Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kelainan genitalia wanita adalah suatu keadaan yang abnormal pada
genitalia wanita menyebabkan adanya suatu ketidaknyamanan. Penyebab
kelainan genitalia wanita salah satunya karena infeksi, baik itu infeksi bakteri,
virus, jamur, dan parasit.
Beberapa penyakit yang disebabkan karena infeksi pada genitalia wanita
diantaranya Herpes Simplex Virus-2, rneskipun HSV-1 juga dapat
menyebabkan episode klinis herpes genital. Infeksi herpes genital primer
dapat berat yang berlangsung sekitar 3 minggu. Virus yang lain yang dapat
menyebabkan kelainan pada organ genitalia wanita adalah human papilloma
virus.
Vaginosis bakterial adalah kondisi vagina vang sering dialami wanita usia
reproduktif. Hal ini berhubungan dengan ruptur prematur membran dan
persalinan serta kel ahi ran prematur. Vaginosis bakterial mempunyai
mikrobiologi yang komplek; dua organisme, Gardnerella vaginalis dan spesies
mobilunkus, adalah spesies yang paling dikaitkan dengan proses penyakit.
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida
albicans atau kadang Candida yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada
kandidiasis adalah pruritus akut dan keputihan. Keputihan seringkali tidak
ada dan hanya sedikit.
Trikomoniasis merupakan infeksi saluran urogenital bagian bawah pada
wanita maupun pria, bersifat akut atau kronik , disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis dan penularanya biasanya melalui hubungan seksual.


1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan informasi tentang beberapa kelainan pada genitalia wanita
yang disebabkan oleh adanya infeksi.
2

1.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui beberapa penyebab kelainan pada genitalia wanita.
Mengetahui penyebab dari kelainan genitalia wanita.
Mengetahui penatalaksanaan pada kelainan genitalia wanita karena
infeksi.

1.3 Manfaat
1.3.1 Secara Teoritis
Bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang kelainan pada
genita wanita.
1.3.2 Secara Praktis
Diharapkan dapat mengerti tentang penyebab, patogenesis,
prognosis, dan penatalaksanaan pada beberapa kelainan genitalia
wanita.


















3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Genitalia Wanita
2.1.1 Organ-Organ Genitalia Eksterna
Genitalia eksterna perempuan disebut juga pudendum femininum atau
vulva, terdiri dari mons pubis, labia majora et minora, clitoris, serta sejumlah
bangunan di antara kedua labium minus (vestibulum vaginae, ostium vaginae,
ostium urethrae externum, bulbus vestibuli, dan glandula vestibularis major).
(Snell, 2006).

2.1.1.1 Mons Pubis
Mons pubis (mons veneris) merupakan tonjolan membulat di depan
atas symphysis pubica, terbentuk melalui penumpukan sejumlah jaringan
lemak di bawah kulit, dan ditumbuhi rambut pubis (mulai tumbuh
sewaktu pubertas). Di belakang mons pubis, terdapat labia majora
(labium majus dextrum et sinistrum) yang menutupi struktur di sebelah
dalamnya (labia minora dan vestibulum vaginae); vestibulum vaginae
merupakan lekukan (fossa) yang terletak di antara kedua labium minus.
(Snell, 2006).

2.1.1.2 Labium Majus Pudendi
Labia majora (bentuk jamak dari labium majus), homolog dengan
scrotum laki-laki, merupakan dua tonjolan kulit longitudinal yang
membulat, pada sisi kanan dan kiri, terbentang dari mons pubis di
depannya hingga pinggiran depan perineum di bawah-belakangnya.
Permukaan luarnya ditumbuhi rambut pubis, permukaan dalamnya
mempunyai tekstur yang halus dan tidak ditumbuhi rambut, tetapi
mengandung banyak folikel sebasea besar-besar. (Snell, 2006).
Labium majus dextrum et sinistrum bertemu di belakang, pada
commissure labiorum posterior, di depan, kedua labium majus lebih
menonjol dan bertemu di tengah, pada commissura labiorum anterior; di
4

depannya lagi, terdapat mons pubis. Di antara commissura labiorum
posterior dan anus, terdapat perineum sepanjang kurang-lebih 3 cm,
yang kulitnya menonjol di garis tengah (disebut raphe perinei). Batas
depan perineum adalah frenulum labiorum pudendi (fourchette). Di
antara frenulum labiorum pudendi di dan hymen, terdapat lekukan yang
dinamakan fossa vestibuli vaginae (fossa navicularis vestibuli vaginae).
Ligamentum teres uteri dapat meluas hingga lapisan otot polos di dalam
labium majus; pada kasus hernia inguinalis obliqua congenitalis,
kantong hernia bisa mencapai labium majus. (Snell, 2006).
Labium majus diperdarahi oleh rami pudendi interni arteriae
femoralis dan rami labiales arteriae pudendae internae; cabang-cabang
venanya bersesuaian dengan cabang-cabang arterinya. Sama seperti
scrotum, persyarafan labium majus diurus oleh cabang-cabang n.
ilioinguinalis (nn. labiales anteriores), cabang-cabang n. pudendus (nn.
labiales posteriores), dan rami perineales nervi cutanei femoris
posterioris. (Snell, 2006).

2.1.1.3 Labium Minus Pudendi
Labia minora (bentuk jamak dari labium minus) merupakan dua
lipatan kecil longitudinal yang tersembunyi di sebelah dalam labia
majora. Kedua labium minus bertemu di belakang, pada frenulum
labiorum pudendi. Frenulum ini biasanya terkoyak, atau memang sengaja
di insisi (episiotomi), sewaktu melahirkan anak pertama. Di depan, labia
minora terbagi menjadi dua bagian, pars lateralis dan pars medialis.
Pars lateralis, kanan dan kiri, melintasi glans clitoridis dan menyatu di
tengah pada preputium clitoridis. Pars medialis, kanan dan kiri, menyatu
di tengah dan membentuk frenulum clitoridis. (Snell, 2006).
Kulit labia minora mirip kulit labia majora, permukaannya halus dan
basah, tetapi tidak ditumbuhi rambut serta tidak mengandung lemak. Ke
lateral, labia minora berhubungan dengan labia majora. Ke medial,
labium minus bertemu dengan pasangannya dari sisi yang lain. (Snell,
2006).
5



2.1.1.4 Vestibulum Vaginae
Vestibulum vaginae merupakan tempat bermuaranya urethra
(ostium urethrae externum), vagina (ostium vaginae), dan ductus
glandulae vestibularis majoris. Lekukannya, fossa vestibuli vaginae
terletak di belakang vagina dan di depan frenulum labiorum pudendi.
Ostium urethrae eksternum terletak tepat di depan vagina, kira-kira
2,5 cm di belakang clitoris, di sampingnya kadang-kadang terdapat
muara ductus paraurethrales. Ostium vaginae mempunyai bentuk yang
bervariasi, tergantung keadaan hymennya. Jika hymennya masih utuh
(intact), ostium vaginae tampak sempit. Jika hymennya sudah robek,
ostium vaginae tampak lebih lebar dan lebih bulat, dengan sisa-sisa hymen
(carunculae hymenales). (Snell, 2006).

2.1.1.5 Clitoris
Homolog dengan penis laki-laki, clitoris merupakan organ erektil
yang sensitif, terletak di sebelah dalam commissura labiorum anterior.
Sebagian clitoris ditutupi selaput yang disebut preputium clitoridis.
Clitoris terdiri dari corpus clitoridis, crus clitoridis (kanan dan kiri), serta
bagian ujung yang disebut glans clitoridis. Sebagian besar corpus
clitoridis (panjangnya kurang-lebih 2,5 cm) tersusun atas jaringan erektil
seperti pada penis. Bagian ini terbungkus di dalam fascia fibrosa padat
dan dipisahkan (tidak sempurna) oleh septum corporum cavernosorum
clitoridis. (Snell, 2006).
Ke arah proksimal atau pada pangkal clitoris, kedua belahan corpus
cavernosum clitoridis berpencar menjadi crura clitoridis (bentuk jamak
dari cms clitoridis), (Snell, 2006).
Kedua crus clitoridis melekat pada membrana perinei dekat ramus
ischiopubicus. Bagian ujung clitoris, glans clitoridis, tersusun atas
jaringan erektil dan (seperti pada penis) dilapisi epitel yang sangat
sensitif. Sebuah pita tipis jaringan erektil menghubungkan glans
6

clitoridis dengan bulbus vestibuli. Dari corpus clitoridis sampai
symphysis pubica, terbentang ligamentum suspensorium clitoridis.
(Snell, 2006).
Crura clitoridis dan corpus clitoridis didarahi oleh a. profunda
clitoridis (cabang a. pudenda interna), sementara glans clitoridis
didarahi oleh cabang-cabang a. dorsalis clitoridis. Persarafannya berasal
dari plexus hypogastricus inferior dan a. dorsalis clitoridis (Snell, 2006).

2.1.1.5 Bulbus Vestibuli
Bulbus vestibuli adalah jaringan erektil yang homolog dengan
bulbus penis laki-laki, terletak di samping kanan-kiri ostium vaginae.
Ujung depannya menyempit dan kedua bulbus (kanan dan kiri) menyatu
di depan ostium urethrae eksternum. Bagian belakangnya menebal,
sementara bagian depannya meruncing dan berhubungan dengan glans
clitoridis (hubungan ini dinamakan anastomoses venarum bulbi et
clitoridis). Bulbus vestibuli ditutupi oleh m. bulbospongiosus (m.
sphincter vaginae) yang terletak di sebelah luarnya, dan menutupi
glandula vestibularis major yang terletak di belakangnya.
Pendarahannya diurus oleh a. bulbi vestibuli (cabang a. pudenda
interna). (Snell, 2006).
7

Gambar 1 Bulbus vestibuli, clitoris, dan vestibuli vaginae (Moore, 2002)

2.1.1.6 Glandula Vestibularis Major
Glandula vestibularis major (Glandula Bartholini) adalah kelenjar
yang homolog dengan glandula bulbourethralis (glandula Cowperi) laki-
laki. Kelenjar ini terletak di di samping kanan-kiri ostium vaginae, di
sebelah dalam bulbus vestibuli dan di bawah membrana perinei.
Saluran keluarnya bermuara padi pinggir ostium vaginae. (Snell, 2006).

