Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ANEMIA DEFISIENSI BESI







DISUSUN OLEH:
ERMI ATIYAH
110.2009.100

PEMBIMBING:
dr. Nurvita Susanto, Sp.A
dr. Budi Risjadi, Sp.A, M.kes


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Soreang Bandung
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan referat anak
dengan mengambil judul ANEMIA DEFISIENSI BESI.
Tugas ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan Anak di
RSUD Soreang. Penyelesaian tugas ini juga tak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati saya haturkan ucapan terima kasih
kepada pembimbing dr. Nurvita Susanto, Sp.A.
Saya sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki,
oleh karena itu saya berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
tugas ini dan sebagai bekal saya untuk menyusun tugas-tugas lainnya dikemudian hari.
Semoga referat ini banyak memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.


Soreang, Mei 2013


ERMI ATIYAH











BAB I
PENDAHULUAN
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya kadar hemoglobin darah. Walaupun
nilai normal dapat bervariasi antar laboratorium, kadar hemoglobin biasanya kurang dari
13,5 g/dl pada pria dewasa dan kurang dari 11,5 g/dl pada wanita dewasa. Sejak usia 3
bulan sampai pubertas, kadar hemoglobin yang kurang dari 11,0 g/dl menunjukkan
anemia. Tingginya kadar hemoglobin pada bayi baru lahir menyebabkan ditentukannya
15,0 g/dl sebagai batas bawah pada waktu lahir.
6
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab paling banyak anemia gizi di
seluruh dunia, terutama di Negara berkembang. Anemia defisiensi besi juga merupakan
masalah paling sering dijumpai pada anak, sehingga banyak menimbulkan morbiditas
dan mortalitas. Keadaan ini merupakan serangkaian proses proses yang diawali dengan
terjadinya deplesi pada cadangan besi, defisiensi besi dan akhirnya anemia defisiensi besi.
Angka kejadian anemia defisiensi besi paling banyak ditemukan pada bayi dan anak.
Pertumbuhan yang cepat, pola makan yang tidak adekuat, infeksi, perdarahan saluran cerna,
malabsorpsi, ibu hamil yang mengalami anemia, berat lahir rendah dan usia kelahiran kurang
bulan, merupakan penyebab anemia defisiensi besi.
9
Masalah anemia defisiensi besi juga ditemukan diderita oleh 8,1 juta anak balita,
10 juta anak usia sekolah dan 2 juta ibu hamil (Depkes RI, 2007). Kejadian anemia
banyak terjadi pada siswa Sekolah Dasar (SD). Hal ini sesuai laporan penelitian yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) di Kabupaten Tangerang, yang menyatakan
bahwa penelitian yang dilakukan pada 1.000 orang siswa SD, hasilnya mengindikasikan
sebanyak 54% siswa SD menderita anemia.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANEMIA DEFISIENSI BESI
2.1.1 Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
besi yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk
anemia yang paling sering di dunia, terutama dinegara yang sedang berkembang.
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari
setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.
1
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak
sekolah dan masa remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut
disertai asupan besi yang rendah, penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang
kurang sehingga dapat menyebabkan exudative enteropathy dan kehilangan darah
akibat menstruasi.
2
2. 1. 2 Epidemiologi
Secara epidemiologi, prevalens tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan
awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan
dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu
ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB . Angka
kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB
pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%,
64,8% dan 48,1%.
8
Data WHO dari tahun 1993 hingga 2005 menunjukkan kira-kira 24,8% atau 1,62
milyar dari populasi dunia menderita anemia dan 47,4% darinya merupakan anak
usia prasekolah (0-4.99 th). Di Asia Tenggara pula, 65.5% anak usia prasekolah
menderita anemia.
7
Angka di Indonesia juga tercatat tinggi. Hal ini dapat
ditunjukkan melalui penelitian oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada
1.000 anak sekolah di 11 provinsi di Indonesia menunjukkan prevalensi anemia
sebanyak 20-25%.
10

2.1.3 Metabolisme zat besi
Zat besi bersama protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu, besi juga terdapat dalam
beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA,
neurotransmitter, dan proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan
dampak yang merugikan terhadap system saluran pencernaan, susunan saraf pusat,
kardiovaskular, imunitas dan perubahan tingkat selular.
1
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam
makanan, biovaibilitasnya besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus.
Di dalam tubuh orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kbBB atau sekitar
4 gram. Lebih kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% dalam
bentuk ferritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar
0,007% sebagai transferrin dan 0.2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya
mengandung besi sekitar 0,5 gram.
1
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:

a. Fase Luminal

Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-
heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan
bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat
absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung
(dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung.
Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat
diserap di duodenum.


b. Fase Mukosal

Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam
lambung. Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut
sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase
(Gambar 1), mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB).
Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1).
Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin,
sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada
proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh
hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus.
Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel
mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin
akan kembali ke dalam lumen usus.

