Anda di halaman 1dari 27

1

IKTERUS NEONATORUM

I. PENDAHULUAN
Ikterus neonatorum telah sejak lama dikenal. Penggunaan istilah
Kernikterus telah digunakan sejak awal tahun 1900 untuk menyebutkan
pewarnaan kuning pada basal ganglia neonatus yang meninggal akibat ikterus
berat. Sejak tahun 1950 hingga 1970, terjadi peningkatan insiden penyakit Rhesus
hemolitik dan kernikterus sehingga pediatrisian menjadi lebih agresif dalam
penatalaksanaan ikterus. Meskipun demikian, beberapa faktor telah merubah
manajemen penatalaksanaan ikterus.
1
Ikterus terjadi selama usia minggu pertama pada sekitar 60% bayi cukup
bulan dan 80% pada bayi prematur. Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang
lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Di Indonesia, didapatkan
data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi
cross-sectional yang dilakukan di RSCM selama tahun 2003, menemukan
prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas
5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu
pertama kehidupan.
2
Sebagian besar ikterus pada neonatus tidak memiliki penyebab dasar atau
disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Tetapi sebagian kecil memiliki penyebab
seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologik) sehingga
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Ensefalopati
bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain
memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus
dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan
.2
2

II. DEFINISI
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah,
biasanya menjadi kuning pertama kali. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak
apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 mol/L, sedangkan pada neonatus baru
tampak apabila serum bilirubin sudah > 5 mg/dL (> 86 mol/L). Bilirubin serum
normal adalah 0,1 0,3 mg/dl. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin
dalam darah > 13 mg/dL. Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada
umumnya adalah fisiologis.
2

Bilirubin dalam darah terdiri dari dua bentuk, yaitu bilirubin direk dan
bilirubin indirek. Bilirubin direk larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui
urin. Sedangkan bilirubin indirek tidak larut dalam air dan terikat pada albumin.
Bilirubin total merupakan penjumlahan bilirubin direk dan indirek.
3

III. KLASIFIKASI
3.1 Ikterus Fisiologis
Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari terjadinya fenomena
berikut:
3,4

Peningkatan produksi bilirubin karena peningkatan penghancuran eritrosit
janin (hemolisis). Hal ini adalah hasil dari pendeknya umur eritrosit janin dan
massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus (Kadar Hb neonatus cukup
bulan sekitar 16,8 gr/dl).
Kapasitas ekskresi yang rendah dari hepar karena konsentrasi rendah dari
ligan protein pengikat di hepatosit (rendahnya uptake) dan karena aktivitas
yang rendah dari glukuronil transferase, enzim yang bertanggung jawab untuk
mengkonjugasikan bilirubin dengan asam glukuronat sehingga bilirubin
menjadi larut dalam air (konjugasi).
3

Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih sedikitnya flora normal di
usus dan gerakan usus yang tertunda akibat belum ada intake nutrien.
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3
mg/dl dan naik dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus
fisiologis dapat terlihat pada hari ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan
ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103 mol/L), dan menurun sampai di
bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7. Secara umum karakteristik ikterus
fisiologis adalah sebagai berikut:
4
Timbul pada hari kedua ketiga.
Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada neonatus kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari.
Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %.
Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai pada kadar
orang dewasa (1 mg/dl) pada umur 10-14 hari.
Tidak mempunyai dasar patologis.

Pada bayi prematur kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau lebih
lambat daripada kenaikan bilirubin bayi cukup bulan, tetapi jangka waktunya
lebih lama, biasanya menimbulkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai
pada hari ke-4 dan ke-7.
4






4

3.2 Ikterus Patologik
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong
patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan
berikut tergolong dalam ikterus patologis, antara lain:
3,4
Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang
bulan >10 mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi
G6PD, atau sepsis)
Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir <2000 gram, Masa gestasi 36 minggu,
Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus, Infeksi, Trauma lahir
pada kepala, Hipoglikemia
Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14
hari (pada prematur)
Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik
tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi
dan usia bayi saat terlihat kuning. Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat
inkompatibilitas golongan darah atau Rh (biasanya kuning sudah terlihat pada 24
jam pertama), dan defisiensi enzim G6PD. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonatus > 95 persentil

menurut Normogram Bhutani.
5

5


Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus patologis) dapat
disebabkan oleh faktor/keadaan:
3,6
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi
G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra
uterin.
Polisitemia.
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
Ibu diabetes.
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor
intrahepatik dan ekstra hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh
obstruksi mekanik.
Gambar 1. Normogram Bhutani
5
6

Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik.