2.1.2 Organ-organ Genitalia Interna
2.1.2.1 Ovarium
Ovarium adalah organ yang homolog dengan testis laki-laki.
Bentuknya bulat/lonjong, pipih, dan konsistensinya padat dengan
permukaan yang tidak rata (karena terjadi ovulasi setiap bulan selama
masa reproduktif). Pada multipara (perempuan yang pernah melahirkan
lebih dari satu kali), ovarium berukuran kurang-lebih 3 cm (panjang) x
1,5 cm (lebar) x 1-1,5 cm (tebal). Pada orang dewasa, ovarium terletak di
dekat kedua dinding lateral pelvis dan berhubungan dengan ligamentum
8

latum uteri melalui lipatan peritoneum yang disebut mesovarium. (Moore,
2002)


Gambar 2 Ovarium, uterus, tuba uterina dan vagina (Moore, 2002)

Di dalam ovarium, terdapat folliculus ovaricus primarius dan
folliculus ovaricus vesiculosus (folikel Graaf) yang tertanam di dalam
jaringan fibroareolar yang disebut stroma ovarii. Folikel-folikel ini
berupa vesikel kecil berisi sel telur oosit yang sedang berkembang,
ditemukan pada ovarium perempuan dewasa (selama masa reproduktif).
Ketika sudah matur (matang), folliculus ovaricus vesiculosus akan pecah
dan melepaskan sel telurnya; sisanya berupa rongga berisi jaringan
kekuningan, disebut corpus luteum. Corpus luteum ini akan mengecil
(mengalami degenerasi), kecuali jika terjadi kehamilan. Sewaktu
mengalami degenerasi dan atrofi, jaringan kekuningan tersebut akan
menghilang dan digantikan oleh jaringan kolagen yang berwarna putih,
disebut corpus albicans (Moore, 2002).
Keseluruhan ovarium terbungkus dalam sebuah kantong serosa yang
berasal dari peritoneum, tetapi strukturnya agak berbeda dengan struktur
histologik peritoneum. Lapisan pembungkus ini disebut epithelium
germinativum (epithelium Waldeyer) (Moore, 2002)
9

Topografi
Ovarium terletak pada dinding lateral pelvis dalam posisi tegak dan
arahnya vertikal, di dalam lekukan dangkal yang disebut fossa ovarica
(fossa Claudii). Batas batas ovarium adalah sebagai berikut.
Ureter dan a. uterina (batas bawah),
Iliaca externa (batas atas),
Ureter, yang berjalan sepanjang margo liber ovarii, dan a. Iliaca
interna dengan cabang-cabangnya (batas belakang lateral di luar
peritoneum),
ligamentum latum uteri, yang melekat pada dinding lateral pelvis
(batas depan).
Ke depan, ovarium berhubungan dengan ligamentum latum uteri
melalui mesenterium pendek yang disebut mesovarium. (Moore, 2002)

Pembuluh Darah, Aliran Limfe, dan Persarafan
Pembuluh darah yang mendarahi ovarium, yaitu arteria ovarica,
merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis. Dari aorta, arteri ini
berjalan ke bawah, menembus ligamentum suspensorium ovarii hingga
mesovarium, kemudian menuju hilum ovarii dan beranastomosis
dengan ramus ovaricus arteriae uterinae, akhirnya memasuki ovarium.
Vena-venanya meninggalkan ovarium dan membentuk plexus venosus di
sekitar a. ovarica, disebut plexus pampiniformis. Selanjutnya, plexus ini
mengalirkan darahnya ke dalam v. ovarica. (Moore, 2002)
Vena ovarica dextra bermuara ke vena cava inferior, sementara v.
ovarica sinistra bermuara ke v. renalis sinistra. (Moore, 2002)
Cairan limfe dari ovarium dialirkan bersama cairan limfe dari tuba
uterina dan bagian atas uterus menuju nodi lymphoidei aortici
laterales. Ovarium terutama disarafi oleh plexus nervosus di sekitar a.
ovarica, yaitu plexus ovaricus; serabut-serabut saraf yang membentuk
plexus ini sebagian berasal dari plexus hypogastricus. Impuls afferen dari
ovarium akan diteruskan ke susunan saraf pusat melalui rami dorsales
nervi thoracici X. (Moore, 2002)
10


2.1.2.2 Tuba Uterina
Tuba uterina (tuba Falopii, oviduct) merupakan saluran yang
terbentang ke arah lateral mulai dari perbatasan fundus dan corpus uteri,
Saluran sepanjang 10 cm ini mempunyai ujung lateral yang membuka
ke cavum peritonei (disebut ostium abdominale tubae uterinae). Pada
ostium ini, terdapat umbai-umbai yang disebut fimbriae tubae uterinae.
Salah satu fimbria, biasanya yang paling besar, meluas ke arah extremitas
tubalis ovarii, dinamakan fimbria ovarica. Pada fimbriae tubae uterinae
atau ligamentum latum uteri, sering ditemukan satu atau beberapa
vesikel kecil bertangkai yang disebut appendices vesiculosae epoophori
(kista hidatid Morgagni, sisa ductus mesonephricus). (Moore, 2002)
Ovum yang lepas dari ovarium sewaktu ovulasi akan ditangkap
oleh fimbriae tubae uterinae dan disapu menuju ostium abdominale tubae
uterinae. Dari ostium ini, ovum akan terdorong oleh gerakan silia,
berturut-turut ke infundibulum, ampulla, dan isthmus tubae uterinae.
Ampulla adalah bagian tuba uterina yang lebar dan panjang. Selanjutnya,
ovum memasuki pars uterina tubae uterinae (bagian tuba uterina yang
berada di dalam dinding uterus), sebelum akhirnya memasuki cavitas
uteri melalui ostium uterinum tubae uterinae. (Moore, 2002)
Dari ostium abdominale ke ostium uterinum, diameter lumen tuba
uterina mengecil karena ostium abdominale berukuran lebih lebar
dibanding ostium uterinum. Tuba uterina tergantung pada lipatan
peritoneum yang disebut mesosalpinx (bagian dari ligamentum
latum uteri). (Moore, 2002)

Pembuluh Darah, Aliran Limfe, dan Persarafan
Tuba uterina didarahi oleh cabang-cabang a. ovarica dan a. uteri
tuba uterina, darah selanjutnya dialirkan ke v. ovarica dan v.
uterine limfenya dialirkan bersama-sama cairan limfe dari ovarium
ke nodi : aortici laterales, terus ke nodi lymphoidei lumbales.
Persyarafannya oleh cabang-cabang plexus ovaricus dan plexus
11

hypogastricus. Impuls afferens tuba uterina akan dihantarkan ke
susunan saraf pusat melalui serabut-saraf thoracicus XI-XII dan n.
lumbalis I. (Moore, 2002)

2.1.2.3 Uterus
Uterus (womb, rahim) adalah organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya kehamilan (gestasi) menerima dan mempertahankan
ovum yang telah dibuahi, mulai dari proses perkembangannya menjadi
fetus sampai persalinan (partus). Pada gadis, uterus berbentuk seperti
buah pir, pipih dan depan ke belakang, dan terletak di dalam rongga
pelvis antara vesica urinaria dan rectum. Uterus berukuran kurang-lebih
7,5 cm (panjang dari atas ke bawah x 5 cm (Iebar) x 2,5 cm (tebal).
Dindingnya tersusun atas lapisan otot yang tebal, sementara
rongganya berukuran sempit. Uterus terdiri dari tiga bagian: (1) fundus
uteri, bagian uterus di atas tuba uterina, (2) corpus uteri, dengan
rongganya (cavitas uteri), dan (3) cervix uteri, sepertiga bagian bawah
uterus yang menonjol dan bermuara ke dalam vagina.


Gambar 3 Ovarium, uterus, tuba uterina dan ligamentumnya (Moore, 2002)

Cervix uteri terbagi menjadi dua bagian, portio vaginalis cervicis dan
portio supravaginalis cervicis. Permukaan depan portio supravaginalis
12

(di belakang vesica urinaria) tidak ditutupi peritoneum dan
mengandung sejumlah jaringan seluler, sementara permukaan
belakangnya dilapisi peritoneum. Portio vaginalis cervicis merupakan
bagian bulat yang menonjol ke bagian atas liang vagina dan mempunyai
lubang keluar yang disebut ostium uteri (ostium uteri externum). Lubang
ini mempunyai bibir depan (labium anterius ostii uteri) dan bibir
belakang (labium posterius ostii uteri). Uterus mempunyai dua
permukaan, facies intestinalis (fades postero-superior) dan facies
vesicalis (facies anteroinferior). Keduanya berupa permukaan cembung,
tetapi yang lebih cembung adalah facies intestinalis. (Moore, 2002).
Facies intestinalis, yang berhubungan dengan usus kecil dan colon
sigmoideum, dipisahkan dari rectum oleh lipatan peritoneum yang
disebut plica rectouterina, dengan lekukannya yang dinamakan excavatio
rectouterina. Facies vesicalis dipisahkan dari vesica urinaria oleh sebuah
lekukan peritoneum yang disebut excavatio vesicouterina. Sejumlah
struktur melekat pada margo lateralis uteri: tuba uterina (di atas),
ligamentum teres uteri (di bawah depan), dan ligamentum ovarii
proprium (di belakang keduanya). Di samping kanan-kiri cervix uteri,
ureter disilang dari atas oleh a. Uterina (Moore, 2002)

Pembuluh Darah, Aliran Limfe, dan Persarafan
Uterus terutama didarahi oleh arteria uterina (cabang a. iliaca
interna). Arteri ini berjalan menyilang pangkal ligamentum latum uteri,
pada bagian ini a. uterina disilang oleh ureter di depannya
(ligasi/pengikatan arteri ini harus dilakukan dengan hati-hati supaya
ureter tidak ikut terikat). Di dekat cervix uteri, arteri ini berjalan ke atas
menuju corpus uteri, kemudian beranastomosis dengan a. ovarica. Darah
dari uterus diangkut oleh venae uterinae dan dialirkan menuju plexus
venosus pada ligamentum latum uteri, kemudian ke v. iliaca interna.
(Moore, 2002)
Saluran limfe dari fundus uteri bersatu dengan saluran limfe dari
ovarium, lalu berjalan menuju nodi lymphoidei aortici laterales; ada juga
13

yang berjalan di sepanjang ligamentum teres uteri menuju nodi
lymphoidei inguinales superficiales. Cairan limfe dari cervix uteri
dialirkan ke nodi lymphoidei sacrales dan semua nodi lymphoidei iliaci,
sementara cairan limfe dari corpus uteri dialirkan ke nodi lymphoidei
iliaci externi. (Moore, 2002).
Persarafan uterus terutama berasal dari plexus uterovaginalis yang
terletak di dekat cervix uteri. Plexus uterovaginalis bergabung dengan
plexus pelvicus (simpatis) di atasnya; namun, plexus ini sebenarnya
dibentuk juga oleh serabut-serabut nn. pelvici splanchnici (parasimpatis).
Penelitian menunjukkan bahwa serabut-serabut efferen dari uterus akan
berjalan menuju rami dorsales nervi thoracici et lumbalis (T10 sampai
L1) (Moore, 2002).


Gambar 4 Pembuluh darah pada uteri (Moore, 2002)

2.1.2.4 Vagina
Vagina merupakan bagian akhir tractus genitalis perempuan.
Ke arah proksimal, vagina berhubungan dengan ostium uteri
externum; ke arah distal, mempunyai sebuah lubang keluar dari
14

perineum, yang dinamakan ostium vaginae. Vagina berupa saluran
sepanjang kurang-lebih 9 cm, yang terletak di rongga pelvis (di
belakang vesica urinaria dan di depan rectum). Posisi vagina
mengarah ke atas, agak ke belakang dan sedikit cembung ke depan;
sumbu nembentuk sudut 90 dengan sumbu uterus sewaktu
vesica urinaria terisi penuh. Karena cervix uteri menonjol ke
dalam vagina, terbentuk celah di cervix uteri dan dinding vagina.
Celah tersebut dinamakan fornix vaginae, in menjadi pars anterior,
pars posterior, dan pars lateralis; sesuai posisi vagina terhadap uterus,
pars posterior fornicis vaginae merupakan terletak paling dalam.
Dinding depan vagina lebih pendek (7,5 cm) dinding belakangnya (9
cm). Dalam keadaan biasa, dinding depan, dari belakang vagina
berimpit sehingga liang vagina tertutup; namun, vagina meregang
sewaktu coitus (sanggama) atau saat melahirkan (Moore, 2002).

