Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kanker serviks (kanker leher rahim) merupakan keganasan yang terjadi pada
leher rahim, yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak
liang senggama (vagina). Kanker serviks adalah keganasan yang menjadi penyebab
kematian kedua tertinggi pada wanita setelah kanker payudara di Indonesia.
1

Berdasarkan data International Agency fo Research on Cancer (IARC) pada tahun
2008, kanker serviks menempati urutan ketiga keganasan yang paling banyak
menyerang wanita.
2
Kanker serviks merupakan tumor ganas yang tumbuh dari epitel
gepeng yang melapisi serviks, yang timbul pada batas antara epitel yang melapisi
ektoserviks dan endoserviks yang disebut sebagai zona transisional atau
squamocolumnar junction. Kanker serviks biasanya menyerang wanita usia produktif,
antara 30 60 tahun, meskipun juga dapat dijumpai pada usia 15 17 tahun, yang
diawali dengan infeksi dari Human Papilloma Virus (HPV) Tipe 16 dan 18. Kanker
serviks terutama menyerang wanita dengan faktor resiko antara lain: jumlah paritas
yang tinggi, usia hubungan seksual pertama kali kurang dari 16 tahun, kehamilan
pertama di usia muda, perilaku seksual bergonta-ganti pasangan, penyakit menular
seksual, higiene area genital yang jelek, merokok, dan defisiensi nutrisi.
3
Menurut WHO, pada tahun 2012 diperkirakan dijumpai sekitar 500.000 penderita
baru dan 80% dari penderita tersebut berasal dari negara berkembang.
4
Kanker
serviks juga menjadi penyebab kematian utama akibat kanker pada usia produktif di
negara berkembang. Meskipun demikian, kanker serviks seharusnya dapat dicegah,
mengingat pada proses onkogenesisnya ditemukan fase pra-kanker, yang
membutuhkan waktu yang cukup lama sebelum menjadi kanker. Pap smear, sebuah
skrining yang dikembangkan Papanicolau telah memungkinkan penemuan kanker
leher rahim pada stadium pra kanker sehingga dapat dikelola dengan lebih baik,
namun demikian kurangnya sosialisasi dan pemahaman masyarakat di negara
berkembang membuat angka insidensinya tetap tinggi.
3
Di Indonesia belum terdapat jumlah pasti angka kejadian kanker serviks, namun
diperkirakan sekitar 90 100 kasus kanker serviks per 100.000 penduduk.
5

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2008, jumlah
penderita kanker serviks menempati urutan kedua pada pasien rawat inap di seluruh
RS di Indonesia, sebesar 10,3% dari total pasien rawat inap.
6
Rumah Sakit Umum
Pusat Dr. Kariadi merupakan rumah sakit rujukan propinsi untuk daerah Jawa Tengah
dan Kalimantan, sehingga pasien yang berasal dari kedua daerah tersebut berhak
untuk mendapatkan rujukan ke RSUP Dr. Kariadi. Sumber pembiayaan pasien
beragam, mulai dari asuransi kesehatan pegawai negeri sipil (Askes), jaminan
kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda),
asuransi swasta, maupun pembiayaan swadana (non-asuransi). Kasus kanker serviks
di RSUP Dr. Kariadi menempati urutan ke Jumlah kasus penderita kanker
serviks di rawat inap RSUP Dr. Kariadi antara periode Januari 2007 hingga Januari
2012 berjumlah .. kasus. Sedang untuk pasien rawat jalan, kasus kanker serviks
selama periode bulan Januari 2007 hingga Januari 2012 sebanyak . kasus.
7

Sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesmas) atau Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda) meliputi pembiayaan untuk skrining maupun
pengobatan kanker serviks di Indonesia, khususnya di RSUP Dr. Kariadi. Namun
demikian, tidak semua penderita kanker serviks pengobatannya ditanggung oleh
Jamkesmas maupun Jamkesda. Untuk terapi kanker serviks, khususnya kanker
serviks stadium III B, Divisi Ginekologi Onkologi RSUP Dr. Kariadi menetapkan
kebijakan terapi mengikuti rekomendasi FIGO.
8
Sesuai dengan rekomendasi FIGO,
terapi definitif untuk kanker serviks stadium III B adalah kemoradiasi.
9
Bagi pasien
dengan pembiayaan pribadi (swadana), terapi kemoradiasi dapat langsung dilakukan
setelah pasien terdiagnosis kanker serviks stadium III B. Namun demikian, mengingat
keterbatasan fasilitas radioterapi yang dimiliki RSUP Dr. Kariadi, pasien yang
menjadi tanggungan Jamkesmas/Jamkesda harus menunggu selama lebih kurang 6
bulan sampai 1 tahun untuk mendapat terapi radiasi. Selama pasien belum
mendapatkan radiasi, pasien mendapat kemoterapi neoadjuvant berupa regimen
cisplatin paclitaxel. Harga regimen cisplatin paclitaxel berkisar antara Rp
.. per kali pemberian. Harga tersebut belum termasuk biaya yang harus
dikeluarkan apabila kondisi pasien memburuk dan harus dilakukan perbaikan kondisi
pasien sebelum kemoterapi.
8
Hal tersebut kemudian memunculkan pertanyaan,
bagaimana perbandingan tingkat efektifitas dan efisiensi pembiayaan yang
dikeluarkan oleh pihak penjamin (Jamkesmas dan Jamkesda) yang melewati tahap
pemberian kemoterapi neoadjuvant, dengan pembiayaan pasien swadana yang
langsung mendapat kemoradiasi pada penderita kanker serviks stadium III B di RSUP
Dr. Kariadi.