IV. METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan
oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin
darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif.
Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan
biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan
menjadi bilirubin tak terkonjugasi atau bilirubin IX . Zat ini sulit larut dalam air
tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah
otak. Selain itu juga bersifat non-polar (bereaksi indirek).
3,4
Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium
janin dimana plasenta menjadi tempat utama eliminasi bilirubin yang larut lemak,
ke stadium dewasa dimana bentuk bilirubin yang terkonjugasi yang larut air
diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke dalam
saluran pencernaan.
3
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin
terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera
setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z
dan glutation hepar lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hepar,
tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil
transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin
ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal.
Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus
hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya didekonjugasikan oleh
7

enzim B-glukoronidase di usus menjadi bentuk yang tidak terkonjugasi.
Selanjutnya diuraikan oleh bakteri usus menjadi sterkobilinogen dan keluar
dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian bentuk yang tak
terkonjugasi tersebut diabsorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah
proses absorpsi entero-hepatik.
3

Gambar 2. Metabolisme bilirubin
3

8

V. ETIOLOGI
Peningkatan produksi bilirubin, defisiensi dari uptake hepar, gangguan
konjugasi bilirubin, dan peningkatan sirkulasi enterohepatik bilirubin menjadi
sebagian besar penyebab ikterus patologis pada bayi baru lahir.
1,4

Peningkatan produksi
Peningkatan produksi bilirubin terjadi pada neonatus dengan berbagai ras,
sebanding dengan neonatus dengan inkompatibilitas golongan darah, defisiensi
enzim eritrosit, atau defek struktural dari eritrosit. Kecenderungan terjadinya
hiperbilirubinemia pada kelompok ras tertentu belum dimengerti secara jelas.
1
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan
penyebab tersering dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut sebagai ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin tak
terkonjugasi dalam darah. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air,
sehingga tidak dapat di ekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namun
demikian terjadi peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan
beban bilirubin terhadap hati dan peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang
selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi dalam feses dan urine. Urine
dan feses berwarna lebih gelap.
4,6

Gangguan ambilan bilirubin
Ambilan bilirubin tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan
dengan memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya
beberapa obat yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati :
asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan beberapa
zat warna kolesistografi. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya
9

menghilang bila obat pencetus dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa
kasus sindrom gilbert dianggap disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan
gangguan ambilan oleh hati. Namun pada sebagian besar kasus ditemukan adanya
defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan ini paling baik dianggap
sebagai defek konjugasi bilirubin.
6


Gangguan konjugasi bilirubin
Defisiensi dari enzim uridine diphosphate glucuronosyltransferase
(UDPGT), enzim yang dibutuhkan dalam proses konjugasi bilirubin merupakan
penyebab lain yang penting pada ikterus neonatorum. Tiga gangguan herediter
yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase adalah:
sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Meskipun seluruh
bayi baru lahir relatif kekurangan enzim tersebut, mereka yang menderita sindrom
CriglerNajjar tipe 1, dimana defisiensi enzim tersebut cukup parah, dapat
bermanifestasi sebagai ensefalopati bilirubin pada hari-hari atau bulan-bulan
pertama kehidupannya. Sebaliknya, ensefalopati jarang terjadi pada sindrom
CriglerNajjar tipe II, dimana kadar bilirubin serum jarang melebihi 20 mg/dl.
4,6


Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional
maupun obstruktif, terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia
terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, sehingga dapat diekskresi
dalam urine dan menimbulkan bilirubinuria serta urine yang gelap. Urobilinogen
feses dan urobilinogen urine sering menurun sehingga feses terlihat pucat.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan
ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol,
dan garam empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam
darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia
10

terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari oranyekuning muda atau tua sampai
kuninghijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan
ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain ikterus
obstruktif. Kolestatis dapat berupa intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli,
atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati). Pada
kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.
4

Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu
empedu, biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput
pankreas menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; demikian juga
dengan karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur
paska peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta
hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat
duktus hepatikus kanan atau kiri. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh
beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan
darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis, hepatitis neonatus.
6

Gangguan transportasi
Akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya hipoalbuminemia
atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine.
4


Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Meningkatnya sirkulasi enterohepatik bilirubin dalam keadaan puasa
dapat pula menyebabkan hiperbilirubinemia yang berlebihan. Bayi baru lahir
yang tidak diberi asupan yang benar atau yang mendapatkan ASI ekslusif
memiliki kadar bakteria intestinal yang rendah, sementara bakteri tersebut dapat
mengubah bilirubin menjadi derivatnya yang tidak dapat diresorbsi, sehingga
sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat meningkat pada bayi tersebut.
4,6

11

VI. PATOFISIOLOGI
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase, yaitu pre-hepatik, intrahepatik, post-hepatik, masih
relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor
plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh
gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
7,8

6.1 Fase Pre-hepatik


Fase prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
7

Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4
mg/kg BB terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah
merah yang matang oleh sel-sel retikuloendotelial, sedangkan sisanya 20-
30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum
tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab
utama peningkatan pembentukan bilirubin.
Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

6.2 Fase Intra-hepatik
Fase intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada
hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin.
7,8

Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan
cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
12

bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan
bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai
kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak
terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang
larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama
dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk
bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.