Pembuluh Darah, Aliran Limfe, dan Persarafan
Bagian atas vagina didarahi oleh cabang-cabang a. uterina,
sementara ragian tengah dan bawah vagina didarahi oleh a.
vaginalis, a. vesicalis inferior, a. rectalis media, dan a. pudenda
interna (cabang-cabang a.iliaca interna). Darah dari vagina dialirkan
ke v. uterinae, plexus venosus uterinus, dan plexus venosus vesicalis,
kemudian masuk ke v. iliaca interna (Moore, 2002).
Cairan limfe dari bagian atas vagina dialirkan ke nodi
lymphoidei iliaci interni et externi, sementara cairan limfe dari
bagian bawah vagina dialirkan ke nodi lymphoidei inguinales
superficiales. Vagina disarafi oleh cabang-cabang plexus vesicalis
dan plexus uterovaginalis; persarafan parasimpatisnya berasal dari
nn. sacrales (S2, S3, dan S4). (Moore, 2002).




15

2.2 Histologi Genitalia Wanita
2.2.1 Vagina
Mukosa vagina tidak rata dan memperlihatkan banyak plica
mucosae. Epitel permukaan kanalis vaginalis adalah epitel berlapis
gepeng tanpa lapisan tanduk. Papila jaringan ikat di bawahnya tampak
menonjol dan membentuk indentasi epitel (Eroschenko V. P. 2010).
Lamina propria mengandung jaringan ikat padat tidak teratur
dengan serat elastik yang meluas ke dalam tunika muskularis berupa
serat interstisial. Jaringan Iimfoid difus, nodulus limfoid, dan pembuluh
darah kecil terdapat di lamina propria (Eroschenko V. P. 2010).
Tunika muskularis dinding vagina terutama terdiri dari berkas
longitudinal dan berkas oblik otot polos. Berkas transversal otot polos
jauh lebih sedikit tetapi lebih sering ditemukan di lapisan dalam. Jaringan
ikat interstisial kaya serat elastik. Pembuluh darah dan berkas saraf;
banyak ditemukan di adventisia (Eroschenko V. P. 2010).
Glikogen adalah komponen utama di epitel vagina, kecuali di
lapisan paling dalam, tempat glikogen sedikit atau tidak ada. Selama fase
folikular daur haid, glikogen menumpuk di epitel vagina, mencapai kadar
maksimal sebelum ovulasi. Glikogen dapat diketahui dengan uap iodium
atau larutan iodium dalam minyak mineral (metode Mancini); glikogen
berwarna ungu kemerahan. ( Eroschenko V. P. 2010)

Gambar 5 Vagina potongan lngitudinal (Eroschenko V. P. 2010)
16


2.2.2 Uterus
Permukaan endometrium dilapisi oleh epitel selapis silindris yang berada di
atas lamina propria tebal. Epitel meluas ke bawah ke dalam jaringan ikat lamina
propria dan membentuk kelenjar uterus tubular yang panjang. Pada fase
proliferatif kelenjar uterus biasanya lurus di bagian superfisial endometrium,
tetapi membentuk percabangan di bagian yang lebih dalam di dekat
miometrium, Akibatnya, banyak kelenjar uterus terlihat pada potongan
melintang ( Eroschenko V. P. 2010).
Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan: endometrium di sebelah dalam;
lapisan tengah otot; polos miometrium; dan perimetrium membran serosa di
sebelah luar (tidak tampak). Endometrium dibagi lagi menjadi dua zona atau
lapisan: stratum basale yang sempit dan dalam, deb: miometrium dan stratum
functionale, lapisan superfisial yang lebih lebar di atas stratum basale yang
meluas ke lumen uterus ( Eroschenko V. P. 2010).
Selama daur haid, endometrium menunjukkan perubahan-perubahan
morfologi yang secara langsung berkaitan dengan fungsi ovarium. Perubahan
siklik pada uterus yang tidak hamil dibagi menjadi tiga fase berbeda: fase
proliferatif (folikular): fase sekretori (luteal); dan fase menstruasi
(Eroschenko V. P. 2010).
Pada fase proliferatif daur haid dan di bawah pengaruh estrogen ovarium,
stratum functionale semakin tebal dan kelenjar uterus memanjang dan berjalan
lurus di permukaan. Arteri spiralis bergelung (potongan melintang) terutama
terlihat di endometrium yang lebih dalam. Lamina propria di bagian atas
endometrium mengandung banyak sel dan menyerupai jaringan mesenkim.
Jaringan ikat di stratum basale lebih padat dan tampak lebih gelap dalam
gambar ini. Endometrium terus berkembang selama fase proliferatif akibat
meningkatnya kadar estrogen yang disekresi oleh folikel ovarium yang sedang
berkembang (Eroschenko V. P. 2010).
Endometrium terletak di atas miometrium, yang terdiri dari berkas padat otot
polos dipisahkan oleh untai tipis jaringan ikat interstisial dengan banyak
pembuluh darah. Akibatnya, berkas otot terlihat pada potongan melintang,
memanjang, dan oblik (Eroschenko V. P. 2010).

17


Gambar 6. Uterus fase proliferasi . ( Eroschenko V. P. 2010)

2.3 Kelainan Pada Organ Genitalia Wanita
2.3.1 Virus
2.3.1.1 Etiologi
Penyakit genital biasanya disebabkan oleh Herpes Simplex Virus
-2, rneskipun HSV-1 juga dapat menyebabkan episode klinis herpes
genital. Infeksi herpes genital primer dapat berat yang berlangsung
sekitar 3 minggu. (Jawetz, 2008).
Kondiloma akuminatum ialah vegetasi oleh human papilloma
virus tipe tertentu, bertangkai, dan permukaannya berjonjot. Virus
penyebabnya adalah Virus Papilloma Humanus (VPH), ialah virus
DNA yang tergolong dalam keluarga virus Papova. Sampai saat ini
telah dikenal sekitar 70 tipe VPH, namun tidak seluruhnya dapat
menyebabkan kondiloma akuminatum. Tipe yang pernah ditemui pada
kondiloma akuminatum adalah tipe 6, 11, 16, 18, 30, 31, 33, 35, 39,
41, 42, 44, 51, 52, dan 56. (Djuanda, 2010).
Beberapa tipe VPH tertentu mempunyai potensi onkogenik
yang tinggi, yaitu tipe 16 dan 18. Tipe ini merupakan jenis virus yang
18

paling sering dijumpai pada kanker serviks. Sedangkan tipe 6 dan 11
lebih sering dijumpai pada kondiloma akuminatum dan neoplasia
intraepitelial serviks derajat ringan. (Djuanda, 2010).
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus poks, klinis berupa papul-papul, pada permukaannya terdapat
lekukan, berisi massa yang mengandung badan moluskum. (Djuanda,
2010).

2.3.1.2 Epidemiologi
Virus ini kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita
dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes
simpleks (H.V.S) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak,
sedangkan infeksi VHS tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III,
dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. (Jawetz,
2008).
Penyakit Kondiloma akuminata dan Moluskum kontagiosum
ini termasuk Penyakit akibat Hubungan Seksual (P.H.S.).
Frekuensinya pada pria dan wanita sama. Tersebar kosmopolit dan
transmisi melalui kontak kulit langsung. (Djuanda, 2010).

2.3.1.3 Patogenesis
Karena HSV menyebabkan infeksi sitolitik, perubahan patologi
disebabkan oleh nekrosis sel yang terinfeksi disertai respons
peradangan. Lesi yang diinduksi di kulit dan selaput lendir oleh HSV-
1 dan HSV-2 sama dan menyerupai lesi yang disebabkan oleh virus
varisela-zoster. Perubahan yang diinduksi oleh HSV serupa dengan
infeksi primer dan rekuren tetapi tingkatannya berbeda, menunjukkan
luasnya sitopatologi virus. (Jawetz, 2008)
Perubahan histopatologi khas mencakup penggelembungan sel
yang terinfeksi, produksi badan inklusi intranuklear cowdry tipe A,
marginasi kromatin, dan pembentukan sel raksasa berinti banyak.
Inklusi awal sebenarnya mengisi nukleus tetapi kemudian memadat
19

dan dipisahkan oleh halo dari kromatin pada tepi nukleus. Fusi sel
menyediakan metode yang efisien untuk penyebaran HSV dari sel ke
sel bahkan saat ada antibodi penetral. (Jawetz, 2008)

Infeksi primer
HSV ditularkan melalui kontak terhadap orang yang rentan oleh
individu yang mengeluarkan virus. Virus harus menembus permukaan
mukosa kulit yang terluka untuk memulai infeksi (kulit yang bersifat
resistan). Infeksi HSV-1 biasanya terbatas pada orofaring dan virus
menyebar melalui droplet pernafasan atau kontak langsung dengan air
liur yang terinfeksi. HSV-2 biasanya ditularkan melalui jalur genital.
(Jawetz, 2008)
Replikasi terjadi pertama kali di tempat terinfeksi. Virus
kemudian menginvasi ujung saraf lokal dan dibawa melalui aliran
aksonal retrofrad ke ganglion radiks dorsalis, tempat terjadinya latensi
setelah replikasi lanjutan. Infeksi HSV-1 orofaring menyebabkan
infeksi laten pada ganglia trigeminalis, sedangkan infeksi HSV-2
genital menyebabkan ganglion sakralis terinfeksi secara laten.
(Jawetz, 2008)
Infeksi HSV primer biasnya bersifat ringan, bahkan kebanyakan
bersifat asimtimatik. Jarang terjadi penyakit sistemik. Terkenanya
organ yang tersebar luas dapat terjadi bila pejamu imunokompromais
tidak mampu membatasi replikasi virus timbul viremia. (Jawetz, 2008)

Infeksi laten
Virus menetap di ganglion yang terinfeksi secara laten pada
stadium tidak bereplikasi, hanya sedikit gen virus yang diekspresikan.
Persistensi virus pada ganglion terinfeksi laten berlangusng seumur
hidup pejamu ada virus yang ditemukan antarrekurensi pada tempat
biasa terjadi lesi rekuren. Stimulasi primer termasuk cedera aksonal,
demam, stres, dan pajanan sinar ultraviolet yang mengaktifkan
kembali virus dari stadium laten memungkinkan akson kembali ke
20

perifer, dan terus berlangsung di kulit atau selaput lendir. Proses
spontan terjadi meskipun timbul imunitas sel humoral spesifik HSV
pada pejamu. Namun, ini memmbatasi replikasi virus setempat
sehingga rekurensi tidak terlalu luas dan tidak terlalu berat rekurensi
bersifat asimtomatik, hanya ditunjukkan pengeluaran virus dalam
sekresi. Bila simtomatik infeksi HSV-1 rekuren biasanya
bermanifestasi melepuh demam (cold sores) di dekat bibir. Lebih dari
populasi manusia mengandung HSV-1 dalam tetapi hanya sedikit
yang mengalami rekurensi. (Jawetz, 2008)

