Anda di halaman 1dari 9

Benign Prostat Hyperplasia

Revi Oktapratiwi
A. Definisi
Merupakan pembesaran prostat yang jinak bervariasi, berupa
hyperplasia kelenjar atau hyperplasia fibromuskular. Istilah BPH atau
benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis,
yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat.
Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas
usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di
atas 80 tahun (Long, 2006).
B. Etiologi
Penyebab hyperplasia belum diketahui secara pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dari proses rumit
androgen dan estrogen dan erat kaitannya dengan peningkatan kadar
dehidrostestosteron (DHT) dan proses aging proses (Aging Proses /
penenuaan ). Beberapa hipotesa yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasi prostat adalah :
1. adanya perubahan kesimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
2. Peranan dari Growth Faktor sebagai pemacu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat.
3. Meningkatkan lama hidup sel sel prostat karena berkurangnya sel
sel yang mati.
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan.
C. Epidemiologi
Sulit untuk menentukan insidens dan prevalensi BPH karena dari
berbagai penelitian digunakan kriteria yang berbeda untuk menjelaskan
kondisi penyakit. Berdasarkan data National Institutes of Health (NIH),
BPH terjadi pada lebih dari 70% pria berumur lebih dari 60 tahun dan
sebanyak 90% pada pria berumur 80 tahun (Long, 2006).
Faktor resiko perkembangan BPH masih belum diketahui secara jelas.
Beberapa studi menjelaskan adanya hubungan dengan faktor predisposisi
genetik, dan yang lainnya mengatakan adanya kaitan dengan perbedaan
ras. Hampir lebih dari 50% pria berumur kurang dari 60 tahun yang
menjalani operasi untuk BPH memeiliki bentuk penyakit yang diwariskan.
Bentuk ini merupakan bentuk autosomal dominant, dan keturunan pertama
dari pasien BPH membawa resiko relatif yang meningkat hampir 4 kali
lipat(Long, 2006).
D. Penegakan diagnosis
1. Anamnesis
Gejala dan Tanda dari pembesaran prostat jinak dibedakan menjadi
2 kelompok ada gejala iritatif dan gejala obstruktif.
a. Gejala iritatif meliputi :
1) Sering buang air kecil (frequency)
2) Tergesa-gesa untuk buang air kecil (urgency)
3) Buang air kecil pada malam hari (nokturia)
4) Sulit menahan buang air kecil (urge incontinence)
b. Gejala obstruktif meliputi :
1) Pancaran buang air kecil melemah
2) Akhir buang air kecil belum terasa kosong (incomplete
emptying)
3) Menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy)
4) Harus mengedan saat buang air kecil (straining)
5) Buang air kecil terputus-putus (intermitency)
Dari sumber lain untuk menentukan atau lebih mengarahkan
adanya obstruksi akibat pembesaran prostat adalah international
prostate symptom score (IPSS) WHO dan AUA telah mengembangkan
dan mengsahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi skor
ini berguna untuk menilai dan memantau pasien BPH. Analisis gejala
ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0
hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS
yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS
dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-
tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan
skor yang diperoleh adalah sebagai berikut (AUA, 2003).
c. Skor 0-7: bergejala ringan
d. Skor 8-19: bergejala sedang
e. Skor 20-35: bergejala berat.
Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS
terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of
life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban (Barry et
al, 1992).
2. Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan
fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya
distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan
adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.
Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate
daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba
besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar.
Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata
hanya 26-34% yang positifkanker prostat pada pemeriksaan biopsi.
Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma
prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental
pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas bawah.
Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan
refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan
pada busur refleksdi daerah sakral (Roehrborn, 2001).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) transabdominal atau transrektal. Dari
USG ini dapat diketahui ukuran maupun morfologi kelenjar
prostat, batu pada buli-buli, atau divertikel buli-buli. Besarnya
prostat perlu diketahui jika dipilih terapi inhibitor 5- reduktase.
b. Uroflometer untuk memeriksa pancaran urin.
c. PVR (residual urin)
sisa urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi.
Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL
dengan rata-rata 0,53 mL, melaku-kan pengukuran langsung sisa
urine melalui kateterisasi.
d. PSA ( Prostatic Spesifik Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ
specific tetapi bukan cancer specific. Serum PSA dapat dipakai
untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini
jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000)
bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan
prostat. Laju pertumbuhan volume prostat rata-rata setiap tahun
pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan
pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1mL/tahun, dan kadar PSA
3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum
dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP).
e. Pemeriksaan transabdominal (TAUS)
f. Pemeriksaan tranrectal (TRUS)
Sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya
karsinoma prostat.
1. Patogenesis

Gambar 4. Skema patogenesis BPH (Purnomo, 2011)
2. Patofisiologi

Gambar5 :Patofisiologi BPH (Sjamsuhidajat, 2004)
3. Tata laksana
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah:
1) Memperbaiki keluhan miksi
2) Meningkatkan kualitas hidup
3) Mengurangi obstruksi infravesika
4) Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal
5) Mengurangi volume residu urine setelah miksi
6) Mencegah progresifitas penyakit (Purnomo, 2012).
Adapun terapi BPH antara lain:
1) Non Medikamentosa
Nasehat yang diberikan adalah mengurangi minum setelah
makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari obat-obat
dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan
minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan
dilakukan kontrol keluhan, sisa kencing, dan pemeriksaan colok
dubur.
2) Medikamentosa
a) Penghambat reseptor adrenergik alfa
Cara kerjanya: mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai
komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika.
Klasifikasi penghambat reseptor adrenergik alfa adalah sebagai
berikut:
i. Non selektif : Fenoksibenzamin, 10 mg 2x/hari
ii. Alpha-1, short acting : Prazosin, 2 mg 2x/hari
iii. Alpha-1, long acting : Terazosin, 5 atau 10 mg/hari;
Doxazosin, 4 atau 8 mg/hari
iv. Alpha-1a, selective : Tamsulosin, 0,4 0,8 mg/hari;
alfuzosin 10 mg/hari (Purnomo, 2012).
b) Penghambat 5-alfa reduktase
Cara kerja: menghambat pembentukan dihidrostestosteron
(DHT) dari testosteron yang dikatalis oleh enzim 5 alfa
reduktase didalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat
menurun.
Contoh obat: Finasteride. Pemberian obat ini 5 mg sehari yang
diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan
penurunan prostat hingga 28% (Purnomo, 2012).
c) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai
untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data
obat farmakologis tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitofarmaka sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitofarmaka
bekerja sebagai: anti estrogen, anti androgen, menurunkan
kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic
fibroblast growth factor (bFGF), dan epidermal growth factor
(EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek anti
inflamasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil
volume prostat. Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan
adalah: Pygeum africatum, Serenaa repens, Hypoxis rooperi,
Radix urtica dan masih banyak lainnya (Purnomo, 2012).
3) Pembedahan
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang: tidak
menunjukan perbaikan setelah terapi medikamentosa, mengalami
retensi urine, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, gagal
ginjal, dan timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat
obstruksi saluran kemih bagian bawah (Purnomo, 2012).
a) Prostatektomi terbuka
b) Endourologi: Reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi
prostat transuretra (TUIP atau BNI) (Purnomo, 2012).



4. Komplikasi
komplikasi BPH adalah(Purnomo, 2003):
1) Inkontinensia Paradoks
2) Batu Kandung Kemih
3) Hematuria
4) Sistitis
5) Pielonefritis
6) Retensi Urin Akut Atau Kronik
7) Refluks Vesiko-Ureter
8) Hidroureter
9) Hidronefrosis
10) Gagal Ginjal
11) KomplikasiObstruksi dan residual urin menyebabkan infeksi pada
VU dan prostat dan kadang-kadang menyebabkan pyelonephritis;
ini mungkin sulit untuk dihilangkan.Obstruksi juga dapat
menyebabkan terjadinya divertkel VU. Infeksi residual urin
berperan terhadap pembentukan batu (calculi).Obstruksi fungsional
pada intravesical ureter, disebabkan oleh hipertropi trigonum,
dapat menyebabkan hydroureteronephrosis (Purnomo, 2003).

5. Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada
tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Menurut
penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada
pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga
menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi
penderita. (Detters, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Deters, Levi A. 2011. Benign Prostatic Hypertrophy (on-line). Medscape
Reference. Diakses 22 Juni 2011.
Long, B, C. 2006.PerawatanMedikaBedah Vol:1 (terjemah). YayasanIkatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Universitan Padjajaran: Bandung
Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Seto
Roehrborn CG, Sech S, Montoya J, Rhodes T, dan Girman CG Interexaminer
reliability and validity of a three-dimensional model to assess prostate
volume by digital rectal examination. Urology, 57:1087, 2001
Sjamsuhidajat R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta
: EGC. Hal 780-784

Anda mungkin juga menyukai