6.3 Fase Post-hepatik
Fase post-hepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar
hati oleh batu empedu atau tumor .
7,8

Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja
yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke
dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik.
Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari
keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan
konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi
intrahepatik atau obstruksi mekanik ekstrahepatik).
7




13

VII. DIAGNOSIS
Ikterus dapat timbul saat lahir atau setiap saat selama masa neonatus,
tergantung pada etiologinya. Ikterus biasanya dimulai pada daerah wajah dan
ketika kadar serum bilirubin bertambah akan turun ke abdomen dan selanjutnya
ke ekstremitas. Untuk menegakkan diagnosis diperlukan langkah-langkah mulai
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
5

7.1 Anamnesis
5
1. Waktu terjadinya onset ikterus. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti
penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat
timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan etiologinya.
2. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal).
3. Usia gestasi.
4. Riwayat persalinan dengan tindakan atau komplikasi.
5. Riwayat ikterus, kernikterus, kematian, defisiensi G6PD, terapi sinar, atau
transfusi tukar pada bayi sebelumnya.
6. Inkompatibilitas darah (golongan darah ibu dan janin).
7. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa.
8. Munculnya gejala-gejala abnormalitas seperti apnu, kesulitan menyusu,
intoleransi susu, dan ketidakstabilan temperatur.
9. Bayi menunjukkan keadaan lesu, dan nafsu makan yang jelek.
10. Gejala-gejala kernikterus.

7.2 Pemeriksaan Fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
14

dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan
jaringan subkutan. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang
mendapatkan terapi sinar.
5

Hal-hal yang perlu diperiksa pada ikterus ini antara lain:
5

Kondisi umum, penentuan usia gestasi neonatus, berat badan, tanda-tanda
sepsis, status hidrasi.
Tanda-tanda kernikterus seperti letargi, hipotonia, kejang, opistotonus, high
pitch cry.
Pallor, plethora, cephalhematom, perdarahan subaponeurotik.
Tanda-tanda infeksi intrauterin seperti pateki, splenomegali.
Progresi sefalo-kaudal pada ikterus berat.

Penilaian klinis derajat ikterus neonatal menurut Kramer, yaitu:
1,3

Kramer I Daerah kepala (Bilirubin total 5 7 mg)
Kramer II Daerah dada pusat (Bilirubin total 7 10 mg%)
Kramer III Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total 10 13 mg)
Kramer IV Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai
pergelangan kaki (Bilirubin total 13 17 mg%)
Kramer V hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17
mg%)

7.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan
pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit
atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera
15

mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serum bilirubin.
2,5

Transcutaneous bilirubinometer (TcB) atau ikterometer dapat digunakan
untuk menentukan kadar serum bilirubin total dengan cara yang non-invasif tanpa
harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang
sedang mendapat terapi sinar. Alat ini digunakan untuk menskrining bayi.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain :
2,5

Golongan darah dan Coombs test
Darah lengkap dan hapusan darah tepi
Hitung retikulosit, skrining G6PD
Bilirubin total, direk, dan indirek
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga
perlu diukur.


Gambar 3. Bagan Diagnosis Ikterus Neonatorum
9

16

7.4 Kernikterus
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak
terkonjugasi di dalam sel-sel otak. Gambaran klinis kernikterus bervariasi, dan >
15% bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala neurologis yang nyata. Penyakit ini
dapat dibagi menjadi bentuk akut dan kronik.
1









Tabel 1. Gejala Klinis Kernikterus
1


Bentuk akut biasanya memiliki tiga fase. Sedangkan bentuk kronik
dikarakteristikkan dengan hipotonia pada tahun pertama, dan setelah itu terjadi
abnormalitas ekstrapiramidal dan ketulian sensorineural. Perubahan spesifik yang
tampak pada gambaran MRI yaitu berupa peningkatan intensitas sinyal dalam
globus palidus pada gambaran T
2
-weighted menunjukkan korelasi yang erat
dengan terjadinya deposisi bilirubin dalam ganglia basalis.
1
Beberapa perubahan akan menghilang secara spontan atau dapat
dibalikkan dengan transfusi tukar. Pada sebagian besar bayi dengan
hiperbilirubinemia sedang hingga berat, respon yang ditimbulkan dapat
menghilang setelah 6 bulan, dan pada sebagian kecilnya yang lain abnormalitas
tersebut dapat menjadi permanen. Pada sebuah penelitian yang melakukan follow-
up setelah 17 tahun mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara bayi yang
17

mengalami hiperbilirubinemia berat (konsentrasi bilirubin serum 20 mg/dl)
dengan IQ yang rendah pada anak laki-laki saja, tidak pada anak perempuan.
1,9,10

VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil
transfuse tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum
bilirubin total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi
cukup bulan yang sehat. Pemberian substrat yang dapat menghambat
metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik
(pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan
yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula
bahwa obat-obatan IVIG (Intra Venous Immuno Globulin) dan Metalloporphyrins
dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan
ekskresi bilirubin.
1,2

8.1 Fototerapi
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak
1958. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya
isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-
bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk
isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah
diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
1,11
Fototerapi tetap menjadi standar terapi hiperbilirubinemia pada bayi.
Fototerapi yang efisien dapat menurunkan konsentrasi bilirubin serum secara
18

cepat. Pembentukan lumirubin, komponen yang larut air merupakan prinsip
eliminasi bilirubin dengan fototerapi.













Gambar 4. Prinsip Fototerapi.
11












Gambar 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas fototerapi.
11
19

Bayi yang diterapi dengan fototerapi ditempatkan di bawah sinar (delapan
bohlam lampu fluoresens) dan lebih baik dalam keadaan telanjang dengan mata
tertutup. Temperatur dan status hidrasi harus terus dipantau. Fototerapi dapat
sementara dihentikan selama 1 2 jam untuk mempersilahkan keluarga
berkunjung atau memberikan ASI atau susu formula. Waktu yang tepat untuk
memulai fototerapi bervariasi tergantung dari usia gestasi bayi, penyebab ikterus,
berat badan lahir, dan status kesehatan saat itu. Fototerapi dapat dihentikan ketika
konsentrasi bilirubin serum berkurang hingga sekitar 4-5 mg/dl.
11

Gambar 6. Petunjuk penggunaan fototerapi pada neonatus dengan usia gestasi 35
minggu.
5




20

8.2 Transfusi tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah
yang dilanjutkan dengan pemasukan darah dari donor dalam jumlah yang sama.
Teknik ini secara cepat mengeliminasi bilirubin dari sirkulasi. Antibodi yang
bersirkulasi yang menjadi target eritrosit juga disingkirkan. Transfusi tukar
sangat menguntungkan pada bayi yang mengalami hemolisis oleh sebab apapun.
Satu atau dua kateter sentral ditempatkan, dan sejumlah kecil darah pasien
dikeluarkan, kemudian ditempatkan sel darah merah dari donor yang telah
dicampurkan dengan plasma. Prosedur tersebut diulang hingga dua kali lipat
volume darah telah digantikan. Selama prosedur, elektrolit dan bilirubin serum
harus diukur secara periodik. Jumlah bilirubin yang dibuang dari sirkulasi
bervariasi tergantung jumlah bilirubin di jaringan yang kembali masuk ke dalam
sirkulasi dan rata-rata kecepatan hemolisis. Pada beberapa kasus, prosedur ini
perlu diulang untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dalam jumlah
cukup. Infus albumin dengan dosis 1 gr/kgBB 1 4 jam sebelum transfusi tukar
dapat meningkatkan jumlah total bilirubin yang dibuang dari 8,7 12,3
mg/kgBB, menunjukkan kepentingan albumin dalam mengikat bilirubin.
1
Sejumlah komplikasi transfusi tukar telah dilaporkan, antara lain
trombositopenia, trombosis vena porta, enterokolitis nekrotikan, gangguan
keseimbangan elektrolit, graft-versus-host disease, dan infeksi. Oleh sebab itu
transfusi tukar hanya didindikasikan pada bayi dengan kriteria sebagai berikut:
1
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
3. Gagal fototerapi intensif
4. Kadar bilirubin direk > 3,5 mg/dl di minggu pertama
5. Serum bilirubin indirek > 25 mg/dl pada 48 jam pertama
6. Hemoglobin < 12 gr/dl
7. Bayi pada resiko terjadi ensefalopati bilirubin
21

8. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan kesan kernikterus pada
kadar bilirubin berapapun
Penggunaan transfusi tukar menurun secara drastis setelah pengenalan
prosedur fototerapi, dan optimalisasi fototerapi lebih lanjut dapat membatasi
penggunaannya.
1


Gambar 7. Pedoman transfusi tukar pada neonatus dengan usia gestasi 35 minggu.
5






22

Tabel 2. Pedoman fototerapi dan transfusi tukar neonatus usia gestasi 35 minggu.
5


8.3 Terapi farmakologis
Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960 untuk
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi enzim
glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang
dilakukan pada mencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme
oksidatif bilirubin dalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek
neurotoksik. Pemberian fenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus
fisiologis pada bayi baru lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam
sebelum persalinan atau pada saat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.
Meskipun demikian fenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati
ikterus pada neonatus karena:
1,2
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari
pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar
bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
23

d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi.