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke
basolateral diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada
dasar kripta (Gambar 2). Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke
arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-
point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan, dan
regulator eritropoetik (Bakta, 2006).

c. Fase Korporeal

Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus.
Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul
transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada
transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor =
Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas.

Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi
oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga
membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom
sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan
dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin
dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat
dipergunakan kembali.

Gambar 1. Absorbsi Besi di Usus Halus (sumber: Andrews, N.C., 2005.
Understanding Heme Transport. N Engl J Med; 23: 2508-9)

Gambar 2. Regulasi Absorbsi Besi (sumber: Andrews, N.C., 1999. Disorders of
Iron Metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin
dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk
pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin
pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin.
Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh
enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks
persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya.

2.1.4 Etiologi Anemia Defisiensi Besi
Menurut patogenesisnya terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan
oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang mengandung besi , kebutuhan besi yang
meningkat dan jumlah yang hilang.
Kekurangan besi dapat disebabkan:
1
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis:
1. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa
remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini insiden ADB
meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat 3 kali dan
massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir,
bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat
badannya dapat mencapai 6 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
2. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi.
3. Infeksi
2. Kurangnya besi yang diserap.
1. Masuknya besi dari makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang
banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200
mg besi dalam satu tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama digunakan untuk
pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI ekslusif jarang menderita
kekurangan besi dalam 6 bulan pertama. Hal ini besi yang terkandung di dalam
ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu formula.
Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsorpsi bayi, sedangkan dari PASI
hanya 10% besi yang dapat diabsorpsi.
2. Malabsorpsi besi
Keadan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun
penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian
atas usus halus, tempat utama peryerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
Anemia Defisiensi Besi. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan
status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg,
sehingga kehilangan darah 3-4 ml/hari (1,5-2 mg besi ) dapat mengakibatkan
keseimbangan negatif besi.
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induce
enterohepathy, ulkus peptikum karena obat-obatan ( asam asetil salisilat,
kertikosteroid, indometasin, obat AINS) dan infestasi cacing (Ancylostoma
doudenale dan Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal
dan menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
5. Hemoglobinuria.
Pada keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup jantung
buatan. Pada paroxysmal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi
melalui urin rata-rata 1,8-7,8 mh/hari.
1. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium
berisiko menderita ADB.
2. Idiopatthic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru
yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul.
Keadaan ini dapat berulang menyebabkan kadar Hb menururn drastis hingga 1,5-3
g/dl dalam 24 jam.
1. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolah raga berat seperti olah raga lintas alam, sekitar 40%
remaja perempuan dan 17 % remaja laki-laki feritin serumnya < 10 ug/dl.
Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia hilang timbul
pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.

Faktor predisposisi lainnya pada Anemia defisiensi besi :
4
1. Status hematologik wanita hamil
2. Berat badan lahir rendah
3. Partus, dimana terjadi kelahiran abnormal dan pengikatan tali pusat terlalu dini
4. Pemberian makanan yang tidak adekuat karena ketidaktahuan ibu, perilaku
pemberian makanan, keadaan sosial, dan jenis makanan.
5. Infeksi menahun dan infeksi akut berlangsung.
6. Infestasi parasit, seperti ankilostoma, Trichuris trichura, dan amuba.

2.I.5 Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negative besi yang
berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan yang negative ini menetap akan
menyebabkan cadangan besi terus berkurang.
1

1. Tahap pertama
Tahap ini disebut Iron depletion atau storage iron deficiency, yang di tandai
dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini
terjadinya peningkatan absorpsi besi non heme. Ferritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi
masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron
binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.

2.I.6 Diagnosis
Anamnesis
2

1. Pucat yang berlangsung lama tanpa perdarahan
2. Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan tubuh
menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar.
3. Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah,
rambut
4. Memakan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan makanan yang
menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras dan gandum),
serta konsumsi susu yang menjadi sumber utama sejak lahir hingga 2 tahun
(milkoholics).
5. Infeksi malaria, infeksi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.
Pemeriksaan Fisik dan Manifestasi Klinis
Anak tampak lemas, sering berdebar-debar, lekas lelah, pucat, sakit kepala,
iritabel dan lainnya. Mereka tidak tampak sakit karena perjalanan penyakitnya
bersifat menahun. Tampak pucat terutama pada mukosa bibir dan faring, telapak
tangan dan dasar kuku, konjungtiva ocular berwarna kebiruan atau putih mutiara.
Papil lidah tampak atrofi. Jantung agak membesar dan terdengar murmur sistolik
yang fungsionil.
5
1. Bila kadar Hb<5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
2. Pucat ditemukan bila kadar Hb<7 g/dL
3. Tanpa organomegali
4. Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardi, gagal
jantung, protein losing enteropathy
5. Rentan terhadap infeksi
6. Gangguan pertumbuhan
7. Penurunan aktifitas kerja

