Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN


Miasthenia gravis adalah suatu gangguan pada taut saraf otot (neuromuscular
junction) akibat proses autoimun yang biasanya menyebabkan kelemahan yang fluktuatif,
memburuk dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat. Terdapat antibodi terhadap
reseptor asetilkolin (Acethylcholine receptor antibody = AChRAb) yang menyebabkan
terjadinya kesalahan transmisi pada paut saraf-otot (neuromuscular junction) di sisi post-
sinaptik yang mencegah asetilkolin untuk menstimulasi otot-otot untuk berkontraksi.
1

Prevalensi diperkirakan 43-84 per satu juta penduduk dan tingkat kejadian tahunan,
kira-kira 1 per 300.000. Penyakit dapat dimulai pada umur berapa saja, tetapi pada awal
dekade pertama relatif langka (hanya 10 persen dari kasus-kasus yang terjadi di bawah
usia 10 tahun). Penelitian di India menunjukkan usia puncak saat onset adalah dekade
ketiga pada wanita dan antara dekade keenam dan ketujuh pada pria. Di bawah usia 40
tahun, perempuan dipengaruhi dua sampai tiga kali lebih sering dari laki-laki, sedangkan
di kemudian hari, insiden pada laki-laki lebih tinggi (3:2). Pasien dengan thymoma,
mayoritas lebih tua (50 hingga 60 tahun), dan laki-laki mendominasi.
1-3

Kasus ini diajukan untuk mendiskusikan miasthenia gravis dan penatalaksanaannya.














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI
Miasthenia gravis adalah suatu gangguan pada taut saraf otot (neuromuscular
junction) akibat proses autoimun yang biasanya menyebabkan kelemahan yang fluktuatif,
memburuk dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat. Terdapat antibodi terhadap
reseptor asetilkolin (Acethylcholine receptor antibody = AChRAb) yang menyebabkan
terjadinya kesalahan transmisi pada taut saraf-otot (neuromuscular junction) di sisi post-
sinaptik karena mencegah asetilkolin untuk menstimulasi otot-otot untuk berkontraksi.
Peningkatan titer AChRAb terlihat pada 90% penderita dengan miastenia gravis yang
umum (generalized) tapi dalam evaluasi kasus-kasus kegawatdaruratan penggunaannya
terbatas karena waktu dan hasil pemeriksaan yang lama.
1
Kelemahan otot ini meningkat
selama aktivitas dan mengalami perbaikan saat istirahat. Otot-otot yang mengontrol
gerakan mata dan kelopak mata, ekspresi wajah, mengunyah, menelan bahkan otot
pernapasan bisa terlibat.
4,5
Salah satu keadaan emergensi pada MG adalah terjadinya krisis miastenia (KM) di
mana kelemahan yang terjadi bertambah sedemikian rupa sehingga perlu dilakukan
intubasi untuk memberikan bantuan ventilator atau melakukan proteksi jalan napas agar
tetap lancar. Pada perjalanan penyakitnya, yaitu biasanya dalam 2-3 tahun setelah
diagnosis ditegakkan, maka 12-16% pasien MG mengalami suatu krisis miasthenia.
1,5


II.2.EPIDEMIOLOGI
Prevalensi diperkirakan 43-84 per satu juta penduduk dan tingkat kejadian tahunan,
kira-kira 1 per 300.000. Penyakit dapat dimulai pada umur berapa saja, tetapi pada awal
dekade pertama relatif langka (hanya 10 persen dari kasus-kasus yang terjadi di bawah
usia 10 tahun). Penelitian di India menunjukkan usia puncak saat onset adalah dekade
ketiga pada wanita dan antara dekade keenam dan ketujuh pada pria. Laki-laki lebih
sering menderita (2,7:1).
a
Di bawah usia 40 tahun, perempuan dipengaruhi dua sampai
tiga kali lebih sering dari laki-laki, sedangkan di kemudian hari, insiden pada laki-laki lebih
tinggi (3:2). Pasien dengan thymoma, mayoritas lebih tua (50 hingga 60 tahun), dan laki-
laki mendominasi.
1,2,3,6


II.3. PATOFISIOLOGI
Studi saat ini merujuk pada kemungkinan adanya 3 mekanisme antibody mediated
yang menyebabkan reduksi AChR pada hubungan neuromuskuler pasien MG
(Drachman,1981) : (1) peningkatan degradasi AChR, (2) blokade AChR dan (3) kerusakan
pada membran post sinaptik.