Beberapa penelitian juga menguji efektivitas dari enzim bilirubin oksidase
yang diperoleh dari fungi. Bilirubin tidak terkonjugasi dimetabolisme oleh enzim
bilirubin oksidase. Ketika darah melalui filter yang mengandung bilirubin
oksidase tersebut maka > 90% bilirubin didegradasi dalam sekali langkah.
Prosedur tersebut terbukti bermanfaat dalam terapi hiperbilirubinemia
neonatorum, tetapi belum diujikan secara klinis. Lebih lanjut, kemungkinan dapat
terjadi reaksi alergi pada penggunaan prosedur tersebut karena enzim diperoleh
dari fungus.
1,12

IX. PROGNOSIS
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur
kehamilan) yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya
lebih dari 20 mg/dl, akan mengalami kernikterus. Kernikterus didapatkan pada
8% bayi dengan hemolisis Rh yang memiliki konsentrasi bilirubin serum 19-24
mg/dl, 33% pada bayi dengan konsentrasi bilirubin 25-29 mg/dl, dan 73% pada
bayi dengan konsentrasi bilirubin 30-40 mg/dl.
2
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada
75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan
hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi
mental, tuli, dan kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus
menjalani skrining pendengaran.
2,13





24

X. KESIMPULAN
Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan
mukosa karena adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin.
Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan
tidak memerlukan pengobatan.

Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar
atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama
kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti
hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus patologis).
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Dianjurkan agar dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil
transfusi tukar dapat dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin
total dalam serum dibawah kadar maksimum pada bayi preterm dan bayi cukup
bulan yang sehat.













25

Lampiran
Algoritma Penatalaksanaan ikterus neonatorum

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Ennery, P., Eidman, A., Tevenson, D., 2001. Neonatal Hyperbilirubinemia.
New England Journal of Medicine, Vol. 344, No. 8.

2. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., Damanik, Sylviati M. 2004.
Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo Surabaya.

3. Hansen, Thor Willy Ruud. 2010. Core Concepts: Bilirubin Metabolism.
Neoreviews vol. 11; hal. E316-E322.

4. Gartner, Lawrence M. 1994. Neonatal Jaundice. Pediatrics Review. Vol. 15;
hal. 422-432.

5. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia.
2004. Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or
More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316.

6. Maisels, M. J., & Mcdonagh, Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal
Jaundice. New England Journal of Medicine; 358:920-8.

7. Sedlaka, Thomas W., Salehb, B. Masoumeh, Higginsonb, Daniel S., Paulb,
Bindu D., Julurib, Krishna R., Snyder, Solomon H. 2009. Bilirubin And
Glutathione Have Complementary Antioxidant And Cytoprotective Roles.
The National Academy Of Sciences Of The USA Vol. 106 No. 13 Hal 5171
5176.

8. Neimark, Ezequiel & Leleiko, Neal S. 2009. Antioxidant Effect of Bilirubin
And Pediatric Nonalcoholic Fatty Liver Disease Pediatrics; 124; E1240-
E1241.

9. Seidman DS, Paz I, Stevenson DK, Laor A, Danon YL, Gale R. 1991.
Neonatal hyperbilirubinemia and physical and cognitive performance at 17
years of age. Pediatrics; vol. 88: hal. 828-833.

27

10. Johnson LH, Sivieri E, Bhutani V. 1999. Neurologic outcome of singleton >
2500g CORE Project babies not treated for hyperbilirubinemia. Pediatrics
Res; vol. 45: 203A.
11. Maisels, M. J., & Mcdonagh, Antony F. 2008. Phototherapy For Neonatal
Jaundice. New England Journal of Medicine; 358:920-8.

12. Maisels M.J, Ostrea E.W, Touch S., et al. 2004. Evaluation of a new
transcutaneous bilirubinometer. Pediatrics; 113 : 1628.

13. Ebbesen F, Agati G and Pratesi R. Phototherapy with turquoise vs blue light.
Arch Dis Child Fetal-Neonatal 2003; 88 : 430-1.

Anda mungkin juga menyukai