Pemeriksaan penunjang:
2
8. Darah lengkap yang terdiri dari: Hemoglobin rendah; MCV, MCH. Dan MCHC
rendah
9. Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah merupakan
salah satu skrining defisiensi besi
Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila RDW normal (<13%)
pada talassemia trait
Ratio MCV/RBC (Mentzer index) 13 dan bila RDW index
(MCV/RBCxRDW) 220 merupakan tanda anemia defisiensi besi, sedangkan
jika kurang dari 220 tanda talassemia trait.
Apusan darah tepi:mikrositik, hipokromik, anisositosis dan poikilositosis
10. Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL dipertimbangkan
sebagai diagnostic defisiensi besi.
11. Nilai retikulosit:normal, atau menurun, menunjukkan produksi sel darah merah
yang tidak adekuat
12. Serum ferritin reseptor (STIR): sensitive untuk menentukan defisiensi besi,
mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia
akibat penyakit kronik
13. Kadar zinc protophorphyrin (ZPP): akan meningkat
14. Terapi besi (therapeutic trial): respon pemberian preparat besi dengan dosis 6
mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5-10 hari
diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1g/dL atau hematokrit 3% setelah 1 bulan
menyokong diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan terapi,
hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk menilai keberhasilan terapi.
Kriteria Diagnosis ADB Menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31%(N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50% (N:80-180g/dL)
4. Saturasi transferin <15%(20-50%)

Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana terbatas
diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anemia tanpa perdarahan
2. Tanpa organomegali
3. Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target
4. Respon terhadap pemberian terapi besi
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
1
1. Anemia hipokrom mikrositik
2. Saturasi transferin <16%
3. Nilai FEP serum >100 ug/dL eritrosit
4. Kadar ferritin serum <12 ug/dL
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, ferritin serum dan FEP)
harus di penuhi.
Lanzkowsky menyimpulkan ADB dapat diketahui melalui:
1
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan
kadar MCV, MCH dan MCHC yang menurun. RDW >17%
2. FEP meningkat
3. Ferritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST <16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi:
6. Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
7. Kadar Hb meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat 1% per
hari
8. Sumsum tulang
9. Tertundanya maturasi sitoplasma
10. Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Diagnosis Banding:
11. Thalassemia minor
12. Anemia karena penyakit kronik
13. Hemoglobinopathy (Hb E)
14. Lead Poisoing/ keracunan timbal
Pemeriksaan lab ADB Thalassemia minor Anemia penyakit
kronik
MCV N,
Fe serum N
TIBC N
Saturasi transferin N
FEP N N,
Ferritin serum N
Dikutip dari Lukens (1995)



Hipokrom makrositik


Pada keracunan timbal memberikan gambaran tepi yang serupa dengan ADB
tetapi di dapatkan basophilic stipling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar
FEP meningkat. Diagnosis di tegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah.
1
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan
system heme, bias di dapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran
hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan populasi sel
darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya meningkat, pada
pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah berinti yang
mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang disebut ringed
sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.
1


2.1.7 Pengobatan

Mengetahui faktor penyebab: riwayat nutrisi dan kelahiran, adanya perdarahan yang
abnormal, pasca pembedahan
1. Preparat besi
2

Preparat yang tersedia ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat,dan
ferrous suksinat. Dosis besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Respon terapi
dengan menilai kadar hemoglobin/hematokrit setelah satu bulan, yaitu
kenaikan kadar Hb sebesar 2 g/dL atau lebih.
Bila respon ditemukan, terapi dilanjutkan sampai 2-3 bulan.
Ferrous fumarat 33% merupakan besi elemental
Ferrous glukonat :11,6% merupakan besi elemental
Ferrous sulfat:20% merupakan besi elemental.

Waktu setelah
pemberian besi
Respon
12-24 jam

36-48 jam
48-72 jam
4-30 hari
1-3 bulan
Penggantian enzim besi intraseluler; keluhan subjektif
berkurang, nafsu makan bertambah.
Respon awal dari sumsum tulang:hyperplasia eritroid.
Retikulositosis, puncaknya pada hari ke 5-7
Kadar Hb meningkat
Penambahan cadangan besi
Dikutip dari Schwartz, 2000

2. Terapi ADB:
11

1. Umum: makanan gizi seimbang dan mengatasi factor penyebab (infeksi dan
perdarahan)
2. Khusus:
1. preparat besi : 6 mg Fe elemental/kgBB/hari p.o di bagi dalam 3 dosis, diberikan
di antara waktu makan. Pemberian dilanjutkan minimal 8 minggu sesudah Hb
normal. Bila tidak memungkinkan p.o diberikan iron-dextran complex i.m
(imferon) dosis:
dosis besi(mg)=BB(kg)x kadar Hb yg diinginkan (g/dL)x2,5
2. asam askorbat 100mg tiap 15 mg Fe elemental (untuk meningkatkan absorpsi
besi)


3. Transfusi darah
Jarang diperlukan, hanya diberi pada keadaan anemia yang sangat berat
dengan kadar Hb <4 g/dL. Komponen darah yang diberikan PRC dengan
dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretic seperti
furosemid.
1
Diberikan untuk meningkatkan Hb sampai 7g/dL.
11

Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian
transfuse tukar menggunakan PRC yang segar.
1

2.1.8 Pencegahan
2
Pencegahan primer:
1. Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan
2. Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
3. Menggunakan sereal/makanan tambahan yang di fortifikasi tepat pada waktunya
yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun.
4. Pemberian vitamin C seperti jaruk, apel pada waktu makan dan minum preparat
besi, umtuk meningkatkan absorpsi besi serta menghindari bahan yang
menghambat absorpsi besi seperti teh,fosfat, dan fitat pada makanan.
5. Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang
mengandung kadar besi yang berasal dari hewani.
6. Pendidikan kebersihan lingkungan

Pencegahan sekunder:
1. Skrining ADB
2. Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya disesuaikan
dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat masih controversial.
American academy of pediatrics (AAP) menganjurkan antara usia 9-12 bulan, 6
bulan kemudian, dan usia 24 bulan. Pada daerah dengan resiko tinggi dilakukan
tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun.
3. Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, Fe serum, dan trial
terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.
4. Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu alat
skrining ADB.
5. Skrinign yang paling sensitive, mudah dan dianjurkan yaitu zinc erythrocyte
protophorpyrin (ZEP).
6. Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan
sebaiknya difikirkan melakukan skrining deteksi ADB dan segera member terapi

7. Suplementasi besi
Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di daerah dengan
prevalensi tinggi. Dosis elemental yang dianjurkan:
8. Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1 mg/kgBB/hari
9. Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
10. Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari diberikan sejak usia 2 minggu
11. Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
12. Bahan makanan yang sudah di fortifikasi seperti susu formula untuk bayi dan
makanan pendamping ASI seperti sereal.

2.1.9 Prognosis
Prognosis baik, bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi
saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinik lainnya akan membaik dengan pemberian
preparat besi.
1

Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan
beberapa kemungkinan sebagai berikut:
1
1. Diagnosis salah
2. Dosis obat tidak adekuat
3. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
4. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung
menetap
5. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti:
infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
6. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antacid yang berlebihan
pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).








DAFTAR PUSTAKA
1. Permono B., dkk, Anemia Defisiensi Besi, dalam buku ajar hematology -
oncology , Badan penerbit IDAI: Jakarta, 2010; hal 30-42.
2. Panduan Pelayanan Medis, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, Februari
2005; hal 1-7.
3. Bakta IM, Anemia Hipokrom Mikrositik dengan Gangguan Metabolisme Besi,
Hematologi Klinik Ringkas. Ed.1, EGC, Denpasar, 2006: hal 11-38.
4. Mansjoer A, Wardhani W. dkk , Hematologi Anak, Kapita Selekta Kedokteran,
ed. 3, Media Aesculapius FKUI, 2001 : hal 493-494
5. Abdoerachman MH, dkk (1985) Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
cetakan ke11, Infomedika Jakarta.
6. Hoffbrand AV. Anemia defisiensi besi dan anemia hipokrom lain, Dalam : kapita
selekta hematologi. Ed.2, EGC, Jakarta, 2005; hal 28-44.
7. WHO (2008) Prevalens of Anaemia in children. Bull World Health Org.
(60):111-17
8. Windiastuti E (2009) Anemia Defisiensi Besi Pada Bayi dan Anak, UKK
Hematologi-Onkologi IDAI
9. Allen L, Catterline-Sabel (2001) Prevalence and Cause of nutritional anemis. Boca
Raton. CRC Press. Pp:7
10. WHO (2008) Worldwide Prevalens of Anaemia 1993-2005. Bull World Health
Org. (60):111-17
11. Garna H dan Nataprawira HM (2012) Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Ed.4, cetakan pertama. Dep.IKA FK UNPAD-RSHS Bandung.
Hal:283-285

Anda mungkin juga menyukai