2.3.1.4 Gejala klinis
Penyakit herpes genital biasanya disebabkan oleh HSV-2,
meskipun HSV-1 juga dapat menyebabkan episode klinis herpes
genital. Infeksi herpes genital primer dapat berat yang berlangsung
sekitar 3 minggu. Herpes genital ditandai dengan lesi vesikuloulseratif
pada penis atau serviks, vulva, vagina, dan perineum pada perempuan.
Lesi sangat nyeri dan dapat disertai demam, malaise, disuria, dan
limfadenopati inguinal. Komplikasinya adalah lesi ekstragenital dan
meningitis asepsis. Ekskresi virus menetap selama sekitar 3 minggu.
(Jawetz, 2008)
Karena rekativitas silang antigenik antara HSV-1 dan HSV-2 ,
imunitas yang telah ada memberikan beberapa proteksi melawan
infeksi heterotipik. Infeksi HSV-1 awal pada orang sudah yang kebal
HSV-2 cenderung kurang berat. (Jawetz, 2008)
Rekurensi infeksi herpes genital sering terjadi dan cenderung
ringan. Vesikel dalam jumlah yang terbatas tampak pada keadaan
tersebut dan sembuh sekitar 10 hari. Virus keluar hanya untuk
beberapa hari. Beberapa rekurensi bersifat asimtomatik. Walaupun
rekurensi bersifat asimtomatik maupun simtomatik seseorang
mengeluarkan virus dapat menularkan infeksi ke pasangan seksualnya.
(Jawetz, 2008).
21

Penyakit ini terutama terdapat di daerah lipatan yang lembab,
misalnya di daerah genitalia eksterna. Pada pria tempat predileksinya
di perineum dan sekitar anus, sulkus koronarius, glans penis, muara
uretra eksterna, korpus, dan pangkal penis. Pada wanita di daerah
vulva dan sekitarnya, introitus vagina, kadang-kadang pada porsio
uteri. Pada wanita yang banyak mengeluarkan fluor albus atau
wanita yang hamil pertumbuhan penyakit lebih cepat. (Djuanda,
2010).
Kelainan kulit berupa vegetasi yang bertangkai dan berwarna
kemerahan kalau masih baru, jika telah lama agak kehitaman.
Permukaannya berjonjot (papilomatosa) sehingga pada vegetasi yang
besar dapat dilakukan percobaan sondase. Jika timbul infeksi
sekunder warna kemerahan akan berubah menjadi keabu-abuan dan
berbau tidak enak. (Djuanda, 2010).
Vegetasi yang besar disebut sebagai giant condyloma (Buschke)
yang pernah dilaporkan menimbulkan degenerasi maligna, sehingga
hams dilakukan biopsi. (Djuanda, 2010)
Masa inkubasi berlangsung satu sampai beberapa minggu.
Kelainan kulit berupa papul miliar, kadang-kadang lentikular dan
berwarna putih seperti lilin, berbentuk kubah yang kemudian di
tengahnya terdapat lekukan (delle). Jika dipijatakan tampak ke luar
massa yang berwarna putih seperti nasi. Lokalisasi penyakit ini di
daerah muka, badan dan ekstremitas, sedangkan pada orang dewasa
di daerah pubis dan genitalia eksterna. Kadang-kadang dapat timbul
infeksi sekunder sehingga timbul supurasi. (Djuanda, 2010)

Gambar 7. Kondiloma Akuminata (Djuanda, 2010)
22



Gambar 8 Infeksi virus herpes simpleks pada vagina (Djuanda, 2010)

2.3.1.5 Diagnosis banding
Pada daerah genitalia herpes simpleks harus dibedakan dengan
ulkus durum, ulkus mole dan ulkus mikstum, maupun ulkus yang
mendahului penyakit limfogranuloma venerum. (Djuanda, 2010)

2.3.1.6 Penatalaksanaan
Sampai saai ini belum ada terapi yang memberikan
penyembuhan yang radikal, artinya tidak ada pengobatan yang dapat
mencegah rekurensi secara tuntas. Pada lesi yang topikal dapat
digunakan obat topikal berupa salap/ krim yang mengandung preparat
idoksuridin dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval
beberapa jam. Preparat asiklovir yang dipakai secara topikal
tampaknya dapat digunakan. Asiklovir ini cara kerjanya mengganggu
aplikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila sedang aktif. Jika
timbul ulserasi dapat dilakukan kompres. Pengobatan oral berupa
preparat asiklovir tampaknya dapat memberikan hasil yang lebih baik,
dosisnya 5x200 mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral
dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit yang lebih berat
atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula dengan
preparat adenin arabinosid (vitarabin). Interferon sebagai penghambat
23

reproduksi janin juga dapat digunakan secara parenteral. (Djuanda,
2010).
Untuk mencegah rekurensi macam-macam usaha yang
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan imunitas selular,
misalnya pemberian lupidon G (untuk HSV tipe II) dalam duatu seri
pengobatan. Pemberian levamisol, isoprinosin atau asiklovir secara
berkala menurut beberapa penyelidik memberikan hasil yang baik.
Efek levamisol dan isoprinosin adalah sebagai imunostimulator.
(Djuanda, 2010)
Pengobatan Pada Kondiloma Akuminatum
1. Kemoterapi
a. Podofilin
Yang digunakan ialah tingtur podofilin 25%. Kulit di
sekitarnya dilindungi de-ngan vaselin atau pasta agar tidak
terjadi iritasi, setelah 4-6 jam dicuci. Jika belum ada
penyembuhan dapat diulangi setelah 3 hari. Setiap kali
pemberian jangan me-lebihi 0,3 cc karena akan diserap dan
ber-sifat toksik. Gejala toksisitas ialah mual, muntah, nyeri
abdomen, gangguan alat napas, dan keringat yang disertai
kulit di-ngin. Dapat pula terjadi supresi sumsum tulang yang
disertai trombositopenia dan leukopenia. Pada wanita hamil
sebaiknya jangan diberikan karena dapat terjadi ke-matian
fetus. (Djuanda, 2010)
Cara pengobatan dengan podofilin ini sering dipakai.
Hasilnya baik pada lesi yang baru, tetapi kurang memuaskan
pada lesi yang lama atau yang berbentuk pipih. (Djuanda,
2010)
b. Asam triklorasetat
Digunakan larutan dengan konsen-trasi 50%,. dioleskan
setiap minggu. Pem-beriannya harus berhati-hati karena dapat
menimbulkan ulkus yang dalam. Dapat diberikan pada wanita
hamil. (Djuanda, 2010)
24

c. 5-fluorourasil
Konsentrasinya antara 1-5% dalam krim, dipakai
terutama pada lesi di meatus uretra. Pemberiannya setiap hari
sampai lesi hilang. Sebaiknya penderita tidak miksi selama 2
jam setelah pengobatan. (Djuanda, 2010)

2. Pembedahan

2.3.1.7 Prognosis
Selama pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal
tersebut secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan
secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa
penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih jarang
(Djuanda, 2010).
Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pada penyakt-
penyakit dengan tumor di sistem retikuloendothelial, pengobatan
dengan imunospuresan yang lama atau fisik yang sangat lemah,
menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat
fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa (Djuanda, 2010).
Walaupun sering mengalami residif, prog-nosisnya baik.
Faktor predisposisi dicari, misalnya higiene, adanya fluor albus, atau
kelembaban pada pria akibat tidak disirkumsisi. (Djuanda, 2010)

2.3.2 Bakteri
Vaginosis bakterial adalah kondisi vagina vang sering dialami
wanita usia reproduktif. Hal ini berhubungan dengan ruptur prematur
membran dan persalinan serta kel ahi ran prematur. Vaginosis bakterial
mempunyai mikrobiologi yang komplek; dua organisme, Gardnerella
vaginalis dan spesies mobilunkus, adalah spesies yang paling dikaitkan
dengan proses penyakit. (Djuanda, 2010).

25

2.3.2.1 Epidemiologi
Penyakit vaginosis lebih sering ditemukan pada wanita yang
memeriksa kesehatannya daripada vaginitis jenis lainnya. Frekuensi
bergantung pada tingkatan sosial ekonomi penduduk pernah
disebutkan bahwa 50% wanita katif seksual terkena infeksi G.
vaginalis, tetapi hanya sedikit gejala yang menyebabkan gejala sekitar
50% ditemukan pada pemakai AKDR dan 86% bersama-sama dengan
infeksi Trichomonas. (Djuanda, 2010).
Gardnella vaginalis dapat diisolasi dari 15% anak wanita
prapubertas yang masih perawan, sehingga organism ini tidak mutlak
ditularkan lewat kontak seksual. Meskipun kasus Vaginosis bacterialis
dengan resiko kehamilan preterm ibu hamil sebanyak 60%. (Djuanda,
2010).
Vaginosis bakterialis yang rekuren dapat meningkat pada wanita
yang mulai aktivitas seksualnya sejak umur muda, lebih sering terjadi
juga pada wanita berkulit hitam yang menggunakan kontrasepsi dan
merokok. Vaginosis bakterialis yang rekuren prevalensinya juga tinggi
pada pasangan-pasangan lesbi, yang mungkin berkembang karena
wanita tersebut berganti-ganti pasangan lesbi, ataupun yang sering
melakukan penyemprotan pada vagina. (Djuanda, 2010).
Hampir 90% laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi
Gardnerella vaginosis, mengandung G.vaginalis dengan biotipe yang
sama dalam uretra, tetapi tidak memnyebabkan uretritis. (Djuanda,
2010).

