Anda di halaman 1dari 12

ILMU PENYAKIT DALAM

KOMPLIKASI HIPERTENSI DAN PENANGANANNYA



Disusun Oleh :
DWI INFANI RAHAYU
091001074


PEMBIMBING :
dr.NINA KARMILA.Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
RANTAUPRAPAT
KATA PENGANTAR


Assalamu alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan paper saya yang berjudul
KOMPLIKASI HIPERTENSI DAN PENANGANANNYA, paper ini ditulis
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam melaksanakan Kepanitraan Klinik
Senior (KKS) dibagian ilmu penyakit dalam RSUD Rantauprapat.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.Nina
Karmila Sp.PD atas bimbingannya sehingga paper ini dapat saya selesaikan.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan paper ini.
Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan paper ini dimasa yang akan datang. Semoga paper ini bermanfaat
bagi kita semua.




Rantauprapat,20 September 2013

Penulis


KOMPLIKASI HIPERTENSI DAN PENANGANANNYA

1.PENDAHULUAN
Salah satu penyakit yang sering muncul seiring berjalannya waktu,
terutama jika dalam silsilah keluarga ada yang menderita adalah tekanan darah
tinggi atau hipertensi. Secara visual, penyakit ini memang tidak tampak
mengerikan, namun bias membuat penderita terancam jiwanya atau paling tidak
menurunkan kualitas hidupnya. Karenanya, hipertensi dijuluki penyakit
terselubung atau silent killer.
Hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah
secara kronis atau dalam jangka waktu lama. Hipertensi adalah penyakit yang
disebabkan oleh tekanan darah yang melewati batas tekanan darah normal.
Tekanan darah tinggi tidak hanya menimpa kaum lansia, tapi siapapun orangnya
apabila tidak bisa menjaga kesehatan akan mudah diserang tekanan darah tinggi.
Secara global, kasus hipertensi terus meningkat di banyak Negara. Pada
tahun 2003, prevalensi hipertensi di Negara mau sekitar 20% dan meningkat
menjadi 37% pada tahun 2005. Berdasarkan data Lance (2008), jumlah pasien
hpertensi di seluruh dunia terus meningkat. Di India jumlah pasien hipertensi
m3encapai 60,4 juta orang pada tahun 2002 dan diperkirakan menjadi 151,7 juta
or Cang pada tahun 2025.
Saat ini penderita hipertensi di Indonesia, diperkirakan 15 juta orang tetapi
hanya 4% yang cotrolled hypertension. Hipertensi terkendali adalah mereka yang
menderita hipertensi dan tahu bahwa mereka menderita hipertensi dan sedang
berobat untuk itu. Sebagai gambaran umum untuk masalah hipertensi ini adalah
tingkat prevalensi sebesar 6-15% pada orang dewasa, sebesar 50% penderita tidak
menyadari diri sebagai penderita hipertensi, sebanyak 70% adalah hipertensi
ringan, dan sejumlah 90% hipertensi esensial.






KOMPLIKASI HIPERTENSI

Hipertensi merupakan suatu kondisi yang diakibatkan adanya peningkatan
yang persisten dari tekanan pembuluh darah arteri yakni tekanan diastolic diatas
90 mmHg sedangkan tekanan darah yang normal umumnya tekanan sistolik tidak
melebihi 140 mmHg dan diastolic tidak melebihi 90 mmHg.
Hipertensi merupakan factor resiko utama untuk terjadinya penyakit
jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal.
Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua system organ dan
akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan
system organ dapat diketahui komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi.
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara lansung
maupun tidak lansung. Kerusakan organ-organ target yang umum di temui pada
pasien hipertensi adalah:
1. Jantung
Hipertropi ventrikel kiri
Angina atau infark miokard
Gagal jantung
2. Otak
Srtoke atau transient ischemic attack
3. penyakit ginjal kronis
4. penyakit arteri perifer
5. retinopati

