Anda di halaman 1dari 5

HAMKA

Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka,
yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Beliau meninggal di Jakarta, 24
Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawanIndonesia, sekaligus ulama, ahli
filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9
November 2011.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan
menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern.
Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang
berasal dari kata abi atau abuyadalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau
seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang
Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau,
ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.

KEHIDUPAN
Hamka merupakan cucu dari Tuanku Kisai, mendapat pendidikan rendah pada usia 7
tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya mencapai 10
tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka
kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab, salah satu pelajaran yang
paling disukainya. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang
gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk
membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama
maupun sastra.
Hamka mulai meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu di Pulau Jawa,
sekaligus ingin mengunjungi kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur yang tinggal
di Pekalongan, Jawa Tengah. Untuk itu, Hamka kemudian ditumpangkan dengan
Marah Intan, seorang saudagar Minangkabau yang hendak ke Yogyakarta.
Sesampainya di Yogyakarta, ia tidak langsung ke Pekalongan. Untuk sementara waktu,
ia tinggal bersama adik ayahnya, Jafar Amrullah di kelurahan Ngampilan, Yogyakarta.
Barulah pada tahun 1925, ia berangkat ke Pekalongan, dan tinggal selama enam bulan
bersama iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Pada tahun 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sekembalinya dari Mekkah, dalam suatu rapat adat niniak mamaknagari Sungai
Batang, kabupaten Agam, Engku Datuk Rajo Endah Nan Tuo, memaklumkan Hamka
dengan gelar Datuk Indomo, yang merupakan gelar pusaka turun temurun dalam suku
Tanjung. Pada tahun 1950, Hamka kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji
yang kedua kalinya.
Pada tanggal 5 April 1929, Hamka dinikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan,
yang merupakan anak dari salah satu saudara laki-laki ibunya. Dari perkawinannya
dengan Siti Raham, ia dikaruniai 11 orang anak. Mereka antara lain Hisyam, Zaky,
Rusydi, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif, dan Syakib. Setelah istrinya
meninggal dunia, satu setengah tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1973, ia
menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Hj. Siti Khadijah. Menjelang akhir
hayatnya ia mengangkat Jusuf Hamka, seorang muallaf, peranakanTionghoa-
Indonesia sebagai anak.

KARIER
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927.
Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai
cabang Muhammadiyah tersebut pada tahun 1928. Pada tahun 1931, ia diundang
ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia
melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik,Medan, dan Tebing Tinggi,
sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1932 ia dipercayai oleh pimpinan
Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika di Makassar,
sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia
memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam
mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak
beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi
pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh
Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba
menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut
diberi nama "al-Mahdi".
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang,
kemudian berangkat ke Medan. Di Medanbersama M. Yunan Nasutionia mendapat
tawaran dari Haji Asbiran Ya'kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris
Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat.
Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama pena Hamka, melalui
rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik
masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan
membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya
di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung
antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim,
dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang
Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan
kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di
antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi
Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada
tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang
menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden
majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan
ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa
negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri
Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman. Di
antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai
Dajlah. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada
tahun 1951, dan pada tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan
pemerintah setempat.
Politik
Hamka juga aktif di kancah politik melalui Masyumi. Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih
menjadi anggota konstituante mewakili Jawa Tengah. Akan tetapi pengangkatan
tersebut ditolak karena merasa tempat tersebut tidak sesuai baginya. Atas desakan
kakak iparnya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur, akhirnya Hamka menerima untuk
diangkat menjadi anggota konstituante. Sikapnya yang konsisten terhadap agama,
menyebabkannya acapkali berhadapan dengan berbagai rintangan, terutama terhadap
beberapa kebijakan pemerintah. Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan
oleh Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan
ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit
Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai
menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang
pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan
terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU
Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal
bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali
fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan
pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk
melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena
fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Sastrawan
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun
1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas,
Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia
menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan
menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah
Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan
kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga
besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-
Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya
sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund
Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain
seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang
pertama dalam bahasa Minang dengan judulSi Sabariah. Kemudian, ia juga menulis
buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial
kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya
ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya
seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah,
dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra
di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik
peringkat nasional maupun internasional.
Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo

atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam
dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia
memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang
kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di
Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh
ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di negara negara berpenduduk
muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina
Selatan, dan beberapa negara Arab.

Anda mungkin juga menyukai