1.2 Permasalahan
Melihat perbedaan prosedur penatalaksanaan pada pasien dalam tanggungan
Jamkesmas/Jamkesda dengan pasien swadana, dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
Bagaimanakah perbandingan antara tingkat efektifitas dan efisiensi pembiayaan
yang dikeluarkan oleh pihak penjamin (Jamkesmas dan Jamkesda) dengan
pembiayaan pasien swadana pada penderita kanker serviks stadium III B di RSUP Dr.
Kariadi periode Januari 2007 Januari 2012?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektifitas dan efisiensi
pembiayaan yang dikeluarkan oleh pihak penjamin (Jamkesmas dan Jamkesda)
dengan pembiayaan pasien swadana pada penderita kanker serviks stadium III B di
RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2007 Januari 2012.


1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui efektifitas dan efisiensi pembiayaan yang dikeluarkan pihak
penjamin (Jamkesmas dan Jamkesda) untuk penderita kanker serviks stadium
III B di RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2007 Januari 2012.
2. Mengetahui efektifitas dan efisiensi pembiayaan swadana penderita kanker
serviks stadium III B di RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2007 Januari
2012.
3. Membandingkan antara efektifitas dan efisiensi pembiayaan oleh pihak
penjamin dengan pembiayaan swadana pada penderita kanker serviks stadium
III B di RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2007 Januari 2012.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi RSUP Dr. Kariadi untuk
mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi pembiayaan oleh pihak penjamin
(Jamkesmas / Jamkesda) pada pengobatan kanker serviks stadium III B dan
mengetahui apakah biaya yang dikeluarkan oleh pihak penjamin untuk
kemoterapi neoadjuvant lebih efisien dibandingkan dengan pembelian alat
radioterapi baru.
2. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak penjamin
(Jamkesmas/Jamkesda) sebagai evaluasi tentang efektifitas pembiayaan
pengobatan kanker serviks stadium III B, dan dapat menjadi dasar
pertimbangan untuk pembuatan kebijakan selanjutnya.
3. Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti untuk mengaplikasikan ilmu yang
dimiliki dan menambah wawasan dan pengalaman dalam penelitian.
4. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.

1.5 Orisinalitas
Penelitian seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya.















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim, yang merupakan
bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama (vagina).
Penyebab tersering dari kanker serviks adalah infeksi Human Papilloma Virus (HPV)
Tipe 16 dan 18, di mana ditemukan virus tersebut pada 95% kasus kanker serviks.
1
Kanker serviks tumbuh dan berkembang dari epitel gepeng yang melapisi serviks,
yang timbul pada batas antara epitel yang melapisi ektoserviks dan endoserviks yang
disebut sebagai zona transisional atau squamocolumnar junction. Kanker serviks
merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemui dalam bidang ginekologi, dan
perjalanan onkogenesisnya dari lesi pra-kanker hingga menjadi ganas membutuhkan
beberapa waktu.
3

2.2 Epidemiologi Kanker Serviks
Kanker serviks merupakan jenis keganasan kedua terbanyak pada populasi
wanita. Kanker serviks diderita oleh sekitar 1,4 juta wanita di seluruh dunia dan
diperkirakan sekitar 500.000 kasus baru ditemukan setiap tahunnya, dan tiap tahun
231.000 wanita meninggal akibat kanker serviks.
10
Kanker serviks sering menyerang
wanita usia produktif, antara 30 60 tahun, namun juga dapat terjadi pada wanita
muda usia 15 17 tahun, maupun usia menginjak dekade ketujuh. Namun, pada usia
tua, skrining kanker serviks jarang dilakukan, sehingga angka insidensinya
kemungkinan lebih tinggi dari perkiraan.
3
Kanker serviks merupakan masalah signifikan di negara berkembang, di mana
80% kasus kanker serviks ditemukan di negara berkembang. Hal ini diperkirakan
akibat faktor sosioekonomi yang lebih rendah, di mana hanya sekitar lima persen
wanita di negara berkembang yang melakukan skrining terhadap kanker serviks.
Sementara di negara maju, dalam 10 dekade terakhir, lebih dari separuh populasi
wanitanya sudah melakukan skrining kanker serviks.
11
Di Indonesia belum terdapat jumlah pasti angka kejadian kanker serviks, namun
diperkirakan sekitar 90 100 kasus kanker serviks per 100.000 penduduk.
5

Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2008, jumlah
penderita kanker serviks menempati urutan kedua pada pasien rawat inap di seluruh
RS di Indonesia, sebesar 10,3% dari total pasien rawat inap.
6

2.3 Etiologi Kanker Serviks
Kanker serviks disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV). Virus tersebut
bersifat spesifik dan hanya tumbuh dalam sel manusia, terutama pada epitel mulut
rahim. Infeksi virus HPV sering terjadi pada wanita yang aktif secara seksual. Dari
pemeriksaan laboratorium, ditemukan bahwa lebih dari 90% kanker serviks
mengandung HPV.
12
HPV merupakan virus DNA yang memiliki rantai ganda berupa
genom yang melingkar dengan ukuran 8000 Dalton. Menurut risikonya terhadap
kanker serviks HPV dibagi menjadi risiko rendah dan risiko tinggi. Risiko rendah
terdiri dari tipe 6, 11, 42, 43, dan 44, yang merupakan tipe non-onkogenik, di mana
manifestasinya hanya akan menimbulkan lesi jinak seperti kutil atau jengger ayam.
HPB risiko tinggi terdiri dari tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, dan
68, dan disebut juga tipe onkogenik, jika infeksi berlanjut tanpa diketahui dan tanpa
pengobatan adekuat, maka akan menjadi kanker. HPV merupakan virus yang sangat
mudah menular baik melalui genitalia maupun kontak kulit ke kulit dengan penderita
HPV, namun terutama lewat hubungan seksual.
13
Infeksi HPV menyebabkan diplasia pada lapisan epitel mulut rahim, yang
menjadi sebuah lesi pra-kanker. HPV tipe 6 dan 11 berkaitan erat dengan displasia
ringan, sementara HPV tipe 16 dan 18 berkaitan dengan displasia berat.
3
Displasia
berat terjadi dalam waktu median 26 setelah infeksi HPV terdeteksi, sementara 15%
displasia ringan akan menjadi berat dalam kurun waktu 2 tahun, dan sepertiga dari
displasia berat akan menjadi karsinoma atau kanker invasif dalam waktu 10 tahun
jika tidak mendapatkan terapi yang segera dan adekuat.
13

2.4 Faktor Risiko Kanker Serviks
Beberapa faktor risiko yang dapat memengaruhi terjadinya kanker serviks antara
lain adalah:
1. Aktivitas seksual sebelum berusia 20 tahun dan usia dari kehamilan pertama
Wanita dengan aktivitas seksual dini memiliki risiko tinggi untuk
terinfeksi virus HPV. Pada usia dini epitel vagina dan serviks belum terbentuk
sempurna dan keseimbangan hormonal juga belum terbentuk sempurna. Hal
ini memudahkan timbulnya lesi pada vagina atau serviks yang dapat
menimbulkan infeksi.
13
Wanita yang kehamilan pertamanya di bawah usia 17
tahun memiliki risiko 2 kali lebih tinggi untuk terkena kanker serviks
dibandingkan dengan wanita yang menunda kehamilan pertamanya hingga
usia 25 tahun atau lebih.
12

2. Faktor usia
Wanita yang berusia 35 50 tahun dan masih aktif berhubungan seksual
memiliki prevalensi 5 10% mengidap kanker serviks. Meskipun seiring
dengan bertambahnya usia risiko terinfeksi HPV berkurang, namun
sebaliknya risiko infeksi persisten meningkat. Hal ini disebabkan karena
seiring dengan pertambahan usia akan terjadi perubahan anatomi (retraksi)
dan perubahan histologi (metaplasia).
15
Meningkatnya risiko kanker serviks
pada usia lanjut merupakan gabungan dari semakin lama waktu paparan
terhadap karsinogen serta semakin lemahnya sistem kekebalan tubuh.
16

3. Jumlah pasangan seksual
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa karsinoma serviks skuamosa
berhubungan erat dengan perilaku bergonta-ganti mitra seks dan frekuensinya
meningkat 10 kali jika seseorang memiliki enam mitra seks atau lebih. Kanker
serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan melalui hubungan
seksual, karena beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan kuat antara
hubungan seksual dengan kanker serviks. Bergonta-ganti pasangan akan
memungkinkan tertularnya beberapa jenis penyakit kelamin, salah satunya
HPV yang akan mengubah sel-sel di mukosa epitel untuk membelah lebih
banyak dan tidak terkendali sehingga menjadi kanker.
16