2.3.2.2 Etiologi
Meskipun penyebab dari Vaginosis bakterialis belum diketahui
dengan pasti namun telah diketahui berhubungan dengan kondisi
keseimbangan bakteri normal dalam vagina yang berubah. Ekosistem
vagina normal adalah sangan kompleks. Lactobaccilus merupakan
spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada wanita usia subur,
tetapi ada juga bakteri lainnya yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada
26

saat Vaginosis bacterial muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari
beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan
normal ada dalam konsentrasi rendah. (Djuanda, 2010).
Penyebab Vaginosis bakterial adalah Gardnella vaginalis sangat
erat hubungannya dengan Vaginosis bakterial. Organism ini mula-
mula dikenal sebagai H.vaginalis kemudian diubah menjadi genus
Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam
dioksiribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak begerak dan
berbentuk batang gram negatif atau variable gram. (Djuanda, 2010).
Banyak spesies mikoplasma yang seeara antigenik dapat
dibedakan telah diisolasi dari binatang (misalnya, tikus, ayam,
kalkun). Pada manusia, minimal terdapat 14 spesies yang dapat
diidentifikasi, termasuk M hominis, Mycoplasma salivarium,
Mycoplasma orale, Mycoplasma fermentans, M pneumoniae, M
genitalium, U urealyticum, dan lain-lain. (Jawetz, 2008)
Terdapat lebih dari 150 spesies pada kelas bakreri dengan
kelainan dinding sel. Minimal 15 spesies ini diduga berasal dari
manusia sementara yang lainnya telah diisolasi dari binatang dan
tumbuhan. Pada manusia, terdapat empat spesies yang sangat
penting: Mycoplasma pneumoniae. (Jawetz, 2008)
Menyebabkan pneumonia dan menyebabkan infeksi sendi dan
infeksi lainnya. Mycoplasma hominis kadang menyebabkan demam
postpartum dan ditemukan bersama dengan bakteri lainnya pada
infeksi tuba uterina. Ureaplasma urealyticum adalah penyebab
uretritis. Gnokokus ada pria dan dikaitkan dengan penyakit paru paru
bayi prematur dengan berat lahir rendah. Mycoplasma genitalium
sangat berhubungan dengan M. Pneumoniae dan relah dikaitkan
dengan infeksi uretra dan infeksi lainnya. Spesies lain genus
mikoplasma bersifat patogen terhadap saluran pernapasan dan
urogenitalia serta sendi-sendi binatang. (Jawetz, 2008)
Bakteri ini mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Ukuran
mikoplasma terkecil adalah 125-250 nm. (2) Mikoplasma sangat
27

pleomorfik karena dinding selnya tidak kaku dan dilapisi dengan tiga
lapis "membran unit" yang mengandung sterol (mikoplasma
memerlukan tambahan serum atau kolesterol ke dalam medium agar
dapat menghasilkan sterol untuk pertumbuhannya). (3) mikoplasma
sangat resistan terhadap penisilin karena pada dinding selnya tidak
terdapat struktur tempat penisilin bereaksi, terapi mikoplasma dapat
dihambat oleh tetrasiklin atau critromisin , (4) Mikoplasma dapat
bereproduksi dalam media bebas sel: pada agar, pusat keseluruhan
koloni melekat di bawah permukaannya. (5) Pertumbuhan
mikoplasma dihambat oleh antibodi yang spesifik. (6) Mikoplasma
mempunyai afinitas untuk membran sel mamalia. (Jawetz, 2008)
Mycoplasma genitalium awalnya diisolasi dari biakan uretra dua
pria dengan uretritis nongonokokus, terapi biakan M genitalium sulit
dilakukan, dan observasi selanjutnya didasarkan pada data yang
diperoleh dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (peR), probe
molekular, dan uji serologi. Data tersebut menyebutkan bahwa M
genitalium menyebabkan beberapa kasus uretritis nongonokokus akut
dan kronis. (Jawetz, 2008).

2.3.2.3 Patogenesis
Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan
kompleks yang terdiri dari unsur-unsur yang berbeda yang saling
mempengaruhi. Salah satu komponen lengkap dari ekosistem vagina
adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari gram positif dan
gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi
sinergetik dan antagonistik antara mikroflora vagina endogen bersama
dengan komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya sistem ekologi
yang mengarah pada kesehatan ekosistem vagina. Beberapa
faktor/kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan
menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan
perubahan pada mikroflora vagina. Dalam keseimbangannya,
ekosistem vagina didominasi oleh bakteri Lactobacillus yang
28

menghasilkan asam organik seperti asam laktat, hidrogen peroksida
(H2O2), dan bakteriosin. (Djuanda, 2010).
Asam laktat yang dihasilkan oleh Lactobacillus, memegang
peranan yang penting dalam memelihara pH tetap di bawah 4,5
(antara 3,8-4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai bagi
pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi
vagina. Kemampuan memproduksi H
2
O
2
adalah mekanisme lain yang
menyebabkan Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat
anaerob yang kekurangan enzim katalase. Hidrogen peroksida
dominan terdapat pada ekosistem vagina normal tetapi tidak pada
bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi
oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein
dengan berat molekul rendah yang menghambat pertumbuhan banyak
bakteri khususnya Gardnerella vaginalis. (Djuanda, 2010).
Gardnerella vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob
batang variabel gram yang mengalami hiperpopulasi sehingga
menggantikan flora normal vagina dari yang tadinya bersifat asam
menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat berkurangnya
jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.
Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang
membantu menjaga keasaman vagina dan menghambat
mikroorganisme anaerob lain untuk tumbuh di vagina. (Djuanda,
2010).
Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita
usia produktif. Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks
menghasilkan suatu cairan jernih yang keluar, bercampur dengan
bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari kelenjar
Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang
alami dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan
pertahanan dari berbagai infeksi. Dalam kondisi normal, sekret vagina
tersebut tampak jernih, putih keruh, atau berwarna kekuningan ketika
mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0 terdiri dari sel-sel
29

epitel yang matur, sejumlah normal leukosit. Pada bakterial vaginosis
dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai pembentuk asam
amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina
yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH
sekret vagina sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G.
vaginalis. Beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit dan
menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan sekret tubuh berbau
tidak sedap yang keluar dari vagina. (Djuanda, 2010).
Basil-basil anaerob yang menyertai bakterial vaginosis
diantaranya Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang
dapat diisolasikan dari infeksi genitalia. G. vaginalis melekat pada sel-
sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan deskuamasi sel
epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding
vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi lokal yang
terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam
sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis. Timbulnya
bakterial vaginosis ada hubungannya dengan aktivitas seksual atau
pernah menderita infeksi Trichomonas. Bakterial vaginosis yang
sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang
faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini. Walaupun
alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4
kemungkinan yang dapat menjelaskan yaitu : (Djuanda, 2010)
1) Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme
penyebab bakterial vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual
wanitanya terinfeksi G. vaginalis mengandung G. vaginalis
dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak menyebabkan
uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah
mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk
kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan
pelindung. (Djuanda A. 2007).
30

2) Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial
vaginosis yang hanya dihambat pertumbuhannya tetapi tidak
dibunuh. (Djuanda A. 2007).
3) Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan
Lactobacillus sebagai flora normal yang berfungsi sebagai
protektor dalam vagina. (Djuanda A. 2007).
4) Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi
faktor hostnya pada penderita, membuatnya rentan terhadap
kekambuhan. (Djuanda A. 2007).

Banyak mikoplasma patogenik mernpunyai struktur seperti
(flash-like) atau filamen dan rnempunyai penempelan ke sel polar
khusus yang memediasi proses pejamu. Struktur-struktur ini adalah
grup kormpleks yang terdiri dari protein interaktif, adhesin, dan
protein aksesori adheren. Protein tersebut kaya akan parolin yang
memengaruhi pelekukan dan pengikatan protein serta penting dalam
proses penempelan organisme ke sel. Mikoplasma menempel pada
permukaan sel yang bersilia dan tidak bersilia, mungkin melalui
sialoglikokonjugat mukosa sel dan glikolipid sulfa. Beberapa
mikoplasma tidak mempunyai struktur ujung yang tampak nyata terapi
menggunakan protein adhesin atau mempunyai mekanisme alternatif
untuk menempel padasel pejamu Proses infeksi selanjutnya belum
begitu jelas terapi dapat melibatkan beberapa faktor berikut:
sitotoksiksitas langsung melalui pembentukkan hidrogen peroksida
dan radikal superoksida; sitolisis yang dimediasi oleh reaksi antigen-
antibodi atau oleh kernotaksis dan kerja sel mononuklear; serta
kompetisi dan deplesi nutrien. (Jawetz, 2008)

2.3.2.4 Gejala Klinis
Wanita dengan Vaginosis bakterial akan mengeluh adanya duh
tubuh dari vagina yang ringan atau sedang dan berbau tidak enak
(amis), yang dinyatakan oleh penderita sebagai satu-satunya gejala
31

yang tidak menyenangkan. Bau lebih menusuk setelah bersenggama
dan mengakibatkan darah menstruasi berbau abnormal. Iritasi daerah
vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa terbakar) lebih ditemukan, lebih
ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis atau
C.albicans sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan
seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen,
dispareunia, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada
karena penyakit lain. Disamping itu sekitar 50% penderita Vaginosis
bakterial bersifat asimtomatik. (Djuanda, 2010).
Pada pemeriksaan sangat khas, dengan adanya duh tubuh vagina
bertambah, warna abu-abu homogeny, viskositas rendah atau normal,
berbau, dan jarang berbusa. Duh tubuh melekata pada dinding vagina
dan terlihat sebagai lapisisa tipis atau kilauan yang difus, pH secret
vagina berkisar 4,5-5,5. Gejala peradangan umum tidaka ada.
Terdapat eritema pada vagina atau vulva atau petekie paada dinding
vagina. Pada pemeriksaan kolposkopi tidak terlihat dilitasi pembuluh
darah dan tidak ditemukan penambahan densitas pembuluh darah pada
dinding vagina. (Djuanda, 2010).
Mikoplasma telah dikultivasi dari membran mukosa dan
jaringan manusia, terutama dari genital, saluran kencing, dan saluran.
napas. Mikoplasma adalah bagian dari flora normal mulur dan dapat
ditumbuhkan dari saliva normal, membran mukosa rnulur, sputum
atau jaringan tonsil. M salivarium, M orale, dan mikoplasma lainnya
dapat ditemukan di rongga mulut pada banyak orang dewasa sehat,
tetapi hubungannya dengan penyakit klinis belum jelas. M hominis
ditemukan di orofaring kurang dari 5% orang dewasa. M pneumonia
di orofaring biasanya berkaitan dengan penyakit. (Jawetz, 2008).
Beberapa mikoplasma terdapat pada saluran genitourinaria, terutama
pada wanita. Pada pria maupun wanita, genital yang membawa mikoplasma
secara, langsung berhubungan dengan jumlah partner seksual sepanjang
hidup. M hominis dapar dibiakkan dari 1-5% pria asimtomatik dan 30-70%
wanita asimtomatik. (Jawetz, 2008).

32


Gambar 9. Infeksi bakteri pada vaginitis (Djuanda, 2010)

2.3.2.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan preparat basah dilakukan dengan meneteskan satu
atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek
glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400
kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina
yang diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella
vaginalis).6,13 Pemeriksaan preparat basah mempunyai
sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial
vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.
(Djuanda, 2010).
b. Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin
terdeteksi dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada
sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat pelepasan amin dan
asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif
menunjukkan bakterial vaginosis. (Djuanda, 2010).
c. Tes lakmus untuk pH Kertas lakmus ditempatkan pada dinding
lateral vagina. Warna kertas dibandingkan dengan warna standar.
pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 80-90% bakterial vaginosis
ditemukan pH > 4,5 (Djuanda, 2010).
33

d. Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak
ditemukan Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan
berlebihan dari Gardnerella vaginalis dan Mobilincus Sp dan
bakteri anaerob lainnya. (Djuanda, 2010).
e. Kultur vagina Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat
untuk diagnosis bakterial vaginosis. Kultur vagina positif untuk
G. vaginalis pada bakterial vaginosis tanpa gejala klinis tidak
perlu mendapat pengobatan. (Djuanda, 2010).