Gambar 1. Mekanisme yang menyebabkan reduksi AChR pada hubungan neuromuskuler pasien MG
6
Pada keadaan transmisi neuromuskuler yang normal asetilkolin dilepaskan oleh
vesikel ke dalam celah sinaptik kemudian menyatu dengan reseptor asetilkolin (Ach R)
untuk menimbulkan potensial aksi untuk terjadinya kontraksi otot.
MG adalah penyakit otoimun dimana otoantibodi mengikat subunit alfa reseptor
asetilkolin pada area pos sinaps dan merubah konfigurasi sehingga mengganggu
pengikatan asetilkolin dan dengan demikian juga menghambat neurotransmisi. Daerah
post sinaptik ini lama-kelamaan akan kehilangan reseptor-reseptor asetilkolinnya,
pelipatan membran selnya menjadi sangat sederhana dan celah-celahnya menjadi lebih
lebar. Keadaan ini menyebabkan kolinesterase mempunyai kesempatan waktu lebih
banyak untuk menghancurkan asetilkolin, sehingga transmisi sinaptik kurang efisien
dengan akibat kontraksi otot menurun atau bahkan tidak ada sama sekali.
5,6


II.4.GEJALA KLINIS
Awitan biasanya tak jelas, tapi sering didahului oleh infeksi (umumnya infeksi
saluran nafas). MG khas ditandai dengan adanya kelemahan (kelelahan) otot skelet yang
meningkat sejalan dengan aktivitas otot. Kelemahan otot ini berfluktuasi dan
distribusinya sangat bervariasi, kadang tidak simetris.
Manifestasi berupa kelemahan yang semakin berat selama kegiatan, kekuatan
cepat pulih dengan istirahat, dan perbaikan dramatis setelah pemberian obat-obatan
anticholinesterase. Penelitian di India menunjukkan sebagian besar penderita (73,68%)
mengalami myasthenia generalisata, sedangkan myasthenia okuler terdapat pada 26,31%
penderita.
a
Umumnya gejala miastenia adalah penglihatan ganda (diplopia) disertai
ptosis. Selain disfungsi okuler, yang terjadi pada lebih dari 80% penderita miastenia
gravis, dapat terjadi juga gangguan mengunyah, berbicara dan menelan serta kelemahan
otot-otot leher dan otot-otot proksimal. Beberapa pasien melaporkan menjadi lebih
buruk secara paradoks pada saat bangun, terutama jika mereka belum menerima
pengobatan malam hari.
6
Miastenia gravis sesuai dengan namanya berarti kelemahan otot yang
prognosisnya tak baik. Khas pada penyakit ini adalah sifat kelemahannya yng berfluktuasi.
Kadang-kadang kelemahan ini relatif menetap, tetapi bertambah berat setelah aktivitas.
Berbeda dengan paralisis periodik dimana kelemahannya bersifat episodik, berupa
serangan kelemahan otot yang jelas, yang umumnya disertai gangguan keseimbangan
elektrolit serum.