A. Komplikasi Hipertensi pada Jantung
Peningkatan tekanan darah pada arteri diseluruh jaringan tubuh,
dimana mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah
melalui pembuluh darah mengakibatkan pembesaran otot jantung. Dan ini dapat
menjadi suatu pertanda dari gagal jantung, penyakit jantung koroner, dan suatu
kelainan irama jantung (cardiac arrhythmia).
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi
tekanan darah tinggi ditambah dengan factor neurohormonal yang ditandai oleh
penebalan konsentrik otot jantung. Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat
dari gangguan relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri
(hipertrofi eksentrik). Ragsangan simpatis dan aktivasi system RAA memacu
mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolic ventrikel sampai
tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi miokard
(penurunan gangguan fungsi sistolik).
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pectoris, infark jantung dll) dapat
terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia miokard dan
gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada
hipertensi.
Infark miokard dan angina terjadi jika aliran darah koroner secara
mendadak setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Injuri ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok , hipertensi,
dan akumulasi lipid.
PENANGANANNYA
Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntunan umum (JNC
VII 2003, ESH/ESC 2003). Pasien hipertensi pasca infark jantung sangat
mendapat manfaat pengobatan dengan penyekat beta, penghambat ACE atau
antialdosteron.
Penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target yang paling
sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan
angina pectoris stabil, pilihan obat pertama blocker (BB) dan sebagai alternatif
calcium channel blocker (CCB). Pada pasien dengan sindroma koroner akut
pengobatan hipertensi mulai dengan BB dan Angiotensin converting enzyme
inhibitor (ACEI) dan kemudian dapat menambahkan anti hipertensi lain bila
diperlukan. Pada pasien pasca infark miokard, ACEI, BB dan antagonis aldosteron
terbukti sangat menguntungkan tanpa melupakan penatalaksanaan lipid profil
yang itensif dan penggunaan aspirin.
Pasien hipertensi dengan resiko PJK yang tinggi mendapat manfaat
dengan pengobatan diuretic, penyekat beta dan penghambat kalsium. Pasien
hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi dengan
pengobatan diuretic, penghambat, ACE/ARB, penyekat beta dan antagonis
aldosteron.
Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip
pengobatannya sama dengan pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretic,
penghambat ACE/ARB, penghambat beta dan penghambat aldosteron.
B. Komplikasi Hipertensi pada otak
Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya stroke baik non
perdarahan atau perdarahan, dan juga menjadi faktor terjadinya gangguan jantung
yang menjadi penyebab munculnya emboli otak. Hipertensi yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan stroke, yang dapat menjurus pada kerusakkan otak atau syaraf
hingga hemorrge (kebocoran darah/leaking blood) atau gumpalan darah
(thrombosis) dari pembuluh darah yang mensupali darah ke otak.
Hipertensi sangat berpengaruh pada peredaran darah otak, karena
menyebabkan terjadinya penebalan dan remodeling pembuluh darah hingga
memperkecil diameternya. Perubahan ini menaikkan tahanan vascular dan
memicu terjadinya artheroclerosis, hipertensi juga merubah kemampuan sel-sel
endotel untuk melepas zat vasoaktif dan menimbulkan kenaikan tonus otot dan
menyebabkan mudah terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, selain itu
hipertensi juga mengganggu mekanisme autoregulasi pembuluh darah otak, yang
mengatur kestabilan cerebral blood flow, yakni jika terjadi perubahan tekanan
perfusi ke otak yaitu diantara 70-150 mmHg. Hipertensi yang menahun merubah
rentang autoregulasi hingga tekanan perfusi menurun hingga otak lebih mudah
terkena gangguan aliran darah/iskemik. Gangguan autoregulasi dan kenaikan
komplian pembuluh darah menyebabkan penurunan tekanan perfusi darah dan
aliran darah ke otak, selain itu terjadi gangguan relaksasi endotel, menggangu
mekanisme pembuluh darah untuk melebar untuk dapat mensuplai darah ke
bagian yang mengalami iskemik.
PENANGANANNYA
Oleh karena hipertensi merupakan faktor resiko utama maka penderita
hipertensi dapat dianggap sebagai Stroke prone patient. Pengendalian hipertensi
sebagai faktor resiko akan menurunkan kejadian stroke sebanyak 32%.
Pengendalian stroke dengan faktor resiko hipertensi mempunyai penatalaksanaan
yang spesifik.
Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas stroke.
1. Stroke iskemik akut
Tidak direkomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik
akut, kecuali terdapat hipertensi berat dan menetap yaitu >220
mmHg atau diastolic >120 mmHg dengan tanda-tanda ensefalopati
atau disertai kerusakan target organ lain
Obat-obat anti hipertensi yang sudah dikonsumsi sebelum serangan
stroke diteruskan. Pada fase awal stroke obat anti hipertensi yang
baru ditunda sampai dengan 7-10 hari pasca awal serangan stroke.
Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya 20-25% dari
tekanan darah semula.
Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan tekanan darah
diastolic 105-120 mmHg, terapi darurat harus ditunda, kecuali
terdapat perdarahan intra serebral, gagal ventrikel jantung kiri,
infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta,
ensefalopati hipertensi. Jika peninggian tekanan darah itu menetap
pada 2 kali pengukuran selang waktu 60 ,enit, maka diberikan
candesartan cilexetil 4-16 mg oral selang 12 jam. Jika
monoterapioral tidak berhasil atau jika obat tidak dapat diberikan
peroral, maka diberikan obat intravena yang tersedia.
Batas penurunan tekanan darah sebanyak-banyaknya sampai 20-
25% dari tekanan darah semula.
2. Stroke hemoragik akut
Batas penurunan tekanan darah maksimal 20-25% dari tekanan
darah semula.
Pada penderita dengan riwayat hipertensi sasaran tekanan darah
sistolik 160 mmHg dan diastolic 90 mmHg.
Bila tekanan darah sistolik >230 mmHg atau tekanan darah
diastolic >140 mmHg, berikan nicardipin/diltiazem/nimodipin drip
dan dititrasi dosisnya sampai dengan tekanan darah sistolik 160
mmHg dan tekanan darah diastolic 90 mmHg.

