti yang kadang-
kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi
sebagaimana dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau
berat, tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian suasana
perasaan dan hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan
hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria hipomania segera
sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang tampaknya dicetuskan
oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari onset, keparahan,
lamanya berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi, semuany
sangat bervariasi. Umumnya episode pertama terjadi pada usia lebih
tua dibanding dengangangguan bipolar, dengan usia onset rata-rata
lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan 12
bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya
14

lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara
episode, namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang
akhirnya menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini,
kategori ini harus tetap digunakan). Episode masing-masing dalam
berbagai tingkat keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa
kehidupan yang penuh sters; dalam berbagai budaya, baik episode
tersendiri maupun depresi menetap dua kali lebih banyak pada wanita
daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan
depresif berulang mengalami episode depresif sebagai penderitaan,
tidak mustahil baginya akan mengalami episode manik. Jika ternyata
terjadi episode manik, maka diagnosisnya harus diubahmenjadi
gangguan afektif bipolar.

E. Gambaran Klinik
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan
berkurangnya energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin
mengatakan perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan,
atau tidak berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan
emosi duka cita atau kesedihan yang normal (Ingram dkk, 1993).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk
perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi
vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial
dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram
dkk, 1993):
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang
mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
15

kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi
senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini
hari dan membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh
diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.
Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,
tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan
dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan
turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan
bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia
merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri
sendiri mungkin ditemukan.
16

9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun
dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,
amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua
pertiga pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang
dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri
mempunyai umur hidup lebih panjang disbanding yang tidak dirawat.
Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi
dan tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri
dari keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya.
Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi
dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami
kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat
dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,
khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun
dimalam hari karena memikirkan masalAh yang dihadapi. Kebanyakan
pasien menunjukkan peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian
pula dengan bertambah dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur
lebih lama dari yang biasa (Depkes RI, 1993).

F. Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk
kepada DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10
Classification of Mental and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ
(2003), gangguan afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi episode
depresif dan episode depresif berulang, dimana episode depresif sendiri
terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan
untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang episode kini
17

ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik,
episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat
diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi
kriteria diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat
berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis
yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan
(suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk
membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang
yang berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama),
tetapi hanya mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini
boleh jadi karena DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu
banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang
sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya
pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi
penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak
punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran
anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam
badan teks dan didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah
sindrom yang berhubungan dengan depresi, berupa gangguan depresif
18

ringan (minor depressive diorder), gangguan depresif singkat rekuren, dan
gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan
gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan
depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode
depresif memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk
diagnosis gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan
lama waktu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan
depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat
secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan
depresi, dan juga menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif
berat.

a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan
penyakit yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.

b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari
gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok
pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive
terhadap terapi farmakologi daripada pasien nonmelankolik.


c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal
Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang
didefinisikan secara resmi adaah sebagai respons terhadap penelitian dan
data klinis yang menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki
karakteristik yang spesifik dan dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik
adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.


19

G. Diferensial Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada
penderita depresi, dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga
menyebabkan terapi yang inadekuat untuk pasien. Berdasarkan
kepustakaan, ada beberapa kondisi yang harus benar-benar diperhatikan
sebagai diagnosa banding dari depresi (Kaplan, 2010), diantaranya adalah:
1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,
2. Pasien yang terdapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat
badan harus diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,
3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk
sindrom imunodefisiensi sindrom (AIDS),
4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis
lainnya,
5. Penyakit Parkinson adalah masalah neurologis yang paling umum
bermanifestasi sebagai gejala depresif,

H. Terapi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan
pada sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua,
pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga,
suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya
gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya (Kaplan, 2010).
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan
obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan
kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat.
Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil
dari farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH, 2002).
1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam
efek farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk
20

pengamatan bahwa pasien individual mungkin berespons terhadap
antidepresan lainnya. Variasi tersebut juga merupakan dasar untuk
membedakan efek samping yang terlihat pada antidepresan (Kaplan,
2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada
proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang
memiliki efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat
ambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim
monoamine oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter
yang abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin.
Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi
dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari abnormalitas dari
sistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat antidepresan yang
akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan
MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi
golongan ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum
digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk gangguan
depresif berat (Kaplan, 2010). Golongan trisiklik ini dapat dibagi
menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik primer, tetrasiklik amin
sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik tersier
(imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalah tetrasiklik amin sekunder karena
mempunyai efek samping yang lebih minimal. Obat golongan
tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan
harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik (Kaplan, 2010).
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder
diduga bekerja sebagai penghambat reuptake norepinefrin,
sedangkan amin tersier menghambat reuptake serotonin pada sinaps
21

neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi akibat
kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder,
sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih
responsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun
yang lalu. Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan
deaminasi oksidatif katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar
einefrin, noreprinefrin dan 5-HT dalam otak naik (Arozal, 2007).
Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam
pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain
karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi
dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu
seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambat
enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan
mengganggu metabolisme obat di hati. (Kaplan, 2010).

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan
lini pertama pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik
(Kaplan, 2010). Obat golongan ini mencakup fluoxetine,
citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang
pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama
manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh
tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal
karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem
kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi
farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila SSRIs
dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan
efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin
22

dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan
gangguan tanda vital (Arozal, 2007).

d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang
hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga
menghambat dari reuptake norepinefrin (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih
ada beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa
pada pasien depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat
lebih jelas pada gambar di bawah ini (Mann, 2005).

Gambar 2.1.10.1 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama

e. Terapi Non Farmakologis
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi
23

interpersonal dan terapi perilaku (Kaplan, 2010). NIMH (2002)
telah menemukan predictor respons terhadap berbagai pengobatan
sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan
respons yang baik terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi
kognitif yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap
terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang
tinggi mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4)
keparahan depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik
terhadap terapi interpersonal dan farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck
yang memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada
gangguan depresi berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan
episode depresif dan mencegah rekurennya dengan membantu
pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif (Kaplan, 2010).
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman,
memusatkan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang
sedang dialami sekarang, dengan menggunakan dua anggapan:
pertama, masalah interpersonal sekarang kemungkinan memiliki
akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua, masalah
interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan
atau memperberat gejala depresif sekarang (Kaplan, 2010).

I. Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang
panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif
yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian
besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya
gejala (Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama
gangguan depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam
tahun pertama. Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi
24

indikator prognostik yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan
depresif berat. Episode ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi
keluarga yangstabil, tidak adanya gangguan kepribadian, tinggal dalam
waktu singkat di rumah sakit dalam waktu yang singkat, dan tidak lebih
dari satu kali perawatan di rumah sakit adalah indikator prognostik yang
baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan
distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain, gejala gangguan kecemasan,
dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya. (Kaplan, 2010).

J. Depresi pada Anak-anak dan Remaja
Fobia sekolah dan sifat manja pada orangtua yang berlebihan mungkin
merupakan gejala depresi pada anak-anak. Prestasi akademik yang buruk,
penyalahgunaan zat, perilaku antisosial, promiskuitas seksual, membolos, dan
melarikan diri mungkin dapat menjadi gejala depresi pada remaja (Kaplan,
2010).

K. Depresi pada Lanjut Usia
Depresi lebih sering terjadi pada lanjut usia dibandingkan populasi
umum. Berbagai penelitian telah melaporkan angka prevalensi terentang dari
25 sampai 50%. Sejumlah penelitian melaporkan bahwa depresi pada lanjut
usia mungkin berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, kematian
pasangan, penyakit fisik yang menyertai, dan isolasi sosial (Kaplan, 2010).


25

MANIA

DEFINISI
Mania merupakan suatu episode meningkatnya afek seseorang yang jelas,
abnormal, menetap, ekspansif, atau iritabel. Afek yang abnormal ini membuat
fungsi harian pasien menjadi terganggu karena gangguan pada daya pertimbangan
lingkungan. Tugas utama bagi dokter adalah menemukan gangguan episode mania
ini. Pasien mania yang tidak dirawat sering kali minum alcohol secara berlebihan,
pasien sukar dicegah untuk menggunakan telepon secara berlebihan (interiokal di
pagi hari). Mereka juga suka berjudi secara patologik, buka baju di tempat umum,
mengenakan baju atau perhiasan yang warnanya sangart mencolok, juga suka
mengabaikan hal-hal kecil seperti tidak meletakkan ganggang telepon secarab
benat di tempatnya. Pasien suka terlibat secara berlebihan dengan masalah
keagamaan, politik, keuangan, seksual dan ide pengejaran yang berkembang
dalam system waham yang kompleks. Terkadang mereka juga bisa regresi seperti
bermain dengan urine dan feses sendiri.
EPIDEMIOLOGI
Laporan The World Health Report 2001, antara lain mengatakan, 25
persen penduduk di dunia pernah mengalami gangguan jiwa pada suatu masa
dalam hidupnya, 40 persen diantaranya didiagnosis secara tidak tepat. Hasil
penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia di Jawa Barat (2002)
menemukan 36 persen pasien yang berobat ke puskesmas mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Hal ini bisa mewakili kondisi masyarakat secara umum.
Gangguan yang umum terjadi adalah gangguan afektif atau gangguan mood, yaitu
kecemasan, depresi dan mania. Mania merupakan suatu gangguan afektif dengan
persentasi 12 % dari seluruh gangguan afektif. Onset rata-rata umur pada pasien
dewasa dengan mania adalah 55 tahun dengan perbandingan jumlah pria dan
wanita 2 : 1. Prevalensi timbulnya mania sekitar 0,1% pertahun. (Shulman, 2008)

ETIOLOGI
Faktor biologis : Aktivitas amina biogenik (norepineprin, serotonin, dopamin)
26

meningkat pd mania. Disregulasi sistim adrenergik-kolinergik dg dominasi
kolinergik.
Genetik : Gen dominan pd lengan pendek kromosom 11 terutama pada gangguan
Bipolar


KLASIFIKASI
Episode Manik (F30)
Ada tiga derajat keparahan yan ditemukan disini, dengan kesamaan cirri
khas dalam suasana perasaan yang meningkat, dan peningkatan dalam jumlah dan
kecepatan aktivitas fisik dan ental. Semua subdivisi dari kategori ini seharusnya
digunakan hanya untuk satu episode manic tunggal. Jika ada episode afektif
(depresif, manic, atau hipomanik) sebelumnya atau sesudahnya, maka
gangguannya harus diberi kode menurut gangguan afektif bipolar .
Termasuk : gangguan bipolar, episode manic tunggal

Hipomania (F30.0)
Hipomania adalah derajat yang lebih ringan daripada mania, yang kelainan
suasana perasaan (mood) dan perilakunya terlalu menetap dan menonjol , namun
tidak disertai halusinasi atau waham. Yang ada ialah peningkatan ringan dari
suasana perasaan (mood) yang menetap (sekurang-kurangnya selama beberapa
hari berturut-turut), peningkatan energy dan aktivitas, dan biasanya perasaan
sejahtera yang mencolok dan efisiensi baik fisik maupun mental. Sering ada
peningkatan kemampuan untuk bergaul, bercakap, keakraban yang berlebihan,
peningkatan energy seksual dan pengurangan kebutuhan tidur; namun tidak
sampai menjurus kepada kecanduan berat dalam pekerjaan atau penolakan oleh
masyarakat. Lebih sering ini bersifat pergaulan social euforik, meskipun kadang-
kadang marah, sombong, dan perilaku yang tidak sopan dan mengesalkan (bualan
dan lawakan murah yang berlebihan).
Konsentrasi dan perhatiannya dapat mengalami hendaya sehingga kurang bias
duduk dengan tenang untuk bekerja, atau bersantai dan menikmati hiburan; tetapi
27

ini tidak dapat mencegah timbulnya minat dalam usaha dan aktivitas baru, atau
sifat agak suka menghamburkan uang.

Pedoman diagnostic
Beberapa diantara sifat-sifat tersebut diatas, sesuai dengan suasana
perasaan (mood) yang meninggi atau berubah dan peningkatan aktivitas,
seharusnya ada selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut, pada
suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang digambarkan.
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas social memang sesuai
dengan diagnosis hipomania, akan tetapi apabila kekacauan itu berat atau
menyeluruh, maka diagnosis mania harus ditegakkan.

Diagnosis Banding
Hipomania meliputi jenjang gangguan suasana perasaan (mood) dan
tingkat aktivitas antara siklotimia dan mania. Aktivitas yang meningkat dan
kegelisahan (dan sering kali juga penurunan berat badan) harus dibedakan dari
gejala sama yang dapat timbul pada hipertiroidi dan anoreksia nervosa; masa dini
dari depresi agiatif, khususnya pada usia pertengahan , dapat sekedar
menyerupai hipomania jenis iritabel. Pasien dengan gejala obsesif berat mungkin
aktif pada sebagian waktu malamnya untuk melaksanakan ritual pembersihan
rumah, akan tetapi afeknya biasanya berlawanan dengan apa yang dikemukakan
disini.
Apabila suatu periode singkat hipomania muncul sebagai fase pendahulu
atau fase sesudah keadaan mania, biasanya tiada artinya untuk menetapkan
hipomania itu secara terpisah.

Mania Tanpa Gejala Psikotik (F30.1)
Suasana perasaan (mood) meninggi tidak sepadan dengan keadaan
individu, dan dapat bervariasi antara keriangan (seolah-olah bebas dari masalah
apapun) sampai keadaan eksitasi yang hampir tak terkendali. Eliasi (suasana
perasaan yang meningkat) itu disertai dengan enersi yang meningkat, sehingga
terjadi aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, dan berkurangnya
28

kebutuhan tidur. Pengendalian yang normal dalam kelakuan sosial terlepas,
perhatian yang terpusat tak dapat dipertahankan, dan seringkali perhatian sangat
mudah dialihkan. Harga diri membumbung, dan pemikiran yang serba hebat dan
terlalu optimistis dinyatakan dengan bebas.
Mungkin terjadi gangguan persepsi, seperti apresiasi warna terutama yang
menyala atau amat cerah (dan biasanya indah), keasyikan (mengikat perhatian)
pada perincian sehalus-halusnya mengenai permukaan dan penampilan barang,
dan hiperakusis subjektif. Individu itu mungkin mulai dengan pelbagai rencana
yang tidak praktis dan boros, membelanjakan uang secara serampangan, atau
menjadi agresif, bersifat cinta kasih, atau berkelakar dalam situasi yang tidak tepat.
Suasana perasaan (mood) yang tampil pada beberapa episode manic lebih banyak
mudah tersingggung dan curiga, dripada elasi. Serangan pertama paling banyak
muncul pada usia antara 15-30 tahun, namun dapat terjadi pada setiap usia antara
akhir masa kanak sampai dasawarsa ketujuh atau kedelapan.

Pedoman diagnostik
Episode seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya satu minggu dan
cukup berat sehingga mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan biasa
dan aktivitas sosial. Perubahan suasana perasaan (mood) seharusnya disertai
dengan enersi yang meninggi dan beberapa gejala yang disebut di atas (khusus
percepatan berbicara, kebutuhan tidur berkurang, randiositas, dan terlalu
optimistis)

Mania dengan Gejala Psikotik (F30.2)
Gambaran klinis merupakan bentuk mania yang lebih berat daripada
keadaan yang digambarkan. Harga diri yang membumbun dan gagasan kebesaran
dapat berkembang menjadi waham dan iritabilitas serta kecuriaan menjadi waham
kejar. Pada kasus berat, waham kebesaran atau reliius tentang identitas atau
peranan mungkin mencolok, dan gagasan yang takabur dan percepatan
berbicaranya mengakibatkan individu tidak dapat dipahami lagi. Aktivitas dan
eksitasi fisik yang hebat dan terus menerus dapat menjurus kepada agresi dan
kekerasan; pengabaian makan,minum, dan kesehatan pribadi dapat berakibat
29

keadaan dehidrasi dan kelalaian diri yang berbahaya. Jika diperlukan, waham dan
halusinasi dapat diperbedakan sebagai yang serasi atau tidak serasi dengan
suasana perasaan (mood). Tidak serasi hendaknya diartikan meliputi waham
dan halusinasi yang afektif netral. Misalnya waham rujukan tanpa makna bersalah
atau menuduh, atau suara-suara yang berbicara dengan individu tentang peristiwa
yang tidak mengandung arti emosional khusus.

Mania Lainnya (F30.8)
Episode Mania yang tidak terklasifikasi (F30.9)

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSA
Gejala psikotik mungkin ada. Bila demikian, waham pasien biasanya besar
(grandiose) atau paranoid dan mungkin juga tak serasi afek.kriteria diagnostic
mania:
Catatan: sindrom mania diberi batasan sebagai tersebut pada criteria A, B, dan C
di bawah ini. Sindrom hipomania diberi batasan sebagai tersebut pada A dan B,
tetapi tidak C (jadi tak ada gangguan nyata).
A. Suatu masa yang berbatas jelas dengan afek yang abnormal, menetap,
ekspansif dan iritabel.
B. Saat terjadinya gangguan afek, sedikitnya ada 3 dari gejala di bawah ini (4 bila
afeknya hanya iritabel) dan cukup dirasakan oleh lingkungannya.
1) Harga diri yang dibesarkan atau grandiositas
2) Kebutuhan tidur berkurang (contoh, cukup rasa istirahat hanya dengan
tidur 3 jam)
3) Suka bicara lebih dari biasanya dan ada dorongan untuk bicara terus
4) Loncat piker atau ia merasa alur pikirannya seperti berpacu
5) Mudah teralihkan perhatiannya (contoh, perhatian mudah teralihkan
terhadap rangsangan eksternal yang sebenarnya tidak berarti)
6) Bertambahnya kegiatan yang bertujuan ( baik social, pekerjaan, sekolah,
maupun seksual ) atau agitasi psikomotor
7) Ikut serta secara berlebih pada kegiatan yang menggembirakan yang
berisiko tinggi untuk mengakibatkan penderitaan (contoh, orang itu terlibat
30

dalam nafsu untuk membeli banyak barang, kegiatan seksual yang
sembarangan atau investasi dagang yang tanpaperhitungan atau bodoh)

C. Gangguan afek yang cukup gawat menyebabkan gangguan yang nyata dalam
fungsi kerja, kegiatan social atau hubungan dengan orang lain atau membutuhkan
perawatan inap demi mencegah mencederai diri atau orang lain.
D. Pada saat tiada gangguan afek yang menonjol , tak ada halusinasi atau waham
selama dua minggu (jadi, sebelum gangguan afektif timbul atau setelah remisi).
E. Tidak bertumpang tindih pada skizofrenia, gangguan skizofreniform, gangguan
waham, atau gangguan psikotik yang tak ditentukan
F. Tak dapat dibuktikan bahwa factor organic menyebabkan atau
mempertahankan gangguan itu.
Perhatian: terapi antidepresiva somatic (seperti obat, terapi kejang listrik)
yang menyebabkan cetusan gangguan afektif tidak dianggap sebagai factor
organic dan etiologic.

Mania biasanya terjadi dalam kaitan dengan gangguan bipolar, gangguan
skizoafektif, dan gangguan bipolar. Mania dapat dicetuskan oleh terapi kejang
listrik, medikasi antidepresiva dan medikasi lain. Pada satu kali pemeriksaan
klinis dari pasien psikotik, mania mungkin tak mudah dibegadakn dengan
skizofrenia, dan diagnose yang tepat harus didasarkan pada riwayat pasien.
Prevalensi seumur hidup hangguan bipolar sekitar 1%, dan gangguannya
ditemukan sama banyak pada pria maupun wanita. Tanpa pengobatan, satu
episode mania berlangsung antara 3-6 bulan.

DIAGNOSIS BANDING
Skizofrenia (F20.-)
Skizofrenia dapat diawali dengan gangguan emosi dan afek sehingga memberikan
gambaran yang hamper mirip dengan episode mania. Kepribadian seorang dengan
gangguan mania hangat dan mudah bersahabat, sedangkan pada seorang dengan
skizofrenia biasanya pendiam, jauh dari pergaulan, dan menutup diri.
Skizofrenia tipe manic (F25.0)
31

Pada skizofrenia tipe mania terjadi ketidaksesuaian gejala afek dengan waham dan
halusinasi (mood incongruent) sangat menonjol.

PEDOMAN WAWANCARA DAN PSIKOTERAPI
Pasien mania pertamanya mungkin cukup menyenangkan dan lucu, tetapi lama-
lama menjadi mengganggu, menjengkelkan dan sukar dihindari. Perilakunya
mungkin tak dapat diduga dan tindak kekerasan dapat terjadi. Beri nasihat yang
tegas terhadap pasien mania sejak semula dan jangan perkenankan pasien untuk
mengekploitasi atau mengambil keuntungan dari sikap pemeriksa yang baik.
Pasien mania amat mudah teralihkan perhatiannya; maka berikan lingkungan yang
tidak merangsang untuk wawancara.

PERJALANAN PENYAKIT
Biasanya berlangsung menahun, afek hiperthym, banyak bicara (logorhoe), gerak-
gerik motorik yang aktif, flight of ideas, kurang tidur, agressif, dan boros.

EVALUASI DAN PENGELOLAAN
1. Aturlah agar lingkungan cukup aman yang dapat mencegah larinya pasien,
siapkan sejumlah staf yang cukup untuk menghadapi segala kemungkinan dan
bila pasien perlu dokekang.
2. Periksalah tanda fital pasien. Agitasi oleh sebab lain (seperti gangguan ogranik)
dapat disalahtafsirkan sebagai mania. Pasien mania juga mungkin mengidap
gangguan m,edik lain sebagai akibat daya pertimbangan yang buruk.
Intoksikasi obat atau abstinensi alcohol mungkin berada bersama.
3. Amati pasien untuk tanda adanya gangguan organic, intoksikasi obat atau efek
sampingan dari medikasi dokter. Akatisia akibat antipsikotika dapat
menyebabkan gelisah atau agitasi.
4. Harus diinstruksikan pemeriksaan laboratorium termasuk darah lengkap, fungsi
tiroid, skrining toksikologi urin, pemeriksaan kimia darah, fungsi hati dan
ginjal (ureum darah, nitrogen ureum darag (BUN) dan kreatinin), dan
elektrokardiografi.
32

5. Laksanakan pemeriksaan status mental dan peroleh riwayat psikiatrik.
Perhatikan khususnya pada riwayat dari episode manic dan depresi sebelumnya
untuk menentukan adanya gangguan bipolar. Bila gejala psikotik ternyata ada
untuk 2 minggu atau lebih tanpa gangguan afek, pertimbangkan pengubahan
diagnosis menjadi gangguan skizoafektif.
6. Perbaiki gangguan tiroid dan fisik bila ada. Pemeriksaan fisik pasien yang teliti
dan lengkap harus dilaksanakan begitu pasien sudah dalam keadaan kooperatif.

PENATALAKSANAAN
1. Secara umum
Penderita perlu dirawat di rumah sakit karena biasanya tidak mempunyai
pandangan dan kesadaran terhadap dirinya, sehingga dapat membahayakan
kesehatan fisiknya seperti kurang memperhatikan kebersihan diri, tidak mau
makan, tidak tidur berhari-hari,membuang banyak uang atau menghabiskan
miliknya yang sudah secara rutin secara tidak bertanggungjawab.
2. Obat yang dapat diberikan ada beberapa senyawa :
- Senyawa phenothiazine
o Promazine (prazine/verophen) 100 - 600 mg/hari
o Chlorpromazine(Largaktil / Megaphen / Propaphenin , Thorazine) 75 -
500 mg/hari
o Levomepromazine(Nozinan/Neurocil) 75 - 300 mg/hari
o Thioridazine (Melleril) 75 - 500 mg/hari
o Trifluoperazine (Stelazine) 3 - 30 mg/hari
- Senyawa alkaloid Rauwolfla
o Reserpine (Serpasil) 3 - 9 mg/hari
- Senyawa butyrophenone
o Haloperidol (Haldol/Serenace/ Vesalium) 3 - 5 mg/hari
3. Terapi elektrolit
Lithium Carbonat dapat diberikan dalam jumlah 1 gr/hari, umumnya dalam
bentuk tablet.
4. Psikososial
- terapi keluarga
33

- terapi interpersonal
- terapi tingkah laku
- therapeutic community
- kurangi jumlah dan berat stressor


PROGNOSIS
Rata-rata durasi episode mania adalah sekitar 2 bulan. Dengan 95% sembuh
sempurna. Dhingra & Rabins (1991) mengamati pasien usia lanjur dengan
mania selama 5 - 7 tahun dan menemukan 34% pasien meninggal. Selama
pengamatan, 32% pasien mengalami penurunan fungsi kognitif yang diukur
dengan Mini Mental State Examination dengan skor kurang dari 24. 72%
pasien mengalami bebas dari gejala dan 80% dapat hidup independent.



















34

DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, Harold I., Benjamin J.Sadock. alih bahasa Wicaksana M Roan. 2000.
Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ III.
Jakarta : PT Nuh Jaya.
Roan,Wicaksana Martin. 1979. Ilmu Kedokteran Jiwa Psychiatry. Jakarta
Gelder,Michael, Dennis Gath, Richard Mayou. Oxford Textbook of Psychiatry
2nd edition. Oxford : Oxford University Press
Ingram, I.M., G.C. Timbury, R.M. Mowbray. Editor Peter Anugrah. 2002.
Catatan Kuliah Psikiatri edisi 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai

  • Lapsus Kista Ateroma
    Lapsus Kista Ateroma
    Dokumen17 halaman
    Lapsus Kista Ateroma
    Quritaayun Zendikia Luckita
    100% (1)
  • Lapsus Kista Ateroma
    Lapsus Kista Ateroma
    Dokumen17 halaman
    Lapsus Kista Ateroma
    Quritaayun Zendikia Luckita
    100% (1)
  • F2-Sanitasi TPM
    F2-Sanitasi TPM
    Dokumen5 halaman
    F2-Sanitasi TPM
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat
  • F2-Bahaya Rokok
    F2-Bahaya Rokok
    Dokumen9 halaman
    F2-Bahaya Rokok
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat
  • Diet DM Ayun
    Diet DM Ayun
    Dokumen20 halaman
    Diet DM Ayun
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat
  • Mini Pro Asihanti
    Mini Pro Asihanti
    Dokumen55 halaman
    Mini Pro Asihanti
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat
  • KSPR
    KSPR
    Dokumen2 halaman
    KSPR
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat
  • Visum 150119
    Visum 150119
    Dokumen3 halaman
    Visum 150119
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat
  • Jadwal Jaga Dokter Muda
    Jadwal Jaga Dokter Muda
    Dokumen2 halaman
    Jadwal Jaga Dokter Muda
    Quritaayun Zendikia Luckita
    Belum ada peringkat