2.3.2.6 Diagnosis
Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis
menggambarkan riwayat sekresi vagina terus-menerus dengan bau
yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina
disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. (Djuanda, 2010).
Pada pemeriksaan fisis relatif tidak banyak ditemukan apa-apa,
kecuali hanya sedikit inflamasi dapat juga ditemukan sekret vagina
yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina.
Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan
aktivitas ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu,
homogen, berbau dengan pH 5-5,5 dan tidak ditemukan T.vaginalis,
kemungkinan besar menderita bakterial vaginosis. (Djuanda, 2010).
WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar
ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin
positif dan adanya G. vaginalis sebagai flora vagina utama
menggantikan Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan diagnosis
berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis dan
ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif
serta pH vagina yang tinggi akan memperkuat diagnosis. (Djuanda,
2010).
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan
suatu diagnosis, oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk
34

bakterial vaginosis yang sering disebut sebagai kriteria Amsel (1983)
yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala, yaitu :
Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada
dinding vagina dan abnormal
pH vagina > 4,5
Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis
sebelum atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh
epitel). (Djuanda, 2010).

2.3.2.7 Diagnosis Banding
Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik
yang mirip dengan bakterial vaginosis, antara lain
1. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang
disebabkan oleh Trichomonas vaginalis. Biasanya penyakit ini
tidak bergejala tapi pada beberapa keadaan trikomoniasis akan
menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh vagina berwarna kuning
kehijauan, berbusa dan berbau. Eritem dan edem pada vulva, juga
vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta pruritus,
disuria, dan dispareunia (Djuanda, 2010).
Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat
menyerupai penampakan pemeriksaan apusan bakterial vaginosis.
Tapi Mobilincus dan clue cell tidak pernah ditemukan pada
Trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopoik tampak peningkatan sel
polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah
ditemukan protozoa untuk diagnosis. Whiff test dapat positif pada
trikomoniasis dan pH vagina 5 pada trikomoniasis. (Djuanda,
2010).
2. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh
Candida albicans atau kadang Candida yang lain. Gejala yang
35

awalnya muncul pada kandidiasis adalah pruritus akut dan
keputihan. Keputihan seringkali tidak ada dan hanya sedikit.
Kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal thrush yaitu
bercak putih yang terdiri dari gumpalan jamur, jaringan nekrosis
epitel yang menempel pada vagina. Dapat juga disertai rasa sakit
pada vagina iritasi, rasa panas dan sakit saat berkemih. 18Pada
pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10%
berguna untuk mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang
paling sering pada kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina.
Sekret vagina biasanya putih dan tebal, tanpa bau dan pH normal.
(Djuanda, 2010).

2.3.2.8 Pengobatan
1. Sistemik
a. Metronidazol dengan dosis 2 x 400mg atau 2 x 500mg
stiap hari selama 7 hari.
b. Tinidazol denagn dosis 2 x 500mg setiap hari selama 5
hari.
c. Ampisilin atau amoksililin dengan dosis 4 x 500mg
selama 5 hari.
d. Kilindamisin dengan dosis 2 x 300mg setiap hari selama 7
hari. (Katzung, Betram G. 2011).
2. Topical
a. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari
selama 5 hari.
b. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
c. Triple sulfonamide krim (Sulfactamid 2,86%,
Sulfabenzamid 3,7%, dan Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari
selama 10 hari. (Katzung, Betram G. 2011).



36

2.3.3 Jamur
2.3.3.1 Epidemiologi
Data yang dikeluarkan oleh Syarifuddin dkk (1995) menyatakan
tingginya frekuensi kejadian Kandidiasis vulvovaginalis (KVV)
seiring meningkatnya tahun, pada tahun 1987 KVV ditemukan
sebanyak 40% dari seluruh infeksi saluran kemih, meningkat menjadi
60% pada tahun 1991 dan 65% pada tahun 1995. Pada tahun 1997
penelitian yang dilakukan Depkes melaporkan angka prevalensi KVV
di Jakarta Utara adalah sekitar 22% di antara wanita pengunjung
klinik KB. Di RSUP Haji Adam Malik data tahun 2004 sampai
dengan 2008 KVV menempati urutan kedua terbanyak dari seluruh
kunjungan pasien ke poliklinik Infeksi Menular Seksual yaitu
sebanyak 19,47. Kandidiasis vulvovaginalis rekuren (KVVR) untuk
alasan yang tidak jelas telah meningkat dalam beberapa dekade
terakhir. Kontras dengan episode tunggal, KVVR sering menimbulkan
problem pada penatalaksanaannya. KVV akan menginfeksi rerata 70%
sampai dengan 75% wanita satu kali selama hidupnya, paling sering
pada usia reproduktif, dimana 40% sampai dengan 50% akan
mengalami rekurensi dalam beberapa hari sampai tiga bulan
kemudian. Sebanyak 5% dari wanita normal akan mengalami KVVR
dan seringnya tanpa faktor penyebab yang jelas (Djuanda A. 2007).

2.3.3.2 Etiologi
Jamur yang paling sering menyebabkan infeksi pada organ
genitalia wanita adalah Candida albicans. Candida merupakan
organisme yang berasal dari genus Candida dari famili
Cryptococcaceae, ordo Moniliales dari filum Fungi imperfecti. C.
albicans dapat tumbuh pada suhu 37
o
C dalam kondisi aerob atau
anaerob. Pada kondisi anaerob, C. albicans mempunyai waktu
generasi yang lebih panjang yaitu 248 menit diandingkan dengan
kondisi pertumbuhan aerob yang hanya 98 menit. Walaupun C.
albicans tumbuh baik pada media padat tetapi kecepatan pertumbuhan
37

lebih tinggi pada media cair dengan digoyang pada suhu 37
o
C.
Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan
dengan pH normal atau alkali (Jawetz, 2007).
Pada tahun 1877 Grawitz mengemukakan bahwa genus ini
merupakan jamur dimorfik. Martin kemudian membagi genus menjadi
beberapa spesies. Telah diketahui 163 spesies Candida, walau
diketahui hanya 20 spesies yang patogen pada manusia. Sel jamur
Candida berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran 2-5 u X 3-6 u
hingga 2-5,5 u X 5-28,5 u. Jamur membentuk hifa semu (pseudohifa)
yang merupakan rangkaian blastospora (blastokonidia) yang
memanjang tanpa septa, yang juga dapat bercabang-cabang.
Berdasarkan bentuk tersebut maka dikatakan bahwa Candida
menyerupai ragi (yeast like). Dinding sel Candida terutama terdiri atas
-glucan, mannan, chitin serta sejumlah protein dan lemak. Mannan
merupakan komponen antigen yang utama. Candida dapat tumbuh
pada medium dengan pH yang luas, tetapi pertumbuhannya akan lebih
baik pada pH antara 4,5 sampai dengan 6,5 (Jawetz, 2007).
Kemampunan C. albicans untuk tumbuh baik pada suhu 37
o
C
memungkinkannya untuk tumbuh pada sel hewan dan manusia.
Sedangkan bentuknya yang dapat berubah, bentuk khamir dan
filamen, sangat berperan dalam proses infeksi ke tubuh inang (Jawetz,
2007).

Beberapa faktor diketahui sebagai faktor predisposisi dari
timbulnya jamur antara lain:
1. Hormon seks
Tingginya hormon seks wanita selama usia reproduksi
meningkatkan kemungkinan terhadap terjadinya infeksi Candida.
Estrogen meningkatkan perlekatan organisme yeast pada sel
mukosa vagina. Reseptor sitosol atau sistem perlekatan untuk
hormon reproduksi wanita telah diketahui pada C.albicans
menyebabkan meningkatnya pembentukan miselial/hifa. (Jawetz,
2007).
38

2. Kontrasepsi
Kontrasepsi disini termasuk oral, pelindung maupun KDR
(kontrasepsi dalam rahim). Pengaruh kontrasepsi berhubungan
dengan kandungan estrogen yang akan menstimulasi organisme
Candida untuk persisten pada ekosistem vagina. (Jawetz, 2007).
3. Obesitas, asupan karbohidrat
Kontrol glikemik yang buruk pada pasien diabetes merangsang
kejadian infeksi dari jamur. Korelasi antara tingginya IMB (indeks
massa tubuh) dan infeksi Candida genital telah dihubungkan
dengan peningkatan toleransi glukosa, sedangkan penelitian lain
tidak menemukan adanya korelasi . (Jawetz, 2007).

2.3.3.3 Patogenesis
Candida adalah patogen oportunistik yang dapat menyebabkan
infeksi diseminata pada tuan rumah dengan pertahanan imunitas yang
lemah. Tidak ada faktor patogenik pasti untuk Candida, namun
terdapat beberapa faktor virulensi yang mempengaruhi
kemampuannya dalam menginfeksi. Kombinasi dari faktor ini akan
mempengaruhi sistem pertahanan tuan rumah. Dipostulasikan bahwa
patogenesisnya adalah interaksi kompleks antara virulensi Candida
dan faktor imunologi misalnya pada pasien yang menderita
HIV/AIDS. Candida albicans merupakan flora normal yang terdapat
pada vagina, tetapi pada pasien dengan HIV keadaan imunitas pasien
menurun sehingga menyebabkan Candida menjadi bersifat patogen
dan infeksius. Beberapa faktor virulensi untuk Candida albicans
antara lain : (Biswas, 2005).
1. Germ Tube Formation sebagai Faktor Virulensi
Germ tube formation (GTF) dianggap sebagai faktor patogenik
utama, merupakan hal yang penting dalam perlekatan Candida ke
permukaan mukosa dan kemampuannya dalam menginvasi.
C.albicans mempunyai kemampuan lebih hebat dalam berlekat
dengan sel epitel dibandingkan strain non-albicans seperti
39

C.tropicalis, C.krusei dan C.parapsilosis. Pada pemeriksaan
mikroskop elektron secara in vivo dan in vitro terlihat bahwa
C.albicans setelah pembentukan hifa dan GTF akan berpenetrasi ke
dalam lapisan yang dalam dari stratum dan stroma sel epitel.
Setelah organisme menginvasi mukosa, ia akan dilindungi dari
terjadinya fagositosis dan dari mekanisme pertahanan imunitas
serta aktivitas agen antijamur. Pada beberapa lokasi, yeast akan
membentuk tempat untuk terjadinya rekurensi. Fagositosis
dianggap sebagai faktor pertahanan penting dalam infeksi Candida.
Uji in vitro menyatakan bahwa GTF dapat mengubah hidrofobisitas
dari sel yeast dan karenanya menurunkan atau menghambat
fagositosis. Ini juga yang menyebabkan persistensi organisme pada
ekosistem genital (Biswas, 2005).

2. Perlekatan pada Garis Mukosa
Permukaan blastokonidia mannoprotein mungkin memperantarai
perlekatan Candida ke sel epitel. Reseptor sitosol untuk estrogen
juga terdapat pada C.albicans. Ekspresi sel reseptor dan antigen
permukaan dengan membentuk filamen dari sel Candida
berkontribusi sebagai faktor virulensi. Fibrin dapat bekerja sebagai
reseptor C.albicans. Namun tidak jelas reseptor mana yang
berperan untuk perlekatan Candida dengan garis mukosa. Tidak
terdapat hubungan antara ekspresi reseptor dan/atau aktivasinya
dan manifestasi klinisnya (Biswas, 2005).