II.5.PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Farmakologi
a. Tes Edrofonium
Obat ini merupakan inhibitor anticholinesterase yang memperpanjang dan
memperbesar efek Ach dalam sinaps dan dengan demikian memberikan
peningkatan dalam kekuatan otot pasien dengan myasthenia. Tes dilakukan
dengan cara berikut. Setelah pengukuran kekuatan pada otot cranial (biasanya m.
levator palpebrae atau otot extraocular) atau otot anggota tubuh ( dengan
dinamometri ) atau kapasitas vital, 1 mg (0,1 mL) edrophonium diberikan
intravena; jika dosis ini ditoleransi dan tidak ada perbaikan kekuatan yang berarti
yang terjadi setelah 45 detik, 3-6 mg disuntikkan lagi.
Jika tidak ada respon setelah 45 detik, tambahan 3-5 mg dapat diberikan
selama sekitar 1 menit. Dosis total 10 mg jarang diperlukan. Sebagian besar pasien
memberikan respon setelah 3-5 mg telah diberikan. Efek muskarinik yang ringan
edrophonium (mual, muntah, usus aktivasi, berkeringat, keluar air liur) dapat
diblokir dengan atropin 0.8 mg subcutan sebelumnya.
Dampak klinis dari perbaikan ptosis, gerakan otot extraocular, fungsi
oropharyngeal, abduksi lengan dan bahu , atau kapasitas vital berlangsung selama
tidak lebih dari 4-5 menit. Satu peringatan: beberapa pasien segera memburuk
tapi sebentar setelah tes edrophonium sebagai akibat dari peningkatan sekresi
paru. Sebuah tes positif terdiri dari dapat terlihat (obyektif) peningkatan
kontraktilitas otot, fusi lengkap diplopia, atau total resolusi kelelahan ptosis.
Walaupun jarang tetapi tetap harus hati-hati kemungkinan terjadinya fibrilasi
ventrikel dan cardiac arrest.
Tes ini paling baik dikerjakan sekitar 2 jam setelah pemberian terakhir
neostigmin atau piridostigmin. Bila tidak ada perubahan pada otot-otot okuler,
maka kita harus memperhatikan meningkatnya kelemahan otot-otot bulber dan
pernapasan.
1,5,7

b. Tes Neostigmin
Penderita disuntik 1,5 mg neostigmin metilsulfat intramuskuler, sebelumnya
harus disiapkan 0,6 mg atrofin sulfat untuk mengatasi bila sampai terjadi efek
muskarinik dari Neostigmin (mual-muntah, hiperhidosis, hipersalivasi). Perbaikan
obyektif dan subyektif timbul dalam waktu 10-15 menit dan mencapai puncaknya
dalam 30 menit, kemudian berakhir setelah 2-3 jam. Tes ini juga dapat
menggunakan Neostigmin per oral tapi efeknya muncul sangat lambat. Hasil tes
negatif tidak berarti meruntuhkan diagnosis MG.
1


2. Laboratorium
a. Antibodi terhadap Acetylcholine receptor (AChR)
Antibodi ini didapatkan pada myasthenia generalisata (74%) maupun pada
myasthenia okuler (54%). Kadar antibodi tersebut bervariasi tidak dapat
memprediksi beratnya penyakit. Konsentrasi antibodi yang terikat reseptor rendah
pada saat onset gejala dan kemudian akan meningkat. Peningkatan konsentrasi
antibodi yang mengikat AchR dengan gambaran klinis sesuai menentukan
diagnosis myasthenia gravis, namun konsentrasi antibodi tersebut normal tidak
menyingkirkan diagnosis.
8

b. Antibodi terhadap Muscle-specific receptor tyrosine kinase (MuSK)
Antibodi ini merupakan komponen yang penting pada membran permukaan
saat perkembangan taut saraf-otot. Antibodi tersebut didapatkan pada 50%
penderita MG yang seronegatif antibodi AchR.
8

c. Anti-striational muscle antibodies (StrAbs)
Antibodi ini bereaksi dengan elemen kontraktil dari otot seran lintang.
StrAbs bukan merupakan pemeriksaan utama pada MG. Kegunaan klinis dari
pemeriksaan StrAbs tersebut untuk memprediksi timoma. 60% penderita MG
dengan onset sebelum usia 50 tahun yang disertai peningkatan StrAbs menderita
timoma.
8


3. Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG dilakukan untuk menilai fungsi transmisi neuromuskuler.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
CMAP (Compound Muscle Action Potential)
Stimulasi supramaksimal yang dilakukan pada saraf tepi, hasilnya
menunjukkan amplitudo potensial aksi otot yang terekam umumnya normal.
Amplitudo dapat menurun pada kasus yang berat.
SNAP (Sensory Nerve Action Potential)
Pemeriksaan ini menunjukkan hasil yang normal.
RNS (Repetitive Nerve Stimulation)
Pemeriksaan ini pada penderita MG menunjukkan decrement pada respon
ke empat atau ke lima minimal 10 % dari nilai awal. Respon decrement terhadap
RNS ini lebih sering didapatkan pada otot proksimal seperti otot-otot wajah,
biceps, deltoid dan trapezius dibandingkan dengan pada otot-otot tangan.
8



Gambar 4. Repetitive nerve stimulation (RNS) pada frekuensi 2 Hz menunjukkan peningkatan decrement
pada CMAP saat mencapai respon keempat ( kehilangan amplitudo sebesar 42%).

Single Fiber EMG (SFEMG)
Pemeriksaan ini paling sensitif dalam mengetahui transmisi neuromuskuler.
Terdapat peningkatan jitter pada beberapa otot. Jitter terbesar terjadi pada otot
yang lemah. Jitter normal pada otot yang lemah mengeksklusi transmisi
neuromuskuler abnormal sebagai penyebab kelemahan.
8


Gambar 5. Single fiber electromyography menunjukkan "jitter" phenomenon
(second action potential wave group).
8

4. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan rontgen thoraks perlu dibuat pada kasus-kasus yang dicurigai
mengidap timoma dan penderita yang akan menjalani terapi steroid. Keadaan ini
akan membingungkan timoma sesungguhnya, bila kita tidak mempunyai
perbandingan dengan rontgen thoraks sebelum terapi steroid.

II.6.KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Osserman memfasilitasi stadium klinis terapi dan prognosis.
Klasifikasi ini meliputi:
8
I. Miastenia okuler ( 15 20 % )
II.A. Miastenia generalisata derajat ringan dengan progresifitas lambat, tak terjadi krisis
dan respon terhadap obat baik. ( 30 % )
II.B. Miastenia generalisata derajat sedang : terjadi kelemahan yang berat otot skeletal
dan bulber, tidak terjadi krisis tetapi respon terhadap obat kurang memuaskan (25 %
)
III Miastenia fulminasi akut : gejala-gejala memberat sangat cepat dengan krisis
respiratorik, respon buruk terhadap obat, sering ada timoma, mortalitas tinggi ( 15 %
)
IV. Miastenia gravis berat yang berkembang lamban : klinis seperti golongan III, tapi
memerlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk beralih dari golongan I atau II (10 %)

II.7.TERAPI
1. Anticholinesterase
Kedua obat yang telah memberikan hasil terbaik dalam memperbaiki
kelemahan myasthenik adalah neostigmine (Prostigmin) dan pyridostigmine
(Mestinon), yang terakhir ini lebih disukai oleh kebanyakan dokter dan pasien. Dosis
biasa pyridostigmine adalah 30-90 mg diberikan setiap 6 jam (biasanya pil 60 mg
pertama dicoba); dosis oral neostigmine dosis berkisar 7,5-45 mg diberikan setiap 2-6
jam. Bentuk delayed-action kedua obat telah tersedia tetapi diberikan pada waktu
tidur terutama untuk pasien yang mengeluh kelemahan pada malam hari atau pagi
hari. Dosis obat-obatan dan frekuensi pemberian bervariasi dari satu pasien ke pasien
lain.
9
Tabel 1. Dosis-setara untuk obat yang digunakan dalam pengobatan myasthenia gravis
Dose Equivalent Onset Time to Maximum
Response
Pyridostigmine
(Mestinon)
Neostigmine oral
(Prostigmin)
Neostigmine IM
Neostigmine IV
60 mg (oral)

15 mg

1.5 mg
0.5 mg
40 min

1 h

30 min
immediate
1 h

1.5 h

1 h
20 min

2. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid oral direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama
pada MG bila diperlukan imunosupresi. Jenis steroid yang paling sering digunakan
adalah prednison karena mempunyai aktivitas imunosupresi yang baik, aktivitas anti
edema ringan.
9

Dosis awal prednison pada MG generalisata adalah 1 mg/kg BB/ hari. Penderita
MG generalisata sedang sampai berat dilakukan pemberian steroid di rumah sakit
karena risiko drug-induced exacerbation.
9
Pada umumnya sesuai jadwal,dosis kortikosteroid disesuaikan dengan jadwal
alternate-day untuk mengurangi efek samping. Pada awal terapi steroid, obat
anticholinesterase diberikan secara bersamaan; bila pasien membaik, dosis yang
terakhir dapat diturunkan dengan penyesuaian.
9
3. Imunosupresan
Obat imunosupresan juga digunakan dalam penatalaksanaan MG. Obat
tersebut dapat diberikan sebagai obat tunggal, alternatif dari terapi steroid pada
penderita yang kontraindikasi diberikan steroid. Obat juga dapat diberikan sebagai
kombinasi dari steroid.
9
Azathioprine (AZA) merupakan imunosupresan yang paling sering digunakan
untuk terapi MG. Obat ini mempunyai efek pada replikasi sel limfosit T. Dosis harian
adalah 2-3 mg/ kg BB/hari.
9
Cyclosporin A (CyA) menghambat produksi interleukin (IL)-2 melalui sel T
helper. Merupakan obat lini ke tiga, dan hanya digunakan pada penderita yang tidak
tahan atau tidak berespon terhadap imunosupresan lain. Dosis harian 15 mg/kg
BB/hari. Efek samping yang sering adalah tremor yang menghilang bila obat
dihentikan.
9

Cyclophosphamide bekerja terutama pada limfosit B. Efek samping berupa
perkembangan ke arah keganasan atau infertilitas.
Mycophenolate mofetil (MMF), tacrolimus merupakan imunosupresan baru
dan obat lini ke dua.

4. Plasma Exchange (PE) dan Intravenous Immunoglobulins (IVIg)
PE dan IVIg pada umumnya digunakan untuk menginduksi perbaikan pada
penderita MG yang mengalami eksaserbasi. Efek terapi tersebut cepat, tetapi bersifat
sementara, berlangsung selama 4-5 minggu. Indikasi utama PE maupun IVIg meliputi
perburukan akut penyakit (baik bulbar maupun generalisata yang berat) atau krisis
miasthenia. Indikasi lain yaitu adanya perburukan setelah mulai pemberian steroid
dan untuk persiapan timektomi. PE dilakukan dengan pertukaran 1 volume plasma.
Dosis IVIg adalah 400 mg/kg BB/hari selama 3-5 hari.
9

5. Timektomi
Timektomi dilakukan pada penderita dengan timoma dan direkomendasikan
sebagai pilihan pada penderita MG generalisata nontimoma khususnya yang
mempunyai antibodi terhadap AchR dan berusia < 60 tahun.
9

II.8.Prognosis
Bahaya kematian dari myasthenia gravis generalisata terbesar dalam tahun
pertama setelah onset penyakit. Periode kedua bahaya dalam kasus progresif 4-7 tahun
setelah serangan. Setelah waktu ini penyakit cenderung untuk stabil dan risiko kambuh
parah berkurang. Korban jiwa terutama berhubungan dengan komplikasi pernapasan dan
aspirasi pneumonia. Tingkat kematian pada tahun pertama penyakit, sebelumnya lebih
dari 30 persen, kini kurang dari 5 persen, dan dengan terapi yang tepat, kebanyakan
pasien dapat memiliki kehidupan yang produktif.
















DAFTAR PUSTAKA


1. Trouth AJ, Dabi A, Solieman N, Kurukumbi M, Kalyanam J. Myasthenia gravis: A review.
Autoimmune Disesases 2012:1-10
2. Carr AS, Cardwell CR, McCarron PO, McConville J. A systematic review of population
based epidemiological studies in Myasthenia gravis. BMC Neurology 2010;10(46):1-9
3. Singhal BS, Bhatia NS, Umesh T, Menon S. Myasthenia gravis: A study from India.
Neurol India 2008;56:352-5
4. Howard JF. Myasthenia gravis- A summary. Available at
http://www.myasthenia.org/HealthProfessionals/ClinicaOverview/M6.aspx
5. Amato AA, Russell JA. Neuromuscular disorders. New York: Mc Graw Hill; 2008
6. Conti-Fine BM, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia gravis: past, present and future. The
Journal of Clinical Investigation 2006;116(11):2843-50
7. Vincent A. Autoimmune disorderrs of the neuromuscular junction. Neurol India
2008;56:305-13
8. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1171206
9. Mantegazza R, Bonanno S, Camera G, Antozzi C. Current and emerging therapies for
the treatment of myasthenia gravis. Neuropsychiatric Disease and Treatment
2011;7:151-60

Anda mungkin juga menyukai