C. Komplikasi Hipertensi pada ginjal
Renin-Angiotensinogen-Aldosteron (RAA) system berperan penting
dalam memelihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskuler. Sistem RAA
dianggap sebagai suatu homeostatic feed back loop dimana ginjal dapat
mengeluarkan rennin sebagai respons terhadap rangsangan seperti tekanan darah
rendah, stress simpatetik, berkurangnya volume darah dan bila keadaan-keadaan
ini normal kembali maka RAA system tidak teraktivasi.
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya
hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh
hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya
menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat
komplikasi yang dapat ditimbulkan.
Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi
merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal di samping faktor-faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia dan
beratnya fungsi ginjal sejak awal. Upaya menurunkan tekanan darah jelas akan
menurunkan faktor resiko kardiovaskular.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut
maupun penyakit ginjal kronik baik pada kelainan glomerulus maupun pada
kelainan vascular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :
1. Pada penyakit glomerulus akut : GN pasca streptokokus, Nefropati,
Membranosa.
2. Pada penyakit vascular : vaskulitis, scleroderma.
3. Pada penyakit ginjal kronik : CKD stage III-V
4. Penyakit glomerulus kronik : tekanan darah normal tinggi.
Penyakit glomerulus akut hipertensi terjadi karena adanya retensi natrium
yang menyebabkan hipervolemi. Retensi natrium terjadi akibat adanya
peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkinkan
oleh karena adanya resistensi relative terhadap hormone natriuretik peptide dan
peningkatan aktivitas pompa Na-K-ATPase di duktus koligentes.
Penyakit ginjal kronik hipertensi oleh karena hal-hal sebagai berikut : retensi
natrium, peningkatan system RAA akibat iskemik relative karena kerusakan
regional, aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal,
Hiperparatiroid sekunder, pemberian eritropoetin.
PENANGANANNYA
Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka
pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok.
Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikat
diuretic sekaligus mengurangi edema yang terjadi pada kelompok ini.
Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah.
Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Bloker (ARB) juga dimungkinkan,
stimulasi terhadap system rennin angiotensiin aldosteron jaringan (tissue-ACE)
dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal.
Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretic atau ACEI/ARB atau calcium
channel bloker (CCB) atau beta bloker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi
secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada
pemberian ACEI atau beta bloker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian
ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi penurunan fungsi ginjal lebih dari
30%, pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran JNC VII tahun 2003,
tekanan darah sasaran pada penyakit ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk
menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan
diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat diatas.
D. Retinopati Hipertensi
Retinopati hipertensi merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan
kelainan pada vaskuler retina pada penderita dengan peningkatan tekanan darah.
Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Marcus Gunn pada abad ke-19 pada
sekelompok penderita hipertensi dan penyakit ginjal. Tanda-tanda pada retina
yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general dan fokal,
perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina dengan bentuk
flameshape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema papilla.
4
Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami beberapa
seri perubahan patofisiologi sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah.
Terdapat teori bahwa terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothial pada tahap
akut sementara pada tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang
menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah.
4
Tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokintriksi secara
generalisata. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arterioles dari
mekanisme autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi.
4
PENANGANANNYA
Mengobati faktor primer adalah sangat penting jika ditemukan perubahan
pada fundus akibat retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan dibawah
140/90 mmHg. Jika telah terjadi perubahan pada fundus akibat arteriosklerosis,
maka kondisi ini tidak dapat diobati lagi. Beberapa studi eksperimental dan
percobaan klinik menunjukkan bahwa tanda-tanda retinopati hipertensi dapat
berkurang dengan mengontrol kadar tekanan darah. Penggunaan obat ACE
inhibitor terbukti dapat mengurangi kekeruhan dinding arteri retina sementara
penggunaan HCT tidak memberikan efek apapun terhadap pembuluh darah retina.
Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan.
4



Indikasi dan Kontraindikasi kelas-kelas utama obat antihipertensi menurut
ESH
Kelas obat Indikasi Kontraindikasi
Mutlak Tidak Mutlak
Diuretika (thiazide) Gagal jantung
kongesif,usia lanjut,
isolated systolic
hypertension, ras
afrika
Gout Kehamilan
Diuretika (loop) Insufisiensi ginjal,
gagal jantung
kongesif

Diuretika (anti
aldosteron)
Gagal jantung
kongesif, pasca
infark miokardium
Gagal ginjal,
hiperkalemia

Penyekat Angina pectoris,
pasca infark
miokardium, gagal
jantung kongesif,
kehamilan,
ntakiaritmia
Asma, penyakit
paru obstruktif
menahun A-V block
(derajat 2 atau 3)
Penyakit pembuluh
darah perifer,
intoleransi glukosa,
atlit atau pasien
yang aktif secara
fisik
Calcium Antagonist
(dihydropiridine)
Usia lanjut, isolated
systolic
hypertension,
angina pectoris,
penyakit pembuluh
darah perifer,
aterosklerosis
karotis, kehamilan
Takiaritmia, gagal
jantung kongesif
Calcium Antagonist
(verapamil,
diltiazem)
Angina pectoris,
aterosklerosis
karotis, takikardia
supraventrikular
A-V block (derajat 2
ataub3), gagal
jantung kongesif

Penghambat ACE Gagal jantung
kongesif, disfungsi
ventrikel kiri, pasca
infark miokardium,
non-diabetik
nefropati, nefropati
DM tipe 1,
proteinuria
Kehamilan,
hiperkalemia,
stenosis arteri
renalis bilateral

Angiotensin II
receptor antagonist
(AT1-blocker)
Nefropati DM tipe
2, mikroalbuminuria
diabetic,
proteinuria,
hipertrofi ventrikel
Kehamilan,
hiperkalemia,
stenosis arteri
renalis bilateral





kiri, batuk karena
ACEI


blocker Hyperplasia prostat
(BPH),
hiperlipidemia
Hipotensi ortostatis Gagal jantung
kongesif


Terapi nonfarmakologi terdiri dari :
- Menghentikan merokok
- Menurunkan berat badan berlebih
- Menurunkan konsumsi alcohol berlebih
- Latihan fisik
- Menurunkan asupan garam
- Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.
1










Tabel 4. Pilihan Obat Antihipertensi untuk Kondisi Tertentu
Indikasi yang Memaksa Pilihan Terapi Awal
Gagal Jantung
Pasca Infrak Miokard
Risiko Penyakit
Pembuluh Darah
Koroner
Diabetes
Penyakit Ginjal Kronis
Pencegahan stroke berulang
Thiaz, BB, ACEI, ARB. Aldo
BB, ACEI, Aldo Ant
Thiaz, BB, ACEI, CCB


Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB
ACEI, ARB
Thiaz, ACEI
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W.et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi V.hal
1086 dan 1777 Jakarta 2009
2. Mangku, (2011). Internet. Dokter Spesialis Hipertensi buat Konsensus.
www.suarakarya-online.com 20 januari 2011.
3. Mansjoer, arif M. Kapita Selekta, Jilid 1, Edisi Ketiga. Jakarta : Media
Aesculapis, 2000
4. http://cetrione.blogspot.com/2008/06/retinopati-hipertensi.html?m-1

Anda mungkin juga menyukai