3. Enzim sebagai Faktor Virulensi
Sedikitnya terdapat tiga proteinase yang berhubungan dengan
kompartemen intraseluler C.albicans. pH yang optimal adalah 5
untuk intraselular dan 2.2 sampai dengan 4.5 dalam bentuk sekret,
pH lebih rendah dari sekret vagina. Proteinase asam yang
disekresikan akan inaktif pada pH netral. Pada pH 7,5 terjadi
denaturasi enzim ireversibel. Efek patogenik dari proteinase ini
40

terbatas pada kasus untuk inflamasi akut pada vagina, pada pasien
dengan pH vagina yang meningkat dan pada glikolisis neutrofil.
Sekresi proteinase in vitro adalah bahan yang ditemukan pada
C.albicans, C.tropicalis, sedangkan hanya beberapa ditemukan pada
C.parapsilosis. Untuk spesies Candida lainnya proteinase jarang
atau absen. Ini dapat menjelaskan mengapa hanya tigaspesies
Candida saja yang menjadi patogen umum pada manusia.
Proteinase mungkin meningkatkan kapasitas GTF pada C.albicans
dan karenanya meningkatkan penetrasi pada garis mukosa (Biswas,
2005).

Tahap pertama dalam proses infeksi ke tubuh hewan atau
manusia adalah perlekatan (adhesi). Kemampuan melekat pada sel
inang merupakan tahap penting dalam kolonisasi dan penyerangan
(invasi) ke sel inang. Bagian pertama dari C. albicans yang
berinteraksi dengan sel inang adalah dinding sel. Dinding sel C.
albicans terdiri dari enam lapisan dari luar ke dalam adalah fibrillar
layer, mannoprotein, -glucan, -glucan-chitin, mannoprotein dan
membran plasma. Perlekatan lapisan dinding sel dengan sel inang
terjadi karena mekanisme kombinasi spesifik (interaksi antara ligand
dan reseptor) dan nonspesifik (kutub elektrostatik dan ikatan van der
walls) yang kemudian menyebabkan serangan C. albicans ke berbagai
jenis permukaan jaringan (Biswas, 2005).
Faktor lain yang mempengaruhi interaksi C. albicans dengan sel
inang adalah hidrofobisitas pada awal perlekatan. Diduga protein pada
dinding sel terlibat dalam perubahan hidrofobisitas permukaan sel
dengan melepaskan glukanase digestion dalam jumlah tertentu.
Interaksi sel C. albicans dengan sel inang (cel-cel interaction) juga
melibatkan fisikomekanik, fisikokimia dan enzimatik materi mikroba
serta interaksi mikro yang mengarah pada kolonisasi dan infeksi
seperti perubahan medan magnet pada permukaan sel yang
berinteraksi yang menyebabkan sel-sel saling melekat (Biswas, 2005).
41

Menurut HOSTETER (1994) ada tiga macam interaksi yang
mungkin terjadi antara sel Candida dan sel epitel inang yaitu interaksi
protein-protein (i) interaksi lectin-like (ii) dan interaksi yang belum
diketahui (iii). Interaksi protein-protein terjadi ketika protein pada
permukaan C. albicans mengenali ligand protein atau peptida pada sel
epitelium atau endothelium. Interaksi lectin-like adalah interaksi
ketika protein pada permukaan C. albicans mengenali karbohidrat
pada sel epitelium atau endothelium. Interaksi yang ketiga adalah
ketika komponen C. Albicans menyerang ligand permukaan epitelium
atau endothelium tetapi komponen dan mekanismenya belum
diketahui dengan pasti. Mekanisme perlekatan sendiri sangat
dipengaruhi oleh keadaan sel tempat dinding sel C. albicans melekat
(misalnya sel epitelium), mekanisme invasi ke dalam mukosa dan sel
epitelium serta reaksi adhesi tertentu yang mempengaruhi kolonisasi
dan patogenitas C. Albicans (Biswas, 2005).

2.3.3.4 Gejala Klinis
Gejala yang berhubungan dengan infeksi genital Candida dapat
berbeda dari kasus ke kasus. Gejala tidak nyaman pada vagina berupa
pruritus akut dan sekret vagina merupakan gambaran yang biasa
ditemukan. Sekret digambarkan seperti susu, dapat bervariasi dari
basah sampai sekret tebal yang homogen. Nyeri pada vagina, iritasi,
perasaan tebakar pada vulva, dispareuni, dan disuria eksternal
biasanya ditemukan. Dari pemeriksaan akan ditemukan vulva dan
labia mayora yang bengkak dan eritem, seringnya dengan lesi diskret
pustulopapular perifer. Yang khas, gejala biasanya timbul seminggu
setelah masa haid. Rasa frustasipada wanita karena seringnya gejala
berulang karena anggapan pengobatan yang tidak efektif juga
merupakan gejala yang khas. Perjalanan penyakit dalam tubuh
manusia sehingga muncul berbagai gejala klinis antara lain sebagai
berikut: (Djuanda, 2010)
42

Sebagian penderita asimtomatis atau mempunyai keluhan yang
sangat ringan disertai perasaan gatal
Bila hebat seringkali akan mengeluh perasaan panas dan nyeri
sewaktu koitus
Fluor albus berwarna keputih-putihan seperti susu pecah
Pada pemeriksaan didapatkan vulva edema, hiperemia, dan erosi
Vagina hiperemia disertai discharge keputihan tebal yang bila
diangkat mukosa di bawahnya mengalami erosi, kadang-kadang
discharge sedikit, encer, atau seperti normal.


Gambar 10 Infeksi jamur oleh candida pada vagina (Djuanda, 2010)

2.3.3.5 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis, pada pemeriksaan mikroskopis
terhadap sediaan kulit dan sekret pada vagina harus ditemukan adanya
jamur dan untuk menunjukkan adanya jamur Candida. Dapat
dilakukan juga pemeriksaan kultur untuk identifikasi penyebabnya
(Djuanda, 2010)
Dalam menegakkan diagnosis kandidiasis, maka dapat dibantu
dengan adanya pemeriksaan penunjang, antara lain :



43

1. Pemeriksaan langsung
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan
KOH 10 % atau dengan pewarnaan gram, terlihat sel ragi,
blastospora, atau hifa semu. (Djuanda, 2010)
2. Pemeriksaan biakan
Bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar dekstrosa
glukosa Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotik
(kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Perbenihan disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37
o
C,
koloni tumbuh setelah 24-48 jam, berupa yeast like colony.
Identifikasi Candida albicans dilakukan dengan membiakan
tumbuhan tersebut pada corn meal agar. (Djuanda, 2010)

Diagnosis banding dari kandidiasis genital adalah :
Trichomonas vaginalis
Vaginitis bakterialis
Gonore akut
Leukoplakia
Liken planus

2.3.3.6 Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit ini menggunakan antimikotik topikal
seperti nistatin 100.000 unit selama 14 hari, mikonasol 100 mg selama
7 hari, dan klotrimasol 100 mg selama 7 hari, serta antimikotik
sistemik seperti ketokonazol dengan dosis 2 x 100 mg selama 10-15
hari. Pengobatan suportif dapat dilakukan dengan menghilangkan
faktor-faktor prediposisi. Perawatan yang tepat mampu
menyembuhkan 90% dari infeksi vagina dalam dua minggu atau
kurang (biasanya hanya dalam beberapa hari), tergantung pada jenis
peradangannya. Infeksi vagina yang tidak diobati dapat berlangsung
bertahun-tahun, dengan atau tanpa gejala (Harvard Medical School,
2006). Apabila terjadi infeksi berulang, hubungi dokter. Sekitar 5 %
44

wanita terkena infeksi jamur vagina empat kali atau lebih setiap tahun.
(Djuanda, 2010)

2.3.3.7 Prognosis
Umumnya baik, bergantung pada berat ringannya faktor
predisposisi. Pada pasien penderita HIV perlu penanganan lebih
khusus (Djuanda, 2010).

2.3.4 Parasit
2.3.4.1 Epidemiologi
Trikomoniasis pada saluran urogenital dapat menyebabkan
vaginitis dan sistisis. Walaupun sebagian besar tanpa gejala, akan
tetapi dapat menimbulkan masalah kesehatan yang tidak kurang
pentingnya, misalnya perasaan dispareunia, kesukaran melakukan
hubungan seksual yang dapat menimbulkan ketidakserasian dalam
kelurga (Djuanda, 2010).
Pada pria dapat menyebabkan uretritis dan prostatitis yang kira-
kira merupakan 15% kasus uretritis nongonore. Trikomoniasis
merupakan infeksi saluran urogenital bagian bawah pada wanita
maupun pria, bersifat akut atau kronik , disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis dan penularanya biasanya melalui hubungan seksual
(Djuanda, 2010)

2.3.4.2 Etiologi
Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang
pertama kali ditemukan oleh DONNE pada tahun 1836. Merupakan
flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai 4
flagela, dan bergerak seperti gelombang (Djuanda, 2010).
Parasit ini berkembang biak secara belah pasang memanjang
dan dapat dan dapat hidup dalam suasana pH 5-7,5. Pada suhu 50c
akan mati dalam beberapa menit, tetapi pada suhu 0
o
c dapat bertahan
sampai 5 hari (Djuanda, 2010).
45

Ada dua spesies lainya yang dapat ditemukan pada manusia ,
yaitu T. Tenax yang hidup di rongga mulut dan Pentarichomonas
hominis yang hidup dalam kolon, yang pada umumnya tidak
menimbulkan penyakit (Djuanda, 2010).
Penularan umumnya melalui hubungan kelamin, tetapi dapat
juga melalui pakaian, handuk, atau karena berenang. Oleh karena itu
trikomoniasis ini terutama ditemukan pada orang dengan aktivitas
seksual tinggi, tetapi dapat juga ditemukan pada bayi dan penderita
setelah menopouse. Penderita wanita lebih banyak dibandingkan
dengan pria (Djuanda, 2010).
Toxoplasma gondii adalah protozoa koksidia yang tersebar di
seluruh dunia yang menginfeksi banyak hewan dan burung tetapi
tampaknya tidak menyebabkan penyakit pada hewan tersebut. Pejamu
akhir normal adalah kucing dan kerabatnya dalam famili Felidae, satu-
satunya pejamu yang menjadi tempat terjadinya stadium seksual
penghasil ookista pada toksoplasma. (Jawetz, 2008)
Organisme (sporozoit dari ookista maupun bradizoit dari kista
jaringan) menginvasi sel mukosa usus halus kucing, kernudian di sini
membentuk skizon atau gametosit. Setelah fusi gamet secara seksual,
terbentuk ookista, keluar dari sel pejarmu kedalam lumen usus kucing,
dan keluar melalui feses, ookista yang resistan dan infektif rersebut
menyerupai okista. isospora. Dalam masing-masing ookista, terbentuk
dua sporokista, dan dalam waktu sckitar 48 jam. (Jawetz, 2008)
Terbentuk empat sporozoit dalam setiap sporokista. Ookista
dengan delapan sporozoitnya, bila tertelan , dapat mengulangi siklus
seksual pada kucing atau jika tertelan oleh burung tertentu atau
rodentia atau mamalia lain, termasuk manusia dapat menimbulkan
infeksi dan melanjutkan reproduksi secara aseksual. Pada keadaan
terakhir ookista terbuka pada duodenum manusia atau hewan dan
.melepaskan delapan sporozit, yang melewati dinding usus, beredar
dalam tubuh , dan menginvasi berbagai sel, terutama makrofag,
tempat sporozoit membentuk trofozoit, memperbanyak diri, pecah,
46