4. Jumlah paritas
Wanita yang lebih sering melahirkan memiliki risiko terkena kanker
serviks yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang jarang atau tidak
pernah melahirkan. Risiko meningkat semakin tinggi pada wanita dengan
banyak anak dan jarak persalinan yang terlalu singkat. Dengan seringnya
seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi
perlukaan pada organ reproduksi, perlukaan tersebut akan memudahkan
timbulnya infeksi oleh HPV dan didukung oleh berbagai jenis karsinogen,
sehingga bermanifestasi menjadi kanker serviks.
16

5. Merokok
Rokok mengandung berbagai zat kimia beracun yang berbahaya bagi
tubuh. Zat-zat berbahaya ini kemudian dibawa aliran darah ke seluruh tubuh,
termasuk aliran darah ke serviks. Produk sampingan rokok sering ditemukan
pada mukosa serviks wanita perokok. Wanita perokok aktif memiliki risiko
dua setengah kali lebih besar untuk menderita kanker serviks dibandingkan
dengan yang tidak merokok. Sementara wanita perokok pasif yang tinggal di
lingkungan keluarga dengan kebiasaan merokok) memiliki peningkatan risiko
1,4 kali lipat dibanding wanita yang hidup tanpa asap rokok.
14

6. Status sosial ekonomi
Perempuan dengan status sosial ekonomi rendah lebih berisiko menderita
kanker serviks dibandingkan dengan wanita dengan status sosial ekonomi
menengah ke atas. Hal ini terkait dengan asupan gizi, status imunitas, dan
akses ke pelayanan kesehatan.
13
Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa
defisiensi asam folat dapat meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan
dan sedang, serta mungkin juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker
serviks pada wanita yang makanannya rendah beta karoten dan retinol
(vitamin A).
17


7. Metode kontrasepsi
Penelitian menunjukkan bahwa semakin lama seseorang menggunakan pil
kontrasepsi, semakin tinggi risikonya untuk terkena kanker serviks.
Pemakaian kontrasepsi oral menurunkan jumlah kadar nutrient (vitamin C,
B12, B6, asam folat, B2, dan zinc) yang terlibat dalam imunitas. Tercatat
bahwa 67% penderita kanker serviks memiliki minimal satu kadar vitamin
abnormal dan 38% penderita memiliki abnormalitas nutrisional multipel.
11

Selain itu, penggunaan pil KB cenderung membuat seseorang tidak
menggunakan metode kontrasepsi lain seperti kondom sehingga kemungkinan
untuk terkena kanker serviks menjadi lebih besar. Literatur terbaru
menyimpulkan bahwa wanita yang menggunakan pil KB selama lebih dari 10
tahun memiliki risiko terkena kanker serviks dua kali lipat dibandingkan
dengan wanita yang tidak menggunakan pil KB.
18


8. Riwayat keluarga
Seorang wanita yang memiliki ibu atau kakak perempuan yang menderita
kanker serviks memiliki risiko 2 3 kali lipat lebih tinggi untuk terkena
kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat
keluarga dengan kanker serviks.
12

9. Herpes simplex virus (HSV)
Data yang mendukung keterlibatan HSV sebagai faktor risiko kanker
serviks tidak sekuat data tentang HPV. Beberapa penelitian menunjukkan
tidak ada hubungan independen antara HSV dengan kanker serviks, namun
beberapa penelitian lain menyatakan bahwa HSV dapat meningkatkan risiko
keganasan servikal invasif maupun pra-invasif. Perbedaan hasil penelitian
tersebut kemungkinan disebabkan oleh variasi metodologi dan populasi yang
digunakan untuk mendeteksi infeksi HSV.
3


10. Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Penurunan sistem imunitas tubuh merupakan faktor risiko kanker serviks
karenan menyebabkan sel di genitalia lebih mudah untuk terinfeksi HPV.
Imunodefisiensi yang disebabkan HIV mempermudah terjadinya infeksi
oportunistik oleh HPV. Dilaporkan adanya hubungan yang signifikan secara
statistic antara HIV dengan CIN.
10

2.5 Patofisiologi Kanker Serviks
Proses terjadinya kanker serviks merupakan proses metaplasia, masuknya bahan-
bahan yang dapat mengubah sifat sel secara genetik pada saat fase aktif dapat
menyebabkan sel tersebut berubah menjadi sel ganas. Perubahan ini biasanya terjadi
di daerah transisional.
14
Daerah metaplasia epithelium adalah perubahan jenis sel di
mulut rahim dari zona transisional yang merupakan daerah potensial terjadinya
perubahan seluler dan perkembangan kanker serviks.
13
Terjadinya karsinoma serviks yang invasif berlangsung dalam beberapa tahap.
Tahan pertama dimulai dari lesi pra-invasif, yang ditandai dengan abnormalitas sel
yang disebut displasia (Cervical Intraepithelial Neoplasia /CIN) dan selnya disebut
sel displastik. Displasia ringan dapat berkembang menjadi displasia sedang, displasia
berat, karsinoma in-situ, dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi
displasia juga dikenal sebagai lesi pra-kanker. Perbedaan antara displasia ringan,
sedang, dan berat terletak pada ketebalan epitel yang mengalami kelainan dan derajat
berat ringannya mutasi pada sel.
14
Pada displasia ringan jumlah sel abnormal hanya
sedikit, sedangkan jika abnormalitas mencapai setengah ketebalan sel, disebut
displasia sedang. Disebut displasia berat apabila abnormalitas telah mencapai seluruh
ketebalan sel, namun belum menembus membrana basalis. Perubahan pada displasia
ringan sampai sedang masih bersifat reversible dan sering disebut dengan Cervical
Intraepithelial Neoplasia (CIN) derajat 1 2. Displasia berat (CIN 3) dapat berlanjut
menjadi karsinoma in-situ.
15
Karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai
karsinoma invasif namun membrana basalisnya masih utuh. Pada lesi pra-kanker
derajat ringan dapat mengalami regresi spontan dan menjadi normal kembali, tapi
pada lesi derajat sedang dan berat lebih berpotensi untuk menjadi kanker invasif.

Perubahan dari displasia hingga menjadi karsinoma in-situ sampai karsinoma invasif
membutuhkan waktu lama yaitu 10 hingga 15 tahun. Gejala yang ditimbulkan CIN
pada umumnya asimptomatik dan hanya ditemukan pada skrining kanker atau
ditemukan saat pemeriksaan penyakit lain di serviks uteri.
14
Pada pemeriksaan fisik tidak terlihat perubahan pada porsio, namun fase
prakarsinoma dapat diprediksi dengan pemeriksaan kolposkopi. Pada tahap invasif,
gejala yang dirasakan lebih nyata, seperti perdarahan, discharge vagina purulen
berwarna kekuningan dan berbau, dan dapat bercampur dengan darah, terutama pada
lesi nekrotik.
15


2.6 Gejala Kanker Serviks
Pada tahap awal penyakit ini sering tidak menimbulkan gejala, sehingga penderita
tidak menyadari dirinya terinfeksi atau bahkan sudah menularkannya pada orang lain.
Oleh karena itu, seseorang yang sudah aktif secara seksual dianjurkan untuk
melakukan skrining Pap smear sehingga jika ditemukan sel serviks abnormal atau lesi
pra-kanker dapat diobati lebih dini.
15
Sedangkan menurut Samadi tahun 2011, 92%
lebih pra-kanker tidak menimbulkan gejala, kalaupun terdapat keluhan biasanya
hanya rasa kering di vagina dan keputihan berulang yang tak kunjung sembuh meski
telah diobati. Gejala klinis jika sudah menjadi kanker serviks dapat dibedakan
menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:
13

1. Gejala Awal
a) Perdarahan per vaginam abnormal, seperti perdarahan post-coital,
perdarahan di luar siklus menstruasi, dan perdarahan setelah menopause.
Serviks yang normal memiliki konsistensi kenyal dan permukaan yang
licin, sementara jika sudah menjadi kanker serviks akan menjadi rapuh
dan mudah berdarah, terutama pasca aktivitas seksual.
b) Keputihan yang berulang dan tak sembuh meski telah diobati. Keputihan
yang normal biasanya terjadi menjelang haid, dengan lender jernih, tidak
berbau, dan tidak gatal. Keputihan yang berbau, gatal, dan panas
disebabkan oleh infeksi sekunder, yaitu cairan yang keluar dari lesi
ditambah dengan cairan akibat infeksi oleh bakteri maupun jamur,
keputihan jenis ini tidak sembuh walaupun telah diobati.
2. Gejala Lanjut
Apabila pertumbuhan kanker menekan atau menginvasi organ sekitar, keluhan
yang dirasakan antara lain: vagina berbau tidak sedap akibat cairan yang
keluar dari lesi dan infeksi sekunder, nyeri panggul, nyeri pinggang, gangguan
berkemih, nyeri di kandung kemih, serta nyeri di rektum atau anus.
3. Kanker yang telah metastasis
Gejala yang timbul sesuai dengan organ target, antara lain paru-paru, hati, dan
tulang.
4. Kambuh atau residif dengan gejala nyeri panggul yang menjalar ke tungkai
dan gejala pembuntuan saluran kencing.

2.7 Diagnosis dan Deteksi Dini Kanker Serviks
Tiga puluh persen kasus kanker serviks ditemukan tanpa keluhan, pada waktu
skrining Pap smear. Oleh karena itu, deteksi dini kanker serviks secara teratur sangat
dianjurkan bagi setiap wanita, dapat dimulai dari tiga tahun setelah wanita tersebut
aktif secara seksual atau berusia lebih dari 21 tahun.
19
Selain anamnesis dan
pemeriksaan fisik, diperlukan deteksi dini berupa:
2.7.1 Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengoleskan larutan asam asetat 3 5 %
pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Pemeriksaan disebut positif apabila
terdapat area putih (acetowhite) di daerah sekitar porsio serviks. IVA merupakan
metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan murah.
20
Metode IVA memiliki kelebihan dibanding Pap smear karena prosedurnya yang
sederhana (sehingga dapat dikerjakan di Puskesmas), hasilnya cukup sensitif, dan
harganya sangat terjangkau. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat melihat perubahan
pada epitel serviks hanya sekitar 1 2 menit. Apabila serviks normal, maka akan
berwarna merah homogen, namun apabila dicurigai terdapat displasia akan muncul
bercak putih.
20
Pemeriksaan IVA tidak direkomendasikan pada wanita pascamenopause, karena
daerah transisionalnya sering kali terletak pada kanalis servikalis dan tidak tampak
pada pemeriksaan inspekulo.
3

2.7.2 Papanicolaou smir Test (Pap smear)
Pap smear pertama kali diperkenalkan Papanicolaou pada tahun 1982. Tes ini
dapat mendeteksi adanya sel abnormal sebelum berdiferensiasi menjadi lesi
prakanker atau kanker serviks.
3
Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil contoh sel
epitel serviks melalui kerokan dengan spatula khusus, kemudian hasil kerokan
diusapkan pada kaca obyek, dimasukkan ke dalam larutan etilalkohol 95%, dan
selanjutnya diamati di bawa mikroskop.
20
American Cancer Society (ACS) merekomendasikan pemeriksaan Pap smear
untuk dilakukan oleh wanita yang telah menikah dan aktif secara seksual. Frekuensi
tes Pap smear yang dianjurkan bervariasi antara satu kali pertahun hingga per lima
tahun. Tes Pap smear memiliki tingkat sensitivitas 90% apabila dilakukan setiap
tahun, 87% bila dilakukan setiap dua tahun, 78% bila dilakukan setiap tiga tahun, dan
68% bila dilakukan setiap lima tahun.
3

2.7.3 Pap Net
Pap Net dan Pap Smear pada prinsipnya sama, namun perbedaannya terletak pada
cara pemeriksaan lesi prakanker. Pada pemeriksaan Pap net dibantu oleh sistem
komputer yang canggih sehingga dapat mengidentifikasi sel-sel abnormal atau sel
prakanker dalam jumlah yang sangat sedikit. Selain itu, karena menggunakan
komputer, maka sel yang dicurigai ganas dapat diperbesar. Sistem ini memiliki
keuntungan lebih sensitive dibanding dengan interpretasi Pap smear secara
konvensional.
3

2.7.4 Kolposkopi
Kolposkopi merupakan metode yang digunakan untuk melihat perubahan
stadium dan luas pertumbuhan abnormal epitel serviks. Metode ini mampu
mendeteksi lesi pra-kanker dengan akurasi diagnostik yang cukup tinggi. Prosedur
kolposkopi cukup sederhana. Setelah mucus diambil diteteskan asam asetat 3%
kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan filter hijau. Apabila normal maka epitel
kolumner akan menghasilkan warna ungu, dan jika terdapat metaplasia skuamus akan
menghasilkan warna hijau keputihan. Kombinasi kolposkopi dan Pap smear memberi
ketepatan diagnostik yang lebih kuat. Sensitivitas Pap smear dan kolposkopi masing-
masing 55% dan 95%, dengan spesifisitas 78,1% dan 99,7%.
3
2.7.5 Biopsi
Biopsi merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis kanker, yaitu dengan
mengambil sedikit jaringan lesi untuk diperiksa secara histopatologik.
19
Biopsi adalah
salah satu prosedur diagnosis kanker serviks dengan mengambil sedikit jaringan
serviks yang dicurigai (2-3 mm). Kuretase endoserviks dikerjakan sedalam 1-2 cm
pada endoserviks, dan dilakukan pada 4 kuadran. Jaringan kemudian diletakkan
dalam wadah untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium patologi. Prosedur ini
menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien sehingga membutuhkan oral analgesia.
19

2.7.6 Sciller Test
Pada pemeriksaan ini serviks diolesi dengan larutan yodium, sel yang sehat akan
berubah warna menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal akan berubah warna
menjadi putih atau kuning.
20

2.8 Pembagian Kanker Serviks
2.8.1 Stadium Kanker Serviks
Prognosis kanker serviks tergantung dari stadium penyakit. Umumnya, angka
ketahanan hidup 5 tahun untuk stadium I lebih dari 90%, stadium II 60-80%, stadium
III kira-kira 50%, dan untuk stadium IV kurang dari 30%. Penentuan stadium kanker
serviks didasarkan pada pemeriksaan klinis, untuk menentukan jenis pengobatan,
memprediksi prognosis, dan sebagai studi perbandingan di antara berbagai institusi.
12
Klasifikasi stadium kanker serviks menurut International Federation of
Gynecology and Oncology (FIGO) tahun 2000 dinilai berdasarkan lokasi tumor
primer, ukuran besar tumor, dan adanya metastasis.
Tabel 2.1 Stadium Kanker Serviks
Stadium Karakteristik
0 Karsinoma in-situ (pre-invasive carcinoma) yaitu kanker yang
masih terbatas pada lapisan epitel mulut rahim dan belum
memiliki potensi untuk menyebar ke tempat atau organ lain
I Proses terbatas pada serviks walaupun ada perluasan ke corpus
uteri
IA Karsinoma mikroinvasif, diagnosis hanya dengan chiroscope
(penyebaran horizontal 7 mm)
IA1 Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 3 mm dan perluasan
horizontal tidak lebih dari 7 mm
IA2 Kedalaman invasi stroma lebih dari 3 mm dan tidak lebih dari
5 mm dan dan perluasan horizontal tidak lebih dari 7 mm atau
kurang
IB Terlihat secara klinis dan terbatas di serviks atau secara
mikroskopis > IA2
IB1 Besar lesi/tumor/benjolan 4 cm
IB2 Besar lesi/tumor/benjolan > 4 cm
II Tumor menyebar ke luar serviks, tetapi tidak sampai ke
dinding panggul atau mencapai 1/3 bagian bawah vagina
IIA Tanpa invasi parametrium/jaringan di samping uterus
IIB Dengan invasi parametrium/jaringan di samping uterus
III Invasi mencapai dinding panggul, 1/3 bagian bawah vagina
yang menyebabkan hidronefrosis atau penurunan fungsi ginjal
IIIA Invasi pada 1/3 bagian bawah vagina (vagina distal)
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IVA Invasi mukosa kandung kemih/rectum meluas ke luar panggul
IVB Lesi meluas ke mukosa rectum dan/atau meluas ke organ jauh

2.8.2 Jenis Histologi Kanker Serviks
Secara histologis kanker serviks terdiri dari beberapa jenis, namun jenis yang
paling sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa, sekitar 85%; adenokarsinoma
sebesar 10%, dan 5% sisanya adalah jenis adenoskuamosa.
3
Karsinoma skuamosa
terlihat sebagai jalinan kelompok sel skuamosa baik dengan keratin maupun tidak,
kadang tumor berasal dari sel yang berdiferensiasi buruk atau dari sel yang disebut
small cell, sedangkan adenokarsinoma terlihat sebagai sel-sel yang berasal dari epitel
thoraks endoserviks, atau dari kelenjar endoserviks yang mengeluarkan mucus.
21
Tabel 2.2 Jenis Histologi Kanker Serviks
WHO 1975 WHO 1994
Karsinoma sel skuamosa
- Dengan pertandukan
- Tipe sel besar tanpa pertandukan
- Tipe sel kecil tanpa pertandukan
Karsinoma sel skuamosa
- Dengan pertandukan
- Tanpa pertandukan
- Tipe verkuso
- Tipe kondilomatosa
- Tipe kapiler
- Tipe limfoepitelioma
Adenokarsinoma
- Tipe endoserviks
- Tipe endometrium
Adenokarsinoma
- Tipe musinosa
- Tipe mesonefrik
- Tipe clear cell
- Tipe serosa
- Tipe endometrioid
Karsinoadenoskuamosa
- Karsinoma adenoid kistik
- Adenokarsinoma mesonefroid
Karsinoadenoskuamosa
- Karsinoma glassy cell
- Karsinoma small cell
- Karsinoma adenoid basal
- Tumor karsinoid
- Karsinoma adenoid kistik
Tumor mesenkim
- Karsinoma tidak berdiferensiasi
- Tumor metastasis
Tumor mesenkim
- Karsinoma tidak berdiferensiasi


2.8.3 Derajat Diferensiasi Sel
Derajat diferensiasi karsinoma epidermoid dibagi dalam tiga jenis, yaitu:
12
1. Diferensiasi baik
Sel epidermoid berbentuk sel dewasa dengan jembatan interseluler yang
masih baik dan sitoplasma keratohialin terlihat dalam variasi yang masih
berdiferensiasi baik. Mitosis jarang (< 2 mitosis, variasi ukuran dan bentuk sel
tumor masih rendah) dan sedikit pleiomorfik.
2. Diferensiasi sedang/moderat
Ditemukan sedikit sel dengan sitoplasma berlebihan. Keratinisasi sedang
dengan 2 4 mitosis, ukuran maupun bentuk sel tumor dengan sel
pleiomorfik lebih banyak dan batas sel kabur.
3. Diferensiasi buruk
Ditemukan sedikit sitoplasma mengelilingi nucleus, ditemukan lebih dari 4
mitosis per lapangan pandang besar. Sel biasanya tersusun rapat dan
ditemukan banyak giant cell.
Derajat histopatologi kanker serviks dibagi menjadi empat, yaitu Gx (derajat tidak
dapat dinilai); G1 (well differentiated); G2 (moderately differentiated); G3 (poorly
differentiated.
3

2.9 Pengobatan Kanker Serviks
Terapi kanker serviks bergantung pada stadium kanker. Secara umum
penatalaksanaan kanker serviks terdiri dari pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan
rehabilitasi.
15
Untuk kanker serviks stadium IA1, terapi yang disarankan adalah
histerektomi radikal dan untuk stadium IA2 dengan perluasan ke limfonodi perlu
dilakukan limfadenektomi pelvis. Untuk karsinoma invasif, perlu dilakukan biopsi
sebelum menentukan terapi. Jika terdapat keluhan klinis, misalnya pada kandung
kemih ataupun rectum, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan rontgen
thoraks dan fungsi ginjal juga perlu dilakukan untuk mencari metastasis ke organ
lain.
9
Kanker serviks stadium IB1 dan IIA < 4 cm memiliki prognosis baik dengan
pembedahan atau radioterapi, bergantung pada ketersediaan fasilitas, usia pasien, dan
kemampuan dokter yang menangani. Pembedahan yang dilakukan pada stadium
tersebut adalah histerektomi abdominal radikal dan limfadenektomi pelvis. Untuk
radioterapi, diberikan iradiasi pelvis eksternal dan brakiterapi. Dosis yang dianjurkan
adalah 80 85 Gy ke titik A dan 50 -55 Gy ke titik B. Penambahan kemoterapi
adjuvant cisplatin 5FU atau cisplatin tunggal setelah operasi dapat meningkatkan
ketahanan hidup jika dibandingkan dengan pemberian radiasi saja.
9
Pada stadium IB2 II A (> 4 cm), pilihan terapi antara lain kemoradiasi
primer, histerektomi radikal primer dan limfadenektomi pelvis bilateral (biasanya
diikuti oleh radiasi adjuvant), dan kemoterapi neoadjuvant. Kemoradiasi terdiri dari
radiasi eksterna ditambah brakiterapi dan diiringi dengan pemberian kemoterapi
setiap minggu. Dosis radiasi yang disarankan adalah 85 90 Gy ke titik A dan 55
60 Gy ke titik B. Cisplatin diberikan dengan dosis 40 mg/m
2
.
9

Tabel 2.3 Manajemen Kanker Serviks Stadium Lanjut
Stadium Stadium IIB IVA
Staging Pemeriksaan di bawah anestesi umum
Foto rontgen thoraks
CT scan abdomen dan pelvis (opsional)
Imaging ginjal
Teknik radiasi A. Target primer
Tumor + uterus
B. Targer sekunder
Limfonodi pelvis dan limfonodi iliaca communis
Teknik lapangan : 4 lapangan
Batas lapangan untuk radiasi eksternal
A. Tumor yang ditentukan lewat palpasi dan CT scan
(jika ada) + tepi 2 cm
B. Lapangan A-P
Lateral: 2 cm lateral dari tepi tulang pelvis
Superior: antara L5 dan S1
Inferior: 2 cm di bawah foramen obturatorius (atau 2
cm di bawah tumor)
C. Lapangan lateral
Anterior: ditentukan oleh tumor
Posterior: ditentukan oleh tumor
Target primer: Radiasi eksternal 50 Gy/5-6 minggu + LDR
intrakavitas 30-35 Gy titik A (untuk IIB-IVA, 35-40 Gy)
Target sekunder: Radiasi eksternal 50 Gy/5 minggu
Total waktu terapi: 6-7 minggu
Terapi concomitan Cisplatin 40 mg/m
2
setiap minggu selama radiasi eksternal

Standar terapi primer untuk kanker serviks stadium lanjut (stadium IIB, III,
dan IVA) adalah radiasi yang diberikan secara kombinasi, antara radiasi eksterna
dengan brakiterapi intrakavitas, dan kemoterapi concomitan. Dosis radiasi dan
kemoterapi ditunjukkan pada Tabel 2.3. Pada pasien dengan perluasan ke limfonodi
iliaca communis atau paraaorta dapat dipertimbangkan untuk memperluas lapangan
radiasi.
9
2.10 Prosedur Penatalaksanaan Pasien Kanker Serviks Stadium III B di RSUP
Dr. Kariadi
2.10.1 Prosedur Tetap (Protap) Umum
(ini saya kosongin ya pak..)
2.10.1 Prosedur Penatalaksanaan Pasien Tanggungan Jamkesmas/Jamkesda
(ini juga hehehe)

Anda mungkin juga menyukai