dan menyebarkan infeksi ke kelenjar getah bening dan organ lain. Sel
berbentuk bulan sabit yang mernperbanyak diri secara cepat tersebut
(takizoit) memulai stadium akut penyakit, akibatnya, organisme terse
but menernbus sel saraf, terutama otak dan mata, tempat organisme
tersebutmemperbanyak diri secara lambat (sebagai bradizoit) untuk
membentuk kista jaringan yang tidak aktif, memulai stadium kronik
penyakit. (Jawetz, 2008)
Kista jaringan (dahulu disebut pseudokista) bersifat infektif
bila terrelan oleh kucing (menyebabkan stadium seksual dalam usus
dan produksi ookista), atau bila termakan oleh hewan lain, kista
jaringan akan dihasilkan lebih banyak lagi. Organisme pada manusia
menyebabkan toksoplasmosis kongenital atau pascalahir. Infeksi
kongeniral, yang timbul hanya bila ibu yang nonimun terinfeksi
selama kehamilan, biasanya mempunyai derajat keparahan yang berat,
toksoplasmosis pascalahir biasanya kurang berat, sebagian besar
infeksi pada manusia bersifat asimtomatik. Namun, infeksi fatal yang
fulminan dapat terjadi pada penderita AIDS, mungkin karen a
perubahan infeksi kronik menjadi akut. Berbagai derajat penyakit
dapat terjadi pada individu dengan imunosupresi, yang rnenyebabkan
retinitis atau korioretiniris, ensefalitis, pneumonitis, atau berbagai
keadaan lain. (Jawetz, 2008).


Gambar 11 Trichomonas vaginalis (Medscape, 2012)
47

2.3.4.3 Patogenesis
T.vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding
saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel
dan subepitel. Masa tunas rata-rata 4 hari sampai 3 minggu. Pada
kasus yang lanjut terdapat bagian-bagian dengan jaringan granulasi
yang jelas. Nekrosis dapat ditemukan dilapisan subepitel yang
menjalar sampai di permukaan epitel. Di dalam vagina dan uretra
parasit hidup dari sisa-sisa sel, kuman-kuman, dan benda lain yang
terdapat dalam sekret (Djuanda, 2010).
Takizoit secara langsung menghancurkan sel dan mempunyai
predileksi untuk sel parenkim dan sistem retikuloendotelial Manusia
relatif resistan, tetapi dapat mengalami infeksi kelenjar getah bening
yang ringan yang menyerupai mononukleosis infeksius. Bila kista
jaringan pecah dan melepaskan banyak bradizoit, reaksi
hipersensitivitas lokal dapat menyebabkan peradangan, blokade
pembuluh darah, dan kematian sel di dekat kista yang rusak. Infeksi
kongenital menyebabkan lahir mati, korioretinitis, kalsifikasi
intraserebral, gangguan psikomotor, dan hidrosefalus atau
mikrosefalus. Pada kasus tersebut, ibu terinfeksi untuk pertama kali
selama kehamilan. Toksoplasmosis pralahir adalah penyebab mama
kebutaan dan defek congenital lain. Infeksi selama trimester pertama
umumnya menyebabkan lahir mati atau anomali sisrern saraf pusat
yang berat. Infeksi pada trimester kedua dan keriga menyebabkan
kerusakan neurologi yang lebih ringan meskipun jauh lebih sering
terjadi. Manifestasi klinis infeksi tersebut dapat tertunda sampai lama
setelah lahir bahkan setelah masa kanak kanak. Masalah neurologi
atau kesuliran belajar dapat disebabkan oleh efek toksoplasmosis
pralahir lanjut yang lama tertunda. (Jawetz, 2008).

48


Gambar 12. Siklus penyebaran parasit Trichomonas (Medscape, 2012)

2.3.4.4 Gejala klinis
a. Trikomoniasis Pada Wanita
Yang diserang terutama dinding vagina, dapat bersifat akut
maupun kronik. Pada kasus akut terlihat sekret vagina seropurulen
berwarna kekuning-kuningan, kuning-hijau, berbau tidak enak
(malodorous), dan berbusa. Dinding vagina tanpak kemerahan dan
sembab. Kadang-kadang terbentuk abses kecil pada dinding vagina
dan serviks, yang tanpak sebagai granulasi berwarna merah dan
dikenal sebagai strawberry appearance dan disertai gejala
dispareunia, perdarahan pascakoitus dan poerdarahan
intermenstrual. Bila sekret banyak yang keluar dapat timbul iritasi
pada lipat paha atau disekitar genetalia eksterna. Selain vaginitis
dapat pula terjadi uretritis, Bartholinitis, skenitis, dan sistisis yang
pada umumnya tanpa keluhan. Pada kasus yang kronik gejala lebih
ringan dan sekret vagina biasanya tidak berbusa (Djuanda, 2010)
49


Gambar 13. Infeksi parasit pada vagina (Djuanda, 2010)

2.3.4.5 Diagnosis
Selain pemeriksaan langsung dengan mikroskopik sedian basah
dapt juga dapat juga dilakukan pemeriksaan dengan pewarnaan
giemsa, akridin oranye, Leishaman, gram dan papancolau. Akan tetapi
pengecatan tersebut dianggap sulit karena proses fiksasi dan
pengecatan diduga dapat mengubah morfologi kuman (Djuanda,
2010).
Pada pembiakan pada pemilihan media merupakan hal penting,
mengiangt banyak jenis media yang digunakan. Media modifikasi
Diamond, misalnya In Pouch TV digunakan secara luas dan menurut
penelitian yang dilakukan media ini yang paling baik dan mudah
didapat (Djuanda, 2010).

2.3.4.6 Differential Diagnosis
Bacterial Vaginosis
Balantidiasis
Candidiasis
Cervicitis
Chlamydial Genitourinary Infections
Cystitis, Nonbacterial
Epididymitis
Gonococcal Infections
50

Nonbacterial Prostatitis
Pelvic Inflammatory Disease
Urethritis
Vaginitis

2.3.4.7 Prognosis
Wanita hamil dengan infeksi T vaginalis lebih mudah terinfeksi
dibandingkan dengan perempuan yang tidak hamil dapat
menyebabkan prematur atau memiliki hasil kehamilan yang
merugikan lainnya, termasuk berat badan lahir rendah, ketuban pecah
dini, dan infeksi intrauterin. Infeksi saluran napas atau alat kelamin
pada bayi baru lahir juga dapat terjadi infeksi T vaginalis juga dapat
meningkatkan penularan HIV karena gangguan mukosa vagina..Satu
studi melaporkan risiko tinggi Pelvic Inflammatory disease (PID) pada
wanita dengan trikomoniasis. Penelitian lain melaporkan. Risiko 1,9
kali lipat infertilitas tuba pada wanita dengan trikomoniasis,
trikomoniasis juga mungkin memainkan peran dalam neoplasia
serviks dan infeksi pasca operasi (Djuanda, 2010).
Infeksi akut akibat Toxoplasma gondii dapat diobati dengan
kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin atau trisulfapirimidin. Obat-
obat alrernatif termasuk spiramisin, klindamisin, trimetoprim-
sulfametoksazol, dan berbagai obat sulfonamid lain. Untuk
penggunaan pada kehamilan, spiramisin (Rovamycin) dianjurkan,
diteruskan sampai melahirkan. (Jawetz, 2008).

2.3.4.8 Pengobatan
Pengobatan dapat diberikan secara topikal atau sistemik (Djuanda,
2010)
1) Secara topikal, dapat berupa :
a. Bahan cairan berupa irigasi, misalnya hidrogen peroksida 1-
2% dan larutan asam laktat 4%
51

b. Bahan berupa supositoria, bubuk yang bersifat
trikomoniasidal.
c. Jel dan krim, yang berisi zat trikomoniasidal.
2) Secara sistemik (oral)
Obat yang sering digunakan tergolong derivat nitrimidazol
seperti:
a. Metronidasol : dosis tunggal 2 gram atau 3x 500 mg per
hari selama 7 hari
b. Nimorazol : Dosis tunggal 2 gram
c. Tinidazol : dosis tunggal 2 gram
d. Omidazol : dosis tungal 1,5 gram

Pada waktu pengobatan perlu beberapa anjuran pada penderita:
a. Pemeriksaan dan pengobatan terhadap pasangan seksual untuk
mencegah jangan terjadi infeksi pingpong.
b. Jangan melakukan hubungan seksual selama pengobatan dan
sebelum dinyatakan sembuh.
c. Hindari pemakaian barang-barang yang mudah menimbulkan
transmisi.













52

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Organ genitalia merupakan organ yang sensitif dan organ yang rentan
untuk terjadinya sebuah infeksi. Kelainan genitalia wanita adalah suatu
keadaan yang abnormal pada genitalia wanita menyebabkan adanya suatu
ketidaknyamanan. Penyebab kelainan genitalia wanita salah satunya karena
infeksi, baik itu infeksi bakteri, virus, jamur, dan parasit.
Virus menyebabkan infeksi sitolitik, perubahan patologi disebabkan
oleh nekrosis sel yang terinfeksi disertai respons peradangan. Infeksi bakteri
akna menyebabkan reaksi peradangan yang biasanya akan tampak edema atau
kemerahan pada vagina. Jamur akan membentuk hifa yang akan menginfeksi
organ genitalia dan parasit menginfeksi dengan melakukan invaginasi ke
dalam mukosa sehingga menimbulkan keluhan.
Pencegahan yang dapat kita lakukan yaitu menjaga kehigienitasan
organ genitalia dan mencegah penyakit menular seksual dengan cara tidak
berganti-ganti pasangan agar tidak terjadi infeksi.

3.2 Saran
Referat ini hanya sebagai pengantar untuk mengetahui yang lebih
mendalam pembaca dapat memperolehnya pada buku-buku yang tersedia di
perpustakaan.









53

DAFTAR PUSTAKA

Moore, K. 2002. Anatomi Klinis Dasar, cetakan ke-1, Hipokrates, Jakartra.
Snell, R. 2006., Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Penerbit
buku kedokteran EGC. Jakarta.
Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
Smith Darvin et al. 2012. Trichomoniasis. (on-line). Medscape. Diakses 16 Juli
2013.
Jawetz, M. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta. EGC
Biswas SK and Chaffin WL. 2005. Anaerobic Growth of C. albicans does not
support biofilm formation under similar conditions used for aerobic biofilm.
Curr Microbiol (Epub ahead of print).
Katzung, B. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta. EGC
Eroschenko, P. 2010. Atlas Histologi diFiore. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai