Anda di halaman 1dari 239

THE WORLD BANK OFFICE JAKARTA

Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12


th
Fl.
Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53
Jakarta 12910
Tel: (6221) 5299-3000
Fax: (6221) 5299-3111
Website: www.worldbank.or.id
THE WORLD BANK
1818 H Street N.W.
Washington, D.C. 20433, U.S.A.
Tel: (202) 458-1876
Fax: (202) 522-1557/1560
Email: feedback@worldbank.org
Website: www.worldbank.org
Dicetak pada bulan Maret 2007.
Foto-foto dihalaman sampul: Copyright Kristin Thompson, kecuali foto sebelah kanan atas dan kanan bawah,
copyright Bank Dunia
Laporan yang berjudul Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru merupakan hasil kerja staf
Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pandangan Dewan Direktur
Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang mereka wakili.
Bank Dunia tidak menjamin kecermatan data yang terdapat pada penelitian ini. Batasan, warna, angka, dan informasi
lain yang tertera pada setiap peta dalam penelitian ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status
hukum sebuah wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut.
Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai laporan ini, silakan hubungi Wolfgang Fengler (wfengler@worldbank.org).


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:
Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Prakata
Saat ini merupakan peluang besar bagi Indonesia. Pada dasawarsa terakhir, negara ini telah mengalami transformasi
besar-besaran dibidang tata laksana keuangan publik. Kebijakan penting yang diambil baru-baru ini untuk melakukan
alokasi ulang terhadap berbagai sumber daya, mengurangi beban utang, dan meningkatkan pendapatan negara
mengimplikasikan bahwa kini Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Pergeseran
menuju desentralisasi yang dimulai sejak 2001 juga memberikan implikasi bahwa tambahan sumber daya yang
diperoleh tersebut tidak akan digunakan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh pemerintah daerah dan provinsi.
Kajian Pengeluaran Publik (Publik Expenditure Review atau PER) 2007 menelaah dan menjelaskan sejumlah kendala
yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya. Tinjauan ini juga memberikan
rekomendasi bagi peningkatan kondisi pada enam bidang yang sangat penting: ruang gerak fskal (fscal space),
pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan keuangan publik, dan desentralisasi. Walaupun Indonesia
telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat berarti untuk melakukan reformasi keuangan publik dan mampu
meningkatkan transparansi, Kajian Pengeluaran Publik ini masih menggarisbawahi bahwa agenda reformasi belum
rampung, masih banyak yang harus dikerjakan. Kesetaraan dan efsiensi pengeluaran tetap merupakan isu penting,
misalnya, menemukan alokasi optimal terhadap berbagai sumber daya yang mencerminkan prioritas pembangunan,
dan pencapaian pola pengeluaran tahunan yang tidak lagi berorientasi pada berakhirnya akhir tahun anggaran.
Kajian Pengeluaran Publik merupakan hasil dari kerja sama yang sangat erat antara Pemerintah Indonesia dan
Bank Dunia. Kajian ini merupakan produk dari Inisiatif Analisis Pengeluaran Publik (Initiative for Publik Expenditure
Analysis atau IPEA) yang merupakan sebuah konsorsium sejumlah kementerian utama dalam pemerintah termasuk
Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kantor Menteri Koordinator Bidang
Ekonomi, sejumlah universitas di Indonesia, Bank Dunia, dan para pemangku kepentingan utama lainnya di Indonesia.
Pemerintah Belanda juga turut andil dengan menyediakan dukungan keuangan yang sangat berarti.
Kami berharap agar kajian ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat sehingga pemerintah
Indonesia dengan seluruh mitra kerjanya, termasuk Bank Dunia, dapat menemukan cara-cara efektif untuk merancang
dan melaksanakan berbagai kebijakan dan program mereka. Untuk melaksanakan hal itu, kami berharap mampu
melaksanakan upaya maksimal terhadap peluang yang sangat unik yang dimiliki Indonesia saat ini melalui alokasi dan
pemanfaatan yang lebih baik atas sumber-sumber keuangan yang dimiliki Indonesia, yang pada akhirnya ditujukan
bagi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan yang sangat besar yang hendak diraih oleh negara ini.

Andrew D. Steer
Country Director, Indonesia
The World Bank
Achmad Rochjadi
Direktur Jenderal Anggaran
Departemen Keuangan
Lukita Dinarsyah Tuwo
Deputi Mentri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional
Bidang Pendanaan Pembangunan
Bappenas
Ucapan terima kasih
Laporan ini disusun oleh tim inti di bawah pimpinan Wolfgang Fengler, bersama dengan Yoichiro Ishihara, dan Javier
Arze Del Granado. Anggota tim inti adalah Bambang Suharnoko, Elif Yavuz, Andrew Ragatz, Bastian Zaini, Blane Lewis,
Chairani Triasdewi, Claudia Rokx, Guenther Schulze, Ioana Kruse, Imad Saleh, Jens Kromann Kristensen, Jessica Ludwig,
Katarina Gassner, Maulina Cahyaningrum, Michael Warlters, Peter Milne, Rajiv Sondhi, Sebastian Eckardt, Soekarno
Wirokartono, Soren Davidsen, Steen Sonne Andersen, Stefan Nachuk, Sukmawah Yuningsih, Vincent Da Cruz, dan
Yudha Permana.
Dari pihak pemerintah, tim inti telah memperoleh banyak masukan yang sangat bermanfaat dan kerja sama yang
begitu erat dari: Mulia Nasution, Achmad Rochjadi, Herry Purnomo, Askolani, Boediarso, Bambang Jasminto, Bambang
Koesoemanto, Heru Subiantoro, Parluhutan Hutahaean, Paruli Lubis (Departemen Keuangan), Dedi M. M. Riyadi, Lukita
Dinarsyah Tuwo, Luky Eko Wuryanto, Nina Sardjunani, Taufk Hanaf, Wismana A. Suryabrata, Leonard Tampubolon
(Bappenas), Komara Djaja, Bobby Rafnus, (Kantor Menteri Koordinator Perekonomian), serta staf dari jajaran berbagai
departemen.
Sejumlah pihak dari Bank Dunia telah memberikan kontribusi mereka yang sangat berarti untuk menyelesaikan
laporan ini. Untuk itu, tim inti hendak menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Abbas Ghozali,
Ahmad Zaki Fahmi, Ahya Ihsan, Alicia J. Hetzner, Cut Dian Rahmi Dwi Augustina, Eleonora Suk Mei Tan, Indermit Gill,
Joel Hellman, Juliana Wilson, Lloyd Kenward, Lars Jessen, Mae Chu Chang, Melanie Juwono. Meltem Aran, Menno
Pradhan, Neil McCulloch, Pandu Harimurti, Peter Heywood, Sally Burningham, Sylvia Njotomihardjo, dan Vicente
Paqueo, serta Armando Morales dari IMF.
Terima kasih juga kami sampaikan kepada para peninjau: Mohammad Ikhsan (Kantor Menteri Koordinator
Perekonomian), Jesko Hentschel (Bank Dunia), dan Amine Mati (IMF).
Bimbingan secara keseluruhan diberikan pula oleh Andrew Steer (Direktur Bank Dunia untuk Indonesia), Homi Kharas
(Pimpinan Sektor dan Chief Economist Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur), dan William Wallace (Lead Economist
Bank Dunia untuk Indonesia).

Daftar Isi
Ikhtisar i
Peluang yang Unik i
Mengapa Laporan ini Diperlukan? ii
Tren dalam Pengeluaran Sektoral dan Investasi iii
Pendidikan v
Kesehatan vi
Infrastruktur vii
Pengelolaan Keuangan Publik viii
Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional ix
Agenda untuk Implementasi x
Bab 1 Ruang Gerak dan Manajemen Fiskal 1
Tren Pengeluaran Publik 3
Investasi PUblik dan Ruang Gerak Fiskal 7
Utang 10
Subsidi 13
Reformasi Pelayanan Sipil dan Belanja Pegawai 17
Kerangka Fiskal Jangka Menengah 19
Rekomendasi Kebijakan 21
Bab 2 Kecenderungan Lintas Sektor 23
Pelayanan Ekonomi 25
Pelayanan Sosial 27
Pelayanan Masyarakat Umum 27
DIstribusi Pengeluaran Sektoral Antar-Pemerintah 28
Bab 3 Sektor Pendidikan 29
Pendidikan in Indonesia: Kemajuan dan Tantangan 31
Pengeluaran Publik 33
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan dan Pemerataan 42
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efsiensi dan Hasil 45
Rekomendasi Kebijakan 51
Bab 4 Sektor Kesehatan 55
Kemajuan dan Tantangn pada Sektor Kesehatan 57
Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia 60
Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan Penggunaan Layanan Kesehatan 69
Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan 75
Rekomendasi Kebijakan 77
Bab 5 Infrastruktur 79
Kinerja Sektor Infrastruktur 81
Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren 85
Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses 93
Inisiatif Terkini dari Pemerintah 98
Rekomendasi Kebijakan 99
Bab 6 Manajemen Keuangan Publik 103
Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan 105
Penyiapan dan Persetujuan Anggaran 107
Pelaksanaan Anggaran 110
Pengadaan 112
Audit 114
Rekomendasi Kebijakan 118
Bab 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional 121
Desentralisasi dan Kesenjangan 123
Pengeluaran 126
Penerimaan 129
Manajemen Keuangan Publik di Daerah 137
Dampak Desentralisasi FIskal Terhadap Kesenjangan 141
Rekomendasi Kebijakan 147
Daftar Rujukan 148
Lampiran 153

Daftar Diagram
Diagram 1.1 Pendapatan dan belanja pemerintah pusat, 1994-2007
Diagram 1.2 Komposisi belanja pemerintah pusat
Diagram 1.3 Komposisi belanja pemerintah daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota)
Diagram 1.4 Komposisi ekonomi belanja publik berdasarkan tingkat pemerintahan, 2004
Diagram 1.5 Pulihnya pengeluaran ke tingkat sebelum krisis
Diagram 1.6 Investasi publik pulih kembali ke tingkat sebelum krisis, namun tidak demikin halnya untuk
investasi swasta
Diagram 1.7 Ruang gerak fskal terus meningkat
Diagram 1.8 Ruang gerak fskal yangtidak dimanfaatkan: Pemerintah pusat
Diagram 1.9 Ruang gerak fskal yangtidak dimanfaatkan: Pemerintah daerah
Diagram 1.10 Penurunan beban utang (1)
Diagram 1.11 Penurunan defsit anggaran
Diagram 1.12 Pembiayaan non-utang tinggi pada tahun 2000-03
Diagram 1.13 Penurunan defsit anggaran (2)
Diagram 1.14 Subsidi dan harga BBM
Diagram 1.15 Subsidi bahan bakar minyak dan listrik dominan
Diagram 1.16 Harga bahan bakar minyak dalam negeri vs internasional
Diagram 1.17 Penghematan yang diperoleh dari penyesuaian subsidi BBM
Diagram 1.18 Harga dan produksi minyak
Diagram 1.19 Subsidi listrik yang regresif
Diagram 2.1 DIstribusi pengeluaran publik secara nasional pada sektor-sektor kunci, 2001-07
Diagram 2.2 Komposisi ekonomi atas belanja aparatur pemerintah
Diagram 2.3 Distribusi sektoral atas pengeluaran publik, 2005
Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan
Diagram 3.2 pebandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan
Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah
Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan
Diagram 3.5 Time tren angka partisipasi sekolah
Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi
Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negara-negara terpilih
Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula
penggajian yang baru
Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan tunjangan baru
Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan matematika menurut tes standar internasional PISA
Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita
Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03
Diagram 4.3 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatandi tahun, 1997-2007
Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR
Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan tingkat pemerintahan
Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan penerimaan kabupaten/kota, 2004
Diagram 4.7 Komposisi total pengeluaran sektor kesehatan
Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan
Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan
Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi kesehatan
Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil, 2005
Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan publik dan swasta
Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/pemilik
Diagram 4.14 Layanan spesialisasi vs umum di rumah sakit pemerintah dan swasta
Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda
Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum,
minimum, dan rata-rata
Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan swasta/publik
Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan
Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005
Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km
2
Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan
Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas
Diagram 4.23 Jumlah Dokter untuk setiap Puskesmas
Diagram 4.24 Puskesmas - Sumber layanan pengobatan
Diagram 5.1 Investasi infrastruktur, 1994-2004
Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003
Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur, 2004
Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur
Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran unit pengeluaran
Diagram 5.6 Pengeluaran PLN
Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta
Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005
Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik
Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama
Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantif konsumsi
Diagram 5.12 Variasi proposi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa
Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya
Diagram 6.2Pencairan pengeluaran non-rutin
Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran publik
Diagram 6.4 Profl skema pencairan proyek
Diagram 7.1 Disparitas daerah yang mencolok
Diagram 7.2 Penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi
Diagram 7.3 Komposisi DAU secara keseluruhan
Diagram 7.4 Distribusi bagi hasil sumber daya per kapita, dan bagi hasil pajak per kapita
Diagram 7.5 Hasil kerangka penilaian kinerja PFM
Diagram 7.6 Penerimaan fskal pemerintah daerah menggunakan alokasi DAU yang berbeda
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Total pengeluaran publik di tingkat nasional (pusat + Provinsi + Kabupaten/kota)
Tabel 1.2 Komposisi ekonomi dari anggaran belanja negara
Tabel 1.3 Komposisi belanja pemerintah pusat
Tabel 1.4 Kuantifkasi perluasan ruang gerak fskal
Tabel 1.5 Elastisitas penerimaan daerah terhadap perubahan harga minyak
Tabel 1.6 Perbandingan internasional utang pemerintah
Tabel 1.7 Utang pemerintah pusat dan daerah tahun 2005
Tabel 1.8 Harga minyak dalam negeri vs harga minyak internasional
Tabel 1.9 Distribusi pelayanan sipil antar pemerintah menurut senoritas dan total belanja pegawai
Tabel 1.10 Kerangka fskal jangka menengah
Tabel 2.1 Distribusi sektoral dari pengeluaran publik secara nasional.
Tabel 2.2 Tren pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah
Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan
Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + Provinsi + Kabupaten/kota)
Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia
Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan
Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin padatingkat pemerintahan
Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah
Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan
Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah
Tabel 3.9 Pengeluaran pendidikan kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan
Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program Pendidikan untuk Semua (PUS)
Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD)
Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan
Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan
Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan
Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan-pengeluaran pembangunan vs pengeluaran rutin berdasarkan
tingkat pemerintahan
Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan
Table 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan
Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan
Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur
Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs permintaan puncak (peak time)
Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik
Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya
Tabel 5.5 Mutu jalan raya
Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa
Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur
Tabel 5.8 Tren investasi
Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta
Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan
Tabel 5.11 Biaya operasional dan pemeliharann BUMN
Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya
Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih
Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota
Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan
Tabel 6. 2 Peta Audit
Tabel 7.1 Tingkat disparitas yang signifkan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia
Tabel 7.2 Pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor
Tabel 7.3 Pendapatan pemerintah daerah
Tabel 7.4 PBB per sektor
Tabel 7.5 Sumber pendapatan asli pemerintah kabupaten/kota dan provinsi
Tabel 7.6 Sumber pendapatan asli pemerintah pusat dan daerah
Tabel 7.7 Pendapatan asli pemerintah daerah, pengeluaran, dan surplus
Tabel 7.8 Pinjaman dan utang yang telah lewat jatuh tempo berdasarkan peminjam
Tabel 7.9 Kesenjangan fskal sebelum dan setelah pelaksanaan desentralisasi
Tabel 7.10 HUbungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan pendapatan fskal
Tabel 7.11 pengelompokan Kabupaten/kota
Daftar Kotak
Kotak 1.1 Apa yang dimaksud dengan ruang gerak fskal?
Kotak 1.2 Reformasi pelayanan sipil mulai terjadi
Kotak 3.1 Landasan hukum Indonesia untuk ketentuan20 persen
Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan
Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada tahun 2005
Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005
Kotak 6.1 Estimasi yang terlalu rendah terhadap harga minyak
Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran
Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan
Kotak 7.1 Undang-undang utama tentang desentralisasi, 1999-2006
Kotak 7.2 Penngkatan pengeluaran lain-lain di Papua
Kotak 7.3 Tumpang tindih pengeluaran pemerintah pusat dan daerah: Studi kasus di Jawa Timur
Kotak 7.4 Formula DAU
Kotak 7.5 Inovasi dalam alokasi DAU
Kotak 7.6 Distribusi dan pengelolaan dana otonomi khusus
Daftar istilah
ABT Anggaran Belanja Tambahan
ADB (Asian Development Bank) Bank Pembangunan Asia
Amdal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBN Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APBN-P Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Askes Asuransi Kesehatan Indonesia
Bappeda Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bawasda Badan Pengawas Daerah
BI Bank Indonesia
BKM Bantuan Khusus Murid
BKN Badan Kepegawaian Negara
BOS Bantuan Operasional Sekolah
BPK Badan Pemeriksa Keuangan
BPKP Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
BPM Badan Pemberdayaan Masyarakat
BPN Badan Pertanahan Nasional
BPS Biro Pusat Statistik
BUMN Badan Usaha Millik Negara
CY Calendar Year (Tahun Kalender)
DAK Dana Alokasi Khusus
DAU Dana Alokasi Umum
DepKes Departemen Kesehatan
Depdiknas Departemen Pendidikan Nasional
DepKeu Departemen Keuangan
Departemen PU Departemen Pekerjaan Umum
DGDM Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara
DIP Daftar Isian Proyek
DIPA Daftar Isian Proyek Anggaran
Dispenda Dinas Pendapatan Daerah
Disnakertrans Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
DPPHLN Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
FC Fiscal Capacity (Kapasitas Fiskal)
FG Fiscal Gap (Kesenjangan Fiskal)
FY Fiscal Year (Tahun Fiskal)
GDS Governance and Decentralization Survey
IPM Indikator Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI)
IDHS Indonesia Demographic and Kesehatan Survey (Survei Kesehatan dan Demograf Indonesia)
IHK Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/ CPI)
IMF Internasional Monetary Fund (Dana Moneter Internasional)
IMR Infant Mortality Rate (Tingkat Kematian Bayi)
Inpres Presidential Instruction (Instruksi Presiden)
IPD Indikator Pendidikan Dunia (World Education Indocator/WEI)
IPP Independent Power Producer (Produsen Listrik Independen)
Jamsostek Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JPKM Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Kanwil Kantor Wilayah
KAR Kantor Keuangan Daerah
Kasipa Kantor Verifkasi dan Pelaksanaan Anggaran
Keppres Keputusan Presiden
KPK Komite Pemberantasan Korupsi
KKPPI Komite Kebijakan Percepatan Pengadaan Infrastruktur
KPPN Kantor Perbendaharaan Negara
KPPOD Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
LAN Lembaga Administrasi Negara
LPEM FEUI Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
LPPN Laporan Penilaian Pengadaan Negara (Country Procurement Assessment Report/ CPAR)
Makuda Manual akuntansi dan Keuangan Daerah
MDG (Millenium Pembangunan Goal) Tujuan Pembangunan Milenium
Menpan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
MMR (Maternal Mortality Rate) Tingkat Kematian Ibu
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
MTEF Medium-term Pengeluaran Framework (Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah)
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
PIN Pekan Imunisasi Nasional
LKPN Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional
OHDA Orang Hidup Dengan HIV/AIDS
OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) Organisasi untuk Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan
PK Per kapita (Per kepala)
PDAM Perusahaan Daerah Air Minum
PDB Pendapatan Domestik Bruto
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
Perda Peraturan Daerah
Perpu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Pertamina Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional
PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia
PISA (Program for Internasional Student Association) Program untuk Persatuan Pelajar Internasional
PKPS-BBM Program Kompensasi Pengganti Subsidi BBM
PLN Perusahaan Listrik Negara
PNBP Pendapatan Negara Bukan Pajak
Podes Potensi Desa
Posko Pos Koordinasi
PP Peraturan Pemerintah
PTT Pegawai Tidak Tetap
PUS Pendidikan untuk Semua (Education for all/EFA)
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu Puskesmas Pembantu
RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
RBD Regional Pembangunan Daerah
RDI Rekening Dana Investasi
Renja KL Rencana Kerja Tahunan Kementerian/Lembaga
Renstra KL Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Repanas Rencana Pembangunan Nasional
RMG Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio/STR)
RKA-KL Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
RKP Rencana Kerja Pemerintah
RPJM Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Sakernas Survei Tenaga Kerja Nasional
SDA Sumber Daya Alam
SDO Subsidi Daerah Otonom
SIKD Sistem Informasi Keuangan Daerah
SLA (Subsidiary Loan Agreements ) Perjanjian Pinjaman Pemberian Subsidi
STX (Shared Tax Revenue) (Penerimaan Bagi Hasil Pajak)
Susenas Survei Sosial Ekonomi Nasional
TIMMS (Third Internasional Mathematics and Science Study) Lomba Matematika dan IPA Internasional
TSA Treasury Single Account (Rekening Dana Tunggal)
Unicef (United Nations Children Funds)
UNDP United Nations Development Program
Unesco United Nations Educational, Scientifc and Cultural Organisations
WDI World Pembangunan Indicators (Indikator Pembangunan Dunia)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
i
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Ikhtisar
Peluang yang Unik
Indonesia telah melampaui periode pasca krisis: kini Indonesia telah memiliki sumber daya keuangan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pembangunan. Kebijakan makroekonomi yang hati-hati,
terutama kebijakan untuk menekan defsit anggaran, merupakan hal yang sangat penting dalam pemulihan ekonomi.
Kinilah saatnya untuk mengambil langkah-langkah peningkatan sesuai dengan apa yang telah dicapai beberapa tahun
belakangan ini serta menggunakan sumber-sumber keuangan negara secara efektif dan efsien untuk memperbaiki
mutu pendidikan, perluasan layanan kesehatan, menutup kesenjangan infrastruktur yang sangat penting, semuanya
untuk menanggulangi kemiskinan dan membangun ekonomi yang kompetitif.
Selama lebih dari 10 tahun terakhir telah terjadi transformasi yang luar biasa pada pengelolaan dan
pengalokasian bebagai sumber daya publik. Terdapat tiga momen penting yang perlu diperhatikan:
1997-98 Masa krisis ekonomi. Ekonomi lesu, pengeluaran publik turun. Hutang dan subsidi meningkat,
sementara itu pengeluaran pembangunan menurun tajam.
2001 Desentralisasi. Sepertiga pengeluaran pemerintah pusat dialihkan ke daerah.
2006 Dana sebesar US$15 milyar untuk dialokasikan kembali. Pengurangan subdisi bahan bakar minyak
(BBM) memberikan peluang untuk dialokasikan kembali. Jumlah hutang menurun sampai di bawah 40 persen
dari PDB, pengeluaran agregat meningkat sampai dengan by 20 persen, dan transfer dana ke pemerintah
daerah meningkat menjadi sebesar 32 persen.
Diagram 1 Tahun-tahun yang menentukan dalam alokasi pengeluaran publik untuk Indonesia
-
20
40
60
80
100
120
140
160
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
H
a
r
g
a

k
o
n
s
t
a
n

d
i

t
a
h
u
n

2
0
0
0
;

R
p

t
r
i
l
i
u
n
Pembayaran Bunga Hutang Subsidi
Transfer ke Daerah Belanja Pembangunan Pemerintah Pusat
Krisis
Desentralisasi
Ekstra AS$15

miliar untuk
dibelanjakan
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Indonesia dapat berharap untuk memiliki sumber daya fskal tambahan yang dapat dialokasikan kembali,
dalam jumlah yang signifkan, atau yang disebut ruang fskal (fscal space) yang besarnya hampir sama
dengan tambahan pendapatan yang diperoleh dari sektor migas selama booming minyak di pertengahan
tahun 1970-an. Sejak pengurangan subsidi BBM tahun 2005, Indonesia berhasil menyisihkan dana yang dapat
dialokasikan kembali sebesar US$10 milyar untuk membiayai berbagai program pembangunan. Kemudian ada
tambahan anggaran sebesar US$5 juta yang diperoleh dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan
penurunan kewajiban pembayaran hutang. Jumlah yang sama akan juga tersedia untuk 2007 dan akan berlanjut
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
ii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
sampai ke tahun-tahun berikutnya. Posisi fskal Indonesia dapat terus mengalami peningkatan dengan menghapus
subsidi yang masih membebani anggaran. Jumlah subsidi saat ini masih berjumlah US$10 milyar (15 persen dari total
pengeluaran 2006).
Ruang gerak fskal akan tetap signifkan walaupun terjadi penurunan harga minyak dunia secara tajam.
Kombinasi antara peningkatan pendapatan dan pengurangan subsidi memberikan jaminan terjadinya tambahan
sumber daya fskal di masa-masa yang akan datang. Harga minyak dunia dan ruang fskal Indonesia tidak lagi berkaitan
akibat terjadinya penurunan produksi minyak secara drastis sampai hampir mencapai 40 persen sejak 1996. Saat ini
konsumsi minyak Indonesia hampir sama dengan jumlah minyak yang diproduksi, sehingga perubahan harga minyak
dunia relatif tidak terlalu penting terhadap anggaran belanja Indonesia.
Sebagian besar tambahan sumber daya ini akan digunakan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Dalam hal
pengeluaran, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang paling ter-desentralisir di dunia. Sistem perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang ada saat ini memberikan jaminan akan kelangsungan hal tersebut. Peningkatan
transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2006 sama besarnya dengan peningkatan di
awal penerapan desentralisasi tahun 2001. Saat ini pemerintah daerah dan provinsi di Indonesia memiliki anggaran
sebesar 36 persen dari total anggaran publik (Kotak 1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat desentralisasi fskal lebih
tinggi daripada rata-rata negara OECD, juga lebih tinggi daripada negara-negara Asia Timur lainnya kecuali Cina.
Kotak 1 Keuangan publik di Indonesia fakta kunci
Pemerintah provinsi dan daerah kini mengelola sebanyak 36 persen dari total pengeluaran publik dan mereka
juga melaksanakan lebih dari 50 persen investasi publik.
Total hutang pemerintah menurun sampai dengan di bawah 40 persen dari PDB pada akhir 2006.
Pengeluaran untuk subsidi dan administrasi pemerintahan berjumlah sepertiga dari total pengeluaran.
Besarnya subsidi masih berkisar sebesar 15 persen dari total anggaran dan pada tingkat yang sama dengan
2004.
Investasi publik telah pulih dan kembali pada tingkat sebelum krisis yaitu sebesar 7 persen; saat ini setengah
dari investasi publik dikelola oleh pemerintah daerah.
Pengeluaran untuk sektor pendidikan kini mencapai 17.2 persen dari total pengeluaran, yang merupakan
alokasi terbesar jika dibandingkan dengan sektor lainnya dan sebanding dengan banyak negara
berpenghasilan rendah dan menengah lainnya. Pengeluaran sektor pendidikan mencapai 3.9 persen dari
PDB tahun 2006, naik 2 persen dibandingkan dengan pengeluaran untuk 2001.
Total pengeluaran publik untuk sektor kesehatan masih di bawah 1 persen dari PDB, walaupun sudah terjadi
kenaikan yang sangat mencolok sejak 2002.
Investasi publik untuk infrastruktur belum pulih dari posisinya yang tetap rendah pasca krisis dan hanya
berjumlah 3.4 persen PDB.
Mengapa Laporan ini Diperlukan?
Analisis pengeluaran publik dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Memang, sebaiknya analisis dan
pemantauan terhadap pengeluaran publik merupakan sebuah proses yang terjadi secara alami dan dilakukan secara
rutin. Banyak pemerintah di seluruh dunia, seringkali dengan dukungan Bank Dunia, melaksanakan Kajian Pengeluaran
Publik (Publik Expenditure Reviews atau PERs) yang dilakukan setiap dua tahun sekali. Pemerintah Indonesia dan Bank
Dunia telah melaksanakan PER nasional yang terakhir pada 2003 dan setelah itu dilaksanakan juga sejumlah analisis
yang lebih dalam lagi tentang pengeluaran sektoral dan pengeluaran publik pada tingkat daerah.
1
Laporan ini mencoba mengemukakan berbagai fakta tentang pengeluaran publik di Indonesia, menampilkan
berbagai kecenderungan selama kurun waktu tertentu, dan melakukan analisis terhadap komposisi
pengeluaran lintas sektoral serta pengeluaran di setiap tingkat pemerintahan. Laporan ini menyampaikan
1 Misalnya: Desentralisasi Indonesia (2003); Analisis Pengeluaran Publik untuk Papua Keuangan Daerah dan Pemberian Layanan di Wilayah
Paling Terpencil di Indonesia (2005), Pengeluaran untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Analisis Pengeluaran Publik untuk Aceh (2006),
Investasi untuk Pendidikan di Indonesia (2007).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
iii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
informasi yang komprehensif tentang sektor-sektor kunci, termasuk pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dalam berbagai sektor infrastruktur kunci. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, ada sejumlah pertanyaan
yang diajukan dalam laporan ini: Siapa yang memperoleh manfaat dari berbagai sumber daya publik yang jumlahnya
cukup besar ini? Di mana letak kesenjangannya? Daerah-daerah mana yang memiliki sumber daya yang cukup besar?
Daerah mana yang kelihatannya masih tertinggal? Selain menyorot pertanyaan itu, laporan ini juga mencoba untuk
memberikan respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak kebanyakan masyarakat Indonesia serta
sahabat-sahabat Indonesia, seperti:

Apakah Indonesia mampu membiayai pengeluaran lebih besar lagi?
Apakah tingkat pengeluaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan saat ini sudah memadai?
Bagaimana cara untuk melakukan revitalisasi terhadap investasi infrastruktur, dan sektor-sektor mana saja
yang mendapatkan prioritas?
Mengapa proses pencairan dana melalui sistem anggaran pemerintah begitu sulit?
Bagaimana tingkat kesenjangan daerah di Indonesia dan bagaimana sistim perimbangan keuangan pusat
dan daerah dapat diatur untuk mengurangi kesenjangan yang ada?
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu prioritas penting dari pemerintah dan tindak korupsi yang
melibatkan penggunaan dana publik masih merupakan satu masalah besar. Korupsi merusak pengambilan
keputusan mengenai pengeluaran dan pada saat yang sama korupsi juga menghambat pelaksanaan anggaran.
Sementara laporan ini memberikan argumentasi bahwa Indonesia perlu meningkatkan investasi publiknya, tingkat
korupsi akan menentukan apakah investasi tersebut mampu memberikan hasil yang langgeng bagi rakyat Indonesia.
Dengan pengalihan sumber-sumber daya yang begitu besar ke pemerintah daerah, upaya pemberantasan korupsi di
tingkat daerah sama pentingnya dengan upaya yang dilakukan di tingkat pusat.
Laporan ini menitikberatkan dimensi teknis dari tindak korupsi: proses anggaran, proses pengadaan barang
dan jasa, dan sistem audit (pemeriksaan). Sistem fdusiari ini pada dasarnya menentukan tingkat korupsi dalam
pengeluaran dan mutu pengeluaran itu sendiri. Berdasarkan analisis lingkungan fdusiari di tingkat pusat dan daerah,
laporan ini juga menyoroti bidang-bidang yang rentan terhadap praktik korupsi , terutama dalam sistem pengelolaan
keuangan publik.
Laporan ini membahas tujuh bidang pengeluaran yang sangat kritis. Dua bab pertama (Bab 1 tentang ruang
fskal dan Bab 2 tentang alokasi anggaran lintas sektoral) membahas tentang berapa jumlah dana yang tersedia
bagi pemerintah dan bagaimana dana itu dialokasikan antar sektor dan di setiap tingkat pemerintahan. Tiga bab
berikutnya, yang membahas isu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, menyampaikan analisis tentang bagaimana
berbagai sumber daya yang ada kini dialokasikan dalam sektor-sektor yang sangat penting ini dan seberapa efektif
pemanfaatannya. Dua bab terakhir (Bab 6 tentang pengelolaan keuangan publik dan Bab 7 tentang desentralisasi)
menyoroti isu-isu kelembagaan dan isu-isu yang saling terkait dalam pengelolaan pengeluaran publik.
Tren dalam Pengeluaran Sektoral dan Investasi Publik
Sementara tingkat kemiskinan semakin menurun secara signifkan setelah 1999meskipun sempat
meningkat di tahun 2005indikator pelayanan publik masih menunjukkan gambaran yang tidak sama.
Beberapa indikator telah mengalami peningkatan, seperti angka partisipasi sekolah siswa sekolah dasar. Akan tetapi,
masih banyak indikator lain yang hanya menunjukkan peningkatan yang sangat kecil dan beberapa bahkan tidak
menunjukkan peningkatan sama sekali sejak 1999. Indonesia masih berada pada posisi yang sangat rendah dalam hal
angka kematian ibu, gizi, dan angka partisipasi sekolah siswa sekolah menengah, terutama bagi kelompok masyarakat
paling miskin. Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan baru seperti peningkatan penyakit kardiovaskuler dan
sejumlah epidemi seperti HIV/AIDS dan fu burung.
Pemerintah kini memiliki peluang unik untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan publik di Indonesia.
Selama masa booming minyak pada pertengahan 1970s, pemerintah memusatkan perhatian pada pemenuhan
kebutuhan pokok, terutama pendidikan dasar dan kesehatan. Upaya ini memberikan kontribusi luar biasa terhadap
peningkatan kedua sektor ini walaupun sejumlah daerah terpencil, terutama yang terletak di kawasan Indonesia
timur, masih jauh tertinggal. Saat ini, tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah melanjutkan gerak reformasi
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
iv
RANGKUMAN EKSEKUTIF
ke langkah berikutnya dengan fokus pada kualitas pelayanan publik dan penyediaan sarana infrastruktur yang
ditargetkan. Untuk mempertahankan kondisi ekonomi Indonesia yang siap bersaing dalam jangka panjang, sistem
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan infrastruktur yang
lebih baik menduduki posisi yang sama pentingnya.
Akan tetapi, alokasi pengeluaran yang ada sekarang masih kurang optimal untuk menghadapi tantangan
pembangunan Indonesia. Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat pesat selama dua tahun
terakhir dalam melakukan realokasi pengeluaran (dari kebijakan subsidi yang tidak efsien) untuk mendanai program-
program yang berpihak pada masyarakat miskin. Tetapi pengeluaran Indonesia untuk infrastruktur dan sektor-sektor
sosial penting lainnya masih sangat rendah dan kurang. Indonesia berhasil mencapai prestasi sangat mengesankan
dalam melakukan alokasi terhadap dana tambahan untuk sektor pendidikan. Pada 2005, anggaran pendidikan sudah
mencapai hampir Rp 80 triliun, namun pengeluaran untuk administrasi pemerintahan inti (di luar gaji guru, dokter,
dan perawat) sangat tinggi yaitu Rp 67 triliunyang merupakan pengeluaran sektoral terbesar kedua (Diagram 2).
Berdasarkan perkiraan untuk tahun 2006, walaupun secara ranking masih sama, pemerintah diproyeksikan masih
membelanjakan sekitar 15 persen dari anggaran untuk subsidi dan administrasi pemerintahan (jika dijumlah hasilnya
lebih dari 30 persen). Anggaran untuk pendidikan diperkirakan sekitar Rp 120 triliun, sementara belanja untuk
administrasi pemerintahan inti adalah Rp 107 triliun dan subsidi sebesar Rp 108 triliun. Tingkat yang lebih normal bagi
belanja administrasi pemerintah di negara yang sebanding adalah sekitar 5 sampai 10 persen.
Diagram 2 Pengeluaran sektoral: didominasi oleh sektor pendidikan dan aparatur pemerintah
28
11
23
32
9
4
15
9
4
47
40
9
9
5
2
5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Pendidikan
Aparat Pe-
merintah &
Pengawasan
Infrastruktuur
Pertahanan &
Keamanan
Kesehatan Pertanian
R
p

t
r
i
l
i
u
n
Kabupaten/kota
Provinsi
Pusat
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia, 2004.
Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah Indonesia belum berhasil melakukan investasi yang memadai
untuk meningkatkan ekonomi dan tingkat investasi publik menjadi salah satu yang terendah dibandingkan
dengan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya. Total investasi, baik untuk sektor publik maupun
swasta, mengalami penurunan dari 27 persen dari PDB pada 1996 menjadi kurang dari 20 persen pada 2000. Tetapi
pengeluaran publik untuk pembangunansebagai salah satu alat ukur (proxy) investasi publikbahkan mengalami
penurunan yang lebih tajam, dari 6,5 persen dari PDB pada 1996 menjadi kurang dari 4 persen pada 2000.
Investasi publik kini sedang mengalami pemulihan dari tingkat penurunan pasca krisis dan hal ini
menunjukkan peluang untuk menanggulangi berbagai kelemahan yang terdapat dalam penyediaan
pelayanan publik. Setelah 2002, investasi publik mulai pulih. Pada 2003, investasi publik mencapai titik yang sama
dengan sebelum krisis. Pada 2004 dan 2005, tingkat ini menurun kembali ketika subdisi BBM menggelembung.
Setelah dilakukan realokasi subsidi BBM pada 2005, investasi publik kembali mencapai tingkat yang sama seperti
tingkat sebelum krisis sebesar 6,5 persen PDB. Akan tetapi, tingkat investasi publik di Indonesia masih merupakan
yang terendah di antara negara-negara berpenghasilan menengah. Dengan realokasi sumber daya yang sedemikian
berani, kini Indonesia berada pada titik di mana tingkat investasi dapat dan harus meningkat menjadi lebih tinggi
daripada tingkat sebelum krisis sebagai kompensasi terhadap tingkat investasi yang rendah dari 1999 sampai 2002
(Diagram 3 dan 4). (Seperti yang tampak pada Diagram 3, investasi sektor swasta masih tertinggal dan masih lebih
rendah dari tingkat sebelum krisis).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
v
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Komposisi investasi publik telah berubah secara substansial sejak pelaksanaan desentralisasi. Ketika Indonesia
mulai menerapkan desentralisasi, sumber daya pemerintah daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah kini
mengelola setengah dari total investasi publik (Diagram 4). Pada saat yang sama, komposisi pengeluaran sektoral juga
mengalami perubahan. Pengalokasian secara rata-rata untuk sektor pendidikan dan administrasi telah mengalami
peningkatan cukup signifkan, sementara pengeluaran infrastruktur mengalami penurunan terutama sejak 2003.
Diagram 3 Investasi publik pulih secara perlahan Diagram 4 Pasang surut investasi publik
6.4
3.8
6.5
4.4
6.5
20.7
22.1
12.7
17.6
16.8
0
5
10
15
20
25
30
1996 2000 2003 2005 2006(*)
Swasta
Publik
(%)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
(E)
2006
(P)
2007
(P)
(%)
Pemerintah Pusat
Provinsi
Kabupaten/Kota
Sumber: BPS, Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Angka-angka di atas merupakan persentase PDB.
Sumber: BPS, Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Komposisi investasi publik telah berubah secara substansial sejak pelaksanaan desentralisasi. Ketika Indonesia
mulai menerapkan desentralisasi, sumber daya pemerintah daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah kini
mengelola setengah dari total investasi publik (Diagram 4). Pada saat yang sama, komposisi pengeluaran sektoral juga
mengalami perubahan. Pengalokasian secara rata-rata untuk sektor pendidikan dan administrasi telah mengalami
peningkatan cukup signifkan, sementara pengeluaran infrastruktur mengalami penurunan terutama sejak 2003.
Pendidikan
ndonesia telah berhasil mencapai angka partisipasi sekolah yang sangat tinggi untuk jenjang pendidikan
dasar. Dengan demikian, mengirim anak ke sekolah dasar tidak lagi menjadi tantangan pembangunan yang berarti.
Walaupun demikian, berbagai upaya lebih lanjut masih akan diperlukan untuk menjangkau 8 persen anak usia sekolah
yang belum terdaftar sebagai siswa sekolah dasar. Pemerintah saat ini tengah menanggulangi kesenjangan investasi
pada jenjang pendidikan dasar, tetapi penekanan lebih besar harus diberikan pada peningkatan mutu di seluruh
sistem pendidikan dan meningkatkan angka partisipasi sekolah di jenjang pendidikan menengah pertama.
Saat ini Indonesia mengalokasikan sebanyak 17,2 persen dari total pengeluaran publik untuk pendidikan
(2006). Tingkat ini hampir sama dengan negara berkembang lainnya, dan bahkan sama pula dengan negara-negara
OECD. Akan tetapi, beberapa negara tetangga Indonesia terdekat (Malaysia, Thailand, dan Filipina) mengalokasikan
dana lebih banyak untuk sektor pendidikan merekasampai dengan 28 persen dari anggaran nasional mereka. Di
samping itu, masih diperlukan lagi anggaran untuk investasi tambahan mengingat gedung-gedung sekolah dan aset
pendidikan lainnya telah mengalami kerusakan yang sangat parah selama beberapa tahun belakangan ini.
Masih terdapat inkonsistensi struktural dalam komposisi pengeluaran di tingkat pusat dan daerah.
Pemerintah daerah menghabiskan sebagian besar anggaran pemerintah (70 persen), namun anggaran ini hampir
seluruhnya diperuntukkan bagi gaji guru, yang masih ditentukan oleh pemerintah tingkat pusat. Sebaliknya,
pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan sebagian besar diperuntukkan bagi investasi pendidikan,
sementara pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengelolaan, pembangunan, dan rehabilitasi sekolah.
Dominasi pemerintah pusat pada investasi pendidikan bisa bertentangan dengan tujuan dari desentralisasi fungsi-
fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
vi
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Jika mandat undang-undang yang menentukan anggaran sejumlah 20 persen untuk sektor pendidikan tidak
termasuk gaji guru, hal ini akan menjadi tidak realistis dan menimbulkan masalah besar. Tidak akan mungkin
dapat mencapai persyaratan untuk mengeluarkan sebanyak 20 persen dari total anggaran untuk pendidikan jika tidak
memasukkan gaji guru sebagai salah satu komponennya. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengeluaran untuk
sektor pendidikan sampai dengan sekitar 17 sampai dengan 45 persen untuk bisa mencapai angka 20 persen sesuai
dengan defnisi ini. Pemerintah pusat juga perlu untuk melipatgandakan tingkat pengeluaran mereka yang sekarang
dan mengalokasikan peningkatan pengeluaran non-gaji. Akan tetapi, peningkatan sumber-sumber daya di tingkat
pusat sampai dengan tingkat 20 persen tidak sesuai dengan logika yang melandasi desentralisasi; Jelaslah bahwa
sebagian besar tambahan pengeluaran untuk pemerintah pusat diperuntukkan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi
yang didesentralisir. Defnisi yang berlaku saat ini mengklasifkasikan pendapatan guru diluar gaji bukan sebagai
pengeluaran operasional juga menambah fragmentasi gaji guru.
Distribusi guru sangat tidak merata di seluruh Indonesia. Jumlah guru untuk Indonesia sudah memadai untuk
memperoleh rasio murid-guru 20:1 tetapi banyak guru hanya bekerja paruh waktu dan terkonsentrasi di daerah-
daerah yang lebih makmur. Akibatnya, sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen
kekurangan tenaga guru. Kebanyakan sekolah di perkotaan dan sejumlah sekolah di pedesaan memiliki jumlah guru
yang terlalu banyak, sementara sebanyak 66 persen sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan tenaga guru
yang sangat serius. Kebijakan baru pemerintah untuk memberikan insentif fnansial yang lebih banyak bagi guru yang
bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal untuk menuju arah yang benar, tetapi hal ini hanya akan mampu
meningkatkan mutu layanan pendidikan jika diberlakukan sistem pemantauan berbasis masyarakat yang kuat.
Struktur gaji yang ada sekarang tidak memberikan insentif kepada guru untuk bertugas di sekolah-sekolah
jenjang menengah dan sekolah-sekolah yang terletak di daerah terpencil. Program sertifkasi guru yang
baru berusaha menanggulangi beberapa dari masalah ini dengan cara meningkatkan kualifkasi para guru dan
menyediakan insentif keuangan untuk tujuan penempatan ulang para guru secara lebih merata. Tetapi gaji guru baru
bisa dipertahankan jika secara terus-menerus dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi tingkat ketidakhadiran
guru yang begitu tinggi. Dan hal ini dapat digunakan sebagai titik awal untuk melakukan modernisasi di sektor ini.
Implikasi keuangan dari peningkatan pembayaran tunjangan sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang guru hanya dapat
dikurangi jika jumlah guru penerima gaji (baik yang berstatus guru tetap maupun paruh waktu) juga dikurangi.
Kesehatan

Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal dalam hal berbagai indikator utama
terhadap pencapaian di sektor kesehatan seperti tingkat kematian bayi, kematian balita, dan kematian ibu.
Ada tiga alasan utama yang dapat menjelaskan hal ini: mutu layanan kesehatan dasar yang buruk, tingkat pemanfaatan
layanan kesehatan sekunder yang rendah oleh rakyat miskin, dan tingkat layanan pencegahan yang rendah.
Layanan kesehatan dasar yang buruk. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) mengalami kekurangan
infrastruktur yang memadai, seperti air bersih dan akses jaringan listrik yang teratur, serta kurangnya persediaan
obat-obatan dasar. Efsiensi pengeluaran dapat ditingkatkan dengan melakukan realokasi terhadap anggaran
layanan Puskesmas bagi masyarakat miskin dan berfokus pada intervensi untuk meningkatkan mutu layanan
kesehatan dasar.
Tingkat pemanfaatan layanan kesehatan sekunder oleh masyarakat miskin yang masih rendah. Tingkat
penggunaan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit) oleh masyarakat miskin masih sangat rendah.
Dengan demikian, ada potensi yang cukup signifkan untuk melakukan investasi di sisi permintaan yang
dapat meningkatkan masyarakat miskin terhadap layanan gawat darurat atau rawat inap. Peningkatan akses
masyarakat miskin terhadap pelayanan rumah sakit dapat dilaksanakan melalui sistem kupon (kartu sehat)
yang memungkinkan pemiliknya memperoleh layanan gratis. Pemasukan yang diterima rumah sakit sesuai
dengan jumlah pemegang kartu yang dilayani.
Tingkat layanan pencegahan yang rendah. Indikator kesehatan Indonesia yang masih mengecewakan
dapat pula ditingkatkan dengan memperkuat layanan pencegahan, intensifkasi program kesehatan, dan
kampanye nasional untuk kesehatan untuk menanggulangi penyakit menular, terutama di daerah-daerah
terpencil dan di wilayah-wilayah yang masih terbelakang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
vii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Walaupun pengeluaran untuk sektor kesehatan telah mengalami peningkatan cukup signifkan sejak 2000,
pengeluaran agregat masih berada di bawah 1 persen dari PDB. Meskipun tingkat pengeluaran agregat untuk
kesehatan masih rendah, Indonesia masih dapat mencapai perbaikan yang signifkan dengan tingkat pengeluaran
yang ada sekarang dengan catatan bahwa berbagai sumber daya yang ada didistribusikan secara lebih merata bagi
setiap kelompok masyarakat sesuai dengan tingkat penghasilan mereka. Sumber daya ini juga harus dibagikan secara
lebih merata ke seluruh kabupaten. Kebijakan pemerintah di sektor ini belum tercermin dengan baik dalam alokasi
anggaran mereka, di mana sebagian besar sumber daya digunakan untuk memberikan layanan yang dimanfaatkan
oleh penduduk yang tergolong kaya (layanan kesehatan sekunder). Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah
untuk melakukan alokasi yang lebih baik terhadap sumber daya yang ada sebelum meningkatkan anggaran kesehatan
secara substansial. Misalnya, semua subsidi untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder harus dialokasikan kembali ke
layanan kesehatan primer. Mungkin juga ada manfaat khusus dengan memberikan subsidi bagi layanan ambulan,
terutama untuk daerah-daerah terpencil. Program PKPS-BBM yang ada saat ini berharap dapat meningkatkan akses
layanan kesehatan rawat inap primer dan sekunder bagi masyarakat miskin.
Ada disparitas regional yang signifkan dalam pengeluaran per kapita untuk kesehatan publik, yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam penyediaan layanan di tingkat daerah. Pengeluaran untuk
layanan kesehatan publik di tingkat daerah (digabungkan dengan alokasi untuk pemerintah daerah dan alokasi
anggaran dekonsentrasi pemerintah pusat) cenderung lebih banyak menguntungkan kabupaten/kota yang lebih
kaya. Kesenjangan ini pada dasarnya didorong oleh dampak regresif dari pengeluaran yang didesentralisir.
Sementara Indonesia memiliki jumlah bidan yang memadai, jumlah dokter, apoteker, dan perawat masih
terlalu sedikit. Indonesia memiliki bidan yang cukup yang disebar dengan sangat baik ke seluruh negeri. Akan tetapi,
kebanyakan dari mereka melayani pasien dalam jumlah kecil dan memiliki peluang sangat kecil untuk meningkatkan
keterampilan mereka. Bagi praktisi kesehatan yang lain, tantangan itu malah sebaliknya. Misalnya, di Puskesmas masih
terjadi kekurangan tenaga dokter yang sangat serius, terutama di daerah-daerah terpencil. Tingkat ketidakhadiran
petugas kesehatan juga sangat tinggi, sampai 40 persen karena sebagian dokter juga membuka praktik swasta.
Infrastruktur
Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan sekitar, Indonesia berada pada urutan paling bawah
dalam pelayananan terhadap akses air bersih, listrik, dan sanitasi. Hanya 40 persen dari penduduk Indonesia
memiliki akses terhadap air keran (PDAM) dan sepertiga penduduk Indonesia (lebih dari 70 juta) tidak memiliki akses
jaringan listrik. Keadaan ini tidak mengalami peningkatan cukup berarti selama beberapa tahun terakhir ini.
Investasi Indonesia untuk infrastruktur masih terlalu kecil. Investasi infrastruktur publik mengalami penurunan
secara dramatis setelah krisis, sampai sekitar 1 persen dari PDB pada 2000. Saat ini, total investasi infrastruktur publik
dari keseluruhan sektor publik, BUMN dan swastaberjumlah 3.4 persen dari PDB, yang masih sangat jauh dibawah
tingkat investasi sebelum krisis antara 5 - 6 persen dari PDB.
Terdapat tiga alasan penyebab kinerja tersebut:
Intensitas modal. Sektor infrastruktur cenderung memiliki alokasi modal yang lebih besar dari pada sektor
sosial (terutama pendidikan). Setelah krisis ekonomi, Indonesia, seperti halnya kebanyakan negara pasca krisis,
memotong anggaran modal mereka, yang berpengaruh buruk terhadap investasi infrastruktur, secara tidak
proporsional.
Kehati-hatian sektor swasta. Kevakuman yang disebabkan oleh penurunan investasi infrastruktur publik yang
begitu tajam tidak pernah diisi kembali oleh investasi infrastruktur swasta. Ini masih merupakan permasalahan
sampai saat ini: yang diperlukan bukan saja peningkatan investasi infrastruktur publik, tetapi juga kemajuan
dalam mendorong investasi swasta melalui perbaikan dan peningkatan Iklim investasi, sejalan dengan kerangka
kerja yang lebih jelas untuk melakukan proyek-proyek kerja sama yang melibatkan sektor publik dan swasta.
Desentralisasi. Pemerintah daerah mengalokasikan sebagian besar pengeluaran mereka untuk kebutuhan
sektor sosial dan administrasi kepemerintahan. Disisi lain, pemerintah pusat secara terus-menerus melakukan
pengeluaran dalam jumlah besar untuk fungsi-fungsi daerah terutama sektor kesehatan dan pendidikan,
yang mengakibakan alokasi anggaran yang lebih sedikit untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Di
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
viii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
samping itu, perusahaan publik yang telah dialihkan ke pemerintah daerah, terutama PDAM yang menangani
pasokan air bersih telah terlilit hutang.
Proses anggaran. Sebagian besar modal anggaran cenderung digunakan pada periode pertengahan kedua
tahun anggaran, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menyelesaikan proyek investasi berskala besar. Proses
anggaran saat ini masih memuat terlalu banyak ketidakpastian dan interupsi untuk meluncurkan proyek-proyek
infrastruktur besar yang memerlukan waktu penyelesaian beberapa tahun.
Peningkatan investasi infrastruktur akan memerlukan paling sedikit 2 persen dari PDB, atau AS$6 milyar
per tahun. Jumlah ini akan mampu mengembalikan tingkat investasi pada masa sebelum krisis, tetapi tetap saja
tidak akan mampu menggantikan dekade yang hilang dalam investasi infrastruktur semenjak krisis. Perkembangan
pemerintah dan strategi penurunan kemiskinan telah membuat infrastruktur sebagai salah satu prioritas pemerintah,
tetapi perubahan kebijakan yang dilakukan baru-baru ini belum diterjemahkan ke dalam bentuk nyata dan sektor
publik akan mendapatkan tekanan berat untuk memenuhi kesenjangan pembiayaan yang ada. Alokasi yang lebih
tinggi di masa depan untuk meningkatkan investasi perlu datang dari sektor swasta.
Pengelolaan Keuangan Publik
Indonesia berhasil membuat kemajuan dalam melakukan reformasi terhadap keuangan publik dan
meningkatkan transparansi, tetapi agenda reformasi masih banyak. Hampir di setiap bidang utama dari
pengelolaan keuangan publik (Public Financial Management atau PFM)formulasi anggaran, pelaksanaan anggaran,
pengadaan dan pemeriksaanIndonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat. Tantangan di masa depan
meliputi: Pertama, pelaksanaan hukum dan peraturan yang tepat di segala bidang mencakup anggaran berbasis
kinerja, menyusun Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah, memulai proses pengadaan secara elektronik, dan
penguatan terhadap lembaga audit eksternal. Kedua, sistem anggaran yang ada sekarang kurang feksibel, sehingga
memperlambat implementasinya.
Mengedepankan agenda reformasi PFM merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin bahwa
sumber-sumber fskal yang baru dialokasikan dan digunakan secara efsien. Masalah implementasi yang
paling besar terletak pada pencairan anggaran untuk investasi publik. Pencairan anggaran sering berjalan lambat,
akibatnya sebagian besar anggaran yang telah dicanangkan baru bisa dikeluarkan menjelang akhir tahun anggaran.
Juga, terdapat pengeluaran yang lebih kecil terhadap pengeluaran modal dibandingkan anggaran awalhal ini
diluar kenyataan dimana anggaran secara keseluruhan direvisi dan dinaikkan dalam jumlah yang cukup besar pada
pertengahan tahun. Di samping berbagai isu implementasi, masih ada lagi isu korupsi terhadap pengeluaran publik.
Tambahan sumber daya keuangan yang cukup besar kini mengalir ke pemerintah daerah, sehingga penanganan
masalah korupsi di tingkat daerah kini sangat mendesak dilakukan.
Sistem anggaran Indonesia tidak feksibel. Dokumen anggaran Indonesia terlalu rinci, butuh waktu yang sangat
lama untuk menyiapkannya, dan juga menimbulkan banyak komplikasi dalam implementasinya. Pembahasan dan
diskusi parlemen terlalu memfokuskan pada hal-hal yang sangat rinci, tidak melihat pada hubungan antara kebijakan
dan alokasi anggaran secara lebih luas, dan memakan waktu yang lama. Pada 2006, walaupun pemerintah pusat telah
menyetujui otorisasi dokumen anggaran pada awal tahun, pengeluaran tetap berjalan lamban akibat terdapatnya
hambatan pada saat implementasi. Karena informasi rinci yang begitu banyak, anggaran untuk setiap proyek sering
harus menjalani proses revisi yang panjang.
Kerangka hukum dan peraturan untuk pengadaan publik telah mengalami peningkatan, tetapi kapasitas untuk
melaksanakan pengadaan yang tepat waktu dan transparan belum memuaskan. Lembaga Pengembangan
Kebijakan Pengadaan yang berada di bawah Bappenas tengah menyusun prosedur standar pengadaan yang akan
berlaku di seluruh Indonesia, termasuk dokumen tender yang standar. Akan tetapi, kemampuan untuk melaksanakan
hal ini di setiap tingkat pemerintahan masih sangat terbatas. Inisiatif percobaan untuk melakukan pengadaan lewat
jaringan elektronik (e-procurement) sedang dikerjakan, tetapi peningkatan strategi dalam mendorong penggunaan e-
procurement untuk meningkatkan transparansi pasar pada seluruh sistem pengadaan pemerintah belum dilaksanakan.
Pengenalan terhadap pelatihan tingkat dasar dan program sertifkasi bagi para pelaku pengadaan merupakan inisiatif
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
ix
RANGKUMAN EKSEKUTIF
yang penting, tetapi kebanyakan pejabat publik tidak memiliki jalur karir atau insentif yang memadai untuk mampu
memikul tanggung jawab pengadaan ini. Seluruh insentif ini merupakan hal yang sangat penting apabila rakyat
Indonesia ingin memperoleh manfaat dari realokasi sumber daya dari pusat. Gagal melakukan hal ini, tidak saja akan
membuat praktik-praktik kolusi berkelanjutan, tetapi juga akan menimbulkan dampak relatif yang tidak baik.
Undang-undang pemeriksaan negara telah memperkuat peran lembaga pemeriksa eksternal, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), dan kini ada peluang untuk melakukan feksibilitas anggaran yang lebih besar
yang mana pada saat bersamaan pemerintah bisa menjamin penerapan standar fdusiari yang tinggi. Kini
BPK memiliki mandat yang jelas sebagai lembaga pemeriksa eksternal terhadap seluruh lembaga pemerintah.
Sementara Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bersama-sama dengan Inspektur Jenderal di
setiap departemen, melakukan koordinasi untuk melakukan pemeriksaan internal terhadap pemerintah pusat, dan
Kantor Bawasda melakukan pemeriksaan internal di tingkat daerah. Akan tetapi walaupun pelaksanaan Undang-
Undang tentang Pemeriksaan terhadap Pemerintah kini dipandang sangat perlu, staf dan sumber daya yang ada
di BPK dan BPKP tidak sesuai dengan redefnisi peran mereka masing-masing saat ini. BPK, dengan mandat yang
lebih luas, memiliki jumlah tenaga pemeriksa (auditor) bersertifkat kurang dari setengah jumlah auditor BPKP, padahal
peran lembaga ini kini semakin terbatas. Selanjutnya, tanpa dorongan yang kuat terhadap temuan-temuan BPK, yang
sampai saat ini belum banyak yang bisa dilakukan, maka peningkatan kapasitas dan kinerja BPK sepertinya tidak akan
mampu diterjemahkan ke dalam peningkatan standar fdusiari yang lebih baik.
Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi di dunia, dengan
standar hidup yang berkisar mulai dari standar negara maju sampai dengan tingkat kehidupan masyarakat
paling miskin. Tingkat kepadatan penduduk juga sangat bervariasi: Pulau Jawa merupakan salah satu pulau
berpenduduk paling padat di dunia, sementara Papua merupakan pulau yang berpenduduk paling jarang. Tingkat
kemiskinan berkisar dari di bawah 3 persen di beberapa kota (Denpasar, Bali; Bekasi, Jawa Barat) sampai dengan di atas
50 persen di Irian Jaya Barat dan Papua (Manokwari dan Puncak Jaya).
Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi pada 2001, pemerintah mengalokasikan sumber daya
dalam jumlah besar pada daerah-daerah yang lebih miskin sebagai upaya untuk menyeimbangkan disparitas
di negeri ini. Walaupun perimbangan keuangan antar-pemerintah dapat lebih seimbang lagi, daerah yang paling
miskin dan terpencil di Indonesia telah menerima pengalihan sumber daya cukup besar sejak 2001. Dana Alokasi
Umum ( DAU) merupakan perangkat penting dalam sistem transfer ini, yang mampu mendanai sekitar 70 persen dari
seluruh pengeluaran daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan lebih dari 80 persen pengeluaran kabupaten/kota.
Pada 2006, jumlah anggaran yang telah ditransfer ke pemerintah daerah mengalami peningkatan secara
nominal sebanyak 47 persen terutama yang menguntungkan bagi daerah-daerah paling miskin di Indonesia,
yang mengalami kenaikan pendapatan yang melonjak. Alokasi DAU bahkan mengalami peningkatan sebesar
64 persen, dengan implikasi yang signifkan atas struktur perimbangan serta dampak pemerataan. Daerah provinsi
terpencil dengan angka kemiskinan yang tinggi termasuk Provinsi Aceh, Papua, dan Maluku telah menerima
peningkatan alokasi anggaran sampai lebih dari 100 persen, dibandingkan dengan 2005. Dana transfer ini akan terus
mendominasi sumber keuangan daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota, karena dasar dari pendapatan asli
daerah mereka kecil sementara transfer dari pusat sudah mencapai lebih dari 80 persen pendapatan daerah, dan
bahkan akan semakin bertambah. DAU sendiri sepertinya akan semakin dominan karena pendapatan dari minyak dan
gas diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan menurunnya produksi minyak dan gas, setidaknya untuk
beberapa tahun ke depan.
Saat ini, tantangan utama dalam pembangunan Indonesia bukanlah mentransfer sumber daya dalam jumlah
yang signifkan ke daerah-daerah yang miskin, tetapi bagaimana menjamin bahwa sumber daya yang sudah
ada digunakan secara efektif. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan tambahan
sumberdayanya. Cadangan anggaran mereka yang tidak dibelanjakan meningkat semakin besar dan telah mencapai
rekor 3,1 persen dari PDB pada November 2006. Sebagian besar pemerintah daerah memiliki sumber keuangan yang
memadai untuk memberikan perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Bahkan daerah miskin dengan sumber
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
x
RANGKUMAN EKSEKUTIF
fskal yang relatif rendah (terutama Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) telah mengalami kenaikan DAU secara
rata-rata 75 persen pada 2006. Diluar surplus yang cukup besar, sumber yang ada sering disalurkan pada tempat yang
salah. Misalnya, sementara terdapat anggaran pemerintah daerah yang belum digunakan, banyak PDAM bangkrut
dan tidak mampu memberikan layanan air bersih kepada masyarakat.
Agenda untuk Implementasi
Ini merupakan momen dengan peluang besar. Dengan kondisi makroekonomi yang stabil dan sumber-sumber
fskal yang memadai, pemerintah Indonesia dapat menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan mutu dan akses
terhadap layanan dasar. Pengalokasian dan pengelolaan sumber daya setidaknya kini sama pentingnya dengan upaya
untuk memobilisasinya. Membelanjakan uang dengan baik merupakan keterampilan khususketerampilan yang
telah hilang sebagian sejak terjadinya krisis, ketika pemerintah lebih banyak berfokus pada upaya untuk menstabilkan
makroekonomi dan mengetatkan pengeluaran.
Agenda reformasi yang tersisa masih banyak. Masih banyak perubahan yang diperlukan akan melibatkan proses
yang sulit dan panjang. Pemerintah telah mulai menerapkan agenda yang sangat ambisius. Dimana yang paling
penting adalah untuk tetap berada pada jalur yang benar dan menunjukkan kemajuan yang konsisten dalam reformasi
yang sulit dan panjang ini.
Ada enam bidang pengeluaran yang sangat penting: ruang fskal, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan
keuangan publik, dan desentralisasi. Langkah kunci untuk mencapai pengelolaan, alokasi, dan dampak yang lebih
baik terhadap pengeluaran publik untuk meningkatkan pemberian layanan dan menurunkan angka kemiskinan
dapat dilihat pada uraian berikut.
2
1. Perbesar ruang fskal dan pertahankan stabilitas makroekonomi dengan cara mengurangi dan mere-
alokasi subsidi serta menurunkan hutang keseluruhan. Subsidi BBM dan listrik masih menduduki porsi
cukup signifkan dalam anggaran dan sebagian besar hanya menguntungkan masyarakat kaya (Kotak 2).
Negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia masih rentan terhadap guncangan dan tingkat
hutang diatas 30 persen merupakan posisi yang tidak aman.
Walaupun terjadi pengurangan sangat drastis terhadap subsidi BBM pada 2005, total subsidi masih sangat
tinggi, hampir AS$10 milyar. Pengurangan terhadap subsidi ini akan memberikan tambahan sumber
pendapatan. Semakin rendah harga minyak internasional, akan semakin mudah bagi Indonesia untuk
melakukan liberalisasi terhadap harga bahan bakar. Akan tetapi, jika penyesuaian harga menjadi cukup
signifkan, maka sekali lagi perlu didesain program kompensasi untuk menjamin bahwa pengurangan
subsidi tidak berdampak negatif terhadap masyarakat miskin.
Tingkatkan terus manajemen hutang dibawah unit hutang yang baru dibentuk, kedepankan
implementasi Rekening Tunggal (Treasury Single Account) dan secara proaktif mengelola kewajiban
hutang. Tingkat hutang melonjak saat terjadi krisis bukan karena jumlah pinjaman yang berlebihan,
tetapi karena kewajiban-kewajiban kontingen (contingent liabilities) di sektor perbankan.
2. Maksimalkan manfaat peningkatan pengeluaran untuk sektor pendidikan dengan meningkatkan
investasi di jenjang pendidikan menengah pertama, redefnisikan sasaran belanja pendidikan
sebesar 20 persen dan alokasi kembali tenaga pengajaran pada sekolah-sekolah yang mengalami
kekurangan guru. Tingkat transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama masih rendah,
pengeluaran 20 persen sesuai undang-undang, dengan defnisi yang berlaku sekarang, menempatkan
permintaan yang tidak realistis terhadap anggaran pendidikan dan penempatan guru di sekolah yang tidak
seimbang.
Kedepankan tingkat transisi dan tingkat retensi yang lebih tinggi pada sekolah menengah pertama
dengan menargetkan alokasi transfer bagi siswa dari keluarga miskin untuk menjamin bahwa siswa
tersebut mampu bersekolah, dan juga untuk pembangunan gedung sekolah baru yang ditargetkan
bagi daerah-daerah yang belum mendapatkan layanan sebagaimana mestinya.
Lakukan penyesuaian terhadap ketentuan sasaran pengeluaran sebesar 20 persen untuk juga
2 Lihat Lampiran A pada laporan utama untuk mengetahui rekomendasi lengkap dalam laporan ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
xi
RANGKUMAN EKSEKUTIF
meliputi gaji guru dan kombinasi pengeluaran pemerintah daerah dan pusat. Tanpa penyesuaian
seperti ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan akan meningkat sedemikian rupa sehingga bisa
mengurangi pengeluaran untuk layanan dasar lainnya seperti kesehatan dan air bersih.
Lakukan penempatan ulang para guru untuk memenuhi kebutuhan sekolah-sekolah yang masih
kekurangan tenaga pendidik. Walaupun tidak terjadi kekurangan guru secara agregat, daerah-
daerah terpencil dan sekolah tertentu masih kekurangan guru. Dengan insentif keuangan yang
lebih menarik bagi para guru untuk mau ditempatkan di sekolah-sekolah yang terletak di daerah
terpencil, dan dengan melakukan penempatan guru sesuai dengan jumlah siswa (dan bukan
pada jumlah kelas) akan mendorong distribusi guru yang lebih seimbang dan efsien di seluruh
Indonesia.
3. Atasi ketidakmerataan dalam layanan kesehatan dengan menargetkan secara lebih baik ke daerah-
daerah yang layanannya belum baik. Tingkatkan mutu layanan kesehatan dengan melakukan
regulasi terhadap penyedia layanan kesehatan swasta dan dengan memperluas wilayah layanan para
bidan dan meningkatkan pelatihan yang mereka perlukan. Prioritas awal bukan untuk meningkatkan
pengeluaran kesehatan, tetapi menggunakan anggaran yang sudah ada secara lebih efsien dan efektif.
Untuk menanggulangi kesenjangan dalam penyediaan layanan kesehatan, Dana Alokasi Khusus
(DAK) dapat digunakan untuk meningkatkan layanan kesehatan di wilayah-wilayah yang kurang
mendapatkan pelayanan, dan intervensi berdasarkan permintaan seperti penerapan sistem kupon
dapat pula digunakan untuk meningkatkan permintaan layanan dari masyarakat miskin. Tantangan
yang paling mendesak terletak pada penyaluran pengeluaran saat ini agar dapat menguntungkan
rakyat miskindalam layanan kesehatan primer di daerah pedesaan dan/atau daerah-daerah yang
kurang mendapatkan layanan.
Menyatukan semua potensi sektor swasta, regulasi yang lebih baik terhadap penyedia layanan
kesehatan swasta juga perlu dilakukan. Hampir sebanyak 40 persen rakyat miskin merasa puas dengan
layanan kesehatan yang mereka peroleh lewat penyedia layanan swasta, tetapi tidak ada informasi
yang komprehensif mengenai jenis dan mutu layanan yang mereka berikan. Upaya yang sistematis
untuk melakukan regulasi, lisensi, dan akreditasi bagi penyedia layanan swasta bidang kesehatan akan
mendorong terjadinya peningkatan mutu layanan kesehatan bagi rakyat miskin.
Saat ini para bidan bekerja pada wilayah yang relatif kecil dan oleh karena itu mereka hanya mampu
memberikan layanan persalinan yang lebih sedikit per tahun. Akan lebih efsien apabila wilayah layanan
para bidan diperbesar dan mutu program pelatihan bagi bidan ditingkatkan, dengan fokus yang lebih
besar pada aspek praktis keterampilan pemberian layanan.
4. Lakukan investasi di bidang infrastruktur dengan meningkatkan pasokan listrik dan mengurangi
subsidi yang menguntungkan pengguna layanan yang tergolong mampu, memberikan insentif
fskal untuk mendorong pemerintah daerah agar melakukan pemeliharaan jalan yang lebih baik
dan menciptakan kerangka kerja bagi PDAM agar bisa berfungsi lebih baik. Saat ini, subsidi listrik
berjumlah 28 persen dari seluruh biaya subsidi dan sebagian besar dari subsidi ini hanya menguntungkan
masyarakat mampu. Pemeliharaan jalan daerah masih sering buruk dan sebagian besar rakyat Indonesia
tidak memperoleh manfaat dari layanan air bersih yang bermutu tinggi.
Kurangi subsidi listrik untuk voltase di atas 450VA. Tingkat voltase yang lebih tinggi digunakan secara
tidak proporsional oleh orang kaya, sehingga penghematan subsidi akan bermanfaat bagi rakyat
miskin.
Pemerintah daerah memiliki insentif yang sedikit untuk melakukan pemeliharaan yang benar terhadap
jalan, walaupun pada jangka panjang biaya pemeliharaan akan lebih murah dari pada melakukan
rekonstruksi. Pemerintah pusat dapat menawarkan insentif langsung kepada pemerintah daerah
berdasarkan mutu pemeliharaan jalan dari tahun ke tahun yang sudah dilakukan.
Hambatan saat ini untuk melakukan pinjaman jangka panjang oleh PDAM dapat dihilangkan dan
insentif disediakan untuk pemerintah daerah yang mampu meningkatkan layanan PDAM. Di bawah
sistem yang ada sekarang, kebanyakan PDAM tidak melakukan pinjaman lewat pasar kredit. Proses
restrukturisasi hutang harus dilakukan untuk memberikan insentif terhadap PDAM yang layak atas
kredit agar meningkatkan tarif dan menurunkan biaya, sehingga meningkatkan kapasitas mereka
untuk melakukan pinjaman secara komersial. Selain itu, pemerintah pusat dapat menghimpun
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
xii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
dana yang digunakan untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang mampu
memperoleh kemajuan paling besar dalam meningkatkan posisi keuangan dan kinerja operasional
PDAM mereka.
5. Buat arus pengeluaran publik yang lebih mudah diprediksi dan transparan dengan menciptakan
sistem anggaran berbasis kinerja, yang menghubungkan anggaran dengan proses perencanaan
serta penguatan sistem pengadaan dan fungsi-fungsi pemeriksaan. Sementara ada kaitan formal
antara tujuan kebijakan, anggaran, pencairan dan pemeriksaan, pada kenyataannya proses tersebut sering
kali tidak berjalan secara efektif.
Anggaran berbasis kinerja mengukur pencapaian berdasarkan output yang diperoleh dan bukan
pada input keuangan. Saat ini, kontrol input merupakan metode yang paling banyak digunakan
untuk mengukur mutu pengeluaran publik, namun pergeseran menuju kontrol ex post yang lebih
besar, termasuk pemeriksaan atas pengeluaran, serta penilaian terhadap output yang dihasilkan, akan
memberikan hasil yang lebih efektif dalam upaya pengeluaran.
Mengkaitkan anggaran secara lebih efektif dengan proses perencanaan merupakan prioritas. Sementara
rencana pembangunan nasional lima tahun (Repanas) menguraikan tujuan jangka menengah, siklus
anggaran ditentukan setiap tahun. Implementasi Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah
(Medium-Term Expenditure Framework atau MTEF) akan memungkinkan untuk melakukan penentuan
anggaran untuk beberapa tahun dan membawa sisa anggaran ke tahun berikutnya, serta memungkinkan
para pembuat kebijakan untuk menganggarkan sumber-sumber daya jangka menengah dengan tingkat
kepastian yang lebih tinggi.
Perkuat sistem pengadaan dan pemeriksaan dengan fokus pada aspek efsiensi. Sementara undang-
undang tentang pengadaan semakin diperketat, hal ini telah memperlambat proses pengadaan
barang dan jasa. Peningkatan pelatihan bagi tenaga profesional pengadaan sangat diperlukan untuk
menghadapi hambatan-hambatan ini. Di samping itu, keuntungan efsiensi akan diperoleh dengan
menggabungkan ketiga lembaga pemeriksaan internal menjadi satu lembaga, serta memperkerjakan
tenaga yang terlatih untuk BPK. Sejalan dengan hal itu, keuntungan efsiensi yang signifkan akan pula
diperoleh dengan tingkat korupsi yang lebih rendah yang akan diperoleh dari pengetatan terhadap
sistem ini.
6. Bantu pemerintah daerah untuk menggunakan sumber-sumber daya mereka secara lebih baik
dengan menghapus pencakupan penuh gaji pegawai negeri sipil dari DAU, mengurangi pengeluaran
untuk kebutuhan administrasi dan pengembangan kapasitas. Pemerintah daerah kini memiliki
wewenang yang signifkan atas perencanaan dan anggaran, tetapi mereka belum memiliki insentif yang
jelas agar menggunakan dana tersebut untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi dan pemberian
layanan kepada masyarakat daerah.
Undang-undang yang berlaku sekarang tentang transfer memberikan insentif bagi pemerintah
daerah untuk meningkatkan jumlah pegawai sipil dan menciptakan dis-insentif bagi mereka untuk
mengalokasikan pengeluaran secara lebih strategis demi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Penghapusan penggunaan DAU secara otomatis untuk membayar seluruh gaji PNS akan memberikan
insentif kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran secara lebih efsien.
Penghematan secara signifkan akan juga dapat dicapai dengan mengurangi pengeluaran pada
layanan administrasi inti, yang merupakan komponen pengeluaran terbesar dari pemerintah daerah.
Pengeluaran yang tidak proporsional hanya untuk layanan administrasi telah mengurangi investasi
modal dan pengeluaran bagi penyedia layanan garis depan, keduanya akan memberikan hasil yang
lebih besar untuk setiap rupiah yang dikeluarkan.
Dengan sumber daya yang lebih besar kini mengalir ke pemerintah daerah, administrasi pemerintah
daerah yang lebih efektif akan sangat diperlukan. Oleh karena itu, akan menjadi semakin penting untuk
melakukan investasi dalam peningkatan kapasitas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
pengembangan proyek dan keterampilan melakukan implementasi. Hal ini terutama penting
diperhatikan jika pemerintah daerah hendak melakukan pengelolaan secara efektif terhadap dana
tambahan yang diperlukan untuk menanggulangi investasi infrastruktur publik yang masih rendah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
xiii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Sejumlah kecil perubahan berdampak tinggi dapat memberikan hasil yang cepat. Agenda reformasi di atas
memang merupakan tantangan dan diperinci menjadi sebuah matriks rangkuman yang memuat 62 butir rekomendasi
spesifk di dalam laporan utama. Akan tetapi, secara spesifk ada tujuh perubahan yang akan memberikan hasil yang
berdampak tinggi dalam kurun waktu 12-18 bulan. Perubahan ini semuanya penting dan memiliki dampak signifkan,
dan perubahan itu bisa menyangkut pemberian layanan, posisi fskal Indonesia atau proses anggaran (Kotak 2).
Kotak 2 Tujuh tindakan yang memberikan hasil cepat dan dampak besar
Dampak terhadap pemberian layanan dan manajemen SDM (Sumber Daya Manusia)
1. Hapus pencakupan penuh atas pembayaran gaji PNS. DAU saat ini mecakup 100 persen pembayaran gaji PNS, yang
menyulitkan pemerintah yang reformis untuk melakukan reformasi terhadap PNS dan melakukan realokasi dana ke
berbagai sektor.
2. Sesuaikan defnisi tentang ketentuan pengeluaran sebesar 20 persen di sektor pendidikan sehingga meliputi gaji guru
dan gabungkan pengeluaran pemerintah pusat dan daerah. Hal ini akan memungkinkan untuk berfokus pada tingkat
pengeluaran agregat dan kinerja dari sektor. Defnisi agregat semacam itu selanjutnya akan dapat mengurangi distorsi
dalam struktur gaji guru dan dalam kerangka desentralisasi.
3. Alokasikan guru ke sekolah-sekolah berdasarkan jumlah siswa, dan bukan pada jumlah kelas, dengan memberikan bobot
khusus pada sekolah-sekolah kecil. Ini akan menghasilkan alokasi guru yang lebih rasional di dalam dan antarsekolah
di tingkat kabupaten/kota serta akan menghasilkan distribusi guru yang lebih seimbang bagi siswa.
Dampak fskal
4. Kurangi pemberian subsidi BBM (AS$5 milyar) yang tidak efesien dan lebih berpihak pada orang kaya. Meskipun harga
BBM pada 2005 telah meningkat, subsidi BBM masih tetap merupakan pengeluaran paling besar dalam anggaran
pemerintah.
5. Lakukan realokasi subsidi listrik (AS$3 milyar) yang tidak efsien dan lebih berpihak pada orang kaya. Subsidi dapat
direalokasikan dari konsumsi (semua diluar 450VA) terhadap sambungan untuk mendukung perluasan jaringan
listrik.
Dampak terhadap proses anggaran
6. Susun Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah dan berikan ruang untuk melakukan otorisasi terhadap anggaran
multi tahun. Ini akan sangat bermanfaat terutama untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar untuk meningkatkan
prediktibilitas dan efsiensi dari prioritas fskal jangka menengah.
7. Lakukan penguatan lebih lanjut baik terhadap kapasitas maupun kehadiran BPK di daerah. Defnisikan kembali peran BPKP
dan lakukan konsolidasi terhadap fungsi-fungsi berbagai lembaga pemeriksaan internal.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
xiv
RANGKUMAN EKSEKUTIF
BAB 1
Ruang Gerak dan
Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
2
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Temuan Pokok
Investasi publik sebagai proporsi dari PDB telah kembali ke tingkat sebelum krisis dan pemerintah
daerah muncul sebagai pendorong utama investasi. Peningkatan dalam investasi publik didukung
dari perluasan ruang gerak fskal, terutama di tingkat daerah. Akan tetapi, sebagian besar dari perluasan
ruang gerak fskal ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Di tingkat pusat ruang fskal yang tidak
dimanfaatkan diperkirakan berkisar antara 1-1,5 persen dari PDB untuk periode 2001-05, walaupun data
semacam itu bagi pemerintah daerah tidak tersedia.
Situasi utang pemerintah pusat telah membaik secara signifkan, seperti yang tercermin dalam
indikator stok dan arus utang. Utang pemerintah daerah jumlahnya relatif kecil. Stabilitas makroekonomi
dan konsolidasi fskal merupakan faktor utama dibalik perbaikan ini. Perbaikan pengelolaan utang yang
dilakukan oleh pemerintah pusat juga merupakan kontribusi yang penting.
Walaupun penyesuaian harga BBM (bahan bakar minyak) dalam negeri yang dilakukan tahun 2005
telah menghemat anggaran negara sebesar AS$10 milyar, Indonesia masih mengeluarkan sebanyak
AS$9 milyar untuk berbagai subsidi, terutama untuk subsidi minyak dan listrik. Sejumlah faktor telah
menghambat pemerintah untuk mengambil manfaat penuh dari harga BBM yang lebih tinggi. Volume
produksi telah mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir (sekitar 40 persen). Kapasitas pengeluaran
ternyata lebih kecil dari yang diharapkan. Di samping itu, transaksi keuangan dengan Pertamina telah
mengakibatkan berbagai masalah pada keuangan negara. Akhirnya, subsidi listrik yang merupakan
transfer regresif telah mengakibatkan peningkatan beban keuangan pada anggaran..
Rekomendasi Utama
Pengurangan dan realokasi subsidi yang tidak efsien dan yang berpihak pada orang kaya akan
mampu memberikan tambahan ruang gerak fskal dalam jumlah sampai dengan AS$9 milyar.
Dengan tingkat harga minyak internasional yang tinggi, subsidi BBM dan listrik akan tetap menjadi beban
yang tidak perlu pada anggaran pemerintah. Sumber daya ini akan dapat digunakan dengan lebih baik
untuk meningkatkan pengeluaran pada sektor-sektor prioritas terutama pada sektor infrastruktur.
Peningkatan yang besar dari investasi publik diperlukan untuk menggantikan investasi publik yang
sangat rendah selama kurun waktu lima tahun terakhir dan untuk merangsang investasi sektor
swasta. Salah satu kunci untuk mencapai peningkatan investasi adalah dengan meningkatkan pengelolaan
keuangan publik (lihat Bab 6). Secara khusus, operasionalisasi kerangka pengeluaran jangka menengah
(MTEF) harus mampu memperkuat formulasi anggaran dan pada akhirnya memperkuat implementasi
anggaran itu sendiri.
Peningkatan pengelolaan utang merupakan hal yang sangat penting untuk terus menurunkan risiko
yang terkait dengan utang pemerintah karena beban utang bukan merupakan isu pengelolaan
utang, melainkan merupakan isu yang terkait dengan kebijakan fskal. Untuk dapat mempertahankan
kemajuan pengelolaan hutang pemerintah seperti yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini, fokus
yang lebih kuat terhadap pengembangan kapasitas dan pelatihan bagi pegawai di Direktorat Jenderal
Pengelolaan Utang merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, kerangka yang kokoh perlu disusun
dan dilaksanakan untuk mendukung pengembangan strategi pengelolaan utang. Sejalan dengan hal
itu, mempercepat pelaksanaan RPT (Rekening Perbendaharaan Tunggal) dan mengikutsertakan rekening
pengalihan (seperti Rekening Dana Investasi/RDI, atau Rekening Pembangunan Daerah/RPD), akan
membantu mengurangi risiko yang terkait dengan kewajiban-kewajiban kontinjen.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
3
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Tren Pengeluaran Publik
Total pengeluaran publik meningkat sebesar 9 persen dalam angka riil antara 2001 dan 2005 dan masih
relatif stabil dilihat dari persentase PDB selama periode tersebut dengan rata-rata 20 persen. Peningkatan
pengeluaran pemerintah ini sebagian besar didanai oleh peningkatan proporsional dari pendapatan pajak di luar
migas (minyak dan gas). Pengeluaran tersebut ditandai oleh:
Peningkatan tajam secara riil dalam transfer kepada daerah, yang sekarang berjumlah sebesar
sepertiga dari pengeluaran pemerintah pusat. Saat ini transfer dana ke daerah merupakan pengeluaran
paling besar pada pemerintah pusat.
Fluktuasi yang begitu besar antara belanja rutin dan belanja pembangunan antara tahun 1994 dan
2003 serta terjadi sedikit penurunan dalam pengeluaran rutin setelah pelaksanaan sistem desentralisasi.
Peningkatan yang signifkan dalam subsidi antara 2003-05, setelah terjadi peningkatan yang tinggi atas
harga minyak internasional dan walaupun terdapat penurunan subsidi minyak yang signifkan.
Penurunan yang terus-menerus dalam pembayaran utang, yang disebabkan oleh stabilitas atas sisa
utang baik untuk utang dalam negeri maupun luar negeri serta terjadi penurunan tingkat suku bunga.
Persentase belanja untuk pegawai dan barang yang relatif stabil, dengan tingkat rata-rata masing-
masing sebesar 25 persen dan 7 persen.
Pengeluaran publik di tingkat nasional secara riil menunjukkan peningkatan yang mantap sejak 1999 namun
masih tetap stabil terhadap keadaan ekonomi secara keseluruhan.
3
Selama periode 1999-2006, pengeluaran
publik berjumlah sebesar rata-rata 20 persen dari PDB. Secara nominal, pengeluaran publik meningkat dari Rp 198
triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 536 trilliun pada tahun 2005 dan diperkirakan meningkat lebih jauh menjadi
Rp 698 triliun dan Rp 794 triliun masing-masing untuk tahun 2006 dan tahun 2007, (APBN-P/APBN) (Tabel 1.1). Secara
riil (harga konstan tahun 2000), pengeluaran di tingkat nasional meningkat sebesar 93 persen dari Rp 206 triliun (1999)
menjadi Rp 397 triliun (2006).

Tabel 1.1 Total pengeluaran publik di tingkat nasional (Pusat + Provinsi + Kabupaten/kota)
(Rp triliun) 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Nominal 198 234 353 336 405 445 536 698 794
Harga konstan th. 2000 (disesuaikan oleh IHK) 206 234 316 270 305 315 343 397 425
- Tingkat pertumbuhan tahunan (%) 7 14 35 -15 13 3 9 16 7
Harga konstan th. 2000 (disesuaikan oleh Defator PDB) 239 234 309 278 314 325 343 416 453
Persentase PDB (%) 16.3 16.8 20.9 18.1 19.8 19.6 19.6 21.1 22.5
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan: *2006 hasil awal, **2007 anggaran (APBN).
3 Pengeluaran nasional dalam laporan ini didefnisikan sebagai pengeluaran agregat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, tidak
termasuk transfer antar pemerintah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
4
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.1 Pendapatan dan belanja pemerintah pusat, 1994-2007
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007*
u
i
l
i
r
t

p
R
;
0
0
0
2

n
u
h
a
t
i
d

n
a
t
s
n
o
k

a
g
r
a
H
n
Belanja Pemerintah Pusat & Transfer ke Daerah
Pendapatan Pemerintah Pusat
Penerimaan Non-migas Pemerintah Pusat
Penerimaan Migas Pemerintah Pusat
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan:* berdasarkan anggaran pemerintah pusat dan perkiraan alokasi pemerintah daerah. Pengeluaran di tingkat nasional yang dinyatakan
dalam laporan ini termasuk pengeluaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Penerimaan non-migas semakin mendorong peningkatan pengeluaran. Pada tahun 2006, belanja pemerintah
pusat diperkirakan meningkat sebesar 17 persen , yang hampir sama dengan peningkatan pendapatan sebesar 14
persen. Pada tahun 2007, baik pendapatan maupun belanja diperkirakan meningkat sebesar 7 persen. Peningkatan
pendapatan sebagian besar berasal dari pendapatan non-migas (Diagram 1.1).
4
Sebaliknya, penerimaan dari migas
diperkirakan menurun sebesar 14 persen di tahun 2007, mengikuti penurunan produksi migas yang terus-menerus
dan revisi penurunan asumsi harga minyak dari AS$64/barel ( revisi anggaran 2006) menjadi AS$63/barel (anggaran
2007).
Sementara total belanja di tingkat nasional mengalami peningkatan sebesar 25 persen sejak tahun 2001,
pembayaran bunga menurun tajam. Akibatnya, pembayaran bunga sebagai proporsi dari total belanja turun dari
25 persen pada tahun 2001 menjadi 11 persen di tahun 2006 (Tabel 1.2). Penurunan yang tajam ini semata-mata
diakibatkan oleh (i) tingkat suku bunga yang lebih rendah; (ii) jumlah utang yang stabil (sehingga memiliki persentase
yang lebih rendah); dan (iii) apresiasi dalam nilai tukar mata uang. Sebaliknya, terjadi peningkatan pada persentase
belanja barang, pengeluaran rutin yang lain, dan pembangunan.
5
Tabel 1.2 Komposisi ekonomi dari anggaran belanja negara, tahun 2001-07
A. Harga konstan 2000
(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Belanja Pegawai 72.3 68.4 78.1 81.5 83.3 101.0 116.9
Belanja Barang 16.1 19.1 19.4 18.4 28.5 37.9 50.4
Pembayaran Bunga dan cicilan 78.2 65.0 49.1 44.2 37.1 44.8 45.5
Subsidi 69.5 35.0 33.0 64.9 77.6 61.1 55.1
Bantuan Sosial 0.0 0.0 0.0 0.0 17.3 24.6 27.1
Belanja Rutin yang lain 15.4 15.7 25.0 21.1 33.4 37.5 28.9
Pembangunan 65.0 66.6 100.1 85.2 44.5 56.0 59.8
Modal 0.0 0.0 0.0 0.0 21.7 33.9 41.1
Total Nasional 316.4 269.7 304.9 315.3 343.4 396.7 424.7
4 Penerimaan non-migas merepresentasikan 68 persen dan 75 persen dari total penerimaan pada tahun 2006 dan 2007. Peningkatan
penerimaan non-migas yang tertimbang berjumlah 6 persen (dari 14 persen poin peningkatan total penerimaan pada 2006); dan 12 persen (dari
7 persen poin peningkatan total penerimaan di tahun 2007; dengan nilai negatif 5 persen dalam penerimaan dari sektor).
5 Sejak tahun 2005 sistem anggaran dibuat terpadu dan klasifkasinya dirubah. Sehingga kategori Belanja Pembangunan tidak lagi ada.
Pengelompokan anggaran yang baru meliputi: belanja pegawai, belanja barang, belanja bantuan Sosial dan belanja modal. Demi menjaga
konsistensi, laporan ini tetap memperhitungkan belanja pembangunan untuk tahun 2005-07.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
5
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
B. Persentase dari total
(%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Belanja Pegawai 23 25 26 26 24 25 28
Belanja Barang 5 7 6 6 8 10 12
Pembayaran Bunga dan Cicilan 25 24 16 14 11 11 11
Subsidi 22 13 11 21 23 15 13
Bantuan Sosial 0 0 0 0 5 6 6
Belanja Rutin yang lain 5 6 8 7 10 9 7
Pembangunan 21 25 33 27 13 14 14
Modal 0 0 0 0 6 9 10
Total Nasional 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan: Belanja Pembangunan untuk tahun 2005-2007 hanya memasukkan anggaran pemerintah daerah, sementara belanja modal pada tahun
yang sama hanya memasukkan anggaran pemerintah pusat. * berdasarkan anggaran pemerintah pusat dan perkiraan alokasi pemerintah daerah.
Pengeluaran di tingkat nasional didefnisikan sebagai pengeluaran oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Total pengeluaran dalam proyek pembangunan sedikit meningkat setelah pelaksanaan desentralisasi.
Transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat tajam setelah tahun 2001. Pertama, selama
gebrakan besar desentralisasi di tahun 2001, transfer meningkat dari 19 persen menjadi 24 persen (dan selanjutnya
menjadi 31 persen pada tahun 2002). Kedua, peningkatan persentase transfer terjadi lagi di tahun 2006 dari 30 persen
menjadi 33 persen (Tabel 1.3). Peningkatan yang kedua dari belanja riil ini sama signifkannya dengan peningkatan
tahun 2001 di mana pengeluaran agregat jauh lebih tinggi (lihat Bab 7 berikut ini).
Tabel 1.3 Komposisi belanja pemerintah pusat
(%) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Rutin 56 64 57 50 55 56 51 50
Pembangunan 25 12 12 18 14 15 15 16
Transfer ke Daerah 19 24 31 32 31 30 34 34
Total 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan: *2006 Hasil awal, **2007 anggaran (APBN).
Selama terjadinya peningkatan transfer yang tajam, anggaran pembangunan pemerintah pusat menurun
dalam jumlah yang hampir sama besarnya, tetapi pengeluaran rutin tetap stabil. Kurang dari 14 persen
anggaran pemerintah pusat dibelanjakan untuk pembangunan, sementara pengeluaran rutin masih tetap stabil
dengan sedikit di atas 50 persen (kecuali tahun 2001). Seperti yang diperkirakan, pada pemerintah daerah terjadi
peningkatan pengeluaran rutin dan pembangunan dalam jumlah yang hampir sama. Akan tetapi, peningkatan
itu lebih terlihat pada pengeluaran rutin daripada untuk pembangunan. Saat ini pemerintah daerah diperkirakan
menggunakan sekitar 60 persen dari anggaran mereka untuk pengeluaran rutin dan 40 persen untuk proyek-proyek
pembangunan (Diagram 1.2, Diagram 1.3).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
6
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.2 Komposisi belanja pemerintah pusat Diagram 1.3 Komposisi belanja pemerintah daerah
(provinsi + kabupaten/kota)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
H
a
r
g
a

k
o
n
s
t
a
n

d
i
t
a
h
u
n

2
0
0
0
;
R
p

t
r
i
l
i
u
n




Pengeluaran Rutin
Transfer ke Daerah
Belanja Pembangunan
0
20
40
60
80
100
120
2000 2001 2002 2003 2004
Belanja Pembangunan
Pengeluaran Rutin
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan: *2006 Hasil awal, **2007 anggaran (APBN).

Transfer anggaran yang paling besar ke pemerintah daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), besarnya mencapai
rata-rata 19 persen dari total pengeluaran pada 2001-05, dan bukan sebesar 25 persen sebagaimana
tercantum dalam undang-undang. Secara konsisten DAU teranggarkan lebih rendah karena asumsi konservatif
yang dipakai atas harga minyak internasional dalam anggaran (lihat Bab 6). Pada 2006, DAU meningkat sebesar Rp
26 triliun (45 persen pada harga konstan tahun 2000), atau hampir sama besarnya dengan saat terjadi gebrakan
besar desentralisasi. Peningkatan ini didukung oleh perkiraan peningkatan pendapatan sebesar 12 persen, di mana 7
persen dari jumlah ini diperoleh dari penerimaan non-migas dan 5 persen dari penaerimaan migas (sebagian karena
terjadi peningkatan dalam asumsi anggaran untuk harga minyak sebesar AS$52/barel pada 2005 menjadi AS$64/barel
pada 2006). Selanjutnya, dampak dari peningkatan jumlah transfer pada anggaran secara keseluruhan akan diimbangi
dengan penurunan yang tajam dari subsidi yang diproyeksikan pada tahun itu.
Diagram 1.4 Komposisi ekonomi dari belanja publik berdasarkan tingkat pemerintahan, 2004
6
61
49
92
62
16
2 0
2
40
14
2
9
57
8
14
0
2 0
4 0
6 0
8 0
10 0
12 0
14 0
Belanja
Pembangunan
Belanja
Pegawai
Subsidi* Pembayaran
Bunga Hutang*
Belanja Rutin
Lainnya
B elanja Barang
H
a
r
g
a

y
a
n
g

b
e
r
l
a
k
u
;

R
p

t
r
i
l
i
u
n
Kabupaten/Kota
P r ovi nsi
Pusat
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu mengenai anggaran yang berjalan.
Catatan: Dalam nominal Rp triliun.
Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, prosentase pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja
pegawai dan barang, untuk masing-masing berjumlah sekitar 58 persen dan 38 persen terhadap total pengeluaran
(Diagram 1.4). sementara itu, pembayaran subsidi dan pembayaran bunga pinjaman, menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat.
6 Pembayaran bunga oleh pemerintah daerah tidak diikutsertakan karena laporan data SIKD mengagregasikan kategori ini dengan pembayaran
amortisasi. Subsidi pemerintah daerah diagregasikan di bawah pengeluaran rutin yang lain karena pengeluaran ini tidak dapat diagregasikan
dengan dana pensiun yang lain dan pengeluaran bantuan yang lain. Pada tingkat 0,3 persen, pembayaran utang dapat diabaikan (lihat Tabel 1.6).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
7
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Pemerintah pusat melaksanakan sekitar setengah dari proyek pembangunan secara langsung, sementara
setengahnya lagi disalurkan melalui dekonsentrasi. Pemerintah pusat menggunakan sekitar 51 persen dari total
pengeluaran pembangunan di tingkat nasional, diantaranya lebih dari setengah (sekitar 53 persen) digunakan untuk
mendanai proyek-proyek pemerintah daerah.
7
Pemerintah daerah menggunakan sisanya sebesar 49 persen untuk
mendanai pengeluaran pembangunan, diantara sebagian dari jumlah ini dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui
DAK. Hal ini berarti sekitar tiga perempat dari investasi publik Indonesia dilaksanakan di tingkat daerah.
Investasi Publik dan Ruang Gerak Fiskal
Pengeluaran pembangunan, yang merupakan proksi kasar dari investasi publik, telah pulih. Total pengeluaran
pembangunan sebagai persentase dari PDB telah mencapai 6,5 persen pada tahun 2003 sebelum menurun menjadi
5,3 persen pada tahun 2004, hampir kembali ke tingkat pada periode 1995-96 (Diagram 1.5). Kini kontribusi pemerintah
daerah mencapai setengah dari total investasi publik dan telah menjadi pendorong utama peningkatan pengeluaran
pembangunan selama beberapa tahun belakangan ini. Antara tahun 2000 dan 2003, total pengeluaran pembangunan
meningkat sebesar 2,7 persen poin dari PDB (lihat Bab 7). Sementara pengeluaran pembangunan pemerintah pusat
meningkat sebesar 1,0 persen poin, pengeluaran pemerintah daerah meningkat sebesar 1,7 persen poin (provinsi 0,6
persen poin dan kabupaten/kota 1,1 persen poin). Jika pengeluaran pembangunan pemerintah daerah mengalami
peningkatan pada kecepatan yang sama dengan pemerintah pusat, total pengeluaran pembangunan akan melebihi
jumlah 7 persen dari PDB pada 2007.
Tingkat investasi secara keseluruhan belum pulih ke tingkat sebelum krisis. Pada tahun 2005, total investasi
publik dan swasta hanya mencapai 22 persen dari PDB. Sementara investasi publik kini telah pulih sampai
pada titik sebelum krisis, investasi swasta belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pemulihan investasi publik
mencapai titik 6,5 persen akan meningkatkan total investasi menjadi 23 persen dari PDB pada tahun 2006 (Diagram
1.6). Akan tetapi, investasi publik telah melemah selama bertahun-tahun dan perlu berusaha mengejar ketertinggalan
tersebut. Selain itu, investasi sektor swasta masih tetap berkisar pada tingkat 5 persen di bawah tingkat sebelum krisis,
sebagian karena kurangnya pengeluaran publik sebgai pelengkap pengeluaran swasta.
Diagram 1.5 Pulihnya pengeluaran pembangunan ke
tingkat sebelum krisis
Diagram 1.6 Investasi publik kembali ke tingkat
sebelum krisis, namun tidak demikian halnya untuk
investasi swasta
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
(E)
2006
(P)
2007
(P)
(%)
Pemerintah Pusat
Provinsi
Kabupaten/Kota
6.4
3.8
6.5
4.4
6.5
20.7
22.1
12.7
17.6
16.8
0
5
10
15
20
25
30
1996 2000 2003 2005 2006(*)
Swasta
Publik
(%)
Sumber: DepKeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Diagram dalam persen dari PDB.
Sumber: DepKeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Diagram dalam persen dari PDB.
7 Perkiraan ini didasarkan pada bagian pengeluaran pembangunan dalam bentuk dana dekonsentrasi untuk 2004, bagi seluruh kabupaten/
kota kecuali Jakarta.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
8
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kotak 1.1 Apa yang dimaksud dengan ruang gerak fskal?
Istilah ruang gerak fskal sering digunakan dalam perdebatan kebijakan. Akan tetapi, defnisi dan pengggunaannya secara nyata
masih kontroversial. Laporan Bank Dunia tentang Fiscal Policy Growth and Development (World Bank, 2006b) menyatakan
bahwa ruang gerak fskal ada ketika pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran tanpa menyebabkan pengaruh buruk
terhadap solvabilitas fskal.
Sebagai konsep yang melihat ke depan, ruang gerak fskal dapat bermanfaat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti harus selalu
melihat besarnya ruang gerak fskal di waktu lampau. Selanjutnya, penting agar dilakukan pemisahan antara pengeluaran
diskrisioner dengan pengeluaran non-diskrisioner, karena peningkatan dalam pengeluaran non-diskresioner (seperti
pengeluaran untuk pegawai) tidak berarti harus sama dengan peningkatan pengeluaran untuk pembangunan.
Kajian Pengeluaran Publik ini mendefnisikan ruang gerak fskal sebagai pengeluaran diskresioner yang dapat dilakukan
oleh Indonesia tanpa mengganggu solvabilitasnya. Ruang gerak fskal didefniskan sebagai total pengeluaran dikurangi
pengeluaran untuk pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan transfer ke daerah.
Defnisi ini menyiratkan bahwa pemerintah harus memperhitungkan solvensi ketika merumuskan anggaran negara. Sebagai
hasilnya, kesenjangan antara proyeksi pengeluaran diskrisioner dan pengeluaran sebenarnya dapat didefnisikan sebagai
ruang gerak fskal yang tidak digunakan.
Diagram 1.7 Ruang gerak fskal terus meningkat
0
2
4
6
8
10
12
FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07
Kabupaten/Kota
Provinsi
Pusat
APBN
%
Sumber: Perkiraan staf BPS, Depkeu, Bank Dunia.
Catatan: Diagram menunjukkan persentase dari PDB.
Ruang gerak fskal Indonesia telah mengalami
peningkatan secara substansial. Pemulihan dalam
investasi publik telah terjadi sejalan dengan terjadinya
peningkatan ruang gerak fskal. Ruang gerak fskal
(termasuk pemerintah pusat dan daerah) meningkat dari
6,3 persen dari PDB pada 2001 menjadi 8,3 persen pada
2005.
8
Ruang fskal diperkirakan akan mencapai angka di
atas 10 persen pada 2006 dan 2007 (Diagram 1.7).
Peningkatan penerimaan dan penurunan subsidi
BBM mendorong terjadinya peningkatan ruang gerak
fskal. Ruang gerak fskal pemerintah pusat meningkat
dari 2.9 persen yang sangat rendah di tahun 2002 menjadi
4,5 dan 6,2 persen masing-masing di tahun 2005 dan
2006. Peningkatan pendapatan merupakan penyumbang
terbesar dalam perubahan terhadap ruang gerak fskal
(Tabel 1.4). Antara tahun 2005 dan 2006, peningkatan
penerimaan berkontribusi sebesar 2,6 persen dari PDB diikuti oleh peningkatan defsit anggaran sebesar 0,5 persen.
Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kenaikan harga minyak berpengaruh baik terhadap penerimaan (dari pajak dan
non-pajak) maupun pengeluaran (subsidi BBM dan dana bagi hasil).
Tabel 1.4 Kuantifkasi perluasan ruang gerak fskal
(%) 1996-2002 2002-05 2005-06
Peneriman 0.2 0.7 2.6
- Migas 0.1 0.3 1.4
- Non-Migas 0.0 0.4 1.2
Surplus/defsit anggaran 0.4 -0.1 0.5
Pengeluaran non-diskresioner 1.3 0.0 -1.4
- Subsidi 0.3 0.7 1.4
Ruang gerak fskal -0.8 0.5 1.8
Sumber: Perkiraan staf DepKeu dan staf Bank Dunia.
Catatan: (Perubahan antarperiode, persentase dari PDB, rata-rata tahunan); +
menunjukkan kontribusi positif terhadap ruang fskal dan sebaliknya. Misalnya,
defsit anggaran yang lebih tinggi berkontribusi positif terhadap ruang fskal.
Akan tetapi, perluasan ruang gerak fskal ini
belum dimanfaatkan secara penuh baik oleh
pemerintah pusat maupun daerah. Walaupun
investasi publik telah meningkat secara cukup
signifkan pada tahun-tahun belakangan ini, masih
ada ruang gerak yang cukup besar untuk melakukan
berbagai perbaikan di seluruh tingkat pemerintahan.
Kesenjangan antara anggaran pemerintah pusat
(APBN-P) dan realisasi anggaran tersebut merupakan
indikator proksi terhadap ruang gerak fskal yang
tidak dimanfaatkan dengan baik. Kesenjangan ini
melebar dari 1,0 persen pada tahun 2001 menjadi
2,0 persen di tahun 2005 (Diagram 1.8). Dalam hal
pemerintah daerah, peningkatan tajam pada sisa anggaran merupakan bukti bahwa daerah juga belum memanfaatkan
ruang gerak fskal mereka secara optimal (Diagram 1.9). Pada bulan November 2006, total sisa anggaran mencapai
Rp 95 triliun, atau 3,1 dari PDB (lihat Bab 7).
8 Data pemerintah daerah merupakan perkiraan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
9
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.8 Ruang gerak fskal yang tidak
dimanfaatkan: pemerintah pusat
Diagram 1.9 Ruang gerak fskal yang tidak di
manfaatkan: pemerintah daerah
2
3
4
5
6
7
FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07
Realisasi
Proyeksi Terkini (APBN-P)
APBN
%
Provinsi
Kabupaten/Kota
0
20
40
60
80
100
J
a
n
-0
3
M
a
r
M
e
i
J
u
l
S
e
p
N
o
v
J
a
n
-0
4
M
a
r
M
e
i
J
u
l
S
e
p
N
o
v
J
a
n
-0
5
M
a
r
M
e
i
J
u
l
S
e
p
N
o
v
J
a
n
-0
6
M
a
r
M
e
i
J
u
l
S
e
p
N
o
v
Sumber: Staf Depkeu dan Bank Dunia.
Catatan: Perbandingan antara revisi anggaran dan realisasinya oleh
pemerintah pusat, persen PDB.
Sumber: Bank Indonesia,
Catatan: Sisa anggaran pemerintah daerah dalam Rp triliun.
Harga minyak yang tinggi masih berdampak negatif terhadap anggaran karena subsidi masih tetap tinggi
sedangkan produksi minyak dan gas mengalami penurunan. Peningkatan harga minyak sebesar US$1/barel pada
tahun 2007 akan berdampak negatif terhadap keseimbangan anggaran sebesar Rp 0,6 triliun (0,02 persen dari PDB).
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2006 dimana peningkatan harga sebesar US$1/barel memberikan
dampak positif sampai dengan Rp 0,2 triliun. Pada tahun 2007, peningkatan harga sebesar US$1/barel pada harga
minyak akan menimbulkan peningkatan pada pendapatan dan pengeluaran sebagai berikut:
1. Penerimaan, meningkat sebesar Rp 3,8 triliun (penerimaan dari pajak migas sebesar Rp 0,7 triliun; pendapatan
pajak non-migas dan lainnya sebesar Rp 3,1 triliun).
2. Pengeluaran, meningkat sebesar Rp 4,4 triliun (subsidi BBM sebesar Rp 2,6 triliun, subsidi listrik sebesar Rp
0,4 triliun, dana bagi hasil sebesar by Rp 0,6 triliun dan alokasi DAU sebesar Rp 0,8 triliun).
Dampak dari fuktuasi harga minyak internasional diperkirakan tidak akan menyebabkan gangguan berarti
untuk anggaran pemerintah daerah (sebelum persetujuan anggaran tiap tahun).
9
Bahkan jika harga minyak
menurun, dampak negatif terhadap anggaran pemerintah daerah tidak akan terlalu besar. Ada tiga alasan untuk hal
ini. (lihat Tabel 1.5). Pertama, penerimaan dari pajak dan non-pajak minyak hanya mewakili 20 persen dari penerimaan
domestik. Sehingga, persentase peningkatan atas harga minyak tidak akan menghasilkan peningkatan yang sama
terhadap persentase total pendapatan domestik bersih setelah dikurangi dana bagi hasil (yang digunakan sebagai
dasar untuk menentukan besarnya transfer). Kedua, hanya 10 persen dari pemerintah daerah yang menerima bagi
hasil dari migas. Ketiga, pemerintah daerah yang menerima penerimaan migas telah mengakumulasikan keuntungan
dari sumber keuangannya selama beberapa tahun terakhir dan masih memiliki penerimaan yang belum dimanfaatkan
yang tersimpan dalam rekening bank mereka. (lihat Diagram 1.9 dan Bab 7).
Tabel 1.5 Elastisitas penerimaan daerah terhadap perubahan harga minyak
Jenis Transfer
Skenario
Rendah (AS$
40/barel)
Skenario Dasar
(AS$ 50/barel)
Skenario Tinggi
(aS$ 60/barel)
Elastisitas harga
minyak terhadap
pendapatan daerah
1. Dana Alokasi Umum (DAU) 175,937 182,704 189,470 0.19
2. Dana Bagi Hasil 59,423 64,186 68,950 0.37
3. Otonomi Khusus & Dana Penyeimbang 7,331 7,613 7,895 0.19
Total Transfer untuk Pemerintah Daerah
(1+2+3+lain-lain)
270,845 282,657 294,468
0.21
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia.
Catatan: Perkiraan untuk tahun 2008 dalam Rp miliar.
9 Perkiraan tersebut mensimulasikan dampak perubahan harga minyak pada transfer anggaran 2008, karena anggaran 2007 sudah disetujui
pada bulan Oktober 2006, sehingga perubahan harga minyak sudah kembali netral untuk alokasi tahun 2007.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
10
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Utang
Utang pemerintah pusat
Diagram 1.10 Penurunan beban hutang (1)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Sep
Domestik
Eksternal
%
Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Rasio persentase hutang pemerintah terhadap PDB.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB telah turun
menjadi setengahnya sejak enam tahun terakhir. Rasio
stok utang pemerintah pusat terhadap PDB telah mengalami
penurunan dari sekitar 100 persen pada 1999 menjadi 47
persen pada 2005, dan terus mengalami perbaikan menjadi
41 persen pada bulan September 2006 (Diagram 1.10).
Penurunan ini jauh lebih cepat dari yang diproyeksikan Bank
Dunia dan pengamat lain pada 2000.
10
Jumlah yang stabil
atas stok utang, apresiasi nilai rupiah, dan peningkatan PDB
telah berkontribusi dalam menurunkan beban utang.
11
Rasio
utang pemerintah Indonesia terhadap PDB pada akhir tahun
2005 (47 persen) setara dengan negara tetangga seperti
Thailand (46 persen), Malaysia (46 persen), dan jauh lebih
rendah daripada Filipina (72 persen) (lihat Tabel 1.6).
Tabel 1.6 Perbandingan internasional utang pemerintah
% dari PDB 2000 2001 2002 2003 2004 2005
China 16.4 17.7 18.9 19.2 18.5 17.9
Indonesia 80.0 76.4 70.8 61.1 54.6 46.8
Korea Selatan 31.8 35.3 33.4 32.6 33.5 36.4
Malaysia 36.6 43.6 45.6 47.8 48.1 46.2
Filipina 64.6 65.7 71.0 77.7 78.5 71.8
Thailand 57.0 56.5 53.8 48.7 48.0 46.4
Sumber: Data dan perkiraan staf Bank Dunia, (a) Pemerintah pusat, (b) Termasuk dana jaminan sosial.
Konsolidasi fskal dan pendapatan non-reguler, terutama dari divestasi bank, berkontribusi terhadap
penurunan tingkat utang. Defsit anggaran pemerintah pusat mengalami perbaikan dari 4,9 persen terhadap PDB
pada tahun 1998 menjadi 1,0 persen pada 2006 (hasil awal). Realisasi defsit anggaran sebagian besar jauh lebih
rendah dari yang dianggarkan (Diagram 1.11). Juga, rasio dari pembiayaan non-utang (seperti, penarikan cadangan,
penerimaan privatisasi, dan penjualan aset dari badan divestasi aset negara BPPN/PPA) melebihi 50 persen dari
total pembiayaan pada 2000-03 (Diagram 1.12). Setelah krisis, pemerintah mengeluarkan obligasi dalam negeri dan
menaruhnya dalam neraca bank-bank komersial untuk menyelamatkan sistem perbankan. Aset dari bank-bank yang
dilikuidasi/ditutup diambil alih oleh pemerintah. Pada 1999-2006, penjualan aset BPPN/PPA berkontribusi sebesar 26
persen dari kebutuhan pembiayaan bruto.
10 Misalnya, Bank Dunia memproyeksikan rasio utang akan bisa menurun mencapai sekitar 45 persen pada tahun 2010 (lihat Indonesia: Managing
Government Debt and Its Risks, May 2000).
11 Misalnya, rasio utang pemerintah terhadap PDB mengalami perbaikan dari 80,0 persen pada 2000 menjadi 46,8 persen pada 2005. Selama
masa itu, utang pemerintah yang masih tersisa mengalami sedikit penurunan dari AS$132 milyar menjadi AS$131,6 miliar. PDB nominal meningkat
menjadi 70.5 persen dari AS$165 miliar menjadi AS$281,3 miliar. Peningkatan pada PDB nominal berkontribusi terhadap perbaikan utang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
11
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.11 Penurunan defsit anggaran Diagram 1.12 Pembiayaan non-utang tinggi pada tahun
2000-03
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
FY98 FY99 FY00
(9m)
FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07
Dianggarkan
Realisasi
%
-20
0
20
40
60
80
100
120
FY96 FY97 FY98 FY99 FY00
(9m)
FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06
%
Pembiayaan non-hutang
Pembiayaan hutang
SSumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: angka dalam diagram ada;ah persentase terhadap PDB.
Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: angka pada diagram adalah persentase terhadap pembiayaan bruto.
Diagram 1.13 Penurunan beban hutang
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
FY96 FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07
Pembayaran Kembali Pokok
Pembayaran Bunga Hutang
APBN
%
Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia .
Catatan: Pembayaran hutang dalam total pengeluaran.
Sebagai persentase dari total pengeluaran pembayaran
utang pemerintah kini lebih rendah daripada tingkat
sebelum krisis. Pembayaran bunga menurun dari Rp 78
triliun pada 2001 menjadi Rp 37 triliun pada 2005 (nilai rupiah
konstan pada 2000). Selama periode 2004-06, pembayaran
utang secara rata-rata adalah sebesar 25 persen dari total
pengeluaran dibandingkan dengan 38 persen sebelum krisis
(1994-96).
12
Akan tetapi, pembayaran utang sepertinya akan
meningkat perlahan pada tahun-tahun yang akan datang
ketika pemerintah harus membayar kembali utang yang
ditangguhkan (Diagram 1.13).
Tiga faktor yang telah berkontribusi terhadap penurunan tajam dari tingkat utang Indonesia sejak terjadinya
krisis ekonomi:
Pasca-krisis, penjadwalan kembali pembayaran pokok dan bunga pinjaman di bawah kesepakatan
Paris Club.
Apresiasi nilai tukar rupiah dari Rp 10.014 /AS$1 (1998) menjadi Rp 9.141/AS$1 (2006).
Peningkatan penerimaan pajak non-migas dari 9,0 persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi 11,5
persen pada tahun 2006. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 12,8 persen dalam anggaran
(APBN) 2007.
Utang pemerintah masih tetap sensitif terhadap gangguan makroekonomi, walaupun terjadi peningkatan
yang luar biasa atas indikator utang pemerintah. Peningkatan sebesar 1 persen poin dari tingkat suku bunga
domestik menyebabkan tambahan sebesar Rp 2 triliun (atau 0,07 persen dari PDB) atas pembayaran bunga utang
domestik. Sejalan dengan hal itu, peningkatan sebesar 1 persen dalam suku bunga global AS dolar menyebabkan
tambahan sebesar AS$0,2 milyar (atau 0,07 persen dari PDB) atas pembayaran bunga utang luar negeri. Depresiasi
sebesar 10 persen pada mata uang di 2005 telah meningkatkan rasio utang terhadap PDB sebesar 4-5 persen, hal-hal
lainnya tetap sama.
12 Pada 1994-95, pembayaran di muka atas utang pemerintah telah meningkatkan kemampuan fskal yang berkesinambungan untuk pembayaran
utang tetapi tingkat utang saat ini berada di bawah tahun 1996 ketika tidak ada pembayaran utang di muka.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
12
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Tabel 1.7 Utang pemerintah pusat dan daerah tahun 2005
Level of governments Hutang % total % PDB
Pemerintah pusat 1,277.5 99.7 46.8
Pemerintah daerah 4.2 0.3 0.2
- Kabupaten/kota 0.7 0.1 0.0
- Provinsi 0.3 0.0 0.0
- PDAM 3.1 0.2 0.1
Total 1,281.7 100.0 47.0
Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Pemerintah daerah per 2004; fgur dalam Rp triliun.
Utang pemerintah daerah tidak signifkan
(Tabel 1.7). Utang pemerintah daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dan PDAM hanya
0,2 persen dari PDB pada 2004, yang hanya
merupakan 0,3 persen dari konsolidasi utang
pemerintah (lihat Bab 7). Utang pemerintah
daerah semata-mata terdiri dari pinjaman
kepada pemerintah pusat (melalui RPD/RDI)
dan kepada donor melalui pemerintah pusat
(Perjanjian Penerusan Pinjaman ).
Pengelolaan utang
Dua inisiatif utama dalam pengelolaan utang telah diluncurkan pemerintah. Walaupun ada perbaikan dalam
indikator utang akhir-akhir ini, resiko terhadap anggaran pemerintah masih cukup besar, dan peningkatan pengelolaan
utang masih perlu dilakukan untuk menghindari kesulitan pembayaran utang di masa datang. Departemen
Keuangan telah mencapai kemajuan yang cukup besar dalam hal ini. Dua contoh spesifk adalah pengembangan
dan penerbitan strategi pengelolaan utang yang komprehensif pada September 2005 dan pembentukan Direktorat
Jenderal Pengelolaan Utang Negara.
Strategi pengelolaan utang akan didasarkan pada analisis biaya/risiko. Strategi pengelolaan utang ini disusun
dalam kerangka yang masih bersifat terlalu umum, tetapi merupakan langkah awal yang penting yang dapat menjadi
landasan kuat untuk menyusun strategi berdasarkan analisis biaya/risiko. Pengambilan pinjaman adalah untuk
memaksimalkan konsesi, pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam mata uang rupiah, pada margin, mengeluarkan
obligasi global dalam denominasi AS$. Terkait dengan komposisi utang, unsur-unsur utama adalah preferensi untuk
meningkatkan rasio utang dengan denominasi rupiah, mengurangi rasio utang dalam mata uang Yen dalam portfolio
utang luar negeri serta meningkatkan rasio utang dengan bunga tetap.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara (DJPHN) akan membantu menurunkan risiko operasional.
Pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara memfasilitasi lebih lanjut pengembangan strategi
pengelolaan utang dan menyiratkan pengurangan risiko operasional yang cukup besar. Selanjutnya, organisasi
pengelolaan utang yang terpadu akan memfasilitasi implementasi strategi pengelolaan utang melalui pinjaman
langsung, pembelian kembali, dan penggunaan derivatif keuangan, dengan tujuan untuk menggunakan seluruh
instrumen pengelolaan utang yang ada. Awalnya, DJPHN akan bertanggung jawab untuk memastikan pembiayaan
yang tepat waktu dan efektif serta mengelola risiko keuangan atas utang langsung pemerintah.
DJPHN menggunakan sumber-sumber daya organisasi (misalnya, staf) dari DPSUN (Direktorat Pengelolaan
Surat Utang Negara) ) dan DPPHLN (Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri). Di masa yang
lalu, pinjaman dan surat utang negara dikelola secara terpisah di bawah dua direktorat ini, dengan koordinasi kegiatan
yang sangat sedikit. DJPHN akan diorganisasikan sejalan dengan garis fungsional depan, tengah, dan belakang. Fungsi
depan akan bertanggung jawab untuk merancang dan melakukan implementasi terhadap program pinjaman sesuai
dengan strategi pengelolaan utang. Fungsi tengah akan bertanggung jawab terhadap pengembangan strategi dan
pengelolaan risiko. Akhirnya, fungsi belakang bertugas untuk menjaga mutu dan memuktakhirkan database yang
akan memungkinkan untuk melakukan registrasi utang tepat waktu, pencairan, dan fungsi-fungsi akuntansi.
Perbaikan yang sedang berjalan atas pengelolaan utang. Untuk menjamin bahwa kemajuan selama kurun
waktu belakangan ini dalam pengelolaan utang negara dapat dipertahankan, fokus yang kuat dalam upaya untuk
meningkatkan kapasitas dan pelatihan untuk pegawai baru pada DJPHN akan sangat penting. Untuk meningkatkan
pengelolaan utang lebih lanjut, kegiatan di bawah ini dapat dilaksanakan atau direncanakan:
Peningkatan strategi pengelolaan utang yang ada: Strategi yang ada didasarkan pada pedoman yang
agak terlalu luas dan prinsip umum sementara kerangka kerja yang kokoh belum tersedia. Masih diperlukan
kerja keras untuk mengembangkan lebih jauh manajemen risiko keuangan dengan cara mengembangkan

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
13
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
perangkat yang dapat membantu mengidentifkasi preferensi konsekuensi biaya/risiko, misalnya analisis
skenario dan model risiko stokastik.
Menjamin akses yang lebih baik terhadap data utang yang komprehensif: Saat ini terdapat aktiftas
yang sedang berjalan dalam hal menghubungkan database utang yang ada untuk memfasilitasi kompilasi
total data utang, sementara situs web untuk DJPHN yang baru juga sedang dikerjakan. Hal ini akan membuat
akses yang jauh lebih mudah terhadap informasi utang pemerintah.
Menyediakan laporan berkala mengenai stok utang dan risikonya: Laporan berkala diperlukan untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Laporan itu harus meliputi utang luar negeri dan dalam negeri
dan diperluas untuk melingkupi penerusan pinjaman dan kewajiban kontinjensi pada tahapan berikutnya.
Kerangka hukum: Untuk mendukung strategi pengelolaan utang yang komprehensif, pinjaman pemerintah
harus dinaungi oleh satu undang-undang. Pada kenyataannya, hal ini menyiratkan atas penggabungan UU
tentang Surat Utang Negara dan UU tentang Pinjaman Pemerintah (saat ini sedang direvisi).
Subsidi
Diagram 1.14 Subsidi dan harga BBM
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
2001 2002 2003 2004 2005 2006



H
a
r
g
a

J
u
a
l

(
R
p
/
l
i
t
e
r
)

S
e
b
e
l
u
m

k
e
n
a

P
a
j
a
k
0
5
10
15
20
25
30

P
e
r
s
e
n
t
a
s
e

B
e
l
a
n
j
a

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t

(
%
)
Bensin di Pasar Internasional
Bensin
Total Subsidi
Subsidi BBM
Subsidi Non-BBM
Sumber: Departemen Keuangan dan perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Figur merupakan persentase dari PDB.
Subsidi merupakan bagian yang besar dalam
pengeluaran pemerintah pusat. Subsidi
mencapai puncaknya sebesar Rp 121 triliun pada
tahun 2005 dan jumlah ini merupakan 18,2
persen dari total pengeluaran pada 2001-06.
Setelah terjadi penurunan pada 2002-03, besarnya
subsidi kembali meningkat tajam pada 2004-05
terutama diakibatkan oleh subsidi BBM yang
semakin tinggi akibat meningkatnya harga
minyak internasional dan menurun lagi setelah
dilakukan pengurangan subsidi BBM pada bulan
Maret dan Oktober 2005 (Diagram 1.14). Bagian
atas subsidi non BBM juga meningkat karena
terjadi peningkatan subsidi terhadap Perusahaan
Listrik Negara (PLN).
Pada 2005, pemerintah membelanjakan 24
persen dari total pengeluaran dan 2,5 kali
dari total belanja modal untuk subsidi. Subsidi BBM berjumlah Rp 96 triliun (termasuk subsidi implisit kepada PLN
sebesar Rp 21 triliun) dan subsidi non BBM berjumlah Rp 25 triliun (termasuk Rp 13 triliun untuk subsidi PLN). Subsidi
BBM dan listrik berjumlah lebih dari 90 persen dari total subsidi (Diagram 1.15).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
14
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.15 Subsidi bahan bakar minyak dan listrik dominan
Belanja
Pegawai, 56
11% Belanja Barang, 33
6%
Belanja Modal, 37
7%
Pembayaran
Bunga Hutang, 58
11%
Transfer ke Daerah, 151
30%
Subsidi BBM, 75
15%
Subsidi Non-BBM,12
2%
Subsidi BBM
di Sektor Listrik, 21
4%
Subsidi Non-BBM
di Sektor Listrik,13
3%
Subsidi, 120.7
24%
Dana Sosial, 24.2
5%
Lain-lain, 30.8
6%
Sumber: Departemen Keuangan, perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Angka non-persen menunjukkan pengeluaran dalam Rp triliun.
Subsidi BBM
Diagram 1.16 Harga bahan bakar minyak dalam negeri vs.
internasional
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2001
Jan
Jul 2002
Jan
Jul 2003
Jan
Jul 2004
Jan
Jul 2005
Jan
Jul 2006
Jan
Jul
Minyak Tanah
Bensin
%
Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Angka merupakan persentase harga domestik dari harga internasional.
Subsidi BBM merupakan beban utama dalam
pengeluaran pemerintah pusat. Sejak awal
2003, pemerintah tetap mempertahankan harga
BBM dalam negeri, walaupun terjadi peningkatan
tajam harga minyak internasional (harga minyak
mentah Indonesia) dari AS$30/barel pada 2003
menjadi di atas AS$50/barel pada 2005. Pada
bulan September 2005, harga BBM dalam negeri
sebagai proporsi dari harga minyak internasional
(sebelum dikurangi pajak) jatuh hingga sekitar 40
persen untuk bensin dan solar, dan 14 persen
untuk minyak tanah (Diagram 1.16). Dengan
demikian, subsidi BBM sebagai beban dari PDB
meningkat tajam dari 1,5 persen pada 2003
menjadi 3,0 persen pada 2004 dan 3,5 persen
pada 2005.
Pemerintah menerapkan penyesuaian harga
BBM yang cukup besar pada tahun 2005.
Kekhawatiran atas peningkatan beban keuangan karena subsidi dan keinginan untuk menggunakan sumber-sumber
daya publik secara efsien mendorong pemerintah pusat untuk menerapkan tiga penyesuaian subsidi BBM pada 2005:
peningkatan sebesar 29 persen pada bulan Maret, pengenaan harga pasar untuk industri, dan kenaikan harga sebesar
114 persen pada bulan Oktober (Tabel 1.8). Berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 55/2005, subsidi BBM yang
masih tersisa akan dihapuskan walaupun waktu untuk itu belum ditentukan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
15
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Tabel 1.8 Harga minyak dalam negeri vs. harga minyak internasional
Kenaikan harga BBM
sebelum Oktober (Sep 05)
Kenaiikan harga BBM
setelah Oktober (Oct 05)
Terbaru (Sep 06)
A. Harga BBM dalam negeri (Rp)
Bensin 2,400 4,500 4,500
Minyak tanah (rumah tangga) 700 2,000 2,000
Solar 2,100 4,300 4,300
B. Harga BBM internasional 1/ (Rp)
Bensin 6,570 5,876 4,509
Minyak tanah (rumah tangga) 6,493 6,218 5,808
Solar 6,470 6,225 5,545
C. Persentase harga BBM dalam negeri dari harga internasional (A/B)
Bensin (%) 37 77 87
Minyak tanah (rumah tangga) (%) 11 32 31
Solar (%) 32 69 67
D. Variabel Ekonomi
Harga minyak mentah (IHK, AS$/barel) 62 58 63
Nilai tukar mata uang (Rp/AS$) 10,310 10,090 9,235
Sumber : Depkeu, Bank Dunia.
Catatan: 1/ MOP plus 15 persen penyesuaian oleh nilai tukar dan pajak.
Diagram 1.17 Penghematan yang diperoleh dari
penyesuaian subsidi BBM
Diagram 1.18 Harga dan produksi minyak
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06
(APBN-P)
FY07
(APBN)
AS$ miliar
Dana tabungan dari kenaikan harga Mar 05
Dana tabungan dari kenaikan harga Okt 05
Dana tabungan dari penerapan
harga pasar untuk sektor industri
Subsidi aktual (terencana)
800
900
1,000
1,100
1,200
1,300
1,400
1,500
1,600
1,700
FY94 FY95 FY96 FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07
(APBN)
-
10
20
30
40
50
60
70
Harga Minyak (RHS)
Produksi Minyak (LHS)
Ribu barel perhari AS$/bbl
Sumber: Depkeu, Bank Dunia. Sumber: Depkeu, Bank Dunia.
Catatan: Harga minyak mentah per barel dan juta barel per hari.
Dampak pengurangan subsidi BBM terhadap anggaran sangat luar biasa. Pada tahun 2005 penyesuaian harga
BBM telah menurunkan defsit anggaran sebesar AS$4,5 milyar pada tahun tersebut. Kenaikan pada Oktober 2005 saja
telah memberikan dampak positif terhadap anggaran 2006 sebesar AS$10 milyar (Diagram 1.17).
13

Keseimbangan antara penerimaan migas dengan subsidi masih tetap surplus, tetapi kinerja penerimaan
belakangan ini mengecewakan. Keseimbangan migas didefenisikan sebagai penerimaan (baik penerimaan pajak
maupun non-pajak) dikurangi dengan pengeluaran, misalnya subsidi BBM. Dampak harga minyak internasional yang
lebih tinggi terhadap harga anggaran tidak dapat diukur hanya melalui dampaknya terhadap subsidi BBM; penerimaan
(pajak dan non-pajak) juga mengalami peningkatan ketika terjadi peningkatan harga minyak internasional. Selisih antara
13 Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi harga minyak pada anggaran. Makin tinggi kenaikan harga minyak aktual, makin besar penghematan
yang diperoleh. Jumlah penghematan yang signifkan diarahkan untuk melakukan program kompensasi bagi masyarakat miskin. Penjelasan lebih
rinci mengenai hal ini dapat ditemukan pada laporan Bank Dunia, 2006h.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
16
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
penerimaan dan subsidi untuk minyak dan gas telah mengalami surplus selama lebih dari 10 tahun, sementara dari
non-migas telah mengalami defsit. Pada 2001-06, neraca migas menunjukkan angka surplus rata-rata setara dengan
2,5 persen dari PDB, sementara neraca negatif dari pendapatan non-migas berjumlah 3,8 persen dari PDB. Tetapi,
walaupun dengan harga minyak mentah yang tinggi sejak 2004, pendapatan sektor migas tetap mengecewakan.
Antara 2001 dan 2006, sementara harga minyak mentah melonjak mencapai 160 persen, pendapatan dari sektor
migas meningkat hanya sebesar 93,3 persen. Apresiasi nilai tukar mata uang (5 persen) dan penurunan produksi
minyak dalam negeri (sebesar 28 persen) telah menetralisir sebagian besar keuntungan yang diperoleh dari harga
minyak yang lebih tinggi. Produksi minyak menurun sebesar 40 persen selama 10 tahun terakhir (Diagram 1.18).
Transfer penerimaan oleh Pertamina sangat mengkhawatirkan. Antara 2001 dan 2005, pendapatan dari sektor
migas sebenarnya meningkat sampai sekitar 120 persen (peningkatan harga minyak mentah dikurangi penurunan
produksi dan apresiasi nilai tukar mata uang). Namun demikian, pendapatan sebenarnya dari sektor migas meningkat
sebesar 93 persen. Harga gas tidak terkait sempurna dengan harga minyak dan produksi gas telah mengalami
penurunan lebih tajam dibandingkan dengan produksi minyak. Akan tetapi, peningkatan pendapatan sebenarnya
sebesar 93 persen masih terlalu kecil dibandingkan dengan perkiraan peningkatan sebesar 120 persen. Salah satu
penjelasan atas kesenjangan adalah masalah yang terjadi pada arus kas di tubuh Pertamina. Masalah arus kas ini telah
menghambat Pertamina untuk mengirim dana mereka ke dalam anggaran, termasuk tunggakan utang, dividen, dan
transfer dari penjualan minyak dan gas.
Pembayaran subsidi BBM sering tertunda. Berdasarkan peraturan yang berlaku, pemerintah pusat harus
mentransfer subsidi BBM kepada Pertamina setiap bulan. Hal ini dimaksudkan untuk menetralisir masalah arus kas di
tubuh Pertamina. Berdasarkan kerangka kerja sebelumnya, setiap triwulan Pertamina menerima hanya 70 persen dari
subsidi yang dianggarkan. Akan tetapi, sejak bulan Agustus 2006, hanya sebesar Rp 4,7 triliun (9 persen dari jumlah
yang dianggarkan) dalam subsidi BBM yang ditransfer ke Pertamina. Alasan berikut ini dapat memberikan penjelasan
tentang pencairan subsidi yang lamban tersebut:
Tunggakan utang Pertamina kepada pemerintah: Pertamina berhutang sebesar Rp 17 triliun kepada
Pemerintah Indonesia per akhir 2005, termasuk belum disetornya dividen dan penerimaan non-pajak dari
sektor migas (IMF, 2006). Hal ini menjelaskan keengganan pemerintah untuk membayar subsidi BBM tepat
waktu.
Sistem pembayaran yang rumit antara pemerintah, Pertamina, dan PLN: Pemerintah harus membayar
subsidi listrik kepada PLN, sementara PLN memiliki kewajiban kepada Pertamina. Hubungan di antara ketiga
pihak yang berkepentingan menyebabkan penyelesaian pembayaran subsidi menjadi rumit (lihat Lampiran
Bagian C.15).
Surat keputusan yang tertunda: Surat keputusan dari Departermen Energi dan Sumber Daya Mineral
tentang patokan harga atas jenis BBM tertentu untuk anggaran 2006 baru dikeluarkan pada 18 Juli 2006.
14

Penundaan penerbitan keputusan ini telah menyebabkan Departemen Keuangan tidak bisa melakukan
perhitungan besarnya subsidi dan melakukan pembayaran untuk itu.
Subsidi Listrik
Biaya produksi yang lebih tinggi telah mendorong kenaikan subsidi listrik. Subsidi untuk sektor listrik berjumlah
28 persen dari total subsidi. Hal ini terdiri dari subsidi langsung kepada PLN (11 persen) untuk subsidi tidak langsung,
plus subsidi tidak langsung melalui penyediaan bahan derifative minyak dengan harga subsidi (17 persen). Kombinasi
antara tarif listrik yang tetap dan biaya produksi yang lebih tinggi sebagai akibat dari harga minyak yang lebih tinggi
yang menyebabkan beban PLN naik sebesar Rp 15 triliun.
15
Dalam hal ini, pemerintah pusat sebenarnya mengeluarkan
sebesar Rp 30 triliun untuk subsidi listrik pada 2006.
14 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.2308 K/22/MEM/2006, tertinggal 18 Juli 2006.
15 Pada APBN 2006 pemerintah pusat awalnya berencana untuk meingkatkan tarif listrik sebesar 20-30 persen . Akan tetapi, gagasan itu akhirnya
dibatalkan akibat penolakan publik yang semakin gencar, yang mengakibatkan pemerintah harus mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 15
triliun untuk subsidi.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
17
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.19 Subsidi listrik yang regresif
-
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1
Termiskin
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Terkaya
6600VA
2200VA
1300VA
900VA
450VA
Rp triliun
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Subsidi listrik bersifat regresif, walaupun
lebih kecil dari subsidi BBM sebelum terjadi
kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005, subsidi
listrik untuk rumahtangga sebesar Rp 11 triliun
didistribusikan sebagai berikut: kelompok
masyarakat 10 persen termiskin dari seluruh
penduduk Indonesia menerima sebesar Rp 900
milyar, sementara kelompok masyarakat 10
persen terkaya menerima Rp 1,3 triliun, 44 persen
lebih besar atas total subsidi rakyat miskin.
Manfaat bagi kelompok masyarakat yang lain
berkisar antara Rp 980 milyar dan Rp 1,3 triliun
(Diagram 1.19). Indonesia memiliki lima jenis
subsidi listrik, masing-masing didistribusikan
dengan cara yang berbeda, dimana yang
diutamakan untuk 450VA, kapasitas voltase yang
memungkinkan bagi intensitas penggunaan listrik yang rendah (seperti untuk penggunaan lampu pijar). Kelompok
rumah tangga termiskin termasuk dalam kelompok dengan kapasitas 450VA dan subsidi ini, yang berjumlah lebih dari
setengah subsidi listrik untuk keseluruhan, bersifat progresif. Dengan kategori 450VA, kelompok penduduk 10 persen
termiskin menerima Rp 850 milyar, hampir tiga kali lipat banyaknya dari subsidi untuk kelompok penduduk 10 persen
terkaya (Rp 300 milyar). Oleh karena itu, sifat regresif dari subsidi listrik berasal dari jenis subsidi yang lain (900VA
sampai dengan 6,600VA).
Reformasi Pelayanan Sipil dan Belanja Pegawai

Insentif yang terdistorsi pada birokrasi pemerintah telah menghambat pelaksanaan kebijakan, maupun
penyediaan layanan publik. Tantangan ini telah diketahui selama bertahun-tahun, tetap saja kemajuan yang telah
dicapai sampai saat ini masih sangat lamban. Akan tetapi, ada tanda-tanda yang sangat positif bahwa pemerintah
sudah siap untuk melakukan program reformasi yang komprehensif di bidang ini (Kotak 1.1). Tantangan-tantangan
utama dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Struktur Organisasi, Banyak lembaga dengan wewenang yang saling tumpang tindih memiliki tanggung
jawab untuk mengelola dan mengawasi berbagai aspek dari pelayanan sipil. Lembaga-lembaga ini termasuk
Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan).
Departemen Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Departemen Keuangan, Departemen
sektoral, dan pemerintah daerah. Yang membuat situasi semakin rumit, tidak satu pun lembaga tersebut
yang bertindak proaktif dalam mengelola struktur dan bentuk pelayanan sipil, dan tidak satu lembaga pun
yang memiliki wewenang yang diakui untuk melakukan reformasi pelayanan sipil yang komprehensif.
Penerimaan pegawai dan promosi. Terdapat permintaan yang berlebih untuk menjadi pegawai negeri.
Hal ini menyebabkan sistem penerimaan pegawai baru yang bermasalah yang sering melibatkan pungutan
tidak formal baik saat penerimaan maupun promosi. Kriteria kinerja untuk memperoleh promosi sangat
lemah dan hanya ada sedikit sanksi atas kinerja yang buruk dan keterlibatan dalam korupsi. Sejalan dengan
hal itu, hanya terdapat beberapa insentif dalam sistem yang memberikan penghargaan atas kinerja yang
bagus, karena sebagian besar kenaikan pangkat didasarkan pada senioritas.
Kompensasi, Walaupun gaji pokok pegawai negeri sipil masih relatif rendah dibandingkan dengan sektor
swasta dan standar internasional, paket kompensasi secara keseluruhan ditandai oleh berbagai jenis
tunjangan dan honorarium, banyak dari jumlah ini tidak transparan, diskresionari, dan rentan terhadap
penyalahgunaan. Jika paket kompensasi itu telah diperhitungkan, penelitian menunjukkan bahwa banyak
segmen pelayanan sipil di Indonesia tidak dibayar lebih rendah dibandingkan pegawai sektor swasta
(Nunberg dkk., 2000; dan Steedman dan Kenward, 2006). Oleh karena itu, kunci untuk mendorong kinerja
berkualitas tidak terbatas pada besarnya upah yang dibayarkan. Hal itu perlu mempertimbangkan semua
bentuk kompensasi (upah dan non-upah) serta memperhatikan hubungan yang lemah terkait dengan
kinerja individu atau kelompok.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
18
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kotak 1.2 Reformasi pelayanan sipil mulai terjadi
Baru-baru ini, Pemerintah mengambil inisiatif yang menuju pada salah satu kesempatan paling menjanjikan sejak
bertahun-tahun untuk mereformasi pelayanan sipil. Langkah kunci pertama merupakan upaya untuk merancang
kebijakan renumerasi yang baru bagi pejabat tinggi negara (seperti Menteri, anggota Parlemen, hakim, dan Ketua Komisi
dan badan). Menteri Keuangan telah membentuk kelompok kerja antarlembaga untuk meneliti keseluruhan paket
kompensasi yang bertujuan untuk menciptakan kerangka pembayaran dan tunjangan yang lebih transparan, sistematis,
dan koheren, serta dikaitkan dengan Tinjauan secara komprehensif terhadap klasifkasi dan kategori pekerjaan. Hal ini
mengarah pada pembentukan komisi independen penyusunan renumerasi untuk memberikan rekomendasi baik
mengenai tingkat maupun struktur paket kompensasi untuk penjabat politik tertinggi. Pekerjaan komisi didasarkan
pada teknik modern atas analisis fungsional, penyusunan deskripsi tugas, dan tingkat pembayaran gaji. Pendekatan
semacam itu akan diikuti oleh kajian komprehensif yang serupa terhadap berbagai isu pembayaran untuk pelayanan
sipil yang lebih besar.
Setiap departemen mempertimbangkan inisiatif yang penting yang dapat dijadikan sebagai model untuk
reformasi pelayanan sipil yang lebih komprehensif. UU Guru No. 14/2005 memberikan peningkatan secara dramatis
atas total gaji guru berdasarkan sistem merit dan kualifkasi melalui pemberian tunjangan profesi bagi mereka yang
lulus melalui proses sertifkasi. Sementara itu, Departemen Keuangan sedang mempertimbangkan suatu reformasi yang
komprehensif atas pelayanan sipilnya yang akan dipadukan dengan restrukturisasi baru-baru ini dalam departemen-
departemen inti Kementerian yaitu perbendaharaan, perpajakan, dan bea cukai.
Akhirnya, kerangka hukum bagi pelayanan sipil sedang dikaji dan direvisi, termasuk diantaranya UU tentang
Pelayanan Sipil dasar tahun 1999, UU mengenai Organisasi Pemerintahan dan UU tentang Pensiun. Yang juga ditinjau
dalam kajian ini adalah sejumlah peraturan pemerintah meliputi desentralisasi pelayanan sipil, penilaian kinerja,
pemisahan, dan disiplin pelayanan sipil.
Ada juga beberapa inisiatif yang kuat untuk reformasi pelayanan sipil di sejumlah pemerintah daerah, termasuk
diantaranya bidang-bidang seperti kinerja anggaran, pelayanan satu atap untuk berbagai layanan publik, penilaian
peningkatan produktivitas, dan pengangkatan yang transparan untuk posisi-posisi kunci. Inisiatif yang menjanjikan telah
diluncurkan di Yogyakarta, Jembrana (Bali). dan Solok (Sumatera Barat).
Seluruh aparatur negara, dengan 3,6 juta pegawai negeri sipil, tidak terlalu berlebihan untuk negara
sebesar Indonesia. Namun tetap terdapat banyak masalah. Ketidakhadiran merupakan hal yang biasa dan pekerjaan
sambilan sering dijumpai. Memang, pekerjaan sembilan sering dilakukan secara formal (misalnya, menjadi dosen)
atau mendapat penghargaan karena loyalitas (sebagai Komisaris BUMN).
Sebanyak 830.000 pegawai yang tercantum dalam daftar pembayaran pemerintah merupakan tenaga
kontrak, dan hampir setengah dari mereka adalah guru.
16
Para pegawai kontrak ini sedang dalam proses untuk
menjadi pegawai negeri sipil dengan status permanen dengan jumlah 200.000 per tahun sampai 2009. Tampaknya
masuk akal untuk meningkatkan status tenaga kesehatan dan pendidikan dari pegawai kontrak menjadi PNS, karena
sebagian besar dari mereka bekerja pada jabatan fungsional dengan uraian tugas yang relatif lebih jelas. Bagi guru ,
pengangkatan harus dikaitkan dengan kebutuhan fungsional seperti yang tercantum pada UU Guru No. 14/2005 dan
berdasarkan penugasan yang rasional (lihat Bab 3). Transfer untuk pegawai administrasi temporer mungkin akan lebih
rumit: penambahan pegawai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan lembaga jika uraian tugas sudah jelas.
Indonesia membelanjakan 25 persen dari keseluruhan pengeluaran untuk pegawai. Belanja pegawai meliputi
dua rezim kepegawaian (tenaga tetap dan kontrak). Begitu juga tunjangan dan honorarium. Di samping itu, ada juga
beberapa tunjangan di luar anggaran (seperti, imbalan untuk Komisaris pada BUMN). Belanja pegawai meningkat
sebesar 15 persen secara riil dari 2001 sampai dengan 2005 tetapi jumlah ini tetap stabil dibandingkan dengan
kategori pengeluaran yang lain.

Sampai dengan Desember 2004, kabupaten/kota memiliki 69 persen dari jumlah total PNS, tetapi hanya 50
persen dari total pengeluaran nasional untuk pegawai (Tabel 1.9). Gaji rata-rata setiap bulan untuk PNS di tingkat
kabupaten/kota kurang dari 40 persen dari rata-rata gaji PNS di tingkat pusat. Sepintas memang membingungkan,
dimana sebagian besar PNS berada pada Golongan III dan IVyang merupakan pangkat tertinggi untuk jabatan
16 Sebagian besar tenaga kesehatan dan pendidikan ini ditugaskan pada zaman penerapan kebijakan pertumbuhan-nol antara tahun 1993 dan
1997. Lihat Barber dkk., 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
19
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
fungsionalbanyak dijumpai di tingkat kabupaten/kota. Penjelasannya terletak pada kenyataan bahwa pemerintah
pusat memiliki pejabat yang menduduki posisi Eselon I (eselon yang paling tinggi dari empat eselon yang ada),
yang menerima gaji lebih tinggi (karena tunjangan dan honorarium). Pemerintah pusat memiliki 653 staf Eselon I
dibandingkan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing hanya memiliki 35 dan 58 staf
Eselon I.
17

Secara umum, rata-rata gaji bulanan PNS lebih tinggi dari gaji rata-rata pegawai yang hanya berpendidikan
sekolah menengah atau perguruan tinggi. Gaji bulanan rata-rata PNS adalah as Rp 1,03 juta menurut Survei Tenaga
Kerja Nasional (Sakernas) 2004.
18
Selain itu, ada tiga sumber pendapatan yang membedakan gaji bersih: honorarium,
tunjangan struktural/fungsional, dan tunjangan lain-lain. Ruang gerak fskal yang ada di tingkat pusat lebih besar,
sehingga di tingkat ini dapat menyisihkan dana untuk honorarium yang lebih besar per orang. Anggaran juga
disisihkan untuk membayar tunjangan bagi pejabat dengan posisi struktural juga fungsional. Karena jumlah jabatan
relatif lebih banyak di tingkat pusat daripada di tingkat kabupaten/kota, tingkat gaji rata-rata juga lebih tinggi di
tingkat pusat.
Tabel 1.9 Distribusi pelayanan sipil antar pemerintah menurut senioritas dan total belanja pegawai
Tingkat
Pemerintahan
Pangkat (Golongan)
Total %
Belanja
Pegawai
%
Rata-rata
Gaji Bulanan
(Rp)
I % II % III % IV %
Pusat 21,836 2.6 276,337 33.5 450,460 54.6 76,011 9.2 824,644 23 34.9 43 3,525,540
Provinsi 6,434 2.1 85,124 28.1 184,338 60.8 27,387 9.0 303,283 8 6.2 7 1,708,711
Kabupaten/
kota
54,175 2.2 562,143 22.9 1,466,102 59.6 376,990 15.3 2,459,410 69 40.4 50 1,369,874
Total 82,445 2.3 923,604 25.7 2,100,900 58.6 480,388 13.4 3,587,337 100 81.5 1,894,057
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan statistik pegawai negeri sipil dan data dalam pelaksanaan anggaran dari Depkeu.
Catatan: Figur sampai dengan Desember 2004, Figur belanja pegawai dalam Rp triliun.
Kerangka Fiskal Jangka Menengah (MTEF)
Beban utang pemerintah sepertinya akan terus mengalami penurunan. Rasio hutang pemerintah pusat terhadap
PDB diproyeksikan akan turun dari perkiraan angka 37 persen pada 2006 menjadi di bawah 30 persen pada 2009.
19

Hutang pemerintah diperkirakan akan sedikit mengalami peningkatan (sekitar 8 persen menjadi AS$145 milyar) pada
2010, sementara pertambahan jumlah nominal PDB harus melewati peningkatan dengan margin yang cukup besar.
Perlu diperhatikan bahwa peningkatan yang baik dalam rasio hutang pemerintah terhadap PDP memakai asumsi
stabilitas makroekonomi, termasuk stabilitas nilai tukar dan tingkat infasi yang rendah.
Laju perbaikan dalam tingkat utang Indonesia akan berkurang. Hal ini terjadi karena Indonesia telah mencapai
tingkat yang rendah di bawah 40 persen dan akan jauh lebih sulit untuk menurunkan tingkat utang secara tajam
dari tingkat yang begitu rendah. Ada tiga faktor tambahan yang berkontribusi terhadap proyeksi yang konservatif
ini. Pertama, tingkat infasi diharapkan akan semakin menurun, yang akan menyebabkan nilai nominal PDB yang
lebih rendah. Kedua, nilai tukar riil tetap stabil, dibandingkan dengan apresiasi nilai tukar riil selama beberapa tahun
yang telah lalu. Ketiga, pembayaran akibat penjadwalan kembali berdasarkan kesepakatan Paris Club setelah bencana
tsunami pada Desember 2004 akan jatuh tempo pada tahun-tahun mendatang.
17 Ada dua jenis jabatan dalam pelayanan sipil di Indonesia: struktural dan fungsional. Jabatan struktural merupakan jabatan manajemen, sama
dengan PNS administrasi pada sistem pelayanan sipil yang lain. Jabatan ini terdiri dari empat eselon, di mana eselon IV adalah yang paling rendah.
Jabatan fungsional merupakan jabatan non-manajemen yang diperlukan untuk kebutuhan operasional pada lembaga tertentu. Jabatan ini harus
diisi oleh staf dengan keahlian tertentu. Jabatan fungsional ini dibagi menjadi empat tingkat: pertama, muda, madya, dan utama, di mana pertama
merupakan golongan terendah. Semua pegawai negeri sipil, baik yang menduduki jabatan struktural maupun fungsional, dapat dibagi menjadi
empat golongan kepangkatan, di mana yang paling rendah adalah Golongan I dan yang tertinggi adalah Golongan IV tertinggi. Pangkat tersebut
merupakan fungsi dari jenjang pendidikan dan masa kerja. Pangkat tersebut selanjutnya akan menentukan golongan gaji dan potensi jabatan baik
dalam jabatan struktural maupun jabatan fungsional.
18 Berdasarkan analisis dalam survei yang sama, pendapatan bulanan PNS dan pendapatan mereka per jam adalah masing-masing 24 persen dan
47 persen lebih tinggi dari pekerja bayaran lainnya, dengan kontrol pada jenjang pendidikan mereka (lihat Bab 3).
19 Tahapan perbaikan diproyeksikan akan melambat untuk tahun 2007 karena dua hal: (i) menurunnya tingkat infasi yang diproyeksikan untuk
tahun 2007 akan berpengaruh terhadap PDB nominal, dan (ii) proyeksi tersebut mengasumsikan tingkat nilai tukar riil yang konstan, padahal
kenyataannya, nilai tukar riil telahmengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
20
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Penerimaan domestik dari pajak non-migas diperkirakan akan meningkatkan sampai 2010. Peningkatan
yang berlanjut dari pendapatan pajak ini akan menjadi faktor kunci terhadap keberlanjutan fskal jangka menengah.
Proyeksi dasar (Tabel 1.10) mengasumsikan bahwa pendapatan domestik dari pajak non-migas sebagai bagian dalam
PDB akan meningkat dari 10,9 persen pada 2005 menjadi 12,8 persen pada 2010 (0,4 persen poin setiap tahun).
Angka ini sangat mendekati kemajuan yang dipantau antara 2000 dan 2005, ketika rasio meningkat mencapai by 0,5
persen poin per tahun. Dua faktor diperkirakan berkontribusi terhadap kinerja ini, yaitu: (i) administrasi pajak yang
terus mengalami perbaikan; dan (ii) tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi secara keseluruhan.

Investasi pemerintah diperkirakan naik sampai 7,7 persen di tahun 2010. Dengan proyeksi pendapatan yang
tinggi dan pembiayaan yang aman, pemerintah pusat dapat meningkatkan pengeluaran pembangunan (jumlah
pengeluaran modal dan bantuan sosial) dari 3,1 persen terhadap PDB pada tahun 2006 menjadi 3,9 persen di tahun
2010 tanpa membahayakan keberlangsungan fskal. Dengan skenario dasar ini, surplus primer akan berkisar antara
1,7 dan 2,0 persen dari PDB dan defsit anggaran akan menjadi lebih rendah dari 1,0 persen dari PDB. Dengan dasar
yang sudah terkonsolidasi, total investasi pemerintah diproyeksikan akan meningkat dari 4,8 persen pada tahun 2005
menjadi 7,7 persen di tahun 2010.
Tabel 1.10 Kerangka Fiskal Jangka Menengah (MTEF)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Act. Act. Pre Act. <------Proyeksi Bank Dunia ----->
1. Pemerintah pusat
(1) Penerimaan 17.6 18.1 19.4 18.5 18.6 18.4 18.3
Hanya dengan Non-Migas 12.8 13.0 13.2 13.8 14.0 14.3 14.5
Hanya dengan Minyak dan gas 4.8 5.1 6.1 4.6 4.6 4.1 3.8
Hanya dengan Hibah 0.0 0.0 0.1 0.1 0.0 0.0 0.0
(2) Pengeluaran 18.7 18.6 20.3 19.6 19.1 18.6 18.6
Hanya dengan Belanja Modal - 1.2 1.8 1.8 2.2 2.1 2.2
Hanya dengan Bantuan Sosial - 1.0 1.3 1.2 1.7 1.6 1.7
Hanya dengan Subsidi BBM 3.0 3.5 1.9 1.7 1.8 1.5 1.2
(3) Saldo primer 1.7 1.6 1.4 1.2 1.8 1.8 1.7
(4) Neraca anggaran -1.0 -0.5 -1.0 -1.1 -0.5 -0.3 -0.3
(5) Pembiayaan 0.9 0.4 1.0 1.2 0.3 0.2 0.0
Kebutuhan pembiayan kasar (AS$ miliar) 10.7 7.9 12.0 13.5 12.0 10.7 9.5
Rasio utang pemerintah terhadap PDB (%) 54.6 46.8 37.0 33.3 31.6 29.6 27.6
2. Pemerintah (pusat+Provinsi+kabupaten/kota)
(1) Penerimaan 19.7 20.7 21.9 20.9 21.0 20.8 20.7
(2) pengeluaran 19.7 20.6 21.9 21.6 21.1 20.6 20.5
Hanya dengan investasi - 4.8 6.7 6.5 7.2 7.4 7.7
(3) Neraca anggaran 0.0 0.1 0.1 -0.7 -0.1 0.2 0.1
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Angka di tabel semuanya dalam (%).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
21
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Rekomendasi Kebijakan
Utang
Mempertahankan stabilitas makroekonomi: Peningkatan indikator utang pemerintah telah memungkinkan
terjadinya perbaikan makroekonomi yang mantap selama beberapa tahun terakhir ini. Akan tetapi, memburuknya
keadaan makroekonomi kemungkinan besar akan membalik tren positif utang pemerintah yang sekarang.
Mengelola kewajiban kontinjensi: Kewajiban kontinjensi masih merupakan risiko serius terhadap
keberlanjutan hutang. Kondisi kesehatan keuangan BUMN akan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi
anggaran melalui: (i) partisipasi modal pemerintah, (ii) pengurangan kontribusi terhadap pendapatan pemerintah
non-pajak dalam bentuk transfer keuntungan dari BUMN, dan (iii) ketidakmampuan untuk mengalihkan aset negara
menjadi penerimaan (mis., pendapatan non-pajak dari sektor migas dari Pertamina). Apabila terjadi kelemahan pada
salah satu dari bidang ini akan diperlukan pembiayaan hutang tambahan atau mereka harus melakukan antisipasi
terhadap pendapatan dari sumber-sumber lain. Kewajiban kontinjensi harus secepat mungkin dimasukkan ke dalam
kerangka kerja pengelolaan hutang.
Pelaksanaan Rekening Perbendaharaan Tunggal: Pemerintah pusat belum melakukan integrasi terhadap RPD/RDI
dan rekening transitori minyak ke dalam rekening anggaran. Selain itu, ada begitu banyak rekening independent, di
luar anggaran. Walaupun rekening di luar anggaran memiliki riwayat dan fungsi yang spesifk, keberadaan mereka
mempersulit pengelolaan kas dan menimbulkan ketidakefsienan dalam pengelolaan utang.
Tantangan terhadap pengelolaan utang pemerintah
Untuk memastikan bahwa kemajuan dalam pengelolaan utang pemerintah yang sudah dicapai dalam beberapa
tahun terakhir dapat dipertahankan, fokus yang mantap terhadap pengembangan kapasitas dan pelatihan staf yang
baru pada DJPHN akan menjadi sangat penting.
Meningkatkan strategi pengelolaan utang yang ada: Strategi yang ada saat ini berdasarkan pada
pedoman secara garis besar dan prinsip yang sangat umum, dan kerangka kerja yang kokoh belum tersedia.
Kerja yang lebih keras diperlukan untuk terus mengembangkan manajemen resiko keuangan dengan
membuat berbagai perangkat yang dapat membantu mengidentifkasi preferensi atas konsekuensi biaya/
risiko, misalnya dengan analisis skenario dan model risiko stokastik.
Menjamin adanya akses yang lebih baik terhadap data utang yang komprehensif: Saat ini terdapat
kegiatan yang sedang berjalan untuk menghubungkan database utang yang ada untuk memfasilitasi
kompilasi total data utang, sementara situs web untuk DJPHN yang baru sedang dalam pengerjaan, sehingga
akses di masa depan terhadap informasi mengenai utang pemerintah akan menjadi jauh lebih mudah.
Membuat laporan berkala tentang stok utang dan risiko yang dihadapi: Penyusunan laporan secara
berkala diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Laporan itu harus mencakup hutang
dalam negeri dan luar negeri dan dapat diperluas lagi dengan mencakup penerusan pinjaman dan kewajiban
kontinjensi pada tahap selanjutnya.
Kerangka hukum: untuk mendukung adanya strategi pengelolaan hutang yang komprehensif, pinjaman
oleh pemerintah harus diatur dalam satu undang-undang, dalam praktiknya hal ini akan mengisyaratkan perlu
dilakukan penyatuan antara UU tentang Surat Utang Negara dengan UU mengenai Pinjaman Pemerintah
(yang saat ini sedang direvisi).
Subsidi
Penyesuaian harga BBM: Harga BBM dalam negeri masih di bawah harga internasional, (dengan harga bensin dan
solar 30-35 persen lebih rendah dan minyak tanah 70 persen lebih rendah). Implementasi penyesuaian lebih jauh
perlu mempertimbangkan hal-hal sbb: (i) dampaknya terhadap masyarakat miskin; dan (ii) dampaknya terhadap
keadaan makroekonomi (fskal, pertumbuhan, infasi, dan neraca pembayaran).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
22
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Pengelolaan yang komprehensif terhadap subsidi: Subsidi BBM dan listrik berjumlah sekitar 60 persen dari
total subsidi. Alasan untuk pemberian subsidi ini perlu dipertimbangkan lagi dengan menerapkan kerangka kerja
pengelolaan subsidi yang komprehensif. Kerangka kerja tersebut harus melakukan penilaian terhadap:
Biaya/manfaat
Mekanisme pengawasan untuk pencairan
Penerima subsidi
Konsisten dengan tujuan pembangunan nasional
Penyelesaian transfer subsidi antara Pemerintah dan BUMN: Kerangka peraturan yang lemah (seperti penundaan
penerbitan surat keputusan menteri tentang patokan harga) harus ditingkatkan dan keterlambatan pelaksanaan dalam
transfer aktual harus dikurangi . Saat ini, yang ada hanyalah mekanisme secara ad hoc untuk menangani hal ini. Para
pihak yang terkait (termasuk Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kantor Menteri
Negara BUMN, Pertamina, dan PLN) perlu menyepakati sebuah mekanisme transfer subsidi yang lebih koheren.

BAB 2
Kecenderungan Lintas
Sektoral
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
24
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Temuan Pokok
Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah
mengalami perubahan signifkan. Pengeluaran untuk infrastruktur masih belum kembali pada tingkat
sebelum krisis dan masih berkisar 3 persen dari PDB sejak tahun 2001. Angka ini hanya sedikit lebih tinggi
daripada pengeluaran untuk infrastruktur yang rendah saat pascakrisis tahun 2000. Sebaliknya, pengeluaran
untuk sektor sosial meningkat secara substansial. Terutama, pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat
hampir dua kali lipat dari 2,5 persen (2000) menjadi sekitar 4 persen (2007).
Tingkat pengeluaran saat ini untuk administrasi sangat tinggi (15 persen, terutama disebabkan oleh
pengeluaran yang tinggi di daerah) dan menunjukkan adanya pemborosan yang signifkan atas
sumber daya publik. Terdapat cukup ruang untuk perbaikan dan pemerintah harus berusaha mengurangi
pengeluaran ini menjadi hanya 5 sampai 10 persen.

Rekomendasi Utama
Ruang gerak fskal yang lebih besar di masa mendatang harus dialokasikan untuk infrastruktur, baik
di tingkat nasional maupun daerah. Tambahan investasi diperlukan untuk mengatasi hambatan yang
ada sekarang sebagai akibat dari kurangnya investasi serta melaksanakan proyek-proyek penting yang baru
untuk memenuhi permintaan yang meningkat dan mendorong pertumbuhan di masa datang.
Untuk mengurangi pengeluaran pada administrasi dan birokrasi, direkomendasikan agar
pengeluaran diarahkan kembali dari administrasi menjadi tambahan pembiayaan untuk pemberian
pelayanan dasar dengan cara:
Meminimalisasi pengeluaran yang tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Misalnya,
mengurangi pengeluaran administrasi pemerintah dan mengalokasikan pengeluaran lebih besar untuk
pelayanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan.
Menyesuaikan pengeluaran rutin kearah belanja modal yang memberikan pelayanan publik.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
25
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Indonesia memiliki distribusi pengeluaran yang sangat tidak merata. Kategori multi-sektor (sektor perdagangan,
pengembangan usaha, keuangan dan koperasi) merupakan kategori pengeluaran yang dominan karena meliputi
juga subsidi dan pembayaran bunga. Kategori pengeluaran ini umumnya mengambil sekitar 40 persen atau lebih
dari agregat pengeluaran pemerintah. Jika pengeluaran untuk aparatur pemerintah dan pengawasan diikutsertakan,
maka lebih dari setengah dari keseluruhan pengeluaran pemerintah dipakai tanpa alokasi untuk sektor-sektor seperti
pendidikan, kesehatan atau infrastruktur.
Akan tetapi, kategori pengeluaran perdagangan-usaha-keuangan telah menurun rasionya dari total
pengeluaran, terutama sejak pengurangan subsidi BBM pada 2005. Hal Ini telah membuka ruang tambahan
untuk meningkatkan pengeluaran pada sektor sosial dan pertahanan. Memang, dengan perkecualian untuk sektor
pertambangan dan infrastruktur, seluruh sektor utama, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan pertanian
setidaknya naik menjadi dua kali lipat sejak 2001 (lihat Tabel 2,1).
20

Tabel 2,1 Distribusi sektoral dari pengeluaran publik secara nasional
Rp triliun 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Pertanian 5.6 6.1 8.0 7.8 7.6 10.3 11.3
Pendidikan 36.3 38.6 48.7 44.7 51.1 68.3 72.0
Kesehatan 8.3 8.8 12.0 11.8 14.0 17.7 19.0
Pertambangan 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.9
Perdagangan, Pengembangan Dunia Usaha Nasional, Keuangan &
koperasi (termasuk utang dan subsidi)
172.2 118.3 113.2 135.6 150.6 157.9 157.9
Aparatur pemerintah & Pengawasan 28.4 28.1 39.6 39.4 42.6 60.7 57.6
Ketenagakerjaan 0.5 0.8 1.1 1.0 0.9 1.4 1.3
Pertahanan & keamanan 14.8 17.2 20.3 20.9 20.8 25.6 29.4
Lingkungan dan Perencanaan Spasial 1.8 2.1 2.5 2.2 2.1 4.1 4.5
Infrastruktur 29.1 28.3 38.9 31.8 35.0 44.2 45.3
Lain-lain 18.8 20.9 19.7 19.6 18.3 20.9 20.7
Total Nasional 316.4 269.7 304.9 315.3 343.4 396.7 420.0
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Departemen Keuangan dan SIKD.
Catatan: *2006 Revisi Anggaran (APBN-P); **2007 Rancangan anggaran yang disampaikan ke DPR (RAPBN) dan perkiraan alokasi daerah. Harga
pada konstan 2000. Angka dalam Rp triliun.
Pelayanan Ekonomi
Struktur pengeluaran Indonesia telah mengalami perubahan secara dramatis sejak tahun 2001. Dengan
menurunnya pembayaran utang, pengeluaran sektoral telah mengalami peningkatan. Akan tetapi, pengeluaran
sektoral dapat lebih ditingkatkan lagi jika pembayaran subsidi tidak meningkat begitu tajam pada 2004 dan 2005,
yang mengakibatkan pengalihan sumber daya terhadap pengeluaran tambahan pada sektor-sektor kunci. Tren dan
beberapa hal berikut ini penting diperhatikan:
21


Sektor pendidikan kini merupakan pengeluaran nomor satu di Indonesia. Sektor Ini diikuti oleh
pengeluaran aparatur pemerintah dan subsidi.
Pembayaran bunga telah mengalami penurunan secara terus-menerus. Pengeluaran ini pernah menjadi
pengeluaran utama pada tahun2001 dengan hampir 25 persen, di 2006 pembayaran bunga diperkirakan
hanya sebesar 11 persen.
Pengeluaran subsidi selama ini selalu signifkan tetapi pengeluaran ini mengalami fuktuasi yang
cukup besar. Pada tahun 2004 dan 2005, saat terjadi kenaikan harga minyak yang tajam, subsidi menjadi
pengeluaran pemerintah terbesar sehingga mengalihkan pengeluaran atas sektor lain, terutama pengeluaran
pembangunan.
20 Angka-angka yang disampaikan dalam Bab ini mencerminkan pengeluaran yang sebenarnya (yang dilaksanakan) pada seluruh tingkat
pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Angka untuk tahun 2006 dan 2007 (data untuk daerah pada 2005) didasarkan apda data
anggaran (APBN dan APBD) dan perkiraan anggaran daerah didasarkan apda pengeluaran sebelumnya dan alokasi jumlah anggaran yang dialihkan
oleh pemerintah pusat. Lihat Lampiran Lampiran D-3 untuk keterangan lebih rinci mengenai tren pengeluaran setiap sektor.
21 Penentu utama dan pola pembayaran bunga dan subsidi dibahas lebih rinci lagi dalam distribusi ekonomi anggaran.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
26
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Pengeluaran atas pelayanan inti pemerintah meningkat secara terus menerus mencapai jumlah
sekitar 15 persen dari total pengeluaran pemerintah pada 2006. Sejak tahun 2003, pengeluaran untuk
pelayanan inti pemerintah melebihi pengeluaran untuk infrastruktur dan, sejak tahun 2006, pengeluaran ini
diproyeksikan menjadi pengeluaran terbesar kedua dari seluruh sektor (setelah sektor pendidikan).
Infrastruktur memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan sektor lain, terutama sejak 2003.
Walaupun terjadi penurunan yang cukup besar pada pengeluaran non-sektoral (untuk hutang dan subsidi)
pengeluaran infrastruktur telah mengalami penurunan sejak 2003.
Proporsi pengeluaran untuk sektor pertahanan, kesehatan, dan pertanian telah meningkat secara
perlahan. Pengeluaran untuk pertahanan saat ini berjumlah 7 persen dari anggaran, naik dari sebelumnya
yang berada di bawah 5 persen pada tahun 2001. Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan pertanian masih
berada di bawah angka 5 persen.
Diagram 2.1 Distribusi pengeluaran publik secara nasional pada sektor-sektor kunci, 2001-07
0
5
10
15
20
25
30
%
2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
%

d
a
r
i

T
o
t
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
Pertanian Pendidikan Kesehatan
Keamanan & Pertahanan Nasional Infrastruktur Aparatur Pemerintah dan Biaya Pengawasan
Subsidi Pembayaran Bunga Hutang
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Departemen Keuangan dan SIKD.
Catatan: * Realisasi anggaran pusat dan perkiraan alokasi daerah, ** Anggaran pusat (APBN) dan perkiraan alokasi daerah.
Pengeluaran publik secara nasional untuk sektor infrastruktur dibandingkan sektor lain masih cukup
konstan sejak tahun 2001 sampai 2005, dengan nilai rata-rata sebesar 10,5 persen dari total pengeluaran
nasional, setara dengan sekitar 2 persen dari PDB. Pengeluaran publik untuk infrastruktur
22
dalam angka riil
meningkat sebesar 20 persen dalam periode 2001 sampai 2005 dan diproyeksikan meningkat lebih lanjut sebesar 28
persen dalam periode 2005 sampai 2007. Walaupun peningkatan tersebut cukup besar, jumlah ini relatif masih kecil
dibandingkan dengan kesenjangan akumulasi pembiayaan yang demikian besar pada sektor infrastruktur setelah
investasi yang relatif rendah selama bertahun-tahun untuk sektor ini. Laporan ini memandang infrastruktur sebagai
salah satu dari tiga sektor strategis untuk dianalisis secara lebih rinci dalam bab-bab berikut.
Pengeluaran publik secara nasional dalam angka riil untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan
mengalami peningkatan sejak tahun 2001 sampai dengan 2005, rata-rata 2,4 persen dari total pengeluaran
pada periode yang sama. Sangat menarik untuk diamati bahwa mulai tahun 2004 pengeluaran pemerintah daerah
telah mengambil alih pengeluaran pemerintah pusat. Pada tahun 2004, pengeluaran pemerintah pusat berjumlah 45
persen dari total pengeluaran, dibandingkan dengan 55 persen pengeluaran dari pemerintah daerah (pengeluaran
pemerintah provinsi hanya berjumlah 17 persen dan kabupaten/kota 38 persen). Akan tetapi, pemerintah pusat
masih berperan besar dalam pengeluaran pembangunan di sektor tersebut.
22 Dalam bagian ini infrastruktur tidak meliputi pengeluaran untuk BUMN, yang dibahas dalam sub-seksi infrastruktur pada laporan ini.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
27
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Pelayanan Sosial
Pengeluaran publik untuk sektor pendidikan meningkat cukup besar dalam kurun waktu 2001 sampai 2005.
Anggaran untuk tahun 2006 dan perkiraan untuk tahun 2007 menunjukkan peningkatan alokasi yang cukup besar
pada sektor inisetiap tahun hampir mencapai pertumbuhan 30 persenyang menunjukkan komitmen pemerintah
yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan layanan pendidikan. Peningkatan anggaran sektor pendidikan antara
tahun 2006 dan 2007 sebagian besar akan disalurkan untuk membiayai sertifkasi guru , proses peningkatan mutu,
dan untuk hibah dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Perkiraan pencairan untuk 2006 adalah sekitar Rp
11,12 triliun. Analisis yang lebih rinci mengenai pengeluaran untuk sektor pendidikan dapat dilihat pada bab berikut.
Walaupun tampak tren peningkatan yang kuat dalam proyeksi pengeluaran kesehatan, pendanaan
untuk sektor ini terlihat masih kurang dibandingkan dengan pengeluaran untuk sektor lain di Indonesia.
Pengeluaran untuk sektor kesehatan publik meningkat secara riil dari Rp, 8,3 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp. 14,1
triliun pada tahun 2005 (peningkatan sebesar 69 persen ). Pengeluaran untuk sektor kesehatan dibandingkan dengan
sektor lain juga telah mengalami peningkatan, dengan proporsi terhadap total pengeluaran nasional meningkat
dari 2,6 menjadi 4,1 persen pada periode yang sama. Selanjutnya, anggaran untuk sektor kesehatan mencerminkan
peningkatan lebih lanjut sebesar 60 persen sejak tahun 2005 sampai 2007. Walaupun terdapat peningkatan tren yang
besar atas pengeluaran kesehatan, peningkatan ini dimulai dari dasar yang sangat rendah. Pengeluaran untuk sektor
kesehatan di Indonesia masih di bawah 1 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
lain di kawasan sekitar. Bab yang membahas sektor kesehatan akan memberikan analisis yang lebih cermat mengenai
tingkat, efsiensi, dan kemerataan pengeluaran dalam sektor kesehatan.
Pelayanan Masyarakat Umum
Pengeluaran publik untuk aparatur negara dan pengawasan meningkat sebesar 50 persen pada periode
2001-05 (Tabel 2.2). Pada tahun 2001, pengeluaran untuk sektor ini berjumlah 9 persen dari total anggaran nasional,
meningkat menjadi dan 12,4 persen dari total pengeluaran nasional pada tahun 2005. Pemerintah daerah sendiri
mempunyai porsi sebesar lebih dari 75 persen dalam peningkatan pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah.
23

Pertumbuhan yang mengesankan untuk pengeluaran administrasi di tingkat daerah ini setidaknya dapat dijelaskan
melalui pembentukan lebih dari seratus pemerintahan kabupaten/kota baru pada periode ini, sebuah peningkatan
sebesar 30 persen dari 336 kabupaten/kota pada tahun 2001 menjadi 437 kabupaten/kota pada tahun 2005.
Tabel 2.2 Tren pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah
2001 2002
Pertum-
buhan
Tahunan
(%)
2003
Pertum-
buhan
Tahunan
(%)
2004
Pertum-
buhan
Tahunan
(%)
2005
Pertum-
buhan
Tahunan
(%)
Tingkat Pertum-
buhan rata-rata
2001-05
(%)
Tingkat Pertum-
buhan
Yang Tertimbang
2001-05
(%)
Pusat 3.6 3.4 -5 5.6 63 5.5 -2 7.2 32 99 13
Provinsi 7.0 6.8 -2 10.1 49 8.7 -14 9.5 9 37 9
Kabupaten/kota 17.8 17.9 0 23.9 34 25.2 5 25.9 3 45 28
Total 28.4 28.1 -1 39.6 41 39.4 -1 42.6 8 50 50
Total sebagai % dari
Pengeluaran Nasional, (%)
9.0 10.4 --- 13.0 --- 12.6 --- 12.4 --- --- ---
Rupiah Per kapita 137 133 -3 184 38 180 -2 193 7 41 ---
Jumlah Kabupaten/kota 336 348 4 370 6 410 11 437 7 30 ---
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD.
Catatan: Dalam harga konstan 2000, dalam Rp triliun.
Pengeluaran untuk belanja pegawai mencapai 60 persen dari pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah.
Kabupaten/kota bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga dari keseluruhan belanja pegawai, atau 41 persen dari
total pengeluaran aparatur pemerintah, sementara proporsi untuk pemerintah provinsi dan pemerintah pusat jauh
23 Yaitu, jika komponen tertimbang atas tingkat pertumbuhan (mis., 9 dan 28 persen, masing-masing untuk provinsi dan kabupaten/kota) dapat
dinyatakan sebagai persentase dari total (50 persen).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
28
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
lebih rendah.
24
Struktur desentralisasi pada pemerintah berarti bahwa kabupaten/kota menyerap sampai 69 persen
dari total belanja pelayanan sipil.
25

Diagram 2.2 Komposisi ekonomi atas belanja aparatur pemerintah
Barang
21%
Pemeliharaan
5%
Perjalanan
5%
Investasi
5%
Lain-lain
4%
Pusat
3%
Provinsi
16%
Kabupaten/Kota
41%
Kepegawaian
60%
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan SIKD.
Pengeluaran untuk sektor
pertahanan dan keamanan
meningkat dari Rp 14,8 triliun pada
tahun 2001 menjadi Rp 20,8 triliun
di tahun 2005, dengan proporsi
rata-rata sebesar 6 persen dari total
pengeluaran nasional. Tren ini
sebagian mencerminkan komitmen
pemerintah untuk mendanai sektor
keamanan melalui anggaran walaupun
hal ini masih merupakan proses yang
panjang dan bertahap. Saat ini sektor
keamanan memperoleh sebagian
besar dananya dari luar anggaran,
menciptakan pendapatan dengan
mengendalikan sejumlah kepentingan
dalam berbagai kegiatan bisnis.
Distribusi Pengeluaran Sektoral Antar-Pemerintah
Diagram 2,3 Distribusi sektoral atas pengeluaran publik
berdasarkan tingkat pemerintah , 2005
28
11
23
32
9
4
15
9
4
47
40
9
9
5
2
5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Pendidikan Aparatur
Pemerintah & Pengawasan
Infrastruktur
Pertahanan &
Keamanan
Kesehatan Pertanian
p
R

t
r
i
l
i
u
n
Kabupaten/Kota
Provinsi
Pusat
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD.
Catatan: Harga berlaku dalam Rp triliun.
Sejalan dengan desentralisasi pengeluaran
sejak 2001, pemerintah daerah saat ini memiliki
proporsi yang cukup besar atas pengeluaran
pada hampir seluruh sektor publik, terutama
untuk layanan sosial (pendidikan dan kesehatan)
dan pengeluaran untuk sektor aparatur
pemerintah. Proporsi pengeluaran kabupaten/kota
paling besar terdapat pada sektor aparatur
pemerintah dan sektor pendidikan (masing-masing
61 dan 59 persen dari total secara keseluruhan),
sementara pengeluaran kabupaten/kota sama
dengan pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor
kesehatan dan pertanian (masing-masing 9 dan 5
persen). Walaupun terjadi peningkatan peran
pemerintah kabupaten/kota pada sektor ini,
wewenang untuk mengambil keputusan masih
sangat terbatas dengan adanya kenyataan bahwa
kebanyakan pengeluaran pemerintah kabupaten/
kota bersifat non-diskresionari (mis., pengeluaran rutin untuk pembayaran gaji).
26
Berbeda dengan pengeluaran yang
sangat terdesentralisir dalam sektor sosial, pengeluaran dalam infrastruktur dan pertahanan nasional masih didominasi
oleh pengeluaran pemerintah pusat. Tiga bab berikut ini diperuntukkan untuk mengkaji pengeluaran secara rinci dan
analisis efsiensi mengenai tiga sektor kunci: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
24 Perhatikan bahwa Diagram 2.2 hanya mencerminkan belanja gaji yang tidak diperhitungkan pada sektor lain, misalnya tidak termasuk gaji
untuk sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur.
25 Lihat bagian tentang pelayanan sipil dalam Bab 1 untuk keterangan lebih rinci tentang distribusi antar-pemerintahan atas pelayanan sipil.
26 Lihat bab tentang pendidikan dan Bab kesehatan untuk pembahasan lebih rinci mengenai pengeluaran sektor sosial di kawasan ini.
BAB 3
Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
30
BAB 3 Sektor Pendidikan
Temuan Pokok
Anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 17,2 persen telah menempatkan Indonesia sejajar
dengan negara berkembang lainnya, juga dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja
sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development -
OECD). Akan tetapi, tingkat pengeluaran di Indonesia tersebut relatif masih rendah dibandingkan dengan
negara-negara tetangga lainnya di kawasan Asia Timur.
Penafsiran saat ini tentang ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan 20 persen untuk anggaran
pendidikan, khususnya dengan mengeluarkan gaji guru sebagai komponen 20 persen dalam UU
Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, merupakan sesuatu yang tidak realistis dan pada saat yang
sama akan menimbulkan masalah. Jika ingin mencapai angka 20 persen untuk anggaran pendidikan,
dengan defnisi saat ini, pemerintah pusat perlu menaikkan tingkat pengeluaran yang ada sekarang menjadi
lebih dari dua kali lipat dan menggunakan kenaikan anggaran itu untuk pengeluaran bukan gaji, sementara
itu pengeluaran daerah secara keseluruhan untuk sektor pendidikan (termasuk gaji) perlu ditingkatkan
setidaknya menjadi 45 persen dari total pengeluaran.
Ada perbedaan yang cukup besar di bidang akses pendidikan dan mutu pendidikan di berbagai
wilayah Indonesia. Penentuan target sumber-sumber daya tambahan yang efektif diperlukan untuk
menyediakan dana yang memadai di kabupaten/kota dan provinsi yang masih tertinggal agar dapat setara
dengan daerah lain.
Indonesia kini memiliki kelebihan jumlah guru di tingkat sekolah dasar dan di wilayah perkotaan,
sementara untuk daerah-daerah terpencil masih terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup besar.
Rekomendasi Utama
Dengan tingginya angka partisipasi pada tingkat Sekolah Dasar, diperlukan pengeluaran dana yang
lebih banyak untuk peningkatan angka partisipasi sekolah pada jenjang SMP, dan pada saat yang
sama meningkatkan mutu pengajaran, dan memperbaiki infrastruktur pendidikan yang ada.
Defnisi yang lebih tepat mengenai ketentuan anggaran sebesar 20 persen adalah dengan
memasukkan gaji guru dan menggabungkan pengeluaran dari seluruh tingkat pemerintahan.
Dengan defnisi tersebut, Indonesia mengeluarkan sekitar 17,2 persen untuk sektor pendidikan pada tahun
2006.
Untuk memastikan bahwa ketentuan dalam Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dapat
mencapai hasil belajar yang lebih tinggi, diperlukan mekanisme pengendalian kinerja dan
akuntabilitas yang harus diterapkan secara bersamaan. Penentuan akuntabilitas kelembagaan yang
tinggi baik dalam sektor maupun dalam masyarakat madani merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol
yang efektif terhadap kinerja.
Program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat menjadi alat yang tepat dan baik untuk
meningkatkan pemerataan pendidikan jika mekanisme alokasi bantuan ini direvisi dengan
mempertimbangkan calon siswa (dan tidak hanya memperhitungkan siswa yang telah terdaftar) serta
penentuan indikator terhadap kinerja yang baik, dan pelaksanaan anggaran yang transparan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
31
BAB 3 Sektor Pendidikan
Pendidikan di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
27
Pada tahun akademis 2004/2005, sekolah negeri dan swasta di semua jenjang pendidikan menerima
sebanyak 50,6 juta siswa di lebih dari 270.000 sekolah. Berdasarkan UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan formal di Indonesia dimulai dengan dua tahun belajar di taman kanak-kanak (TK) dilanjutkan dengan
pendidikan sekolah dasar (SD) yang lamanya enam tahun. Lulusan dari sekolah dasar dapat meneruskan pendidikan
mereka ke pendidikan menengah, yang dibagi menjadi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas
(SMA). Baik pendidikan SMP maupun SMA masing-masing memerlukan waktu selama tiga tahun. Lulusan pendidikan
sekolah menengah atas dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (akademi atau perguruan tinggi). Lama
studi untuk pendidikan tinggi tergantung pada jenis program. Dalam tahun akademis 2004/2005, distribusi siswa di
berbagai jenjang pendidikan adalah: 5 persen untuk taman kanak-kanak, 59 persen untuk sekolah dasar, 17 persen
untuk sekolah menengah pertama, 13 persen untuk sekolah menengah atas, dan 6 persen untuk pendidikan tinggi.
Indonesia menargetkan 100 persen angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) di tingkat sekolah dasar
dan 96 persen di sekolah menengah pertama pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus mengenyam pendidikan dasar. UU
ini memberikan implikasi bahwa pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan gratis bagi seluruh siswa usia
pendidikan dasar. Pencapaian target angka partisipasi ini dalam pendidikan Indonesia, ditambah dengan investasi
untuk meningkatkan mutu pendidikan, merupakan faktor penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia
agar mampu bersaing di kawasan regional di tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu, pengeluaran pendidikan
yang efsien dan efektif merupakan unsur penting dalam strategi penurunan angka kemiskinan di Indonesia.
Sejak tahun 1970-an, angka partisipasi sekolah telah meningkat cukup besar sebagai akibat dari upaya
pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengesankan:
angka partisipasi murni sekolah dasar meningkat dari 72 persen pada 1975 menjadi hampir seluruhnya pada 1995
dan tetap berada pada tingkat yang tinggi selama masa krisis ekonomi pada akhir 1990-an. Pada tahun 2005, angka
partisipasi murni sekolah dasar mencapai 93.2 persen (dan angka partisipasi kasar bahkan di atas 100 persen).
28
Angka
partisipasi murni pada tingkat sekolah menengah pertama bahkan menunjukkan peningkatan yang mengejutkan,
yaitu naik dari 17 persen pada 1970-an menjadi sekitar 65.2 persen pada 2005 (dengan angka partisipasi kasar sebesar
81.7 persen). Angka partisipasi sekolah pada tingkat sekolah menengah atas juga mengalami peningkatan walaupun
pada tingkat yang lebih rendah (Tabel 3.1).
Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan, 19952005
1970 1980 1995 1998 2000 2002 2004 2005
Angka partisipasi sekolah
Tingkat SD 72 (a) 88 91.5 92.3 92.4 92.7 93.0 93.2
Tingkat SMP 17 (a) -- 51.0 58.4 61.7 60.9 65.2 65.2
Tingkat SMA 17 (a) -- 32.6 36.9 39.5 36.8 42.9 41.7
Angka partisipasi kasar
Tingkat SD 80 107 107.0 109.3 110.1 106.1 107.0 107.1
Tingkat SMP 16 29 65.7 70.3 76.0 79.5 82.2 81.7
Tingkat SMA 16 -- 42.4 46.4 51.5 50.4 54.4 52.9
Sumber: Tinjauan World Bank terhadap Sektor Pendidikan 2005; Susenas dari berbagai tahun.
Catatan: (a) Data berkaitan dengan data pada 1975.
27 Bab ini menampilkan rangkuman atas laporan yang terpisah tentang pengeluaran pendidikan. Jika ingin mengenai lebih lengkap tentang
studi tersebut, lihat laporan Bank Dunia, 2007a.
28 Angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) merupakan total partisipasi siswa pada jenjang pendidikan tersebut, tanpa memperhitungkan
umur, sebagai persentase dari populasi usia sekolah untuk jenjang tersebut. Rasio yang ideal adalah 100 persen, tetapi rasio itu lebih besar daripada
100 persen dapat terjadi ketika terdapat jumlah siswa yang banyak dalam satu jenjang yang tidak terkait dengan tingkat pendidikan untuk kelompok
usia sekolah tersebut. Rasio angka partisipasi kasar yang tinggi (lebih besar dari 100 persen) dapat menjadi indikator sistem pendidikan yang tidak
efsien. Rasio angka partisipasi sekolah memberikan informasi tentang jumlah siswa pada kelompok usia sekolah yang ditentukan dan yang sudah
terdaftar di sekolah tertentu lalu dibagi dengan jumlah siswa pada kelompok usia sekolah tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
32
BAB 3 Sektor Pendidikan
Akan tetapi, layanan pendidikan masih belum sesuai dengan tingkat yang diharapkan. Tantangan berat masih
harus dihadapi untuk mencapai tujuan Pendidikan untuk Semua. Tantangan ini meliputi pengurangan kesenjangan
dalam angka partisipasi sekolah (kesenjangan pendapatan dan geografs) dan peningkatan mutu pendidikan.
29
Sub-
bagian di bawah ini memberikan analisis mendalam mengenai tantangan tersebut.
Mengurangi kesenjangan angka partisipasi sekolah
Peningkatan angka partisipasi sekolah yang sangat besar di masa lalu dapat menutup kesenjangan angka
partisipasi pada tingkat pendidikan dasar untuk kelompok masyarakat dengan berbagai tingkat penghasilan,
walaupun kesenjangan yang cukup besar masih terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA (Diagram 31). Pada
tahun 2005 angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar siswa 107.1 persen dan angka partisipasi murni sebesar
93.2 persen. Masalah akses pendidikan menjadi lebih signifkan untuk tingkat pendidikan SMP. Pada jenjang ini masih
terdapat perbedaan jumlah partisipasi yang sangat besar di antara kelompok masyarakat dengan jumlah pendapatan
yang berbeda (Diagram 31). Seorang anak yang berasal dari keluarga miskinmempunyai kemungkinan 20 persen lebih
rendah untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dibandingkan anak yang tidak berasal
dari keluarga miskin (World Bank, 2006). Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1 sampai 9) adalah wajib bagi anak yang
berumur antara 7 sampai 15 tahun, namun permasalahan yang utama adalah kurangnya akses untuk menjangkau
layanan pendidikan sekolah menengah pertama.
30
Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan
Angka Partisipasi Murni untuk Jenjang Pendidikan Dasar
0.7
0.75
0.8
0.85
0.9
0.95
1
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
A
n
g
k
a

P
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i

S
e
k
o
l
a
h
1 (miskin) 2 3 4 5
Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Menengah Pertama
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
A
n
g
k
a

P
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i

S
e
k
o
l
a
h
1 (Miskin) 2 3 4 5
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan data dasar dari Susenas 2005.
Walaupun terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah yang mengesankan di tingkat nasional, perbedaan
angka partisipasi sekolah antardaerah masih cukup besar. Untuk negara dengan keanekaragaman seperti
Indonesia, perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain memang dapat diprediksi dengan mudah. Walaupun
lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia telah memiliki akses terhadap pendidikan sekolah dasar, namun beberapa
daerah masih tertinggal jauh di belakang dan memerlukan perhatian dan bantuan lebih. Pada tahun 2004, angka
partisipasi murni untuk pendidikan dasar berkisar antara 80 persen di Provinsi Papua sampai 95 persen di Kalimantan
Tengah. Pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni bervariasi antara sekitar 41
persen di Papua sampai 77 persen di Yogyakarta, dan untuk pendidikan sekolah menengah atas angka partisipasi
murni berkisar sekitar 20 persen di Sulawesi sampai 62 persen di Yogyakarta.
29 Program Pendidikan untuk Semuabertujuan untuk mencapai: (i) seluruh siswa dapat ditampung sampai tingkat pendidikan sekolah menengah
pertama, (ii) menjamin bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan
belajar yang menarik dan pengajaran yang efektif, dan (iii) menyediakan pendidikan dengan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai
dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia.
30 Pendidikan tinggi tidak dimasukkan dalam lingkup laporan ini. Angka partisipasi kasar (APK) di tingkat pendidikan tinggi sangat rendah, hanya
16 persen. Kelompok yang paling miskin hanya memiliki angka partisipasi sebesar 1 persen, sementara kelompok masyarakat kaya mendekati
angka 50 persen.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
33
BAB 3 Sektor Pendidikan
Meningkatkan mutu pendidikan
Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah sementara kondisi infrastruktur pendidikan pun telah
rusak berat. Beberapa indikator penentu dalam mutu pendidikan yang perlu diperhatikan meliputi kualifkasi para
guru, struktur gaji guru , mutu ruang kelas, tingkat kehadiran guru , dan jumlah siswa dalam satu kelas. Ada kebutuhan
mendesak untuk meningkatkan prestasi guru di Indonesia. Untuk tingkat pendidikan dasar dan sekolah menengah
pertama, masing-masing hanya 55 persen dan 73 persen dari guru yang memenuhi kualifkasi minimal yang
dipersyaratkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2005a). Pemerintah sedang berusaha menangani
masalah tersebut dengan memberlakukan UU tentang Sertifkasi guru sejak Desember 2005 melalui penyediaan
dana tunjangan kepada para guru agar mendapatkan sertifkat. Tunjangan tambahan ini akan dapat meningkatkan
pendapatan guru dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan ini dapat berdampak terhadap hasil pembelajaran
yang lebih tinggi jika kontrol terhadap mekanisme dan kinerja kelembagaan (yaitu, tingkat kehadiran guru dan
mutu pengajaran) benar-benar dapat dilaksanakan. Selanjutnya, akuntabilitas yang kuat merupakan prasyarat untuk
melakukan kontrol efektif terhadap kinerja para guru. Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas
di negara-negara lain adalah dengan menggabungkan akuntabilitas top-down (dari sekolah sampai ke tingkat
kabupaten/kota/provinsi) dengan pendekatan akuntabilitas bottom-up (dari sekolah sampai ke konstituen dan
Komite orang tua siswa).
31
Mutu ruang kelas yang semakin rusak merupakan masalah serius dalam sistem pendidikan
Indonesia, terutama di tingkat sekolah dasar, dimana hanya 44 persen dari ruang kelas yang ada yang memenuhi
standar minimum yang ditentukan oleh Depdiknas (Depdiknas, 2005b). Sehingga, walaupun perbandingan murid-
guru yang masih rendah, fakta dengan masih banyaknya guru paruh waktu dan tidak hadirnya guru mengakibatkan
rasio murid-kelas yang tinggi.

Sistem pendidikan Indonesia tidak cukup menghasilkan jumlah lulusan yang menguasai pengetahuan
dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan
yang tinggi. Berbagai koran Indonesia sering melaporkan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah
dengan kebutuhan masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam sistem elektorat, serta kebutuhan sektor industri
terhadap karyawan dan wirausahawan dengan daya nalar dan keahlian memecahkan masalah. Hasil ujian nasional
2002 menunjukkan bahwa dari nilai tertinggi 10 untuk setiap mata pelajaran, lebih dari 2.2 juta siswa dari hampir
20.000 sekolah yang mengikuti ujian tersebut hanya mampu mencapai nilai rata-rata sebesar 5.79 untuk matematika,
5.11 untuk Bahasa Indonesia dan 5.29 untuk Bahasa Inggris. Data untuk tahun akademis 2005/2006 menunjukkan
terjadinya peningkatan nilai ujian yang cukup besar, dengan nilai rata-rata sebesar 7.13 untuk matematika, 7.46 untuk
Bahasa Indonesia dan 6.62 untuk Bahasa Inggris.
32
Namun, tingkat reliabilitas hasil ujian tersebut memang masih dapat
dipertanyakan, dan validitas atas perbandingan nilai tes dari satu tahun ke tahun sebelumnya baru dapat dikatakan
valid jika semua tes yang digunakan tidak mengalami perubahan secara substantial.
Pengeluaran Publik
Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mengalami kenaikan pengeluaran pemerintah untuk
sektor pendidikan.
33
Dua perkecualian telah terjadi, yaitu penurunan yang sifatnya sementara pada masa krisis
ekonomi dan sedikit penurunan pada tahun 2004. Penurunan pengeluaran pada tahun 2004 disebabkan oleh
pelaksanaan anggaran yang rendah dan tergesernya anggaran di semua sektor sosial akibat kenaikan subsidi BBM.
Pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat nasional mencapai puncaknya pada 2003, ketika pengeluaran
pendidikan mencapai sekitar 16 persen dari seluruh pengeluaran di tingkat nasional (Tabel 3.2). Pada tahun 2004,
total pengeluaran nasional meningkat sekitar 4 persen. Akan tetapi, proporsi pengeluaran untuk sektor pendidikan
menurun menjadi sekitar 14 persen. Pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari PDB juga menurun
pada tahun 2004 jika dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun 2003, dari sekitar 3.2 persen menjadi sekitar 2.8
persen, sebagaimana proporsi pengeluaran secara keseluruhan di tingkat nasional terhadap PDB yang telah turun dari
19.8 persen menjadi 19.6 persen
31 Contoh peran serta masyarakat yang banyak dipuji dari akuntabilitas dengan pendekatan bottom-up adalah EDUCO yang dilakukan di El Salvador.
32 Depdiknas, data dari Pusat Penilaian.
33 Dalam bab ini pengeluaran pendidikan oleh pemerintah pusat mengikuti klasifkasi anggaran sektoral, juga dari Sektor 11: Pendidikan, Budaya
Nasional, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sektor Kepemudaan dan Olahraga, Sub-sektor 11.1 Pendidikan dan Sub-sektor 11.2 dan Pendidikan Formal dan
non-formal dimasukkan ke dalam analisis ini, secara bersama-sama berjumlah 98 persen dari total pengeluaran untuk sektor ini..
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
34
BAB 3 Sektor Pendidikan
Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + provinsi + kab/kota) untuk sektor pendidikan
(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Nominal pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan 40.5 48.2 64.8 63.1 79.7 120.2 137.8
Pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan ( harga
untuk 2001)
40.5 43.1 54.3 49.8 56.9 76.2 82.2
Pertumbuhan riil pengeluaran nasional untuk sektor
pendidikan
40.3 6.4 26.2 -8.4 14.4 33.8 7.8
Pengeluaran pendidikan (%Total pengeluaran nasional) 11.4 14.3 16.0 14.2 14.9 17.2 17.5
Pengeluaran nasional untuk pendidikan (% PDB) 2.4 2.6 3.2 2.8 2.9 3.6 3.9
Total nominal pengeluaran di tingkat nasional 353.6 337.6 405.4 445.3 535.8 698.2 785.4
Total riil pengeluaran di tingkat nasional 353.6 301.8 339.9 351.6 382.9 442.4 468.3
Ukuran pemerintah (Total pengeluaran, % dari PDB) 21.0 18.1 19.8 19.6 19.6 21.1 22.2
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD.
Catatan: * = Realisasi awal dari APBN dan perkiraan untuk pengeluaran daerah, ** = APBN dan perkiraan untuk pemerintah daerah. Lihat Lam-
piran F.9 untuk keterangan lebih rinci.
Pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat sebesar 14.4 persen pada tahun 2005 dan bahkan anggaran
untuk tahun 2006 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi yaitu hampir mencapai 34 persen. Walaupun
masih ada perbedaan antara alokasi secara keseluruhan berdasarkan anggaran dan realisasi sebenarnya, perbedaan ini
cenderung sangat kecil. Perkiraan untuk pengeluaran sektor pendidikan pada tahun 2007 meningkat sebesar 8 persen.
Penurunan pengeluaran sektor pendidikan yang terjadi pada 2004 lebih dikarenakan oleh penurunan pengeluaran
pembangunanutamanya di tingkat pusat, walaupun dengan penurunan ini juga terjadi di tingkat daerah. Penurunan
dalam agregat pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin di tingkat daerah dan di tingkat pusat yang stabil/
berkelanjutan pada tahun 200104.
34

Sebagai akibat dari terjadinya peningkatan pengeluaran akhir-akhir ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan
di Indonesia hampir sama dengan yang dimiliki oleh negara-negara berkembang lainnya. Indonesia memiliki
proporsi tingkat pengeluaran sektor pendidikan terhadap PDB yang rendah, tetapi saat ini pengeluaran pendidikan
Indonesia hampir sama dengan negara lain yang memilki kemiripan pendapatan per kapita maupun hambatan
geografs dan logistik (Diagram 3.2).
Diagram 3.2 Perbandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan, 2004
0
5
10
15
20
25
30
a
u
g
u
r
U
y
i
d
n
I
a
a
u
g
a
r
a
P
yR
D
P

o
a
L
a
i
b
m
o
l
o
K
o
i
t
a
r
e
d
e
F

n
a
i
s
s
u
R
n
n
o
n
a
b
e
L
4
0
0
2

a
i
s
e
n
o
d
n
I
n
i
t
n
e
g
r
A
ah
s
e
d
a
l
g
n
a
B

R
e
p
u
b
l
i
k

K
o
r
e
a6
0
0
2

a
i
s
e
n
o
d
n
I
F
i
l
l
i
p
i
n
a
a
m
e
r
u
n
K
a
i
v
i
l
o
B
z
i
l
e
B
e
k
r
a

S
e
l
a
t
a
n
i
f
A

a
k
i
R

a
t
s
o
K
l
i
i
h
C
a
j
i
a
b
r
e
z
A
n
y
n
e
K
a
n
i
h
C

,
g
n
o
K

g
n
o
H
ad
n
a
l
i
a
h
T
i
s
y
a
l
a
M
a
Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari Belanja Pemerintah Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari PDB
Sumber: Data Depdiknas dan Perhitungan staf Bank Dunia,
Catatan: Pengeluaran untuk sektor pendidikan ditentukan sebagai rasio pengeluaran nasional (pusat dan daerah) untuk sektor pendidikan terha-
dap pengeluaran nasional secara keseluruhan. Data untuk Indonesia merupakan perkiraan yang terkait dengan Tahun Fiskal 2004 (berdasarkan
perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD). di mana untuk negara lain perkiraan tersebut adalah untuk Tahun Fiskal 2003 (berdasarkan
perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD, GFS dan Edstats).
34 Tabel 3.4 menunjukkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin yang lebih rinci berdasarkan tingkat pemerintahan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
35
BAB 3 Sektor Pendidikan
Akan tetapi, pengeluaran Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asia Timur
Jauh, terutama Malaysia dan Thailand (Tabel 3.3). Malaysia menganggarkan jumlah yang lebih besar sebagai
proporsi dari total angggaran dan dari PDB dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sebaliknya, Indonesia
menduduki peringkat paling bawah untuk pengalokasian anggaran pendidikan sebagai proporsi dari PDB. Akan
tetapi, anggaran yang rendah ini terjadi hampir di setiap sektor karena sektor pemerintah memang rendah dan alokasi
untuk pengeluaran rutin terutama subsidi yang sangat besar.
Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia
Tertinggi Terendah
% Pengeluaran untuk sektor publik
pendidikan dari total pengeluaran
Malaysia
27 =
Thailand
27 >
Philippines
16 >
Indonesia
14.2
% Pengeluaran untuk sektor publik
pendidikan dari PDB
Malaysia
8.1 >
Thailand
4.6 >
Philippines
3.1 >
Indonesia
2.8
% Total pengeluaran publik dari PDB (Ukuran
sektor pemerintahan)
Malaysia
29.7 >
Indonesia
19.6 =
Philippines
19.6 >
Thailand
16.8
Per kapita PDB (harga US$ pada konstan 2000)
Malaysia
4,290 >
Thailand
2,356 >
Philippines
1,085 >
Indonesia
906
Jumlah penduduk (juta)
Indonesia
217.6 >
Philippines
81.6 >
Thailand
63.7 >
Malaysia
24.4
Persentase jumlah penduduk berumur 0-14
Thailand
4.1 >
Indonesia
3.5 >
Malaysia
3.0 >
Philippines
2.8
Sumber: Indikator pembangunan Bank Dunia.
Komposisi ekonomi berdasarkan tingkat pemerintahan
Pada tahun 2004, sebagian besar pengeluaran untuk sektor pendidikansekitar 70 persendigunakan di
tingkat daerah. Pemerintah kabupaten/kota adalah yang paling banyak menyedot anggaran, sebesar 64 persen dari
total pengeluaran, sementara pemerintah tingkat provinsi hanya 6 persen. Total pengeluaran untuk sektor pendidikan
ini tetap stabil sejak 2001 (Tabel 3.4).
Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan, 200104
(Rp Triliun) 2001 % 2002 % 2003 % 2004 %
Pusat 14.1 33 14.7 29 22.5 35 19.4 31
Pembangunan 8.5 60 9.2 62 15.6 69 12.3 63
Rutin 5.6 40 5.6 38 6.9 31 7.1 37
Provinsi 1.9 4.6 4.0 7.8 3.9 6.1 3.8 6
Pembangunan 1.4 70 2.6 66 3.1 80 3.0 79
Rutin 0.6 30 1.4 34 0.8 20 0.8 21
Kabupaten/kota 26.2 62 32.6 63 38.3 59 39.8 63
Pembangunan 3.0 11 4.6 14 5.3 14 4.6 12
Rutin 23.2 89 28.0 86 33.0 86 35.2 88
Total Pengeluaran 42.3 100.0 51.3 100.0 64.8 100.0 63.1 100.0
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu.
Walaupun kabupaten/kota membelanjakan sebagian besar dari total anggaran untuk pendidikan,
pengeluaran ini sebagian besar merupakan pengeluaran rutin non-diskresioner. Selanjutnya, meskipun dalam
pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal, tanggung jawab sektor pendidikan beralih dari pusat ke tingkat
kabupaten/kota, sebagian besar anggaran pembangunan masih dijalankan oleh pemerintah pusat. Sejak 2001,
besarnya pengeluaran pembangunan pemerintah pusat secara konsisten lebih dari 55 persen dari total pengeluaran
pembangunan (dan bahkan lebih dari 60 persen), sementara pemerintah kabupaten/kota hanya mengelola sekitar
seperempat (Tabel 3.5). Jadi, pemerintah daerah hanya mempunyai sedikit kebebasan dalam mengelola dana dan
mengambil keputusan kunci untuk sektor pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
36
BAB 3 Sektor Pendidikan
Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin pada tingkat pemerintahan,200104
Komposisi Pengeluaran 2001 2002 2003 2004
Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) 12.9 16.5 24.4 20.1
Total % pembangunan pusat 66 56 65 61
Total % pembangunan provinsi 11 16 13 15
Total % pembangunan Kabupaten/kota 23 28 22 24
Total pengeluaran rutin (Rp triliun) 27.9 33.9 39.2 42.3
Total % pengeluaran rutin untuk pusat 14 13 14 15
Total % pengeluaran rutin untuk provinsi 4 4 3 2
Total % pengeluaran rutin untuk Kabupaten/kota 82 82 83 83
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depdiknas.
Sebagian besar pengeluaran rutin di daerah dialokasikan untuk gaji pegawai dan diikuti oleh pengadaan
barang. Selanjutnya, walaupun pemerintah daerah memiliki tingkat pengeluaran yang cukup besar untuk sektor
pendidikan, namun ruang gerak untuk pengeluaran pembangunan mereka sangat sempit. Pada tahun 2004,
pengeluaran pembangunan berjumlah sekitar 32 persen dari konsolidasi pengeluaran nasional untuk pendidikan,
sementara pada tahun 2003 jumlah ini sedikit lebih besar yaitu sekitar 38 persen. Penurunan pengeluaran untuk
sektor pendidikan pada tahun 2004 terutama disebabkan oleh penurunan pengeluaran pembangunan di tingkat
pusat (Tabel 3.5). Pengeluaran rutin untuk pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah masih rendah dibandingkan
dengan pengeluaran untuk gaji (Tabel 3.6).
Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah 200204
(%) Kabupaten/kota Provinsi
Komposisi pengeluaran rutin 2002 2003 2004 2002 2003 2004
Pengeluaran untuk kepegawaian 94 95 96 69 62 71
Pengeluaran untuk pengadaan barang 4 3 3 22 25 21
Pengeluaran untuk O&P 0 0 0 6 9 5
Pengeluaran untuk perjalanan dinas 0 0 0 1 2 3
Pengeluaran lain-lain 2 1 0 2 3 0
Pengeluaran lain 0 0 0 0 0 0
Total pengeluaran rutin 100 100 100 100 100 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
Catatan: Pengeluaran pembangunan meliputi pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan non-formal dan kejuruan untuk 200102. Untuk
200304 klasifkasi ulang pengeluaran modal dan operasional & pemeliharaan (O&P). Angka persentase mengalamim pembulatan sehingga ada
kemungkinan jumlahnya tidak genap seratus.
Pengeluaran dan efsiensi berdasarkan sub-sektor pendidikan
Pada tahun 2004, jumlah pengeluaran nasional untuk pendidikan dasar sebesar 56 persen dari total
pengeluaran pendidikan, untuk pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas masing-
masing sebesar 15 persen, dan untuk pendidikan tinggi sebesar 12 persen. Dengan melakukan analisis terhadap
klasifkasi fungsional atas pengeluaran pendidikan, pada tahun 2004 pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp
19.4 triliun untuk sektor pendidikan. Sebagian besar dari pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan, Rp
15.8 triliun atau sekitar 81 persen disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Sisanya sebesar
Rp 3.7 triliun disalurkan melalui Departemen Agama. Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dasar
berjumlah Rp 7.4 triliun, sebagian besar terdiri dari balanja pembangunan (sekitar 91 persen ). Sementara pengeluaran
untuk sub-sektor pendidikan tinggi yang jumlahnya Rp 7.0 triliun terutama terdiri atas pengeluaran rutin (sekitar-
kira74 persen ).
Pendidikan menengah, terutama pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prioritas untuk
Indonesia. Dalam kaitannya dengan peningkatan anggaran untuk sektor pendidikan, pemerintah diharapkan
mengalokasikan jumlah anggaran yang lebih besar untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Depdiknas
mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan anggaran pada tingkat pendidikan menengah dan dalam
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
37
BAB 3 Sektor Pendidikan
rencana strategisnya (Renstra) dinyatakan bahwa untuk rencana pembangunan jangka menengah diupayakan untuk
meningkatkan anggaran menjadi Rp 8.9 triliun pada tahun 2009. Ini akan digunakan untuk mendanai program-program
strategis termasuk pengembangan tema perluasan jangkauan dan pemerataan pendidikan, serta peningkatan mutu
dan kesesuaian (Renstra dan Depdiknas, 2005a). Dalam sistem desentralisasi, pemerintah daerah bertanggung jawab
untuk menyediakan layanan pendidikan menengah yang memadai. Sementara pengeluaran untuk pendidikan
sekolah menengah pertama untuk setiap kabupaten/kota secara signifkan lebih rendah dari pengeluaran untuk
pendidikan dasar, alokasi pengeluaran pemerintah pusat yang lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah
pertama setidaknya akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan ini.
35
Jumlah terbesar dari pengeluaran rutin
pemerintah pusat dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Pengeluaran gaji untuk pendidikan dasar dan menengah
merupakan komponen pengeluaran rutin terbesar dari pemerintah kabupaten/kota, yang didanai melalui DAU dan
ini merupakan pos pengeluaran di tingkat daerah.
Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan,
2004
Tingkat Pendidikan Tingkat Pengembalian (%)
Sekolah dasar 4
Sekolah menengah pertama 25
Sekolah menengah atas 28
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia
Penentuan alokasi optimal terhadap
berbagai sumber dalam sektor
pendidikan merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan jika
pemerintah hendak meningkatkan
anggaran untuk sektor pendidikan,
seperti yang dinyatakan di dalam UUD.
Angka partisipasi sekolah yang masih
rendah pada tingkat sekolah menengah
pertama merupakan indikator yang jelas bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses
pada jenjang pendidikan ini. Selain itu, tingkat pengembalian sosial (social rates of return) pada pendidikan menengah
lebih tinggi daripada tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar. Analisis biaya dan manfaat (cost-beneft analysis)
memberikan pandangan yang sangat bermanfaat dengan membuat perbandingan program pendidikan berdasarkan
tingkat pengembalian sosial. Perkiraan tingkat pengembalian investasi pendidikan didefnisikan sebagai tingkat diskon
yang menyeimbangkan arus manfaat yang diperoleh dari tingkat pendidikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan
untuk menyediakan layanan pendidikan pada jenjang yang berbeda dan pada kurun waktu yang berbeda pula.
Pendidikan sekolah menengah atas menerima tingkat pengembalian tertinggi sebesar 28 persen, sedikit di atas
pendidikan sekolah menengah pertama yang besarnya 25 persen. Sebaliknya, tingkat pengembalian untuk pendidikan
dasar sangat rendah, diperkirakan sekitar 4 persen (Tabel 3.7).
36
35 Sementara pengeluaran per siswa sebenarnya lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Hal ini tidak menunjukkan tingkat
pengeluaran yang memadai untuk tingkat tersebut. Hal ini mencerminkan adanya fakta bahwa biaya untuk menyediakan pendidikan menengah
lebih tinggi dan bahwa jumlah partisipasi siswa untuk sekolah menengah pertama masih rendah.
36 Manfaat program pendidikan dihitung berdasarkan perbedaan upah (tambahan penghasilan rata-rata dibandingkan dengan mereka yang
memiliki kualifkasi jenjang pendidikan yang sama pada jenjang pendidikan sebelumnya). Dari survei tenaga kerja nasional (Sakernas) 2006 dan
survei biaya pendidikan dari perkiraan satuan biaya yang disampaikan oleh Depdiknas (2005a). Lihat Lampiran F.2 untuk pembahasan lebih rinci
mengenai metodologi yang digunakan untuk menghitung tingkat balikan sosial terhadap pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
38
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah, 2004

l
a
t
o
T

P
r
e
-
s
c
h
o
o
l

&
P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

D
a
s
a
r
P
e
n
d
i
d
i
k
a
n
T
i
n
g
g
i

l
a
t
o
t
-
b
u
S
P
e
n
g
g
u
n
a

A
n
g
g
a
r
a
n
i
t
n
U
P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

M
e
n
e
n
g
a
h

A
w
a
l

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n
M
e
n
e
n
g
a
h

L
a
n
j
u
t
a
n

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n
I
n
f
o
r
m
a
l


T
i
n
g
k
a
t
P
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n
Pemerintah Pusat
APBN
Pemerintah Daerah
APBD
Departemen
Pendidikan Nasional
Depdiknas
6. 5
6 . 5
0 . 01
0. 1
0 . 2
0. 3
2. 0
7. 0
17 . 1
0. 8
0. 02
0. 6
0 . 4
0 . 4
0 . 4
0 . 5
0. 9
0 . 02
3. 7
1 . 8
0 . 02
5 . 2
0 . 05
1 . 8
0 . 57
T otal Nasional
0. 4 8. 4
P rovinsi
Kabupaten/
Kota
0 . 2 0 . 4
0 . 2 8 . 0
0 . 1 6 . 4
0 . 1 0 . 1
0. . 5
15 . 6
7 . 2
8 . 4
9. 5
7. 8
0. 6
64 . 4
2 . 5
2 . 1
0 . 57
21 . 3
7 . 0
5 . 7
0 . 07
43 . 1
11 . 7 2 . 0
5 . 4
1 . 7
1. 04
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Permbangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan Pembangunan Pembangunan
1 . 0
Rutin
Rutin
Rutin
Rutin Rutin Rutin
Rutin
Rutin
Rutin Rutin
Rutin
Rutin
Rutin Rutin Rutin Rutin
0 . 01
1. 8
1 . 1
0 . 6
24 . 9 3. 2
2 . 7
0 . 5
4 . 1
20. 8
30 . 9
8 . 9
21 . 9
43 . 1
43 . 6
21 . 3
36 . 0
11 . 7 5 . 4
8 . 0
64 . 4 20 . 8
3.0 4.. 6
0.8 35.2
3. 8 39.8
Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan
Rutin Rutin Rutin Rutin
Pembangunan
Pembangunan Pembangunan
Pembangunan Pembangunan
Pembangunan
Pembangunan
Rutin
Rutin Rutin Rutin
Rutin
Rutin
Rutin
Rutin
Departemen Agama
Depag
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD,
Catatan: Sub-komponen tidak perlu ditambahkan pada total karena sudah dilakukan pembulatan.
Klasifkasi fungsional meliputi sub-sektor pendidikan (11.1) dan pendidikan non-formal (11.2). Sementara dua sub-sektor yang lain (11.3 dan
11.4) diagregatkan di bawah fungsi Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (08). Fungsi pendidikan juga meliputi sub-sektor pendidikan agama
(15.2).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
39
BAB 3 Sektor Pendidikan
Alokasi anggaran ke tingkat sekolah
Berbagai sumber dana berkontribusi terhadap anggaran sekolah dengan pendanaan utama yang berasal
dari pemerintah kabupaten/kota sebelum 2005. Menurut survei GDS 1+ tentang data anggaran untuk 2002
03, 92 persen dari anggaran sekolah dasar didanai oleh pemerintah kabupaten/kota. Angka tersebut mengalami
penurunan besar pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan atas, masing-masing menjadi 82 persen
dan 77 persen. Hal ini disebabkan meningkatnya kontribusi orang tua dari 4 persen pada pendidikan dasar menjadi 13
persen pada pendidikan sekolah menengah pertama, dan 17 persen pada pendidikan sekolah menengah atas.
Mekanisme pendanaan yang baru dengan mengalokasi biaya operasional langsung ke sekolah. Sejak tahun
2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM sebagai dana
bantuan khusus murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode JuliDesember 2005, pemerintah menegaskan
untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut,dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005,
pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan
program BKM.
37
Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran pendidikan dasar dan
pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang
cukup besar untuk biaya operasional sekolah.
Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar
dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp
5.3 triliun antara JuniDesember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun 2006, atau sekitar 25 persen dari
keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan
oleh jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa per semester, dan siswa sekolah
menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi
biaya operasional sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan uang SPP
(sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki
nomor rekening bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran,
serta untuk meningkatkan transparansi.
Evaluasi yang dilakukan baru-baru ini terhadap program BOS menunjukkan bahwa program ini berdampak
positif dan berhasil di sejumlah daerah. Namun demikian, masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan.
38

Dari sudut pandang pendanaan, metode alokasi yang digunakan dalam program ini memiliki dampak positif maupun
negatif, yaitu:
Pengiriman dana secara langsung memungkinkan terjadinya sedikit kebocoran, karena hampir seluruh
sekolah menerima dana secara penuh (walaupun kadang-kadang terjadi penundaan).
Uang SPP yang lebih rendah memungkinkan untuk meningkatkan daya tarik minat siswa dari keluarga
miskin untuk bersekolah. (Hal ini merupakan dampak tidak langsung dari program BOS, karena program ini
tidak secara khusus ditarget untuk keluarga miskin, sekolah, atau kabupaten/kota tertentu).
Mekanisme penyaluran bantuan secara langsung dapat menyebabkan distorsi karena menimbulkan insentif
bagi pihak sekolah untuk mengggelembungkan jumlah siswa yang terdaftar di sekolahnya.
Karena pemberian dana tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, maka pengeluaran
pembangunan ini tersentralisir kembali, yang bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi yang
berlaku saat ini.
Program ini tidak mempersyaratkan kinerja yang baik atau transparansi anggaran dari pihak sekolah, sehingga
menyulitkan penilaian terhadap dampak aktual serta kecukupan dana.
Pemerintah sedang berdebat mengenai kemungkinan peningkatan dana bantuan ini, karena Depdiknas
meminta peningkatan bantuan per siswa SD (sekolah dasar) menjadi Rp 300.000, dan untuk pendidikan SMP
(sekolah menengah pertama) menjadi Rp 420.000. Dengan kenyataan bahwa angka yang disebutkan selama ini
37 Sekolah yang memilih untuk ikut dalam program harus menandatangani Surat Perjanjian tentang Penyediaan Bantuan. Jika sekolah sepakat
untuk mengambil bantuan dana operastional dari pemerintah, mereka harus mentaati ketentuan mengenai uang SPP, pendaftaran, buku ajar, dan
bahan penunjang lainnya, perpustakaan, biaya pelatihan untuk guru, uang ujian, dan kegiatan sekolah. Lihat juga (World Bank, 2006g) tentang
dampak program BOS terhadap rakyat miskin.
38 Dilakukan oleh SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
40
BAB 3 Sektor Pendidikan
didasarkan pada perhitungan unit biaya nominal harga tetap pada tahun 2003, maka peningkatan bantuan per siswa
memang diperlukan.
39
Sehingga yang menjadi persoalan adalah bahwa penentuan bantuan siswa itu ditentukan
secara nasional dan tidak memperhitungkan fuktuasi harga di tingkat daerah. Walaupun ini hanya merupakan masalah
untuk beberapa daerah saja, hal ini dapat mengurangi daya beli dana yang transfer secara signifkan. Misalnya, di
Aceh, infasi berfuktuasi pada kisaran 20 persen, dana bantuan BOS untuk provinsi akan mempengaruhi 20 persen
lebih rendah (dalam hal ini untuk pengadaan barang-barang dan jasa-jasa operasional) jika dibandingkan dengan
daerah lain.
Meningkatkan penyediaan sumber dana (resource envelope): mandat 20 persen
anggaran untuk sektor pendidikan
Besarnya dana untuk pengeluaran pada sektor pendidikan tahun anggaran 2006 telah menjadi topik
perdebatan yang sengit, setelah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Mahkamah Konstitusi
untuk meninjau kembali tingkat pengeluaran dan menilai kesesuaian anggaran tersebut dengan undang-
undang atau tidak. Ketentuan asli di dalam UUD 1945 berisi pernyataan bahwa setiap warga negara berhak untuk
memperoleh pendidikan. Pada tahun 2002, dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa
pemerintah harus mengalokasikan anggaran setidaknya 20 persen dari anggaran pemerintah pusat dan daerah.
Selanjutnya, sejak 2003, gaji guru tidak lagi dimasukkan di dalam ketentuan 20 persen tersebut, sehingga mendorong
pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran diskresioner pada sektor pendidikan.
Kotak 3.1 Landasan belakang hukum Indonesia - ketentuan 20 persen
1945: Undang-undang Dasar Indonesia Pasal 31 menyatakan bahwa: (1) Setiap warganegara berhak untuk mendapatkan
pendidikan dan; (2) Pemerintah harus menyelenggarakan dan menjalankan sistem pendidikan nasional yang diatur
di dalam undang-undang,
2002: Hampir 60 tahun kemudian yaitu pada tahun 2002, pasal di dalam UU Dasar ini diamandemen yang secara khusus
menyatakan: Negara memberikan prioritas anggaran untuk pendidikan setidaknya 20 persen dari anggaran nasional
dan anggaran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional. Amandemen tahun 2002
tersebut disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
2003: Selanjutnya, UU Pendidikan Nasional No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab 4, pasal, 49) sekali lagi
menyatakan ketentuan anggaran pada amandemen 2002 tersebut. Undang-undang tahun 2003 mempersempit
rentang pos-pos pengeluaran yang dapat diperhitungkan dalam ketentuan sasaran anggaran 20 persen tersebut
yaitu tidak termasuk gaji guru. Seperti yang dinyatakan di dalamnya: Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada
sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tiga dimensi pokok yang diperlukan untuk memperjelas perdebatan ini, adalah:
Meninjau secara cermat ketentuan anggaran 20 persen tersebut dan sasaran yang hendak dicapai
(sebagai kebalikan dari rumusan pengeluaran berdasarkan kebutuhan pendidikan).
Mengklarifkasi berbagai penafsiran yang telah dilakukan atas UU Pendidikan dan melakukan
penelaahan apakah pengeluaran di tingkat nasional dan daerah sesuai dengan ketentuan baku.
Menentukan cara melakukan alokasi tambahan terhadap program yang berbeda dan masukan lainnya,
jika dana tambahan dalam pendidikan memang diperlukan.
Pada tahun 2006, pemerintah pusat mengalokasikan sekitar Rp 44.1 triliun, atau sekitar 9.4 persen dari total
anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan (Diagram 3.4).
40
Dengan tidak memasukkan pengeluaran
untuk gaji guru, seperti yang dinyatakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, total pengeluaran
pemerintah pusat untuk pendidikan berjumlah hanya sekitar 7.4 persen dari APBN 2006 (lihat Tabel 3.7). Melalui
metode perhitungan tersebut, maka tingkat pengeluaran itu tidak cukup untuk menjangkau ketentuan 20 persen
dalam anggaran pemerintah pusat (APBN). Dengan demikian, tambahan sejumlah Rp 59.2 triliun, atau 12.6 persen
39 Biaya per unit ini hanya mampu menutup pengeluaran operasional. Komponen gaji yang merupakan unit biaya tradisional (sekitar 80 persen)
tidak dimasukkan di dalamnya.
40 Sektor pendidikan termasuk pendidikan TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non-formal dan informal, pendidikan
untuk PNS, pendidikan tinggi, pendidikan agama, penelitian dan pengembangan untuk sektor pendidikan, layanan penunjang pendidikan, dan
pengeluaran lain untuk pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
41
BAB 3 Sektor Pendidikan
dari anggaran perlu dialokasikan lagi untuk sektor pendidikan agar ketentuan anggaran sebesar 20 persen dapat
tercapai.
Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
%
Anggaran Pemerintah
Pusat tahun 2006
%
d
a
r
i

T
o
t
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t
Belanja
Pegawai
Pendidikan:
preschool, dasar,
menengah,
tinggi & pendidikan
agama
Layanan Pedukung &
Lain-lain
Pendidikan bagi
Pegawai Negeri
Pendidikan
Non Formal &
Informal
5
10
15
20
25
30
35
%
2001 2002 2003 2004
Keseluruhan Belanja Pegawai Rutin Pemerintah Daerah
Keseluruhan Belanja Rutin Pemerintah Daerah
Keseluruhan Belanja Non-Pegawai Rutin Pemerintah Daerah
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Perkiraan untuk pemerintah pusat termasuk seluruh komponen dari klasifkasi fungsional, yaitu sub-fungsi 10.01-10.90, pengeluaran
untuk kepegawaian yang merupakan bagian dari diagram balok di atas merupakan agregat dari pengeluaran untuk kepegawaian dari masing-
masing sub-fungsi pendidikan.
Pelaksanaan ketentuan anggaran 20 persen pada pengertian atau defnisi yang ada sekarang tidak realistis
dan juga bermasalah. Walaupun ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut masih terbuka untuk
berbagai penafsiran, namun berbagai perhitungan besarnya rasio telah dikaji. Kebanyakan dari hasil pengkajian itu
menunjukkan bahwa alokasi 20 persen di pemerintah pusat atau tingkat daerah tanpa memasukkan pengeluaran
untuk gaji tampaknya sulit tercapai (lihat Lampiran F.9 untuk simulasi rasio pengeluaran untuk sektor pendidikan
berdasarkan pengertian atau defnisi yang berbeda).
Di tingkat pusat, anggaran tahun 2006 mengalokasikan sekitar 9.4 persen untuk sektor pendidikan (Rp 44.1
triliun). Di luar pengeluaran untuk kepegawaian, jumlah ini mengalami penurunan menjadi sekitar 7.4 persen
(Tabel 3.8).
Di tingkat daerah, pada tahun 2004, pengeluaran untuk sektor pendidikan berjumlah 29.9 persen dari total
pengeluaran daerah (Rp 44 triliun dari total pengeluaran daerah yaitu, APBD Tk I + APBD Tk II total
sebesar Rp 151 triliun). Namun demikian, sebanyak 79 persen dari jumlah ini diserap untuk gaji. Tanpa
memasukkan pengeluaran untuk gaji, maka pengeluaran pendidikan di daerah hanya berjumlah 6.1 persen
dari total pengeluaran di tingkat daerah (Tabel 3.8).
Jika program pendidikan dari seluruh tingkat pemerintahan, jajaran departemen, dan lembaga pemerintah
yang lain, sebagaimana pula pengeluaran untuk gaji dihitung sebagai pengeluaran untuk sektor pendidikan,
maka jumlah anggaran untuk pendidikan nasional (APBN + APBD Tk I + APBD Tk II) akan mencapai 17.2
persen (Tabel 3.8).
Di luar pengeluaran untuk gaji, pengeluaran pemerintah pusat dan daerah untuk sektor pendidikan jauh lebih
rendah daripada sasaran yang ditentukan oleh UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003. Akan tetapi, perlu
diperhatikan bahwa sejak pelaksanaan sistem desentralisasi dalam layanan pendidikan, yang mulai diberlakukan sejak
2001, maka gaji guru merupakan pengeluaran terbesar di tingkat daerah untuk sektor pendidikan. Jika pemerintah
daerah ingin mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 21 triliun untuk mencapai target anggaran sebesar
20 persen tersebut, di luar gaji guru, keseluruhan pengeluaran untuk sektor pendidikan di daerah akan berjumlah
sebesar 45 persen dari total APBD. Untuk meningkatkan jumlah pengeluaran sektor pendidikan dalam APBD di luar
gaji, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi perlu melakukan pengurangan anggaran yang signifkan pada sektor
lain. Sudah barang tentu hal ini tidak dapat dilaksanakan jika dilihat dari kacamata politik, dan bahkan sangat tidak
diinginkan dengan berbagai alasan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
42
BAB 3 Sektor Pendidikan
Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah
41
(%)
Pengeluaran pendidikan
(defnisi resmi)
Pengeluaran pendidikan
(termasuk gaji)
Total pengeluaran
pemerintah pusat
Pemerintah pusat 7.4 9.4 65
Pemerintah daerah 6.1 29.9 35
Total pengeluaran nasional 6.9 17.2 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Untuk defnisi dan perhitungan yang berbeda dari ketentuan anggaran 20 persen.
Penganggaran sebesar 20 persen akan memberikan tekanan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan
pengeluaran pendidikan di tingkat kabupaten/kota, yang tidak sesuai dengan pelaksanaan sistem
desentralisasi. Sasaran yang ditentukan di kedua tingkat pemerintahan tidak didasarkan pada perhitungan
kebutuhan pendanaan yang muncul dari distribusi fungsi pendidikan antar-tingkat pemerintah atau distribusi vertikal
terhadap sumber-sumber daya fskal yang ada. Pada saat Depdiknas diharapkan menyerahkan sebagian besar dari
tugas dan fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah, alokasi anggaran sebesar 20 persen dari APBN memang
bermaksd baik tetapi tidak akan menguntungkan APBN. Alokasi anggaran sebesar itu mendorong Depdiknas untuk
menyusun rencana pengeluaran untuk daerah. Dinamika ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari investasi modal
pada sektor pendidikan akan terpusat dan berada di luar kontrol pemerintah kabupaten/kota.
Pengeluaran Sektor Publik untuk Pendidikan dan Pemerataan
Pemerataan angka partisipasi di seluruh jenjang dan daerah
Pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia sebagian besar diarahkan untuk pendidikan dasar,
yang cenderung berpihak pada masyarakat miskin. Lebih dari setengah pengeluaran untuk sektor pendidikan
gabungan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dialokasikan untuk tingkat sekolah dasar. Alokasi dana
cenderung ditujukan kepada masyarakat miskin, mengingat sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin bersekolah
di tingkat sekolah dasar. Sebaliknya, di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dari seperlima rakyat paling
miskin hanya tercatat sekitar 6 persen, sementara di tingkat pendidikan sekolah menengah atas, proporsi mereka
hanya 3 persen.
Diagram 3.5 Time trend angka partisipasi sekolah
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
1
1998 1999 2000 2001 2002 2004 2005
Dasar Menengah awal Menengah lanjutan
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia, berdasarkan data dari Susenas
19982005.
Kemajuan yang telah dicapai dalam meningkatkan
angka partisipasi sekolah telah mampu mengurangi
kesenjangan angka partisipasi di tingkat pendidikan
sekolah dasar diantara berbagai kelompok masyarakat
dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Akan tetapi,
kesenjangan yang besar masih tampak di tingkat pendidikan
sekolah menengah pertama dan pendidikan sekolah
menengah atas. Pada tahun 2005, angka partisipasi kasar
pada tingkat sekolah dasar mencapai 107.1 persen dan
angka partisipasi murni 91 persen. Masalah yang berkaitan
dengan akses menjadi lebih besar di tingkat pendidikan
sekolah menengah pertama, dengan angka partisipasi kasar
81.7 persen, sementara angka partisipasi murni hanya 65.2
persen. Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 19) adalah
wajib untuk anak-anak yang berumur antara 715 tahun.
Akan tetapi, ketentuan hukum ini tidak diterapkan secara
ketat. Sementara itu, akses untuk pendidikan sekolah dasar
mungkin masih menjadi suatu masalah di wilayah-wilayah
terpencil. Untuk sebagian besar rakyat miskin di Indonesia
masalah utama dalam akses pendidikan adalah untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah awal.
41 Pada saat penyusunan laporan ini, pengeluaran pemerintah daerah untuk 2004 baru tersedia akhir-kahir ini. Total pengeluaran daerah untuk
2006 diperkirakan berdasarkan pengeluaran DAU pada anggaran daerah dan pengeluaran pendidikan pada 2004.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
43
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi
0.5
0. 55
0.6
0. 65
0.7
0. 75
0.8
0. 85
0.9
0. 95
1
a
u
p
a
P
l
a
t
n
o
r
o
G
o
a
r
a
t
U

i
s
e
w
a
l
u
S
g
n
u
t
i
l
e
B

a
k
g
n
a
B
n
a
u
a
l
u
p
e
K
a
r
a
g
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
n
a
t
a
l
e
S

i
s
e
w
a
l
u
S
u
k
u
l
a
M
u
m
i
T

a
r
a
g
g
n
e
T

a
s
u
N
r
a
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
h
a
t
r
a
k
a
y
g
o
Y

I
D
a
t
r
a
k
a
J

I

K
D
a
t
r
a
k
a
J

I

K
D
t
a
r
a
B

a
u
p
a
P
t
a
r
a
B

a
r
a
g
g
n
e
T

a
s
u
N
t
a
r
a
B
n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
a
r
a
t
U
u
k
u
l
a
M

g
n
u
p
m
a
L
t
a
r
a
B

a
w
a
J

t
a
r
a
B

a
r
e
t
a
m
u
S
a
g
n
e
T

a
w
a
J

h
i
l
a
B
n
a
t
a
l
e
S
n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
u
m
i
T
n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
r
i
b
m
a
J

u
m
i
T

a
w
a
J

r
u
a
i
R
n
a
u
a
l
u
p
e
K
a
r
a
t
U

a
r
e
t
a
m
u
S
u
a
i
R
n
e
t
n
a
B
l
u
k
g
n
e
B
u
m
a
l
a
s
s
u
r
a
D
h
e
c
A
e
o
r
g
g
n
a
N
a
g
n
e
T
n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
h
Sumber: Susenas 2004.
Akan tetapi, angka partisipasi sekolah di Indonesia masih sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah
yang lain, dan bahkan kesenjangan ini lebih besar daripada masalah kesenjangan angka partisipasi sekolah
berdasarkan perbedaan tingkat pendapatan. Kecenderungan angka partisipasi sekolah untuk rakyat miskin sangat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan dalam kuintil pendapatan yang sama. Rakyat miskin di Papua
memiliki angka partisipasi murni yang rendah bahkan pada tingkat sekolah dasar (80 persen). Bahkan, perbedaan
daerah memang mendominasi kesenjangan tersebut, seperti terlihat dari kuintil untuk penduduk kaya di Papua pun
masih memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih rendah (92 persen) daripada kuintil rakyat miskin di Sumatera
(World Bank, 2006). Di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, tingkat akses pendidikan sangat bervariasi di
setiap provinsi. Indonesia memiliki angka partisipasi sekolah yang hampir sama untuk jenjang sekolah dasar di setiap
provinsi. Akan tetapi, perbedaan utama dalam angka partisipasi sekolah tampak pada anak-anak usia 13-15 tahun.
Sementara Jakarta dan Yogyakarta berhasil mencapai angka partisipasi sekolah di atas 90 persen, sebagian besar
provinsi yang tercantum pada analisis ini memiliki angka partisipasi sekolah yang masih di bawah 80 persen. Provinsi
Sulawesi Selatan bahkan hanya mencapai tingkat di bawah 70 persen.
Pemerataan pengeluaran di seluruh kabupaten/kota
Perbedaan dalam angka partisipasi sekolah di antara kabupaten/kota setidaknya terkait dengan tingkat
pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan.
42
Analisis regresi menunjukkan bahwa angka
partisipasi murni berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan per siswa dan juga terhadap persentase
pengeluaran pendidikan secara keseluruhan di tingkat kabupaten/kota. Walaupun potensi dampak pengeluaran
tambahan terhadap angka partisipasi masih kecil, peningkatan pengeluaran per siswa merupakan sebagian dari solusi
untuk meningkatkan angka partisipasi untuk jenjang menengah pertama. Terutama untuk meningkatkan atau re-
alokasi pengeluaran untuk gaji menjadi pengeluaran non-gaji (pengeluaran untuk pengadaan barang dan material)
berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah .
43
Pola pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa kabupaten/
kota yang kaya tidak hanya memiliki tingkat pengeluaran per-kapita yang lebih tinggi untuk pendidikan,
tetapi juga memiliki tingkat pengeluaran per-siswa yang lebih tinggi. Kondisi yang kedua ini sebagian dapat
dijelaskan dengan adanya fakta bahwa kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki jumlah siswa lebih banyak untuk
42 Angka partisipasi sekolah sebagian ditentukan oleh tingkat pengeluaran per kabupaten/kota untuk sektor pendidikan, sebab pemerintah
kabupaten/kota menggunakan sebagian besar dari anggaran mereka untuk biaya kepegawaian, yang tidak berkorelasi positif terhadap angka
partisipasi sekolah. Analisis selanjutnya, termasuk pengeluaran DAK dan pengeluaran lain dari pemerintah pusat untuk pendidikan di tingkat
kabupaten/kota, sedang dilakukan karena pengeluaran ini merupakan jumlah terbesar pengeluaran untuk infrastruktur pendidikan yang
dianggap borelasi sangat kuat dengan angka partisipasi.
43 Lihat Lampiran E.3 untuk hasil analisis regresi yang lebih rinci.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
44
BAB 3 Sektor Pendidikan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga biaya per unit mereka juga cenderung menjadi lebih tinggi. Tabel
3.9 memberikan gambaran mengenai pengeluaran berdasarkan kuintil kemiskinan di tingkat kabupaten/kota.
Kabupaten/kota yang kaya (terutama kuintil 4 dan 5) cenderung mengeluarkan anggaran dana lebih besar untuk
sektor pendidikan per siswa, namun di kabupaten/kota paling miskin pun tidak terlalu besar perbedaannya.
Kabupaten/kota yang lebih miskin cenderung menggunakan upaya fskal yang lebih besar karena mereka
mengalokasi anggaran yang lebih tinggi untuk sektor pendidikan (34 persen di kabupaten/kota termiskin
vs. 31 persen di kabupaten/kota terkaya). Sebanyak 40 persen kabupaten/kota termiskin menggunakan rata-rata
sebesar 35.4 persen dari anggaran mereka untuk pendidikan, sementara kabupaten/kota yang terkaya menggunakan
31.5 persen (Tabel 3.9).
Tabel 3.9 Pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan
Kuintil
Kabupaten/
kota
Total Pengeluaran per
kapita
Kabupaten/kota
Pengeluaran untuk sektor
pendidikan
per siswa sekolah negeri
Pengeluaran pendidikan
secara keseluruhan (%)
Total pengeluaran
pendidikan Non-gaji (%)
2001 2004 2001 2004 2001 2004 2001 2004
Termiskin 558,116 725,459 165,486 215,523 35.7 34.4 5.5 5.3
2 364,804 724,234 148,595 228,492 40.1 36.3 4.4 4.7
3 393,305 690,836 144,850 209,021 43.0 35.0 4.3 4.6
4 493,893 899,841 184,214 245,510 40.0 32.0 4.9 5.6
Terkaya 619,163 950,714 182,893 272,704 32.9 31.1 5.2 3.9
Total 484,758 798,819 165,168 234,718 38.2 33.7 4.8 4.8
Sumber: Data Bank Dunia untuk pengeluaran tingkat kabupaten/kota, 2001-04.
Catatan: Berdasarkan data dari 350 kabupaten/kota; kabupaten/kota yang baru cenderung tidak memiliki data. Kuintil berdasarkan kuintil BPS
tahun 2004 untuk tingkat kemiskinan.
Oleh karena itu, kabupaten/kota yang lebih miskin tidak selalu harus tertinggal karena tidak memadainya
proporsi anggaran pendidikan terhadap total anggaran mereka tidak memadai. Akan tetapi, perbedaan ini
diakibatkan oleh alokasi anggaran yang memang lebih rendah untuk sektor. Sehingga peningkatan untuk keseluruhan
anggaran mungkin dapat dipertimbangkan. Peningkatan ini dapat dikombinasikan dengan upaya berkelanjutan untuk
menggunakan anggaran yang memadai pada sektor pendidikan.
Peningkatan akses: implikasi biaya adalah pendidikan yang bermutu untuk semua
Untuk memastikan pemerataan angka partisipasi sekolah yang lebih luas melalui program Pendidikan
untuk Semua (PUS) diperlukan peningkatan total pengeluaran, serta peningkatan pengeluaran per siswa.
Tujuan PUS adalah untuk meningkatkan angka partisipasi murni baik untuk tingkat pendidikan dasar maupun
sekolah menengah pertama dengan menjangkau masyarakat miskin dan tertinggal serta untuk meningkatkan
mutu pendidikan yang ada. Implikasi biaya dari tujuan ini dihitung oleh McMahon pada tahun 2003.
44
A Konsep
kunci perhitungannya adalah kecukupan, atau apakah cukup tersedia buku pelajaran, materi ajar, kemampuan dan
kualifkasi guru, perpustakaan sekolah, dan sebagainya untuk menghasilkan tingkat pendidikan yang memadai bagi
setiap anak (McMahon, 2003).
45
44 Perhitungan biaya berdasarkan target PUS dengan tujuan mencapai 100 persen angka partisipasi sekolah pada 2008 untuk pendidikan dasar
dan 95 persen untuk pendidikan sekolah menengah pertama, berdasarkan hasil Tinjauan Sektor Pendidikan oleh Bank Dunia pada 2005. Walaupun
target initerutama untuk pendidikan sekolah menengah pertamalebih tinggi, Ini menunjukkan bahwa perkiraan biaya jauh lebih tinggi
daripada apa yang mereka perhitungkan.
45 Lihat Lampiran E.9 untuk perhitungan yang lebih lengkap.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
45
BAB 3 Sektor Pendidikan
Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program Pendidikan untuk Semua (PUS)
Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah
200405 200809 200405 200809
Biaya per-siswa (Rp 000)
Kenaikan biaya PUS 179 209 509 834
Biaya sekarang 966 966 1,449 1,449
Total 1,145 1,175 1,958 2,283
Total Biaya ( = Biaya per-siswa X jl. siswa yang terdaftar) (Rp triliun)
Kenaikan biaya PUS 5.1 5.7 5.3 10.2
Biaya sekarang 27.3 26.4 15.5 18.0
Total 32.3 32.1 20.8 28.4
Sumber: McMahon 2003.
Kenaikan biaya yang terkait dengan program PUS per siswa untuk 200405 adalah sebesar 18 persen dari
biaya per-siswa untuk sekolah dasar tahun 2004 dan 35 persen untuk sekolah menengah pertama. Biaya ini
jauh lebih tinggi daripada jumlah sebenarnya yang dikeluarkan di tingkat daerah untuk setiap siswa. Biaya pendidikan
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama seharusnya berjumlah Rp 53 triliun pada 2004 (Tabel 3.4). Akan tetapi,
pengeluaran di daerah hanya Rp 43.6 triliun. Untuk 200809, total perkiraan pengeluaran yang diperlukan akan
mencapai hampir Rp 60 triliun untuk sistem pendidikan Indonesia agar tercapai target angka partisipasi sekolah.
Dengan perhatian pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran di sektor pendidikan, hal ini mungkin
akan dapat menutup kesenjangan pendanaan dan mencapai tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk
setiap siswa. Namun demikian, peningkatan pengeluaran saja tidak akan dapat menjamin pencapaian tujuan PUS.
Pembiayaan PUS merupakan langkah yang penting untuk memahami apa yang dibutuhkan untuk memenuhi cita-
cita nasional, tetapi penyediaan sumber dana saja belum cukup. Untuk memperbaiki tingkat partisipasi siswa sekolah
secara memadai, perubahan manajemen sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan perlu dilakukan.
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efsiensi dan Hasil
Efsiensi dalam manajemen sumber daya manusia: distribusi guru
Walaupun anggaran pendidikan mengalami peningkatan, rasio murid dan guru (RMG) di Indonesia sangat
rendah, yang menunjukkan tidak efsiensinya pengeluaran untuk sektor pendidikan. Sementara tingkat RMG
yang rendah memberikan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan interaksi antara guru dan siswa, konsensus
umum menunjukkan bahwa RMG 30:1 adalah yang paling tinggi, sementara perbandingan rasio yang lebih kecil dari
ini akan memberikan pengembalian marginal yang sangat rendah. Karena gaji guru merupakan komponen biaya yang
cukup signifkan, RMG yang rendah cenderung akan menyebabkan beban keuangan yang berat. Perbandingan jumlah
guru-murid di Indonesia merupakan salah satu dari yang terendah di kawasan Asia/Pasifk, seperti yang tampak pada
Diagram 3.7. Perbandingan rata-rata RMG untuk negara-negara kawasan Asia/Pasifk sekitar 31:1 untuk pendidikan
dasar dan 25:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama.
46
Indonesia masih jauh lebih rendah, sekitar 20 untuk
pendidikan dasar dan sekitar 14 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (Diagram 3.7). Rasio untuk Indonesia
akan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Amerika dan dengan beberapa negara Eropa. Angka ini juga jauh di
bawah angka yang ditentukan secara nasional, yaitu 40:1 untuk pendidikan dasar dan 28:1 untuk pendidikan sekolah
menengah pertama (World Bank, 2006h).
46 Sumber: Database EdStats. Rasio untuk SD sudah ditentukan jelas, tetapi untuk rasio tingkat SMP ditentukan oleh penulis karena
ketidaktersediaan data.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
46
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negera-negara terpilih, 2003
Sekolah dasar
14.81
17.1
18.92
19.56
20.29
20.68
21.05
24.65
30.64
30.77
31.26
34.93
41.33
56.24
0 10 20 30 40 50 60
Amerika Serikat
Inggris
Malaysia
J epang
Indonesia
Thailand
China
Vietnam
Lao PDR
Mongolia
Korea, Rep.
Filliphina
India
Kamboja
Sekolah Menengah
13.22
14.23
14.92
17.72
18.24
18.61
19.05
21.52
23.59
24.86
25.59
25.66
32.32
37.09
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Jepang
Indonesia
Amerika Serikat
Malaysia
Korea, Rep.
China
Inggris
Mongolia
Kamboja
Thailand
Vietnam
Lao PDR
India
Filliphina
Sumber: Edstats 2003.
Isu yang berkaitan dengan ketersediaan guru berhubungan dengan pendistibusian guru yang tidak efsien.
Berdasarkan standar yang ditentukan saat ini yaitu dengan formula penempatan guru untuk sekolah dasar (minimal 9
guru dengan tingkat RMG 40:1), ternyata sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen
mengalami kekurangan guru (Diagram 3.8).
47
Ketidaksetaraan distribusi tersebut sangat jelas terutama ketika melihat
ketersediaan guru di wilayah perkotaan, pedesaan, dan sekolah terpencil. Sekolah di wilayah perkotaan dan pedesaan
mengalami kelebihan guru yang cukup besar (dengan 68 persen dan 52 persen sekolah mengalami kelebihan
guru untuk masing-masing kedua wilayah tersebut), sementara sekolah di wilayah terpencil mengalami defsit
guru yang serius, yaitu 66 persen sekolah mengalami kekurangan guru. Kebijakan pemerintah yang baru dengan
melipatgandakan gaji pokok untuk guru yang bekerja di wilayah terpencil diharapkan mampu mendorong lebih
banyak guru untuk mau bekerja di sekolah di wilayah tersebut.
Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula
penggajian yang baru
5 5
6 8
5 2
17
-3 4
-3 7
- 6 6
- 8 0
- 6 0
- 4 0
- 2 0
0
2 0
4 0
6 0
8 0
T o t a l U r b a n Perdesaan T e r pe nc i l
Persentasi Sekolah-sekolah yang
Mengalami Kelebihan Tenaga Guru
Persentasi Sekolah-sekolah yang
Mengalami Kekurangan Tenaga Guru

-21
(%)
Sumber: Survei pengangkatan dan penugasan guru, 2005.
Catatan: Berdasarkan formula penugasan yang berlaku.
47 Total kelebihan dan kekurangan guru dihitung berdasarkan hasil survei Pengangkatan dan Penugasan Guru tahun 2005 untuk sekolah di
wilayah perkotaan dan wilayah terpencil. Total dihitung berdasarkan data Susenas 2004 terhadap persentase anak-anak yang berumur 7-15 tahun
yang tinggal di kota dan desa, dan dengan asumsi 10 persen sekolah berada di wilayah terpencil. Guru paruh waktu diperhitungkan sebagai guru
tetap.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
47
BAB 3 Sektor Pendidikan
Metode yang digunakan sekarang untuk menentukan persyaratan penyediaan guru menyebabkan
terjadinya kelebihan guru. Berdasarkan sistem yang kini berlaku, pihak sekolah menyampaikan kebutuhan guru
kepada kantor pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota lalu meminta penambahan guru kepada
kantor Departemen Pendidikan Nasional di tingkat pusat. Pemerintah pusat lalu mengalokasikan guru untuk
kabupaten/kota tersebut sekaligus menyediakan tambahan pembayaran gaji guru melalui DAU. Berdasarkan sistem
ini, pihak sekolah dan kabupaten/kotayang sebenarnya tidak membayar gajimemiliki alasan yang kuat untuk
menyampaikan bahwa mereka kekurangan guru dan meminta tambahan sumber dana (yang pada dasarnya gratis),
dan hampir tidak ada insentif untuk meningkatkan efsiensi penggunaan sumber daya guru. Hal ini terlihat pada
kenyataan di lapangan, dimana sekolah hampir mengeluh bahwa mereka kekurangan guru, walaupun sebenarnya
mereka sudah kelebihan guru. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 (Survei Tenaga Kerja dan Pembangunan 2005,
Depdiknas dan Bank Dunia) menunjukkan bahwa dari 276 sekolah dasar, 65 persen menyatakan mereka kekurangan
guru sementara hanya 8 persen yang menyatakan kelebihan guru. Akan tetapi, berdasarkan formula perhitungan,
tercatat 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru dan 34 persen mengalami kekurangan guru. Dari seluruh
sekolah yang menyatakan kekurangan guru, 41 persen sebenarnya sudah mengalami kelebihan guru.
Ketika memperhitungkan kelebihan guru, perlu dipertimbangkan besarnya jumlah guru bantu honorer yang
begitu banyak di Indonesia. Sekitar 6 persen dari guru sekolah dasar di Indonesia dan 25 persen dari guru sekolah
menengah negeri bekerja sebagai guru bantu.
48
Ini merupakan tambahan atas keluhan kekurangan guru di beberapa
daerah tertentu. Penggunaan guru bantu hanya sedikit mengurangi beban biaya kepegawaian untuk sementara,
sebab gaji guru bantu tidak lebih rendah secara signifkan daripada gaji guru tetap. Gaji guru bantu untuk sekolah
dasar (termasuk kabupaten/kota dan tunjangan sekolah) anehnya hanya sedikit perbedaannya dengan guru tetap
jika berdasarkan jumlah jam kerja. Hal ini pun berlaku juga untuk guru sekolah menengah pertama. Kenyataan bahwa
gaji guru bantu tidak lebih kecil secara signifkan daripada guru tetap artinya guru bantu lebih mahal jika dihitung
berdasarkan honor per jam. Di tingkat sekolah menengah pertama, guru-guru untuk bidang keahlian tertentu
dibayar per jam. Untuk meningkatkan efektivitas biaya, bagaimanapun juga, guru-guru ini harus didorong untuk
meningkatkan sertifkasi mereka agar mereka tetap dapat dipekerjakan secara penuh. Di tingkat sekolah dasar, hanya
terdapat sedikit guru bantu (6 persen secara nasional), walaupun guru sekolah dasar sering mempunyai tanggung
jawab lain selain mengajar di ruang kelas dan mempunyai jam kerja yang cenderung lebih pendek dari pada rata-rata
guru yang mengajar di dalam kelas.
49

Pertimbangan dasar dari perspektif pendanaan adalah bahwa kelebihan guru menimbulkan beban biaya
yang signifkan. Dengan menggunakan realisasi nilai RMG
50
apabila mengikuti standar internasional dan nilai rata-
rata kawasan regional, Indonesia menunjukkan tingkat kelebihan guru sekitar 21 persen (Lampiran E.6). Bahkan ketika
menggunakan perkiraan yang konservatif dan dengan memperhatikan tingginya jumlah guru bantu, biaya untuk
pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama saja telah mencapai lebih dari Rp 5 triliun, atau sekitar 8
persen dari total anggaran pendidikan. Biaya tinggi ini akan semakin memburuk ketika gaji guru naik cukup besar
sebagai konsekuensi adanya tunjangan baru yang dinyatakan dalam UU No.14/2005 tentang guru.
Gaji guru, tunjangan dan mutu pendidikan
Dengan pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang guru pada Desember 2005, pemerintah ,memberlakukan
persyaratan baru mengenai sertifkat pendidik yang meningkatkan kompensasi sekaligus memperbaiki
kualitas guru. Merancang struktur gaji dan tunjangan guru untuk mendapatkan kandidat guru terbaik dalam profesi
keguruan merupakan tugas yang sangat rumit. Kenyataan ini benar terutama untuk Indonesia, dimana gaji para guru
dianggap masih relatif rendah. Gaji yang rendah sepertinya merupakan salah satu alasan penting atas kinerja guru
yang buruk, semangat yang rendah, dan cenderung memiliki kualifkasi yang rendah. Tingkat gaji guru di Indonesia,
yang disesuaikan untuk daya beli, secara signifkan lebih rendah daripada gaji guru di negara lain (Unesco-UIS/OECD,
2005).
48 Jika sekolah swasta diperhitungkan, persentase guru sekolah menengah pertama adalah 39 persen.
49 Misalnya, di tingkat sekolah dasar, 20 persen dari guru mengajar olahraga dan agama dan 11 persen adalah kepala sekolah, yang masih sering
bertanggung jawab mengajar pada taraf sekolah kecil, tetapi mempunyai peran manajemen yang lebih besar pada taraf sekolah yang lebih besar
(lihat Lampiran E.7).
50 Yang diusulkan saat ini adalah minimal ada empat guru untuk setiap sekolah dasar dengan target RMG 32:1, dan minimal tujuh guru untuk
setiap pendidikan sekolah menengah pertama dengan target RMG 28:1, sehingga hasil RMG sebenarnya masing-masing adalah 26:1 dan 22:1.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
48
BAB 3 Sektor Pendidikan
Gaji guru di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara setara lainnya. Sebuah survei terhadap sampel negara-
negara yang tergabung dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD) menunjukkan bahwa tingkat gaji guru di Indonesian
paling rendah dari negara-negara yang tergabung dalam IPD untuk seluruh jenjang dan tingkat pendidikan. Tetapi,
perbandingan antarnegara dapat juga bermasalah, karena beberapa negara mungkin memberikan tunjangan
tambahan yang tidak diperhitungkan dalam perbandingan. Namun demikian, hasilnya tetap menunjukkan bahwa
guru di Indonesia menerima gaji yang relatif rendah. Bahkan kalau saja pendapatan guru dilipatgandakan melalui
struktur tunjangan, gaji guru Indonesia masih tetap lebih rendah dari sampel negara-negara IPD kecuali Mesir.
Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD)
Pendidikan dasar
Pendidikan menengah
awal
Pendidikan menengah
lanjutan
Tahun Gaji Awal
Gaji paling
tinggi
Gaji Awal
Gaji paling
tinggi
Gaji Awal
Gaji paling
tinggi
Cili 2003 11,709 18,437 11,709 18,473 11,709 19,302
Mesir 2002/03 1,046 -- 1,046 --- --- --
Indonesia 2002/03 1,002 3,022 1,002 3,022 1,042 3,022
Malaysia 2002 9,230 17,470 13,480 29,151 13,480 29,151
Paraguay 2002 7,950 7,950 12,400 12,400 12,400 12,400
Filipina 2002/03 9,890 11,756 9,890 11,756 9,890 11,765
Sri Lanka 2002 3,100 3,945 3,100 4,509 3,945 5,073
Thailand 2003/04 6,048 28,345 6,048 28,345 6,048 28,345
Uruguay 2002 4,850 7,017 4,850 7,017 5,278 7,444
Rata-rata OECD 2003 24,287 40,539 26,241 43,477 27,455 45,948
Sumber: Unesco-UIS/OECD 2005 Tren Pendidikan dalam Perspektif: Analisa Indikator Pendidikan Dunia (IPD).
Note: Angka dalam tabel dalam AS$ PPP.
Akan tetapi, secara nasional ketika membandingkan tingkat gaji untuk guru terhadap upah untuk pekerja
lain dengan tingkat pendidikan yang sama, ternyata besarnya perubahan gaji bervariasi berdasarkan tingkat
pendidikan. Besarnya gaji guru kontradiktif menurun secara aktual dengan meningkatnya tingkat pendidikan.
Analisis tentang Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004 menunjukkan gaji pokok per bulan guru sekolah
dasar dengan kualifkasi lebih rendah dari lulusan diploma (kira-kira 40 persen dari seluruh guru), yaitu 16 persen lebih
tinggi daripada upah pekerja lain. Perbedaan turun menjadi sebesar 6 persen dibandingkan upah pekerja lainnya
untuk guru yang memiliki ijazah D-I dan D-II (kira-kira 32 persen dari seluruh guru), bahkan perbedaan ini menjadi
negatif untuk guru sekolah dasar yang memiliki ijazah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, terutama guru
yang memiliki ijazah Diploma III (kira-kira 8 persen) atau ijazah sarjana S1 (kira-kira 19 persen) masing-masing dengan
tingkat pendapatan 21 persen dan 35 persen lebih kecil daripada pekerja di sektor lain. Hasil survei ini menunjukkan
bahwa guru dengan tingkat pendidikan yang rendah relative menerima pembayaran lebih tinggi, sementara guru
dengan tingkat pendidikan lebih tinggi relatif dibayar terlalu rendah. Akan tetapi, gaji guru per jam masih cukup baik
jika dibandingkan dengan pekerja lain, sebab jam kerja guru cenderung lebih pendek sehingga jam pembayaran per
jam menjadi lebih tinggi. Menurut data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2004, guru bekerja sekitar 34 jam per
minggu, sementara pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama bekerja antara 4346 jam per minggu (lihat
Lampiran E..8).
UU No.14/2005 tentang Guru akan secara signifkan menambah tingkat pengeluaran rutin untuk upah
guru (gaji dan tunjangan ) selama 10 tahun ke depan ini. Undang-undang Desember 2005, menyatakan bahwa
semua guru wajib memiliki sertifkat pendidik paling lambat 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya UU dan guru yang
bersertifkat mendapatkan tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru ditambah dengan tunjangan
fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok.
51
UU ini menyatakan adanya tunjangan khusus, yang akan diberikan
kepada guru yang bertugas di wilayah konfik, terkena bencana alam, wilayah terpencil, dan wilayah-wilayah yang
mengalami permasalahan khusus lainnya.
51 Spesisfkasi tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok untuk gutu yang sudah mendapatkan sertifkasi guru merupakan bagian
dari draft undang-undang yang diharapkan untuk disahkan sebelum akhir 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
49
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan
tunjangan baru
20
40
60
80
100
120
0
2
0
6
0
2
0
7
0
2
8
0
0
2
0
9
0
2
0
1
0
2
1
1
0
2
2
1
0
2
1
3
0
2
1
4
0
2
1
5
0
2
6
1
p

t
r
i
l
i
u
n
R
Pengeluaran untuk Bidang Pendidikan tahun 2005
Tunjangan Profesional
Tunjangan Daerah Khusus
Tunjangan Fungsional
Pengeluaran untuk Gaji Guru
Pengeluaran Sektor Pendidikan
Nasional tahun 2005
Sumber: Perhitungan Bank Dunia menggunakan data guru dari
Depdiknas 200405
Total pengeluaran untuk gaji guru akan menjadi dua
kali lipat dalam waktu delapan tahun dan akan
melebihi total pengeluaran untuk sektor pendidikan
pada 2005. Pengeluaran untuk tunjangan profesional akan
meningkat secara perlahan setiap tahun karena semakin
banyak guru yang akan memperoleh sertifkat pendidik
(Diagram 3.9). Pada 2016, perkiraan pengeluaran sebesar
Rp 102.7 triliun akan dialokasikan untuk gaji dan tunjangan
(130 persen dari seluruh pengeluaran nasional 2005 untuk
sektor pendidikan).
52
Depdiknas mungkin akan
menggunakan tunjangan profesi untuk menentukan
alokasi yang lebih besar dari keseluruhan anggaran untuk
sektor pendidikan. Tindakan ini didasarkan atas ketentuan
anggaran sebesar 20 persen di dalam UU Pendidikan,
terutama semenjak semua tunjangan-tunjangan ini tidak
dimasukkan sebagai pengeluaran untuk gaji.
Hasil pendidikan: kinerja siswa dan nilai ujian
Indonesia menduduki peringkat yang rendah dalam
tes standar internasionalyang sesuai dugaan karena
Indonesia merupakan satu-satu negara dengan tingkat
pendapatan rendah-menengah yang ikut berpartisipasi dalam tes ini. Pada tahun 2003, Indonesia menduduki
peringkat 34 dari 45 negara dalam Olimpiade Studi Ilmu Matematika Internasional Ketiga (TIMMS). Khususnya,
siswa kelas 8 dari Indonesia memiliki hasil yang buruk untuk bidang kognitif seperti pemecahan masalah (Mullis
dkk., 2006). Pada program ujian internasional penilaian siswa (PISA) tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat
terakhir dari 40 negara baik dalam pelajaran matematika maupun bahasa. Selanjutnya, pada skala kemahiran dari
0 - 6 untuk matematika, lebih dari 50 persen siswa tidak mampu mencapai tingkat 1. Untuk membaca, hanya 31
persen yang mampu menyelesaikan sebagian besar dari tugas-tugas pokok membaca. Para siswa dari Indonesia
memiliki kemampuan yang lebih rendah daripada negara lain bahkan setelah memperhitungkan status sosioekonomi
keluarga. Temuan ini menunjukkan bahwa sistem persekolahan mengalami defsiensi, dan bukan karena siswa berasal
dari latar belakang keluarga miskin (EFA Global Monitoring Laporan 2005). Akan tetapi, pada saat yang sama, perlu
dicatat bahwa pada dasarnya ujian PISA diperuntukkan bagi negara maju dan negara berpenghasilan menengah,
dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki penghasilan dengan kategori rendah-menengah pada
kelompok tersebut.
Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan
matematika menurut Tes Standar Internasional
PISA
250
300
350
400
450
500
550
600
Brazil
Indonesia
Mexico
Thailand
Yunani
Port ugal
Federasi Rusia
Spanyol
Polandia
Korea
Jepang
Hong Kong- China
Membaca thn 2000
Membaca thn 2003
Matematika thn 2000
Matematika thn 2003
Sumber: OECD, 2003.
Kecenderungan skor Indonesia pada ujian internasional
menunjukkan sedikit peningkatan. Indonesia
berpartisipasi pada PISA selama dua ronde berturut-
turut pada 2000 dan 2003. Sementara siswa Indonesia
masih tetap ketinggalan dibandingkan dengan negara lain,
namun mereka telah menunjukkan peningkatan kinerja
dalam keterampilan membaca dan matematika selama
kurun waktu tersebut (Diagram 3.10).

Mutu pendidikan yang begitu rendah mengundang
pertanyaan tentang kesesuaian sistem pendidikan di
tingkat sekolah menengah dalam kaitannya dengan
tingkat pengembalian sosial, kesiapan bekerja serta
prospek pendapatan. Rendahnya mutu pendidikan
merupakan masalah besar terutama bagi siswa yang migrasi
dari daerah pedesaan yang miskin ke wilayah perkotaan.
52 Perkiraan ini tidak termasuk tunjangan kabupaten/kota dan sekolah yang kadang-kadang juga diberikan untuk guru.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
50
BAB 3 Sektor Pendidikan
Walaupun, terdapat (trade of) dalam hal alokasi sumber dana untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, tapi
investasi dalam mutu pengajaran untuk menaikkan tingkat pengembalian sosial dalam sektor pendidikan. Kinerja
yang rendah dari sistem pendidikan Indonesia berdasarkan peringkat internasional memberikan kesan bahwa sistem
pendidikan yang ada sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan belum memberikan
tingkat pengembalian sosial yang maksimal atas investasi yang dilakukan pada sektor ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
51
BAB 3 Sektor Pendidikan
Rekomendasi Kebijakan
Menentukan tingkat pengeluaran pendidikan yang memadai
Dengan membandingkan pengeluaran untuk sektor pendidikan secara internasional, pengeluaran Indonesia
relatif lebih kecil daripada pengeluaran pendidikan negara tetangga di Asia Timur, akan tetapi mendekati
pengeluaran negara-negara berkembang lainnya. Dengan meningkatnya ruang gerak fskal, pengeluaran untuk
sektor pendidikan di Indonesia akan mengalami peningkatan sekurang-kurangnya 17 persen dari keseluruhan
anggaran. Indikator yang dianalisis di dalam laporan ini adalah pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi
produk domestik bruto (PDB) dan pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari total pengeluaran dan
pengeluaran yang disesuaikan dengan daya beli di berbagai tingkat pendidikan. Menurut indikator ini, kecenderungan
pengeluaran Indonesia hanya sedikit lebih rendah daripada negara berkembang, bahkan di antara negara-negara
yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Tingkat pengeluaran Indonesia
untuk sektor pendidikan bagaimanapun juga meningkat. Kecenderungan pengeluaran dan proyeksi anggaran
menunjukkan peningkatan, artinya pemerintah sudah memenuhi komitmen untuk memperbaiki layanan masyarakat.
Berdasarkan perkiraan yang sudah memperhitungkan beberapa faktor penentu dalam alokasi pengeluaran sektor
pendidikan,
53
tingkat pengeluaran pendidikan Indonesia (pada 2000) diharapkan menjadi setidaknya 17 persen dari
keseluruhan anggaran. Dengan ruang gerak fskal yang semakin membaik, tingkat pengeluaran saat ini diharapkan
setidaknya mencapai angka 17 persen.
Penafsiran yang berkembang sekarang mengenai ketentuan anggaran sebesar 20 persen di luar gaji
guru menurut UU Pendidikan adalah hal yang tidak realistis baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan
mengikuti ketentuan 20 persen tersebut sesuai ketentuan UU pendidikan akan memberikan arti bahwa:
Di daerah: Peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar Rp 21 triliun. Dengan melakukan hal tersebut
akan meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan menjadi sekitar 45 persen dari total anggaran daerah
(APBD). Hal ini secara politik akan menimbulkan masalah dan secara ekonomi hal itu tidak mungkin dapat
dilaksanakan karena akan mengurangi pengeluaran untuk sektor lain (kesehatan, infrastruktur) di tingkat
kabupaten/kota.
Di tingkat pusat: Dengan anggaran pendidikan sekitar Rp 46 triliun (2006), atau 9,4 persen dari anggaran
pemerintah pusat (APBN), penentuan alokasi tambahan anggaran sebesar Rp 59 triliun akan diperlukan untuk
memenuhi ketentuan dalam UU tersebut. Perhitungan ini hanya satu dari begitu banyak hal yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pendidikan dengan menafsirkan ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang. Akan tetapi, kebanyakan dari perhitungan ini disampaikan pada suatu kesimpulan,
yang mana bahwa di tingkat pusat, pengeluaran untuk sektor pendidikan perlu dilipatduakan. Peningkatan
sumber dana yang begitu besar di tingkat pusat bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi
karena yang terjadi adalah peningkatan peran pusat di daerah dalam hal pengambilan keputusan kebijakan,
sementara itu mengurangi ruang gerak fskal dan wewenang pengambilan keputusan pemerintah daerah.
Dengan adanya implikasi-implikasi seperti yang disebutkan diatas dan fakta bahwa hanya klausul diluar gaji
ditambahkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sedangkan hal ini tidak ditentukan di
dalam UUD, pemerintah semestinya bertindak bijaksana untuk kembali mempertimbangkan atas defnisinya.
Penafsiran atas ketentuan 20 persen termasuk pengeluaran untuk gaji kelihatannya akan lebih realistis.
Memperbaiki struktur pengeluaran
Karena angka partisipasi sekolah di tingkat sekolah dasar telah mendekati angka 100 persen, fokus di
tingkat ini harus diarahkan pada investasi untuk infrastruktur pendidikan dan mutu masukan lainnya seperti
ruang kelas, mutu pendidikan guru yang masih jauh dari kategori memuaskan. Indonesia hampir mencapai
angka partisipasi sekolah penuh untuk pendidikan dasar. Jadi, di tingkat sekolah dasar, kebutuhan terhadap akses
pendidikan perlu ditingkatkan di beberapa wilayah terpencil. Namun demikian, angka partisipasi sekolah sebesar 100
persen mungkin tidak akan berkontribusi terhadap pengurangan pertumbuhan angka kemiskinan dan pertumbuhan
apabila mutu pendidikan dasar rendah. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan guru-
guru yang tidak memenuhi persyaratan minimal untuk menjadi guru. Struktur pengeluaran dari berbagai program
perlu diubah untuk menjaring berbagai masukan (inputs) yang berkualitas.
53 Termasuk seluruh penduduk, kepadatan penduduk, PDB per kapita, tingkat desentralisasi fskal dan keseimbangan anggaran.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
52
BAB 3 Sektor Pendidikan
Penentuan alokasi tambahan terhadap sumber daya pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama
dan lanjutan akan memberikan nilai pengembalian sosial yang tinggi. Sementara mutu pendidikan dasar masih
merupakan permasalahan yang memerlukan tingkat investasi yang serius, pemerintah harus mempertimbangkan
pendidikan menengah sebagai prioritas lanjutan. Menurut analisis komposisi pengeluaran untuk sektor pendidikan dan
estimasi tingkat pengembalian sosial terhadap pendidikan, tambahan sumber dana paling baik jika dialokasikan pada
tingkat pendidikan menengah pertama dan lanjutan, karena memiliki dampak pengembalian sosial yang tertinggi. Di
samping itu, analisis komposisi fungsional terhadap anggaran menunjukkan bahwa pemerintah pusat saat ini sedang
mengalokasikan sebagian besar sumber dana untuk program pendidikan dasar dan tinggi. Pemerintah mungkin perlu
mempertimbangkan kembali distribusi pengeluaran tersebut. Selanjutnya, berdasarkan angka partisipasi sekolah di
seluruh jenjang pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah harus meningkatkan akses dan menurunkan angka
putus sekolah untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan atas. Walaupun kedua masalah pendidikan tersebut
merupakan masalah umum di Indonesia, tetapi masyarakat miskinlah yang paling mungkin mengalami.
Membuat pengeluaran untuk sektor pendidikan lebih merata
Perbedaan daerah dalam akses dan kualitas antar daerah harus dikurangi dengan menentukan sasaran
lokal. Analisis mengenai angka partisipasi sekolah memberikan indikasi perbedaan akses dan mutu yang begitu luas
terhadap pendidikan di Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana pendidikan yang memadai bagi
kabupaten/kota dan provinsi yang tertinggal agar mereka dapat mengejar ketertinggalannya. Pemerintah daerah
yang lebih miskin cenderung menggunakan anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan. Akan tetapi, tingkat
pengeluaran absolut mereka masih rendah. Transfer dana dari pemerintah pusat akan dapat menjamin pemerataan
yang lebih besar terhadap akses layanan pendidikan. Transfer Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat lebih ditingkatkan
atau disesuaikan dengan kemiskinan yang misalnya melalui akses terhadap pendidikan.
Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan perkembangan yang penting dalam pendanaan
sektor pendidikan dan juga merupakan instrumen yang penting untuk meningkatkan keterjangkauan
walaupun sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditingkatkan. Jika pemerintah terus mengalokasikan dana
bantuan BOS (yang saat ini berjumlah sekitar 12 persen dari total konsolidasi anggaran pendidikan ) untuk sekolah,
maka kita perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :
Walaupun pengiriman dana secara langsung kepada sekolah dapat mengurangi tingkat kebocoran
anggaran, masih diperlukan pemantauan dan penelusuran arus keuangan untuk mencegah kemungkinan
penyalahgunaan dan alokasi yang tidak pada tempatnya dari dana ini.
Mekanisme alokasi yang tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota akan mengakibatkan
terjadinya re-sentralisasi pengeluaran dengan.
Karena besarnya dana bantuan BOS ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah memiliki intensif untuk
menggelembungkan jumlah siswa jika tidak ada mekanisme kontrol yang memadai.
Program tersebut tidak memberikan petunjuk untuk mengukur kinerja atau transparansi anggaran kepada
sekolah. Dengan demikian, sulit untuk mengukur dampak yang sebenarnya dari program tersebut terhadap
besarnya uang sekolah dan mutu pengajaran.
Upaya untuk menjamin pemerataan akses kepada pendidikan merupakan isu utama di tingkat sekolah
menengah dan pendidikan tinggi. Upaya untuk menangani hal ini seharusnya ditingkatkan. Pemerintah seharusnya
berfokus pada peningkatan penerimaan siswa yang berasal dari keluarga miskin terutama di tingkat pendidikan
sekolah menengah pertama, yang memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi sekolah yang
rendah. Program dengan target yang lebih jelas seharusnya bertujuan untuk menanggulangi isu-isu tersebut dari
dua sisi:
Sisi permintaan, dengan mengurangi tingkat pengeluaran dari pihak keluarga atau meminjamkan pendapatan
yang hilang melalui mekanisme tertentu seperti transfer tunai.
Sisi penawaran, dengan menanggulangi potensi kurangnya investasi infrastruktur pendidikan, yang berfokus
pada sekolah menengah, melalui pembangunan gedung baru dan peningkatan input untuk perbaikan
mutu.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
53
BAB 3 Sektor Pendidikan
Meningkatkan efsiensi pengeluaran untuk sektor pendidikan
Untuk menanggulangi distribusi guru yang tidak merata, perlu dilakukan re-evaluasi terhadap kebijakan
penerimaan pegawai, terutama yang berkaitan dengan formula penempatan saat ini, serta kebijakan yang
terkait dengan perpindahan staf atau guru dan penempatan guru di wilayah-wilayah terpencil. Potensi
pilihan yang ada untuk penentuan tenaga sekolah di masa yang akan datang adalah menentukan jumlah guru setiap
sekolah berdasarkan jumlah siswa dan bukan pada jumlah kelas. Dengan mempertimbangkan sekolah-sekolah yang
lebih kecil, kebijakan ini seharusnya diikuti oleh feksibilitas yang lebih luas mengenai mata pelajaran yang harus
diajarkan guru. Selanjutnya, layanan pengajaran merupakan bagian dari layanan masyarakat secara nasional. Oleh
karena itu, pemerintah perlu untuk menyediakan tidak hanya perpindahan guru antarsekolah dalam satu kabupaten/
kota tetapi juga antara satu kabupaten/kota atau provinsi dengan yang lain. Pada akhirnya nanti, perlu juga untuk
melakukan peninjauan sistem pengadaan guru yang ada sekarang untuk memastikan feksibilitas dukungan
kebijakan yang dapat meningkatkan akses, pemerataan, dan mutu. Akhirnya, Indonesia telah memiliki kebijakan atas
layanan kebutuhan guru di wilayah-wilayah terpencil. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi sekarang adalah
menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan tersebut. UU guru yang baru sebagian
menimbulkan masalah karena UU menjamin penyediaan tambahan tunjangan pendanaan untuk guru yang bekerja
di wilayah-wilayah terpencil.
Kelebihan guru secara keseluruhan berdampak besar dan berkelanjutan terhadap efektivitas biaya dalam
sistem pendidikan Indonesia. Pengurangan jumlah guru akan menambah penyediaan dana yang dapat digunakan
untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan sekarang ini. Akan tetapi, kelebihan guru seperti itu merupakan
masalah lokal dan dapat diatasi sebagian dengan menyediakan tunjangan lokal dengan mencantumkannya di
dalam UU guru yang baru. Di samping itu, kelebihan guru dalam beberapa hal merupakan konsekuensi dari adanya
kenyataan bahwa banyak guru bantu yang bekerja di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memiliki tingkat
kehadiran yang tinggi. Namun demikian, total kelebihan guru menunjukkan adanya beban biaya sekitar 10 persen
dari total anggaran. Beban ini akan bertambah buruk sebagai akibat dari ketentuan UU yang melipatduakan gaji
pokok guru. Pilihannya adalah mengurangi jumlah guru dengan tujuan memperbaiki mutu pendidikan. Tergantung
pada skala pengurangan tersebut, sejumlah dana dapat digunakan untuk mendukung peningkatan gaji dan
tunjangan. Sementara pelaksanaan kebijakan pemindahan guru akan lebih meratakan distribusi guru, upaya untuk
mengurangi dampak akibat kelebihan guru mungkin akan menjadi tantangan terbesar sistem pendidikan Indonesia
saat ini. Dengan adanya fakta bahwa para guru berada pada jajaran layanan masyarakat, ada sedikit opsi selain
memperlambat atau membayar akibat dampak pengurangan tersebut. Pilihan yang kedua ini memiliki implikasi
jangka pendek terhadap anggaran. Strategi tambahan penting lainnya yang mungkin dilakukan adalah mengurangi
jumlah penerimaan mahasiswa keguruan di lembaga pendidikan.
Untuk menjamin bahwa guru terdorong untuk memperoleh kualifkasi yang benar dan memadai, maka gaji
guru perlu disesuaikan dengan kualifkasi mereka. Gaji guru biasanya masih dianggap lebih rendah dibandingkan
dengan pekerja lain dan PNS lainnya dengan tingkat pendidikan yang sama. Analisis berdasarkan pendapatan per
jam, ternyata pendapatan guru memang lebih kecil dibandingkan dengan PNS yang bertugas pada bidang non-
keguruan. Selanjutnya, masih terdapat disparitas wilayah yang begitu luas dalam hal tingkat upah untuk guru
yang akan mempersulit pelaksanaan re-distribusi tenaga kependidikan. UU keguruan yang baru memperkenalkan
kebijakan untuk menanggulangi isu-isu semacam ini dengan menghubungkan peningkatan gaji pokok untuk guru
sesuai dengan kualifkasi dan kinerja yang baik. Di samping itu, penyediaan tunjangan untuk guru yang bertugas di
wilayah terpencil akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan upah lokal dan peningkatan distribusi guru.
Peningkatan gaji guru setelah proses sertifkasi tampaknya dapat dimengerti. Akan tetapi, jika peningkatan ini
menyebabkan pengurangan anggaran inti lainnya untuk sektor pendidikan, hal ini dapat berdampak negatif terhadap
keluaran pendidikan. UU keguruan yang baru secara substansial mempengaruhi anggaran pendidikan. Dengan
adanya berbagai jenis tunjangan baru untuk kurun waktu lima tahun ke depan, hal ini akan berpengaruh terhadap
anggaran pendidikan nasional yang ada sekarang. Besarnya dampak keuangan terhadap peningkatan pembayaran
tunjangan dapat dikurangi jika mampu secara bersamaan menurunkan tingkat kelebihan guru di Indonesia dan
mengurangi jumlah guru bantu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
54
BAB 3 Sektor Pendidikan
BAB 4
Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
56
BAB 4 Sektor Kesehatan
Temuan Pokok
Secara umum, pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia masih rendah namun analisis pengeluaran
publik menunjukkan bahwa masalah utama dalam sektor kesehatan adalah alokasi sumber daya yang tidak
merata dan tidak efsien.
Saat ini, pengeluaran sektor publik melalui subsidi regresif layanan kesehatan sekunder pada
dasarnya lebih banyak menguntungkan masyarakat kaya daripada masyarakat miskin. Hal ini
dikarenakan penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap layanan rumah sakit umum,
sehingga mereka tidak mampu memanfaatkan anggaran yang telah disalurkan untuk layanan kesehatan
yang bersifat sekunder.
Peranan sektor swasta dalam sistem layanan kesehatan Indonesia telah tumbuh secara dramatis
selama satu dasawarsa belakangan ini. Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan sudah terlibat
dalam pemberian layanan kesehatan baik untuk publik maupun swasta. Meskipun sudah terdapat kemajuan
dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, akses terhadap layanan dan kualitas layanan masih rendah,
dan masyarakat miskin masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta.
Jumlah relatif dokter dan perawat sebagai proporsi dari jumlah penduduk di Indonesia masih rendah
bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Rata-rata jumlah dokter dan
perawat di tingkat nasional mencakup angka disparitas yang cukup besar terkaitan dengan penyediaan
tenaga kesehatan di daerah, meskipun belum tentu didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah.
Rekomendasi Utama
Pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih besar
kepada sektor kesehatan, karena total pengeluaran nasional jauh lebih rendah bila dibandingkan
dengan pengeluaran di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Saat ini Indonesia masih
menggunakan kurang dari sepertiga anggaran sektor kesehatan yang telah digunakan Filipina, negara yang
berada di urutan kedua terendah dalam pengeluaran kesehatan untuk kawasan Asia Tenggara. Namun
demikian, fokus pertama sebaiknya diarahkan pada efsiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan
sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor kesehatan.
Kesenjangan harus dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki
kualitas layanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Hal ini dapat ditempuh dengan meningkatkan
alokasi DAK dengan sasaran kabupaten/kota yang miskin dan kurang mendapatkan layanan, dan investasi
pada sisi permintaan, misalnya dengan memperkenalkan program kupon kesehatan, yang dapat
meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.

Prioritas sebaiknya diarahkan untuk melakukan identifkasi terhadap berbagai komnbinasi investasi
yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban ganda
penyakit (penyakit menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai berbagai penyakit baru
(seperti HIV/AIDS dan fu burung).
Sektor publik harus memainkan peran yang lebih besar dalam mengarahkan sistem kesehatan
secara keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia kesehatan sektor
swasta. Hal ini akan membantu dalam menjamin kualitas layanan kesehatan swasta.
Pemerintah perlu melakukan identifkasi untuk menentukan kombinasi yang benar dalam
pelaksanaan koordinasi dan penerapan ketentuan yang menjamin pemerataan distribusi layanan
kesehatan beserta sumbr daya manusianya terutama dokter, sehingga efsiensi investasi untuk tenaga
kesehatan dapat ditingkatkan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
57
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kemajuan dan Tantangan pada Sektor Kesehatan
Meningkatkan kesehatan publik merupakan tantangan bagi pemerintah pusat dalam pembangunan ekonomi
Indonesia. Tingkat kesehatan yang lebih baik bukan saja merupakan dimensi kunci keberhasilan penurunan angka
kemiskinan, namun juga merupakan faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Berjangkitnya suatu penyakit dan tingkat
kesehatan yang buruk sebagian besar terjadi pada penduduk miskin, hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan yang
mengakibatkan mereka tidak mampu mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, walaupun sebenarnya
penyembuhan terhadap masalah kesehatan mereka sudah tersedia. Sebagai contoh, penyebab utama dari kematian
bayi adalah penyakit gangguan pernafasan, tifus, dan diare. Penyakit-penyakit seperti ini dapat disembuhkan dengan
mudah, oleh karena itu akses terhadap layanan kesehatan ini sebaiknya tersedia luas. Peningkatan kinerja layanan
kesehatan merupakan faktor terpenting untuk mendorong perbaikan kualitas kesehatan publik khususnya bagi
penduduk miskin.
Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi masalah kesalingterkaitan (nexus) antara kesehatan dan
kemiskinan dengan memfokuskan agenda mereka pada sejumlah isu utama. Hal ini meliputi (i) peningkatan akses
terhadap layanan kesehatan bagi kelompok penduduk yang kurang beruntung, (ii) pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular, (iii) penanggulangan masalah gizi buruk dengan fokus pada anak balita dan wanita hamil, dan (iv)
perbaikan pengadaan stok obat-obatan generik (RPJM RKP, 2006). Perkembangan dalam rangka pencapaian tujuan ini
dipantau melalui 12 target spesifk yang harus tercapai pada tahun 2007 (Kotak 4.1).
Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan, 2007
Layanan kesehatan gratis di Puskesmas dan layanan Kelas 3 di rumah sakit 100 persen untuk keluarga miskin.
Imunisasi Anak Universal (UCI) menjangkau 92 persen lebih tinggi di desa.
Angka persentase deteksi kasus TBC di atas 70 persen.
100 persen penderita demam berdarah (DBD) menerima perawatan.
100 persen pasien malaria menerima perawatan.
Angka persentase fatalitas kasus diare selama KLB (peristiwa luar biasa) menurun sampai 1,3 persen.
100 persen orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) menerima perawatan ARV.
85 persen wanita hamil mengkonsumsi tablet Fe.
60 persen bayi menerima ASI eksklusif.
Peningkatan persentase anak balita yang mengkonsumsi Vitamin A mencapai 80 persen.
Peningkatan persentase distribusi produk makanan yang memenuhi persyaratan keselamatan mencapai 70 persen.
Perluasan lingkup pemeriksaan fasilitas produksi dalam konteks produksi obat-obatan (CPOB) mencapai 45 persen
Sumber: Pemerintah Indonesia, RKP 2006,
Selama bertahun-tahun, tekad pemerintah untuk sektor kesehatan telah memberikan kemajuan yang cukup
besar dalam mengurangi angka kematian bayi dan anak. Misalnya, angka kematian bayi (IMR) turun dari 46 per
1.000 bayi pada tahun 1997 (IDHS 1997) menjadi 35 per 1.000 bayi pada tahun 2003 (IDHS 2002-03) dan Indonesia
sudah hampir mencapai target Tujuan Pembangunan Milenium (MDG)
54
untuk IMR (33 kematian untuk setiap 1.000
kelahiran sampai tahun 2015).
Penempatan bidan di berbagai daerah mendorong terjadinya perbaikan gizi anak pada akhir tahun 1990-
an, tetapi akhir-akhir ini angka persentase gizi buruk kembali meningkat. Pada tahun 1990-an, sebanyak 50.000
bidan ditugaskan di seluruh Indonesia untuk meningkatkan akses terhadap layanan kebidanan. Para bidan ini memiliki
dampak positif yang cukup besar terhadap status gizi anak-anak. Anak-anak yang lahir di desa dengan bantuan bidan
rata-rata mengalami masalah gizi buruk lebih ringan daripada anak-anak desa yang lahir tanpa bantuan bidan.
55

Walaupun prestasi ini sudah dicapai, namun masalah gizi buruk muncul kembali antara tahun 2002 dan 2003 karena
alasan yang belum diketahui.
56

54 Target MDG untuk menurunkan angka kematian anak diukur dengan tiga indikator, yaitu: (i) angka kematian balita; (ii) persentase anak-anak
di bawah satu tahun yang memperoleh imunisasi campak, dan, (iii) angka kematian bayi. Pada angka persentase kematian bayi, angka ini perlu
diturunkan sebesar dua per tiga antara tahun 1990 dan 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Laporan tentang MDG, 2004).
55 Frankenberg, 2004.
56 Abreu, 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
58
BAB 4 Sektor Kesehatan
Dengan tren yang ada saat ini dan lemahnya peran pemerintah di bidang kesehatan ibu hamil (maternal
health), Indonesia sepertinya tidak akan berhasil mencapai standar MDG untuk penurunan angka kematian
ibu di masa persalinan atau sesudahnya (maternal mortality).
57
Angka kematian ibu hamil ini belum mengalami
perubahan sejak dulu. Risiko kematian selama masa persalinan atau pasca persalinan masih cukup tinggi untuk
Indonesia dengan rasio angka kematian (mortality rate) sebesar 307 per 100.000 kelahiran.
58
Ini menunjukkan bahwa
perempuan yang memiliki empat anak akan memiliki nilai probabilitas persentase angka kematian sebesar 1,23 persen
sebagai akibat dari kehamilan mereka. Indonesia bahkan merupakan negara yang cukup memprihatinkan jika ingin
membandingkan angka kematian ibu hamil karena angka kematian ibu hamil di Indonesia enam kali lebih tinggi
daripada di Cina (50) dan 10 dan 15 kali lebih tinggi masing-masing dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia (36
dan 20). (Tabel 4.1).
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia memiliki kondisi yang buruk berdasarkan atas angka
pengukuran tingkat kesehatan yang paling mendasar sekali pun. Misalnya, dalam hal angka kematian dan usia
harapan hidup, peringkat Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia Timur dan masih berada di peringkat
yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga (terutama Malaysia) dengan angka perbedaan yang
cukup besar. Indonesia juga terus-menerus menduduki peringkat paling bawah untuk pemberian vaksinasi campak
di kawasan Asia Tenggara, yang menunjukkan adanya kelemahan dalam tindakan pencegahan. Situasi ini semakin
memburuk terutama akibat krisis ekonomi dengan angka persentase vaksinasi yang menurun dari 80 persen menjadi
70 persen pada tahun 2001. Angka persentase ini sekarang sudah stabil pada angka sekitar 73 persen, sebuah angka
yang sangat rendah dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Perbedaan dalam hasil pelayanan ini akan
stabil meski telah diperhitungkan dengan angka PDB per kapita. Vietnam, walaupun memiliki PDB yang lebih rendah,
memiliki nilai yang lebih baik pada hasil pelayanan lain, sementara Filipina, dengan PDB sedikit lebih tinggi memiliki
peringkat yang lebih baik untuk segala bentuk pelayanan (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan, 2004
PDB per
kapita
(AS$)
Usia harapan
hidup
(tahun)
Angka
kematian
kasar
Angka
Kematian
Bayi
Angka
Kematian
Balita
Angka DPT Campak
Angka
Kema-
tian Ibu
Hamil
Persalinan dgn.
Bantuan petugas
kesehatan terlatih
Indonesia 906 67.4 7.3 34.7* 45.7* 70 72 307* 72
Kamboja 350 56.6 11 95* 124.4* 85 80 437* 31.8*
Malaysia 4,290 73.5 4.7 10.2 12.4 99 95 20** 97
Vietnam 502 70.3 6.1 23.6* 66.7* 96 97 95 90
Thailand 2,356 70.5 7.2 18.2 21.2 98 96 36 Na
Filipina 1,085 70.8 5 28.7* 39.9* 79 80 172** 60
India 538 63.5 8.3 61.6 85.2 64 56 540 Na
China 1,323 71.4 6.4 26 31 91 84 50 96
Asia Timur 1,254 70.3 6.6 29.2 36.8 86.6 82.5 Na 86.1
Sumber: WDI, UNDP dan DHS.
Catatan: IMR: Angka Kematian Bayi; U5MR: Angka Kematian Balita; MMR: Angka Kematian Ibu Hamil. Untuk Perkiraan dengan * sumber untuk
perkiraan dengan ** sumber data data adalah DHS adalah UNDP. Data mengenai Nagka Kematian Ibu yang terbaru yang tersedia adalah data
untuk 2003 (World Bank 2006g). Data mengenai jumlah persalina yang dibatu tenaga kesehatan terlatih tersedia untuk tahun 2003-2004.
57 Tujuan Pembangunan Milenium untuk Kesehatan Ibu menunjukkan bahwa negara seharusnya mampu mengurangi rasio angka kematian ibu
hamil sampai tiga perempat. Lihat: http://www.un.org/millenniumgoals/.
Walaupun MMR tampaknya menurun, perkiraan tidak cukup dapat dipercaya untuk mengatakan hal ini secara pasti. Perkiraan data MMR pada
periode tahun 1990-94 adalah 390/100.000, untuk periode tahun 1994-98 adalah 334/100.000, dan untuk periode tahun1998-2002 adalah
307/100.000. Tetapi akibat kesalahan sampel yang tinggi sekitar 95 persen, interval keyakinan ketiga perkiraan itu menjadi tumpang tindih. Masih
terdapat tingkap tumpang tindih sebesar 67 persen interval. Hal ini mungkin akan menunjukkan penurunan dramatis, peningkatan atau tidak ada
perubahan sama sekali.
Akan tetapi, penurunan ini sepertinya tidak menunjukkan peningkatan mengingat peningkatan proksi MMR peningkatan jumlah bidan terlatih,
penurunan anemia pada ibu, dan peningkatan lembaga persalinan. Penurunan yang tajam sepertinya tidak akan terjadi mengingat mengingat
tingginya angka persalinan yang dilakukan di rumah.
58 Perkiraan ini berasal dari Survei Demograf dan Kesehatan Indonesia tahun 2002 (IDHS) dan berdasarkan laporan kematian selama periode
tahun 1998 - 2002.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
59
BAB 4 Sektor Kesehatan
Angka kematian balita di Indonesia telah menurun, tetapi angka itu masih tinggi dibandingkan dengan
sebagian negara di Asia, di rasio angka 46 per 1.000. Selanjutnya, angka kematian balita pada penduduk miskin
hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian balita pada penduduk kaya.
Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita, 2004
12
18,2
26
28,7
34,7
23,6
61,6
95
39,9
66,7
124,4
85,2
45,7
14,1
31
21,2
0
20
40
60
80
100
120
140
Sri Lanka Thailand China Filiphina Indonesia Vietnam India Kamboja
Angka kematian, bayi (per 1,000 kelahiran hidup) Angka Kematian, Balita (per 1,000)
Source: WDI, DHS and UNDP.
Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada 2005
Pada bulan Maret 2005, seorang bayi berumur 20 bulan dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tiba-tiba lumpuh sebagai
akibat dari infeksi virus polio. Sejak Maret 2005, sejumlah 303 anak-anak telah lumpuh akibat penyebaran virus polio di
Indonesia. Berdasarkan data statistik, daerah cakupan imunisasi untuk bayi masih tetap tinggi, tetapi hal ini telah menutup
kantong-kantong yang memiliki daerah cakupan yang rendah. Akan tetapi, Survei Demograf dan Kesehatan Indonesia
menunjukkan bahwa angka persentase imunisasi jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan dalam data statistik Dinas
Kesehatan. Penurunan secara umum dari daerah cakupan imunisasi (termasuk polio) sebagai akibat dari pelaksanaan sistem
desentralisasi merupakan penyebab utama dari kembalinya kasus polio di Indonesia.
Tanggapan:
Dua kampanye vaksinasi dan tiga putaran Hari Imunisasi Nasional (NID) telah dimulai pada bulan Mei 2005. Putaran terakhir
dilaksanakan pada November 2005. Karena juga terdeteksi virus ganas yang baru pada waktu itu, program imunisasi khusus
dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2006 di 57 kabupaten/kota, dengan target sebanyak 4,5 juta anak balita, program
imunisasi keempat dan lima dilaksanakan pada bulan Februari dan April 2006.
Tantangan bagi Pemerintah:
1. Meningkatkan dan mempertahankan daerah cakupan imunisasi secara umum dan melakukan observasi mengenai
indikator utama penyebab polio.
2. Meningkatkan kecermatan data statistik untuk mencerminkan daerah cakupan yang sebenarnya sehingga daerah-
daerah yang memerlukan upaya lebih keras dapat diidentifkasi.
Source: Unicef, 2005.
Data nasional menutupi keragaman rasio angka hasil pelayanan kesehatan yang tersebar di setiap daerah.
Misalnya, penduduk miskin di Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat memiliki angka kematian pasca persalinan
(post-neonatal) yang besarnya lima kali lebih tinggi daripada provinsi-provinsi yang paling berhasil di Indonesia.
Ketidakseimbangan rasio angka kematian balita serupa juga terjadi di beberapa wilayah. Sebagian besar provinsi
menunjukkan angka yang lebih rendah, atau hanya sedikit lebih tinggi dari 40 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran,
hanya sembilan provinsi yang memiliki tingkat di atas 60. Bahkan tingginya angka kematian balita untuk Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo mencapai sekitar 90 sampai 100 (Diagram 4.2).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
60
BAB 4 Sektor Kesehatan
Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03
0
20
40
60
80
100
120
i
l
a
B
y
g
o
Y
k
a
r
a
a
t
a
l
u
S
s
w
e
i

U
t
a
r
a
K
D
a
I
J
a
k
t
r
a
J
a
w
a

T
e
n
g
a
h
k
g
n
a
B
a
t
i
l
e
B
g
n
u
m
i
l
a
K
t
n
a
n

T
e
n
g
a
h
a
u
S
m
t
e
r
a

S
e
l
a
t
a
n
a
J
a
w
a

B
a
r
a
t
a
J
m
i
b
m
i
l
a
K
t
n
a
n

T
i
m
u
r
a
J
a
w
a

T
i
m
u
r
t
n
a
B
n
e
m
i
l
a
K
t
n
n

S
e
l
a
t
a
n
a
a
u
m
S
t
e
r
a

U
t
a
r
a
a
S
u
m
a
t
e
r
a

B
a
r
a
t
i
R
u
a
K
m
i l
a
t
n
a
n

B
a
r
a
t
a m
a
g
L
n
u
p
k
g
n
e
B
l
u
u
a
l u
S
w
s e
i

T
e
n
g
a
h
a
l
u
S
s
w
e
i

U
t
a
r
a
r
a
g
g
n
e
T

a
s
u
N
a

T
i
m
u
r
a
l
u
S
w
s
i

T
e
n
g
g
a
r
a
e
t
n
o
r
o
G
l
a
o
r
a
g
g
n
e
T

a
s
u
N
a

B
a
r
a
t
Kematian Bayi Kematian Balita
Sumber: 2002-03, Survei Demograf dan Kesehatan Indonesia.
Selama lebih dari satu dasawarsa, kasus-kasus penyakit yang memberatkan masyarakat telah bergeser,
yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa transisi epidemiologis. Sebagian besar penyakit
menular adalah penyakit-penyakit seperti tuberkulosis, infeksi akut saluran pernafasan, malaria, dan diare. Namun
demikian, penyakit tidak menular, terutama penyakit jantung kardiovaskuler, secara perlahan menggantikan posisi
penyakit menular tradisional sebagai penyebab kematian terbesar saat ini. Antara tahun 1992 dan 2001, total kematian
yang diakibatkan oleh penyakit jantung kardiovaskuler telah meningkat sebesar 10 persen dari 16 menjadi 26,4 persen.
Infeksi akut saluran pernafasan dan TBC merupakan penyebab kematian terbesar berikutnya (masing-masing 15 dan
11 persen) (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional dan Survei Kesehatan Nasional, 1992, 1995,
2001). Indonesia sedang menghadapi kasus-kasus penyakit berat yang telah meningkat dua kali lipat, sejalan dengan
pertumbuhan penduduk dan usia tua, sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan jenis layanan kesehatan
yang diperlukan di masa depan.

Di samping itu, Indonesia juga sedang menghadapi munculnya epidemi baru dengan munculnya kasus-
kasus penyakit seperti fu burung dan HIV/AIDS. Epidemi HIV/AIDS kini sedang berada di persimpangan jalan
seiring dengan meningkatnya pemerataan berjangkitnya epidemi ini di antara kelompok berisiko tinggi (mis., pekerja
seks dan pengguna narkoba suntik) dan populasi di Papua, sementara upaya untuk mencegah penularan penyakit
ini masih sangat terbatas. Sehubungan dengan kasus fu burung, data yang ada menunjukkan peningkatan jumlah
kasus dan korban. Oleh karena itu, upaya penanganan dan pencegahan sebaiknya ditingkatkan secara terpadu dan
terkoordinir. Secara keseluruhan, epidemi baru ini merupakan tantangan baru pada sektor kesehatan terkait dengan
kegiatan observasi penyakit, kontrol, dan imunisasi.
Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia
Pengeluaran publik pada sektor kesehatan telah meningkat cukuo besar sejak tahun 2001,
62
dari Rp 9,3 triliun
menjadi Rp 16,7 triliun pada tahun 2004, yang merupakan peningkatan nyata sebesar 44 persen (Tabel 4.2). Selanjutnya,
alokasi anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan kenaikan sebesar 25 persen dibandingkan pengeluaran pada tahun
2005, ketika pengeluaran saat itu sekitar Rp 22 triliun. Dibandingkan dengan jumlah total pengeluaran secara nasional,
maka pengeluaran untuk sektor kesehatan juga meningkat dari 2,6 persen pada tahun 2001 menjadi 3,8 persen pada
tahun 2004. Akan tetapi, jika dilihat dari angka persentase dari PDB maka pengeluaran di sektor kesehatan masih
rendah karena hanya meningkat dari 0,55 persen menjadi 0,73 persen pada periode yang sama.

62 Sebelum krisis, pengeluaran untuk sektor kesehatan tidak mengalami peningkatan yang serupa dan dari tahun 1994 sampai tahun 2001 sektor
ini hanya tumbuh rata-rata 5 persen per tahun. Tren pengeluaran yang kita lihat sejak 2001 masih merupakan fenomena baru.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
61
BAB 4 Sektor Kesehatan
Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan di, 2001-07
(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Pengeluaran nominal tingkat nasional sektor kesehatan 9.3 10.6 16.0 16.7 22.0 31.5 38.6
Pengeluaran riil tingkat nasional sektor kesehatan (2001=100) 9.3 9.8 13.4 13.2 15.6 19.8 22.8
Tingkat pertumbuhan tahunan pengeluaran riil nasional sektor kesehatan (%) 28.1 2.7 41.4 -1.8 19.4 26.7 15.4
% pengeluaran sektor kesehatan dari Total Pengeluaran Nasional 2.6 3.1 4.0 3.8 4.1 4.5 4.9
% PDB pengeluaran nasional sektor kesehatan 0.55 0.57 0.78 0.73 0.81 0.95 1.09
Nominal pengeluaran keseluruhan secara nasional 353.6 337.6 405.4 445.3 535.8 698.2 785.4
Keseluruhan pengeluaran riil tingkat nasional (2001=100) 353.6 301.8 339.9 351.6 382.9 442.4 468.3
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD.
Catatan: * Angka-angka anggaran untuk 2006 dan ** perkiraan untuk 2007.

Diagram 4.3 Tren pengeluaran sektor kesehatan, 1997-2007
-
5
10
15
20
25
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
p

t
r
i
l
i
u
n
;

h
a
r
g
a

k
o
n
s
t
a
n

d
i

t
a
h
u
n

2
0
0
1
R
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
%

d
a
r
i

P
D
B
Pengeluaran Kesehatan Nasional Riil (100=2001) Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai % dari PDB
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan data dari DepKeu,
Perbandingan wilayah negara untuk tingkat pengeluaran di sektor kesehatan menunjukkan bahwa tingkat
pengeluaran Indonesia masih jauh di bawah tingkat pengeluaran negara-negara tetangga di Asia Timur,
dengan tingkat kurang dari 1 persen dari PDB dan hanya 4,5 persen dari jumlah total pengeluaran untuk
sektor kesehatan. Negara lain, bahkan negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah seperti Filipina
mengeluarkan sekitar 3 persen dari PDB mereka untuk kesehatan publik. Terkait dengan pengeluaran untuk sektor
ini sebagai bagian dari total pengeluaran, sekali lagi Indonesia tertinggal di belakang Filipina, di mana hampir
sebanyak 6 persen dari total sumber daya pemerintah dikeluarkan untuk sektor kesehatan. Angka-angka ini akan
lebih mengejutkan lagi ketika memperhitungkan angka kematian bayi. Indonesia memiliki angka kematian bayi yang
lebih tinggi untuk per 1.000 kelahiran, namun pengeluaran sangat kecil dibandingkan dengan negara yang memiliki
angka kematian lebih rendah.
63
Tingkat pengeluaran untuk kesehatan dan indikator kesehatan menunjukkan bahwa
Indonesia belum memberikan prioritas pengeluaran untuk sektor ini, atau belum memperoleh hasil yang dibutuhkan
untuk mencapai target MDG.
63 Banyak buku maupun jurnal belakangan ini, meskipun masih sangat terbatas, yang menunjukkan bukti-bukti adanya korelasi positif antara
pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan dan hasil pelayanan kesehatan seperti IMR dan MMR (lihat Gottret, Gai dan Bokhari, 2006). Akan
tetapi, sampai dengan saat ini hubungan itu tidak terbukti dan hilangnya hubungan itu dapat dijelaskan oleh adanya tiga faktor: (i) peningkatan
pengeluaran publik untuk sektor kesehatan mungkin akan menyebabkan penurunan tingkat pengeluaran swasta untuk sektor ini (sebuah
keluarga mungkin akan mengalihkan dana mereka untuk pengeluaran lain daripada untuk kesehatan jika pemerintah telah menyediakan layanan
kesehatan dasar yang bagus); (ii) peningkatan pengeluaran pemerintah dapat ditujukan pada upaya margin intensif daripada margin ekstensif;
dan (iii) bahkan jika dana tambahan digunakan untuk layanan kesehatan (penyediaan layanan, staf, dan barang keperluan yang lebih banyak), jika
layanan pelengkap (seperti jalan raya) tidak disediakan maka dampak yang timbul mungkin akan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali). (lihat
Musgrove 1996 untuk tinjauan sejumlah bukti; Wagstaf, 2002, untuk dampak dari layanan pelengkap; Jalal dan Ravallion, 2003, untuk penggunaan
peningkatan pengeluaran dalam sektor kesehatan; dan Anand dan Ravallion, 1993; Bidani dan Ravallion, 1997, Filmer dan Pritchett, 1999; dan
Wagstaf, 2004.)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
62
BAB 4 Sektor Kesehatan
Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR
0 . 7 3
0 . 9 5
3 . 2
3 . 8
4 . 5
5 . 9
3 . 8
3 . 3
6 . 9
13 . 6 34. 6
28. 7
10. 2
18. 2
0
2
4
6
8
1 0
1 2
1 4
1 6
I ndones i a 2004 I ndones i a 2006
(anggaran)
Filliphina Thailand Mal a y s i a
0
5
1 0
1 5
2 0
2 5
3 0
3 5
4 0
Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai persen dari PDB
Pengel uar an Kes ehat an Secar a Umum s ebagai % dar i Tot al Pengel uar an Pemer i nt ah
%

d
a
r
i

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

N
a
s
i
o
n
a
l

A
n
g
k
a

K
e
m
a
t
i
a
n

B
a
y
i
Sumber: Indikator Pembangunan Dunia 2006 dan Perhitungan staf Bank Dunia.
Komposisi ekonomi dan tingkat pemerintahan
Peningkatan pengeluaran publik secara keseluruhan untuk sektor kesehatan yang terjadi akhir-akhir
ini didorong secara ekslusif oleh pengeluaran pembangunan. Pengeluaran di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota tumbuh masing-masing sebesar 42, 36, dan 46 persen. Pengeluaran pembangunan meningkat tajam
setelah tahun 2001, sementara pengeluaran rutin secara absolut tetap sama; penurunan dalam jumlah kecil di tingkat
pemerintah pusat dan provinsi diimbangi dengan kenaikan di tingkat kabupaten/kota dan pengeluaran rutin bahkan
menurun dari total pengeluaran untuk setiap tingkat pemerintahan (Tabel 4.3). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kenaikan pengeluaran untuk sektor kesehatan semata-mata disebabkan oleh kenaikan dalam pengeluaran
pembangunan.
Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan
(Rp triliun) 2001 % 2002 % 2003 % 2004 % 2005* % 2006* %
Pemerintah Pusat 2.8 34 2.3 27 4.3 36 4.0 33 5.7 41 7.3 41
Pembangunan 2.1 74 2.0 84 4.0 92 3.5 89 -- -- -- --
Rutin 0.7 26 0.4 16 0.3 8 0.4 11 -- -- -- --
Provinsi 1.6 19 1.9 22 2.1 18 2.1 18 2.3 16 2.8 16
Pembangunan 0.5 33 0.7 39 1.1 52 1.2 58 -- -- -- --
Rutin 1.1 67 1.2 61 1.0 48 0.9 42 -- -- -- --
Kabupaten/kota 3.9 47 4.3 50 5.6 47 5.7 49 6.1 43 7.6 43
Pembangunan 1.1 28 1.1 25 2.2 39 2.2 39 -- -- -- --
Rutin 2.8 72 3.2 75 3.4 61 3.5 61 -- -- -- --
Total Pengeluaran di tingkat nasional 8.3 100 8.5 100 12.0 100 11.8 100 14.1 100 17.7 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
Catatan: * Pengeluaran provinsi dan Kabupaten/kota berdasarkan transfer dana pendapatan, juga diprediksi berdasarkan pengeluaran tahun
sebelumnya. Harga konstan tahun 2004.
Pada tahun 2004, sebagian besar sekitar 70 persen pengeluaran untuk sektor kesehatan dilakukan di daerah
dan kebanyakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten/kota pengeluaran berjumlah 73 persen
dari total pengeluaran, sementara pengeluaran untuk tingkat provinsi hanya berjumlah 27 persen. Pengeluaran di
setiap tingkat pemerintahan yang berbeda pada dasarnya tidak mengalami perubahan sejak pelaksanaan sistem
desentralisasi. Pemerintah kabupaten/kota menggunakan sekitar setengah dari seluruh pengeluaran untuk sektor
publik, sementara sepertiga digunakan oleh pemerintah pusat dan sisanya oleh pemerintah provinsi (lihat Tabel
4.3dan Diagram 4.5).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
63
BAB 4 Sektor Kesehatan
Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan
tingkat pemerintahan
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007*
p
R
m
i
l
i
a
r
Pengeluaran Kesehatan
Pemerintah Pusat
Pengeluaran Kesehatan
Pemerintah Daerah
Pengeluaran Kesehatan
Pemerintah Provinsi
Meskipun pemerintah kabupaten/kota
mengelola sekitar setengah dari total
anggaran, pengeluaran ini merupakan
pengeluaran rutin yang tidak dapat
digunakan sesukanya (non-discretionary).
Selanjutnya, walaupun pelaksanaan sistem
desentralisasi secara formal memindahkan
tanggung jawab kesehatan dari pemerintah
pusat ke daerah, namun sebagian besar
anggaran pembangunan masih secara
langsung digunakan oleh pemerintah pusat.
Sementara itu, sejak tahun 2001, pemerintah
kabupaten/kota hanya memperoleh sekitar
sepertiganya (Tabel 4.3). Hal ini tampaknya
cukup mengejutkan karena pemerintah
daerah hanya memiliki hak yang sangat kecil
untuk mengelola dana kesehatan warganya.
Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan pengeluaran pembangunan vs. pengeluaran rutin berdasarkan
tingkat pemerintahan
2001 (%) 2002 (%) 2003 (%) 2004 (%)
Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) 3.7 3.8 7.2 7.0
Pemerintah pusat 56 52 55 50
Provinsi 14 20 15 18
Kabupaten/kota 30 29 30 32
Total Pengeluaran rutin (Rp triliun) 4.6 4.7 4.8 4.8
Pusat 16 8 7 9
Provinsi 23 24 21 18
Kabupaten/kota 61 68 72 73
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.

Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan
penerimaan kabupaten/kota, tahun 2004
12
13
14
15
16
12 13 14 15 16
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n
(
o
l
,
g
c
p
)
Pendapatan Daerah(l og, pc)
Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota di sektor
kesehatan tampaknya akan ditentukan oleh total
penerimaan, dan bukan oleh kebutuhan di sektor
kesehatan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dapat
meningkatkan efsiensi pengalokasian pengeluaran
untuk sektor kesehatan, karena pemerintah kabupaten/
kota memiliki peluang untuk menyesuaikan layanan
dan pengeluaran agar lebih sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan penduduk setempat. Akan tetapi,
analisis pola pengeluaran kesehatan antar pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan hubungan
yang positif antara tingkat penerimaan dan
pengeluaran; makin tinggi pendapatan pemerintah
kabupaten/kota, makin tinggi pula tingkat
pengeluarannya. Hampir tidak ada perbedaan pada
tingkat pengeluaran kabupaten/kota di sektor
kesehatan, walaupun terdapat perbedaan yang cukup besar di tingkat provinsi untuk hasil pelayanan kesehatan.
Secara teoritis, kabupaten/kota memiliki wewenang untuk meningkatkan efsiensi pengalokasian pengeluaran di
sektor kesehatan. Akan tetapi, kenyataannya lembaga kesehatan dan pemerintah daerah sering menunggu petunjuk
dari pemerintah pusat tentang bagaimana mereka semestinya menggunakan berbagai sumber daya yang mereka
miliki tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
64
BAB 4 Sektor Kesehatan
Pengeluaran memang dapat meningkatkan hasil pelayanan kesehatan akan tetapi sama pentingnya adalah
untuk memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan kesehatan dan lembaga kesehatan. Dalam suatu penelitian
yang melibatkan 57 negara, Wagstaf dkk., menyimpulkan bahwa kualitas kebijakan dan lembaga kesehatan yang
diukur berdasarkan Indeks Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan (Country Policy and Institutional Assessment/
CPIA) sangat berpengaruh terhadap dampak peningkatan pengeluaran terhadap hasil pelayanan kesehatan. Untuk
negara yang memiliki skor rendah antara 1 atau 2, peningkatan hasil pelayanan kesehatan tidaklah besar. Untuk negara
seperti Indonesia dengan skor 3,6, peningkatan anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari PDB dapat mengurangi
MMR sampai 7 persen, sementara perubahan angka kematian balita, TBC, dan imunisasi tidak akan besar. Dukungan
lebih mendalam untuk melakukan perbaikan pada: (1) alokasi pengeluaran; (2) target geografs, proyek, populasi, dan
penargetan secara bottleneck, dan; (3) akuntabilitas penyedia layanan kesehatan, akan membantu meningkatkan
efsiensi pengeluaran, yang merupakan langkah awal bagi pengeluaran kesehatan untuk dapat berdampak positif
terhadap hasil pelayanan kesehatan.
Alokasi Ekonomi untuk pengeluaran sektor kesehatan
Sebagian besar pengeluaran rutin di tingkat daerah, terutama pengeluaran untuk gaji pegawai, makin lama
akan makin menggeser (crowded out) pengeluaran untuk pengadaan barang, pengeluaran operasional, dan
pemeliharaan (Tabel 1.5). Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi menggunakan pengeluaran rutin dalam jumlah
yang cukup besar untuk gaji pegawai yaitu masing-masing sekitar 82 dan 66 persen, dan sebagian besar dari sisa
anggaran dialokasikan untuk pengeluaran pengadaan barang. Akan tetapi, pengeluaran untuk pengadaan barang
telah menurun baik secara riil maupun secara nominal. Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pengadaan
barang menurun sampai 12 persen, sementara di tingkat provinsi pengeluaran untuk pengadaan barang menurun
hampir sepertiganya. Dengan melakukan analisis pengeluaran rutin berdasarkan klasifkasi ekonomi menunjukkan
bahwa baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi tidak mengalokasikan jumlah dana yang cukup
untuk pengeluaran operasional dan pemeliharaan. Hal ini menggambarkan rendahnya tingkat pemeliharaan dan
adanya permasalahan di bidang pengawasan yang memadai, terutama di tingkat masyarakat, tempat dilaksanakannya
kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan. Walaupun tingkat pengeluaran pemerintah daerah cukup
besar untuk sektor kesehatan, sebenarnya ruang gerak fskalnya sangat sempit dan sebagian besar pengeluaran rutin
mereka, yaitu sebesar 82 persen digunakan untuk pengeluaran gaji.
Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan
Kabupaten/kota Provinsi
2002 % 2003 % 2004 % 2002 % 2003 % 2004 %
Gaji 3,182 70 3,850 79 4,081 82 847 52 887 61 818 66
Barang 779 17 640 13 683 14 515 31 334 23 353 28
Kegiatan Operasional dan
Pemeliharaan
119 3 116 2 115 2 62 4 64 4 59 5
Perjalanan dinas 28 1 47 1 49 1 8 1 12 1 14 1
Lain-lain 421 9 215 4 56 1 207 13 147 10 5 0
Total Pengeluaran Rutin 4,528 100 4,869 100 4,984 100 1,639 100 1,444 100 1,248 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
Catatan: Angka dalam tabel selain persen, dalam Rp miliar. Harga konstan tahun 2004.
Alokasi fungsional terhadap pengeluaran
Berkaitan dengan alokasi fungsional pengeluaran sektor kesehatan, program yang memerlukan bagian
terbesar dari anggaran adalah program kesehatan publik dan program kesehatan perorangan atau
pribadi. Kedua program ini merupakan program kesehatan utama pemerintah pusat meskipun tidak banyak yang
dapat diketahui mengenai program tersebut. Biasanya, program kesehatan publik berfokus pada penyediaan pusat
kesehatan masyarakat dan klinik yang terkait lainnya, pembangunan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
Puskesmas keliling, dan bidan desa, sementara program kesehatan perorangan berfokus pada penyediaan layanan di
rumah sakit. Kedua program ini secara bersama-sama mencapai sekitar 50 persen dari program kesehatan pemerintah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
65
BAB 4 Sektor Kesehatan
pusat. Program penting lainnya terkait dengan manajemen dan administrasi. Program yang sifatnya upaya pencegahan
hanya berjumlah sekitar 12 persen dan program kebersihan dan sanitasi hanya sekitar 3,2 persen dari seluruh anggaran.
Program gizi dan pasokan obat-obatan hanya mencapai 4 persen dari anggaran kesehatan pemerintah pusat.

Sebagian besar dari berbagai program tersebut di atas diklasifkasikan sebagai intervensi kesehatan yang
bersifat preventif. Anggaran untuk peran pemerintah ini dibedakan dalam tiga kategori utama, yakni: penyembuhan,
pencegahan, dan operasional. Sebagian besar peran tersebut merupakan upaya pencegahan, walaupun di dalamnya
masih mengandung upaya penyembuhan, mengingat bahwa 20 persen anggaran peran pemerintah yang bersifat
upaya penyembuhan sepertinya masih dianggap rendah. Kedua peran pemerintah yang tergolong paling besar
ini yang ditujukan pada puskesmas dan rumah sakit tampaknya juga memiliki upaya penyembuhan: seperti yang
diuraikan dalam Strategi Pembangunan Pemerintah Jangka Menengah (RPJM 2004-09). Strategi ini memiliki komponen
sub-kunci yang terkait dengan pembangunan fasilitas untuk puskesmas, pemeliharaan fasilitas, serta pengadaan
instrumen dan kebutuhan sehari-hari kesehatan termasuk obat-obat generik.
64
Tabel 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 2006
Program (Rp miliar) Curative Pencegahan Operasional Total %
Promosi Kesehatan & Pemberdayaan penduduk -- 132 -- 132 1
Kebersihan & Sanitasi -- 433 -- 433 3
Kesehatan publik -- 2,465 -- 2,465 18
Kesehatan perorangan 2,649 1,697 -- 4,346 32
Pencegahan & Pengendalian Penyakit -- 1,620 -- 1,620 12
Gizi -- 582 -- 582 4
Sumber Daya Kesehatan -- -- 906 906 7
Obat-obatan & Suplai Obat -- -- 628 628 5
Manajemen & Kebijakan Kesehatan -- -- 1,126 1,126 8
Penelitian & Pengembangan -- -- 1,74 174 1
Meningkatkan dan Memantau Akuntabilitas -- -- 43 43 0
Manajemen Sumber Daya Manusia -- -- 27 27 0
Administrasi -- -- 1,026 1,026 8
Pelatihan -- -- 15 15 0
Total 2,649 6,928 3,946 13,524 100
% 20 51 29 100
Sumber: Bappenas, 2006.
Ketidakjelasan dalam penganggaran kesehatan pemerintah pusat menunjukkan perlunya merevisi ulang
penganggaran program kesehatan. Agar pemerintah mampu mengalokasikan pengeluaran yang bertujuan kepada
pelayanan dan hasil, maka sistem informasi kesehatan sebaiknya direvisi untuk menjamin pelaksanaan pemantauan
dan evaluasi yang memadai. Namun demikian, anggaran juga memerlukan informasi yang lebih lengkap untuk
melakukan analisis tentang perlunya program kesehatan tersebut di atas. Saat ini program-program tersebut di atas
dijelaskan hanya secara umum saja, dengan memberikan sedikit peluang untuk melakukan re-alokasi pengeluaran
atau untuk melakukan perubahan terhadap kategori peran pemerintah agar menjadi lebih efsien lagi.
64 Lihat Lampiran Bagian F1 mengenai uraian program kesehatan Pemerintah Pusat untuk Kesehatan Masyarakat dan Layanan Kesehatan
Pribadi.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
66
BAB 4 Sektor Kesehatan
Pengeluaran rumah tangga untuk layanan kesehatan dan asuransi
Diagram 4.7 Komposisi total
pengeluaran sektor kesehatan
15%
8%
22%
55%
Pusat Provinsi Daerah Rumah Tangga
Sumber: Data dari DepKeu dan Susenas 2004,
Pengeluaran rumah tangga merupakan komponen terbesar dari
total pengeluaran kesehatan. Pada tahun 2004, rumah tangga Indonesia
mengeluarkan sekitar Rp 20 triliun untuk kesehatan, yang memberikan
kontribusi sebesar 55 persen dari total pengeluaran kesehatan (Diagram
4.7). Jumlah ini masih sebanding dengan angka persentase rata-rata di
negara-negara berpendapatan menengah-rendah (50 persen) (World
Bank, 2005). Antara tahun 2003 dan 2005, biaya kesehatan rumah tangga
meningkat menjadi 12 persen, sedikit lebih besar dari peningkatan
pengeluaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (8 persen) selama
periode yang sama.
Di Indonesia, saat ini 3,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga
digunakan untuk kesehatan, meskipun demikian telah terjadi kecenderungan yang menurun (Diagram 4.8).
Selama empat tahun belakangan ini, pengeluaran rumah tangga mengalami penurunan secara signifkan sekitar 6
persen dari total pengeluaran rumah tangga yang saat ini berjumlah 3,5 persen. Penurunan ini terjadi akibat adanya
penurunan absolut dalam pengeluaran kesehatan per kapita seiring dengan peningkatan total pengeluaran rumah
tangga per kapita, dan bukan disebabkan oleh peningkatan pengeluaran pemerintah.
Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan
10,164 8,186 6,299
9,045
186,930
191,212
206,267
257,967
7,724
173,147
5.9%
4.4%
3.3%
3.7%
3.5%
0
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
300,000
2001 2002 2003 2004 2005
0.0%
1.0%
2.0%
3.0%
4.0%
5.0%
6.0%
7.0%
Pengeluaran untuk Kesehatan Swasta
Total Pengeluaran Swasta
Pengeluaran Kesehatan sebagai
bagian dari Keseluruhan Pengeluaran
Sumber: WHO: Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu Susenas 2005.
Penurunan pengeluaran sektor
kesehatan sebagian disebabkan
karena menurunnya penggunaan
layanan tenaga kesehatan
profesional. Antara tahun 1997 dan
2005, penggunaan layanan tenaga
kesehatan professional menurun dari
sekitar 53 persen menjadi sekitar 34
persen, seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk Indonesia yang
melakukan pengobatan sendiri.
Walaupun pengeluaran pemerintah
di sektor kesehatan meningkat, nilai
persentase penggunaan layanan
kesehatan masih di bawah nilai
persentase sebelum krisis (Diagram
4.9).

Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan
52,7 50,6
34,2 34,4
26,7
32,1
49,9 50,9
20,6
17,3 15,9 14,7
0
20
40
60
80
100
1993 1997 2001 2005
Fasilitas kunjungan, apapun self treatment only Tanpa Perawatan
%
Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.
Meskipun sekitar 75 persen pendanaan dari
sektor swasta/perusahaan dikeluarkan oleh
para karyawannya (yang merupakan sektor
rumah tangga), sektor swasta/perusahaan ini
merupakan sumber pengeluaran terbesar
kedua. Pengeluaran dari sektor swasta/perusahaan
hampir berjumlah 20 persen bersumber dari
pengeluaran kesehatan sektor rumah tangga melalui
pembayaran kembali biaya kesehatan karyawan
maupun pembayaran langsung untuk penyediaan
layanan kesehatan bagi karyawan mereka.
Pembayaran di muka oleh sektor rumah tangga
mencapai 5 persen (Dana Kesehatan untuk
Masyarakat Miskin, 2002). Pengeluaran tunai
langsung ini dapat meningkatkan kerentanan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
67
BAB 4 Sektor Kesehatan
ekonomi sektor rumah tangga dan individu yang akhirnya dapat menyebabkan mereka terdorong ke bawah garis
kemiskinan, terutama ketika mereka mendapat musibah yang memerlukan pengeluaran kesehatan yang besar.
Pembayaran tunai langsung ini meningkat dua kali lipat antara tahun 1999 dan 2001 untuk antar kelompok berdasarkan
pendapatan dengan perbedaan yang cukup signifkan. Perbedaan yang cukup lebar pun terjadi di tingkat provinsi.
Persentase sektor rumah tangga yang menghadapi lonjakan pengeluaran kesehatan telah meningkat dua kali lipat;
dari 1,5 pada tahun 1999 menjadi 3,6 persen pada tahun 2001 (Data Susenas). Individu atau karyawan (sektor rumah
tangga) yang serumah dengan anak-anak dan manula memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap lonjakan pengeluaran
apalagi jika mereka tidak memiliki kartu sehat (penduduk miskin) atau tidak ada program asuransi swasta yang
menawarkan mereka perlindungan kesehatan semacam itu (Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu).
Partisipasi masyarakat untuk mengkituti asuransi kesehatan masih rendah di Indonesia. Antara tahun 2003 dan
2005, partisipasi masyarakat dalam program asuransi kesehatan sedikit menurun dari 21,3 persen menjadi 19,8 persen
dari total jumlah penduduk, sehingga sekitar 80 persen penduduk tidak memiliki asuransi (Diagram 4.10). Di kedua
tahun tersebut, program Kartu Sehat mendapat porsi terbesar dalam pemberian jaminan bagi seluruh peserta asuransi
kesehatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) sedikit menurun pada tahun 2005, seperti hal-nya juga terjadi penurunan pada
asuransi pribadi. Untuk akses kepemilikan asuransi kesehatan hanya terdapat sedikit ketidakmerataan (Diagram 4.11).
Penyebabnya adalah kepemilikan Kartu Sehat yang berpihak pada penduduk miskin sehingga mampu menurunkan
ketidakmerataan pada akses kepemilikan asuransi yang lain, seperti asuransi swasta, Jamsostek, dan Askes.

Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi
kesehatan
Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil,
2005
8.6 8.5
5.1
2.5
3.5
3.9
3.0
2.7
2.7
6.0
5.7
8.5
0.5 0.8
0.7
0
5
10
15
20
25
2003 2004 2005
ASKES Jamsostek Asuransi pribadi, dll JPKM Kartu Sehat
%
4.3
5.4 5.1 5.2 5.3
1.3
2.3 2.9
3.2 2.9 1.8
2.8
3.3
3.7
3.4
0.7
0.6
0.7
0.6
0.7
11.5
8.3
8.1
7.1 7.7
0
5
10
15
20
25
Termiskin
2
3 4 Terkaya
ASKES Jamsostek Pribadi, dll JPKM Kartu Sehat
%
Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005. Sumber: Susenas 2005.
Dengan adanya berbagai mekanisme asuransi kesehatan maka risiko atas adanya lonjakan pengeluaran
kesehatan (catastrophic expenditure) dapat dikurangi, tetapi hal ini bukan berarti akan memberikan
perlindungan yang memadai. Rumah tangga yang memiliki satu atau dua jenis asuransi kesehatan sosial (Askes
dan Jamsostek) dan bagi mereka yang mendapat perlindungan asuransi dari perusahaan tempat mereka bekerja
serta bagi mereka yang memperoleh manfaat tertentu (dari asuransi pribadi) akan menghadapi risiko yang lebih kecil.
Meskipun demikian, baik program Kartu Sehat maupun dana kesehatan, demikian juga dengan Jaminan Perlindungan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) masih belum mampu mengurangi risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan
akibat datangnya musibah. Hal ini sebagian dapat dijelaskan karena adanya keterbatasan manfaat yang ditawarkan
oleh program perlindungan kesehatan semacam ini dan oleh adanya kenyataan bahwa rata-rata orang yang memiliki
asuransi JPKM hanyalah sebesar 21 persen dan sekitar 27 persen dari mereka yang dilindungi oleh program Kartu
Sehat tersebut merupakan penduduk miskin (Susenas 2005).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
68
BAB 4 Sektor Kesehatan
Penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta
Meskipun berhasil dicapai kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, namun akses
dan kualitas layanan kesehatan masih tetap rendah dan penduduk miskin pada khususnya masih sangat
bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta. Penggunaan fasilitas layanan kesehatan
publik masih rendah; ketika orang berusaha mendapatkan layanan kesehatan, kurang dari setengah dari penduduk
Indonesia menerima perawatan pada fasilitas kesehatan masyarakat. Alasan-alasan untuk tidak menggunakan fasilitas
kesehatan publik karena masih rendahnya akses ke tempat layanan kesehatan, kualitas layanan yang buruk, dan jam
kerja yang pendek. Tingkat pengeluaran pemerintah yang rendah untuk pemberian layanan kesehatan merupakan akar
semua permasalahan ini. Pada tahun 1990-an dan terutama setelah krisis ekonomi, pemanfaatan layanan kesehatan
sektor swasta, walaupun layanan kesehatan publik tersedia luas. Sementara kecenderungan kini telah menunjukkan
sebaliknya, terjadi peningkatan dalam pemanfaatan layanan publik, tingkat ini masih rendah dibandingkan dengan
tingkat sebelum krisis (World Bank 2006, makalah yang akan diterbitkan mendatang tentang layanan kesehatan
oleh swasta, Susenas data). Bahkan penduduk termiskin sekalipun lebih suka menggunakan jasa dari sektor swasta
dibandingkan dengan layanan puskesmas yang disubsidi pemerintah. Pada saat ini, hanya sekitar 45 persen penduduk
yang ingin mendapatkan layanan kesehatan publik, yang paling sering digunakan adalah layanan kesehatan dasar,
dan hanya kadangkala memanfaatkan rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006h).
Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan
kesehatan publik dan swasta
Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/
pemilik
62,1
73,7
64,5
11,7
11,9
14,7
98,9
99,1
93,6
8,3 3,5 4,7
0
20
40
60
80
100
2003 2004 2005
)
0
0
1

r
e
p
(

P
e
m
a
n
f
a
a
t
a
n

T
a
h
u
n
a
n

Dasar Publik Rumah Sakit Umum Swasta Tradisional
%
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
J
u
m
l
a
h

R
u
m
a
h

S
a
k
i
t
Departemen Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota
Tentara/Polisi BUMN/Depar temen l ai nnya
Swasta
Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.
Catatan: Tingkat penggunaan layanan per tahun per 100 dan total
pengeluaran yang dilaporkan.
Sumber: DepKes, 2004
Diagram 4.14 Layanan spesialisi vs. umum di
Rumah sakit pemerintah dan swasta, 2003
534
432
83
185
0
100
200
300
400
500
600
700
Rumah Sakit Pemerintah Rumah Sakit Swasta
J
u
m
l
a
h

R
u
m
a
h

S
a
k
i
t
Pelayanan Umum yang Tersedia Pelayanan Khusus yang Tersedia
Sumber: MoH, 2004.
Lebih dari setengah dari jumlah rumah sakit di Indonesia
adalah milik swasta dan kepemilikan ini tidak berubah
secara signifkan selama ini. Sekitar 51 persen dari seluruh
rumah sakit di Indonesia dapat diklasifkasikan sebagai
rumah sakit umum, bahkan semenjak pelaksanaan sistem
desentralisasi, sebagian dari rumah sakit itu menjadi milik
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan ada juga yang
menjadi milik TNI dan Polri, BUMN, dan Departemen
(Diagram 4.13). Dari sekian rumah sakit pemerintah tersebut,
sebagian besar menyediakan layanan kesehatan umum
dan hanya sekitar 30 persen dari seluruh layanan kesehatan
spesialis dapat dilakukan di rumah sakit umum seperti ini.
Untuk pelayanan kesehatan yang khusus, masyarakat perlu
menggunakan jasa penyedia layanan kesehatan sektor
swasta (Diagram 4.14).


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
69
BAB 4 Sektor Kesehatan
Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan di Indonesia terlibat dalam pemberian layanan di sektor
publik dan swasta. Pada tahun 1980-an, ketika gaji yang diberikan pemerintah kepada tenaga kesehatan masih
relatif rendah ternyata mempersulit mereka untuk menjalankan profesinya dengan baik. Sementara itu, pemerintah
bukannya membatasi pengangkatan pegawai baru dan menaikkan gaji, melainkan membiarkan tenaga kesehatan
(dokter) untuk membuka tempat praktik di luar jam kerja biasa. Posisi ganda dalam lembaga penyedia layanan
kesehatan publik menciptakan insentif yang rendah dan menyebabkan rendahnya kualitas layanan dalam sistem
kesehatan publik (semata-mata akibat dari berkurangnya jam kerja para dokter di rumah sakit pemerintah). Hal ini
juga menyebabkan berkembangnya penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta dengan peningkatan jam
kerja dan pelayanan oleh tenaga dokter dan paramedis yang terlatih (Diagram 4.15). Dapat kita katakan bahwa
kesenjangan layanan di mana layanan publik yang diberikan pemerintah tidak memadai baik kuantitas maupun
kualitas untuk tingkat tertentu telah diisi oleh sektor swasta. Dalam situasi ini, pihak penyedia dari sektor swasta
benar-benar merupakan bagian dari sistem pemberian layanan kesehatan di Indonesia dan pelatihan, kontrak, dan
layanan pemantauan mereka perlu dijadikan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan pemerintah di sektor kesehatan
(World Bank, 2006f ).
Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda
Kepala Puskesmas yang Membuka
Praktik Swasta diluar Puskesmas
Tidak
19%
Data tidak Tersedia
6%
Ya
75%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Mean # Jam/hari
bekerja di Puskesmas

Mean # Jam/hari
bekerja di Luar Puskesmas
Ya
Tidak
Sumber: GDS 1+ survei Puskesmas.
Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan
Penggunaan Layanan Kesehatan
Kesenjangan dalam pengeluaran untuk sektor publik
Perbedaan dalam pengeluaran per kapita untuk sektor publik di daerah sangat tinggi, yang mencerminkan
disparitas dan ketidaksetaraan di tingkat daerah. Rata-rata tingkat pengeluaran publik per kapita untuk sektor
kesehatan hampir sama di setiap provinsi, kecuali untuk Provinsi Papua, Gorontalo, Kalimantan Timur. Akan tetapi,
disparitas antar kabupaten/kota dalam satu provinsi bahkan lebih biasa lagi, karena terjadi banyak variasi dalam nilai
rata-rata.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
70
BAB 4 Sektor Kesehatan
Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum,
minimum, dan rata-rata
0
50
100
150
200
250
300
350
r
a
t
U

u
k
u
l
a
M
a
n
e
t
n
a
B
g
n
u
p
m
a
L
a
r
a
g
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
t
a
r
a
B

a
w
a
J
a
r
a
t
U

i
s
e
w
a
l
u
S
r
a
t
a
B

a
r
a
g
g
n
e
T

a
s
u
N
u
m
i
T

a
w
a
J
r
n
a
t
a
l
e
S

a
r
t
a
m
u
S
a
g
n
e
T

a
w
a
J
h
t
a
r
a
B

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
l
u
k
g
n
e
B
u
a
t
r
a
k
a
y
g
o
Y
g
n
u
t
i
l
e
B

a
k
g
n
a
B
n
a
t
a
l
e
S

i
s
e
w
a
l
u
S
m
a
l
a
s
s
u
r
a
D

h
e
c
A

e
o
r
g
g
n
a
N
r
a
t
U

a
r
t
a
m
u
S
a
i
b
m
a
J
t
a
n
a
l
e
S

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
u
a
i
R
u
k
u
l
a
M
r
u
m
i
T

a
r
a
g
g
n
e
T

a
s
u
N
i
l
a
B
a
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
h
a
r
a
B

a
r
t
a
m
u
S
t
a
g
n
e
T

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
h
a
u
p
a
P
l
a
t
n
o
r
o
G
o
r
u
m
i
T

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K

r
i
b
u
p
R

Maksimum Minimum Mean
Sumber: Susenas, 2004.
Di tingkat kabupaten/kota ditemui kesenjangan yang sangat besar dalam pengeluaran publik, yang terutama
didorong oleh pengeluaran pemerintah pusat yang ditargetkan secara regresif dan tidak terkonsentrasi.
65

Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor ini dalam bentuk pengeluaran yang tidak terpusat tidaklah efektif dalam
rangka pencapaian target untuk kabupaten/kota yang lebih miskin. Hal ini penting untuk diperhatikan terutama
karena besarnya pengalihan dana publik hampir mencapai setengah dari pengeluaran pemerintah pusat untuk
pembangunan dan oleh karena itu pengeluaran tersebut merupakan sumber daya sangat penting untuk intervensi
kebijakan. Selain itu, pada tahun 2004, pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan mencapai sekitar 29
persen dari total pengeluaran nasional. Pengeluaran untuk sektor publik melalui anggaran daerah (APDB) tingkat
provinsi dan kabupaten/kota juga lebih tinggi bagi pemerintah daerah yang lebih kaya daripada yang lebih miskin.
Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pengeluaran ini tidak saja ditentukan oleh alokasi DAU, tetapi juga
oleh pendapatan asli daerah, yang jumlahnya cenderung lebih tinggi pada kabupaten/kota yang memiliki tingkat
pengeluaran per kapita lebih tinggi. Saat ini kontribusi DAK di tingkat kabupaten/kota tidak digunakan sebagai sarana
peningkatan pemberian layanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin di kabupaten/kota yang masih
tertinggal, seperti yang ditunjukkan oleh respon yang lemah terhadap tingkat pengeluaran per kapita dari DAK atau
akses terhadap fasilitas kesehatan (USAID Democratic Reform Support Program, Agustus 2006).
Manfaat pengeluaran untuk sektor publik dan penggunaan layanan
Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik secara umum lebih banyak memberikan manfaat bagi kelompok
penduduk kaya daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan sekunder.
Manfaat pengeluaran publik untuk layanan kesehatan dasar tidak berpihak pada penduduk miskin tetapi secara netral
didistribusikan di antara kuintil pengeluaran. Akan tetapi, pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder sudah
tentu tidak berpihak pada penduduk miskin, dan sebagian besar manfaatnya dinikmati oleh kuintil yang lebih kaya.
Sementara layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan oleh penduduk miskin adalah fasilitas layanan
kesehatan dasar, ternyata Indonesia menggunakan sekitar 40 persen dari sumber daya untuk layanan kesehatan publik
mereka untuk pemberian subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006g).
65 Lihat Lampiran Gambar F2 pada hubungan antara (1a) Pengeluaran daerah untuk sektor kesehatan, (1b) DAK dan (1c) Pengeluaran yang tidak
terpusat untuk sektor kesehatan dan (2) Rata-rata per kapita (mean per kapita) pengeluaran keluarga .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
71
BAB 4 Sektor Kesehatan
Penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap rumah sakit pemerintah, sehingga mereka
tidak memanfaatkan sebagian besar pengeluaran pemerintah yang disalurkan ke dalam layanan kesehatan
sekunder. Dari dana yang digunakan untuk layanan rumah sakit, manfaat yang dinikmati oleh kuintil penduduk
paling miskin dari seluruh jumlah penduduk berjumlah sekitar 10 persen, sementara manfaat yang diperoleh oleh
kuintil paling kaya sekitar 38 persen. Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder memiliki tingkat regresif yang
tinggi dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas dalam layanan kesehatan ketika Indonesia masih berjuang
keras untuk memenuhi sasaran pembangunan jangka menengah dalam sektor kesehatan.
Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan
swasta/publik
Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan
31.0%
39.7%
46.2%
53.5%
71.7%
55.5%
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
1
(Miskin)
2 3 4 5 TOTAL




P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
r

C
a
p
i
t
a

u
n
t
u
k

S
e
k
t
o
r

K
e
s
e
h
a
t
a
n



H
a
r
g
a

t
a
h
u
n

2
0
0
3
;

R
p
(
)
Belanja Sektor Swasta
Belanja Publik untuk
Perawatan di Rumah Sakit
Belanja Publik untuk
Perawatan Dasar
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Puskesmas Rumah
Sakit
Layanan
Kesehatan
Dasar
Rumah
Sakit
Rumah
Sakit
1987 1998 2005
Kuintil Termiskin Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil Terkaya
Layanan
Kesehatan
Dasar
Sumber: World Bank, 2006g. Sumber: World Bank, 2006f.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan oleh penduduk miskin dan
pengeluaran mereka untuk sektor kesehatan memiliki dampak yang kecil sejak tahun 1998. Program kesehatan
pengganti subsidi BBM (PKPS-BBM) bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap baik layanan kesehatan dasar
maupun sekunder bagi penduduk miskin dengan sistem target. Program ini, jika ditargetkan dan dilaksanakan secara
efektif, dapat merupakan kunci utama dalam perluasan layanan kesehatan untuk penduduk miskin (lihat Kotak 4.3 di
bawah ini tentang PKPS-BBM). Namun demikian, bagi penduduk miskin agar dapat menggunakan fasilitas layanan
kesehatan swasta melalui program ini, perlu disediakan insentif bagi penyedia layanan ini untuk memungkinkan
berpartisipasi.
Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Termiskin 2 3 4 Tidak Miski n
T
i
n
g
k
a
t

P
e
n
g
g
u
n
a
a
n

P
e
l
a
y
a
n
a
n

R
a
w
a
t

J
a
l
a
n

T
a
h
u
n
a
n
Perawatan Kesehatan Tradisional Swasta
Petugas Kesehatan Swasta
Dokter Swasta
Rumah Sakit Swasta
Rumah Sakit Umum
Puskesmas Publik
Sumber: Susenas, 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
72
BAB 4 Sektor Kesehatan
Ketika penduduk miskin berusaha mendapatkan layanan perawatan kesehatan, sekitar 57 persen dari
mereka lebih memilih penyedia layanan swasta. Dari penyedia layanan swasta tersebut, penduduk miskin paling
banyak memanfaatkan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.) dan dokter. Dengan peningkatan pendapatan
terjadi pergeseran dari tenaga paramedis ke dokter. Rata-rata rasio ganjil dari partisipasi ini tampak paling tinggi
pada penduduk miskin pada pusat layanan kesehatan swasta, dokter swasta, dan tenaga paramedis swasta (perawat,
bidan, dsb.). Ini berarti bahwa investasi pada bidang ini, jika tingkat partisipasi tetap pada tingkat kuintil yang sama,
akan lebih menguntungkan penduduk miskin daripada kuintil mereka yang lebih kaya.
66
Sebaliknya, investasi untuk
rumah sakit pemerintah dan swasta merupakan bentuk investasi yang paling berpihak pada penduduk kaya di
Indonesia mengingat tingkat penggunaan untuk layanan kesehatan ini (World Bank 2006f ). Investasi ini akan tetap
sama kecuali jika investasi ini ditargetkan untuk membuat layanan ini lebih mudah diakses oleh penduduk miskin.
Tingkat penggunaan yang tinggi dari penyedia layanan swasta oleh penduduk miskin juga menuntut peningkatan
dalam penanganan (regulasi, akreditasi, maupun perizinan) untuk sektor kesehatan publik yang bertujuan untuk
mengontrol kualitas dan meningkatkan pemerataan.
Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005
Pada tahun 2005, pemerintah memperkenalkan program yang sangat besar untuk mengatasi dampak negatif dari pengurangan
subsidi BBM terhadap penduduk miskin. Hal ini termasuk penyediaan anggaran sebesar Rp 3,875 triliun untuk meningkatkan
akses dan kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Program ini menyediakan akses cuma-cuma untuk layanan di
puskesmas lokal, rawat jalan di rumah sakit, dan rawat inap kelas 3 ward di rumah sakit pada rumah sakit pemerintah dan
swasta yang ditentukan sebelumnya. Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan terhadap layanan kesehatan
dengan menyediakan asuransi kesehatan bagi 60 juta penduduk miskin, dan pada saat yang sama memberikan jaminan
adanya layanan kesehatan yang memadai dengan memberikan dukungan kepada Puskesmas, puskesmas keliling, dan
layanan posyandu. Sebuah penilaianyang baru-baru ini dilaksanakan menunjukkan beberapa temuan penting sbb:
1. Intervensi dari sisi permintaan terbukti merupakan cara sangat efektif dan efsien untuk meningkatkan penggunaan
layanan kesehatan bagi penduduk miskin, dibandingkan dengan intervensi klasik berupa intervensi dari sisi
penyediaan.
2. Karena biaya resmi hanya merupakan sebagian dari total yang harus dikeluarkan oleh mereka yang ingin mendapatkan
layanan, dengan menghapus biaya resmi ini masih belum dapat menjangkau penduduk miskin yang mungkin tidak
mampu untuk menanggung biaya transportasi dan pemeliharaan selanjutnya.
3. Intervensi dari sisi penawaran (terutama penyediaan obat-obatan, fasilitas fsik, dan peralatan medis) berdampak
terhadap kualitas layanan yang disediakan oleh Puskesmas.
4. Peningkatan dalam layanan rawat-inap (Sal Kelas 3) menyebabkan peningkatan pendapatan bagi rumah sakit.
5. Penentuan targeting bagi penduduk miskin terbukti lebih sulit dari yang diperkirakan, terutama karena mereka yang
tergolong tidak miskin sulit untuk dicegah ikut menikmati manfaat program ini.
Bidang-bidang yang perlu ditingkatkan disoroti dalam laporan tersebut termasuk penentuan sasaran, informasi publik sekitar
program ini, alokasi dana, sistem penanganan keluhan, pemantauan, dan evaluasi.
Sumber: Rapid Assessment untuk PKPS-BBM 2005 Kesehatan Program, 2006.
Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan
Rasio jumlah dokter dan perawat dengan jumlah penduduk di Indonesia masih rendah dibandingkan
dengan negara lain di kawasan ini. Sementara distribusi tenaga kesehatan di Kamboja per 1.000 orang juga masih
rendah, negara seperti Filipina, yang memiliki pendapatan per kapita yang mirip dengan Indonesia, kinerjanya jauh
lebih baik dalam indikator ini. Sebagian provinsi hanya memiliki sekitar 13 dokter untuk per 100.000 penduduk, yang
menunjukkan bahwa secara rata-rata seorang dokter pemerintah akan memberikan layanan kesehatan kepada sekitar
7.600 orang yang ingin mendapat layanan kesehatan publik.
66 Rata-rata rasio ganjil untuk partisipasi, yang dinyatakan oleh rasio tingkat partisipasi rata-rata kuintil-spesifk, merupakan alat yang sangat
bermanfaat untuk memahami penggunaan layanan kesehatan saat ini dan dengan menyoroti kuintil tersebut maka layanan yang diberikan
sepertinya akan memberikan manfaat optimal.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
73
BAB 4 Sektor Kesehatan
Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan
Dokter Perawat Bidan
Negara Jumlah
Kepadatan
per 1000
penduduk
Tahun Jumlah
kepadatan
per 1000
penduduk
Tahun Jumlah
Kepadatan
per 1000
penduduk
Tahun
Indonesia 29,499 130 2003 135,705 620 2003 44,254 200 2003
Kamboja 2,047 160 2000 8,085 610 2000 3,040 230 2000
Thailand 22,435 370 2000 171,605 282 2000 872 10 2000
Viet Nam 42,327 530 2001 44,539 560 2001 14,662 190 2001
Filipina 44,287 580 2000 127,595 1,690 2000 33,963 450 2000
India 645,825 600 2005 865,135 800 2004 506,924 470 2004
Malaysia 16,146 700 2000 31,129 1,350 2000 7,711 340 2000
Sumber: WHR, 2006, Lampiran Tabel 4 Distribusi Global terhadap Tenaga Kerja Kesehatan pada Negara-negara Anggota WHO
Data rata-rata nasional sangat mengaburkan keragaman dalam kesenjangan antar daerah secara signifkan
dalam hal tingkat ketersediaan tenaga kesehatan yang sering tidak didasarkan pada kebutuhan. Penyedia
layanan kesehatan untuk tiap tingkat populasi sangat beragam di tiap daerah, hanya enam dokter pemerintah per
100.000 penduduk di Provinsi Lampung dan Jawa Timur, dibandingkan dengan rasio yang tinggi sekitar 30 dan 40 per
100.000 penduduk masing-masing untuk Sulawesi Utara dan Bali. Di banyak provinsi rasio ini meningkat ketika jumlah
dokter swasta dimasukkan di dalamnya, namun demikian cakupan wilayah yang harus dilayani masih amat luas,
misalnya di Kalimantan Barat, rata-rata seorang dokter harus melayani area seluas lebih kurang 300 km dan wilayah
layanan ini menjadi dua kali lipat bagi penduduk yang hanya mampu memperoleh layanan dari dokter pemerintah.
Secara rata-rata terdapat sekitar 36 pekerja kesehatan untuk setiap 100.000 penduduk di Indonesia.
Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km
2
0
2
4
6
8
10
12
N
a
n
g
r
o
e

A
c
e
h

D
a
r
u
s
s
a
l
a
m

a
u
p
a
P
l
u
k
g
n
e
u
B
u
k
u
l
a
M
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

T
i
m
u
r
b
m
a
i
J
l
a
t
n
o
r
o
o
G
l
a
B
i
a
k
g
n
a
B
g
n
u
p
m
a
L
u
J
m
i
T
a
w
r
a
u
a
i
R
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

B
a
r
a
tt
a
r
a
B
a
w
a
J
n
e
t
n
a
B
0
50
100
150
200
250
Rasio bidan Wilayah pelayanan
M
a
l
u
k
u


U
t
a
r
a
S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
g
a
r
a
S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
a
h
S
u
m
a
t
e
r
a

B
a
r
a
t
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
e
n
g
a
h
S
u
l
a
w
e
s
i

U
t
a
r
a
S
u
m
a
t
e
r
a

U
t
a
r
a
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

S
e
l
a
t
a
n
S
u
m
a
t
e
r
a

S
e
l
a
t
a
n
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
i
m
u
r
S
u
l
a
w
e
s
i

S
e
l
a
t
a
n
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

B
a
r
a
t
J
a
w
a

T
e
n
g
a
h
D
I

Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
Sumber: Podes, 2005.
Rasio jumlah perawat dan bidan per 100.000 penduduk jauh lebih tinggi daripada rasio jumlah dokter,
tetapi sekali lagi masih terdapat isu-isu yang berkaitan dengan distribusi di tingkat daerah. Wilayah layanan
kebidanan bagi bidan pemerintah secara umum lebih kecil daripada wilayah kerja dokter (tergantung jumlah tenaga
kesehatan swasta di tiap provinsi). Aceh memiliki angka yang tinggi, sekitar 111 bidan untuk setiap 100.000 penduduk,
sementara Banten hanya memiliki 20 bidan untuk setiap 100.000 penduduk. Rasio untuk perawat per 100.000 jumlah
penduduk masih tinggi, yang menunjukkan bahwa dengan jumlah dokter yang masih rendah, sebagian besar
penduduk (terutama penduduk miskin) akan dilayani oleh perawat dan tenaga kesehatan pembantu lainnya dan
bukan oleh dokter. Ketika kita melakukan analisis terhadap jumlah tenaga kesehatan yang lebih terlatih dan tenaga
spesialisi, seperti dokter gigi pemerintah (angka rata-rata nasional 2,9), apoteker (angka rata-rata nasional 0,6), dan ahli
gizi (angka rata-rata nasional 3,2), tingkat kepadatan pada wilayah provinsi terpencil hampir nol.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
74
BAB 4 Sektor Kesehatan
Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan
3.1
4.1
3.6
0.6
0
1
2
3
4
5
bidan urban bidan rural dokter
urban
dokter rural
Perbedaan dalam satu wilayah provinsi terutama
dapat dilihat dari penyediaan layanan kesehatan
yang lebih menguntungkan yaitu daerah perkotaan
dibandingkan dengan dan daerah pedesaan dan
daerah terpencil, walaupun lebih banyak bidan kini
dapat dijumpai di wilayah pedesaan. Insentif
sebaiknya ditingkatkan, terutama untuk tenaga
kesehatan terlatih untuk mendorong mereka bertugas
di wilayah pedesaan dan wilayah terpencil.
Jumlah dokter untuk setiap puskesmas pada
dasarnya belum memadai, terutama mengingat
rata-rata setiap puskesmas melayani sekitar 23.000
orang (Diagram 4.22). Penduduk miskin, yang
sebagian besar bergantung pada Puskesmas seperti ini,
harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk menjangkau fasilitas ini (rata-rata setiap Puskesmas melayani
mereka yang menempati wilayah sekitar 242km). Di Provinsi NAD, misalnya, jarak rata-rata ke satu Puskesmas adalah
sekitar 10 km, tetapi di beberapa kabupaten/kota jarak ini mendekati 26 km. Ketersediaan seorang dokter di setiap
Puskesmas juga tidak dapat dijamin; secara keseluruhan, 18 dari 33 provinsi Indonesia, secara rata-rata memiliki kurang
dari satu dokter untuk setiap Puskesmas. Dengan demikian, masyarakat menjadi tergantung pada fasilitas layanan
kesehatan yang tidak lengkap dan pada pos layanan kesehatan terpadu (Posyandu) atau mungkin pada perawat,
bidan swasta dan bahkan tenaga kesehatan tradisional.
Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
n
e
t
n
a
B
t
a
r
a
B

a
w
a
J
r
u
m
i
T

a
w
a
J
h
a
g
n
e
T

a
w
a
J
g
n
u
p
m
a
L
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

B
a
r
a
t
N
i
l
a
B
u
a
i
R
t
u
m
u
S
a
i
s
e
n
o
d
n
IY
o
g
y
a
k
a
r
t
a
I


D
l
e
s
m
u
S
u
a
i
R

n
a
u
a
l
u
p
e
K
r
a
b
m
u
S
n
a
t
a
l
e
S

i
s
e
w
a
l
u
S
o
l
a
t
n
o
r
o
G
t
a
r
a
B

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
i
b
m
a
J
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

T
i
m
u
rt
a
r
a
B

i
s
e
w
a
l
u
S
n
a
t
a
l
e
S

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
a
r
a
t
U

u
k
u
l
a
M
a
r
a
t
U

i
s
a
w
l
u
S
N
a
n
g
r
o
e

A
c
e
h

D
a
r
u
s
s
a
l
a
m
K
g
n
u
t
i
l
e
B

B

n
a
u
a
l
u
p
e
h
a
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
h
a
g
n
e
T

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
r
u
m
i
T

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
u
l
u
k
g
n
e
B
a
r
a
g
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
u
k
u
l
a
M
t
a
r
a
B

a
y
a
J

n
a
i
r
I
a
u
p
a
P
Populasi per Puskesmas
Sumber: Profl Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.
Kementerian Kesehatan sedang berupaya untuk memperbaiki distribusi tenaga kesehatan dengan sistem
kontrak kerja sementara bagi para dokter (PTT) untuk melayani wilayah-wilayah terpencil dengan memberikan
tambahan insentif keuangan dan memperpendek masa tugas mereka di wilayah-wilayah tersebut. Ada
berbagai kategori upah dokter seperti ini berdasarkan Lokasi penempatan mereka. Gaji di wilayah yang biasa adalah
sekitar Rp 1 juta per bulan selama tiga tahun. Mereka yang bertugas di wilayah yang diklasifkasikan sebagai sangat
terpencil, akan menerima gaji sekitar Rp 5 juta per bulan dan diminta untuk bertugas di sana selama enam bulan. Gaji
yang lebih tinggi bagi dokter yang bekerja di wilayah terpencil merupakan bagian dari peraturan baru yang mulai
berlaku sejak bulan Juni 2006 dan hal ini memberikan indikasi komitmen pemerintah untuk meningkatkan distribusi
tenaga kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, peraturan ini hanya melingkupi dokter kontrak dan
pemerintah mungkin akan mempertimbangkan untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menyediakan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
75
BAB 4 Sektor Kesehatan
insentif serupa bagi tenaga kesehatan kontrak di tingkat lokal. Hal ini akan memerlukan suatu tinjauan terhadap
Undang-undang kepegawaian dan peraturan yang mungkin menghambat pelaksanaan perubahan kebijakan.
Diagram 4.23 Jumlah dokter untuk setiap Puskesmas
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1,6
1,8
u
a
i
R

n
a
u
a
l
u
p
e
KS
u
m
a
t
e
r
a

U
t
a
r
al
a
B
i
D
I

Y
o
g
y
a
k
a
r
t
ag
n
u
p
m
a
L
h
a
g
n
e
T

a
w
a
J
u
m
i
T

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
r
h
a
g
n
e
T

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
l
a
t
n
o
r
o
G
o
l
u
k
g
n
e
B
un
e
t
n
a
B
u
m
i
T

a
w
a
J
ri
b
m
a
J
a
r
a
t
U

u
k
u
l
a
M
i
s
e
n
o
d
n
I
a
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

B
a
r
a
tn
a
t
a
l
e
S

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
u
a
i
R
n
a
t
a
l
e
S

i
s
e
w
a
l
u
S
h
a
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
t
a
r
a
B

i
s
e
w
a
l
u
S
S
u
m
a
t
e
r
a

S
e
l
a
t
a
n
t
a
r
a
B

a
w
a
J
K
g
n
u
t
i
l
e
B

B

n
a
u
a
l
u
p
e
a
r
a
g
g
n
e
T

i
s
e
w
a
l
u
S
a
r
a
t
U

i
s
a
w
l
u
S
S
u
m
a
t
e
r
a

B
a
r
a
tt
a
r
a
B

n
a
t
n
a
m
i
l
a
K
N
a
n
g
r
o
e

A
c
e
h

D
a
r
u
s
s
a
l
a
m
N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

T
i
m
u
ru
k
u
l
a
M
t
a
r
a
B

a
y
a
J

n
a
i
r
I
a
u
p
a
P
Dokter per Puskesmas
Sumber: Profl Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.
Diagram 4.24 Puskesmas sumber layanan
pengobatan
Sebagian besar Puskesmas tidak mendapat
Persediaan Obat selain dari yang disediakan Dinas Kesehatan
Ya, dari
sumber lainnya
9%
Tidak
58%
Ya, dari
anggaran sendiri
33%
Sumber: GDS1+ Survey.
Gaji bulanan dan harian dokter, bidan, dan
perawat pemerintah tampaknya lebih baik
dibandingkan dengan gaji tenaga kerja lain
dengan tingkat pendidikan yang setara,
67
tetapi
insentif bagi mereka memang tetap diperlukan
untuk menyediakan layanan kesehatan yang
berkualitas bagi penduduk miskin. Mengingat
bahwa dokter pemerintah dapat menambah
penghasilan gaji mereka cukup besar dengan
membuka praktik swasta, sangat sulit untuk
menentukan apakah tingkat gaji yang diberikan
pemerintah saat ini sudah memadai. Tinjauan terhadap
angkatan kerja sektor kesehatan tahun 1994
memperkirakan praktik swasta oleh para dokter
memberikan tambahan penghasilan sekitar 79 persen
dari total penghasilan dokter spesialis di wilayah
perkotaan dan jumlah ini bervariasi antara 25 dan 70 persen untuk dokter umum yang bertugas di luar Pulau Jawa
dan Bali. Mengingat bahwa penduduk miskin juga menggunakan layanan kesehatan dari sektor swasta, walaupun
jumlahnya lebih kecil dari penduduk tidak miskin, para dokter (swasta dan pemerintah) memerlukan insentif agar
mereka dapat menyediakan layanan yang berkualitas bagi penduduk miskin.
Secara keseluruhan, kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih rendah, dengan tingkat ketersediaan
pengobatan yang juga rendah, infrastruktur yang tidak memadai, dan sering diikuti dengan penyediaan
tenaga layanan kesehatan yang tidak cukup. Pemberian layanan kesehatan selanjutnya menurun akibat tingkat
ketidakhadiran yang tinggi dari tenaga kesehatan. Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan
bahwa tenaga kerja kesehatan Indonesia memiliki tingkat absensi sebanyak 40 persen dari waktu mereka.
68
kualitas
fasilitas kesehatan yang rendah, ketidaktersediaan air bersih, dan rendahnya standar hidup tampaknya bukan insentif
67 Berdasarkan analisis ekonometrik bersamaan dengan Sakernas2004 (Survei Tenaga Kerja Nasional) , dari BPS Indonesia. Lihat Lampiran Tabel F3
untuk hasil regresi.
68 Penyedia layanan dianggap tidak ada jika mereka tidak dapat ditemukan memiliki fasilitas karena sebab apa pun pada saat dilakukan kunjungan
mendadak. Sumber: Chaudhury, dkk. (2006).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
76
BAB 4 Sektor Kesehatan
yang baik bagi tenaga kesehatan untuk bertahan di tempat tugas mereka. Indikator Puskesmas dari survei GDS 1+
selanjutnya menunjukkan bahwa rata-rata Puskesmas hanya memiliki antara 75 dan 80 persen dari kebutuhan obat-
obatan dan pengobatan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah pusat layanan kesehatan,
69
dan, masih ada masalah
kekurangan vaksin penting (sekitar 7 sampai 9 persen). Sebagian besar Puskesmas hanya menerima obat-obatan dari
Dinas Kesehatan setempat. Jika pemerintah daerah tidak menyediakan obat-obatan yang memadai untuk mereka,
anggaran yang mereka miliki tidak akan cukup untuk menanggulangi kekurangan tersebut.
69 Dihitung dengan memperhitungkan nilai rata-rata obat-obatan yang tidak ada di setiap Puskesmas dan membaginya dengan jumlah obat-
obatan pokok yang harus dimiliki oleh Puskesmas (12 jenis obat pokok). Dataset: Puskesmas GDS33. Keduabelas obat-obatan pokok itu dan tingkat
ketersediaan : amoxiixilin 500mg (73 persen), sirup amoxiixilin (75 persen), antalgin 500mg (89 persen)., CTM (84 persen), paracetamol 500mg (90
persen),sirup Paracetamol (77 persen), OBH (77 persen), oralit (84 persen), Cotrimoxaxol 480 (78 persen), tablet Antacid (87 persen ), obat anti TBC
(71 persen ), dan OAT untuk anak-anak (67 persen ).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
77
BAB 4 Sektor Kesehatan
Rekomendasi Kebijakan
Untuk jangka panjang, pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya
yang lebih besar kepada sektor kesehatan, karena saat ini Indonesia menyediakan kurang dari sepertiga
dana kesehatan yang disediakan di negara lain di kawasan Asia Tenggara yang memiliki tingkat paling
rendah dalam pengeluaran untuk sektor kesehatan. Namun demikian, fokus utama sebaiknya diarahkan pada
efsiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran
untuk sektor kesehatan. Secara umum, pengeluaran untuk sektor kesehatan di Indonesia masih rendah, tetapi seperti
yang diuraikan dalam PER ini, masalah utamanya adalah alokasi sumber daya yang tidak efsien dan tidak merata.
Mengingat tantangan yang dihadapi oleh sektor kesehatan saat ini, dan dengan mempertimbangkan peningkatan
ruang gerak fskal bagi pemerintah, serta tingkat pengeluaran yang rendah dibandingkan dengan negara lain di
kawasan ini, rekomendasi yang logis adalah meningkatkan tingkat pengeluaran untuk sektor publik menjadi sekitar
3 persen dari PDB. Dengan tingkat pengeluaran sebesar ini, pemerintah akan mampu mencapai tingkat yang sama
dengan yang dicapai oleh negara dengan tingkat pencapaian terendah kedua di kawasan ini, yaitu Filipina. Akan
tetapi, tinjauan ini juga menunjukkan dengan jelas adanya alokasi anggaran yang tidak efsien dan tidak merata di
tingkat kabupaten/kota. Kebijakan pemerintah dalam sektor ini belum tercermin dalam alokasi anggaran, dengan
sumber daya yang lebih banyak dialokasikan semata-mata oleh penduduk dengan kuintil pendapatan penduduk
yang lebih kaya. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk pertama-tama berfokus pada pemerataan dan alokasi dana
yang efsiensi sebelum mempertimbangkan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor.
Kesenjangan sebaiknya dapat dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki
kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan target DAK yang
lebih baik bagi penduduk miskin dan bagi kabupaten/kota yang mengalami kekurangan layanan dengan melakukan
investasi berdasarkan permintaan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan
yang berkualitas.
Target alokasi DAK sebaiknya ditingkatkan untuk menjamin bahwa dana ini dapat digunakan untuk
meningkatkan akses layanan kesehatan terutama di kabupaten/kota yang lebih miskin yang rendah
pelayanannya. Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik pada umumnya lebih menguntungkan kelompok
yang berpendapatan lebih tinggi daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan
sekunder. Dana alokasi khusus (DAK) untuk sektor kesehatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah
memiliki target yang buruk, karena pengalihan dana tidak terkait dengan tingkat pengeluaran per kapita rata-
rata di tingkat kabupaten/kota. DAK sebaiknya lebih baik digunakan sebagai alat pemerintah pusat untuk
menargetkan kabupaten/kota kota yang memiliki kekurangan dalam rangka akses terhadap pemberian
layanan kesehatan, terutama karena dana ini digunakan untuk infrastruktur kesehatan.
Kegiatan investasi di sisi permintaan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin untuk
layanan kesehatan yang berkualitas. Pendanaan yang berpihak pada masyarakat miskin bagi layanan
rumah sakit yang kini sedang dilaksanakan sistem kupon (Kartu Sehat) sebaiknya diperluas. Sistem ini
menyediakan layanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin dan ditujukan untuk meningkatkan kualitas
akses layanan bagi penduduk miskin. Untuk meningkatkan dampak penurunan angka kemiskinan terhadap
pendanaan kesehatan, seluruh subsidi yang lain untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder sebaiknya
disalurkan ke dalam layanan dasar. Mungkin ada manfaat khusus dalam pemberian subsidi layanan
ambulans, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Pemberikan kesempatan kepada penduduk miskin untuk
mendapatkan layanan kesehatan melalui kartu sehat hal ini akan memberikan keuntungan kepada mereka
ketika penyedia layanan kesehatan swasta dapat ditambahkan sebagai tambahan opsi kebijakan pemerintah.
Investasi dalam peningkatan kualitas penyedia layanan sektor swasta yang memberikan layanan kesehatan
kepada penduduk miskin akan memperbaiki situasi yang ada sekarang.
Prioritas sebaiknya diarahkan pada identifkasi berbagai investasi yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas
sektor kesehatan dalam mengatasi beban yang besarnya dua kali lipat dari penyakit yang diderita (penyakit
menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai penyakit baru (HIV/AIDS dan fu burung) .
Keberadaan penyakit menular serta kinerja yang rendah dari beberapa indikator utama dari MDG
menegaskan betapa pentingnya kelanjutan investasi dalam bidang pencegahan. Pada indikator MDG
seperti tingkat kematian bayi dan balita, serta angka kematian ibu, kinerja Indonesia masih jauh tertinggal.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
78
BAB 4 Sektor Kesehatan
Angka ini dapat ditingkatkan dengan memperkuat langkah-langkah pencegahan dan intensifkasi program
untuk menangani penyakit menular, terutama di wilayah terpencil dan wilayah yang kurang berkembang
di Indonesia. Untuk menangani kembalinya kasus polio, tambahan putaran kampanye pemberantasan polio
dan pendanaan yang memadai sangat diperlukan dengan segera.
Karena intervensi untuk penyakit tidak menular menjadi semakin penting, maka sektor kesehatan
publik perlu dilengkapi dengan untuk menghadapi tantangan ini. Walaupun Indonesia memiliki layanan
kesehatan sektor swasta yang kuat, yang menyediakan sebagian besar dari layanan spesialis, penanganan
terhadap peningkatan penyakit tidak menular, terutama pada segmen penduduk yang lebih miskin, akan
memerlukan jasa rumah sakit umum untuk menyediakan yang serupa untuk menampung permintaan
layanan kesehatan yang semakin tinggi (serta peningkatan permintaan layanan khusus).
Untuk menghadapi munculnya penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS dan fu burung, informasi
kesehatan dan sistem observasi perlu lebih ditingkatkan lagi. Pengembangan basis data, penguatan
sistem observasi yang masih lemah, dan program pencegahan penularan merupakan bidang-bidang
prioritas. Perbaikan data mengenai pengeluaran dan realisasi untuk sektor ini dan pembayaran untuk
tingkat kabupaten/kota dan tingkat penyedia kesehatan juga diperlukan untuk menjamin bahwa kebijakan
didasari oleh prinsip efsiensi dan pemerataan penggunaan layanan. Terutama sejak pelaksanaan sistem
desentralisasi, telah terjadi kurangnya transparansi penyaluran dan pengeluaran anggaran. Di tingkat
kabupaten/kota, informasi sangat terbatas yang berhubungan dengan perencanaan dan pengeluaran
anggaran pembangunan. Informasi yang lebih luas tentang alokasi fungsional pengeluaran akan lebih
memungkinkan lagi untuk melakukan unit-biaya yang dapat memberikan pandangan untuk menentukan
tingkat pengeluaran yang mendasar bagi sektor kesehatan.
Sektor publik sebaiknya mampu memainkan peran yang lebih besar dalam sistem kesehatan secara
keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia layanan kesehatan
sektor swasta untuk menjamin kualitas layanan kesehatan swasta. Sektor swasta dalam sistem kesehatan di
Indonesia telah tumbuh secara dramatis selama satu dekade yang lalu. Terlepas dari pentingnya keberadaan mereka,
tidak banyak yang bisa diketahui mengenai siapa mereka, di mana mereka, dan layanan apa yang mereka sediakan.
Hampir 40 persen dari penduduk miskin yang berusaha mendapatkan layanan kesehatan pergi ke penyedia layanan
swasta. Selanjutnya, penentuan tingkat pengeluaran yang tepat untuk sektor publik memerlukan pemahaman yang
lebih dalam tentang tingkat dan lingkup penyediaan layanan kesehatan sektor swasta.
Perlu identifkasi kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang terkoordinir dan saling menunjang untuk
menjamin pemerataan layanan kesehatan yang diberikan oleh penyedia layanan, terutama para dokter dan
untuk meningkatkan efektivitas investasi. Mengingat kondisi yang masih tetap tidak efsien dan kesenjangan
dalam distribusi tenaga kerja sektor kesehatan dan dengan pertimbangan bahwa sebagian besar dari pengeluaran
rutin di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota dialokasikan untuk pembayaran gaji penyedia layanan
kesehatan, maka sangat perlu untuk mencermati bagaimana dana ini digunakan secara lebih efsien dan merata.
Sejumlah kebijakan dan struktur insentif telah diujicobakan di Indonesia tetapi tidak terbukti mampu bertahan.
Untuk membantu melakukan identifkasi kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang terkoordinir dan saling
menunjang tersebut, ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: (i) berapa jumlah tenaga kesehatan, baik penyedia
layanan kesehatan sektor publik maupun swasta, dan apakah hal ini cukup untuk mencapai hasil pelayanan prioritas
saat ini yang terkait dengan kuantitas dan kualitas; dan (ii) apa yang membuat para dokter dan penyedia layanan
kesehatan lainnya mampu bertahan, baik dokter pemerintah maupun swasta, di wilayah -wilayah terpencil untuk
kurun waktu yang cukup lama untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di wilayah-wilayah seperti itu?

BAB 5
Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
80
BAB 5 Infrastruktur
Temuan Pokok
Investasi Indonesia untuk infrastruktur sangat tidak memadai. Investasi infrastruktur menurun
dari 5-6 persen dari PDB sebelum tahun 1997 menjadi kurang dari 1-2 persen dari PDB pada 2000,
dan saat ini berada dalam kondisi stabil pada tingkat 3,4 persen dari PDB. Untuk menanggulangi
kemunduran investasi masa lalu, sementara pada saat yang sama juga melakukan proyek-proyek besar yang
baru untuk memenuhi permintaan yang semakin besar, dan untuk terus mendorong pertumbuhan, akan
memerlukan tambahan investasi yang cukup besar (diperkirakan tambahan sekitar 2 persen dari PDB, atau
US$6 milyar per tahun), hanya untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis.
Sektor air bersih dan listrik mengalami krisis.Tingkat investasi yang rendah selama satu dekade telah
menyebabkan kurangnya kapasitas dan daya listrik serta memburuknya layanan air pipa. Tingkat
tarif listrik yang berada di bawah biaya menghambat perluasan jaringan, serta pemeliharaan jaringan yang
memadai dan operasi yang lebih efsien terhadap aset yang ada. Tarif listrik yang seragam bersifat regresif
dan tidak memberikan insentif untuk menyediakan sambungan kepada konsumen di wilayah Indonesia
bagian Timur yang memerlukan biaya lebih tinggi. Layanan air pipa di wilayah perkotaan sangat memerlukan
pengaturan tarif baru dan akses terhadap pendanaan, serta menegakkan regulasi yang mencegah
pemerintah kabupaten/kota menarik keuntungan saat penyedia air pipa (PDAM) mengalami kerugian.
Investasi sektor swasta telah mengalami penurunan tajam sejak 1997, terutama di sektor air
bersih, energi, dan transportasi . Sebelum krisis ekonomi, komitmen investasi sektor swasta pada tahun
tertentu menunjukkan angka rata-rata sebesar 30 - 40 persen dari pengeluaran pembangunan untuk sektor
infrastruktur. Pada 2003 dan 2004, pengeluaran tersebut lebih kecil dari seperempat pengeluaran pemerintah,
disamping rendahnya tingkat investasi publik. Sejak tahun 2000, sebagian besar komitmen investasi sektor
swasta diserap oleh telekomunikasi (90 persen ). Sangat sulit menarik investor swasta pada sektor yang
biasanya didominasi oleh pemerintah atau BUMN. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian hukum, kurangnya
strategi pemerintah untuk menjamin investasi dan kewajiban bersyarat, dan isu-isu fundamental dibalik
rendahnya harga layanan sosial serta sejumlah alasan politik.
Rekomendasi Utama
Pemerintah pusat perlu lebih berprakarsa dalam penanganan krisis PDAM. Prioritas yang mendesak
adalah menghilangkan hambatan yang ada sekarang terhadap pinjaman jangka panjang PDAM. Langkah
pertama dalam proses ini adalah melakukan restrukturisasi pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang
harus diutamakan untuk PDAM yang paling layak diberi kredit, memberikan insentif kepada PDAM yang lain
untuk meningkatkan kelayakan kredit mereka dan memberikan peluang kepada mereka untuk meningkatkan
tarif dan memotong biaya dengan menangani kerugian komersial dan kerugian fsik.
Strategi nasional untuk meningkatkan akses terhadap kebutuhan sanitasi dan pelistirikan wilayah
pedesaan harus dikembangkan. Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diklarifkasi
dan dikoordinasikan untuk pelaksanaan strategi tersebut. Mekanisme pendanaan public yang memadai,
seperti akses pendanaan untuk wilayah pedesaan, seharusnya dipertimbangkan karena dampaknya yang
begitu besar dari kurangnya layanan infrastruktur dasar terhadap kesehatan publik secara luas dan keluaran
pendidikan.
Subsidi listrik dan struktur tarif harus ditinjau lagi. Subsidi listrik mendorong terjadinya konsumsi listrik
yang berlebihan dan sangat membantu konsumen tidak miskin ketika akses yang terbatas menguntungkan
kelompok menengah keatas. Dalam jangka panjang, tarif harus direvisi dengan kecenderungan meningkat
dan struktur tarif harus ditinjau kembali agar mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan
tersebut. Tingkat tarif yang mencakup 900VA keatas dapat menjadi langkah awal dalam revisi tarif, karena
secara ekslusif hanya menguntungkan kelompok menengah keatas. Akan tetapi, rencana jangka panjang
yang koheren perlu disusun untuk menyesuaikan harga dengan biaya ekonomi dan memberikan bantuan
dengan sasaran rumah tangga pendapatan rendah dan wilayah-wilayah yang miskin. Subsidi harus dialihkan
dari konsumsi sambungan, untuk dapat menerapkan pendekatan sektor pelistrikan yang berbeda pada
setiap daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
81
BAB 5 Infrastruktur
Insentif fskal harus diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan jalan yang
memadai. Pemerintah daerah, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, hanya menggunakan sebagian kecil
dari anggaran mereka untuk pemeliharaan jalan. Misalnya, pendanaan bersama antara pemerintah pusat dan
daerah untuk investasi jalan dapat dilakukan dengan syarat menjamin pemeliharaan jalan secara memadai
dalam wilayah masing-masing daerah.
Kinerja Sektor Infrastruktur
Investasi infrastruktur per tahun di Indonesia (terdiri dari investasi pemerintah, BUMN maupun sektor swasta)
mencapai angka 5 - 6 persen dari PDB sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Sejak itu, investasi infrastruktur
turun secara dramatis di bawah 2 persen dari PDB pada 2000, dan pada 2004 angka itu masih hanya 3 persen
dari PDB (Diagram 5.1). Sementara kelambatan investasi infrastruktur memang diperkirakan akan terjadi segera
setelah krisis, ternyata investasi tidak dapat mengikuti kebangkitan ekonomi, apalagi menangani kebutuhan rakyat
yang tidak pernah memiliki akses terhadap layanan infrastruktur dasar, seperti air pipa, listrik, jalan. Indonesia kini
memiliki beberapa indikator infrastruktur paling buruk di tingkat regional.
Diagram 5.1 Investasi infrastruktur , 1994-2004 (% dari PDB) 1/
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/
Publik dan Swasta . Total 99-04
Sumber: DepKeu diproses; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia.
Catatan: Rujukan 1/PDB adalah untuk Tahun Fiskal (FY) atau Tahun Kalender (CY) tergantung pada periode database; a/pengeluaran pembangunan
terkait Infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; b/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan
keuangan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). Seri BUMN yang tidak lengkap; Angka untuk 1999-2001 memiliki perkiraan lebih rendah
dari kontribusi BUMN.
Banyak indikator infrastruktur telah mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir dan posisi Indonesia
tertinggal dari negara tetangga. Beban listrik yang besar terjadi di Pulau Java dan Bali, sementara di pulau-pulau
besar lainnya mengalami kekurangan listrik yang sangat parah. Jalan raya perkotaan jalan raya sudah terlalu padat
dan jalan bebas hambatan yang baru yang diharapkan akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi masih
dalam tahap persiapan. Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa sebenarnya sudah mengalami
penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk. Indonesia pernah mengungguli
Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka dalam Global Competitiveness Reports 1996 tentang indeks mutu infrastruktur
secara keseluruhan. Pada 2002, negara-negara ini telah mampu melampaui Indonesia (Tabel 5.1).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
82
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur
Infrastruktur Indonesia Peringkat Regional
Rasio pelistirikan (%) 53 11 of 12
Akses terhadap fasilitas sanitasi (%) 55 7 of 11
Akses terhadap air bersih (%) 14 7 of 11
Jaringan jalan raya (km per 1.000 orang) 1.7 8 of 12
Sumber: Bank Dunia, 2004b.
Listrik
70
Permintaan akan listrik telah mengalami pertumbuhan sekitar 6 persen per tahun sejak 2000, tetapi tidak
ada pertumbuhan yang sejalan dari kapasitas sistem yang ada.
71
Puncak permintaan listrik telah mendekati
kapasitas yang ada secara progresif dan penambahan persediaan kini sudah tidak memadai (Tabel 5.2). Beban berat
dam pemadaman banyak terjadi, terutama di pulau-pulau luar sistem Jawa-Bali. Pertumbuhan permintaan per tahun
diperkirakan 7-9 persen pada dekade yang akan datang.
Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs. permintaan puncak (pada jam sibuk)
2000 2001 2002 2003 2004
Kapasitas Terpasang (MW) 23,949 24,246 24,359 24,475 24,920
PLN (MW) 20,762 21,059 21,112 21,206 21,470
IPP (MW) 3,187 3,187 3,247 3,269 3,450
Kapasitas yang Tersedia (MW) 21,853 22,077 20,841 22,048 21,494
Agregat Puncak Permintaan (MW)
72
15,320 16,313 17,160 17,949 18,896
Margin Cadangan berdasarkan total kapasitas (%) 56.3 48.6 42.0 36.4 31.9
Margin Cadangan berdasarkan kapasitas yang tersedia (%) 42.6 35.3 21.5 22.8 13.7
Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN.
Pengurangan subsidi BBM telah menyebabkan perubahan cukup besar terhadap kombinasi BBM biaya
rendah oleh PLN. Sekitar 27 persen dari produksi listrik PLN menggunakan bahan bakar minyak. Harga
minyak dalam negeri meningkat menjadi rata-rata sebesar 29 persen pada Maret 2005 dan 114 persen pada Oktober
2005 (lihat Bab 1). Biaya penggunaan BBM ini cukup tinggi dimana kini sedang dipertimbangkan untuk membiarkan
mesin pembangkit tenaga diesel (solar) untuk tidak beroperasi dan menggantinya dengan pembangkit dengan
bahan bakar batu bara, karena biaya tambahan modal akan menjadi lebih besar dengan menghemat pemakaian
BBM. Sekitar 3,400 MW dari pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas, tetapi dioperasikan
dengan bahan bakar solar akibat kesulitan mengamankan pasokan gas. Tingginya biaya pemakaian solar merupakan
pendorong utama untuk menangani kesulitan suplai bahan bakar gas.
Pengurangan subsidi BBM juga mendorong produsen captive power untuk membeli listrik dari PLN, yang
akan menyebabkan pertumbuhan permintaan listrik PLN. Para produsen Captive power adalah para industri
besar dan konsumen usaha yang memiliki generator swasta dengan kapasitas sekitar 14.600 MW, dan menyediakan
hampir 30 persen dari listrik yang digunakan. Lebih dari 60 persen dari kapasitas ini menggunakan solar, yang telah
menjadi semakin mahal jika dioperasikan setelah pengurangan subsidi BBM.
70 Pengeluaran untuk sub-sektor listrik menunjukkan hampir 90 persen dari total pengeluaran dalam sektor energi.
71 Harus diingat bahwa pada 2006, tambahan kapasitas sebanyak 2.500 MW dilakukan oleh PLN. Akan tetapi, jumlah ini masih belum cukup untuk
memenuhi permintaan yang terus tumbuh dan belum cukup pula untuk mengatasi kapasitas kekurangan listrik dalam jangka panjang.
72 Karena data yang rinci mengenai beban puncak tidak tersedia, maka digunakan agregat permintaan puncak. Walaupun hal ini tidak
mencerminkan situasi yang sebenarnya dari berbagai sistem yang ada yang tidak saling berhubungan, cara ini telah mampu memberikan indikasi
yang rasional mengenai situasi permintaan dan suplai listrik di Indonesia.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
83
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik
Rumah tangga dengan
sambungan listrik (%)
Kerugian transmisi dan distribusi (%)
Rata-rata tarif listrik residensial
(nominal US$/kWh)
1998 2003 1998 2003 2003
Kamboja 13 17 20.6 12.7 0.09-0.15
China 97 99 8.1 7.7 0.05-0.08
Indonesia -- 55 12.2 11.7 0.02-0.07
Laos 30 41 22.6 21.2 0.04
Mongolia 67 90 -- 22.0 0.05
Filipina 72 79 14.1 12.4 0.11
Thailand 82 84 8.7 7.3 0.06
Vietnam 63 81 15.6 13.4 0.05
Sumber: Bank Dunia, 2005.
Tingkat akses rumah tangga terhadap listrik masih rendah dan perluasan jaringan terhambat oleh kebijakan
harga yang berlaku saat ini (Tabel 5.3). Tarif rata-rata untuk penggunaan rumah tangga lebih rendah daripada biaya
produksi, sehingga PLN tidak memiliki insentif bisnis untuk meningkatkan sambungan keluargasetiap sambungan
baru meningkatkan jumlah kerugian PLN dan kapasitas yang ada sudah penuh. Karena biaya menjadi lebih tinggi
untuk wilayah pedesaan dan wilayah-wilayah terpencil, pengenaan tarif yang seragam dan rendah telah berdampak
khusus terhadap tingkat akses listrik di daerah-daerah tersebut.
Jalan
73
Efsiensi kota-kota di Indonesia menurun akibat kemacetan lalu lintas. Saat ini, 43 persen dari jaringan jalan raya
di Pulau Java, dan sebagian besar di Jakarta, mengalami kemacetan yang menyebabkan waktu perjalanan menjadi
lebih lama dan memerlukan biaya lebih tinggi. Kemacetan diperkirakan meningkat menjadi 55 persen pada 2010.
Total jaringan jalan raya tumbuh sebesar 12 persen antara tahun 2000 dan 2004. Proporsi jalan aspal mengalami
peningkatan sebesar 28 persen sejak 1998. Pada periode yang sama, jumlah kendaraan bermotor untuk per 1.000
orang telah meningkat menjadi 80 persen (Tabel 5.4).
Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya
Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
% perubahan
1998-2005
Jalan Aspal (% dari total) 47.3 57.1 57.1 58.9 57.6 58.3 -- 60.5 28
Sepeda Motor (per 1.000 orang) 87.8 89.5 92 100.1 108.5 118.7 133.2 158.2 80
Sumber: CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan terhadap Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan terhadap Temuan Sektor Jalan Raya.
Jalan bebas hambatan, termasuk jalan lingkar untuk wilayah pusat perkotaan, akan membantu mengurangi
kemacetan dan, dengan memperlancar hubungan antarkota akan mempercepat pertumbuhan. Akan tetapi,
sebagian besar jalan bebas hambatan ini baru berada pada tahap perencanaan. Persiapannya sedang berlangsung
bagi investasi sektor swasta untuk jalan lingkar luar kota Jakarta, tetapi masalah keuangan untuk investasi ini akan
memerlukan pemecahan atas berbagai permasalahan, termasuk proses pembebasan tanah dan kondisi dan tingkat
dukungan pemerintah. Rencana untuk membangun jalan raya lintas Pulau Jawa yang menghubungkan Jakarta dan
Surabaya perlu juga memperhatikan isu-isu yang sama. Rencana ini selanjutnya akan menjadi sangat sulit karena
perusahaan swasta menerima kontrak sebelum 1998, tetapi saat ini perusahaan tersebut tidak mampu menyediakan
dana.
Solusi peningkatan transportasi umum diperlukan untuk mengurangi kemacetan di pusat-pusat perkotaan.
Di Jakarta, sebuah jalur dibuat khusus untuk busway telah beroperasi pada Januari 2004 dan, sampai Maret 2006,
jumlah penumpang tiap hari mencapai 120.000 orang. Masalah kemacetan masih merupakan pemandangan sehari-
hari di tengah kota, sementara pembangunan sistem transportasi cepat massal monorail juga dalam pelaksanaan di
Jakarta.
73 Pengeluaran untuk sub-sektor jalan raya sebesar 80 persen dari total anggaran yang digunakan dalam sektor transportasi .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
84
BAB 5 Infrastruktur
Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003
4
91
58
14
8
22
97
82
69
15
48
57
16
0
20
40
60
80
100
120
K
m
a
o
b
j
a
C
n
h
i
a
n
I
d
o
e
n
a
i
s
L
o
a
s
M
n
o
g
a
o
i
l
F
p
i
l
l
i
n
i
a
a
T
a
h
l
i
d
n
E
r
o
p
a

T
i
m
u
r

&
A
s
i
a

T
e
n
g
a
h
A
s
i
a

S
e
l
a
t
a
n
K
a
w
a
s
a
n

T
i
m
u
r

T
e
n
g
a
h
&
A
f
r
i
k
a
U
t
a
r
a
S
b
u
S
a
a
h
a
r
k
A
i
r
f
a
A
m
e
r
i
k
a
L
a
t
i
n
&
K
a
r
i
b
i
a
P
e
r
s
e
n
t
a
s
i

d
a
r
i

k
e
s
e
l
u
r
u
h
a
n

R
u
a
s

J
a
l
a
n
Sumber: World Bank, 2005.
Mutu jalan nasional Indonesia relatif tinggi, tetapi terlalu banyak jalan daerah pemeliharaannya sangat
buruk. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini, sebagian besar jalan raya di Indonesia (sekitar 60 persen)
sudah diaspal (Diagram 5.2). Sementara proporsi jalan nasional yang dalam keadaan baik mengalami penurunan sejak
2000, masih lebih dari 80 persen. Sebaliknya, mutu rata-rata jalan daerah tidak mengalami perubahan sejak 2002, dan
juga tidak memadai dengan perkiraan hanya setengah masih dalam keadaan cukup baik (Tabel 5.5). Beberapa daerah
paling miskin di kawasan Indonesian timur, di mana jumlah penduduk dan permintaan terhadap kendaraan masih
rendah, masih tidak memiliki akses terhadap jalan.
Tabel 5.5 Mutu jalan raya , 2000-06

Panjang
(km)
Kondisi
(% Sangat baik-baik)
Mutu Permukaan
(% diaspal)
2000 2006
Jalan Tol 649 100
Jalan raya Nasional 34,628 87 81 90
Jalan raya Provinsi 37,164 81 63 89
Jalan raya Kabupaten/kota 240,946 49* 49 52
Total Km Jalan raya 339,005 60.5
Sumber: Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2005, Statistik Departemen Pekerjaan Umum, CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan
Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan Temuan Sektor Jalan Raya.
Catatan: * Data untuk kabupaten/kota tahun 2002 karena nilai untuk tahun 2000 tidak konsisten.
Air dan Sanitasi
Akses terhadap air pipa sangat terbatas dan penyedia air pipa (PDAM) sedang mengalami krisis. Air pipa yang
disediakan oleh PDAM merupakan sumber yang paling dapat diandalkan, paling aman dan, dalam jangka panjang
merupakan solusi paling murah untuk penyediaan air di wilayah pusat perkotaan, tetapi hanya 31 persen dari penduduk
di wilayah perkotaan dan 17 persen dari seluruh jumlah penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. Angka ini
sangat rendah berdasarkan standar regional (Tabel 5.6). Kualitas air dan keteraturan persediaannya menurun, dan
ketersediaan fasilitas penampungan air sangat terbatas. Kerugian air, baik secara fsik maupun administrasi, berkisar
sekitar 50 persen dan terkadang sampai dengan 60 persen dari produksi PDAM. Kecuali ada perubahan kebijakan,
dan mengingat kinerja operasional yang buruk serta tidak adanya akses terhadap pendanaan, sebanyak 316 PDAM
Indonesia secara perlahan akan merugi dan menghentikan layanannya, sehingga akan semakin mengurangi tingkat
akses terhadap air pipa.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
85
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa, 2003
Nasional Modal
Country
Wilayah perkotaan
(%)
Wilayah pedesaan
(%)
Total (%) Ibukota saja (%)
Malaysia 95 64 84 100
Philippines 60 22 44 58
Thailand 80 12 34 83
Vietnam 51 1 14 84
Indonesia 31 5 17 51
Cambodia 31 1 6 84
Sumber: UN (2004). ADB (2004).
Tekanan politik untuk melakukan perubahan masih sangat lemah karena masyarakat telah mampu
mengembangkan strategi penyelesaian. Strategi ini tercermin dalam data resmi bahwa laporan akses terhadap
air yang semakin baik sebesar 69 persen dari penduduk wilayah pedesaan dan 89 persen dari penduduk wilayah
perkotaan. Tetapi strategi penyelesaian masalah air ini melibatkan sektor swasta, dan sering tidak terdaftar, pembuatan
sumur yang tidak bisa diandalkan akibat pencemaran air tanah. Di sejumlah daerah, penggalian sumur oleh pihak
swasta telah mencapai tingkat yang menyebabkan terjadinya perembesan air laut dan penurunan permukaan
tanah.
Indonesia mengalami kekurangan fasilitas sanitasi dan sistem pengolahan air limbah. Data resmi menunjukkan
bahwa 71 persen dari penduduk wilayah perkotaan dan 38 persen dari penduduk wilayah pedesaan memiliki akses
terhadap sanitasi yang semakin baik, tetapi data ini termasuk sambungan tangki septik bawah tanah yang cukup
banyak yang pada kenyataannya tidak pernah dikuras dan mengalami kebocoran yang akhirnya mencemari lingkungan
dan air tanah. Hanya 1,3 persen dari seluruh penduduk tersambung dengan sistem pembuangan limbah sebuah
sistem kecil beroperasi di Jakarta. Kegagalan untuk mengolah air limbah menyebabkan munculnya pencemaran
sumber-sumber air, yang selanjutnya meningkatkan biaya untuk memproduksi air bersih dan berkontribusi terhadap
prevalensi yang cukup tinggi dari sejumlah penyakit seperti tipus dan penyakit menular lainnya di Indonesia.
Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren
Agregat (pemerintah dan swasta ) pengeluaran infrastruktur Indonesia berjumlah sekitar 8,4 persen dari
PDB. Investasi infrastruktur per tahun berjumlah sekitar 3,4 persen dari PDB, ditambah pengeluaran operasional dan
pemeliharaan menunjukkan angka sebesar 5,0 persen dari PDB (Tabel 5.7). Pengeluaran publik untuk infrastruktur
berjumlah 10,1 persen dari pengeluaran nasional pada tahun 2004, persentase yang lebih rendah dari dua tahun
sebelumnya (10,4 persen). Pengeluaran untuk infrastruktur mengalami penurunan terutama karena terjadi penurunan
terus-menerus pada investasi sektor swasta. Penurunan investasi infrastruktur sejak akhir tahun 1990-an merupakan
isu utama yang harus diperhatikan dalam kebijakan infrastruktur. Tingkat investasi infrastruktur masih rendah menurut
standar, terutama jika dibandingkan dengan negara seperti China dan Vietnam, yang melakukan investasi sekitar 10
persen dari PDB untuk infrastruktur, atau negara masih berkembang lainnya seperti Laos dan Mongolia, masing-
masing yang melakukan investasi sebesar 4 sampai 7 persen dari PDB.
74
74 World Bank, 2005. Connecting East Asia: A new framework for infrastruktuce, lampiran data.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
86
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur
Rp triliun
(harga konstan 2004)
% dari PDB
2002 2003 2004 2002 2003 2004 Avg. 02-04
1. Pengeluaran publik untuk infrastruktur (2 + 3) 174.74 179.48 177.26 8.2 8.3 7.7 8.4
Investasi 69.59 64.51 62.18 3.3 3.0 2.7 3.4
Operasional &Pemeliharaan 105.15 114.97 115.08 4.9 5.3 5.0 5.0
2. Anggaran pada seluruh tingkat pemerintahan a/ 36.23

47.33

39.88
1.7 2.2 1.8 2.1
Pemerintah pusat 16.61 22.74 17.40 0.8 1.0 0.8 1.2
Investasi b/ 7.88 13.83 9.70 0.4 0.6 0.4 0.8
Operasional &Pemeliharaan 8.73 8.91 7.70 0.4 0.4 0.3 0.4
Pemerintah daerah 19.61 24.59 22.48 0.9 1.1 1.0 0.9
Investasi 12.43 16.64 14.97 0.6 0.8 0.7 0.7
Operasional &Pemeliharaan 7.19 7.95 7.51 0.3 0.4 0.3 0.2
3. BUMN 110.44 123.65 128.24 5.2 5.7 5.6 5.5
Investasi c/ 21.21 25.54 28.37 1.0 1.2 1.2 1.2
Operasional &Pemeliharaan 89.23 98.11 99.87 4.2 4.5 4.4 4.4
4. Sektor swasta 28.45 8.93 9.58 1.3 0.4 0.4 0.7
Investasi komitmen d/ 28.07 8.50 9.14 1.3 0.4 0.4 0.7
Total pengeluaran infrastruktur (2 + 3 + 4) 174.73 179.48 177.26 8.3 8.3 7.8 8.3
Total investasi 69.58 64.51 62.18 3.3 3.0 2.7 3.3
Total Operasional &Pemeliharaan 105.15 114.96 115.08 5.0 5.3 5.1 5.0
Sumber: Data DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan perusahaan dan neraca; database PPI Bank Dunia.
Catatan: a/ Pengolahan data anggaran pemerintah, seluruh tingkat pemerintahan, b/ Sedikit variasi sehubungan data investasi publik sebelum-
nya dijelaskan berdasarkan akses terhadap data yang dis-agregat untuk periode 2002-04, yang memungkinkan penentuan kategorisasi lebih
rinci dari total pengeluaran untuk investasi dan Operasional &Pemeliharaan, c/ Investasi atau Angka Capex. Jika tidak ada informasi lain yang bisa
ditemukan, perbedaan dari tahun ke tahun dalam persediaan modal dianggap sebagai perkiraan Capex, d/ Investasi sektor swasta yang diukur
sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan fnansial.
Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur
Pemerintah Pusat
14%
Sektor Swasta
5%
Investasi
16%
Operasional &
Pemel i haraan5%
Pemerintah Daerah
(Provi nsi &
Kabupaten/Kota)
10%
Badan Usaha
milik Negara
70%
Sumber: Data dari DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia.
Pengeluaran BUMN berjumlah lebih dari 70 persen dari total pengeluaran infrastruktur. Akan tetapi,
pengeluaran BUMN sebagian besar didorong oleh kegiatan operasional dan pemeliharaan, dan lebih rendah untuk
investasi (Diagram 5.3). Pengeluaran anggaran publik pemerintah pusat berjumlah sedikit lebih besar daripada
pengeluaran pemerintah daerah. Peranan pengeluaran sektor swasta masih sangat terbatas, dengan jumlah hanya 5
persen dari total pengeluaran.
Baik investasi sektor publik maupun sektor swasta untuk infrastruktur telah mengalami penurunan relatif
terhadap besaran ekonomi (Tabel 5.8). Komitmen investasi sektor swasta di atas 2 persen dari PDB pada
pertengahan 1990-an, tetapi turun di bawah 0,5 persen pada 2003 dan 2004. Investasi pemerintah (pusat dan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
87
BAB 5 Infrastruktur
daerah) berjumlah hampir 3 persen dari PDB pada pertengahan tahun 1990-an, sementara sejak krisis angka-angka
tersebut telah menurun antara 1,1 sampai 1,8 persen. Dari 2002 sampai 2005, investasi yang dilakukan oleh BUMN
telah meningkat secara perlahan dari 1,0 persen dari PDB menjadi 1,3 persen, tetapi jumlah ini tidak memadai untuk
mengatasi penurunan investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta. Walaupun investasi pemerintah
terus mengalami peningkatan secara absolut sejak 2002, peningkatan ini tidak setara dengan pertumbuhan ekonomi.
Selama 2002-04, satu-satunya periode tersedianya data lengkap, total investasi meningkat secara absolut tetapi
menurun jika dilihat dari proporsi terhadap PDB dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,9 persen.
Tabel 5.8 Tren investasi
Rp triliun harga konstan(2001) % dari PDB
Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/ Total Swasta a/ Pemerintah b/ BUMN c/ Total
1994 8.56 32.59 NA -- 0.8 2.9 -- --
1995 26.91 32.84 NA -- 2.4 2.7 -- --
1996 28.12 29.75 NA -- 2.3 2.2 -- --
1997 25.52 31.41 NA -- 1.8 1.9 -- --
1998 6.79 27.94 NA -- 0.5 1.8 -- --
1999 14.78 20.13 12.61 47.52 1.2 1.4 1.0 3.6
2000 1.46 16.49 11.45 29.40 0.1 1.1 0.7 1.9
2001 9.38 21.52 10.09 41.00 0.6 1.3 0.6 2.4
2002 22.16 18.98 16.75 57.88 1.3 1.1 1.0 3.5
2003 6.71 28.67 20.17 55.55 0.4 1.7 1.2 3.2
2004 7.21 23.09 22.40 52.71 0.4 1.3 1.2 2.9
2005 -- -- 24.84 1.3
Sumber: Data DepKeu yang telah diolah; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia.
Catatan: 1/ Termasuk listrik , gas, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, bandara, jalur kereta, air pipa, dan sanitasi, pengelolaan sumber air, dan
irigasi; a/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan fnansial; b/ Pengeluaran pembangunan
terkait infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). d/ Data BUMN yang tidak lengkap; data tersedia
untuk investasi , infrastruktur BUMN 1999-2001, tetapi tidak semuanya.
Sebelum krisis, investasi sektor swasta tersebar di seluruh sektor infrastruktur; dan sejak krisis investasi
terkonsentrasi di sektor telekomunikasi (Tabel 5.9). Pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 1990-an,
investasi sektor swasta mencapai tingkat 2,3 persen dari PDB. Pada tahun 2003 dan 2004 investasi hanya mencapai
0,4 persen dari PDB.
Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta*
Energi Air dan sanitasi Transportasi Telekomunikasi Total
1994 466 0 236 2,417 3,119
1995 5,531 448 607 4,143 10,729
1996 7,851 0 0 4,142 11,993
1997 7,600 364 2,067 1,522 11,553
1998 1,530 2,931 0 410 4,871
1999 976 0 8,028 3,780 12,784
2000 0 0 0 1,312 1,312
2001 0 377 0 9,006 9,383
2002 1,933 0 6,045 16,814 24,792
2003 0 0 0 7,998 7,998
2004 1,084 0 31 8,021 9,137
2005
Total 26,971 4,119 17,015 59,566 107,671
% of total 25.0 3.8 15.8 55.3 100.0
Sumber: Database PPI Bank Dunia, Angka-angka tidak termasuk proyek yang dibatalkan.
Catatan: Angka saat ini dalam miliar Rupiah, nilai tukar yang digunakan adalah untuk Tahun Kalender (CY) yang bersangkutan, bersumber dari
Pemerintah Indonesia , * Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan fnan-
sial.
Sejak 2001, pemerintah daerah telah mengambil bagian yang semakin besar dalam pengeluaran
pembangunan di sektor infrastruktur, sebagai bagian dari desentralisasi tanggung jawab pemerintah secara
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
88
BAB 5 Infrastruktur
umum. Proporsi pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat dari 35 persen pada 2000 menjadi
55 persen pada 2004, dimana pengeluaran pemerintah provinsi berjumlah 20 persen dan pengeluaran pemerintah
kabupaten/kota 35 persen (Diagram 5.4).
Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur
0
10
20
30
40
50
60
70
2000 2001 2002 2003 2004
%

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

I
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r

d
a
r
i

t
o
t
a
l

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
Pemerintah Pusat Provinsi Kabupaten/Kota Provinsi & Kabupaten/Kota
%
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD.
Dalam total anggaran pembangunan, proporsi desentralisasi investasi bervariasi cukup besar menurut sub-
sektor (Diagram 5.4). Komponen terbesar dari total anggaran pembangunan adalah transportasi, di mana jumlah
ini didominasi oleh investasi jalan. Antara 2000 dan 2004, besarnya anggaran pembangunan untuk transportasi
meningkat dari 62 persen menjadi 75 persen, dan pengeluaran daerah untuk sektor transportasi ini meningkat
dari 56 persen pada 2001 menjadi 64 persen pada 2004. Secara nominal, pengeluaran pembangunan pemerintah
daerah untuk transportasi meningkat dari Rp 4,498 miliar menjadi Rp 14,460 miliar selama empat tahun yang sama.
Pemerintah pusat memiliki jumlah terbesar dari anggaran pembangunan untuk sumber daya air dan irigasi. Anggaran
pembangunan berperan kecil dalam sektor energi dan telekomunikasi, di mana BUMN dan perusahaan swasta
merupakan pemain yang lebih penting, tetapi peran yang ada untuk pemerintah dalam kedua sektor ini didominasi
oleh pemerintah pusat.
Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran investasi berdasarkan unit pengeluaran
0
5
10
15
20
25
Pengelolaan
Sumber Air
Irigasi Tr ansportasi Energi Tel ekomunikasi
R
p

t
r
i
l
i
u
n
;

H
a
r
g
a

y
a
n
g

b
e
r
l
a
k
u
Swasta
BUMN
Kabupaten/Kota
Provinsi
Pusat
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD
Catatan: Pengeluaran BUMD (PDAM) untuk sumber air hanya dapat diperkirakan secara umum. Ahli-ahli industri memperkirakan bahwa angka 0
adalah perkiraan yang valid untuk investasi di sektor ini.
Pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur tidak sepadan dengan tingkat
pertumbuhan pendapatan riil mereka. Hal ini sebagian dapat mencerminkan prioritas daerah, dengan sektor
pendidikan dan kesehatan yang menempati proporsi peningkatan cukup tinggi untuk pengeluaran pembangunan di
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
89
BAB 5 Infrastruktur
daerah, tetapi mungkin juga kemampuan pemerintah daerah terkendala untuk meningkatkan investasi infrastruktur.
Tingkat pengeluaran yang rendah untuk sektor infrastruktur dapat juga mencerminkan penundaan perencanaan,
dalam hal ini keseimbangan antara pengeluaran infrastruktur dan pengeluaran untuk kategori lain terus mengalami
kemunduran. Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa karena kapasitas atau alasan lain, pemerintah daerah tidak mampu
untuk meningkatkan investasi infrastruktur yang diinginkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
bahwa simpanan anggaran pemerintah daerah di bank telah mengalami akumulasi cukup cepat tidak kurang dari Rp
10 triliun pada Januari 2001 sampai lebih dari Rp 70 triliun (2,6 persen dari PDB) pada April 2006, yang menunjukkan
ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk menggunakan alokasi anggaran mereka secara penuh.
Telaah yang lebih rinci diperlukan untuk menentukan mengapa investasi pemerintah daerah di sektor infrastruktur
tidak mengikuti percepatan pertambahan penerimaan pemerintah daerah, terutama mengingat mutu dan indikator
yang rendah dari investasi yang ada di Indonesia.
Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan a/Rata-rata 2002-04
Investasi
(Rp milyar)
Operasional & Pemeliharaan
(Rp milyar)
Rasio O&M
terhadap Investasi
Air & Sanitasi 1/ 1,131 9,278 8.21
Transportasi (Di luar jalan raya) 10,716 6,539 0.61
Jalan raya 2/ 15,159 3,328 0.22
Gas alam 3/ 2,641 1,046 0.40
Listrik 4/ 9,551 61,025 6.39
Telekom 5/ 13,156 21,772 1.66
TOTAL 54,817 102,989 1.88
Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan.
Catatan: a/ Termasuk seluruh tingkat pemerintahan dan BUMN; 1/ dikeluarkan dari pengolahan sumber air untuk dalam anggaran pengeluaran;
PDAM untuk pengeluaran di luar; 2/ Jalan tol untuk pengeluaran di luar (BUMN); 3/ PGN; 4/ PLN; angka-angka untuk Operasi & Pemeliharaan ter-
masuk pembayaran subsidi secara eksplisit yang diterima PLN untuk mensubsidi tarif. Subsidi ini merupakan jumlah quasi-jumlah biaya Operasi &
Pemeliharaan yang dikeluarkan melalui anggaran pemerintah untuk sektor listrik ; 5/ Indosat dan Telkom.
Rasio pengeluaran operasional terhadap investasi di Indonesia menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan
tidak memadai serta kurangnya investasi untuk sektor air bersih dan listrik (Tabel 5.10). Sektor listrik juga
memiliki tingkat rasio yang tinggi untuk biaya operasional investasi, yang menunjukkan investasi yang tidak memadai,
tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh adanya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam rangka
menutup rendahnya pendapatan PLN yang diperlihatkan sebagai biaya operasional. Keseimbangan yang sesuai antara
biaya investasi dan operasional sangat bervariasi pada lintas sektoral sesuai dengan intensitas modal dan tingkat
pertumbuhan permintaan. Kajian sektor yang lebih rinci dengan standar teknis disarankan untuk menentukan tingkat
pengeluaran yang memadai dengan mengingat aset infrastruktur Indonesia dan targets pembangunan.
Biaya operasional dan pemeliharaan untuk telekomunikasi dan listrik yang dikeluarkan oleh BUMN sebagai
proporsi dari PDB telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertumbuhan dalam sektor telekomunikasi
merupakan cerminan dari perkembangan pentingnya sektor ini dalam pembangunan ekonomi. Pertumbuhan biaya
operasional dan pemeliharaan PLN mungkin juga sebagian mencerminkan tingkat pertumbuhan permintaan sektor
ekonomi, tetapi penjelasan kunci terletak pada kenaikan harga BBM pada beberapa tahun terakhir ini, dan subsidi
biaya operasional yang diperlukan akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh pengenaan tarif di bawah
biaya produksi. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk BUMN yang menyediakan layanan jalan tol, pelabuhan,
bandara, dan gas seluruh memiliki proporsi PDB yang stabil dalam beberapa tahun terakhir ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
90
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.11 Biaya Operasional dan pemeliharaan BUMN
% PDB 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Jalan tol (BUMN) 0.04 0.05 0.05 0.05
Bandara (Angkasa Pura) 0.05 0.05 0.08 0.08 0.08 0.07
Pelabuhan laut (Pelindo I-IV) 0.09 0.10 0.10 0.10
Gas alam (PGN) 0.03 0.03 0.03 0.04 0.05 0.05
Listrik (PLN) 1.96 1.96 1.94 2.81 2.88 2.63 2.79
PT Telkom 0.53 0.63 0.74 0.85 0.90
PT Indosat 0.12 0.11 0.20 0.26 0.29 0.32 0.29
Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan.
Listrik
PLN melakukan investasi sebesar Rp 8,620 milyar pada tahun 2005, sementara biaya operasional dan
pemeliharaannya berjumlah Rp 76,024 milyar (Diagram 5.6). Anggaran pemerintah juga telah memberikan
berkontribusi terhadap investasi melalui program kelistrikan, dengan rata-rata jumlah Rp 1,903 milyar per tahun
selama 2002-04. Total pengeluaran untuk sektor listrik menjadi sekitar 3,2 persen dari PDB.
Biaya eksplisit dan implisit dari subsidi pemerintah untuk biaya operasional PLN berkisar sekitar Rp 38
triliun (1,4 persen dari PDB) pada tahun 2005. Pemerintah menyediakan subsidi eksplisit kepada PLN untuk
menutupi perbedaan antara tarif yang ditentukan dan biaya sebenarnya untuk memberikan layanan yang berbeda,
termasuk pelanggan rumah tangga, industri, dan perdagangan. Pembayaran subsidi eksplisit berjumlah Rp 16.890
miliar (0,6 persen dari PDB) pada 2005, dan subsidi ini bisa mencapai Rp 24,000 miliar pada 2006. Karena subsidi BBM
belum seluruhnya dihapuskan, PLN juga memperoleh manfaat dari subsidi implisit terhadap BBM. Subsidi implisit
ini diperkirakan berjumlah Rp 20,6 milyar pada tahun 2005. Akhirnya, pemerintah menyediakan subsidi sambungan
untuk meningkatkan pelistrikan di wilayah pedesaan. Biaya subsidi ini berjumlah sekitar Rp 500 milyar pada tahun
2005 (Lihat Bab 1 untuk informasi lebih rinci tentang subsidi listrik).
Diagram 5.6 Pengeluaran PLN
0
20,000
40,000
60,000
80,000
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Operasional Investasi Pemeliharaan
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Operasional Investasi Pemeliharaan
Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN.
Dalam upaya penciptaan sumber tenaga listrik, beberapa distorsi dan kendala untuk memperluas akses
merupakan akibat dari kebijakan harga dan subsidi. Subsidi BBM menyebabkan PLN menggunakan BBM
untuk memproduksi listrik, termasuk pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas. Karena
kenaikan BBM pada tahun-tahun terakhir ini dan penghapusan subsidi BBM, biaya sebenarnya yang dikeluarkan
PLN untuk memberikan layanan telah meningkat dengan cepat. Namun demikian, tarif PLN masih tetap sama dan
kini PLN menderita kerugian ekonomi yang cukup besarkerugian yang ditanggung oleh pemerintah. Untuk masa
mendatang, memang dibutuhkan harga eceran listrik untuk mencerminkan biaya untuk mengontrol konsumsi listrik
dan untuk meningkatkan tambahan investasi. Tingkat dan struktur harga yang ada sekarang merupakan akibat dari
pemberian alokasi subdisi sumber daya yang tidak efsien dan sasaran subsidi yang tidak baik. Sementara itu, tarif
seragam yang berlaku saat ini tidak memberikan insentif untuk memperluas sambungan di kawasan Indonesia Timur
yang memerlukan biaya tinggi.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
91
BAB 5 Infrastruktur
Langkah besar untuk menangani kesenjangan investasi dan mengurangi biaya produksi kini sedang
ditangani melalui rencana untuk mendorong peningkatan kapasitas pengadaan listrik PLN sampai dengan
10.000MW menggunakan mesin pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara dalam beberapa
tahun ke depan. Pada 2006, PLN menaikkan tambahan kapasitas sebesar 2.500 MW pada jaringannya. Di samping
itu, rencana perluasan PLN sedang ditinjau untuk menjamin tambahan kapasitas benar-benar dilaksanakan dengan
penentuan tahapan secara berhati-hati serta penentuan posisi pembangkit tenaga listrik, bersama dengan transmisi
yang bersangkutan dan fasilitas distribusi, harus sesuai dengan kebutuhan pusat-pusat pertumbuhan permintaan. Di
samping adanya pembangkit tenaga listrik seperti ini, pemerintah akan berusaha untuk mengurangi beban hutang
PLN dengan mengundang investor swasta untuk membangun pembangkit independen agar mereka menjual listrik
mereka kepada PLN.
Jalan
Pada 2004, pengeluaran untuk jalan berjumlah sekitar 1 persen dari PDB, dengan investasi jalan mendekati
tingkat sebelum krisis. Investasi yang berjumlah Rp 18,2 triliun (0,8 persen dari PDB), biaya operasional jalan raya
sebesar Rp 1,4 triliun (0,06 persen dari PDB) dan biaya pemeliharaan sebesar Rp 2,5 triliun (0,11 persen dari PDB)
(Diagram 5.6, Tabel 5.4).
Biaya pemeliharaan jalan raya mencerminkan kondisi relatif dari jalan raya nasional, provinsi dan kabupaten/
kota. Pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 32 juta per kilometer untuk biaya pemeliharaan rutin dan reguler,
pemerintah provinsi menggunakan sekitar Rp 18 juta per kilometer, dan pemerintah kabupaten/kota menggunakan
sebanyak Rp 2,5 juta per kilometer.
75
Pemeliharaan jalan raya dengan tingkat yang lebih tinggi akan lebih mahal untuk
dilaksanakan dan mungkin akan memerlukan pemeliharaan yang lebih sering akibat penggunaan yang lebih luas.
Kondisi yang lebih buruk dari jalan raya di daerah menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pemeliharaan jalan raya
di daerah seharusnya ditingkatkan. Mengingat buruknya kondisi jalan raya daerah yang ada sekarang, sepertinya
tambahan biaya pemeliharaan akan menghasilkan manfaat pengembalian sosial yang tinggi.
Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004



H
a
r
g
a

K
o
n
s
t
a
n

t
a
h
u
n

2
0
0
0
;

R
p

t
r
i
l
i
u
n
Pusat Provinsi Kabupaten/kota Nasional
Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia.
Pembangunan jalan bebas hambatan antarkota dan jalan lingkar yang baru untuk kota-kota besar akan
membutuhkan peningkatan investasi untuk jalan raya. Konstruksi jalan bebas hambatan trans-Jawa yang
menghubungkan Jakarta dengan Surabaya dengan panjang sekitar 870km jalan bebas hambatan yang baru
diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp 49 triliun, dimana untuk pembebasan tanah akan memerlukan biaya
sebesar Rp 5 triliun. Sebuah sistem jalan bebas hambatan akan diperlukan untuk pulau Sumatera. Pemerintah sedang
mengajak sektor swasta untuk bersama-sama memikul beban pendanaan, dan pihak swasta juga selanjutnya akan
dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan melalui pengenaan tol. Mengingat besarnya risiko fnansial terlibat
dalam proyek jalan raya, maka diperlukan persiapan proyek yang sangat hati-hati untuk memaksimalkan dukungan
pemerintah terhadap proyek-proyek tersebut.
75 Dihitung menggunakan angka-angka biaya pemeliharaan untuk 2004 dari Tabel 5.12 dan panjang jaringan jalan raya pada 2006 dari Tabel 5.5.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
92
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya, 2004
Rp milyar % dari PDB
Operasional Pemeliharaan Pemeliharaan Pemeliharaan
Pemerintah pusat 450 1,105 0.020 0.049
Provinsi -- 609 -- 0.027
Kabupaten/kota 590 0.026
BUMN 910 204 0.040 0.009
Total 1,360 2,508 0.060 0.110
Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN.
Konstruksi jalan raya yang dioperasikan sektor swasta untuk jalan lingkar wilayah perkotaan dan jalan bebas
hambatan antarkota dapat memberikan kontribusi signifkan terhadap tingkat pertumbuhan di tahun-tahun
yang akan datang, tetapi kesulitan untuk menarik investasi sektor swasta sepertinya akan memperlambat
proyek-proyek ini. Pemerintah telah mengembangkan kerangka kerja yang baru untuk investasi sektor swasta dalam
infrastruktur untuk menjamin alokasi yang tepat terhadap risiko bagi pemerintah untuk memberikan dukungan
terhadap untuk proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh sektor swasta. Pengaturan kelembagaan telah juga
dikembangkan untuk mendukung persiapan proyek yang dilakukan secara hati-hati. Namun demikian, pengalaman
dan kapasitas yang tidak memadai di pihak pemerintah untuk menyiapkan transaksi sementara pada saat yang
bersamaan melakukan perubahan kebijakan dapat semakin menunda proses ini.
Air dan Sanitasi
Data pengeluaran untuk sektor air bersih dan sanitasi sangat jarang dan tidak dapat diandalkan. Namun
demikian, pada dasarnya tidak ada investasi PDAM, dan biaya operasional dan pemeliharaan tidak konsisten dengan
mutu layanan. Dengan tarif yang lebih rendah dari biaya sebenarnya, PDAM tidak mampu mendanai investasi yang
baru melalui pendapatan mereka sendiri. Dan kebanyakan PDAM tidak cukup memenuhi syarat untuk melakukan
pinjaman untuk investasi baru. Pengeluaran pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum secara historis
merupakan sumber utama investasi baru tetapi, sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah daerah
diharapkan untuk memikul tanggung jawab untuk investasi penyediaan air bersih. Pinjaman jangka panjang yang
disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB juga merupakan sumber
investasi yang penting. Akan tetapi, tidak satu pun dari pinjaman semacam itu disetujui oleh Departemen Keuangan
sejak 2000 (Diagram 5.8), yang pada dasarnya telah mengakibatkan tidak adanya investasi PDAM selama kurun waktu
enam tahun kebelakang.
Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005
36
38
18
46
59
32
11
4
(nil) (nil) (nil) (nil) (nil)
93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05
Sumber: DepKeu.
Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam penyediaan layanan tingkat dasar untuk air bersih melalui
proyek-proyek pengembangan berbasis masyarakat, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, namun solusi
ini tidak akan murah atau bahkan tidak efektif untuk wilayah perkotaan. Ada juga sejumlah PDAM daerah
terpencil di mana para walikota yang inovatif telah melakukan manajemen yang pro-aktif, dan kemajuan telah dibuat
untuk mengurangi kerugian dan meningkatkan layanan.
Situasi menyedihkan dari sebagian besar PDAM ini merupakan akibat dari kombinasi berbagai kebijakan yang
tidak sesuai. Banyak negara menentukan tarif air di bawah biaya sebenarnya, tetapi rata-rata tarif air untuk keluarga
berpendapatan rendah di Indonesia kurang dari setengah tarif air dari penduduk berpendapatan paling rendah di
Vietnam (negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia), dan jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
93
BAB 5 Infrastruktur
Hampir setengah dari seluruh PDAM dilaporkan menentukan tarif di bawah biaya operasional dan pemeliharaan.
Situasi ini bertambah buruk di Indonesia akibat pengaturan tata kelola perusahaan yang lemah. Hal ini menyebabkan
pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM untuk mengumumkan adanya dividen bahkan saat mereka sedang
menderita kerugian, yang memungkinkan terjadinya pengalihan aliran uang PDAM untuk kepentingan-kepentingan
politik lainnya. Kinerja operasional yang buruk di Indonesia semakin diperparah akibat terjadinya fragmentasi yang
berlebihan. Banyak PDAM yang bekerja di bawah titik optimal, yang mengakibatkan timbulnya biaya operasional
yang berlebihan. Dengan demikian, kemungkinan untuk melakukan mergers (penggabungan) sangat perlu untuk
dipertimbangkan.
Jalan buntu yang dihadapi PDAM untuk mendapatkan bantuan pinjaman dari donor memerlukan perhatian
yang mendesak. Di antara berbagai kriteria yang diperlukan untuk melakukan pinjaman baru bagi PDAM adalah
bahwa baik PDAM maupun pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM tidak memiliki tunggakan utang dari pinjaman
sebelumnya. Sekitar 60 persen dari penduduk di wilayah perkotaan tinggal dalam wilayah di mana pemerintah
daerah atau PDAM memiliki utang yang masih tertunggak dan masyarakat ini, pada saat ini, secara efektif terhalang
untuk menikmati peningkatan layanan PDAM. Jumlah utang PDAM yang masih tertunggak sangat bervariasi, tetapi
sebagian dari hutang ini bisa direstrukturisasi dan dibayar dengan bantuan pinjaman baru. Dengan rencana saat ini
untuk melakukan restrukturisasi hutang terbatas kemungkinan akan diperlukan beberapa tahun sebelum investasi
baru dapat dimulai. Untuk itu diperlukan adanya rasa kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal ini.
Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses
Terdapat kesenjangan yang sangat besar antar provinsi dalam akses infrastruktur. Daerah diluar Jawa dan Bali
tertinggal (Tabel 5.13). Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku memiliki peringkat paling rendah dalam hal akses terhadap
infrastruktur dalam sektor listrik, air pipa, dan jalan raya. Peningkatan akses terhadap air pipa seharusnya menjadi
prioritas, karena akses penduduk desa terhadap air pipa benar-benar sangat rendah. Di Papua hanya tiga persen dari
seluruh desa yang memiliki akses terhadap air, sementara data yang sama di Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatera
masih berada di bawah 10 persen.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
94
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih
Pulau/Provinsi
Suplai Listrik Suplai Air Jalan raya
Desa dengan Listrik PLN Village dengan Air pipa Desa dengan jalan aspal
% Peringkat* % Peringkat* % Peringkat*
SUMATRA 66 3 9 4 51 3
Sumatera Utara 83 3 12 11 49 20
Nanggroe Aceh Darussalam 73 10 6 25 44 22
Sumatera Barat 70 15 29 3 78 5
Riau 60 17 1 33 39 27
Jambi 56 23 18 6 61 13
Sumatera Selatan 56 22 8 22 55 17
Bengkulu 57 20 10 17 68 10
Lampung 51 28 4 29 45 21
Kepulauan Bangka Belitung 78 6 2 32 89 3
Kepulauan Riau 76 7 16 7 49 19
JAWA/BALI 73 1 12 3 71 1
DKI Jakarta 99 1 47 2 100 1
West Java 76 8 9 19 73 8
Banten 79 5 6 23 57 15
Jawa Tengah 65 16 11 15 74 7
D I Yogyakarta 83 2 10 18 79 4
Jawa Timur 71 12 12 12 67 12
Bali 75 9 50 1 98 2
NUSA TENGGARA 32 7 9 5 49 4
Nusa Tenggara Barat 34 31 12 10 77 6
Nusa Tenggara Timur 30 33 8 21 40 25
KALIMANTAN 67 2 12 2 36 6
Kalimantan Barat 60 18 6 27 33 28
Kalimantan Tengah 57 19 6 28 18 33
Kalimantan Selatan 71 13 20 5 57 14
Kalimantan Timur 80 4 15 8 28 30
SULAWESI 63 4 14 1 54 2
Sulawesi Utara 72 11 23 4 71 9
Sulawesi Tengah 52 27 11 14 57 16
Sulawesi Selatan 70 14 15 9 55 18
Sulawesi Tenggara 49 29 10 16 43 23
Sulawesi Barat 53 25 6 26 29 29
Gorontalo 46 30 8 20 67 11
MALUKU 55 5 9 6 40 5
Maluku 56 21 6 24 39 26
Maluku Utara 53 24 12 13 42 24
PAPUA 38 6 3 7 19 7
Papua 34 32 3 30 18 32
Irian Jaya Barat 52 26 3 31 21 31
Sumber: Podes 2005.
Catatan:* Peringkat yang dilaporkan untuk pulau dan provinsi berkaitan dengan posisi relative mereka baik dalam gugus kepulauan maupun
provinsi.
Listrik
Subsidi konsumsi listrik yang diberikan dengan menetapkan tarif di bawah biaya menimbulkan dampak
regresif, memberikan manfaat paling besar kepada konsumen paling kaya dan memberikan manfaat paling
sedikit kepada konsumen paling miskin. Konsumen rumah tangga menyerap sebagian besar subsidi listrik (66
persen dari total subsidi pada 2006), diikuti oleh konsumen industri (29 persen), dan perusahaan (5 persen). Walaupun
tarif paling rendah untuk sambungan voltase rendah, yang biasanya digunakan oleh konsumen miskin, konsumen
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
95
BAB 5 Infrastruktur
miskin juga membeli listrik dalam jumlah kecil. Dampak gabungannya adalah konsumen miskin menerima jumlah
yang relative kecil dari total subsidi yang diberikan oleh pemerintah dibandingkan dengan konsumen kaya, yang
memiliki tingkat konsumsi listrik jauh lebih besar. Pemerintah dapat merancang ulang tarif yang ada sekarang agar
dapat memberikan subsidi yang lebih luas kepada konsumen miskin, dan pada saat yang sama memotong total
subsidi biaya konsumsi listrik.
Dampak regresif dari pemberian subsidi konsumsi listrik semakin meningkat jika mempertimbangkan
bahwa setengah penduduk wilayah pedesaan bahkan tidak memiliki akses terhadap listrik, sehingga mereka
sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari seluruh subsidi yang diberikan. Disparitas yang lebar atas akes
terhadap listrik antar dan dalam provinsi (Diagram 5.9) didorong oleh perbedaan biaya di wilayah yang berbeda,
tarif yang seragam secara nasional yang tidak memberikan insentif kepada PLN untuk membuat sambungan kepada
konsumen di wilayah-wilayah biaya tinggi, dan biaya sambungan yang tinggi yang menghambat keinginan konsumen
untuk mendapatkan layanan. Dalam sebuah survey rumah tangga yang tidak memiliki sambungan listrik, 87 persen
menyebutkan mahalnya biasa sambungan merupakan alasan utama, dan hanya 4 persen yang menyebutkan biaya
bulanan yang mahal. Realokasi sumber daya pemerintah antara konsumsi dan subsidi pemasangan sambungan
secara substansial dapat meningkatkan sasaran pengurangan kemiskinan.
Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
P
r
o
v
.
P
a
p
u
a
P
r
o
v
.
P
a
p
u
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
.
M
a
l
u
k
u
P
r
o
v
.
M
a
l
u
k
u
U
t
a
r
a
P
r
o
v
.
G
o
r
o
n
t
a
l
o
P
r
o
v
.
S
u
l
a
w
e
s
i
T
e
n
g
g
a
r
a
P
r
o
v
.
S
u
l
a
w
e
s
i
T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
.
S
u
l
a
w
e
s
i
B
a
r
a
t
P
r
o
v
.
S
u
l
a
w
e
s
i
S
e
l
a
t
a
n
P
r
o
v
.
S
u
l
a
w
e
s
i
U
t
a
r
a
P
r
o
v
.
K
a
li
m
a
n
t
a
n
T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
.
K
a
l i
m
a
n
t
a
n
B
a
r
a
t
P
r
o
v
.
K
a
li
m
a
n
t
a
n
T
i
m
u
r
P
r
o
v
.
K
a
li
m
a
n
t
a
n
S
e
l
a
t
a
n
P
r
o
v
.
N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
T
i
m
u
r
P
r
o
v
.
N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
.
J
a
w
a
T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
.
J
a
w
a
T
i
m
u
r
P
r
o
v
.
B
a
n
t
e
n
P
r
o
v
.
J
a
w
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
.
B
a
l
i
P
r
o
v
.
D
I
Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
P
r
o
v
.
L
a
m
p
u
n
g
P
r
o
v
.
S
u
m
a
t
e
r
a
S
e
l
a
t
a
n
P
r
o
v
.
J
a
m
b
i
P
r
o
v
.
B
e
n
g
k
u
l
u
P
r
o
v
.
R
i
a
u
P
r
o
v
.
S
u
m
a
t
r
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
.
K
e
p
u
l
a
u
a
n
R
i
a
u
P
r
o
v
.
K
e
p
u
l
a
u
a
n
B
a
n
g
k
a
B
.
P
r
o
v
.
S
u
m
a
t
r
a
U
t
a
r
a
P
r
o
v
.
N
a
n
g
g
r
o
e
A
c
e
h
D
.
Papua Maluku
Sulawesi Kalimantan NT
Java/Bali Sumatra Aceh
67.7 Mean Nasional

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005.
Catatan: Sampel data untuk wilayah pedesaan kabupaten/kota dari setiap provinsi. Grafk di atas merupakan pemetaan terhadap proporsi keluarga
di wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota yang memiliki sambungan listrik. Setiap garis vertical berwarna merah menunjukkan rentangan
data statistic di seluruh kabupaten/kota dalam pada satu provinsi yang sama. Titik-titik yang berwarna kuning pada setiap balok menunjukkan nilai
rata-rata provinsi untuk data statistic ini.
Jalan
Masih terdapat ketidaksetaraan yang begitu besar antar-kabupaten/kota terhadap tingkat dan kualitas
akses jalan raya. Indikasi ketidaksetaraan ini dapat dilihat dalam variasinya antar- dan dalam provinsi dalam proporsi
desa yang memiliki akses jalan utama (Diagram 5.10). Penyediaan terhadap akses jalan raya sepanjang musim
menunjukkan dampak besar terhadap kemiskinan. Investasi di tingkat kabupaten/kota diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan desa yang tidak memiliki akses terhadap jalan seperti ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
96
BAB 5 Infrastruktur
Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
P
r
o
v
. P
a
p
u
a
P
r
o
v
. K
a
lim
a
n
t
a
n
T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
. P
a
p
u
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
. K
a
lim
a
n
t
a
n
T
im
u
r
P
r
o
v
. K
a
lim
a
n
t
a
n
B
a
r
a
t
P
r
o
v
. M
a
lu
k
u
P
r
o
v
. S
u
la
w
e
s
i B
a
r
a
t
P
r
o
v
. R
ia
u
P
r
o
v
. N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
T
im
u
r
P
r
o
v
. M
a
lu
k
u
U
t
a
r
a
P
r
o
v
. L
a
m
p
u
n
g
P
r
o
v
. S
u
la
w
e
s
i T
e
n
g
g
a
r
a
P
r
o
v
. K
e
p
u
la
u
a
n
R
ia
u
P
r
o
v
. S
u
m
a
t
r
a
U
t
a
r
a
P
r
o
v
. S
u
m
a
t
e
r
a
S
e
la
t
a
n
P
r
o
v
. B
a
n
t
e
n
P
r
o
v
. J
a
m
b
i
P
r
o
v
. S
u
la
w
e
s
i S
e
la
t
a
n
P
r
o
v
. S
u
la
w
e
s
i T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
. K
a
lim
a
n
t
a
n
S
e
la
t
a
n
P
r
o
v
. S
u
m
a
t
r
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
. J
a
w
a
T
im
u
r
P
r
o
v
. G
o
r
o
n
t
a
lo
P
r
o
v
. S
u
la
w
e
s
i U
t
a
r
a
P
r
o
v
. B
e
n
g
k
u
lu
P
r
o
v
. J
a
w
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
. J
a
w
a
T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
. N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
B
a
r
a
t
P
r
o
v
. D
I Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
P
r
o
v
. K
e
p
u
la
u
a
n
B
a
n
g
k
a
B
e
lit
u
n
g
P
r
o
v
. B
a
li
53% Mean
Nasional
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005.
Catatan: Sample wilayah pedesaan pada kabupaten/kota untuk setiap provinsi.
Kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap 51 persen dari pengeluaran untuk jalan raya, tetapi akses
mereka ke penerimaan hanya memiliki hubungan yang kecil dengan tingkat kebutuhan pengeluaran mereka.
Sumber penerimaan paling besar sebagian besar pemerintah kabupaten/kota berasal dari dana alokasi umum (DAU),
yang didistribusikan berdasarkan pembayaran gaji pegawai negeri, yang menyebabkan daerah yang lebih miskin
tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk pembiayaan jalan raya. Dana dekonsentrasi ditargetkan untuk
memberikan jaminan alokasi lebih besar kepada kabupaten/kota yang memiliki akses jalan raya yang masih buruk,
tetapi transfer bersyarat kepada pemerintah kabupaten/kota (DAK) belum ditargetkan dengan baik Tabel 5.14).
Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota
Peringkat wilayah pedesaan kabupaten/kota
berdasarkan
proporsi desa dengan akses jalan raya
Pengeluaran
Kabupaten/kota
(di luar DAK)
%
DAK Jalan
raya
%
Dekonsentrasi
(Transportasi )
% Total
1 (Akses paling rendah thd. Jalan) 1.74 21 0.11 17 0.56 33 2.41
2 2.22 27 0.16 25 0.49 29 2.87
3 1.80 22 0.18 28 0.24 14 2.22
4 1.70 21 0.14 22 0.33 20 2.17
5 (Akses paling tinggi thd. Jalan) 0.67 8 0.05 8 0.07 4 0.79
Semuanya 8.1 100 0.7 100 1.7 100 10.5
Sebagai % total pengeluaran untuk Pengeluaran 77.6 6.3 16.1 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari realisasi APBD, data SIKD, DepKeu, dan Podes 2005.
Catatan: Angka-angka dalam Rp triliun.
Air
Akses terhadap air pipa sangat terbatas di seluruh provinsi di Indonesia, tetapi kelompok masyarakat miskin
memiliki tingkat yang paling rendah atas akses terhadap air (Diagram 5.11). Lebih dari 80 persen dari rumah
tangga dalam kuantil rakyat paling miskin dari total jumlah penduduk sangat bergantung pada air sumur dan dari
sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai, sementara tingkat keluarga yang menggunakan sumber-
sumber air ini menurun sampai di bawah 35 persen untuk kuintil kelompok paling kaya.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
97
BAB 5 Infrastruktur
Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantil konsumsi
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 (Termiskin) 2 3 4 (Terkaya)
Lain-lain
Mata air & Sungai
Sumur Tadah Hujan
Pompa
Air Kemasan
Air Pipa
%
5

Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005.
Kurangnya akses terhadap air pipa relatif sama di setiap provinsidan juga merupakan karakteristik
kemiskinan (Diagram 5.12). Hanya Bali yang telah mencapai banyak kemajuan dalam penyediaan air pipa, dan
bahkan kurang dari setengah jumlah seluruh keluarga telah memiliki akses terhadap air pipa. Secara umum, semua
provinsi setidaknya memiliki satu kabupaten/kota yang memiliki kurang dari 10 persen penduduk yang memiliki akses
terhadap air pipa. PDAM pada dasarnya tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan sambungan pipa kepada
rumah tangga miskin akibat rendahnya pendapatan dari penjualan air. Alasan untuk mempertahankan harga air
yang begitu rendah sangatlah lemah mengingat sebagian besar rakyat miskin bahkan tidak memiliki akses terhadap
layanan air pipa, dan sebagai akibat tarif yang rendah dimana penyedia layanan (PDAM) yang tidak mapan dari segi
fnansial tidak mampu memperluas layanan untuk rakyat miskin.
Diagram 5.12 Variasi proporsi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa
0
10
20
30
40
50
60
70
P
r
o
v
.

L
a
m
p
u
n
g
P
r
o
v
.

K
e
p
u
l
a
u
a
n

B
a
n
g
k
a

B
e
l
i
t
u
n
g
P
r
o
v
.

R
i
a
u
P
r
o
v
.

P
a
p
u
a
P
r
o
v
.

S
u
m
a
t
e
r
a

S
e
l
a
t
a
n
P
r
o
v
.

D

I

Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
P
r
o
v
.

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

B
a
r
a
t
P
r
o
v
.

B
a
n
t
e
n
P
r
o
v
.

J
a
m
b
i
P
r
o
v
.

J
a
w
a

B
a
r
a
t
P
r
o
v
.

G
o
r
o
n
t
a
l
o
P
r
o
v
.

J
a
w
a

T
i
m
u
r
P
r
o
v
.

B
e
n
g
k
u
l
u
P
r
o
v
.

M
a
l
u
k
u

U
t
a
r
a
P
r
o
v
.

J
a
w
a

T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
.

S
u
m
a
t
r
a

U
t
a
r
a
P
r
o
v
.

S
u
l
a
w
e
s
i

B
a
r
a
t
P
r
o
v
.

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
.

N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

B
a
r
a
t
P
r
o
v
.

S
u
l
a
w
e
s
i

S
e
l
a
t
a
n
P
r
o
v
.

S
u
m
a
t
r
a

B
a
r
a
t
P
r
o
v
.

M
a
l
u
k
u
P
r
o
v
.

K
e
p
u
l
a
u
a
n

R
i
a
u
P
r
o
v
.

N
u
s
a

T
e
n
g
g
a
r
a

T
i
m
u
r
P
r
o
v
.

S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
g
a
r
a
P
r
o
v
.

S
u
l
a
w
e
s
i

U
t
a
r
a
P
r
o
v
.

S
u
l
a
w
e
s
i

T
e
n
g
a
h
P
r
o
v
.

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

T
i
m
u
r
P
r
o
v
.

K
a
l
i
m
a
n
t
a
n

S
e
l
a
t
a
n
P
r
o
v
.

P
a
p
u
a

B
a
r
a
t
P
r
o
v
.

B
a
l
i
18% Rata-rata Nasional
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
98
BAB 5 Infrastruktur
Inisiatif Terkini dari Pemerintah
Pemerintahan baru, yang terpilih pada November 2004, segera menyadari bahwa kurangnya infrastruktur
merupakan salah satu hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan.
Perhatian telah banyak dicurahkan untuk menarik investasi sektor swasta dan mendorong investasi swasta setelah
terjadi penurunan tajam sejak krisis. Pada bulan Januari 2005, sebuah pertemuan tingkat tinggi Infrastructure Summit
diselenggaran, dengan mengundang potensi investasi sektor swasta sebesar US$22,5 milyar dalam 91 proyek .
Pemerintah menyampaikan komitmen untuk memfokuskan sumber dayanya untuk menangani proyek-proyek
investasi infrastruktur yang tidak memberikan keuntungan secara ekonomi, sambil menciptakan kemitraan yang baru
dengan sektor swasta untuk mengembangkan proyek-proyek yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Reaksi terhadap
komitmen itu sangat mengecewakan: kepercayaan investor masih sangat dipengaruhi oleh negosiasi ulang terhadap
proyek-proyek infrastruktur sebelum krisis; kebijakan yang masih berlaku menghambat persiapan proyek dengan
pendanaan perbankan; dan proyek-proyek yang ditawarkan tidak disiapkan dengan baik. Akibatnya, tidak satu pun
dari ke 91 proyek itu mampu mencapai kesepakatan fnansial sampai dengan akhir 2006.
Menyadari kendala-kendala tersebut, pemerintah telah berupaya keras untuk mencabut berbagai kebijakan
yang menghambat investasi dan mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk menyiapkan investasi
sektor swasta dan menciptakan iklim investasi yang baik. Pada bulan Februari 2006, pemerintah mengeluarkan
Paket Kebijakan Infrastruktur, dengan melaporkan 50 keluaran (output) kebijakan (undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan, peninjauan) dicapai selama 2005, dan sebanyak 156 kebijakan yang harus dicapai selama
2006. Tujuan besar dari program ini adalah untuk mendorong persaingan sehat, memberantas praktik-praktik yang
diskriminatif yang menghambat partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, serta melakukan defnisi
ulang terhadap peran pemerintah, termasuk pemisahan pembuatan kebijakan dan tanggung jawab operasional.
Kerangka kerja kelambagaan yang baru menunjukkan peningkatan kepemerintahan, tetapi memerlukan
waktu untuk mendapatkan hasil. Sebelum krisis, investasi infrastruktur sektor swasta memberikan keuntungan
investasi yang tidak proporsional kepada politisi tertentu dan menyebabkan anggaran publik menanggung risiko
yang cukup besar dan tidak imbang. Pendekatan yang baru adalah pendekatan yang terbuka dan pelaksanaan tender
yang transparan dan kompetitif, dengan persiapan proyek yang lebih berhati-hati, alokasi risiko yang sesuai dan secara
keseluruhan membatasi risiko yang harus ditanggung oleh pemerintah. Akan tetapi, setidaknya akan diperlukan
sekitar 18 bulan sampai dua tahun sebelum transaksi yang disiapkan dengan baik dapat ditawarkan ke pasaran dan
kesepakatan fnancial tertutup, dan bahkan mungkin lebih lama sebelum proyek-proyek pipa jaringan sektor swasta
mulai memberikan kontribusi yang signifkan terhadap investasi infrastruktur sebagai proporsi PDB.

Di samping investasi infrastruktur oleh sektor swasta, juga diperlukan untuk mendorong investasi Sektor
publik. Sementara prioritas pemerintah pusat telah mendorong peningkatan anggaran nasional yang sedang
dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan, lebih banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mendukung
pengeluaran pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur, termasuk pendanaan bersama, target insentif, dan
pelatihan untuk mengatasi kurangnya kapasitas
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
99
BAB 5 Infrastruktur
Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi Umum
Mobilisasi investasi swasta akan berjalan lambat yang menunjukkan akan perlunya perhatian yang lebih
besar terhadap peningkatan investasi sektor publik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak terhadap
infrastruktur di Indonesia. Mengingat besarnya kebutuhan investasi infrastruktur pada tahun-tahun mendatang,
maka diharapkan bahwa beban pendanaan seharusnya dipikul bersama dengan sektor swasta. Namun, menarik
investasi sektor swasta dalam jumlah besar akan memerlukan persiapan proyek yang lebih baik daripada apa yang
telah ditunjukkan oleh pemerintah selama ini. Meyakini bahwa sektor swasta mampu menyiapkan proyek-proyek
tersebut, termasuk melaksanakan analisis permintaan, studi kelayakan, studi tentang dampak lingkungan dan sosial
bagi pemerintah, merupakan kekeliruan .
Mengingat tingkat kesulitan dalam merancang transaksi infrastruktur sektor swasta, sangat masuk akal bagi
pemerintah untuk memfokuskan upaya pada persiapan beberapa model transaksi di sektor infrastruktur
yang berbeda. Sehubungan dengan terbatasnya pengalaman di dalam pemerintah sendiri untuk menyiapkan
dan merancang transaksi ini, pemerintah perlu mencari nasihat dari penasihat yang berpengalaman dalam hal
pelaksanaan transaksi dan juga perlu menyusun jadwal yang realistis untuk menyiapkan seluruh dokumen penting
yang diperlukan. Pengalaman yang diperoleh dari model transaksi ini dapat ditingkatkan untuk mendorong sektor
kontribusi sektor swasta dalam investasi infrastruktur.
Bahkan di mana mobilisasi investasi sektor swasta dapat dilakukan, dukungan publik yang cukup besar
akan diperlukan. Kebanyakan investasi swasta untuk infrastruktur akan memerlukan sejumlah elemen dukungan
pemerintah, dalam hal pembebasan tanah, subsidi operasional atau modal, atau jaminan bersyarat. Ketika ada
jaminan dari pemerintah, maka akan diperlukan untuk memberikan jaminan penggunaan berbagai sumber daya
secara efektif, dan alokasi risiko yang sesuai antara pemerintah dan pengembang swasta. Pemerintah tidak bisa
hanya mengandalkan pengembang swasta saja untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah,
atau bukanlah peran sektor untuk menentukan target atas dampak sosial yang diharapkan atas perluasan layanan.
Proses yang kompetitif dapat dirancang untuk menggali sejumlah informasi dari para pengembang, tetapi hal ini
memerlukan rancangan transaksi yang canggih. Mekanisme pendanaan publik yang dirancang secara berhati-hati
bagi pemberian layanan yang tidak memiliki daya tarik komersial akan sangat diperlukan.
Di samping peningkatan volume investasi infrastruktur, peningkatan efektivitas pengeluaran merupakan
isu kunci. Pemerintah memegang peran sangat penting dalam pengembangan dan pengelolaan infrastruktur di
Indonesia dan manajemen publik yang lebih baik untuk infrastruktur telah diidentifkasikan sebagai bidang yang
memiliki potensi yang begitu besar peningkatan efsiensi secara keseluruhan. Sebuah komite yang beranggotakan
sejumlah menteri, Komisi Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dibentuk pada 2005 dan menjadi
pelopor dalam meningkatkan kerangka kerja kebijakan bagi peningkatan investasi dalam sektor ini.
Upaya yang lebih besar seharusnya dibuat untuk mengatasi korupsi dalam pelaksanaan proyek-proyek
infrastruktur publik. Kemajuan akan dicapai dalam upaya ekonomi secara luas untuk memperkuat penyelidikan dan
penuntutan, melalui lembaga-lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kesepakatan baru tentang kepemerintahan yang telah diterapkan untuk investasi infrastruktur oleh sektor swasta
akan membantu menghindarkan beberapa transaksi yang bermasalah yang dilakukan sebelum 1998. Yang masih
tersisa adalah kebutuhan untuk mengatasi beberapa risiko spesifk terhadap korupsi yang terlibat dalam investasi
publik untuk infrastruktur. Banyak potensi perbaikan dapat dilakukan, termasuk peningkatan fokus risiko terhadap
pemeriksaan fsik, transparansi yang lebih besar terhadap proses pengadaan barang dan jasa, pemberian sanksi
yang lebih tegas terhadap perusahaan dan oknum yang terbukti bersalah melakukan tindak kejahatan korupsi, serta
melakukan revisi terhadap insentif untuk pegawai.
76
76 Untuk recent relevant research dan evidence on corruption dalam the Indonesia infrastruktur sektor, Lihat untuk example Ben Olken: Corruption
dan the biaya of re-distribusi: Micro-evidence dari Indonesia, Journal of Public Ekonomis 90 (4-5). pp. 853-870, May 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
100
BAB 5 Infrastruktur
Listrik
Investasi dalam jumlah besar akan diperlukan untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap listrik pada
tahun-tahun yang akan datang, dan sepertinya bebannya akan dipikul oleh sektor publik. Perlu diperhatikan
bahwa investasi sektor publik ini mengikuti prinsip-prinsip dasar tentang biaya minimal untuk melakukan ekspansi.
Keputusan mengenai subsidi BBM mengalami distorsi akibat perbedaan harga BBM untuk kebutuhan ekspor dan
kebutuhan dalam negeri. Distorsi ini seharusnya diatasi untuk menentukan harga BBM berdasarkan biaya ekonomi
yang sebenarnya.
Subsidi listrik yang ada sekarang sangat tidak efsien, yang mendorong konsumsi listrik yang berlebihan
dan lebih banyak menguntungkan konsumen kaya daripada rakyat miskin. Ke depan, tarif harus direvisi untuk
dinaikkan dan strukturnya harus direvisi untuk mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan ini;
bantuan pemerintah yang sekarang untuk melakukan kompensasi atas kesenjangan yang terjadi antara kenaikan
harga BBM dan tarif listrik PLN yang tidak berubah perlu segera dintinjau. Rencana yang disusun dengan baik
untuk melakukan transisi yang lancar diperlukan, karena implikasi politik atas kenaikan harga yang dramatis akan
sangat besar dan kenaikan tarif listrik yang begitu cepat sesuai dengan biaya sebenarnya dapat juga mengganggu
stabilitas seluruh sendi perekonomian. Subsidi seharusnya lebih diarahkan untuk menurunkan konsumsi yang
berlebihan menuju peningkatan jumlah sambungan. Akibat perbedaan biaya yang diderita PLN antara satu daerah
dengan daerah lain, pertimbangan juga perlu dilakukan untuk melaksanakan pendekatan kelistrikan yang berbeda
berdasarkan kondisi daerah.
Jalan
Re-evaluasi yang mendasar terhadap pendekatan yang dilakukan sekarang oleh pemerintah terhadap
rancangan transaksi jalan tol sangat diperlukan. Perselisihan mengenai bentuk dan tingkat dukungan yang
diberikan pemerintah merupakan isu penting yang menghambat pembangunan jalan bebas hambatan yang
dilakukan oleh sektor swasta. Pendekatan langsung terhadap isu ini adalah menentukan seluruh parameter proyek
termasuk ketentuan prosedur untuk melakukan pembebasan tanah, kenaikan biaya tol, dan pemberian jaminan
terhadap risiko proyek khususdengan pengecualian tingkat dukungan pemerintah. Selanjutnya, pemerintah harus
memberikan hak konsesi secara kompetitif kepada perusahaan yang memerlukan dukungan yang paling rendah dari
pemerintah.
Insentif fskal seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan yang
memadai. Misalnya, pemerintah pusat bisa melakukan pendanaan bersama terhadap investasi jalan raya daerah
dengan syarat melakukan pemeliharaan jalan yang memadai untuk jalan di daerah tersebut.
Air dan sanitasi
Pemerintah pusat perlu menjadi pelopor dalam menangani krisis yang dihadapi oleh PDAM, mengalokasikan
sumber daya fscal yang diperlukan, dan menyediakan insentif fscal kepada pemerintah daerah untuk
mengatasi permasalahan ini. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang menyebabkan PDAM
tidak bisa melakukan pinjaman jangka panjang. Langkah pertama dalam process ini adalah melakukan restrukturisasi
terhadap tunggakan pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang seharusnya memberikan prioritas kepada
PDAM yang paling layak menerima kredit dan memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan
kemampuan mereka mendapatkan kredit (yaitu dengan menaikkan tarif dan memotong biaya dengan mengatasi
kerugian fsik dan kerugian komersial). Tujuan itu seharusnya menghapuskan hambatan untuk mendapatkan
pinjaman bagi PDAM dengan predikat kinerja terbaik dalam satu tahun. Langkah berikutnya adalah pemberian
persetujuan terhadap pinjaman jangka panjang untuk PDAM. Ke depan, pertimbangan seharusnya diberikan untuk
menghapuskan kaitan antara persetujuan pinjaman PDAM dengan isu yang berkaitan dengan penunggakan hutang
dari pemerintah daerah selaku pemilik PDAM. Akan tetapi, hasil ini harus dikaitkan dalam rangka peningkatan kinerja
perusahaan dengan memisahkan isu keuangan PDAM dengan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM. Saran yang
dapat diberikan adalah membentuk sebuah komite yang bertugas untuk membantu Departemen Keuangan untuk
melakukan penyelidikan terhadap portfolio PDAM dan negosiasi untuk melakukan restrukturisasi dengan pemerintah
daerah yang tertarik untuk itu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
101
BAB 5 Infrastruktur
Saat ini pemerintah daerah memikul tanggung jawab yang besar tentang kinerja layanan air bersih dan
sanitasi dan kapasitas mereka perlu dibangun untuk mencerminkan hal ini. Pemerintah daerah adalah
pemilik PDAM dan bertanggung jawab terhadap rakyat di daerah untuk mendapatkan layanan PDAM yang bermutu.
Sejak pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki akses terhadap tambahan sumber keuangan untuk
infrastruktur, yang seharusnya mampu menyediakan peluang untuk melakukan intervensi mengenai kebijakan tarif
yang tidak optimal yang sudah diberlakukan sejak dulu, biaya pemeliharaan dan investasi yang tidak memadai, dan
layanan yang semakin buruk. Akan tetapi, berbagai isu yang behubungan dengan perencanaan yang tidak efektif,
penyusunan program, dan peningkatan dan pelaksanaan kapasitas perlu ditangani, dan pemerintah pusat dapat
memainkan peran penting untuk melakukan koordinasi strategi nasional serta menyediakan insentif bagi pejabat
lokal.
Pemerintah pusat perlu memberikan sinyal yang lebih kuat mengenai pentingnya layanan penyediaan air
dan sanitasi, dan seharusnya mengembangkan sistem insentif fskal yang memberikan penghargaan kepada
pemerintah daerah untuk kemajuan mereformasi PDAM. Sejumlah persediaan dana tingkat pusat yang dihitung
berdasarkan kebutuhan PDAM seharusnya disediakan untuk pemerintah daerah dengan syarat mereka harus mampu
mencapai kemajuan untuk melakukan perubahan progress. Fokus awal dari rencana insentif ini harus bertujuan
untuk meningkatkan posisi keuangan dan kinerja PDAM. Jika kinerja PDAM sudah mengalami peningkatan, fokus
pemberian insentif dapat digeser untuk memperluas sambungan untuk rumah tangga. Fokus yang jelas dari skema
semacam itu adalah DAKsistem bersyarat yang telah ada untuk memberikan bantuan tunai kepada pemerintah
daerah. Keterkaitan dan hubungan antara pembayaran DAK dan dana dekonsentrasi, yang saat ini merupakan sumber
dana yang penting bagi PDAM, perlu untuk diklarifkasi untuk menghindari terjadinya konfik insentif yang disediakan
karena pembayaran dari sumber daya yang berbeda yang berasal dari pemerintah pusat.
Pada tahun 2005, pemerintah pusat telah memulai alokasi anggaran sebesar Rp 203 miliar untuk penyediaan
air bersih, dan jumlah anggaran sebesar Rp 608 miliar untuk tahun 2006. Sumber daya ini hanya diberikan
kepada kabupaten/kota yang memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan hak tersebut dan mengalokasikan
anggaran tersebut melalui anggaran reguler dari daerah. Proyek DAK ini harus selesai dalam waktu satu tahun, dimana
alokasi sektoral tidak dijamin untuk kegiatan lebih dari satu tahun.
Untuk mendukung skema ini, pemerintah pusat seharusnya mendorong pengumpulan data PDAM yang
benar-benar andal. Pemeriksaan rekening PDAM dan indikator fsik harus disediakan untuk publik di internet untuk
menyediakan informasi bagi analisis kebijakan dan meningkatkan tekanan publik untuk memperbaiki kinerja PDAM.
Ketepatan waktu untuk menyediakan data ini oleh pemerintah daerah seharusnya merupakan kriteria minimal untuk
berpartisipasi dalam skema insentif nasional yang difokuskan pada penyediaan akses terhadap pinjaman jangka
panjang dan skema bantuan tunai bersyarat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
102
BAB 5 Infrastruktur
6. BAB 6
Manajemen Keuangan
Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
104
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Temuan Pokok
1. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran
Indonesia telah melaksanakan inisiatif penting untuk meningkatkan transparansi dan kejelasan dalam proses
anggaran. Tetapi sistem anggaran baru masih terus bergantung pada dokumen anggaran yang terlalu rinci
dan berfokus pada sisi input yang memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan dan membahasnya.
Sekarang DPR memiliki wewenang yang begitu besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi antara
pihak eksekutif dan legislatif terlalu berfokus pada hal-hal yang detail sehingga cenderung mengorbankan
diskusi mengenai kebijakan.. Hal ini menyita waktu secara tidak proporsional.
Pelaksanaan anggaran, terutama untuk proyek-proyek pembangunan, umumnya berjalan lamban dan sering
baru bisa direalisasi menjelang akhir tahun anggaran. Lambatnya pencairan anggaran ini menunjukkan
adanya gejala hambatan struktural dalam siklus anggaran, termasuk ketentuan dokumentasi yang terlalu rinci,
prosedur revisi anggaran yang sangat panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan
tahun, dan proses pengadaan barang dan jasa yang lamban.
2. Pengadaan barang dan jasa
Walaupun kerangka kerja regulasi untuk pengadaan publik telah mengalami perbaikan, kapasitas untuk
memenuhi persyaratan proses pengadaan tidak memadai, sehingga memperlambat pelaksanaan proyek.
3. Audit
Jumlah pegawai dan sebaran geografs staf lembaga audit eksternal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) tidak sejalan dengan mandat mereka masing-masing.
Pejabat BPK bertanggung jawab terhadap pemeriksaan eksternal dari seluruh aparatur pemerintah, tetapi
hanya memiliki setengah dari auditor bersertifkat yang dimiliki BPKP, yang saat ini perannya lebih kecil dan
terbatas.
Sebagai akibat dari redefnisi peran BPK dan BPKP, semakin sering terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan
mengenai fungsi tiga lembaga pemeriksaan internal, yang terdiri dari BPKP, Inspektur Jenderal (Irjen) pada
setiap Departemen, dan badan pengawas daerah (Bawasda).
Rekomendasi Utama
Penyusunan dan pelaksanaan anggaran
Hanya setelah pengawasan purnawaktu (ex-post)menjadi semakin kuat, maka secara perlahan gantikan
pengawasan berdasarkan line-item di anggaran, kurangi tingkat ke-detail-an dokumen anggaran, dan di
saat yang sama sederhanakan proses pengeluaran dokumen anggaran.
Pembahasan dan persetujuan DPR terhadap anggaran seharusnya disesuaikan untuk lebih berfokus pada
kebijakan dan prioritas.
Susun kerangka pengeluaran jangka menengah, berikan peluang untuk pengajuan anggaran multi tahun
untuk kategori belanja modal, dan sederhanakan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada tahun
berikutnya. Langkah pertama bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun, terutama
untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar.
Pengadaan barang dan jasa
Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan seharusnya diberikan kemandirian yang lebih luas.
Indonesia membutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk melaksanakan sistem e-procurement.
Kerangka Peraturan yang ada saat ini seharusnya diperkuat melalui pembentukan UU pengadaan barang
dan jasa dan peningkatan kapasitas para pelaksana pengadaan.
Audit
Pengaturan kelembagaan untuk melakukan pemeriksaan internal dapat disederhanakan. Berbagai lembaga
pemeriksa internal dapat dokonsolidasikan ke dalam satu lembaga pemeriksaan internal dengan tugas dan
tanggung jawab yang jelas untuk bekerja sama dengan BPK,
Staf dan infrastruktur di tingkat propinsi harus diseimbangkan lagi antara pemeriksaan internal dan eksternal
untuk mencerminkan wewenang BPK yang baru.
Peran DPR harus diperjelas dalam rangka meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif berdasarkan
temuan-temuan BPK.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
105
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
77
Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik yang
baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran serta mengurangi
risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan
pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin besar.
Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut
mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang berorientasi pada
hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan
pemerintah.
Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan mengenai
pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional
merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktik-praktik keuangan berstandar
internasional. Departemen Keuangan telah melaksanakan re-organisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan
meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang paling jelas adalah
dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifkasi keuangan internasional (GFS),
pembentukanRekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan pos anggaran
pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan
publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih terjadi
terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas
eksternal. Walaupun, kerangka umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat
dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur kembali proses yang
mendasarinya.
Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan
Bidang Reform Status Pelaksanaan
Perencanaan Anggaran
dan Keuangan Negara
Peraturan pemerintah mengenai rencana kerja tahunan, rencana kerja departemen, rencana tahunan
anggaran telah dikeluarkan, dengan memperkenalkan (i) anggaran berbasis kinerja dan output, (ii) klasifkasi
GFS-, (iii) unifkasi anggaran dengan re-klasifkasi terhadap kategori anggaran.
Peraturan pelaksanaan mengenai akuntansi berbasis akrual belum terlaksana.
Sistem Perbendaharaan
Kantor Akuntansi Regional (KAR) dan kantor verifkasi kabupaten/kota (Kasipa) kini sudah disatukan ke dalam
Kanwil dan KPPN.
Kantor pembayaran daerah (KPPN) akan memegang fungsi verifkasi internal.
Rekening dengan Saldo Nihil (zero balance account) sedang diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan
daerah (KPPN), tetapi sebagian besar pengeluaran masih dilaksanakan melalui berbagai rekening
pemerintah.
Regulasi mengenai manajemen kas belum tersedia.
Audit
Kehadiran dan kondisi staf BPK di daerah telah mengalami perkembangan yang bagus. Kini BPK telah
memiliki kantor di 16 provinsi dengan pegawai berjumlah 3.500 orang.
UU mengenai Audit Keuangan Negara memerlukan tujuh peraturan pelaksanaan, dan tidak satu pun dari
peraturan ini yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
UU No. 15/2006 tentang BPK yang dikeluarkan pada November 2006, tetapi peraturan pelaksanaannya
masih tertunda.
Sumber: Bappenas.
77 Bab ini berfokus pada Pengelolaan Keuangan Publik pemerintah pusat. Untuk PKP di daerah, lihat Bab 7.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
106
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
FY 01 FY 02 FY 03 FY 04 FY 05
Total Pengeluaran Pengeluaran Pemerintah Pusat Belanja Pegawai
Belanja Barang Belanja Modal Subsidi
Belanja Pembangunan Transfer ke daerah
%
Sumber: DepKeu, Bank Dunia.
Catatan: Angka-angka dalam persen dari total pengeluaran sebelum revisi pertengahan tahun.,
Diagram 6.2 Pencairan Pengeluaran Non-Rutin
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Bulanan 06 Bulanan 05 Bulanan 01-04
Kumulatif 06 Kumulatif 05 Kumulatif 01-04
%
Sumber: DepKeu, Staf Bank Dunia.
Catatan:Angka-angka dalam bentuk persen dari total anggaran tahunan. TA 01 -04 mengacu
pada pengeluaran pembangunan, TA 2005 dan 2006 mengacu pada pengeluaran modal dan
pengeluaran barang dan jasa
Sejauh ini, beberapa indikator
utama tentang kinerja anggaran
pemerintah belum mengalami
perbaikan, terutama mengenai
indikator realisasi anggaran. Realisasi
pengeluaran pemerintah pusat selalu
menyimpang dari rencana awal. Subsidi
dan transfer anggaran kepada
pemerintah daerah cenderung
diperkirakan terlalu rendah, yang
mengakibatkan terjadinya kelebihan
pengeluaran secara keseluruhan. Pada
saat yang sama, beberapa bagian dari
anggaran tersebutterutama realisasi
pengeluaran modal/pengeluaran
pembangunansering lebih rendah
daripada penentuan anggaran awal
(Diagram 6.1). Di samping itu, sekitar
50 persen dari total pengeluaran modal
baru bisa terealisir pada kuartal terakhir
tahun yang bersangkutan. Selama
kurun waktu lima tahun yang telah
lewat, pengeluaran dimulai secara perlahan dan semakin gencar menjelang akhir tahun anggaran (Diagram 6.2). Pola
pengeluaran seperti ini menimbulkan keperihatinan sebab hal ini menghambat pelaksanaan proyek. Akibat lain dari
hal ini adalah pelaksanaan proyek dimulai agak terlambat, dan untuk proyek-proyek yang memerlukan penyelesaian
selama beberapa tahun, pelaksanaan proyek selalu terhenti di awal tahun.
Pencairan yang lamban dan cenderung menumpuk dibelakang, merupakan gejala dari tantangan yang lebih
berat yang harus dihadapi pada setiap tahapan siklus manajemen keuangan publik. Ada tiga alasan pokok
yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efsien: (i) lemahnya penyiapan anggaran; (ii)
pelaksanaan anggaran yang kaku; dan (iii) hambatan implementasi.
Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah
menyebabkan revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun (dikeluarkan pada bulan Agustus).
Sejak tahun 2001, revisi pertengahan tahun mencapai rata-rata sebanyak 13 persen dari total anggaran. Revisi yang
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
107
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
begitu besar telah mengurangi kredibilitas anggaran yang telah disetujui dan mempersulit pelaksanaannya, karena
hanya ada sisa waktu selama empat bulan untuk melaksanakan hasil revisi yang begitu besar dan seringkali berupa
peningkatan anggaran yang cukup besar (lihat Kotak 6.1). Hal ini membaik secara substansial di tahun 2006 dalam
arti revisi pertengahan tahun hanya sedikit saja karena asum harga minyak telah disesuaikan pada waktu penyiapan
anggaran.
Kotak 6.1 Estimasi yangterlalu rendah terhadap harga minyak
Dari tahun 2003 sampai 2005, Indonesia mencantumkan anggaran penerimaan agregat dan pengeluaran subsidi BBM secara
lebih rendah karena menentukan asumsi harga minyak yang lebih rendah. Harga minyak merupakan parameter yang sangat
penting dalam penentuan anggaran sebab 28 persen dari pendapatan langsung berasal dari minyak dan gas (Pertamina)
atau secara tidak langsung melalui pajak atas produk-produk migas. Pada tahun-tahun belakangan ini rata-rata harga minyak
50 persen lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada awal penentuan anggaran (lihat Tabel di bawah ini). Asumsi harga
minyak memiliki dampak langsung terhadap tingkat alokasi anggaran kepada pemerintah daerah sebab dana DAU ditentukan
sebesar 26 persen dari penerimaan pemerintah. Dengan adanya revisi kenaikan anggaran pada tahun 2005, DAU sebenarnya
hanya berjumlah 19 persen dari total anggaran. Pada 2006, anggaran menggunakan asumsi harga minyak yang lebih tinggi
dan lebih realistis, yang menyebabkan kenaikan transfer dana DAU sebesar 65 persen.
79
Anggaran vs. realisasinya
Harga Minyak Total Pengeluaran
Anggaran
(AS$/barel)
Realisasi
(AS$/barel)
Selisih (%) Anggaran
(Rp triliun)
Realisasi
(Rp triliun)
Selisih (%)
2001 24 24.6 2.5 341,562.6 295,113.5 15.74
2002 22 23.5 6.8 315,529.2 344,008.9 -8.28
2003 22 28.8 30.9 376,505.2 370,591.6 1.60
2004 22 37.2 69.1 423,974.9 374,351.2 13.26
2005 24 51.8 115.8 508,938.0 397,769.5 27.95
Sumber: DepKeu
Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang
rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas politik dan
anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang
ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang
feksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Re-alokasi anggaran antar DIPA dari program-program yang tertunda kepada program yang berjalan lebih baik yang
dapat mendorong pelaksanaan anggaran yang memuaskan secara keseluruhan memerlukan proses revisi yang
panjang yang melibatkan anggota DPR. Dengan memberikan feksibilitas yang lebih besar dalam proses pelaksanaan
anggaran untuk mempercepat realisasi pengeluaran anggaran akan memerlukan dicantumkannya tujuan dan target
kinerja yang kredibel dan menerapkan langkah-langkah pengamanan, termasuk kemampuan untuk melakukan
pemantauan dan pelaporan yang cukup dengan tujuan untuk mengurangi risiko ketidakkonsistenan dengan tujuan
awal program dan pemanfaatan dana yang tidak sebagaimana mestinya.
Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan
dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat waktu
dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat
Penyiapan dan Persetujuan Anggaran
Mengingat masalah yang ada dalam melakukan estimasi penerimaan dan dalam menentukan target
anggaran yang realistis, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keseluruhan mutu penyiapan
anggaran. Peningkatan mutu anggaran dapat dilaksanakan dengan memperbaiki mutu perkiraan makro-ekonomi
dan penyusunan model, dan meningkatkan kemampuan estimasi penerimaan. Di samping itu, mutu penyusunan
78 Lihat Bab 7 untuk analisis lebih rinci mengenai pengalihan dana ke daerah pada 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
108
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
anggaran pengeluaran perlu diperhatikan secara terpisah. Inisiatif ini berkaitan baik dengan upaya untuk melakukan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan perubahan dalam proses penyiapan anggaran.
Tanggung jawab untuk membuat perencanaan dan menyusun anggaran dibagi antara Bappenas, Departemen
Keuangan dan departemen teknis. Pembagian tugas antara Bappenas, Departemen Keuangan (Ditjen Anggaran
dan Ditjen Perbendaharaan) dan jajaran departemen yang lain dirancang untuk mencapai (i) Penyiapan anggaran
berbasis kebijakan, dan (ii) penerapan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) (Diagram 6.3). Setiap departemen
dan lembaga menyiapkan rencana kerja masing-masing (Renja-KL) dengan merujuk rencana kerja pemerintah
secara keseluruhan (RKP) dan pagu anggaran indikatif. Setelah melalui pembahasan dengan DPR, departemen teknis
selanjutnya menyiapkan rencana kerja dan rencana anggaran mereka (RKA-KL) berdasarkan revisi pagu dari Ditjen
Anggaran, Dokumen pengeluaran (DIPA) disiapkan oleh departemen dan selanjutnya diserahkan kepada Ditjen
Perbendaharaan untuk memperoleh persetujuan. Pada saat yang sama, Ditjen Anggaran akan memeriksa kesesuaian
antara DIPA dan RKA-KL. Hal ini lalu diikuti oleh pelaksanaan anggaran, yang melibatkan departemen dan Ditjen
Perbendaharaan.
Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran
publik
Bappenas
Jajaran
Kementerian
DepKeu,
Ditjen Anggaran
DepKeu, Ditjen
Perbendaharaan
Kabinet/
Presiden
DPR
Annual Work Plans
with indicative Budget
Ceilings
(RenjaKL Ministerial
Regulation)
Ensure Consistency
with Government
Work Plan
Ensure
Consistency with
Budget Priorities
Temporary Budget
Ceilings
Draft Presidential
Decree on Budget
Enactment
Presidential
Decree on Budget
Enactment
Draf t
Spending Warrants
(DIPA)
Issuance
Spending Warrants
(DIPA)
Review and
Adjusment of
Spending
Warrants
Fiscal Policy Statement
Deliberation of
Government
Workplan and Fiscal
Policy Framework
Deliberation of
Workplan and
Budget
Deliberation and
Approval of Budget
Law
Budget Law
(UU APBN)
General Policy and
Budget Priorities
Annual
workplan and
Budget
(RKA-KL)
Annual Workplans
and Budgets (Annex
to Budget Law)
Draft Budget Law)
(RAPBN)
Annual Government
Work Plan
(RKP Government
Regulation)
l
i
r
p
A
-
y
r
a
u
n
a
J
g
n
i
n
n
a
l
P
<
r
e
b
m
e
v
o
N
-
y
a
M
n
o
i
t
a
r
a
p
e
r
P
t
e
g
d
u
B
<
r
e
b
m
e
c
e
D
n
o
i
t
u
c
e
x
E
t
e
g
d
u
B
Sumber: Bappenas, staf Bank Dunia, PP No. 21 tentang RKA-KL.
Integrasi perencanaan dan penganggaran lebih lanjut dapat merupakan bagian dari langkah menuju
penganggaran berbasis kinerja. Anggaran diharapkan didasarkan pada kebijakan yang ada dan disusun dengan
prinsip dari bawah ke atas. Sejauh ini, proses ini baru diatas kertas dengan dampak yang terbatas terhadap keputusan
mengenai alokasi anggaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
109
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Indonesia bergerak dengan lambat menuju penentuan anggaran berbasis kinerja. Rencana pembangunan
jangka menengah (RPJM) yang ada sekarang memuat 32 bidang prioritas, sekitar 250 program, dan 1.300 kegiatan
untuk menangani prioritas-prioritas ini. Baik UU No. 17/2003 maupun UU No. 25/2004 telah secara formal memperkuat
hubungan antara perencanaan dan penentuan anggaran. Program yang diuraikan di dalam RPJM, rencana kerja
tahunan pemerintah (RKP), dan rencana kerja departemen (Renja-KL) secara formal dijadikan pedoman oleh jajaran
departemen dalam menyusun rencana anggaran.
Akan tetapi, pada kenyataannya proses pengambilan keputusan pada jajaran departemen, Ditjen Anggaran,
Bappenas, dan DPR masih lebih didorong oleh fokus terhadap komposisi input anggaran daripada kesesuaian
program pengeluaran dengan prioritas dan tujuan politik. Alokasi dan pelaksanaan anggaran masih didasarkan
pada input (line item) yang terperinci yang membatasi feksibilitas pengeluaran dalam satu program dan melemahkan
manfaat dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Sejalan dengan hal itu, hanya ada sedikit kemajuan yang telah
diperoleh dalam rangka mengembangkan anggaran yang berorientasi pada kinerja, apalagi pengembangan budaya
kerja yang berorientasi pada kinerja. Proses pelaksanaan akan memakan waktu yang cukup lama dan belum ada
strategi yang jelas untuk merealisasikannya. Apalagi, pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya, bagian anggaran
yang berjumlah besar seperti subsidi tidak dimasukkan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pada proses
penyusunan anggaran untuk tahun anggaran 2008 pemerintah telah bergerak ke arah cakupan proses anggaran
yang lebih komprehensif.
Siklus penyusunan anggaran sekarang yang secara ketat bersifat tahunan tidak mampu memenuhi kebutuhan
investasi publik jangka menengah. Untuk mengatasi tantangan ini, pada tahun 2008 Indonesia merencanakan
melaksanakan Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF). Regulasi dalam UU tentang Keuangan Negara
menyediakan pagu indikatif anggaran yang dikeluarkan untuk waktu dua tahun mendatang. Akan tetapi, pada
anggaran 2006 dan 2007 pagu anggaran sementara telah dikeluarkan hanya untuk satu tahun anggaran kedepan.
DPR memiliki wewenang yang sangat kuat dalam proses pembahasan besaran yang dirancang dalam
persetujuan anggaran tahunan. Anggaran yang sekarang berbasis input, rinci dan memiliki peran yang penting
dalam focus yang kuat terhadap pengawasan dimuka (ex-ante). Sejalan dengan hal itu, pembahasan di tubuh DPR
cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line item) dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat rinci dan bukan
pada alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil. Kenyataannya, setiap pos dalam
anggaran harus disetujui atau ditolak oleh DPR. Di samping itu, DPR juga memiliki wewenang untuk mengubah
perkiraan pendapatan dan asumsi makroekonomi yang dijadikan dasar penyusunan anggaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
110
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran
DPR berperan aktif pada keseluruhan siklus anggaran. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Pasal 25 dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 menyatakan bahwa penyiapan anggaran seharusnya
berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP). RKP bersama-sama dengan pernyataan kebijakan fskal dan kerangka kerja
makroekonomi diserahkan kepada DPR pada bulan Mei tahun sebelumnya untuk dilakukan pembahasan (UU No. 17/2003
Pasal 13). Kesepakatan pembahasan yang berhasil dicapai akan menjadi rujukan bagi Departemen dan lembaga pemerintah
untuk menyiapkan usulan anggaran (RKA-KL). Kementerian dana lembaga lalu mengirimkan RKA-KL kepada Komisi di DPR
yang menjadi rekan kerja pada pertengahan bulan Juni untuk pembahasan awal. Hasil pembahasan awal ini lalu dikirimkan
kepada DepKeu pada pertengahan bulan Juli sebagai Rujukan untuk menyusun anggaran tahun berikutnya (UU No. 17/2003
Pasal 14). Pemerintah lalu menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) kepada DPR pada
bulan Agustus tahun sebelumnya untuk dibahas (UU No. 17/2003 Pasal 15).
Pembahasan dilakukan sebagai berikut:
Sidang Pleno: DPR menyampaikan pandangan umum terhadap usulan pemerintah dan pemerintah menyampaikan
Tanggapan atas pandangan umum tersebut.
Dengar pendapat dengan Komisi Anggaran: Pembahasan berfokus pada asumsi makroekonomi, pendapatan
pemerintah, prioritas pengeluaran, dan pendanaan atas defsit anggaran.
Pembahasan dengan Komisi-Komisi Sektoral: Pembahasan berfokus pada RKA-KL.
Keputusan mengenai UU Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) harus diambil paling sedikit dua bulan
sebelum dimulainya periode anggaran, yaitu bulan Oktober tahun sebelumnya (UU No. 17 Pasal 15). DPR lalu memberikan
persetujuan rincian anggaran berdasarkan unit organisasi, jenis pengeluaran, fungsi pengeluaran, program dan kegiatan (UU
No. 17 Pasal 15). Sebagai tindak lanjut dari penetapan anggaran, Presiden lalu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres)
tentang rincian anggaran pada bulan November. Berdasarkan keputusan ini, kementerian dan lembaga lalu melakukan revisi
terhadap RKA-KL dan menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) pada bulan Desember.

Sistem anggaran Indonesia menghadapi kesulitan jika diperlukan adanya feksibilitas. Akhir-akhir ini Indonesia
menghadapi berbagai bencana alam berskala besar. Peristiwa itu menimbulkan tuntutan yang tinggi terhadap
sistem pengelolaan keuangan publik: bencana alam menuntut pemerintah untuk memberikan tanggapan cepat,
dan biasanya memerlukan realokasi dan mobilisasi sumber daya dalam skala besar untuk tahun yang bersangkutan.
Secara umum, Indonesia memiliki sistem penganggaran yang tidak feksibe berkaitan dengan realokasi anggaran
untuk tahun yang sedang berjalan. Lembaga pemerintah menerima anggaran terpisah untuk pembayaran gaji dan
pengeluaran operasional lainnya. Hanya dengan persetujuan DPR dana tersebut dapat disalurkan untuk maksud yang
berbeda atau antar pengeluaran operasional, investasi, dan program. Seperti yang terjadi di sebagian besar negara
lain, Indonesia hanya memiliki dana cadangan yang sangat kecil di tingkat pusat untuk memenuhi pengeluaran
umum yang tidak terduga (Untuk kajian tentang kinerja pengeluaran publik Indonesia setelah bencana tsunami pada
bulan Desember 2004 dibandingkan dengan negara lain, lihat makalah yang akan datang Fengler et.al, 2007 ).
Pelaksanaan Anggaran
Pada tahun 2005, pola pencairan anggaran yang menumpuk pada akhir tahun lebih terlihat daripada
biasanya dan kemajuan yang diperoleh pada tahun 2006 mengenai hal ini masih mengecewakan. Pada
akhir tahun 2005, pemerintah hanya menggunakan 68 persen dari belanja modal dan 72 persen dari belanja barang
dibandingkan dengan jumlah anggaran yang telah disetujui. Lima puluh empat persen dari total belanja modal
baru bisa dikeluarkan pada bulan Desember. Walaupun sedikit mengalami perbaikan daripada 2005, catatan realisasi
anggaran pada tahun anggaran 2006 masih memperihatinkan. Sementara agregat realisasi belanja pemerintah untuk
bulan September 2006 telah mencapai 62 persen dari anggaran yang terutama disebabkan oleh realisasi anggaran
rutin yang tepat waktu seperti gaji pegawai, komponen pengeluaran pemerintah pusat yang bersifat variabel masih
sangat dipengaruhi oleh penundaan pengeluaran. Sampai September 2006 hanya 41 persen dari target belanja
modal dan 40 persen dari anggaran untuk pengadaan barang dan jasa yang bisa direalisasikan.
Kakunya kerangka kerja pelaksanaan anggaran yang ada sekarang merupakan salah satu faktor penyebab
menumpuknya anggaran pada akhir tahun. Sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk melakukan akselerasi
pengeluaran dalam kuartal pertama pada tahun anggaran yang sedang berjalan, dokumen pengeluaran anggaran
(DIPA) untuk 2006 dikeluarkan pada awal tahun anggaran. DIPA harus mencantumkan Pimpinan Proyek, Bendahara,
dan Staf Bagian Pengadaan yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Walaupun sebagian besar DIPA
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
111
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
dikeluarkan pada bulan Januari 2006, sebagian besar staf proyek belum ditunjuk oleh instansi pelaksana proyek.
79

Seleksi staf terjadi pada kuartal pertama dari tahun anggaran, yang mungkin menyebabkan penundaan pelaksanaan
proyek. Dilaporkan, sejumlah DIPA dikeluarkan walaupun tidak lengkap, tetapi pencairan dananya diblokir.
Masalah ini diperbesar oleh fakta bahwa alokasi dan DIPA hanya dilakukan untuk satu tahun. Kerangka
peraturan mengenai penganggaran memungkinkan adanya luncuran anggaran pada tahun berikutnya, tetapi hal itu
hanya berkaitan dengan alokasi anggaran dalam satu tahun. Dengan demikian, anggaran untuk pelaksanaan proyek
yang memerlukan waktu beberapa tahun mengalami banyak kendala. Anggaran dalam satu tahun telah menumpuk
di akhir tahun, pelaksanaan proyek tertunda pada setiap tahun anggaran dan, dalam beberapa kasus, pendanaan
untuk proyek terhenti sama sekali untuk beberapa tahun walaupun kemudian muncul lagi untuk dilanjutkan(Diagram
6.4).
80

Diagram 6.4 Profl skema pencairan proyek
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5
Waktu
Pencairan Dana
Sumber: Staf Bank Dunia.
Pendekatan tunda lalu jalan (stop-and-go) tentang penentuan anggaran ini telah menyebabkan timbulnya
inefsiensi yang sangat besar dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Fasilitas penganggaran untuk
beberapa tahun perlu dirancang dengan memperhitungkan berbagai isu kepemerintahan dalam konteks kelembagaan
di Indonesia. Pendekatan yang dapat dilakukan dengan hati-hati adalah dengan menganggarkan biaya proyek multi
tahun di satu tahun anggaran dengan uang dialokasikan pada rekening khusus dengan hak pencairan yang hanya
dimiliki oleh organisasi pelaksana proyek.
Alokasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kapasitas penyerapan. Pada tahun-tahun terakhir ini,
anggaran untuk hampir seluruh lembaga pelaksana anggaran telah meningkat cukup besar. Akan tetapi,
daya serap lembaga tersebut kini mendapat tekanan. Hubungan yang lemah antara perencanaan dan penentuan
anggaran sebagian merupakan penyebab dari hal tersebut. Baik rencana kerja pemerintah (RKP) maupun rencana
anggaran kementerian dan lembaga (RKA-KL) tidak memperhitungkan perencanaan proyek dan pengadaan.
Akibatnya, jumlah anggaran untuk belanja modal dari program tersebut cenderung menjadi lebih tinggi daripada
kapasitas penyerapan dari lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Penganggaran yang melebihi
kapasitas penyerapan akan menimbulkan tekanan kuat untuk menggunakan anggaran melebihi kapasitas, terutama
dalam sistem anggaran tahunan yang ketat dengan mengorbankan mutu pengeluaran tersebut. Perencanaan dan
penganggaran harus bersifat pragmatis dan mempertimbangkan secara matang kapasitas penyerapan lembaga
yang akan menggunakan anggaran tersebut.
Pengembangan kapasitas penyerapan lembaga dan keterampilan staf sangat diperlukan. Mengingat bahwa
hampir 30 persen dari anggaran dialokasikan untuk proyek (belanja modal dan barang), seharusnya lebih banyak
yang harus dikerjakan untuk mengembangkan kapasitas penyerapan kementerian dan lembaga. Keterampilan
perencanaan dan pengadaan perlu didorong dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) dapat ditugaskan untuk
memberikan layanan tersebut. LAN dapat merekrut para pelatih tambahan yang berasal dari jajaran kementerian. Jika
dipandang perlu, departemen pengguna anggaran seharusnya juga diizinkan untuk merekrut dan melatih staf demi
kepentingan pelaksanaan proyek-proyek tersebut.
79 Format DIPA baru diperkenalkan pada 2005. Pada tahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan DIP hanya untuk pengeluaran pembangunan.
Secara historis, dokumen anggaran baru bisa dikeluarkan pada kuartal pertama atau kedua pada tahun anggaran, dalam beberapa hal, bahkan bisa
pada kuartal berikutnya. Format DIP yang digunakan sebelumnya juga mencantumkan tim pelaksanaan proyek.
80 Dapat dikatakan bahwa masalah ini merupakan masalah besar karena kegiatan ekonomi, seperti pembangunan jalan atau gedung sekolah,
akan dapat didistribusikan lebih merata lagi pada setiap tahun anggaran. Sehingga, pembayaran untuk setiap kontrak sering dilaksanakan setelah
pekerjaan selesai yang didasarkan pada tingkat penyelesaian pekerjaan. Sehingga,pelaksanaan proyek bermasalah dan kegiatan ekonomi menjadi
tidak seimbang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
112
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Sistem manajemen kas yang terpecah-pecah merusak transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan anggaran.
Pelaksanaan rekening perbendaharaan tunggal (TSA) dari sudut pandang UU No. 1/2004 tentang perbendaharaan
negara masih terus berjalan. Pengaturan saldo nihil dengan bank-bank komersil telah berhasil diujicobakan pada 50
kantor perbendaharaan daerah terpilih (KPPN) dan pelaksanaan lebih lanjut sedang diuji pada 178 kantor KPPN akan
mampu melakukan konsolidasi terhadap lebih dari 1.000 jenis rekening perbendaharaan pada satu TSA. Sementara
itu, sebagian besar anggaran masih dilaksanakan melalui rekening bank pada bank komersial yang dipegang oleh unit
pengeluaran dan pejabat pemerintah. Menurut laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tahun 2005, ini
termasuk Rp 8,5 triliun yang disimpan dalam sekitar 1.300 rekening giro dan deposito yang tidak tercatat dalam sistem
perbendaharaan negara. Dana yang tersimpan di luar buku (of books) ini tidak saja menyebabkan distorsi terhadap
neraca konsolidasi kas pemerintah, tetapi juga sangat rentan terhadap penggelapan dan tindakan korupsi. Pelaksanaan
peraturan pemerintah mengenai pengelolaan kas akan memperluas kewenangan Menteri Keuangan untuk menutup
rekening bank tidak terotorisasi semacam itu dan akan menyediakan perangkat hukum untuk melaksanakan sensus
terhadap seluruh rekening pemerintah pada tahun 2007.

Pengadaan
Kerangka hukum dan perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik
telah mengalami kemajuan cukup pesat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003.
Keppres ini mendorong penerapan prinsip-prinsip dasar dalam proses pengadaan barang dan jasa yang transparan,
terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efsien. Dengan kata lain, hal ini memenuhi sebagian besar kelaziman yang
berlaku secara internasional, dan mengatasi berbagai kekurangan yang sangat serius yang terjadi pada sistem yang
diberlakukan sebelumnya.
Akan tetapi, pengadaan publik masih membingungkan akibat instrumen hukum yang berlapis-lapis di setiap
tingkat pemerintahan. Pelaksanaan sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan
pengaturan tersendiri untuk melakukan pengadaan publik. Departemen dan BUMN dapat juga mengeluarkan
peraturan mengenai pengadaan publik. Dampak dari instrumen yang berbeda-beda terhadap pengadaan publik
belum terdokumentasikan. Akan tetapi, mungkin terjadi hal-hal yang tidak konsisten dalam aplikasinya akibat terjadi
kesalahpahaman dan/atau perbedaan penafsiran terhadap berbagai peraturan.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
113
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan
Sistem Indikator Baseline Internasional (BIS) untuk pengadaan merupakan metodologi, yang dikembangkan bersama
antara OECD dan Bank Dunia, untuk melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif atas sistem pengadaan publik. Penilaian
itu berdasarkan 12 indikator dasar, yang dibagi menjadi empat kelompok yang disebut pilar: (i) peraturan dan perundang-
undangan, (ii) kelembagaan dan kapasitas pengelolaan, (iii) operasional pengadaan dan praktik pasar, dan (iv) integritas sistem
pengadaan publik. Dengan menggunakan BIS, penilaian terhadap sistem pengadaan publik di Indonesia telah dilaksanakan
pada tahun 2001. Hasil analisis ini tampak seperti diagram di bawah ini. Penilaian ini akan disempurnakan lagi pada Laporan
Penilaian Pengadaan (CPAR) tahun anggaran 2007 dengan menggunakan versi 4 dari indikator ini, sebagai tambahan dari
indicator kepatuhan/kinerja yang mengukur kinerja sesungguhnya dari sistem ini.
Tingkat pencapaian menggunakan pilar BIS
0
25
50
75
100
Kerangka kerja Legislatif
Kerangka kerja Institusional
Operasional Proc dan
Kinerja Pasar
Integritas dan
Transparansi
Indonesia Tingkat Kepuasan
Skor menunjukkan persentasi terhadap elemen baseline yang menunjukan standar praktek yang baik yang diinginkan
yang mampu dipenuhi oleh negara tertentu. Tingkat baseline untuk kinerja yang memuaskan berada pada angka 50 persen
pada setiap indikator. Walaupun umunya memiliki nilai dibawah tingkat baseline, Indonesia memiliki skor lebih baik dalam
hal indikator peraturan dan perundang-undangan serta integritas tetapi kurang baik untuk kinerja pasar dan kerangka
kelembagaan.
Sumber: Metodologi OECD 2006 untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengadaan nasional.
Regulasi pengadaan publik melalui keputusan Presiden tidak berada pada tingkat hukum yang cukup tinggi.
Masalah utamanya adalah bahwa dalam lingkungan desentralisasi, regulasi pengadaan publik melalui keputusan
presiden tidak menetapkan prinsip-prinsip dasar dan kebijakan yang mengatur pengadaan publik pada tingkat
perundang-perundangan yang cukup tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa ada kebutuhan terhadap UU
pengadaan yang memperhatikan baik kelaziman yang berlaku secara internasional maupun kepentingan spesifk
Indonesia. Bappenas, melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN) sedang dalam proses penyiapan
rancangan UU tentang pengadaan. Pengesahan UU yang baru tentang pengadaan ini akan memperkuat kerangka
perundang-undangan dan mampu menyiapkan instrumen hukum dengan jangkauan yang cukup panjang.
Secara historis, tidak ada satu lembaga atau pejabat pemerintah pusat yang berwenang untuk meletakkan
kebijakan yang sama dan konsisten mengenai hal ini, serta memastikan adanya sanksi dan mekanisme
penegakan yang harus jelas. Keppres No. 80/2003 membutuhkan pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan
Nasional (LKPN). Tugas persiapan LKPN telah rampung dan pengaturan interim sudah dilaksanakan untuk pembentukan
LKPN di dalam Bappenas yang bertujuan untuk memperkuat lembaga baru ini dan secara perlahan akan menjadi
badan yang mandiri.
Ada kebutuhan untuk membentuk LKPN sebagai lembaga independen dan berdayaguna dengan
kelengkapan sumber daya yang memadai. Sementara LKPN yang ada dalam Bappenas memegang tanggung
jawab utama dalam hal kebijakan pengadaan, situasi kelembagaan yang ada sekarang tidak menyediakan fungsi
untuk memberikan nasihat kepada lembaga yang melakukan pengadaan, mengumpulkan data kinerja pengadaan,
membina komunitas pengadaan di antara pejabat publik, atau menentukan sistem layanan terhadap keluhan dan,
yang paling penting, pengembangan secara berkelanjutan tentang sistem pengadaan publik.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
114
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pelaksanaan pelatihan tingkat dasar dan ujian untuk mendapatkan sertifkat bagi praktisi pengadaan
merupakan insiatif yang penting. Keahlian pengadaan hanya terbatas pada sekelompok kecil individu dalam jajaran
departemen tertentu. Tidak ada kader praktisi pengadaan, dan tidak ada jalur karir atau sistem insentif yang jelas baik
untuk manajemen proyek maupun manajemen pengadaan, Pimpro dan panitia tender kembali menduduki posisi
mereka sebelumnya setelah proyek selesai dilaksanakan. Hal ini telah menimbulkan fragmentasi dalam menghimpun
pengalaman pengadaan di kalangan PNS. Keppres No. 80/2003 telah menentukan bahwa bulan Januari 2005 sebagai
tenggat waktu untuk melakukan sertifkasi anggota panitia tender dalam hal pengadaan untuk keperluan pokok.
Tanggal ini telah diubah dua kali dan kini menjadi Januari 2008.
Sertifkasi praktisi pengadaan tingkat menengah dan tinggi akan diperkenalkan di masa yang akan datang
tetapi tanggal spesifk masih belum ada. Persentase PNS yang telah lulus ujian sertifkasi tingkat dasar pada akhir
tahun 2006 jumlahnya kurang dari 12 persen dari 168.000 orang PNS yang telah mengikuti ujian. Usulan sertifkasi bagi
praktisi pengadaan merupakan langkah awal untuk menuju ke arah yang benar tetapi ada begitu banyak permintaan
yang masih harus dipenuhi. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan tambahan imbalan setelah mereka berhasil
memperoleh sertifkat atas tanggung jawab yang lebih besar serta mendorong para praktisi untuk meniti karir lewat
kemampuan mereka.
Regulasi sebelumnya memiliki dampak membatasi persaingan dan membagi pasar dalam negeri, dengan
memberi jaminan bahwa UKM dapat diberikan kontrak kerja pada yurisdiksi pemerintah daerah tempat
mereka berdomilisi. Keberhasilan membuka pasar berdasarkan Keppres No. 80/2003 masih harus diteliti mengingat
adanya lingkungan desentralisasi yang masih baru dan kemungkinan praktik-praktik yang dilakukan di tingkat provinsi
dan instrumen hukum yang berdampak terhadap partisipasi di tingkat daerah. Akan tetapi, ketidakhadiran UU
pengadaan dengan jangkauan yang luas pada dasarnya mengurangi efektiftas penghentian praktik-praktik semacam
itu. Penyusunan dokumen standard lelang merupakan langkah maju yang cukup besar untuk menjamin konsistensi
instrumen ini di setiap lembaga dan pemerintah tingkat daerah. Penyusunan dokumen semacam ini sedang dalam
proses dan diharapkan dapat diujicobakan pada tahun 2007.

Isu pokok yang dihadapi dalam pengadaan publik dalam rangka pelaksanaan reformasi pengadaan di
Indonesia adalah transparansi dan korupsi. Salah satu inisiatif penting untuk memperluas transparansi dan akses
terhadap peluang mengikuti tender adalah melalui e-procurement. Draft UU yang sedang disiapkan menyediakan
kerangka hukum secara keseluruhan mengenai otorisasi dan pemanfaatan tanda tangan elektronik. Langkah
penting berikutnya untuk pembentukan LKPN adalah mengembangkan sebuah rencana induk untuk melaksanakan
sistem pengadaan elektronik yang akan menentukan protokol umum yang harus dilaksanakan di seluruh Indonesia,
mengembangkan sistem pengadaan elektronik yang kokoh, dan melaksanakan draft keputusan presiden.
Dirasakan ada kebutuhan untuk memperkuat pengawasan internal terutama kapasitas penegakan
aturan dalam lembaga pemerintahan, termasuk pelaksanaan sanksi yang ketat dan tegas jika terjadi
penyalahgunaan dan kinerja yang tidak baik. Sementara Keppres No. 80/2003 memungkinkan untuk mengikuti
prosedur penyampaian keluhan, hal itu diarahkan melalui lembaga pemakai (pembeli) dan tidak bersifat independen.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memegang peran
penting terkait dengan penanganan keluhan terhadap isu korupsi yang menjadi tugas KPK dan persaingan yang
tidak adil yang menjadi wewenang KPPU. Pengaturan ini menimbulkan isu mengenai reliabilitas dan efsiensi sistem
penyampaian keluhan. Dalam hal mekanisme sanksi, ada ketentuan mengenai anti-korupsi di dalam Keppres No.
80/2003. Akan tetapi, sepanjang kapasitas itu terus-menerus pada posisi yang lemah, gaji yang rendah dan tidak ada
jalur karir yang memuaskan bagi praktisi pengadaan publik, tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang baik,
dan tidak ada sanksi tegas untuk tindak korupsi, maka perbuatan korupsi akan tetap tumbuh subur.
Audit
Penguatan fungsi audit internal dan eksternal menjadi semakin penting sewaktu Indonesia melakukan
modernisasi pada sektor publiknya. Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi pengeluaran publik yang
komprehensif dan kebutuhan untuk meningkatkan feksibilitas anggaran lembaga pemerintah, ditambah dengan
kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengeluaran publik sesuai dengan kelaziman umum
yang dapat diterima, maka reformasi di bidang pemeriksaan/audit menjadi sesuatu yang sangat penting.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
115
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Tabel 6.2 Peta Audit
Lembaga
Akuntabel
Kepada
Cakupan Kapasitas
Kehadiran di
Daerah
Jenis audit
Audit Eksternal
BPK Badan Pemeriksa
Seluruh
pemerintah
3,500
staf
16 provinsi
Umumnya audit
tentang kepatuhan,
kadang-kadang audit
kinerja
Audit Internal
BPKP
Presiden
melalui Menteri
Pemberdayaan
Paratur Negara
Kementerian
termasuk
anggaran
dekonsentrasi
6,800 staf 25 Provinsi
Umumnya untuk audit
kinerja
Inspektur Jenderal Menteri
Kementeri
termasuk
anggaran
dekonsentrasi
2,300 staf Tidak Ada Umumnya audit kinerja
Auditor pemerintah
daerah (Bawasda)
Gubernur/Bupati
Pemerintah
daerah
16,000
staf
Semua staf
bekerja di 440
kabupaten/
kota
Baik audit kepatuhan
maupun kinerja
Sumber: Penilaian staf Bank Dunia berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan wawancara dengan pejabat pemerintah, Profl BPK 2006.
Penentuan kelembagaan yang rumit dan kerangka peraturan yang bersifat terfragmentasi tidak mendorong
terjadinya transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi di antara lembaga pemeriksa. Selanjutnya, tampaknya
tidak ada mekanisme informal yang berlaku untuk mengatasi hambatan struktural bagi tercapainya audit yang efsien
dan efektif . Oleh karena itu, auditor terlatih dan bersertifkat yang jumlhanya sangat terbatas di Indonesia tidak
dimanfaatkan secara efektif dan efsien sebagaimana mestinya. Di samping itu, hanya laporan dari BPK yang diteliti
oleh pejabat-pejabat yang dipilih dan tersedia untuk umum.
Laporan yang disampaikan oleh BPK kepada umum dan kepada DPR sangat bersifat umum dan tidak memiliki
karakteristik dari suatu laporan audit. Penyimpangan yang ditemukan dalam audit disampaikan dengan secara
sangat umum menggunakan klasifkasi secara garis besar, seperti (i) tidak sesuai, yang meliputi penyimpangan yang
tidak sesuai dengan ketentuan, (ii) praktik-praktik yang tidak ekonomis dan tidak efsien, dan (iii). ketidakefektifan, yang
meliputi pengeluaran yang tidak sesuai dengan tujuan semula. Kebanyakan dari penyimpangan yang dilaporkan
kepada DPR termasuk dalam kategori tidak sesuai. Tidak ada uraian lebih rinci yang dicantumkan dalam laporan itu,
walaupun laporan itu mestinya meliputi penyimpangan yang berskala luas mulai dari yang sangat serius sampai
dengan pelanggaran kecil.
BPK adalah lembaga independen tetapi dapat memperoleh manfaat dari peran DPR yang kuat untuk meminta
akuntabilitasnya jika hal ini dilakukan dengan hati-hati. Sesuai dengan UUD 1945, UU tentang Pemeriksaan
Keuangan Negara tidak mengatur tentang akuntabilitas eksternal bagi BPK. BPK hanya bertanggung jawab terhadap
anggota badan pemeriksanya, yang diangkat oleh DPR melalui keputusan presiden. Badan ini memutuskan sendiri
apakah anggota mereka harus mengundurkan diri atau tidak.
Ada sejumlah manfaat dari pemberian peran yang lebih kuat kepada DPR untuk meminta akuntabilitas BPK:
(i) keterlibatan DPR akan menciptakan tekanan yang lebih kuat untuk membuat tindakan audit menjadi relevan dan
responsif, (ii) keterlibatan DPR dapat memperkuat kesadaran publik terhadap BPK dan laporan yang dibuatnya, (iii)
penguatan peran DPR akan menjadi tekanan untuk memacu efsiensi dan efektivitas BPK.
Perhatian seharusnya diberikan untuk mendefnisikan peran DPR secara jelas sehubungan dengan
keberadaan lembaga pemeriksaan dan laporan mereka sehingga seluruh stakeholders mengetahui dan
sepakat terhadap peran mereka. Mekanisme yang baik perlu diberlakukanbaik melalui komisi yang baru atau
terpisah (Komisi Rekening Publik dan Audit), komisi yang sudah ada, sub-komisi dari komisi yang sudah ada, atau
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
116
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
organisasi khusus atau baru, Di samping itu, anggota DPR dan sekretariat mereka perlu membangun kapasitas yang
diperlukan untuk menangani laporan pemeriksaan dan informasi secara konstruktif.
Kini BPK memiliki mandat yang lebih luas tetapi masih memiliki keterbatasan terhadap perannya yang
semakin luas tersebut. UU No. 5/1973 telah menentukan BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi di Indonesia.
UU tentang pemeriksaan negara baru ditetapkan pada tahun 2004 dan memberikan mandat kepada BPK untuk
melakukan pemeriksaan kepada seluruh lembaga pemerintah di setiap tingkat. BPK juga melakukan pemeriksaan
terhadap BUMN, kecuali BUMN yang memperoleh modal melalui pasar modal Indonesia, dan dalam hal itu ketentuan
yang ada mengharuskan perusahaan-perusahaan yang sudah terdaftar diaudit oleh perusahaan auditor yang
terdaftar. Lembaga militer sekarang ini tidak harus diperiksa. Menurut UU tentang Audit Negara, BPK melaksanakan
audit keuangan, audit kinerja, dan audit forensik. BPK menyampaikan laporan tahunan dan laporan semester kepada
DPR atas pemeriksaan yang dilakukan dan menyampaikan laporan pemeriksaan pemerintah daerah. Laporan ini
memberikan penilaian terhadap laporan keuangan instansi yang diaudit dan serta memberikan komentar terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang ditemui di dalam pelaksanaan anggaran yang mungkin ditemukan. Di samping
itu, BPK juga berwenang untuk menentukan standar pemeriksaan untuk lembaga pemerintah, walaupun mereka
masih belum mengeluarkan standar tersebut untuk penggunaan internal
Tingkat staf BPK tidak sesuai dengan mandat barunya. Lembaga pemeriksaan eksternal yang hanya memiliki
sekitar 3.500 pegawai diharapkan mampu menjamin mutu pemeriksaan internal dari hampir 25.000 staf.
Sebelum penetapan UU tentang audit negara, pemeriksaan keuangan merupakan tugas BPK dan BPKP sebagai lembaga
pemeriksa internal dari pemerintah. Kini BPKP memiliki mandat yang jelas yaitu untuk melakukan pemeriksaan internal
bersama-sama dengan lembaga pemeriksa lain (seperti, Inspektur Jenderal pada setiap Departemen). Perubahan
dalam tanggung jawab ini tidak seluruhnya tercermin dalam realokasi staf dan sumber daya antara kedua lembaga
pemeriksa ini. Akibatnya adalah bahwa BPKP memiliki sumber daya yang sangat bagus dibandingkan dengan BPK.
Misalnya, BPKP kini memiliki kantor di 26 provinsi di seluruh Indonesia, sementara BPK hanya memiliki kantor di 16
provinsi pada akhir tahun 2006.
Mandat BPK relatif jelas tetapi strateginya tidak sesuai dengan kemampuan dan jumlah staf yang ada
saat ini. UU No. 15/2004 tentang audit negara telah memberikan kejelasan atas peran yang berbeda dari lembaga
pemeriksa dengan cara menyatakan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal yang independen pada seluruh
tingkat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001 BPK menyiapkan rencana pengembangan
institusional dan telah melaksanakan langkah praktis untuk menyiapkan diri sehubungan dengan perluasan mandat
yang dimilikinya. Strategi internal BPK untuk periode 2006-10 telah disiapkan dan rencana pelaksanaan taktisnya
sedang dalam penyelesaian tahap akhir. Mengingat tantangan yang dihadapi BPK dalam memberikan layanan
pemeriksaan eksternal dasar dalam bidang pengelolaan keuangan, dan mengingat kapasitas yang dimilikinya saat
ini, maka fokus pekerjaannya sekarang lebih baik diarahkan pada pemberian layanan audit keuangan tradisional yang
bermutu tinggi, tepat waktu, daripada menyampaikan agenda pemeriksaan yang rumit dan canggih.
Sementara UU tentang audit negara memberikan mandat yang semakin kuat kepada BPK, namun masih
belum jelas dalam hal tata pemerintahan internalnya dan struktur manajemen. UU yang terpisah mengenai
aspek-aspek semacam ini kini sedang disusun dan dipandang penting untuk mengukuhkan dasar lembaga ini
sehingga akan diakui sebagai lembaga yang kredibel dan independen.
Mandat dan pembagian tugas antara ketiga lembaga pemeriksaan yang ada sekarang tidak jelas. Audit Internal
berada dalam ruang lingkup kerja BPKP, Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas pada setiap Departemen, dan fungsi
pemeriksaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh Bawasda. BPKP didirikan berdasarkan keputusan
presiden pada tahun 1983. Selanjutnya, mandat BPKP telah berubah melalui berbagai keputusan presiden. Pada saat
ini, mandat BPKP menjadi tidak jelas, dapat membantu Itjen, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota atas undangan
pemerintah daerah, dan mereka dapat menyediakan pelatihan bagi lembaga-lembaga ini. Walaupun mandatnya
telahberkurang secara signifkan, BPKP masih memiliki kantor-kantor dengan staf lengkap yang terdesentralisasi di 26
provinsi dan stafnya yang penuh berjumlah 6.800 orang tidak digunakan secara optimal. Jumlah staf BPKP yang masih
begitu besar belum mencerminkan pengurangan terhadap mandat yang dimiliki saat ini, terutama jika dibandingkan
dengan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal. Selain itu, laporan dari BPKP tidak disampaikan kepada umum atau
DPR.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
117
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Itjen memiliki peran yang berbeda pada setiap Departemen. Mandat Itjen yang sebenarnya, staf, dan
kegiatannya ditentukan oleh kemeterian yang bersangkutan. Oleh karena itu, Itjen bertindak sebagai lembaga
tersendiri sesuai dengan jumlah menteri dan kegiatan pemeriksaan biasanya terfokus pada masalah-masalah rutin
teknis dan kinerja, termasuk ketaatan kepada standar teknis yang berlaku. Oleh karena itu, latar belakang profesi staf
Itjen, biasanya meliputi kualifkasi teknis dan bukannya akunting atau pemeriksaan keuangan. Audit mereka dilakukan
secara acak atau sesuai dengan rencana pemeriksaan tahunan yang sudah disetujui, tetapi tidak berdasarkan pada
metodologi berbasis risiko.
Bawasda melakukan pemeriksaan umum terhadap pengeluaran anggaran daerah, tetapi mereka tidak
memiliki kapasitas yang memadai. Audit terhadap transaksi keuangan masing-masing dari ke 33 pemerintah
provinsi dan lebih dari 440 pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan berdasarkan ketentuan kelembagaan yang
sangat rumit. Bawasda terdapat di setiap kabupaten/kota, tetapi staf Bawasda biasanya tidak memiliki keterampilan
untuk melaksanakan tanggung jawab pemeriksaan. Di samping itu, setiap sumber pendanaan yang berbeda pada
pemerintah daerah diperiksa oleh lembaga pemeriksa yang berbeda pula. Dengan demikian, Bawasda mendapat
dukungan dari BPKP, Itjen, BPK dan Bawasda pada kabupaten/kota lain dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan
terhadap pemerintah daerah masing-masing. BPK merupakan lembaga pemeriksa eksternal dari seluruh pemerintah
daerah. Itjen pada Departemen Dalam Negeri mengkoordinasikan seluruh kegiatan dari lembaga pemeriksaan internal
dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan mereka untuk setiap kabupaten/kota. Bawasda menyampaikan laporan
tahunan mereka kepada masing-masing daerah dan mengirimkan salinan laporan mereka kepada Itjen Departemen
Dalam Negeri, Bawasda Provinsi, dan pihak yang diperiksa. Laporan mereka tidak disampaikan kepada publik atau
DPR. Akan tetapi, BPK menyampaikan rangkuman dan konsolidasi hasil laporan kepada DPR dan rangkuman itu
mencakup seluruh Bawasda.
Pengawasan terhadap pengeluaran dan sistem pembayaran sedang ditingkatkan, tetapi pelaksanaannya
masih belum memuaskan. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap anggaran pada jajaran
departemen, tugas pemberian perintah pembayaran telah dialihkan kepada departemen. Hal ini telah menimbulkan
pemisahan yang lebih baik antara fungsi verifkasi transaksi dan pelaksanaan pembayaran. Sementara pemisahan
tugas-tugas ini sudah dirancang dengan baik, pelaksanaan di lapangan tidak seluruhnya memuaskan karena tidak
adanya standar yang jelas mengenai bukti-bukti akuntansi, prosedur verifkasi, dan unit pemeriksa pra bayar di instansi
pembelanja. Salah satu kelemahan endemis yang perlu diperhatikan bahwa dalam praktik akuntansi berkaitan dengan
mutu bukti-bukti akuntansi yang dapat diterima oleh Ditjen Perbendaharaan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
118
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Rekomendasi Kebijakan
Reformasi yang sedang berjalan dalam penyiapan, pelaksanaan, dan pemeriksaan anggaran dapat
mengambil manfaat dari adanya evaluasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan terhadap
sistem anggaran di Indonesia. Biasanya, kajian terhadap pengeluaran lebih berfokus pada pengeluaran sektoral dan
semakin sering menganalisis aspek-aspek kelembagaan dari pelaksanaan anggaran. Laporan pada bab ini merupakan
upaya pertama yang cukup komprehensif dalam melakukan analisis dimensi kuantitatif kinerja anggaran di Indonesia.
Beberapa kegiatan tindak lanjut masih sedang disiapkan atau dapat digali lebih jauh untuk terus memperkuat dasar
analisis dari keputusan anggaran dan membudayakan evaluasi anggaran. Kegiatan tindak lanjut ini termasuk: (i)
survei penelusuran pengeluaran publik untuk mengidentifkasi kebocoran; (ii) World Bank Country Procurement
Assessment Report (CPAR) untuk menilai kemajuan modernisasi pengadaan; dan (iii) analisis tentang peran DPR
mengenai pengawasan pra-laksana purna-laksana (ex ante dan ex post) terhadap anggaran.
Penyiapan dan pelaksanaan anggaran
Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBB) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengan (MTEF).
Mengingat sifat dari perubahan itu sendiri, maka diperlukan visi jangka panjang. Perlu disusun suatu peta perjalanan
yang realistik, operasional, dan komprehensif untuk melakukan reformasi penganggaran dengan mempertimbangkan
kondisi tata pemerintahan Indonesian yang unik, lingkungan pengawasan yang lemah, dan masalah korupsi yang
sudah dikenal luas. Pada saat yang sama, perubahan yang mampu dicapai, dapat terlihat jelas bentuknya, dan
didefnisikan dengan jelas harus dilaksanakan dalam jangka waktu pendek untuk menjawab tekanan politik untuk
melakukan perubahan secara cepat dan menjaga momentum reformasi. Perubahan jangka pendek semacam itu
dapat meliputi peninjauan dan penyederhanan terhadap dokumen anggaran, pembuatan laporan tentang hasil yang
dicapai tiap tahun bagi program-program yang dilaksanakan di setiap departemen, serta otorisasi penganggaran
multi tahun bagi proyek-proyek investasi berskala besar yang memerlukan waktu penyelesaian selama beberapa
tahun.
Untuk jangka menengah, pengawasan terhadap output seharusnya secara perlahan menggantikan
pengawasan terhadap input dan pos-pos anggaran (line item). Reformasi proses anggaran, berikut isi dan struktur
dokumen anggaran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memperkenalkan penganggaran berbasis
kinerja. Anggaran berbasis kinerja (PBB) sering dipahami sebagai alat untuk menunjukkan bahwa pengawasan terhadap
input digantikan oleh pengawasan terhadap output dan bahwa tanggung jawab keuangan dan manajemen dari
unit pelaksana anggaran mengalami peningkatan. Manajer diberikan kebebasan untuk mengelola, tetapi pada saat
yang sama mereka harus akuntabel atas hasil yang mereka capai terhadap penggunaan dana milik publik. Mengingat
bahwa isu tentang tata pemerintahan sangat rentan di Indonesia dan mengingat adanya pengawasan ex post yang
lemah saat ini, upaya untuk melakukan perubahan dalam bidang ini seharusnya diawali dengan kehati-hatian dan
pengawasan ex post yang perlu diperkuat sebelum pengawasan terhadap input diperlunak.
Pembahasan dan persetujuan anggaran oleh DPR seharusnya disesuaikan untuk berfokus pada kebijakan
dan prioritas pengeluaran. DPR memiliki wewenang yang kuat dalam pembahasan ex ante dan persetujuan
terhadap penentuan anggaran tahunan. Anggaran berbasis input, rinci, dan memiliki peranan penting atas fokus
yang kuat terhadap pengawasan ex ante. Sehingga, pembahasan DPR cenderung berfokus pada diskusi mengenai
pos-pos pengeluaran secara rinci dan bukan alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan hasil yang
hendak dicapai. Cara-cara untuk melakukan peningkatan kapasitas, serta upaya untuk melakukan reformasi
kelembagaan, seharusnya menjadi fokus untuk memperjelas peran DPR dalam penyiapan anggaran dengan tujuan
untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai hasil dan prioritas penggunaan anggaran.
Proses untuk mobilisasi anggaran tahun berjalan dan realokasi sumber daya keuangan pada masa bencana
harus disederhanakan. Harus ada upaya untuk mengembangkan proses anggaran jalur cepat untuk digunakan
pada waktu terjadi kebutuhan yang luar biasa untuk pengeluaran publik sementara tetap memelihara kerangka
pengamanan untuk memastikan dana publik digunakan secara efektif dan efsien.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
119
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengadaan
Pembentukan lembaga baru pengadaan merupakan kontribusi sistemik yang penting untuk memberantas
korupsi, yang pada gilirannya akan membuat harga input menjadi lebih rendah dan meningkatkan tata kelola
pengadaan. Di samping itu, diperlukan pelaksanaan strategi e-procurement secara komprehensif agar mampu
berkontribusi untuk meningkat transparansi dan kompetisi pasar.

Audit
Banyaknya peraturan terpisah yang mengatur pemeriksaan eksternal dan internal tidak memberikan ruang
koordinasi dan kejelasan. Konsolidasi terhadap peraturan di bawah satu undang-undang dan menyederhanakan
pemberian wewenang untuk mengeluarkan keputusan dan peraturan sekunder akan memberikan transparansi yang
lebih luas dan mendorong tercapainya peraturan-peraturan yang konsisten.
Ada potensi sinergi dan manfaat lain untuk melakukan konsolidasi mengenai ketiga lembaga pemeriksa
internal menjadi satu lembaga. Konsolidasi lembaga pemeriksa internal memiliki kelebihan di bawah ini:
Koordinasi yang lebih baik terhadap pemeriksaan internal tanpa terjadi duplikasi.
Akan tersedia sumber daya yang lebih banyak untuk mengembangkan produk-produk audit baru dan akan
ada potensi untuk menghemat biaya untuk mendukung layanan pendukung seperti manajemen SDM, dan
manajemen keuangan.
Koordinasi dan kerja sama yang lebih baik antara lembaga pemeriksa internal dan eksternal karena hanya
ada dua pihak yang perlu berkoordinasi.
Memperkuat kemandirian pemeriksaan internal. Hal ini sangat penting di daerah.
Pelaksanaan akuntansi berbasis akrual memiliki implikasi yang sangat luas terhadap keterampilan para
pejabat anggaran, auditor , dan pemakai anggaran dan rekening nasional, termasuk anggota DPR. Menurut
UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, anggaran untuk 2006 harus sudah disampaikan berdasarkan sistem akrual
dan laporan keuangan pada tahun itu harus pula disampaikan dan diaudit dengan basis akrual. Pelaksanaan yang
dilakukan secara bertahap untuk melaksanakan reformasi tersebut harus direncanakan dengan memperhatikan tingkat
keterampilan saat ini dan harus pula meliputi kegiatan pelatihan antar lain bagi auditor internal dan eksternal.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
120
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
BAB 7
Desentralisasi Fiskal &
Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
122
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Temuan Pokok
Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan dana kepada
daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan agar daerah-daerah tersebut
menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk
daerahDana Alokasi Umum (Dana DAU)mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada 2006.
Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan berbagai perbaikan taraf
hidup warganya. Bahkan daerah-daerah yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita rata-
rata sebesar AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan sebesar 75 persen
pada tahun 2006.
Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan
penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini
tidak mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan pelayanan masyarakat.
Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan anggaran tambahan
mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening bank setempat, jumlah simpanan itu semakin
banyak dan telah mencapai angka 3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006.
Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah.
Pengeluaran administrasi yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk sektor-
sektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan infrastruktur.
Rekomendasi Utama
Lakukan pemantauan terhadap kinerja pemerintah daerah, berikan insentif bagi kinerja yang
bagus dan sediakan bantuan teknis untuk mereka yang tertinggal. Tantangan utama bagi pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia adalah menjamin efektivitas alokasi sumber daya yang ada untuk meningkatkan
penyediaan layanan masyarakat dan mendorong pelaksanaan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat
miskin. Sistem kinerja yang kredibel dapat membantu membangun sistem alokasi sumber daya yang sesuai
dengan kebutuhan dan bisa meningkatkan kinerja.
Hapuskan pencakupan penuh pembayaran gaji PNS dengan menggunakan anggaran yang
seharusnya digunakan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini tidak saja akan memperkuat
dampak pemberian DAU kepada masyarakat, lebih penting lagi, tindakan ini akan menyediakan insentif
untuk meningkatkan layanan masyarakat di daerah. Cara seperti itu akan semakin memberdayakan
pemerintah daerah dalam menemukan kombinasi optimal dari sumber daya yang tersedia (jumlah tenaga
kerja, modal, input setengah jadi, dan outsourcing) untuk penyediaan layanan masyarakat.
Mengurangi pengeluaran daerah yang berlebihan untuk membiayai administrasi pemerintah.
Pemerintah daerah seharusnya memprioritaskan pengeluaran mereka pada bidang-bidang yang akan
berdampak langsung terhadap penyediaan layanan masyarakat.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
123
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Desentralisasi dan Kesenjangan
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dan persebaran yang sangat luas. Terdiri
lebih dari 17.000 pulau (dimana 6.000 di antaranya tidak berpenghuni), terentang di tiga zona waktu, dan memiliki
segalanya mulai dari hutan tropis, dataran rendah yang subur, sampai dengan pegunungan dataran tinggi. Perjalanan
dari ujung paling barat Indonesia (Sabang yang terletak di Aceh) sampai ke ujung paling timur (Merauke di Papua)
akan memakan waktu selama lebih dari 10 jam dengan pesawat terbang, dan kareana keterbatasan infrastruktur
disebagian wilayah, sangat tidak mungkin perjalanan tersebut ditempuh dalam waktu satu hari. Indonesia memiliki
lebih dari 300 suku yang menggunakan lebih kurang 250 bahasa yang berbeda di seluruh negara kepulauan ini.
Pulau Jawa yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terpadat di dunia dan Irian yang merupakan
salah satu pulau berpenduduk terjarang di dunia, keduanya berada di Indonesia. Jika seluruh wilayah Indonesia
memiliki penduduk yang padat seperti Pulau Jawa, jumlah penduduk Indonesia akan berjumlah dua milyar orang dan
akan menjadi negara terbesar di dunia. Sebaliknya, jika seluruh pulau Indonesia berpenduduk jarang seperti Papua,
maka seluruh penduduk Indonesia hanya akan berjumlah 11 juta (hampir sama dengan Belgia).
Keanekaragamaan dan perbedaan geografs ini tercermin dalam perbedaan kondisi sosial ekonomi yang
cukup signifkan. Sementara beberapa bagian wilayah Indonesia memiliki pendapatan seperti negara sangat
maju, di bagian lain masih menunjukkan adanya kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah (Tabel
7.1). Fasilitas pendidikan di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia sama dengan fasilitas di negara-negara
berkembang lainnya, sementara tingkat pendidikan dan kesehatan, terutama di kawasan Indonesia Timur, setara
dengan kondisi di sebagian besar negara Afrika:
PDB per kapita daerah sangat bervariasi. Misalnya, PDB per kapita Riau dan Kalimantan Timur, yang
merupakan daerah penghasil minyak dan gas, adalah hampir 20 kali lebih tinggi daripada PDB Maluku atau
Nusa Tenggara Timur (NTT). Tingkat PDB per kapita kabupaten/kota dalam satu provinsi juga menunjukkan
disparitas yang luas seperti yang ditunjukkan oleh panjangnya kotak horizontal pada Diagram 7.1.
Angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan
lainnya (Diagram 7.1). Sejumlah kota memiliki tingkat kemiskinan dibawah 3 persen, tapi Kabupaten
Manokwari di Irian Jaya Barat dan Kabupaten Puncak Jaya di Papua memiliki tingkat kemiskinan diatas 50
persen.
Indikator Pembangunan Manusia (IPM) rata-rata untuk Indonesia pada 2002 adalah 0,66. Di tingkat
kabupaten/kota, rentang angka IPM bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,47 di Kabupaten Jayawijaya
sampai dengan to 0,76 untuk Jakarta Timur.
Perbedaan yang sangat ekstrim ini telah berpengaruh pada penerapan desentralisasi pada tahun 2001,
terutama terkait dengan kerangka fskal. Dana perimbangan merupakan unsur utama dari rancang bangun
desentralisasi. Hal ini terdiri dari beberapa dana transfer yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara
kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fskal pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar pemerintah kabupaten/kota
mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan, dalam hal kualitas maupun kuantitas,
dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Daerah-
daerah penghasil minyak dan gas juga menerima manfaat yang sangat besar, karena sekarang mereka menerima 15,5
persen dari penerimaan migas tersebut.
Pelaksanaan sistem desentralisasi telah memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah
daerah dalam bentuk wewenang daripada fungsi pemerintah. Sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang
pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor-sektor yang wajib ada di tingkat daerah mencakup dinas kesehatan,
pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, perhubungan, transportasi, pertanian, industri, dan perdagangan, investasi
modal, pertanahan, koperasi, tenaga kerja, dan infrastruktur. Pemerintah provinsi melakukan koordinasi terhadap
kinerja pemerintah kabupaten/kota dan menjalankan sejumlah fungsi yang berpengaruh terhadap lebih dari satu
pemerintah kabupaten/kota. Dalam waktu satu tahun, sebagian besar tanggung jawab layanan masyarakat sudah
didesentralisasikan. Proporsi anggaran daerah yang tercakup di belanja pemerintah naik menjadi hampir dua kali
lipat, sementara dua pertiga dari pegawai negeri yang ada ditugaskan di daerah dan lebih dari 16.000 fasilitas layanan
masyarakat dialihkan ke pemerintah daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
124
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Diagram 7.1 Disparitas daerah yang menyolok
0
0 20 40 60
10 20 30 40 50
Riau
Kalimantan Timur
Riau Kepulauan
Kalimantan Tengah
Bangka Belitung
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Kalimantan Selatan
Irian Jaya Barat
Bali
Sumatera Selatan
NAD
Jawa Barat
Sulawesi Utara
Jambi
Sulawesi Tengah
Banten
Papua
Kalimantan Barat
DI Yogyakarta
Lampung
Sulawesi Tenggara
Bengkulu
Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Jawa Tengah
Gorontalo
Nusa Tenggara Timur
Maluku Utara
Maluku
Papua
Maluku
Irian Jaya Barat
Gorontalo
NAD
Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Barat
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Lampung
Jawa Tengah
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Kalimantan Timur
Riau
Kalimantan Barat
Maluku Utara
Jambi
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Bangka Belitung
Banten
Kalimantan Selatan
Bali
Sumber: Data Dasar DAU 2006, DepKeu-BPS
Sumber: BPS
Perhitungan Penduduk Miskin perkepala 2004 (%)
PC PDRB 2004, dalam miliar Rp
Riau Kepulauan
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Plot dalam diagram ini merupakan distribusi PDB per kapita daerah dan penghitungan angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota
yang dikelompokkan berdasarkan provinsi. Panjangnya Kotak menunjukkan distribusi dari 25 persentil sekitar median. Panjangnya whisker adalah
1,5 kali jarak antara median dan kuartil pertama atau ketiga. Titik-titik di luar whiskers merupakan outliers. Pada diagram pertama, daerah dengan
PDB per kapita lebih besar dari Rp 50 juta tidak dimasukkan untuk tujuan penentuan presentasional.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
125
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.1 Tingkat disparitas yang signifkan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia
Indikator
Kabupaten/
kota terkuat
Kabupaten/
kota
terlemah
Kabupaten/
kota rata-
rata
Standar
deviasi
Mexico
(menengah-
tinggi)
Zambia
(rendah)
PDB per kapita (AS$) 33,759
82
208 1,055 2,104 6,500 491
Tingkat Kemiskinan (%) 3 51 18 10 20 73
Tingkat kemampuan baca-tulis orang
dewasa (%)
99 21 91 9 90 68
Angka Partisipasi Kasar jenjang
pendidikan menengah (%)
125 9 82 15 109 26
Usia harapan hidup (tahun) 73.7 57.5 66.3* 3.1* 75 38
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan BPS 2004, Laporan Pembangunan Kemanusiaan (Bappenas dan UNDP, 2004). Little Data Book
(World Bank, 2006).
Catatan: * Berdasarkan data tingkat provinsi.
Setelah enam tahun dilaksanakannya desentralisasi, fungsi dan kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/
kota belum juga jelas akibat lemahnya UU desentralisasi itu sendiri. Kejelasan mengenai kewenangan memang
sangat diperlukan untuk memberikan jaminan akuntabilitas di tingkat daerah. UU No. 32/2004 disahkan dengan tujuan
untuk menentukan kembali secara signifkan hubungan administrasi antar-pemerintahan. Sistem ini memperkenalkan
adanya pemilihan umum secara langsung di tingkat daerah dan memberikan kejelasan yang lebih besar dalam hal
kewenangan wajib daripada UU No. 22/1999. Akan tetapi, peraturan pelaksanaan dari pemerintah pusat, yang
hendak mengatur fungsi-fungsi ini, belum disahkan oleh DPR. Selain itu, pemerintah pusat juga perlu menjamin
bahwa undang-undang sektoral yang ditetapkan kementerian teknis tidak memuat penafsiran yang bertentangan
mengenai tanggung jawab pemberian layanan di tiap tingkat pemerintahan. Di samping itu, UU No. 32/2004 juga
memberikan penegasan mengenai peran baru yang cukup signifkan dari pemerintah provinsi sebagai wakil dari
pemerintah pusat di daerah. Hal ini muncul sejalan dengan pandangan baru dan fungsi operasional pemerintah
provinsi vis--vis kabupaten/kota, serta kontrol pemerintah pusat yang lebih kuat melalui Menteri Dalam Negeri dan
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Kotak 7.1 Undang-undang utama tentang desentralisasi, 1999-2006
Mei 1999: Kerangka UU untuk pelaksanaan sistem desentralisasi dikeluarkan. UU No. 22/1999 tentang Otonomi daerah dan
UU No. 25/1999 mengatur perimbangan fskal dan daerah. Pelaksanaannya baru bulan Januari 2001.
Desember 2000: UU No. 34/2000 tentang perpajakan pemerintah daerah telah disahkan oleh DPR.
Agustus 2001: UU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua. Kedua Undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada
kedua provinsi ini tambahan pendapatan dari sektor migas untuk memperkuat kapasitas fskal mereka dan memacu
pembangunan. Papua juga diberikan dana Otonomi Khusus (2 persen dari dana DAU nasional).
Berlaku 2004: Amendemen terhadap UU No. 22 dan 25/1999 tentang pelaksanaan sistem desentralisasi; UU No. 32/2004
tentang Otonomi Daerah, UU No. 33/2004 tentang Keuangan Daerah .
Mei 2006: UU No. 11/2006 tentang status pemerintahan Aceh dengan re-defnisi tentang Otonomi Khusus dan
memperkenalkan dana tambahan untuk Otonomi khusus (2 persen jumlah dana DAU pusat) yang akan dialokasikan untuk
Aceh mulai 2008.
Sumber: Staf Bank Dunia.
Sejak pelaksanaan sistem desentralisasi, tingkat pendapatan telah mengalami peningkatan di seluruh
Indonesia, tetapi daerah yang relatif kaya berkembang lebih cepat daripada daerah yang relatif miskin.
82

Tingkat penurunan kemiskinan nasional dari 24 persen (1999) menjadi 18 persen (2005). Walaupun seluruh kabupaten/
kota di Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan, kabupaten/kota yang relatif kaya menerima manfaat
yang lebih besar dari program pemulihan ekonomi. Kabupaten/kota yang relatif lebih kaya dapat menurunkan angka
kemiskinan sampai dengan setengah dari tingkat sebelumnya, namun kabupaten/kota yang relatif lebih miskin tingkat
81 Kota Bontang di Kalimantan Timur memiliki tingkat PDB per kapita paling tinggi di Indonesia. Kota ini berpenduduk 117.000 orang dan kegiatan
ekonomi utama adalah sektor minyak dan gas, terutama gas alam cair (LNG). Yang berkontribusi sebesar 87 persen dari PDB pada 2004. Kabupaten/
kota dengan PDB per kapita tertinggi kedua adalah Kabupaten Mimika di Papua dengan PDB per kapita sebesar AS$13.052. Kabupaten/kota ini
berpenduduk 126.000 jiwa dan kegiatan ekonomi utamanya adalah pertambangan.
82 Kabupaten/kota yang dikategorikan relatif kaya adalah 20 persen kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan terendah; kabupaten/kota yang
dikategorikan relatif miskin adalah 20 persen kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Lihat lampiran G.1 dan G.2 untuk indokator
kemiskinan dan ekonomi lebih lengkap.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
126
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
kemiskinan hanya turun sekitar seperempatnya. Dengan demikian, kesenjangan pendapatan antara kabupaten/kota
yang relatif kaya dengan yang relatif lebih miskin menjadi semakin besar. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang relatif
kaya tumbuh di atas angka rata-rata nasional, sementara tingkat pertumbuhan di kabupaten/kota yang relatif miskin
berada di bawah angka rata-rata nasional.
Kemiskinan paling banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang bergantung pada sektor pertanian (lihat
Annex G.2). Kemiskinan berkaitan positif dengan proporsi PDB yang berasal dari sektor pertanian dan berkorelasi
negatif dengan proporsi pendapatan dari sektor manufaktur. Sektor jasa yang lebih besar juga terkait dengan
perhitungan angka kemiskinan yang lebih rendah. Karena sektor manufaktur dan jasa tumbuh melampaui sektor
pertanian, kesenjangan antara daerah kaya dan miskin semakin lebar.
Mengenai mutu penyediaan layanan, tidak tampak tren yang jelas. Pertama, bukti-bukti di tingkat kabupaten/
kota menunjukkan desentralisasi layanan pemerintah di sektor kesehatan, pendidikan, dan administrasi telah
mengalami peningkatan (Kaiser, Pattinasarany dan Schulze, 2006), sementara mutu layanan kepolisian yang tidak
mengalami desentralisasi malah semakin buruk. Akan tetapi, studi sektoral telah menggarisbawahi penurunan pada
sejumlah layanan pokok, terutama air bersih dan listrik (lihat Bab 5). Penelitian terhadap iklim investasi lokal juga
menunjukkan banyak kelemahan pada pemerintah daerah.
83

Upaya pemerintah pusat untuk mengembangkan pelaksanaan standar pelayanan minimum mungkin akan
membantu untuk memperjelas tanggung jawab di setiap tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat telah
mengeluarkan PP No. 64/2005 untuk mendorong pelaksanaan standar minimum layanan di seluruh pemerintah
daerah. Pada akhir 2006, standar minimum pemberian layanan mengalami berbagai tahapan kemajuan di seluruh
sektor di mana sektor itu sedang mengalami perkembangan. Layanan di sektor pendidikan dan kesehatan sudah
berada pada tingkat yang paling siap menurut Departemen Dalam Negeri. Jika hal ini berjalan terus dan dilaksanakan
secara penuh, hal ini mungkin akan membantu memperjelas tanggung jawab pemberian layanan, mengingat bahwa
secara prinsip tanggung jawab pemberian layanan harus jelas sebelum penentuan standar itu dilakukan .
84

Pengeluaran
Pengeluaran daerah
Pemerintah daerah memiliki wewenang yang hampir penuh atas penggunaan sumber-sumber fskal
mereka. Pemerintah daerah dan DPRD melakukan kontrol terhadap pengeluaran dari seluruh sumber penerimaan.
Hal ini meliputi penerimaan daerah dari pajak dan retribusi, pendapatan dari sumber-sumber daya alam, dan dana
hibah (kecuali Dana Alokasi Khusus). Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota saat ini mengelola sekitar 36 persen
dari total pengeluaran publik, dibandingkan dengan kondisi pada pertengahan 1990-an yang hanya berjumlah sekitar
24 persen.
Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi
pemerintahan lalu diikuti oleh sektor pendidikan. Pengeluaran untuk administrasi pemerintahan terutama paling
banyak terjadi di tingkat provinsi (38 persen dari total pengeluaran) dan tingkat kabupaten/kota (30 persen ). Ini sangat
bertolak belakang dengan apa yang dijumpai dalam ekonomi yang lebih modern, yang biasanya mengalokasikan
5 persen atau lebih kecil dari anggaran mereka untuk pengeluaran-pengeluaran serupa. Pos-pos terbesar dalam
administrasi pemerintahan meliputi pengeluaran untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk pegawai bagi kepala
daerah beserta staf, anggota DPRD, dan rehabilitasi dan pembangunan gedung-gedung pemerintah (lihat Bab 3
untuk analisis lengkap mengenai pengeluaran untuk administrasi pemerintahan).
83 Lihat Lampiran G.3 mengenai bukti-bukti yang berhubungan dengan desentralisasi pemberian layanan.
84 Lihat Bank Dunia 2006, Making the new Indonesia Work for the Poor, hal. 236-238 untuk analisis lebih rinci dan kejelasan fungsi antara tingkat
pemerintahan dan pengalihan fungsi yang direkomendasikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
127
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.2 Pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor, 2004
Provinsi Kabupaten/kota
Total (Provinsi +
Kabupaten/kota)
Pemerintah
pusat /
Desentralisasi
Total
(%) (%) (%) (%) (%)
(Rp bn) (Rp bn) (Rp bn) (Rp bn) (Rp bn)
Pertanian 1,823 6 4,201 4 6,024 4 2,679 8 8,703 5
Pendidikan 3,815 12 39,805 33 43,620 29 7,345 23 50,965 28
Kesehatan 3,000 9 8,108 7 11,108 7 2,395 7 13,503 7
Pertambangan 195 1 74 0 269 0 230 1 499 0
Perdagangan, NBD, FCS 479 1 681 1 1,160 1 185 1 1,345 1
Aparatur pemerintah dan
Sektor Pengawasan
12,327 38 35,529 30 47,856 32 613 2 48,469 26
Sektor Tenaga Kerja 426 1 452 0 878 1 177 1 1,055 1
Pertahanan Nasional dan
Sektor Keamanan
0 0 0 0 0 0 400 1 400 0
Lingkungan dan Rencana
Tata Ruang
619 2 1,233 1 1,852 1 148 0 2,000 1
Infrastruktur 8,321 26 17,147 14 25,468 17 14,099 43 39,566 22
Lain-lain 1,399 4 11,728 10 13,127 9 4,168 13 17,294 9
Total 32,404 100 118,959 100 151,363 100 32,437 100 183,801 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan Ditjen Perbendaharaan (DepKeu).
Catatan: NBD = Pembangunan Dunia Usaha Nasional, FCS = Sektor Keuangan dan Koperasi, Kategori untuk Lain-lain termasuk dana pensiun,
subsidi ke pemerintah daerah, dan kategori lainnya. Untuk menghindari terjadinya Pembukuan ganda subsidi kepada pemerintah daerah tidak
dimasukkan, * = Angka-angka awal dari Dirjen Keuangan, DepKeu.
Alokasi sektoral dari anggaran daerah masih kurang optimal. Karena besarnya pengeluaran administrasi,
sektor-sektor lain tidak menerima cukup alokasi anggaran (Tabel 7.2), hal ini terutama untuk sektor kesehatan dan
pertanian.
85
Bank Dunia (2004b) memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar 5 persen dari PDB
setiap tahun dalam sektor infrastruktur publik, yang sebagian besar di tingkat lokal, untuk mempertahankan sasaran
pertumbuhan ekonomi jangka menengah sebesar 6 persen. Di samping itu, pengeluaran dalam jumlah sangat besar
untuk administrasi sangat rentan terhadap tindak korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan jika tidak diikuti
prosedur akuntansi dan laporan yang jelas dan memadai (Kotak 7.2).
Kotak 7.2 Peningkatan pengeluaran lain-lain di Papua
Papua merupakan salah satu daerah yang banyak mendapat manfaat dari pelaksanaan desentralisasi. Provinsi
yang terletak di ujung paling timur Indonesia ini tidak hanya menerima alokasi anggaran per kapita paling besar,
tetapi mulai tahun 2002, Papua juga menerima dana otonomi khusus. Tambahan dana ini tidak hanya menambah
pengeluaran pembangunannya tetapi juga pengeluaran rutinnya, terutama gaji. Sementara Papua menerima
peningkatan anggaran dalam jumlah besar, pengeluaran mereka dengan kategori yang berjudul
lain-lain meningkat dengan sangat tajam, dua kali lipat jika dibandingkan antara tahun 1999 dan 2001. Pos-pos
yang diklasifkasikan sebagai pengeluaran lain-lain termasuk pengeluaran yang tidak tersangka, pensiun, dan
bantuan, dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam klasifkasi sebelumnya. Dana taktis untuk dinas atau
kantor merupakan contoh pengeluaran yang dilaporkan sebagai lain-lain. Dana Taktis tidak melanggar hukum
tetapi sulit untuk melacak pengeluarannya dan sangat rentan terhadap penyalahgunaan.
Sumber: World Bank 2005, Papua Public Expenditure Analysis; Regional Finance and Service Delivery in Indonesias most Remote Region.
85 Bab 2 dan Bab 4 membahas lebih rinci tentang pengeluaran untuk sektor pertanian dan sektor kesehatan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
128
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Pengeluaran dekonsentrasi
Pengeluaran pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi) terus mengalami peningkatan. Pada 2004, jajaran
kementerian pusat menggunakan 50 persen lebih dari anggaran pembangunan mereka didaerah, terutama dalam
sektor sosial. Pengeluaran ini telah mengalami peningkatan sejak 2003. Pengeluaran pemerintah pusat untuk
bidang ini menambah total pengeluaran daerah menjadi sekitar 21 persen (Lewis & Chakeri, 2004). Pengeluaran
dekonsentrasi untuk pembangunan sektor pendidikan dan sosial merupakan yang tertinggi. Pada 2004, kedua sektor
ini masing-masing mencapai 17 persen dan 63 persen dari pengeluaran daerah. Pengeluaran dekonsentrasi untuk
pembangunan sektor transportasi dan industri menunjukkan angka yang signifkan sebab pengeluaran daerah tahun
2004 untuk kedua sektor ini hampir mencapai kenaikan dua kali lipat. Kecuali untuk administrasi kepemerintahan,
lebih dari setengah pengeluaran pemerintah pusat digunakan untuk bidang ini. Pengeluaran pemerintah pusat
untuk aparatur negara dapat dipastikan akan terkonsentrasi di Jakarta.
Pengeluaran dekonsentrasi pembangunan cenderung menguntungkan daerah yang memiliki kondisi fskal
yang relatif lebih baik. Selama tiga tahun pertama pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi terkaya di Indonesia,
Kalimantan Timur, menerima anggaran pengeluaran untuk pemerintah pusat yang lebih besar dibandingkan
dengan provinsi lain, dan menduduki peringkat kedua setelah Maluku dalam bentuk per kapita. Kabupaten/kota
yang berada di Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papuayang kaya secara fskalmenerima lebih dari dua kali
rata-rata pengeluaran pemerintah pusat dibandingkan dengan yang diterima oleh daerah lain antara 2003 dan 2004.
Pada 2004, pengeluaran dekonsentrasi per kapita berkorelasi positif dengan total pendapatan fskal sehingga tidak
berkontribusi pada pemerataan fskal.
Kotak 7.3 Tumpang tindih pengeluaran pemerintah pusat dan daerah: Studi kasus di Jawa Timur
Sebagian besar dana dekonsentrasi yang disalurkan ke daerah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pelayanan
yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sebuah kajian mengenai belanja pembangunan
pemerintah pusat yang baru-baru in dilaksanakan di Jawa Timur memperkirakan bahwa 90-95 persen dari
belanja pemerintah pusat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum (pemukiman) di provinsi
digunakan untuk membiayai kegiatan ditingkat daerah seperti yang dijelaskan di undang-undang desentralisasi.
Lebih jauh lagi, penelitian ini juga mencatat adanya pengeluaran dekonsentrasi baru yang semakin dibutuhkan,
yaitu anggaran belanja tambahan (ABT). ABT tersebut terdiri dari transfer dana departemen untuk APBD dan
pengganti pelaksanaan proyek langsung dari pemerintah pusat. Transfer-transfer ini seringkali terjadi sesaat
sebelum revisi tengah periode anggaran . Transfer-transfer serupa dari jajaran instansi pusat untuk anggaran sub-
nasional bertentangan dengan hukum desentralisasi yang berlaku dan mungkin sebaiknya di konversi kedalam
DAK.
Sumber: Oosterman dan Samiadji, 2005.
Kebijakan pejabat pemerintah, seperti yang tercantum dalam UU No. 33/2004, adalah untuk menyalurkan
pengeluaran pemerintah pusat disektor-sektor yang didesentralisasikan melalui DAK. Akan tetapi, berbagai
kementerian pusat sejauh ini telah menunda pelaksanaan kebijakan ini. Mereka telah berhasil melakukannya akibat
adanya ambiguitas kerangka hukum yang berhubungan dengan fungsi layanan di setiap tingkat pemerintahan (Smoke,
2003). peraturan yang bertujuan untuk mengatasi masalah fungsi dan kewewenangan, berdasarkan UU No.32/2004,
belum dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri. Peraturan ini menguraikan wewenang pengeluaran pemerintah
pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam 30 sektor. Akan tetapi, pada sebagian besar sektor pembagian wewenang
semacam itu masih kabur sementara rancangan peraturannya masih harus ditinjau agar memuat ketentuan bahwa
berbagai keputusan menteri dari pemerintah pusat akan menetapkan rincian lebih lanjut lagi tentang wewenang
setiap tingkat pemerintahan dalam penyediaan layanan umum yang bersangkutan.
Wewenang pengeluaran perlu diperjelas dan harus diserahkan secara transparan pada setiap tingkat
pemerintahan. Rencana kerja pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL)
memuat kemungkinan solusi walaupun lebih birokatis menyangkut masalah tidak jelasnya dan saling bertentangannya
pembagian wewenang tersebut. Selama perencanaan dan siklus penentuan anggaran, departemen yang ada
menyampaikan program kerja secara rinci dan rencana pengeluaran kepada Bappenas dan Departemen Keuangan
untuk mendapatkan persetujuan. Teorinya, Bappenas dan Departemen Keuangan dapat menentukan pengeluaran
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
129
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
pemerintah pusat untuk mendanai fungsi-fungsi daerah dan melakukan evaluasi terhadap program kerja departemen
beserta rencana pengeluaran dengan tujuan untuk menentukan dan menghapuskan pengeluaran di sektor-sektor yang
sudah didesentralisasikan. Pendekatan ini diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat, tetap sepertinya hal itu
masih memungkinkan diskusi lebih lanjut. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh Bappenas dan Departemen
Keuangan adalah mencapai kesepakatan mengenai defnisi operasional tentang pengeluaran pemerintah pusat
sehubungan dengan fungsi dan kewajiban pemerintah daerah.
Penerimaan
Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah daerah di Indonesia menjadi relatif kuat diibanding
negara-negara berkembang lainnya . Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat menyalurkan
dana ke daerah dalam bentuk dana hibah yang penggunaannya telah ditentukan. Dana yang paling besar adalah
subsidi daerah otonom (SDO). Pengeluaran pembangunan didanai melalui sistem Inpres (Instruksi Presiden), yang
merupakan dana Instruksi presiden untuk mendanai berbagai tujuan pembangunan secara spesifk, mulai dari
perencanaan sampai dengan pembangunan gedung sekolah dan pasar. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi
pada 2001, pemerintah pusat mengalihkan dana untuk mengurangi kesenjangan fskal baik secara vertikal maupun
horizontal seperti yang ditentukan dalam undang-undang desentralisasi. Oleh karena itu, pengalihan dana semacam
ini disebut dana perimbangan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
130
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Diagram 7.2 Penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi
Provinsi
-
50.00
100.00
150.00
200.00
250.00
4
9
9
1
5
9
9
1
6
9
9
1
7
9
9
1
8
9
9
1
9
9
9
1
0
0
0
2
1
0
0
2
2
0
0
2
3
0
0
2
4
0
0
2
5
0
0
2
*
6
0
0
2
* *
*
7
0
0
2

R
p

m
i
l
i
a
r
Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Pajak
Pendapatan SDA Subsidi Daerah Otonom/SDO
(Pembangunan) INPRES DAU
DAK Pendapatan Lainnya
Kabupaten/Kota
-
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
600.00
700.00
1
9
9
4
1
9
9
5
1
9
9
6
1
9
9
7
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5
*
2
0
0
6
*
2
0
0
7
*
*
R
p

m
i
l
i
a
r
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan SDA
(Pembangunan) INPRES
DAK
Pendapatan Pajak
Subsidi Daerah Otonom/SDO
DAU
Pendapatan Lainnya
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan SIKD DepKeu.
Catatan: Data dalam real terms (tingkat harga pada 1994 = 100). * = Rencana anggaran, ** = Perkiraan anggaran.
Pemerintah daerah pada dasarnya didanai oleh perimbangan fskal pusat dan daerah. Dana perimbangan
ini terdiri dari tiga elemen: penerimaan bagi hasil (pajak dan non-pajak), Dana hibah yang penggunaannya tidak
ditetapkan (Dana Alokasi Umum /DAU), dan Dana hibah yang penggunaanya ditetapkan (Dana Alokasi Khusus /DAK).
Penerimaan dari pajak berasal dari pajak bumi dan bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan disalurkan
kembali kepada daerah. Penerimaan non-pajak pada dasarnya pendapatan yang berasal dari sumber daya alam
yang didistribusikan kembali kepada daerah berdasarkan sistem derivasi.
86
DAU merupakan dana alokasi umum
yang bertujuan sebagai perimbangann dan DAK dialokasikan untuk mendanai sektor-sektor tertentu yang menjadi
prioritas nasional (Diagram 7.2). Di samping itu, pemerintah daerah juga memiliki penerimaan asli daerah dari pajak
dan retribusi.
86 Pelaksanaan distribusi diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2005
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
131
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Perimbangan fskal antara pusat dan daerah
Komponen terbesar dari dana perimbangan adalah DAU, yang merupakan sekitar 50 persen dari pendapatan
daerah. DAU merupakan 62 persen dari pendapatan kabupaten/kota dan hanya 18 persen dari pendapatan provinsi.
Sumber pendapatan paling besar bagi provinsi adalah pendapatan asli daerah, yang sebagian besar berasal dari
penerimaan pajak.
Tabel 7.3 Pendapatan pemerintah daerah, 2004
Provinsi Kabupaten/Kota
Jumlah
(Rp miliar)
Proporsi
(%)
Jumlah
(Rp miliar)
Proporsi
(%)
Pendapatan asli daerah 22,696 49.3 10,131 8.3
Penerimaan bagi hasil pajak 8,759 19.0 13,706 11.2
Penerimaan bagi hasil sumber daya alam 2,833 6.2 8,773 7.2
DAU 8,217 17.9 75,794 62.1
DAK 13 0.0 3,661 3.0
Pendapatan lain-lain 3,482 7.6 10,055 8.2
Total Penerimaan 46,001 122,121
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD, DepKeu.
Alokasi dana DAU menggunakan mekanisme berbasis formula. Keseluruhan dana DAU ditingkat pusat dihitung
sebagai proporsi (saat ini 26 persen) dari pendapatan bersih nasional setelah dikurangi dana bagi hasil. Formula
DAU memiliki dua komponen, komponen alokasi dasar (BA) dan komponen kesenjangan fskal (FG). Sampai
dengan 2005, komponen alokasi dasar tediri dari lump sum dan komponen proporsional untuk gaji. Mulai 2006,
DAU mencakup anggaran untuk pembayaran gaji setiap pemerintah daerah secara penuh sebelum menggunakan
formula. Kesenjangan fskal dihitung sebagai selisih antara kapasitas fskal (FC) dan kebutuhan pengeluaran (EN),
yang sebagian akan ditutup melalui DAU. Komponen kesenjangan fskal dialokasikan kepada kabupaten/kota secara
pro rata berdasarkan kesenjangan tersebut. Dana ini merupakan pendorong utama untuk menuju pemerataan
dan perimbangan fskal daerah. Walaupun proporsi kesenjangan fskal telah mengalami peningkatan, pentingnya
formula kesenjangan fskal dalam mekanisme distribusi hanya bersifat parsial karena hanya 50 persen total DAU yang
didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fskal (Diagram 7.3).
87
Diagram 7.3 Komposisi DAU secara keseluruhan
0
20
40
60
80
100
120
140
Rp triliun
2005 2006
Hold Harmless
Fiscal Gap
Wage Bill
Lump Sum
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD-DepKeu dan BPS.
Catatan: Data untuk DAU kabupaten/kota secara keseluruhan hanya dalam harga konstan ( tingkat harga = 100)
87 Untuk an analisa tentang alokasi DAU beberapa tahun ini Lihat Lampiran G.5.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
132
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kotak 7.4 Formula DAU
DAU 2006 dialokasikan berdasarkan formula berikut:
DAUi = BAi + FGi (1)
Dimana i menunjukkan kabupaten/kota masing-masing.
FGi = ENi FCi (2)
ENi = [0,3*Indeks jumlah penduduk +0,1* 1/HDIi + 0,15*Indeks Wilayah + 0,3*Indeks Biaya +
0,15* Indeks PDB per kapita Daerah] * Rata-rata Pengeluaran Pemerintah Daerah
(3)
FCi = PADi + STXi + SDAi (4)
Di mana STX = Pendapatan dari Pajak, SDA = Pendapatan dari Sumber Daya Alam, HDI = Indikator Pembangunan Manusia,
PAD = Pendapatan Asli Daerah.
89
Sumber: UU No. 33/2004.
Kebijakan hold harmless membatasi kemampuan DAU untuk meningkatkan perimbanagn fskal. Kebijakan
ini menetapkan bahwa daerah tidak akan menerima alokasi lebih rendah dari alokasi tahun sebelumnya. Hal ini
dinyatakan pada tahun pertama pelaksanaan desentralisasi ketika saat itu komponen FC berjumlah hanya 18,5 persen
dari DAU dan tidak termasuk pendapatan dari sumber daya alam sebagai bagian dari komponen kapasitas fskal. Saat
ini, mekanisme ini sangat menguntungkan kabupaten/kota yang kaya akan sumber daya alam, tetapi berdasarkan UU
maka kebijakan hold harmless tidak berlaku pada tahun anggaran 2008.
Kotak 7.5 Inovasi dalam alokasi DAU
Mulai 2006, alokasi DAU memuat perubahan cukup signifkan pada mekanismenya secara keseluruhan dan pada formula
kesenjangan fskal sbb :
1. Total DAU keseluruhan adalah 26 persen dari penerimaan bersih nasional.
2. Alokasi dasar penyaluran DAU adalah meliputi total gaji di setiap pemerintah daerah.
3. Komponen kapasitas fskalpendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pendapatan pajak, bagi hasil pendapatan sumber
daya alamyang kini diberi tambahan secara penuh.
4. Indikator kesenjangan kemiskinan (poverty gap) dalam formula kebutuhan pengeluaran diganti dengan kebalikan dari
Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita,
5. Kebijakan hold harmless akan dihapuskan mulai tahun anggaran 2008.
Sumber: UU No. 33/2004.
Pembayaran penuh gaji pemerintah daerah melalui DAU tidak memberikan insentif untuk merampingkan
struktur kepegawaian daerah. Variabel penting yang menentukan alokasi dasar DAU adalah gaji pegawai daerah.
Jika satu kabupaten/kota mengurangi gaji pegawainya (tanpa adanya pengurangan oleh kabupaten/kota yang lain)
maka hal tersebut akan mengurangi alokasi dasar DAU daerah tersebut (untuk tahun berikutnya). Seperti yang sudah
dijelaskan, alokasi dasar merupakan sekitar setengah dari total DAU, dengan demikian, komponen gaji ini mengurangi
insentif daerah untuk melakukan perampingan jumlah pegawainya karena akan mengurangi jumlah DAU yang
diterima daerah yang bersangkutan.
89
88 Indeks area memberitahukan ukuran relatif kabupaten/kota atau provinsi, indeks biaya mengacu kepada biaya relatif konstruksi, indeks PDB
daerah per kapita menrupakan PDB per kapita relatif dengan rata-rata seluruh kabupaten/kota atau provinsi. Indeks-indeks yang tertimbang
kemudian dikalikan dengan rata-rata pengeluaran provinsi (kabupaten/kota) untuk mendapatkan alokasi DAU bagi provinsi (kabupaten/kota).
89 Akan tetapi, perlu diingat bahwa jika satu kabupaten/kota memutuskan menurunkan gaji mereka, mereka akan menerima dana diskresionari
yang lebih besar melalui komponen peningkatan kesenjangan fskal (FG), tetapi perolehan dana itu masih jauh lebih kecil daripada pengurangan
jumlah gaji. Sementara hal ini tidak akan memberikan penalti kepada kabupaten/kota yang melakukan pemotongan gaji, hal ini mungkin bisa
atau tidak bisa menjadi insentif yang cukup bagi kabupaten/kota. Sementara itu, seluruh kabupaten/kota yang tidak melakukan pengurangan
terhadap anggaran gaji mereka akan menerima dana yang lebih besar. Sebaliknya, jika seluruh kabupaten/kota melakukan pemotongan terhadap
pembayaran gaji, maka perolehan merekabukan hanya akan lebih signifkan, semua kabupaten/kota yang memiliki kesenjangan fskal positif
(sekitar 95 persen dari seluruh kabupaten/kota pada 2006) tetapi akan memiliki jumlah dana diskresionari yang lebih besar. Insentif fskal ini
hanya berlaku jika kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya untuk untuk melakukan identifkasi
terhadap jumlah efektif dari PNS yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
133
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Revisi UU desentralisasi yang baru memiliki dampak yang beragam. Dampak yang dapat langsung dirasakan
adalah penghapusan hold harmless dan diberlakukannya pembayaran gaji secara penuh lewat DAU akan memberikan
hasil yang beragam sehubungan dengan cara-cara untuk mencapai keseimbangan. Dalam hal pendapatan per kapita
alokasi demikian akan meningkatkan pemerataan, namun dari sudut rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap
kebutuhan pengeluarannya, maka alokasi demikian akan berdampak pada distribusi fskal yang kurang merata (Arze,
2005).
Komponen perimbangan fskal yang terbesar kedua adalah yang berasal dari penerimaan bagi hasil pajak
dan penerimaan bagi hasil SDA. Pada 2004, alokasi anggaran dari pendapatan ini berjumlah 20 persen dari
anggaran daerah. Sementara pendapatan pajak hanya dua pertiga pendapatan ini, pendapatan dari sumber daya
alam terkonsentrasi pada daerah-daerah penghasil minyak, yang telah membuat mereka menjadi daerah yang paling
diuntungkan oleh pelaksanaan sistem desentralisasi. Pada 2006, hanya 62 dari 440 kabupaten/kota dan hanya lima
dari 33 provinsi yang menghasilkan minyak, dan menerima sumber pendapatan dari sektor ini. Sebagian besar dari
kabupaten/kota ini terletak di Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur.

90
Diagram 7.4 Distribusi bagi hasil sumber daya alam per kapita, dan bagi hasil pajak per kapita, 2006
r
i
b
u

p
R
Pendapatan SDA per capita Pendapatan Pajak per capita
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
J
a
w
a
T
e
n
g
a
h
J
a
w
a
T
i
m
u
r
D

I
Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
T
i
m
u
r
J
a
w
a
B
a
r
a
t
S
u
l
a
w
e
s
i
U
t
a
r
a
B
a
l
i
L
a
m
p
u
n
g
S
u
l
a
w
e
s
i
T
e
n
g
a
h
G
o
r
o
n
t
a
l
o
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
B
a
r
a
t
B
e
n
g
k
u
l
u
S
u
m
a
t
e
r
a
U
t
a
r
a
B
a
n
t
e
n
S
u
m
a
t
e
r
a
B
a
r
a
t
S
u
l
a
w
e
s
i
T
e
n
g
g
a
r
a
S
u
l
a
w
e
s
i
S
e
l
a
t
a
n
N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
B
a
r
a
t
M
a
l
u
k
u
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
S
e
l
a
t
a
n
K
e
p
u
l
a
u
a
n
B
a
n
g
k
a
B
e
l
i
t
u
n
g
J
a
m
b
i
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
T
e
n
g
a
h
M
a
l
u
k
u
U
t
a
r
a
S
u
m
a
t
e
r
a
S
e
l
a
t
a
n
P
a
p
u
a
N
a
n
g
g
r
o
e
A
c
e
h
D
a
r
u
s
s
a
l
a
m
K
e
p
u
l
a
u
a
n
R
i
a
u
I
r
i
a
n
J
a
y
a
B
a
r
a
t
R
i
a
u
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
T
i
m
u
r
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data alokasi DepKeu.
Pada tahun 2009, daerah-daerah tersebut bahkan akan menerima dana bagi hasil yang lebih besar dari
pendapatan sektor migas. Suatu ketentuan didalam UU No. 33/2004 menyatakan bahwa daerah akan menerima
dana tambahan 0,5 persen dari pendapatan dari sektor migas. Peningkatan ini akan digunakan sebagai penambahan
anggaran untuk pendidikan dasar. Akan tetapi, masih belum jelas bagaimana hal ini akan dilaksanakan.
90 Seperti yang dinyatakan dalam Koefsi Variasi (CoV) dan Kpoefsi Gini. CoV dan dan Keofsi Gini untuk pendapatana per kapita yang berasal dari
sumber daya alam adalah 2,7 dan 0,84. CoV dan Gini untuk pendapatan dari pajak adalah 2,48 dan 0,73.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
134
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7,4 PBB per sektor, 2005
Sektor Rp bn %
Perkotaan 3,121.7 19.3
Pedesaan 555.5 3.4
Perkebunan 359.3 2.2
Kehutanan 151.6 0.9
Pertambangan 12,018.0 74.2
Total 16,206.0 100.0
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data
DepKeu
Sentralisasi seluruh pajak bumi dan bangunan meniadakan potensi
pemerintah daerah untuk menggunakannya sebagai instrumen
kebijakan penenerimaan. Sementara pajak bumi dan bangunan
dilakukan dan dikumpulkan secara lokal disebagian besar negara di dunia,
di Indonesia hal ini masih dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah
pusat menentukan dasar, tingkat (besarnya pajak di seluruh sektor ini),
melakukan pemungutan pajak, dan menyimpan sebanyak 9 persen dari
total pajak sebagai biaya administrasi. Pada 2005, total PBB yang diterima
adalah Rp 16 triliun, jumlah yang sama dengan 120 persen dari total PAD.
Dalam total ini, PBB belum termasuk sektor industri (sebagian besar sektor
migas) yang jumlahnya paling besar (hampir tiga perempat 2005) dan
telah meningkat secara substansial akibat kenaikan harga minyak.
Pendapatan pajak penting lainnya adalah pajak bangunan di wilayah
perkotaan yang berjumlah 20 persen dari the total PBB pada 2005 (Tabel 7.4). Desentralisasi PBB akan memberikan
instrumen pendapatan bagi daerah yang dapat mereka sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dan untuk
bersaing dengan pemerintah daerah lainnya.
91
PBB memiliki potensi untuk ditingkatkan secara substansial. Desentralisasi PBB wilayah perkotaan dan wilayah
pedesaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara internasional dalam pengalihan pemungutan pajak kepada
pemerintah daerah. PBB untuk kedua sektor ini saat ini sama dengan seperempat dari PAD kabupaten/kota. Potensi
untuk memperoleh peningkatan lebih lanjut masih sangat tinggi. Tingkat pajak statuter adalah antara 0,1 dan 0,2
persen, tergantung pada sektor dan perkiraan nilai bangunan dan, jumlah ini termasuk angka paling kecil di dunia. Di
samping itu, (sentralisasi administrasi) pemungutan pajak ini sangat lemah. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa
hanya sekitar 40 persen dari total PBB yang bisa direalisasikan, berdasarkan dasar penentuan tarif pajak saat ini (Lewis,
2003a). Penentuan nilai bangunan atau tanah merupakan aspek administrasi yang paling rumit, tetapi cakupan dan
pengumpulannya juga tidak dilaksanakan secara efsien.
DAK telah tumbuh dengan cepat tetapi masih tetap rendah dibandingkan dengan dana transfer yang lain.
Pada tahun 2001 dan 2002, DAK berjumlah kurang dari Rp 1 triliun. Pada tahun 2005, DAK mencapai Rp 3,9 triliun
(naik dari Rp 3,6 triliun di tahun 2004). Diharapkan bahwa DAK bakan akan menjadi lebih penting pada tahun-
tahun yang akan datang, terutama jika Departemen Keuangan berhasil dalam menyalurkan kembali pengeluaran
dekonsentrasi pemerintah pusat pada fungsi-fungsi desentralisasi melalui DAK sesuai dengan yang ditentukan pada
UU No. 33/2004.
Tidak ada pola yang konsisten dalam penggunaan DAK. Cakupan sektoral dari DAK pada tahun-tahun awal masih
terbatas pada pendidikan, kesehatan, infrastruktur daerah (jalan raya dan irigasi), pembangunan gedung pemerintah
(untuk pemerintah daerah yang baru terbentuk). Pada 2006, DAK diperuntukkan bagi peningkatan infrastruktur layanan
dasar dan cakupan meluas sampai pada infrastrukturs daerah yang baru (layanan air keliling), perikanan, pertanian,
dan lingkungan. Beberapa tujuan DAK yang pernah disebutkan dalam beberapa kesempatan yang berbeda-beda
antara lain untuk perbaikan sektor-sektor kunci sampai dengan kemiskinan, koreksi spillover, atau pencapaian standar
pelayanan minimum. Pada saat terjadi kevakuman kebijakan terdapat risiko dana itu akan terfragmentasi pada banyak
sektor dan berbagai tujuan.
Provinsi yang lebih miskin dan secara politik kurang stabil, terutama Aceh dan Papua, merupakan provinsi
yang paling diuntungkan dengan adanya perimbangan fskal. Kedua provinsi ini juga menerima status otonomi
khusus berdasarkan UU No. 18/2001 untuk Aceh dan UU No. 21/2001 untuk Papua. Dengan otonomi khusus ini
keduanya menerima anggaran tambahan. Mulai 2002, Aceh dan Papua menerima penerimaan yang lebih tinggi dari
sektor migas. Di samping itu, Papua menerima dana cukup besar dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) yang
jumlahnya mencapai 2 persen dari total DAU pusat. Setelah penetapan pemerintah Aceh yang baru berdasarkan
UU No. 11/2006, Aceh juga akan menerima Dana Otonomi Khusus mulai 2008 selama 15 tahun. Alokasi dana ini
selanjutnya akan dikurangi sampai menjadi 1 persen mulai 2023 sampai 2028 (Kotak 7.6).
91 Untuk analisis rinci tentang tren dan potensinya, Lihat Lampiran G.5.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
135
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kotak 7.6 Distribusi dan pengelolaan Dana Otonomi Khusus
Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) meningkatkan anggaran Papua sampai dengan 20 persen dari dana yang sudah ada yang
merupakan tambahan dana yang cukup besar. Di Aceh, Dana Otsus akan berjumlah sekitar 30 persen dari anggaran daerah
2008. Di Papua, Dana Otsus sebagian akan dialokasikan untuk program-program strategis, dan sisanya akan didistribusikan
kepada kabupaten/kota berdasarkan formula yangsama dengan formula penentuan DAU. Pemerintah Provinsi Aceh masih
perlu harus menentukan formula alokasi untuk Dana Otsus yang akan diberikan tahun 2008.
Akan tetapi, transparansi dan akuntabilitas tetap merupakan tantangan dalam mengelola Dana Otsus di kedua provinsi
ini. Keterlambatan penyaluran Dana Otsus dan Alokasi Khusus dari sektor migas sering terjadi, yang menghambat proses
perencanaan, manajemen, dan pengaturan arus dana tunai (cash fow) di tingkat daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki
akses terhadap informasi rinci mengenai produksi dan biaya sektor migas. Prosedur laporan yang bertele-tele juga
menyebabkan terjadinya penundaan tersebut.
Kajian mengenai Dana Otsus menunjukkan bahwa mekanisme distribusi dan pengelolaan dana ini dapat ditingkatkan dengan
cara:
Identikasi tujuan utama dari Dana Otsus. Jika memang ditujukan untuk melakukan pemerataan, formula alokasinya
seharusnya ditingkatkan. Jika dana itu ditujukan untuk memacu laju pembangunan sektor tertentu, maka alokasi
anggaran yang telah ditetapkan selalu harus dilaksanakan.
Menyederhanakan prosedur penyusunan laporan di tingkat pusat dan kabupaten/kota, meningkatkan akuntabilitas,
akses terhadap arus informasi , dan manajemen serta sistem evaluasi.
Klarifkasi defnisi yang ambigu (dwi makna) dalam regulasi untuk meningkatkan efektivitas dan efsiensi alokasi
dana.
Sumber: Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesias most remote regions (World Bank, 2005); Aceh
Public Expenditure Analysis, Spending for reconstruction and Poverty Reduction (World Bank/DSF, 2006).
Pendapatan Asli Daerah
Walaupun akhir-akhir ini terjadi peningkatan, total pendapatan asli daerah (PAD) masih rendah, hanya
8,5 persen dari total pendapatan. PAD masih disentralisir. Pada 2001, PAD meningkat menjadi 5 persen dari total
penerimaan dalam negeri, naik dari 3,5 persen pada 2000. Antara 2001 dan 2005, pendapatan daerah naik tetapi
lamban dan mencapai 8,5 persen dari total penerimaan publik. Tujuh puluh persen dari PAD dikumpulkan oleh
pemerintah provinsi (Tabel 7.5).
Tabel 7.5 Sumber pendapatan asli pemerintah pusat dan daerah
2001 2002 2003 2004* 2005**
Rp miliar % Rp miliar % Rp miliar % Rp miliar % Rp miliar %
Kabupaten/Kota 5,267 1.7 6,650 2.3 7,302 2.4 8,020 2.3 9,764 2.5
Provinsi 10,005 3.2 12,720 4.4 14,925 4.8 17,920 5.2 23,028 6.0
Total Daerah 15,272 4.9 19,370 6.8 22,227 7.2 25,940 7.6 32,793 8.5
Pemerintah pusat 299,183 95.1 266,831 93.2 285,901 92.8 316,083 92.4 352,288 91.5
Total Publik 314,455 100.0 286,201 100.0 308,128 100.0 342,023 100.0 385,081 100.0
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu dan Bank Indonesia.
Catatan: * Angka-angka untuk daerah merupakan perkiraan awal berdasarkan pelaksanaan anggaran; angka-angka untuk pemerintah pusat
merupakan akhir pelaksanaan anggaran, ** Angka-angka untuk daerah diproyeksikan berdasarkan anggaran daerah dan pusat; angka-angka
untuk pemerintah pusat merupakan data awal dari pelaksanaan anggaran. Tingkat harga konstan tahun 2001.
PAD termasuk pendapatan pajak daerah retribusi dan biaya pemakaian jasa. Pajak listrik, dan hotel dan restoran
mencapai 75 persen dari total PAD tingkat kabupaten/kota dari pajak. Biaya layanan kesehatan yang disediakan oleh
Puskesmas, izin mendirikan bangunan (IMB) mencapai sekitar 50 persen dari total pendapatan dari biaya atau ongkos.
Sumber PAD yang lain termasuk pendapatan dari perusahaan daerah (seperti PDAM) dan pendapatan bunga atas
anggaran yang belum dipakai. Masing-masing dari ketiga jenis sumber pendapatan utama di atas untuk daerah
pajak, biaya, dan lain-lainberkontribusi sekitar sepertiga dari seluruh PAD, sebagai perbandingan dari PAD provinsi
yang merupakan sumber pendapatan lebih besar dari kabupaten/kota. Pendapatan dari pajak di tingkat provinsi
yang jumlahnya cukup signifkan berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama, dan pendaftaran
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
136
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
kendaraan bermotor. Perolehan pendapatan dari PKB mencapai hampir 80 persen dari total provinsi dari pendapatan
pajak. Retribusi yang paling besar berasal dari sektor kesehatan, izin bangunan, dan biaya pemanfaatan aset publik.
Ketiga jenis biaya ini berjumlah sebesar sepertiga dari total pendapatan dan retribusi. Pendapatan bunga atas saldo
anggaran yang tersimpan di bank merupakan pendapatan lainyang patut dicermati. Pendapatan dari pajak mencapai
jumlah yang cukup signifkan (90 persen) dari total PAD tingkat provinsi (Tabel 7.6).
Administrasi pajak daerah cenderung sangat tidak efsien. Biaya administasi pajak daerah menghabiskan
lebih dari 50 persen penerimaan pajak.
92
Akan tetapi, ada perbedaan yang cukup signifkan dalam hal efsiensi di
berbagai pemerintah daerah (lihat Lampiran G.8). Pada awal tahun 1990-an, Departemen Dalam Negeri menerapkan
komputerisasi administrasi perpajakan pada sebagian besar pemerintah daerah. Akan tetapi, sistem ini tidak lagi
berjalan. Dengan demikian, apakah komputerisasi ini akan membantu atau tidak untuk mengurangi masalah efsiensi
yang sangat besar masih belum bisa dipastikan.
Tabel 7.6 Sumber pendapatan asli pemerintah Kabupaten/kota dan provinsi, 2004
Pendapatan Kabupaten/Kota % Pendapatan Provinsi
Jumlah
%
Rp milyar Rp milyar
Pajak Daerah 4,034 3 Pajak Daerah 20,084 43
Listrik 2,037 50 Bea balik nama kendaraan 9,058 45
Hotel dan restoran 1,009 25 Pendaftaran kendaraan bermotor 6,608 33
Lain-lain 988 24 Lain-lain 4,419 22
Retribusi 3,423 3 Retribusi 1,165 3
Kesehatan 1,266 37 Kesehatan 523 45
IMB 370 11 IMB 157 14
Lain-lain 1,787 52 Lain-lain 485 42
Sumber PAD yang lain 2,702 2 Sumber PAD yang lain 1,447 3
Transfer dana 112,080 92 Transfer dana 23,903 51
Total 122,239 100 Total 46,599 100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan DepKeu .
Sebagian besar bentuk pajak baru yang diperkenalkan oleh pemerintah daerah terbukti berdampak negatif
untuk pertumbuhan ekonomi (Barnes dkk., 2005). Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah
kabupaten/kota diberikan wewenang untuk menciptakan sumber pendapatan mereka dari pajak, dan pemerintah
provinsi memiliki wewenang untuk menciptakan pajak konsumen yang baru. Sejak 2001, pemerintah daerah telah
memperkenalkan begitu banyak jenis pajak baru sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan mereka.
93

Survei mengenai Daya Tarik Daerah yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, atau
KPPOD) pada 2004 menerima pendapat yang disampaikan oleh kalangan bisnis, mereka berpendapat bahwa pajak
daerah merupakan hambatan sangat besar dalam pengembangan usaha. Walaupun beban pajak lokal masih ringan,
terutama biaya yang berhubungan dengan perizinan tingkat lokal, hal ini bisa berdampak negatif terhadap iklim usaha,
setidaknya untuk sektor-sektor tertentu (Lewis dan Suharnoko, 2006). Ada juga masalah yang berhubungan dengan
korupsi pada administrasi perpajakan lokal, yang ternyata tidak bisa diatasi melalui pelaksanaan sistem desentralisasi
(Kuncoro, 2004; von Luebke, 2005).
Draft revisi UU No. 34/00 tentang Pajak Daerah membatasi pemerintah daerah untuk mengenakan pajak dan
pungutan pada daftar yang sebelumnya sudah ditentukan. Pemerintah berharap bahwa kebijakan baru ini akan
mengurangi prolifkasi pajak daerah. Kemampuan pemerintah untuk memonitor ketaatan pemerintah daerah akan
menjadi kunci utama dalam keberhasilan atau kegagalan reformasi di sektor ini.
92 Lihat Lewis dan Suharnoko, 2006. Dengan perbandingan, cost-to-yield estimasi dari AS memiliki range mulai dari kurang dari 1 persen untuk
sebagian besar pajak daerah menjadi sekitar 1.5 persen untuk PBB (Mikesell, 1982). Cost-to-yield rasio dari AS merupakan biaya administratif namun
dibagi oleh pendapatan bersih. Dengan menggunakan defnisi ini, keseluruhan cost-to-yield rasio untuk pemerintah daerah di Indonesia menjadi
sebesar 110.5 persen .
93 Temuan terkini menunjukkan bahwa pemerintah daerah bisa jadi menerbitkan sebanyak 6.000 pajak baru dan dimuat dalam undang-undang
Peraturan DaerahPerda yang dikeluarkan selama tahun 2000 sampai pertengahan 2005, banyak yang memperkenalkan pajak dan tagihan baru,
sisanya mengganti bea dan/atau berdasarkan pada pajak yang sudah ada, hal tersebut dimungkinkan oleh UU No. 34/2000 (LPEM-FEUI, 2005a).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
137
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Manajemen Keuangan Publik di Daerah
Kinerja sistem anggaran
Kerangka peraturan untuk melakukan reformasi pada pengelolaan keuangan publik di daerah umumnya
sudah ada. Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah daerah mengikuti pedoman administrasi
keuangan daerah yang disebut Makuda, yang tidak pernah direvisi atau disempurnakan selama hampir 20 tahun.
Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat mengeluarkan peraturan yang sangat komprehensif
mengenai manajemen keuangan publik, sebagai baian dari pengelolaan keuangan publik di tingkat daerah.
94

Komponen utama yang perlu diperhatikan untuk reformasi meliputi unifkasi anggaran, kinerja anggaran, kerangka
kerja pengeluaran jangka menengah, dan restrukturisasi sejumlah lembaga keuangan pada unit-unit pemerintah
daerah. Salah satu prestasi besar adalah bahwa sebagian besar anggaran yang sudah disalurkan ke daerah akan segera
dimasukkan kedalam anggaran daerah (misalnya, transformasi dana dekonsentrasi ke dalam DAK).
Akan tetapi, tidak ada mekanisme untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kesulitan fskal dan
insolvensi di tingkat daerah. Kerangka peraturan yang baru tidak memberi peluang untuk melakukan intervensi
terhadap anggaran jika terjadi kesalahan atau kebangkrutan pada pemerintah daerah. Pemerintah menunjukkan
minat mereka untuk mengembangkan mekanisme semacam itu, tetapi belum ada hasil berarti yang sudah dicapai.
Sebagian besar daerah perlu meningkatkan kapasitas teknis mereka dan meningkatkan SDM untuk
menjalankan reformasi di daerah mereka, sementara pemerintah pusat perlu menyediakan bimbingan
yang memadai untuk mendukung pelaksanaan hal itu. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang tidak jelas
antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri telah menyebabkan timbulnya ketentuan yang tidak
konsisten dan saling bertentangan terkait dengan masalah manajemen keuangan dearah, yang menimbulkan
kebingungan di antara sebagian besar pemerintah daerah. Konsep yang baru diperkenalkan, seperti anggaran
berbasis kinerja, pelaksanaannya sangat buruk dan pengelolaan anggaran daerah masih jauh dari efsien. Sementara
pemerintah daerah diwajibkan oleh UU untuk melaporkan beberapa informasi keuangan dan fskal tertentu kepada
pemerintah pusat, banyak di antara mereka tidak melakukan hal itu (datanya hilang atau sengaja tidak diberikan).
Pemerintah daerah tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada publik tentang hal-hal yang berkaitan
dengan informasi fskal dan keuangan. Selain itu, sebagian besar dari mereka tidak melakukan hal tersebut sehingga
informasi semacam itu tidak bisa diakses oleh publik. Kurangnya keterbukaan, sistem pembukuan yang buruk, dan
misalokasi dana, menyebabkan proses pengelolaan anggaran sangat rentan terhadap korupsi.
Secara keseluruhan, sistem pengelolaan keuangan publik di daerah masih lemah dan berisiko tinggi
terhadap tindak korupsi. Temuan dari penilaian yang mendalam (dan penentuan peringkat dari skala 100 persen)
atas kinerja keuangan sebanyak 15 pemerintah daerah yang terpilih menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan dan
SDM untuk mengelola anggaran daerah masih sangat rendah dan bahwa proses manajemen kauangan masih lemah,
tidak transparan dan tidak akuntabel. Nilai rata-rata kinerja pemerintah daerah, yang diukur berdasarkan ketentuan
peraturan nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah baru mampu mencapai angka 44 persen.
95
Sebagai
kontras dengan hal ini adalah kinerja dari beberapa pemerintah daerah yang sangat reformis. Misalnya, Kabupaten
Sleman di Provinsi Yogyakarta telah mampu mencapai skor kinerja 100 persen di bidang pengelolaan keuangan dan
laporan akunting mereka. Akan tetapi, kinerja seperti itu masih sangat jarang. Pemberian insentif daerah mungkin
merupakan langkah penting untuk mendorong agar gerakan antikorupsi merekadapat terus mencapai kemajuan.
94 Payung hukum utama untuk pengelolaan keuangan daerah adalah UU Otonomi daerah (No. 32/2004). Keseimbangan Fiskal (No. 33/2004).
Sistem Perencanaan Nasional (No. 25/2004). Keuangan Negara UU (No. 17/2003) dan Perbendaharaan Negara UU (No. 1/2004). Pelaksanaan
peraturan utama adalah No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan pelaksanaan panduan KepMen No. 13/2006, pengganti KepMen
No. 29/2002.
95 Indonesia: Local Government Financial Management A Measurement Framework (World Bank Ofce Jakarta, Ministry of Home Afairs, 2005).
Kerangka ini menilai kinerja pemerintah daerah dalam sembilan wilayah pengelolaan keuangan daerah, diukur dengan menggunakan indokator
akumulasi nilai yang ada di masing-masing sembilan wilayah tersebut. Keseluruhan nilai yang bisa diraih untuk tiap wilayah adalah 100 persen.
Hasilnya, dirumuskan dari pelaksanaan kerangka pengukuran pengelolaan keuangan, mencerminkan rata-rata kinerja 15 pemerintah daerah
(tiga di Sulawesi, dua di Jawa dan delapan di Aceh dan dua di Sumatera Utara) pada sembilann wilayah pengelolaan keuangan, diprakarsai pada
tahun2005 dan 2006, sebagian berkolaborasi dengan USAID-LGSP.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
138
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Diagram 7.5 Hasil kerangka penilaian kinerja PFM
0% 25% 50% 75% 100%
Kab. Sleman
Kota Banda Aceh
Kab. Aceh Besar
Kab. Aceh Timur
Kota Blitar
Kab. Parigi Moutong
Kab. Sidenreng Rappang
Kota Palu
Kab. Pidie
Kab. Bireuen
Kab. Aceh Barat
Kab. Nias
Kab. Nagan Raya
Kab. Aceh Jaya
Kab. Nias Selatan
Perencanaan dan Penganggaran
Pengadaan
Audit Internal
Pengelolaan Aset
Kerangka Kerja
Pengelolaan kas
Akuntansi dan Pelaporan
Hutang dan Investasi
Audit Eksternal dan Pemantauan
Kinerja pemerintah daerah dibidang penanganan utang, investasi, dan audit eksternal masih buruk.Hal ini
mencerminkan tidak adanya kerangka peraturan nasional yang baik dan kurangnya sumber daya di tingkat nasional:
Audit eksternal (kinerja rata-rata 35 persen ). UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan keuangan negara
memberikan mandat untuk melakukan pemeriksaan eksternal oleh BPK. Namun sampai saat ini, menurut pejabat
BPK, hanya sekitar 60 persen dari pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang diperiksa secara teratur oleh BPK.
Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah bahwa pemerintah pusat tidak menyediakan pendanaan yang
memadai kepada BPK untuk melakukan hal itu. Pemeriksaan eksternal yang lemah juga berarti bahwa catatan
tentang pembukuan juga masih lemah dan tindak lanjut atas temuan selama pemeriksaan lebih banyak berupa
pengecualian daripada ketentuan aturan itu sendiri. Walaupun pemeriksaan eksternal dari pemerintah daerah
diserahkan kepada DPRD, laporan itu tidak dapat diakses untuk publik. Praktik seperti itu akan meningkatkan
timbulnya bahaya tindak korupsi. Informasi keuangan atas kinerja dan alokasi anggaran, dan dorongan untuk
mengikuti standar akuntansi yang benar akan meningkatkan mekanisme akuntabilitas di dalam pemerintah
daerah dan seluruh jajaran pemerintahan.
Utang dan investasi (kinerja rata-rata 29 persen). Sebagian pemerintah daerah yang diteliti belum
mengembangkan kebijakan yang baik untuk iklim investasi di masa datang atau mengembangkan strategi
peminjaman. Investasi biasanya dilakukan berdasarkan kondisi ad hoc dan tidak terkait dengan rencana atau
proyeksi jangka menengah.
Surplus anggaran dan tunggakan utang
Surplus
Pemerintah daerah akhir-akhir telah memperoleh manfaat dari adanya dana cadangan yang sangat besar.
Pada pertengahan 2006, dana cadangan ini mencapai Rp 95 triliun atau 3,1 persen dari PDB. Ini sangat jauh berbeda
dengan kondisi sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, di mana pada saat itu tidak pernah ada surplus. Antara
2001 dan 2005, provinsi dan kabupaten/kota mampu memiliki akumulasi anggaran sebanyak lebih dari Rp 35 triliun
dalam cadangan merekakira-kira 18 persen dari pengeluaran daerah (2005) di tingkat pusat, dan 1,4 persen dari
PDB (2005) (Tabel 7.7). Dana cadangan mulai melonjak tinggi pada pertengahan tahun pertama 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
139
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.7 Pendapatan asli pemerintah daerah, pengeluaran, dan surplus
2001 2002 2003 2004* 2005**
(Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%) (Rp miliar) (%)
Kabupaten/kota
Pendapatan 78,699 -- 83,466 -- 96,637 -- 96,420 -- 105,690 --
Pengeluaran 71,624 91.0 80,344 96.3 96,673 100.0 93,924 97.4 97,574 92.3
Defsit/Surplus 7,075 9.0 3,122 3.7 -36 0.0 2,497 2.6 8,116 7.7
Provinsi
Pendapatan 25,484 -- 29,471 -- 33,295 -- 36,320 -- 45,480 --
Pengeluaran 23,109 90.7 28,828 97.8 33,335 100.1 34,214 94.2 41,255 90.7
Defsit/Surplus 2,375 9.3 643 2.2 -40 -0.1 2,106 5.8 4,224 9.3
Total Daerah
Pendapatan 104,183 112,937 129,931 132,741 151,170
Pengeluaran 94,733 90.9 109,171 96.7 130,008 100.1 128,138 96.5 138,829 91.8
Defsit/Surplus 9,450 9.1 3,766 3.3 -76 -0.1 4,602 3.5 12,341 8.2
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Angka-angka untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih perkiraan awal berdasarkan pelaksanaan anggaran, ** Angka-angka
untuk pendapatan dan pengeluaran provinsi dan kabupaten/kota merupakan proyeksi berdasarkan anggaran daerah dan pusat nasional (SIKD
DepKeu); Angka mengenai surplus merupakan perkiraan berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada tingkat harga konstan 2001.
Jumlah akumulasi dana cadangan sangat bervariasi di antara setiap pemerintahan provinsi dan kabupaten/
kota. Akumulasi dana cadangan cenderung menjadi lebih tinggi di daerah-daerah kaya dengan sumber daya alam,
seperti Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papua. Pemerintah daerah di Pulau Jawa dan kawasan Indonesia Timur
memiliki dana cadangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang mereka peroleh sejak pelaksanaan
sistem desentralisasi. Pemerintah daerah memang berhak dan perlu untuk memiliki dana cadangan, karena hal
ini dapat membantu mereka untuk mengatasi beberapa masalah arus dana tunai (cash fow) ketika terjadi kondisi
darurat yang memerlukan pencairan dana dalam waktu cepat. Aturan umum yang biasa digunakan adalah bahwa
dana cadangan pemerintah daerah seharusnya berjumlah antara 5 dan 10 persen pengeluaran umum (Wolkof,
1987). Akan tetapi, batas ambang tersebut kini sudah terlampaui oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia.
Ada empat faktor yang berkontribusi terhadap investasi dan pengeluaran yang rendah yang dilakukan oleh
pemerintah daerah. Pertama, anggaran pemerintah daerah cenderung baru bisa disetujui pencairanya setelah
melalui penundaan berkali-kali, kadang-kadang sampai menjelang berakhirnya tahun fskal. Ini masih diperburuk
lagi oleh pengenalan otorisasi proses anggaran yang baru (UU No. 32/2004), di mana Departemen Dalam Negeri
berhak untuk memberikan persetujuan terhadap anggaran pemerintah provinsi, dan pejabat provinsi memberikan
persetujuan terhadap anggaran pemerintah kabupaten/kota. Kedua, pemerintah pusat melakukan penyaluran
pembagian dana terutama yang berasal dari sumber daya alam yang cenderung baru diberikan menjelang akhir
tahun fskal. Ketiga, pengeluaran pemerintah pusat didaerah mengurangi pengeluaran daerah (crowding out) dan
memaksa pemerintah daerah untuk meninjau rencana pengeluaran merekaproses yang rumit dan sangat lamban.
Keempat, pemerintah daerah mungkin tidak memiliki kapasitas untuk menggunakan sumber daya yang diberikan,
terutama ketika sumber daya seperti itu tiba-tiba meningkat secara signifkan. Ini memang benar terutama ketika
peningkatan dana DAU meningkat sebanyak 64 persen dari 2005 sampai 2006, yang telah menyebabkan terjadinya
peningkatan tiba-tiba dalam jumlah yang cukup signifkan dari dana cadangan mereka (lihat Bab 1).
Adanya jumlah dana cadangan yang besar menunjukkan proses penentuan dan persetujuan anggaran
yang tidak efsien yang mungkin tidak mudah untuk dihilangkan. Pertama, proses persetujuan anggaran harus
disederhanakan, yang akan memerlukan perubahan terhadap UU No. 32/2004. Kedua, pemerintah daerah perlu
mengembangkan kapasitas untuk memperbaiki anggaran dan menggunakan sumber daya lebih efektif. Ketiga, UU
No. 33/2004 menetapkan bahwa penyaluran penerimaan bagi hasil harus dilakukan secara triwulan, yang memerlukan
perkiraan produksi yang tepat waktu dari setiap sektor di Departemen.
96
96 Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman jangka untuk mendukung pengeluaran pendapatan yang akan datang. Akan tetapi, hanya
beberapa pemerintah daerah yang mulai melakukan pinjaman untuk tujuan ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
140
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Peminjaman
Dari perspektif makroekonomi, jumlah utang pemerintah daerah tidak signifkan. Utang pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota (termasuk hutang perusahaan daerah air minum atau PDAM ) mencapai jumlah sebesar 0,18
persen dari PDB atau 0,33 persen dari total hutang sektor publik pada 2005. Tujuh puluh lima persen dari hutang
daerah ini berada pada PDAM, dan 17 persen dan 8 persen dari PDAM masing-masing dimiliki oleh pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi. Banyaknya hutang pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat (dari rekening
RDA/RDI) dan lembaga donor donors melalui pemerintah pusat (lewat Perjanjian Subsidi Pinjaman, atau SLA).
Jumlah pinjaman yang telah diteruskan kepada pemerintah daerah dan PDAM mereka sangat bervariasi
secara signifkan selama ini. Utang PDAM mulai mengalami peningkatan pada tahun1986 dengan kenaikan
dan penurunan yang sangat drastis, lalu memuncak pada pertengahan tahun 1990-an, dan setelah itu mengalami
penurunan. Sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pinjaman hampir mendekati titik nol. Pembayaran kembali atas
pinjaman sangat buruk. Pada akhir tahun 2004, total pembayaran yang sudah jatuh tempo adalah Rp 7.104 milyar,
hampir setengah dari jumlah ini telah dilunasi.
Tabel 7.8 Pinjaman dan hutang yang telah lewat jatuh
tempo berdasarkan peminjam
Jumlah
pinjaman
Nilai Bagian Tunggakan
Peminjam (Rp miliar) (%) (%)
Provinsi 81 931 16.2 9.9
Kabupaten 204 379 6.6 29.2
Kota 116 702 12.2 41.8
PDAM 437 3,735 65.0 61.9
Total 838 5,747 100.0 48.0
Sumber: Lewis (2007).
Kerangka aturan yang baru bagi daerah untuk
membuat pinjaman menetapkan ketentuan
dan aturan baru mengenai pinjaman. Tetapi
masih ada sejumlah masalah yang harus dipecahkan.
Pertama, mekanisme yang baru untuk menyerahkan
tinjauan usulan proyek dan pemberian persetujuan
terhadap pinjaman (disebut sistem buku biru)
yang terlalu berbelit-belit dan panjang. Kedua,
kesepakatan baru menyatakan bahwa pinjaman
jangka panjang kepada daerah hanya dapat
digunakan untuk mendanai infrastruktur publik
yang secara langsung akan meningkatkan
pendapatan bagi pemerintah daerah. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur daerah akan memerlukan pendanaan
sendiri, yang mungkin mempengaruhi tingkat efsiensi dan pemerataan. Ketiga, pemerintah dan para donor akan
diizinkan untuk meminjamkan dana kepada pemerintah daerah yang tidak memiliki tunggakan pembayaran atas
utang mereka di waktu lampau dari pemerintah pusat. Di samping itu, pihak yang memberi pinjaman hanya boleh
memberi pinjaman kepada PDAM sepanjang baik PDAM maupun pemerintah daerah yang bersangkutan tidak
memiliki tunggakan utang sebelum diberikan pinjaman SLA atau RDA. Secara efektif ini berarti bahwa 107 dari 384
pemerintah daerah, 16 dari of 32 provinsi, dan 189 dari 320 PDAM yang memiliki tunggakan pembayaran utang tidak
boleh membuat pinjaman baru (Tabel 7.8).
97
Dana cadangan setiap pemerintah daerah sudah cukup untuk menutupi tunggakan utang yang di masa
yang lalu. Sekitar 85 persen dari pemerintah daerah yang memiliki tunggakan utang dapat melunasi hutang mereka
dengan mengambil dana cadangan mereka. Namun demikian, mereka masih enggan untuk melakukan hal ini.
Peningkatan jumlah para peminjam selanjutnya memerlukan bahwa pemerintah daerah dan PDAM yang masih
memiliki tunggakan pembayaran segera melunasi utang itu, dengan menggunakan dana cadangan atau melalui
restrukturisasi utang.
Kerangka aturan yang baru mengenai on-lending sepertinya tidak akan banyak memperbaiki keadaan.
Alternatif pasar terhadap pemerintah atau pinjaman dari donor mungkin merupakan pilihan yang lebih baik.
Kemampuan pemerintah daerah untuk mengeluarkan obligasi masih perlu ditingkatkan. Akan tetapi, ada hambatan
cukup besar bagi pemerintah daerah yang hendak meminjam dari pasar swasta , terutama sedikitnya pemerintah
daerah yang memiliki kepercayaan kredit yang cukup tinggi.
97 Berdasarkan data Depkeu 2004.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
141
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan
Kesenjangan fskal secara signifkan di seluruh daerah telah terjadi sebelum dan setelah pelaksanaan sistem
desentralisasi. Pada 1999, kabupaten/kota paling kaya memiliki pendapatan fskal per kapita sebesar 30 kali daripada
daerah paling miskin. Angka ini masih tetap sama pada 2004, empat tahun setelah pelaksanaan sistem desentralisasi.
Akan tetapi, disparitas fskal lebih rendah di tingkat provinsi daripada kabupaten/kota. Sebelum pelaksanaan sistem
desentralisasi, provinsi paling kaya memiliki tingkat pendapatan 13 kali lebih besar daripada provinsi paling miskin.
Data ini semakin memburuk pada 2004, ketika tingkat koefsiennya mencapai 15. Koefsien Gini dan koefsien variasi
juga menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan fskal bahkan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi (Tabel
7.9).
Tabel 7.9 Kesenjangan fskal sebelum dan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi
1999 2002 2004
Provinsi: CoV Gini CoV Gini CoV Gini
PC OSR 1.55 0.48 1.42 0.45 1.24 0.42
PC (OSR+SDA) 1.24 0.51 1.41 0.53 1.13 0.45
Setelah transfer
PC (OSR+SDA+PAJAK) 1.35 0.52 1.53 0.55 1.39 0.52
PC (OSR+SDA+PAJAK+DAU+DAK) 0.83 0.38 1.07 0.44 0.97 0.39
PC Total Pendapatan 0.83 0.38 1.05 0.43 1.05 0.44
PC (Total Pendapatan-SDA) 0.82 0.35 1.09 0.41 1.04 0.42
PC (Total Pendapatan-PAJAK) 0.75 0.36 0.97 0.42 0.85 0.38
Kabupaten/Kota:
PC OSR 3.20 0.55 1.40 0.49 1.36 0.47
PC (OSR+SDA) 2.60 0.55 2.53 0.73 2.50 0.66
Setelah transfer
PC (OSR+SDA+PAJAK) 1.56 0.47 2.08 0.65 1.78 0.57
PC (OSR+SDA+PAJAK+DAU+DAK) 0.79 0.31 0.95 0.39 0.83 0.37
PC Total Pendapatan 0.78 0.31 0.95 0.39 0.83 0.36
PC (Total Pendapatan-SDA) 0.78 0.30 0.66 0.32 0.65 0.32
PC (Total Pendapatan-PAJAK) 0.77 0.31 0.96 0.40 0.84 0.35
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD-DepKeu dan BPS,
Catatan: OSR=Own-source pendapatan, SDA=Natural Resource Shared Pendapatan, PAJAK=Shared Pajak Pendapatan
Kesenjangan dalam perimbangan sistem fskal sangat dipengaruhi oleh alokasi pendapatan dari sumber
daya alam. Walaupun pendapatan dari sumber daya alam hanya berkontribusi sebesar 7 persen dari total pendapatan
daerah, alokasi pendapatan dari sumber ini sangat tidak seimbang.
98
Kurang dari 10 persen pemerintah daerah di
Indonesia memiliki sumber pendapatan yang signifkan dari sektor migas, dan mereka menguasai 90 persen sektor ini.
Seperti halnya di negara lain, PAD juga didistribusikan secara sangat tidak merata. Kabupaten/kota yang lebih kaya,
terutama kota-kota besar, memiliki proporsi pendapatan yang jauh lebih besar.
DAU berusaha menyeimbangkan distribusi PAD dan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam,
tetapi efek ini tentu bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Akan tetapi, dua faktor yang bisa mengurangi peran ini:
kebijakan hold harmless dan keterbatasan manfaat formula kesenjangan fskal. DAU meningkat secara signifkan
98 Koefsien Gini meningkat secara substansial ketika memasukkan pendapatan dari sektor SDA ke dalam simulasi kesenjangan. Dampaknya
terutama sangat kuat untuk kabupaten/kota. Perubahan dalam Gini koefsien justru semakin mengecil seiring dengan bertambahnya pendapatan.
Misalnya SDA yang berjumlah sekitar 7 persen dari total pendapatan kabupaten/kota ditambahkan ke pendapatan asli daerah (8 persen dari
anggaran total kabupaten/kota). Maka efeknya jauh lebih besar daripada jika ditambahkan ke sumber pendapatan yang lain (lihat Tabel 4).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
142
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
pada 2006 dan menjadi lebih signifkan dalam rangka melakukan pengimbangan fskal. Asumsi yang realistis tentang
peningkatan harga minyak internasional dalam anggaran pemerintah pusat telah menyebabkan peningkatan angka
nominal sebesar 64 persen total dana DAU yang tersedia di tingkat pusat,
99
tetapi 57 persen dari peningkatan ini telah
diserap oleh pembayaran gaji secara penuh pemerintah kabupaten/kota, yang menyisakan hanya 43 persen untuk
didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fskal (lihat Diagram 7.3).
Distribusi peningkatan anggaran pada 2006 sangat beragam di setiap daerah. Lebih dari setengah provinsi
dan kabupaten/kota telah menerima lebih dari 60 persen dan 40 kabupaten/kota mengalami peningkatan anggaran
sebesar lebih dari 160 persen. Sebagian besar kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur (kecuali NTB, NTT, dan
beberapa daerah di Sulawesi) dan Kalimantan memperoleh manfaat sangat besar dari peningkatan DAU ini. Di Papua
lebih dari setengah pemerintah daerah menerima peningkatan sebesar 100 persen atau bahkan lebih. Terdapat
perbedaan yang sangat jauh di Sumatera dan Aceh, dimana kabupaten yang merupakan produsen minyak tidak
mengalami kenaikan DAU sedangkan beberapa pemerintah daerah menikmati peningkatan DAU sampai lebih dari
160 persen. Kabupaten/kota di Java, Bali, NTB dan, NTT sebagian besar mengalami peningkatan di bawah rata-rata,
tetapi masih cukup signifkan yaitu sekitar 50 persen (lihat peta di bawah ini).
Distribusi Daerah terhadap Peningkatan DAU
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan DepKeu.
Kabupaten/kota yang tidak kaya dengan sumber daya alam menerima DAU lebih besar jika DAU itu
didistribusikan murni berdasarkan formula kesenjangan fskal. Kami melakukan simulasi alokasi DAU pada
2006 dengan hanya menggunakan formula kesenjangan fskal, tanpa memperhatikan komponen pembayaran gaji
pegawai, cadangan pengaman, dan memungkinkan untuk melakukan alokasi nol di kabupaten/kota yang memiliki
tingkat kesenjangan fskal negatif. Diagram 7.6 memberikan rangkuman mengenai pendapatan fskal per kapita
pemerintah daerah berdasarkan provinsi. Diagram yang di atas menggunakan alokasi dana DAU riil pada 2006 dan
diagram di bawah menggunakan formula kesenjangan fskal murni untuk alokasi DAU 2006 pada simulasi tersebut.
Akibatnya, beberapa kabupaten/kota yang kaya minyak seperti Aceh Utara, Bengkalis di Riau dan Kutai di Kalimantan
Timur menerima alokasi nol. Total pendapatan fskal mereka mengalami penurunan.
100
Kami dapat melihat terjadi
pergeseran ke kiri untuk Riau dan Kalimantan Timur. Namun demikian, kami masih belum bisa melihat gerakan fskal
secara signifkan di wilayah-wilayah terbelakang seperti NTT dan NTB.
99 Lihat Bab 6 mengenai dampak asumsi harga minyak terhadap anggaran.
100 Ada 12 kabupaten/kota yang menerima alokasi nol dalam simulasi itu. Empat kabupaten/kota di Riau, empat di KalimantanTimur, masing-
masing berada di, Sumatera Selatan, dan Bali.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
143
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Diagram 7.6 Penerimaan fskal pemerintah daerah menggunakan alokasi DAU yang berbeda
Alokasi Riil DAU 2006

0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
B
a
n
t
e
n
J
a
w
a
B

a
r
a
t
J
a
w
a
T

m
i
u
r
J
a
w
a
T

e
n
g
a
h
L
a
m
p
u
n
g
D
Y

I

o
g
y
a
k
a
r
t
a
S
u
m
a
t
r
a
U

t
a
r
a
N
u
s
a
T

e
n
g
g
a
r
a
B

a
r
a
t
S
u
m
a
t
e
r
a
S

e
a
l
t
a
n
B
a
i
l
S
u
a
l
w
e
s
S

i
e
a
l
t
a
n
N
u
s
a
T

e
n
g
g
a
r
a
T

m
i
u
r
K
a
m
i
l
a
n
t
a
n
B

a
r
a
t
K
a
m
i
l
a
n
t
a
n
S

e
a
l
t
a
n
S
u
m
a
t
r
a
B

a
r
a
t
J
a
m
b
i
S
u
a
l
w
e
s
U

i
t
a
r
a
G
o
r
o
n
t
a
o
l
B
e
n
g
k
u
u
l
K
e
p
u
a
l
u
a
n
R

a
i
u
S
u
a
l
w
e
s
T

i
e
n
g
a
h
S
u
a
l
w
e
s
T

i
e
n
g
g
a
r
a
K
e
p
u
a
l
u
a
n
B

a
n
g
k
a
B

e
t
i
l
u
n
g
R
a
i
u
N
a
n
g
g
r
o
e
A

c
e
h
D

a
r
u
s
s
a
a
l
m
M
a
u
l
k
u
M
a
u
l
k
u
U

t
a
r
a
K
a
m
i
l
a
n
t
a
n
T

e
n
g
a
h
K
a
m
i
l
a
n
t
a
n
T

m
i
u
r
P
a
p
u
a
r
I
a
i
n
J

a
y
a
B

a
r
a
t
- 0. 5
0
0. 5
1
1. 5
2
2. 5
P
a
p
u
a
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
T
e
n
g
a
h
M
a
l
u
k
u
U
t
a
r
a
K
e
p
u
l
a
u
a
n
B
a
n
g
k
a
B
e
l
i
t
u
n
g
M
a
l
u
k
u
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
B
a
r
a
t
S
u
l
a
w
e
s
i
T
e
n
g
a
h
G
o
r
o
n
t
a
l
o
B
e
n
g
k
u
l
u
S
u
l
a
w
e
s
i
T
e
n
g
g
a
r
a
N
a
n
g
g
r
o
e
A
c
e
h
D
a
r
u
s
s
a
l
a
m
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
S
e
l
a
t
a
n
N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
T
i
m
u
r
S
u
m
a
t
e
r
a
B
a
r
a
t
J
a
m
b
i
S
u
l
a
w
e
s
i
U
t
a
r
a
K
e
p
u
l
a
u
a
n
R
i
a
u
S
u
l
a
w
e
s
i
S
e
l
a
t
a
n
S
u
m
a
t
e
r
a
U
t
a
r
a
B
a
n
t
e
n
S
u
m
a
t
e
r
a
S
e
l
a
t
a
n
L
a
m
p
u
n
g
N
u
s
a
T
e
n
g
g
a
r
a
B
a
r
a
t
J
a
w
a
T
i
m
u
r
J
a
w
a
B
a
r
a
t
J
a
w
a
T
e
n
g
a
h
B
a
l
i
D

I
Y
o
g
y
a
k
a
r
t
a
K
a
l
i
m
a
n
t
a
n
T
i
m
u
r
R
i
a
u
R
p

r
i
b
u
Pendapatan Asli Daerah per Capita Pendapatan SDA per Capita
Pendapatan Pajak per Capita DAU 2006 per Capita
Perbedaan antara Formula Fiscal-gap Murni DAU 2006 dengan Alokasi Riil DAU 2006 (per capita)
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dasar DAU 2006 dari DepKeu.
Jika dana DAU seluruhnya dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fskal, kabupaten/yang miskin
akan menerima sumber daya yang lebih besar. Alokasi DAU berkorelasi positif dengan perhitungan angka
kemiskinan kabupaten/kota, karena formula DAU mengandung variabel seperti PDRB dan (kebalikan dari) IPM yang
sangat berkorelasi dengan kemiskinan (Diagram 7.7).
101
Koefsien korelasi formula kesenjangan fskal yang murni
untuk alokasi DAU 2006 dengan angka kemiskinan adalah 0,29 dan angka ini signifkan pada tingkat 5 persen. Jika kita
berasumsi bahwa kemiskinan mencerminkan tingkat kemajuan pembangunan, maka formula yang murni itu akan
memberikan dampak lebih menyetarakan melalui distribusi pendapatan fskal yang lebih seimbang.
102
101 Penggantian indikator kemiskinan dengan (inverse of ) HDI dan PDRB per kapita tidak banyak mempengaruhi penyetaraan.
102 Hofman, dkk., (2006) memperkirakan hilangnya potensi efsiensi dari misalokasi dana DAU yang sekarang ditunjukkan secara horizontal pada
alternatif murni sebesar AS$3.9 milyar, dengan asumsi bahwa formula kesenjangan fskaln yang ada sekarang cukup untuk mengatasi kebutuhan
pengeluaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
144
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Diagram 7.7 Menggunakan formula kesenjangan fskal, DAU dapat lebih bermanfaat bagi rakyat miskin
0
1
2
3
4
5
6
0 20 40 60

0
1
2
3
4
5
6
0 20 40 60

0
1
2
3
4
5
6
0 20 40 60

Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004
95% CI Fitted values
DAU per capita 2005 (Alokasi)
95%CI Fitted values

95%CI Fitted values
(Simulasi Fiscal Gap murni)
Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004
DAU per capita 2006 (Alokasi)
DAU per capita 2006
Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dasar DAU 2006 dari DepKeu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
145
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.10 Hubungan antara kemiskinan,
pendapatan daerah, dan pendapatan fskal
Perhitungan
Angka
Kemiskinan
PDB PK Total
Pendapatan
PK
PDB -0.16**
Total Pendapatan
PC
0.10 0.25*
PAD PC -0.21** 0.15** 0.37**
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan 2004 data SIKD-
DepKeu dan data dasar DAU dari DepKeu dan BPS.
Catatan: * dan ** menunjukkan korelasi statistik signifkan pada tingkat
0,05 dan 0,01.
Kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki sumber
daya fskal per kapita termasuk PAD yang lebih besar
juga. Perhitungan angka kemiskinan mereka juga lebih
rendah, walaupun korelasinya sangat tidak kuat (Tabel
7.10). Kabupaten/kota yang memiliki angka kemiskinan
lebih tinggi memiliki sumber PAD yang lebih kecil, tetapi
cenderung memiliki sumber daya yang lebih banyak. Ini
menunjukkan bahwa alokasi DAU memiliki dampak
penyeimbang.
Akan tetapi, hubungan antara kemiskinan,
pendapatan daerah, dan tingkat pendapatan fskal
jauh lebih lemah dari yang diperkirakan. Karakteristik
pemerintah daerah sangat heterogen. DKI Jakarta, satu-
satunya daerah yang tidak kaya dengan sumber daya alam, memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah dengan
tingkat pendapatan fskal yang tidak terlalu besar. Kalimantan Timur yang relatif memiliki pendapatan fskal yang
tinggi, tetapi tingkat kemiskinan mereka hanya sedikit lebih baik daripada tingkat rata-rata nasional. Papua yang
merupakan provinsi paling miskin (berdasarkan perhitungan tingkat kemiskinan), merupakan daerah dengan tingkat
pendapatan fskal paling kaya. Semua pengecualian (outliers) ini memiliki PDRB per kapita yang relatif tinggi dengan
karakteristik pendapatan fskal dan kemiskinan yang berbeda.
Hampir setengah kabupaten/kota di Indonesia berada pada titik ekstrim. Kabupaten/kota dapat dipisahkan
menjadi 8 kelompok menurut tingkat kemiskinan, pendapatan fskal, dan PDB per kapita mereka (Tabel 7.11):
Seperempat dari jumlah kabupaten/kota dapat dikelompokkan sebagai kategori miskin karena mereka
memiliki tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dan PDRB yang rendah. Akan tetapi, mereka memiliki sumber
daya yang terbatas untuk melawan kemiskinan itu. Rata-rata, pemerintah pusat menyalurkan dana sebesar
87 persen pendapatan fskal mereka, sebagian besar disalurkan dalam bentuk DAU. Pembagian pendapatan
dari sektor pajak dan sumber daya alam merupakan yang paling rendah di seluruh kelompok; sumber PAD
juga rendah. Daerah yang masuk ke dalam kategori ini adalah seluruh kabupaten, tidak termasuk pemerintah
kota.
Kabupaten/kota yang kaya memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah; tingkat PDRB dan pendapatan
fskal yang tinggi, yang jumlahnya lebih dari seperlima dari seluruh kabupaten/kota. Secara rata-rata, besarnya
penyaluran dana dari pemerintah pusat adalah 81 persen dari total pendapatan mereka dengan pembagian
pendapatan bagi hasil mencapai 22 persen dari jumlah ini. Daerah-daerah yang berada dalam kelompok ini
didominasi oleh kotamadya atau kota.
Separuh lainnya dari kabupaten/kota merupakan kombinasi dari indikator ini. Rata-rata ketiga terbesar adalah
kelompok daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah, PDRB yang tinggi, tetapi pendapatan fskalnya
rendah. Secara rata-rata daerah ini menerima PAD yang relatif lebih tinggi, dan memiliki pendapatan pajak
bagi hasil lebih tinggi daripada daerah dalam kelompok lain. Kelompok yang memiliki alokasi DAU tertinggi
kedua adalah daerah yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi, PDRB yang rendah, dan pendapatan fskal
yang tinggi. Kelompok ini didominasi oleh kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur.
Strategi pembangunan yang efektif perlu mempertimbangkan keragaman wilayah. Daerah yang memiliki
tingkat PDRB yang rendah memperoleh manfaat relatif lebih tinggi dari alokasi dana DAU terlepas dari kemiskinan
dan pendapatan fskal mereka. Di sisi lain, daerah yang mempunyai PDRB yang tinggi dan pendapatan fskal yang juga
tinggi menerima pendapatan bagi hasil yang relatif lebih tinggidari pemerintah pusat dan DAU pemerintah pusat
yang relatif lebih rendah (Tabel 7.11). Analisis pengelompokan kabupaten/kota seperti ini menunjukkan keragaman
situasi yang akan diketahui sendiri oleh kabupaten/kota terutama mengenai hal-hal seperti angka kemiskinan, kondisi
ekonomi, dan kapasitas fskal mereka. Keragaman ini sudah seharusnya diperhitungkan dalam penyusunan strategi
pembangunan daerah.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
146
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.11 Pengelompokan kabupaten/kota
Kemiskinan PDRB
Penerimaan
Fiskal
Jumlah
Kabupaten/
kota
Jlh.
Kota
PAD
(%)
Pen.
Pajak
(%)
Pend. dari
SDA
(%)
DAU
(%)
DAK
(%)
Lain-lain
(%)
Rendah
Rendah
Rendah (23) 20 3 7 8 1 72 3 10
Tinggi (37) 16 11 8 9 3 69 5 6
Tinggi
Rendah (44) 23 21 13 14 2 60 2 9
Tinggi (71) 31 40 8 12 10 59 4 6
Tinggi
Rendah
Rendah (83) 83 0 6 7 1 75 4 7
Tinggi (32) 31 1 4 7 2 74 6 6
Tinggi
Rendah (25) 15 0 6 10 4 69 2 9
Tinggi (35) 31 4 4 15 14 55 4 8
Nasional (330) 250 80 7 10 5 66 4 7
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data realisasi SIKD 2004 dari DepKeu dan data BPS 2004, Total observasi adalah 330 sama den-
gan jumlah kabupaten/kota yang melengkapi data mereka.
Catatan: Angka di dalam kurung merupakan jumlah kabupaten/kota pada setiap kelompok.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
147
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Rekomendasi Kebijakan
Mekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan pembayaran gaji pemerintah
daerah secara penuh. Penyaluran dana yang penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk
mengurangi kelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga kerja, modal, bahan baku,
dan outsourcing) untuk pemberian layanan masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji
secara penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efsiensi pada pengeluaran pemerintah daerah.
Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fskal pusat-daerah, sebagian besar dari dana DAU
harus dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi
dana DAU akan berkontribusi pada tujuan ini.
Pemerintah seharusnya mengurangi fuktuasi jumlah dana DAU untuk menghindari dampak fuktuasi ini
terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar jangka pendek akan membutuhkan penyesuaian besar-besaran dalam
penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah
untuk dirumuskan dan dilaksanakan di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah
cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya pemanfaatan asumsi harga minyak
jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU
setiap tahun.
Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar, seharusnya berfokus
pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang efsien dan bukan pada mobilisasi sumber
daya tambahan. Satu elemen kunci untuk menjamin efsiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah
daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang menarik harus disediakan untuk
pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif. Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran
antar-pemerintahan.
Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar
menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah
pengeluaran saat ini untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan penggunaan
sumber daya yang tidak efsien. Ada ruang yang begitu besar untuk melakukan perbaikan dalam pemanfaatan
sumber-sumber daya publik. Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan administrasi
seharusnya merupakan target pemerintah daerah.
Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah perlu ditingkatkan. Proses
persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian
perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efsien dan dapat mencegah terjadinya
surplus anggaran yang terlalu besar.
Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan. Hal ini memerlukan
desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan
daerah lain (ini merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga termasuk peningkatan
pengumpulan pajak itu sendiri, yang rata-rata menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpulangka yang
terlalu tinggi dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah lainnya seharusnya
diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap iklim investasi.
Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan kapasitas
melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus
diperkuat. Kapasitas dan daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan menyelesaikan
dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda dapat mengatasi permasalahannya. Departemen Keuangan
dapat mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana cadangan yang rasional. Jika jumlah
dana cadangan yang semakin tinggi sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung,
maka setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi dalam infrastruktur publik dan
membayar hutang yang masih tertunggak.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
148
RUJUKAN
Daftar Rujukan
Arze del Granado, F. Javier. 2005. Fiscal Equalization Impact of Changes to the DAU Allocation Mechanism. Policy note.
World Bank, Jakarta Ofce.
Barnes, Nicole, Lisbon Sirait and Anwar Syadat. 2005. Study on Regional Taxes and Charges.Research Triangle Institute.
Jakarta, Indonesia.
BPK. 2006. BPK Profle 2006. Jakarta, Indonesia
BPS, Bappenas, and UNDP. 2004. Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2004. Jakarta, BPS.
Fengler, Wolfgang, Ihsan, Ahya, Kaiser, Kai. Forthcoming, Managing Reconstruction Finance; International Experiences
with Public Financial Management and Accountability.
Ferrazzi, Gabriele. 2005. Obligatory Functions and Minimum Service Standards for Indonesian Regional Government:
Searching for a Model. Public Administration and Development. 25 (2): 227238.
Federman, M. and D. Levine, Industrialization and Infant Mortality. Center for International and Development
Economics Research, University of California, Berkeley, Working Paper No. C05-140.
Filmer, Deon and L. Pritchett. 1999. The Efect of Household Wealth on Educational Attainment: Evidence from 35
Countries. Population and Development Review 25(1): 85-120.
Filmer, Deon. 2004. Teacher Pay in Indonesia Unpublished paper, World Bank, September.
Filmer, Deon and David Landauer. 2000. Does Indonesia have a Low Pay Civil Service? Unpublished paper, World
Bank.
Frankenberg, E., Thomas D. and W. Suriastini. 2004, Can Expanding Access to Basic Health Care Improve Childrens
Health Status? Lessons from Indonesias Midwife in the Village Program. California Center for Population Research.
Ghozali, Abbas. 2005. Analisis Biaya Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Ministry of National Education, Jakarta.
Ghozali, Abbas. 2005. Educational Cost and Finance in Indonesia. Jakarta.
Gottret, Gai and Bokhari 2006. Improving Health Outcomes In Health Financing Revisited: A Practitioners Guide. Washington,
D.C.: World Bank
Government of Indonesia. 2006. RPK 2006 Annual Plan 2006. Jakarta.
Government of Indonesia. 2004. RPJM Medium-Term Strategic Plan 2004-2009. Jakarta.
Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu. 2002. Catastrophic Health Payments and Service Utilization in Indonesia 1999-2001.
Jakarta: WHO.
Hofman, Bert, Kai Kaiser, Kadjatmiko and Bambang Suharnoko Sjahrir. 2006. Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia.
The World Bank Policy Research Working Paper. Washington DC: World Bank.
International Monetary Fund. 2006 Indonesia: Report on Observance of Standards and Codes-Fiscal Transparency
Module. IMF, Washington DC.
KPPOD. 2005. Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2004. Asia Foundation and USAID, Jakarta,
Indonesia.
KPPOD. 2006. Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2005. Asia Foundation and USAID, Jakarta,
Indonesia.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
149
RUJUKAN
Kaiser, Kai and Suharnoko, Bambang. 2005. Design and Political Trade Ofs in Financing Indonesias Regions: The Case
of Indonesias General Allocation Grant (DAU). November 15, 2005.
KPPOD. 2004. Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2004. Asia Foundation and USAID. Jakarta,
Indonesia.
Kehew, Robert, Tomoko Matsukawa and John Petersen. 2005. Local Financing for Sub-Sovereign Infrastructure in
Developing Countries: Case Studies of Innovative Domestic Credit Enhancement Entities and Techniques. Washington
DC: World Bank.
Kuncoro, Ari. 2004. Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-Level Data. Bulletin of Indonesian Economic Studies
40(3): pp. 329-354.
Lewis, Blane. 2003a. Property Taxation in Indonesia: Measuring and Explaining Administrative (Under)-Performance.
Public Administration and Development 23(3): pp. 227-239.
Lewis, Blane. 2003b. Local Government Borrowing and Repayment in Indonesia: Does Fiscal Capacity Matter? World
Development, vol. 31, no. 6.
Lewis, Blane. 2005a. Indonesian Local Government Spending, Taxing and Saving: An Explanation of Pre- and Post-
Decentralization Fiscal Outcomes. Asian Economic Journal 19(3): pp. 291-317.
Lewis, Blane. 2005b. Indonesian Sub-National Debt Market Update: Overview, Structure and Regulatory Environment.
Jakarta: World Bank. Technical note, October.
Lewis, Blane and Jasmin Chakeri. 2004. Central Development Spending in the Regions Post-Decentralization. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, vol. 40, no. 3.
LPEM-FEUI. 2005a. The Impediments to Doing Business in Indonesia. Jakarta, Indonesia.
LPEM-FEUI. 2005b. Monitoring the Investment Climate in Indonesia. Jakarta, Indonesia.
Luebke, Christian von. 2005. Political Economy of Local Business Regulations: Findings on Local Taxation and Licensing
Practices from Four District Cases in Central Java and West Sumatra. Canberra, Australian National University.
McMahon, Walter W. and Boediono. 1992. Universal Basic Education: an Overall Strategy of Investment Priorities for
Economic Growth. Economics of Education Review, Vol 11, No.2, pp 137-151.
McMahon, Walter. 2001. Improving Education Finance in Indonesia. Policy Research Center, Institute for Research and
Development, Ministry of National Education, Unicef and Unesco.
McMahon, Walter. 2003. Financing and Achieving Education for All Goals. Ministry of National Education, Bappenas,
World Bank. Working paper.
Mikesell, John. 1982. Fiscal Administration: Analysis and Applications for the Public Sector. Dorsey Press, Homewood,
Illinois.
Ministry of Finance. 2005. Warta Anggaran: Media Informasi dan Komunikasi Pemerintah Pusat dan Daerah 2
nd
Edition.
Jakarta: Ministry of Finance.
Wolkof, Michael. 1987. An Evaluation of Municipal Rainy Day Funds. Public Budgeting & Finance, Summer: 52-63.
Ministry of Health. 2004. Indonesia Health Profle 2003. Jakarta.
Ministry of Health. 2005. Indonesia Health Profle 2004. Jakarta.
Ministry of Health. 2005. Implementation Manual Health Services Program at Puskesmas and Inpatients Treatment at
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
150
RUJUKAN
Third Class of Hospitals with Government Guarantee. Jakarta.
Ministry of National Education. 2005a. Indonesia Educational Statistics in Brief. 2004/2005. Jakarta.
Ministry of National Education. 2005b. 2005, BOS Program Guidelines. Jakarta.
Mullis, Ina V.S., Michael O. Martin, Pierre Foy, IEAs. 2005. TIMSS 2003 International Report on Achievement in the
Mathematics Cognitive Domains. International Association for the Evaluation of Educational Achievement, Boston
College.
Nunberg, Barbara et al. 2000. Priorities for Civil Service Reform in Indonesia, World Bank, EASPR.
OECD. 2000. Financing Education Investments and Returns.
OECD. 2004. Learning for Tomorrows World: First Results from PISA 2003. Program for International Student
Assessment.
OECD. 2006. Methodology for Assessment of National Procurement Systems. http://www.oecd.org/dataoecd/1/36/37390076.
pdf.
Olkan, B. 2006. Corruption and the Costs of Re-distribution: Micro-evidence from Indonesia. Journal of Public Economics
90 (4-5), pp. 853-870. May 2005.
Oosterman, Andre. 2004. Improving Local Tax and Service Charge Administration in Indonesia. Jakarta: World Bank.
Oosterman, Andre and Bambang Samiadji. 2005. An Assessment of Central Government Spending in the Regions
Jakarta: World Bank.
Paqueo, Vincente and Robert Sparrow. 2005. Free Basic Education in Indonesia: Policy Scenarios and Implications for
School Enrollment. Working Paper.
Parker, E. and A. Roestam. 2002. The Bidan di Desa Program: A Literature and Policy Review. JHPIEGO Corporation,
CEDPA, JHU/CCP and PATH.
Pradhan, Menno, Fadia Saadah and Robert Sparrow. 2003. Did the Health-card Program Ensure Access to Medical Care
for the Poor during Indonesias Economic Crisis? Jakarta: World Bank.
Research Triangle Institute. 1999. Regional Development Account Institutional Strengthening Project Final Report:
Vol. 1. Findings and Conclusions. Manila: Asian Development Bank.
Smoke, Paul. 2001. Fiscal Decentralization in Developing Countries: A Review of Current Concepts and Practice. United
Nations Research Institute for Social Development, Geneva.
Smoke, Paul. 2003. Expenditure Assignment under Indonesias Emerging Decentralization:
A Review of Progress and Issues for the Future,. in J. Martinez and J. Alm (eds), Reforming Intergovernmental Fiscal
Relations and the Rebuilding of Indonesia Cheltenham, UK and Northampton, MA: Edward Elgar.
Steedman, David and Kenward, Lloyd. 2006. Civil Service Reforms at the Regional Level - Opportunities and Constraints.
World Bank Jakarta Ofce.
Tyer, Charlie B. 1993. Local Government Reserve Funds: Policy Alternatives and Political Strategies. Public Budgeting &
Finance, Summer: 75-84.
Unesco-UIS/OECD. 2005. Education Trends in PerspectiveAnalysis of the World Education Indicators.
Unicef. 2004. Indonesia Report on MDGs, 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Report on MDGs), Jakarta.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
151
RUJUKAN
UNDP. 2005. Human Development Report 2005. New York: UNDP.
UNDP. 2004. Indonesia Human Development Report: The Economics of Democracy: Financing Human Development in
Indonesia. Jakarta.
USAID Democratic Reform Support Program, Stock-taking on Indonesias Recent Decentralization Reforms, August
2006.
Wallace, William, Wolfgang Fengler and Bastian Zaini. 2006. Increasing Sub-National Government Resource: Magnitude
and Implications. World Bank, Jakarta Ofce. Technical note.
Woodward, David. 2005. Status of RDA Loan PortfolioDecember 31, 2004.Jakarta: World Bank.
World Bank. 1994. Indonesias Health Work Force: Issues and Options Report No: 12834-IND Population and Human
Resources Division, Washington DC.
World Bank. 2003a Achievement Indonesia Maternal and Neonatal Health Program. Maternal and Neonatal Health
Technical Review. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2003b. Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report. Jakarta: World
Bank.
World Bank. 2003c. Health Financing in Indonesia. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2003d. Indonesia Education Sector Review. Human Development Network. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2004a. Decentralization, Service Delivery and Governance in Indonesia: Findings from the Governance
and Decentralization (GDS) 1+/2004. Jakarta: World Bank. Indonesia, mimeo.
World Bank. 2004b. Averting and Infrastructure Crisis in Indonesia: A Framework for Policy and Action. Washington DC:
World Bank.
World Bank. 2005a. Connecting East Asia: A New framework for Infrastructure. Asia Development Bank, Manila.
World Bank. 2005b. Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization. Human Development Sector
Reports East Asia and the Pacifc Region. Washington DC: World Bank.
World Bank. 2005c. Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesias Most Remote
Region. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2005d. Briefng Book for President Wolfowitz. Internal document, Jakarta: World Bank.
World Bank. 2006a. Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for Reconstruction and Poverty Reduction. Jakarta: World
Bank and Decentralization Support Facility (DSF).
World Bank. 2006b. Fiscal Policy for Growth and Development: An Interim Note. Background note for the Development
Committee Meeting in April 2006. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2006c. Indonesia: And Assessment of Public Spending in Infrastructure Sectors. Jakarta: World Bank.
Mimeo.
World Bank. 2006d. Infrastructure and the Climate for Rural Investment in Indonesia: A Question of Resource Allocation.
Prepared for the Infrastructure Rural Investment Climate Assessment. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2006e. Investing for Growth and Recovery. CGI Brief Paper. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2006f. Making Services Work for the Poor. Jakarta: World Bank.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
152
RUJUKAN
World Bank. 2006g. Making the New Indonesia Work for the Poor. Jakarta: World Bank.
World Bank 2006h. Potential for Signifcant Equity, Efciency and Quality Improvement: Teacher Employment and
Deployment in Indonesia. World Bank, Jakarta Ofce.
World Bank. 2006i. The Little Data Book 2006. Washington DC: World Bank.
World Bank 2007a. Investing in Indonesias Education: Allocation, Equity and Efciency of Public Expenditures. January 2007.
World Bank, Jakarta Ofce.
Zaini, Bastian. 2004. Dana Alokasi Khusus. Techical note. World Bank, Jakarta Ofce.
Zhuravskaya, E.V. 2000. Incentives to Provide Local Public Goods: Fiscal Federalism, Russian Style. Journal of Public
Economics, Vol. 76
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
154
LAMPIRAN
Daftar Lampiran
Lampiran A. Rekomendasi Kebijakan dan Sumber Data 156
Seksi A.1. Rangkuman Rekomendasi Kebijakan 156
Seksi A.2. Sumber Data, Metodologi dan Defnisi 161
Lampiran B Apa yang disebut dengan Inisiatif untuk Analisis terhadap Pengeluaran Publik? 163
Lampiran C Ruang Gerak Fiskal dan Stabilitas Ekonomi 165
Tabel C.1.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik Nasional 165
Tabel C. 2.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik Nasional 165
Tabel C.3. Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik NAsional 165
Tabel C.4. Komposisi Pengeluaran Ekonomi Berdasarkan Tingkat Pemerintahan 166
Tabel C.5.Komposisi Ekonomi of Pengeluaran Pemerintah Pusat di Indonesia 166
Tabel C.6. Anggaran Pemerintah Pusat 167
Tabel C.7. Realisasi Anggaran Pemerintah Pusat 169
Tabel C.8. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 171
Tabel C.9. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 172
Tabel C.10.Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota sebagai Presentase dari GDP 173
Tabel C.11. Jumlah Pemerintah Daerah yang Dilaporkan dalam Anggaran Mereka 174
Tabel C.12. Anggaran Pemerintah Provinsi 175
Tabel C.13. Anggaran Pemerintah kabupaten/kota 177
Tabel C.14. Pemetaan Sektoral PER untuk Pengeluaran Pembangunan dan Rutin 179
Seksi C.15. Mengelola Rekening of budget dan Pengaturan Anggaran 180
Diagram C.15.1. Transaksi Keuangan antara Pemerintah, Pertamina, dan PLN 180
Lampiran D. Lintas Sektoral 181
Tabel D.1. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor 181
Tabel D.2. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor 181
Tabel D.3. Distribusi Pengeluaran Nasional (Tingkat Pertumbuhan Tahunan) Berdasarkan Sektor 182
Tabel D.4. Distribusi Persentase Perubahan Tahunan Berdasarkan Sektor 182
Tabel D.5. Pembagian Antar-Pemerintah dalam Belanja Nasional-Sektoral 183
Lampiran E Sektor Pendidikan 184
Seksi E.1. Estimasi Pengeluaran Sektor Pendidikan 184
Seksi E.2. Perhitungan Tingkat Pengembalian Sosial terhadap Investasi dalam Pendidikan 185
Tabel E.2.1 Rata-rata Pendapatan Tahunan pada Berbagai Tingkat Umur 185
Tabel E.2.2 Biaya-Biaya Investasi: Biaya Langsung dan Tidak Langsung untuk Pendidikan 185
Tabel E.2.3 Biaya per Unit Pendidikan Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Tingkat Pemerintahan 186
Seksi E.3. Faktor-Faktor Penentu Angka Partisipasi Murni di Indonesia 187
Tabel E.3.1 Faktor-faktor Penenetu Angka Partisipasi 188
Seksi E.4. Estimasi Implikasi Keuangan dari UU Guru yang Baru 189
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
155
LAMPIRAN
Diagram E.4.1. Pendapatan Guru Sekolah Menengah vs. Jam Kerja 190
Seksi E.5. Catatan Metodologis tentang Penghitungan Biaya Satuan Pendidikan 190
Seksi E.6. Estimasi Implikasi Keuangan akibat Kelebihan Guru 191
Tabel E.6.1 Biaya Komparatif Berdasarkan Situasi Masa Sekarang dan Opsi yang Diajukan 192
Seksi E.7. Karakteristik Tenaga Pengajar 192
Tabel E.7.1 Jumlah dan Persentase Guru Honor dan Tetap pada Jenjang Pendidikan Menengah 192
Tabel F.7.2 Jumlah dan Persentase Guru SD Menurut Wilayah Tanggung Jawab 192
Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri 193
Tabel E.8.1. Rata-rata Penghasilan per Bulan dan Jumlah Jam Kerja antara Guru dan Non-Guru Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
193
Tabel E.8.2. Perbedaan Penghasilan: Sampel Tenaga Kerja dengan Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah
atau Lebih Tinggi
194
Tabel E.8.3. Faktor-faktor Penentu Penghasilan per Jam 195
Tabel E.8.4. Perbedaan dalam Pendapatan Bulanan: Setelah Mengontrol Karakteristik Individu 196
Seksi E.9. Penafsiran Ketentuan 20 persen 197
Tabel E.9.1 Alternatif Penafsiran tentang Perhitungan Pengeluaran untuk Rasio Pendidikan 197
Lampiran F Kesehatan 198
Seksi F.1. Program Pemerintah PusatAnggaran 2006 198
Diagram F.2. Pemerataan Alokasi Pengeluaran Publik untuk KesehatanAgregat, Dekonsentrasi Anggaran,
Daerah dan DAK
199
Tabel F.3. Perbedaan Penghasilan per Bulan dan per JamSetelah Mengontrol Karakteristik Individu 200
Lampiran G Desentralisasi 201
Tabel G.1. PDB per kapita Regional dan Angka Kemiskinan setelah Desentralisasi 201
Tabel G.2. Korelasi antara Kemiskinan dan Struktur Ekonomi, 2000-04 201
Seksi G.3. Desentralisasi dan Penyediaan layanan 202
Tabel G.3.1 Apakah Desentralisasi Meningkatkan Penyediaan Layanan? Hasil dari Survei yang Baru
Dilaksanakan Menunjukkan
202
Tabel G.4. Formula DAU, 2001-06 203
Tabel G.5. Skema Bagi Hasil 204
Diagram G.6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Berdasarkan Sektor, 1991-2005 205
Seksi G.7. Biaya Pengumpulan Pajak Daerah 206
Diagram G.7.1 Biaya Administrasi Pengumpulan Pajak Pemerintah Kabupaten/kota terhadap Pendapatan
Pajak (Rasio Biaya-Hasil), 2003
206
Diagram G.8. Dana Cadangan per kapita Pemerintah Daerah berdasarkan Provinsi 207
Tabel G.9. Pengelompokkan Kabupaten/kota berdasarkan Tingkat Kemiskinan, PDRB, dan Pendapatan
Fiskal
208
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
156
LAMPIRAN
L
a
m
p
i
r
a
n

A
.


R
e
k
o
m
e
n
d
a
s
i

K
e
b
i
j
a
k
a
n

d
a
n

S
u
m
b
e
r

D
a
t
a
S
e
k
s
i

A
.
1
.

R
a
n
g
k
u
m
a
n

R
e
k
o
m
e
n
d
a
s
i

K
e
b
i
j
a
k
a
n
B
i
d
a
n
g

R
e
f
o
r
m
a
s
i
T
a
n
t
a
n
g
a
n
S
o
l
u
s
i

s
p
e
s
i
f
k
K
e
r
a
n
g
k
a

w
a
k
t
u
D
a
m
p
a
k
-
d
e
r
a
j
a
t

K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
B
A
B

1
.

R
U
A
N
G

G
E
R
A
K


D
A
N

M
A
N
A
J
E
M
E
N

F
I
S
K
A
L

M
e
m
p
e
r
b
a
i
k
i


m
a
n
a
j
e
m
e
n

h
u
t
a
n
g
.


K
u
r
a
n
g
n
y
a


t
r
a
n
s
p
a
r
a
n
s
i

d
a
n

a
k
u
n
t
a
b
i
l
i
t
a
s


d
a
l
a
m

m
a
n
a
j
e
m
e
n

h
u
t
a
n
g
.


P
i
n
j
a
m
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
i
a
t
u
r

d
e
n
g
a
n

p
e
r
a
t
u
r
a
n

y
a
n
g

b
e
r
b
e
d
a
-
b
e
d
a
.
1
)

P
e
n
y
u
s
u
n
a
n

i
n
s
t
r
u
m
e
n

b
a
r
u

(
a
n
a
l
i
s
i
s


s
k
e
n
a
r
i
o
,

d
a
n

m
o
d
e
l

r
i
s
i
k
o
)
.
2
)

M
e
n
y
i
a
p
k
a
n

l
a
p
o
r
a
n

b
e
r
k
a
l
a

t
e
n
t
a
n
g

h
u
t
a
n
g

y
a
n
g

t
e
r
t
u
n
g
g
a
k

.
3
)

S
a
t
u
k
a
n

U
U

t
e
n
t
a
n
g

s
u
r
a
t

h
u
t
a
n
g

n
e
g
a
r
a

d
e
n
g
a
n

U
U

t
e
n
t
a
n
g

p
i
n
j
a
m
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
.
J
P
D
K
/
J
M


M
e
m
b
a
n
t
u

m
e
l
a
k
u
k
a
n

k
u
a
n
t
i
f
k
a
s
i

r
i
s
i
k
o

p
a
s
a
r

d
a
n

m
e
n
d
u
k
u
n
g

a
n
a
l
i
s
i
s

b
i
a
y
a
/
r
i
s
i
k
o

d
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n


t
r
a
n
s
p
a
r
a
n
s
i
.
M
e
m
a
s
t
i
k
a
n

K
e
m
a
m
p
u
a
n

M
e
m
b
a
y
a
r

H
u
t
a
n
g

Y
a
n
g

B
e
r
k
e
l
a
n
j
u
t
a
n

(
D
e
b
t

S
u
s
t
a
i
n
a
b
i
l
i
t
y
)
.


K
e
w
a
j
i
b
a
n

K
o
n
t
i
n
j
e
n

t
i
d
a
k

t
e
r
m
a
s
u
k

d
i

d
a
l
a
m

k
e
r
a
n
g
k
a

m
a
n
a
j
e
m
e
n
.


R
e
k
e
n
i
n
g

y
a
n
g

b
e
r
b
e
d
a
-
b
e
d
a

y
a
n
g

t
i
d
a
k

t
e
r
i
n
t
e
g
r
a
s
i

d
a
n

t
r
a
n
s
a
k
s
i

d
i

l
u
a
r

a
n
g
g
a
r
a
n

y
a
n
g

t
i
d
a
k

d
i
b
u
k
u
k
a
n
.
4
)

K
e
w
a
j
i
b
a
n

K
o
n
t
i
n
j
e
n


h
a
r
u
s

t
e
r
c
a
n
t
u
m

d
i

k
e
r
a
n
g
k
a

k
e
r
j
a

m
a
n
a
j
e
m
e
n

h
u
t
a
n
g

.
5
)

P
e
m
b
u
a
t
a
n

T
r
e
a
s
u
r
y

S
i
n
g
l
e

A
c
c
o
u
n
t

(
T
S
A
)
.
J
P
D
K
/
J
M


I
n
s
t
a
b
i
l
i
t
a
s

m
a
k
r
o
e
k
o
n
o
m
i

a
k
i
b
a
t

k
e
t
i
d
a
k
m
a
m
p
u
a
n

b
a
y
a
r

h
u
t
a
n
g

a
k
a
n

b
e
r
d
a
m
p
a
k

p
a
d
a

a
n
g
g
a
r
a
n


d
a
n

r
u
a
n
g

f
s
k
a
l
.
R
e
a
l
o
k
a
s
i


s
u
b
s
i
d
i

l
i
s
t
r
i
k

y
a
n
g

t
i
d
a
k


e
f
s
i
e
n

d
a
n

y
a
n
g

b
e
r
p
i
h
a
k

p
a
d
a

o
r
a
n
g

k
a
y
a


(
A
S
$
3

m
i
l
i
a
r

)
.


S
u
b
s
i
d
i

l
i
s
t
r
i
k


y
a
n
g

t
i
d
a
k

e
f
s
i
e
n
,

m
e
n
d
o
r
o
n
g

k
o
n
s
u
m
s
i

b
e
r
l
e
b
i
h
a
n

,

d
a
n

h
a
n
y
a

m
e
n
g
u
n
t
u
n
g
k
a
n

k
o
n
s
u
m
e
n

k
a
y
a
6
)

R
e
a
l
o
k
a
s
i

s
u
b
s
i
d
i

d
a
r
i

u
n
t
u
k

k
o
n
s
u
m
s
i


(
d
i

a
t
a
s

4
5
0
V
A
)

m
e
n
j
a
d
i

u
n
t
u
k

s
a
m
b
u
n
g
a
n
,

u
n
t
u
k

m
e
m
p
e
r
l
u
a
s

j
a
r
i
n
g
a
n

l
i
s
t
r
i
k
.
.
J
P
D
K
/
J
M


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

s
u
p
l
a
i

l
i
s
t
r
i
k

d
e
n
g
a
n

b
i
a
y
a

l
e
b
i
h

m
u
r
a
h
.

M
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

e
f
s
i
e
n
s
i

d
a
n

p
e
m
e
r
a
t
a
a
n
.

P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

r
u
a
n
g

f
s
k
a
l


u
n
t
u
k

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

s
o
s
i
a
l
.
M
e
n
g
u
r
a
n
g
i


s
u
b
s
i
d
i

y
a
n
g

t
i
d
a
k

e
f
s
i
e
n


d
a
n

y
a
n
g

b
e
r
p
i
h
a
k

p
a
d
a

o
r
a
n
g

k
a
y
a




(
A
S
$
5

m
i
l
i
a
r

)
.


H
a
r
g
a

B
B
M

d
a
l
a
m

n
e
g
e
r
i


m
a
s
i
h

d
i

b
a
w
a
h

h
a
r
g
a

i
n
t
e
r
n
a
s
i
o
n
a
l
,

d
a
n

t
i
d
a
k

e
f
s
i
e
n
,

s
e
r
t
a

l
e
b
i
h

b
e
r
p
i
h
a
k

p
a
d
a

o
r
a
n
g

k
a
y
a

.

S
u
b
s
i
d
i

i
t
u

m
a
s
i
h

m
e
r
u
p
a
k
a
n

p
o
s

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
a
l
i
n
g

b
e
s
a
r


d
i

d
a
l
a
m

a
n
g
g
a
r
a
n

.
7
)

M
e
n
g
u
r
a
n
g
i



s
u
b
s
i
d
i

B
B
M



(
U
S
$
5

m
i
l
y
a
r

)

y
a
n
g


t
i
d
a
k

e
f
s
i
e
n


d
a
n

b
e
r
p
i
h
a
k

p
a
d
a

o
r
a
n
g

k
a
y
a
.

W
a
l
a
u
p
u
n


t
e
r
j
a
d
i

k
e
n
a
i
k
a
n

h
a
r
g
a

B
B
M


p
a
d
a

2
0
0
5
,

s
u
b
s
i
d
i

B
B
M


m
a
s
i
h

m
e
r
u
p
a
k
a
n

s
a
l
a
h

s
a
t
u

p
o
s

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
a
l
i
n
g

b
e
s
a
r


d
a
l
a
m

a
n
g
g
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
.

J
P
D
K
/
J
M


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

e
f
s
i
e
n
s
i


d
a
n

p
e
m
e
r
a
t
a
a
n
.

P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

r
u
a
n
g

f
s
k
a
l


u
n
t
u
k

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

s
o
s
i
a
l

.
M
e
n
c
i
p
t
a
k
a
n

k
e
r
a
n
g
k
a

m
a
n
a
j
e
m
e
n

s
u
b
s
i
d
i


d
a
n

p
e
m
b
a
y
a
r
a
n

t
r
a
n
s
f
e
r

y
a
n
g

k
o
m
p
r
e
h
e
n
s
i
f

d
a
n

l
e
b
i
h

c
e
p
a
t


S
u
b
s
i
d
i

t
i
d
a
k

d
i
n
i
l
a
i

s
e
c
a
r
a

k
o
m
p
r
e
h
e
n
s
i
f

a
k
i
b
a
t

k
u
r
a
n
g
n
y
a

k
e
r
a
n
g
k
a

p
e
r
a
t
u
r
a
n
,

d
a
n

h
a
l

i
n
i

m
e
n
g
a
k
i
b
a
t
k
a
n

p
e
n
u
n
d
a
a
n

p
e
n
y
a
l
u
r
a
n

t
r
a
n
s
f
e
r
.


8
)

M
a
n
a
j
e
m
e
n


s
u
b
s
i
d
i

y
a
n
g

k
o
m
p
r
e
h
e
n
s
i
f

m
a
n
a
g
e
m
e
n
t

p
e
r
l
u

d
i
p
a
s
t
i
k
a
n
.

9
)

S
t
a
k
e
h
o
l
d
e
r
s

h
a
r
u
s

s
e
p
a
k
a
t

m
e
n
g
e
n
a
i

m
e
k
a
n
i
s
m
e

p
e
n
y
a
l
u
r
a
n

s
u
b
s
i
d
i

(
P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
n

B
U
M
N
)
.
J
P
D
K


M
e
m
p
e
r
b
a
i
k
i

p
e
n
e
n
t
u
a
n

w
a
k
t
u

p
e
n
y
a
l
u
r
a
n

d
a
n
a

d
a
n

p
e
r
b
a
i
k
a
n

t
r
a
n
s
p
a
r
a
n
s
i
.
B
A
B

2
.

K
E
C
E
N
D
E
R
U
N
G
A
N

L
I
N
T
A
S

S
E
K
T
O
R
A
L
B
a
g
i
a
n

l
e
b
i
h

b
e
s
a
r

d
a
r
i

r
u
a
n
g

f
s
k
a
l

m
a
s
a

d
e
p
a
n


h
a
r
u
s

d
i
a
l
o
k
a
s
i
k
a
n

u
n
t
u
k

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r

d
i

p
u
s
a
t

d
a
n

d
a
e
r
a
h
.


P
e
r
b
a
n
d
i
n
g
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n


p
u
b
l
i
k

l
i
n
t
a
s

s
e
k
t
o
r
a
l

m
e
m
p
e
r
l
i
h
a
t
k
a
n

b
a
h
w
a

a
n
g
g
a
r
a
n

u
n
t
u
k

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r

m
a
s
i
h

s
a
n
g
a
t

k
u
r
a
n
g
.

S
e
k
t
o
r

i
n
i

t
a
m
p
a
k

b
e
l
u
m

p
u
l
i
h

s
e
t
e
l
a
h

t
e
r
j
a
d
i

p
e
n
u
r
u
n
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

s
e
s
u
d
a
h

k
r
i
s
i
s
.
1
0
)

B
a
g
i
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
e
s
a
r

d
a
r
i

r
u
a
n
g

f
s
k
a
l

d
i

m
a
s
a

d
a
t
a
n
g

h
a
r
u
s

d
i
a
l
o
k
a
s
i
k
a
n

u
n
t
u
k

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r
,

b
a
i
k

d
i

t
i
n
g
k
a
t

p
u
s
a
t

m
a
u
p
u
n

d
a
e
r
a
h
.

J
M


P
e
n
d
a
n
a
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
e
s
a
r

u
n
t
u
k

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r
.
P
e
n
g
a
l
i
h
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

d
a
r
i

k
e
b
u
t
u
h
a
n

a
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

m
e
n
j
a
d
i

p
e
n
d
a
n
a
a
n

t
a
m
b
a
h
a
n

p
e
m
b
e
r
i
a
n

l
a
y
a
n
a
n

d
a
s
a
r
.


T
i
n
g
k
a
t

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

u
n
t
u
k

k
e
b
u
t
u
h
a
n



a
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

s
a
n
g
a
t

t
i
n
g
g
i


(
3
0
p
e
r
s
e
n


d
i

d
a
e
r
a
h
)

d
a
n

m
e
n
u
n
j
u
k
k
a
n

a
d
a
n
y
a

p
e
m
b
o
r
o
s
a
n

c
u
k
u
p

s
i
g
n
i
f
k
a
n

t
e
r
h
a
d
a
p

s
u
m
b
e
r

d
a
y
a

u
n
t
u
k

p
u
b
l
i
k
.
1
1
)

K
u
r
a
n
g
i

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n


y
a
n
g

t
i
d
a
k

m
e
m
b
e
r
i

m
a
n
f
a
a
t

l
a
n
g
s
u
n
g

k
e
p
a
d
a

p
u
b
l
i
k
.

M
i
s
a
l
n
y
a
,

p
e
n
g
u
r
a
n
g
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

u
n
t
u
k

k
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n

a
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n

d
a
n

t
e
n
t
u
k
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

t
i
n
g
g
i

u
n
t
u
k

l
a
y
a
n
a
n

p
u
b
l
i
k

s
e
p
e
r
t
i

k
e
s
e
h
a
t
a
n


d
a
n

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n
.
1
2
)

S
e
s
u
a
i
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n


r
u
t
i
n

d
e
n
g
a
n

i
n
v
e
s
t
a
s
i

m
o
d
a
l

d
a
l
a
m


p
e
m
b
e
r
i
a
n

l
a
y
a
n
a
n

p
u
b
l
i
k
.
.

J
M


P
e
r
b
a
i
k
a
n

e
f
s
i
e
n
s
i


u
n
t
u
k

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
u
b
l
i
k

.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
157
LAMPIRAN
B
i
d
a
n
g

R
e
f
o
r
m
a
s
i
T
a
n
t
a
n
g
a
n
S
o
l
u
s
i

s
p
e
s
i
f
k
K
e
r
a
n
g
k
a

w
a
k
t
u
D
a
m
p
a
k
-
d
e
r
a
j
a
t

K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
B
A
B

3
.

S
E
K
T
O
R

P
E
N
D
I
D
I
K
A
N

T
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n


u
n
t
u
k

m
e
m
p
e
r
b
e
s
a
r

a
k
s
e
s

t
e
r
h
a
d
a
p


p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

s
e
k
o
l
a
h

m
e
n
e
n
g
a
h

p
e
r
t
a
m
a
,

s
e
m
e
n
t
a
r
a

f
o
k
u
s

p
a
d
a

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

d
a
s
a
r

h
a
r
u
s

p
a
d
a

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r

d
a
n

m
u
t
u

p
e
n
g
a
j
a
r
a
n
.


T
i
n
g
k
a
t

p
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i

s
i
s
w
a
,

k
h
u
s
u
s
n
y
a


b
a
g
i

k
u
i
n
t
i
l

p
e
n
d
a
p
a
t
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

r
e
n
d
a
h
,

m
a
s
i
h

r
e
n
d
a
h

t
e
r
u
t
a
m
a

d
i

t
i
n
g
k
a
t

S
M
P
,

d
a
n

b
a
n
y
a
k

s
i
s
w
a

t
i
d
a
k

m
e
l
a
n
j
u
t
k
a
n

k
e

S
M
P

s
e
t
e
l
a
h

l
u
l
u
s

S
D
.


P
e
n
d
a
f
t
a
r
a
n

d
i

t
i
n
g
k
a
t

S
D

h
a
m
p
i
r

m
e
n
c
a
p
a
i

1
0
0

p
e
r
s
e
n
,

n
a
m
u
n

m
u
t
u


d
a
n

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r

j
a
u
h

d
a
r
i

m
e
m
u
a
s
k
a
n
.
1
3
)

T
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

u
n
t
u
k

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

s
e
k
o
l
a
h

m
e
n
e
n
g
a
h

p
e
r
t
a
m
a

t
e
r
u
t
a
m
a


u
n
t
u
k

m
e
m
a
s
t
i
k
a
n


p
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

g
e
d
u
n
g

s
e
k
o
l
a
h

y
a
n
g

b
a
r
u

d
a
n

p
e
m
b
u
a
t
a
n

p
r
o
g
r
a
m

y
a
n
g

m
e
n
g
h
i
l
a
n
g
k
a
n

a
n
g
k
a

d
r
o
p

o
u
t

d
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

l
u
l
u
s
a
n

S
D

m
e
l
a
n
j
u
t
k
a
n

k
e

j
e
n
j
a
n
g

i
n
i
.
1
4
)

K
o
m
b
i
n
a
s
i

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

u
n
t
u
k

s
e
k
o
l
a
h

d
a
s
a
r

h
a
r
u
s

d
i
a
r
a
h
k
a
n

k
e
p
a
d
a

m
u
t
u

p
e
n
g
a
j
a
r
a
n

d
a
n

i
n
f
r
a
s
t
r
u
k
t
u
r
S
T

/
M
T


P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

t
e
p
a
t

s
a
s
a
r
a
n
,

p
a
d
a

p
r
o
g
r
a
m

y
a
n
g

m
e
m
i
l
i
k
i

t
i
n
g
k
a
t

p
e
n
g
e
m
b
a
l
i
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
e
s
a
r

d
a
l
a
m

h
a
l

m
u
t
u

d
a
n

e
f
e
k
t
i
v
i
t
a
s
.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

t
i
n
g
k
a
t

p
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i


d
a
n

p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

p
e
n
d
u
d
u
k

y
a
n
g

m
e
n
g
e
n
y
a
m

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n
,

y
a
n
g

b
i
s
a

b
e
r
d
a
m
p
a
k

t
e
r
j
a
d
i
n
y
a

t
i
n
g
k
a
t

p
e
r
t
u
m
b
u
h
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

t
i
n
g
g
i

d
a
n

p
e
n
u
r
u
n
a
n

a
n
g
k
a

k
e
m
i
s
k
i
n
a
n

j
i
k
a

k
e
t
e
r
a
m
p
i
l
a
n

s
e
s
u
a
i

d
e
n
g
a
n

k
e
b
u
t
u
h
a
n

p
a
r
a

p
e
m
b
e
r
i

k
e
r
j
a
P
e
r
t
a
h
a
n
k
a
n

t
a
r
g
e
t

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

2
0

p
e
r
s
e
n

u
n
t
u
k

s
e
k
t
o
r

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

t
e
t
a
p
i

l
a
k
u
k
a
n

p
e
n
y
e
s
u
a
i
a
n

t
e
r
h
a
d
a
p

d
e
f
n
i
s
i

u
n
t
u
k

m
e
l
i
p
u
t
i

g
a
j
i

g
u
r
u


d
a
n

g
a
b
u
n
g
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t

d
a
n

d
a
e
r
a
h
.


U
U

y
a
n
g

a
d
a

s
e
k
a
r
a
n
g

m
e
m
p
e
r
s
y
a
r
a
t
k
a
n

a
g
a
r

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

u
n
t
u
k

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

d
i

t
i
n
g
k
a
t

p
u
s
a
t

d
a
n

d
a
e
r
a
h

h
a
r
u
s

m
e
n
c
a
p
a
i

2
0

p
e
r
s
e
n

d
a
r
i

s
e
l
u
r
u
h

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

d
i

l
u
a
r

g
a
j
i

g
u
r
u
.

H
a
l

i
n
i

s
a
n
g
a
t

t
i
d
a
k

m
u
n
g
k
i
n

b
i
s
a

d
i
c
a
p
a
i

d
a
n

b
e
r
t
e
n
t
a
n
g
a
n

d
e
n
g
a
n

p
r
i
n
s
i
p

d
e
s
e
n
t
r
a
l
i
s
a
s
i

d
a
n

r
e
f
o
r
m
a
s
i

k
e
p
e
g
a
w
a
i
a
n


J
u
g
a
,

d
i
l
u
a
r

g
a
j
i


m
e
m
b
e
r
i
k
a
n

d
i
s
i
n
s
e
n
t
i
f

b
a
g
i

m
a
n
a
j
e
m
e
n

k
e
p
e
g
a
w
a
i
a
n

y
a
n
g

b
a
i
k
.
1
5
)

D
e
f
n
i
s
i

y
a
n
g

l
e
b
i
h

t
e
p
a
t

m
e
n
g
e
n
a
i

k
e
t
e
n
t
u
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

2
0

p
e
r
s
e
n

a
d
a
l
a
h
:

(
i
)

t
e
r
m
a
s
u
k

g
a
j
i

g
u
r
u

;

d
a
n

(
i
i
)

g
a
b
u
n
g
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

d
i

s
e
l
u
r
u
h

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n


(
p
u
s
a
t

d
a
n

r
e
g
i
o
n
a
l

d
a
e
r
a
h
)
.
J
P
D
K


A
l
o
k
a
s
i

y
a
n
g

l
e
b
i
h

r
a
s
i
o
n
a
l

u
n
t
u
k

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

S
e
k
t
o
r

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

.


K
e
s
e
i
m
b
a
n
g
a
n

a
n
t
a
r
-
p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
a
i
k
.
M
e
n
g
u
r
a
n
g
i

k
e
s
e
n
j
a
n
g
a
n

a
k
s
e
s

d
a
n

m
u
t
u

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n
.


A
n
a
k
-
a
n
a
k

d
a
r
i

k
e
l
u
a
r
g
a

m
i
s
k
i
n

d
a
n

m
e
r
e
k
a

y
a
n
g

t
i
n
g
g
a
l

d
i

d
a
e
r
a
h

t
e
r
p
e
n
c
i
l

m
e
m
i
l
i
k
i

a
k
s
e
s

y
a
n
g

l
e
b
i
h

k
e
c
i
l

d
a
n

m
u
t
u

p
e
n
g
a
j
a
r
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

r
e
n
d
a
h

d
i

S
e
k
o
l
a
h

M
e
n
e
n
g
a
h

d
i
b
a
n
d
i
n
g
k
a
n

d
e
n
g
a
n

a
n
a
k
-
a
n
a
k


l
a
i
n
.
1
6
)

A
l
o
k
a
s
i
k
a
n

d
a
n
a

t
a
m
b
a
h
a
n

b
a
g
i

P
r
o
p
i
n
s
i

d
a
n

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

y
a
n
g

t
e
r
t
i
n
g
g
a
l
.

G
u
n
a
k
a
n

D
A
K

u
n
t
u
k

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

j
u
m
l
a
h

s
e
k
o
l
a
h


s
e
h
i
n
g
g
a

k
i
t
a

b
i
s
a

m
e
n
g
a
t
a
s
i

k
e
n
d
a
l
a

d
a
r
i

s
i
s
i

s
u
p
l
a
i
.

1
7
)

M
e
n
g
u
r
a
n
g
i


p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

d
a
r
i

k
a
n
t
o
n
g

o
r
a
n
g

t
u
a

s
e
c
a
r
a

l
a
n
g
s
u
n
g

m
e
l
a
l
u
i

b
a
n
t
u
a
n

t
u
n
a
i

d
a
n
a

d
a
n

m
e
n
u
r
u
n
k
a
n

S
P
P

l
e
w
a
t

p
e
m
b
e
r
i
a
n

B
O
S
.
J
P
D
K
/
J
M


P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

m
e
r
a
t
a

(
p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

p
e
l
u
a
n
g

b
a
g
i

r
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n
)

d
a
n

a
k
h
i
r
n
y
a

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

t
a
r
a
f

h
i
d
u
p

d
a
n

p
e
r
t
u
m
b
u
h
a
n

p
a
d
a

d
a
e
r
a
h

t
e
r
t
i
n
g
g
a
l
.
T
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
m
e
r
a
t
a
a
n

d
i
s
t
r
i
b
u
s
i

g
u
r
u

d
a
n

m
u
t
u

g
u
r
u

d
e
n
g
a
n

m
e
n
y
e
d
i
a
k
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f

k
e
u
a
n
g
a
n

j
i
k
a

b
e
r
t
u
g
a
s

d
i

t
e
m
p
a
t
-
t
e
m
p
a
t

y
a
n
g

k
e
k
u
r
a
n
g
a
n

g
u
r
u
,

i
n
s
e
n
t
i
f

d
a
n

p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n


k
e
t
e
r
a
m
p
i
l
a
n

g
u
r
u
.


A
d
a

k
e
t
i
m
p
a
n
g
a
n

d
i
s
t
r
i
b
u
s
i

g
u
r
u
,

s
e
h
i
n
g
g
a

t
e
r
j
a
d
i

k
e
k
u
r
a
n
g
a
n

g
u
r
u

d
i

d
a
e
r
a
h

t
e
r
p
e
n
c
i
l

d
a
n

k
e
l
e
b
i
h
a
n

g
u
r
u

d
i

w
i
l
a
y
a
h

p
e
r
k
o
t
a
a
n

d
a
n

b
e
b
e
r
a
p
a

w
i
l
a
y
a
h

p
e
d
e
s
a
a
n
.


G
u
r
u

y
a
n
g

m
e
m
i
l
i
k
i

k
u
a
l
i
f
k
a
s
i

y
a
n
g

t
i
n
g
g
i

m
a
s
i
h

m
e
n
e
r
i
m
a

g
a
j
i

t
e
r
l
a
l
u

r
e
n
d
a
h
.


U
U

G
u
r
u

y
a
n
g

b
e
r
a
k
i
b
a
t

a
n
g
g
a
r
a
n

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

p
e
r
l
u

d
i
t
i
n
g
k
a
t
k
a
n

s
e
c
a
r
a

d
r
a
s
t
i
s

h
a
n
y
a

d
e
n
g
a
n

t
a
m
b
a
h
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f
,

s
a
j
a

s
e
h
i
n
g
g
a

m
e
n
d
e
k
a
t
i

j
u
m
l
a
h

a
n
g
g
a
r
a
n

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

n
a
s
i
o
n
a
l

s
a
a
t

i
n
i
.

D
i
s
t
r
i
b
u
s
i
:

1
8
)

U
b
a
h

f
o
r
m
u
l
a

p
e
n
e
r
i
m
a
a
n

d
a
r
i

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

j
u
m
l
a
h

s
i
s
w
a
,

m
e
n
j
a
d
i

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

j
u
m
l
a
h

s
e
k
o
l
a
h
.

1
9
)

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

I
n
d
o
n
e
s
i
a

h
a
r
u
s

m
a
m
p
u

m
e
n
y
a
l
u
r
k
a
n

t
e
n
a
g
a

g
u
r
u

a
n
t
a
r

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

d
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
n
u
g
a
s
a
n

d
i

w
i
l
a
y
a
h

t
e
r
p
e
n
c
i
l

d
e
n
g
a
n

m
e
m
b
e
r
i
k
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f

k
e
u
a
n
g
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
a
i
k
.
2
0
)

M
e
n
g
u
r
a
n
g
i


k
e
l
e
b
i
h
a
n

g
u
r
u

y
a
n
g

t
e
r
j
a
d
i

d
i

p
e
r
k
o
t
a
a
n

d
a
n

g
u
n
a
k
a
n

d
a
n
a

u
n
t
u
k

i
n
p
u
t


u
n
t
u
k

p
e
r
b
a
i
k
a
n

m
u
t
u

(
g
u
r
u

y
a
n
g

m
e
m
e
n
u
h
i

p
e
r
s
y
a
r
a
t
a
n
)
.

G
u
n
a
k
a
n

o
p
s
i

p
a
y
-
o
u
t

o
p
t
i
o
n

u
n
t
u
k

m
e
n
d
o
r
o
n
g

p
e
n
s
i
o
n

d
i
n
i
.


J
u
g
a
,

k
u
r
a
n
g
i

j
u
m
l
a
h

m
a
h
a
s
i
s
w
a

y
a
n
g

d
i
t
e
r
i
m
a

d
i

l
e
m
b
a
g
a

L
P
T
K
.
M
u
t
u
:

2
1
)

L
a
k
s
a
n
a
k
a
n

U
U

G
u
r
u

d
a
n

s
e
c
a
r
a

b
e
r
s
a
m
a
a
n

t
u
r
u
n
k
a
n

a
n
g
k
a

k
e
l
e
b
i
h
a
n

g
u
r
u

u
n
t
u
k

m
e
n
u
r
u
n
k
a
n

d
a
m
p
a
k

k
e
u
a
n
g
a
n

a
k
i
b
a
t

U
U

G
u
r
u

y
a
n
g

b
a
r
u

p
a
d
a

a
n
g
g
a
r
a
n

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n
.
J
P
D
K
/
J
M


P
e
m
e
r
a
t
a
a
n

d
i
s
t
r
i
b
u
s
i

g
u
r
u

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
a
i
k

d
e
n
g
a
n

d
e
m
i
k
i
a
n

p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n


m
u
t
u

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n
.


J
u
m
l
a
h

g
u
r
u

y
a
n
g

l
e
b
i
h

k
e
c
i
l


l
e
b
i
h

b
a
n
y
a
j

d
a
n
a

u
n
t
u
k

i
n
p
u
t


k
u
a
l
i
t
a
s
.


L
e
b
i
h

b
a
n
y
a
k

g
u
r
u

y
a
n
g

m
e
m
e
n
u
h
i

s
y
a
r
a
t
,

m
u
t
u

d
a
n

t
i
n
g
k
a
t

p
e
n
d
i
d
i
k
a
n

a
k
a
n

s
e
m
a
k
i
n

t
i
n
g
g
i
.


M
e
n
g
u
r
a
n
g
i

d
a
m
p
a
k


p
a
d
a


a
n
g
g
a
r
a
n


p
e
n
d
i
d
i
k
a
n
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
158
LAMPIRAN
B
i
d
a
n
g

R
e
f
o
r
m
a
s
i
T
a
n
t
a
n
g
a
n
S
o
l
u
s
i

s
p
e
s
i
f
k
K
e
r
a
n
g
k
a

w
a
k
t
u
D
a
m
p
a
k
-
d
e
r
a
j
a
t

K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
B
A
B

4
.

S
E
K
T
O
R

K
E
S
E
H
A
T
A
N
T
i
n
g
k
a
t
k
a
n

i
n
v
e
s
t
a
s
i

p
u
b
l
i
k

u
n
t
u
k

k
e
s
e
h
a
t
a
n
.


I
n
v
e
s
t
a
s
i

k
e
s
e
h
a
t
a
n

s
a
a
t

i
n
i

d
a
n

k
e
l
u
a
r
a
n

d
a
r
i

s
e
k
t
o
r

i
n
i

m
a
s
i
h

l
e
b
i
h

r
e
n
d
a
h

d
a
r
i

p
a
d
a

t
i
n
g
k
a
t

y
a
n
g

t
e
l
a
h

d
i
c
a
p
a
i

o
l
e
h

n
e
g
a
r
a
-
n
e
g
a
r
a

A
s
i
a

T
i
m
u
r

l
a
i
n
n
y
a
.
2
2
)

S
e
c
a
r
a

p
e
r
l
a
h
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n


s
a
m
p
a
i

s
e
k
i
t
a
r

2

p
e
r
s
e
n

d
a
r
i

P
D
B
.
2
3
)

G
u
n
a
k
a
n

s
u
m
b
e
r

d
a
y
a

y
a
n
g

a
d
a

l
e
b
i
h

s
e
c
a
r
a

e
f
s
i
e
n

d
a
n

m
e
r
a
t
a
.
J
P
J


S
u
m
b
e
r

d
a
y
a

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
a
n
y
a
k

u
n
t
u
k

s
e
k
t
o
r

k
e
s
e
h
a
t
a
n

.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

k
e
l
u
a
r
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n
.
T
i
n
g
k
a
t
k
a
n

a
k
s
e
s

t
e
r
h
a
d
a
p


l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n


b
a
g
i

r
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n

d
e
n
g
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

s
u
p
l
a
i

d
a
n

m
e
n
d
o
r
o
n
g

p
e
r
m
i
n
t
a
a
n
.


A
k
s
e
s

y
a
n
g

s
a
n
g
a
t

r
e
n
d
a
h

p
a
d
a

d
a
e
r
a
h

m
i
s
k
i
n

d
a
n

t
e
r
p
e
n
c
i
l
.


R
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n

m
e
m
i
l
i
k
i

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
a
k
a
i
a
n

l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n

s
e
k
u
n
d
e
r

y
a
n
g

r
e
n
d
a
h
.
2
4
)

S
i
s
i

p
e
r
m
i
n
t
a
a
n
:

l
a
k
u
k
a
n

i
n
v
e
s
t
a
s
i

d
a
l
a
m

k
e
g
i
a
t
a
n

y
a
n
g

d
a
p
a
t

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
n
g
g
u
n
a
a
n

d
a
n

m
u
t
u

l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n


b
a
g
i

r
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n
.

S
i
s
t
e
m

k
u
p
o
n

y
a
n
g

m
e
m
u
n
g
k
i
n
k
a
n

r
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n

m
e
n
d
a
p
a
t
k
a
n

a
k
s
e
s

t
e
r
h
a
d
a
p

l
a
y
a
n
a
n

b
e
r
m
u
t
u

s
e
c
a
r
a

g
r
a
t
i
s
.
2
5
)

S
i
s
i

s
u
p
l
a
i
:

g
u
n
a
k
a
n

D
A
K

u
n
t
u
k

m
e
n
j
a
m
i
n


b
a
h
w
a

d
a
n
a

t
e
r
s
e
b
u
t

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

a
k
s
e
s

k
e
p
a
d
a

r
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n
.


J
M


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

a
k
s
e
s
,

p
e
n
g
g
u
n
a
a
n

l
a
y
a
n
a
n
,

d
a
n

k
u
a
l
i
t
a
s

l
a
y
a
n
a
n

b
a
g
i

r
a
k
y
a
t

m
i
s
k
i
n
.
L
a
k
u
k
a
n

I
d
e
n
t
i
f
k
a
s
i

t
e
r
h
a
d
a
p

k
o
m
p
o
s
i
s
i

i
n
v
e
s
t
a
s
i

y
a
n
g

b
e
n
a
r

u
n
t
u
k

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n


e
f
e
k
t
i
v
i
t
a
s


s
e
k
t
o
r

k
e
s
e
h
a
t
a
n


d
a
l
a
m

m
e
n
g
a
t
a
s
i


b
e
b
a
n

g
a
n
d
a

a
k
i
b
a
t

m
u
n
c
u
l
n
y
a

p
e
n
y
a
k
i
t

b
a
r
u
.


K
i
n
e
r
j
a

y
a
n
g

r
e
n
d
a
h

d
i

s
e
k
t
o
r

k
e
s
e
h
a
t
a
n


t
a
m
p
a
k

d
a
l
a
m

i
n
d
i
k
a
t
o
r

I
M
R

d
a
n

M
M
R

y
a
n
g

r
e
n
d
a
h
.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

m
a
s
a
l
a
h

d
a
l
a
m

p
e
n
y
a
k
i
t

y
a
n
g

t
i
d
a
k

m
e
n
u
l
a
r
.


M
u
n
c
u
l
n
y
a

k
a
s
u
s

H
I
V
/
A
I
D
S

d
a
n

f
u

b
u
r
u
n
g
.
2
6
)

I
n
t
e
n
s
i
f
k
a
s
i

p
r
o
g
r
a
m

u
n
t
u
k

m
e
n
a
n
g
a
n
i

p
e
n
y
a
k
i
t

m
e
n
u
l
a
r
.
2
7
)

P
e
n
g
u
a
t
a
n

s
i
s
t
e
m

s
u
r
v
e
i
l
a
n
s

d
a
n

p
r
o
g
r
a
m

u
n
t
u
k

m
e
n
c
e
g
a
h

m
u
n
c
u
l
n
y
a

p
e
n
y
a
k
i
t

b
a
r
u
M
T

J
M


P
P
e
n
c
e
g
a
h
a
n

t
e
r
h
a
d
a
p

p
e
n
y
a
k
i
t

m
e
n
u
l
a
r

d
a
n

y
a
n
g

t
i
d
a
k

m
e
n
u
l
a
r
.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

k
a
p
a
s
i
t
a
s

u
n
t
u
k

m
e
n
c
e
g
a
h

t
i
m
b
u
l
n
y
a

p
e
n
y
a
k
i
t

b
a
r
u
.
S
e
k
t
o
r

p
u
b
l
i
k

h
a
r
u
s

l
e
b
i
h

a
k
t
i
f

u
n
t
u
k

m
e
n
e
n
t
u
k
a
n

a
t
u
r
a
n
,

p
e
r
i
z
i
n
a
n
,

d
a
n

a
k
r
e
d
i
t
a
s
i

b
a
g
i

p
e
n
y
e
d
i
a

s
e
k
t
o
r

s
w
a
s
t
a
.


K
o
n
t
r
o
l

y
a
n
g

t
e
r
b
a
t
a
s

t
e
r
h
a
d
a
p

p
e
n
y
e
d
i
a

l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n

o
l
e
h

s
e
k
t
o
r

s
w
a
s
t
a
.

2
8
)

P
e
n
e
n
t
u
a
n

a
t
u
r
a
n
,

p
e
r
i
z
i
n
a
n
,

d
a
n

a
k
r
e
d
i
t
a
s
i

s
e
k
t
o
r

s
w
a
s
t
a
,

u
n
t
u
k

m
e
n
j
a
m
i
n


m
u
t
u

d
a
n

k
o
n
t
r
o
l

y
a
n
g

m
e
m
a
d
a
i
.
J
P
D
K
/
J
M


I
P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

m
u
t
u

l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n

s
e
k
t
o
r

s
w
a
s
t
a
.
I
d
e
n
t
i
f
k
a
s
i

k
o
m
b
i
n
a
s
i

y
a
n
g

b
e
n
a
r

m
e
n
g
e
n
a
i

k
e
t
e
n
t
u
a
n

u
n
t
u
k

m
e
n
j
a
m
i
n


p
e
m
e
r
a
t
a
a
n

d
i
s
t
r
i
b
u
s
i

d
a
n

i
n
v
e
s
t
a
s
i

y
a
n
g

l
e
b
i
h

e
f
s
i
e
n

u
n
t
u
k

t
e
n
a
g
a

k
e
s
e
h
a
t
a
n
.


M
e
n
g
u
r
a
n
g
i

k
e
s
e
n
j
a
n
g
a
n

d
a
n

i
n
e
f
s
i
e
n
s
i

y
a
n
g


b
i
s
a

m
e
n
u
r
u
n
k
a
n

m
u
t
u

d
a
n

t
i
n
g
k
a
t

l
a
y
a
n
a
n
.
2
9
)

I
d
e
n
t
i
f
k
a
s
i

t
e
n
a
g
a

k
e
s
e
h
a
t
a
n

y
a
n
g

a
d
a

s
e
k
a
r
a
n
g

d
a
n

a
p
a
k
a
h

s
u
d
a
h

m
e
m
a
d
a
i

u
n
t
u
k

m
e
n
c
a
p
a
i

t
a
r
g
e
t

p
r
i
o
r
i
t
a
s

s
a
a
t

i
n
i
.
.
.
3
0
)

d
e
n
t
i
f
k
a
s
i

c
a
r
a
-
c
a
r
a

u
n
t
u
k

m
e
m
o
t
i
v
a
s
i

p
e
n
y
e
d
i
a

l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n

d
i

d
a
e
r
a
h

t
e
r
p
e
n
c
i
l
.


J
P
D
K
/
J
M


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

m
u
t
u

t
e
n
a
g
a

d
a
n

l
a
y
a
n
a
n

k
e
s
e
h
a
t
a
n
.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

a
k
s
e
s

d
i

p
e
d
e
s
a
a
n

d
a
n

d
a
e
r
a
h

y
a
n
g

k
e
k
u
r
a
n
g
a
n

l
a
y
a
n
a
n
.
B
A
B

5
.

I
N
F
R
A
S
T
R
U
K
T
U
R
P
e
r
l
u
a
s

s
u
p
l
a
i

l
i
s
t
r
i
k

u
n
t
u
k

m
e
m
e
n
u
h
i

p
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

p
e
r
m
i
n
t
a
a
n
.



I
n
v
e
s
t
a
s
i

b
e
s
a
r

d
i
p
e
r
l
u
k
a
n

u
n
t
u
k

m
e
m
e
n
u
h
i

p
e
r
m
i
n
t
a
a
n

l
i
s
t
r
i
k

y
a
n
g

s
e
m
a
k
i
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
.


K
e
p
u
t
u
s
a
n

m
e
n
g
e
n
a
i

k
o
m
p
o
s
i
s
i

b
a
h
a
n

b
a
k
a
r

m
a
s
i
h

m
e
n
g
a
l
a
m
i

d
i
s
t
o
r
s
i

a
k
i
b
a
t

p
e
m
b
e
r
i
a
n

s
u
b
s
i
d
i

B
B
M

y
a
n
g

m
a
s
i
h

b
e
r
j
a
l
a
n

d
a
n

k
e
s
e
n
j
a
n
g
a
n

a
n
t
a
r
a

h
a
r
g
a

B
B
M

u
n
t
u
k

e
k
s
p
o
r

d
a
n

d
o
m
e
s
t
i
k
.

3
1
)

G
u
n
a
k
a
n

p
e
n
d
e
k
a
t
a
n

e
k
s
p
a
n
s
i

b
i
a
y
a

p
a
l
i
n
g

m
u
r
a
h

.

S
u
b
s
i
d
i

h
a
r
u
s

d
i
a
l
o
k
a
s
i
k
a
n

d
a
r
i

k
o
n
s
u
m
s
i


(
y
a
n
g

h
a
n
y
a

m
e
n
g
u
n
t
u
n
g
k
a
n

k
o
n
s
u
m
e
n

d
e
n
g
a
n

k
a
p
a
s
i
t
a
s

d
i

a
t
a
s

4
5
0
V
A
)

m
e
n
u
j
u

s
u
b
s
i
d
i

s
a
m
b
u
n
g
a
n
,

u
n
t
u
k

m
e
m
p
e
r
l
u
a
s

j
a
r
i
n
g
a
n

l
i
s
t
r
i
k
.
J
P
D
K
/
J
M


I
n
c
r
e
a
s
e
d

a
c
c
e
s
s

t
o

e
l
e
c
t
r
i
c
i
t
y

a
n
d

a

m
o
r
e

e
f
c
i
e
n
t

t
a
r
g
e
t
i
n
g

o
f

S
u
b
s
i
d
i

b
e
n
e
f
t
s

t
o
w
a
r
d
s

t
h
e

p
o
o
r
.
P
e
n
y
e
d
i
a
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f

f
s
k
a
l


k
e
p
a
d
a

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
e
r
a
h



u
n
t
u
k

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
m
e
l
i
h
a
r
a
a
n

j
a
l
a
n

r
a
y
a
.


S
e
b
a
g
i
a
n

b
e
s
a
r

j
a
l
a
n

r
a
y
a

t
i
d
a
k

d
i
p
e
l
i
h
a
r
a

d
e
n
g
a
n

m
e
m
a
d
a
i

d
a
n

a
k
s
e
s

t
e
r
h
a
d
a
p


j
a
l
a
n

r
a
y
a

m
a
s
i
h

s
a
n
g
a
t

r
e
n
d
a
h
.



P
e
n
y
a
l
u
r
a
n

d
a
n
a

d
a
r
i

p
u
s
a
t

u
n
t
u
k

j
a
l
a
n

r
a
y
a

t
i
d
a
k

d
i
t
a
r
g
e
t
k
a
n

s
e
c
a
r
a

e
f
s
i
e
n

k
e

L
o
k
a
s
i

y
a
n
g

m
e
m
i
l
i
k
i

a
k
s
e
s

y
a
n
g

r
e
n
d
a
h
.

3
2
)

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t

h
a
r
u
s

m
e
l
a
k
u
k
a
n

p
e
n
d
a
n
a
a
n

b
e
r
s
a
m
a

d
e
n
g
a
n



P
e
m
k
a
b
/
p
e
m
k
o
t


u
n
t
u
k

p
e
m
e
l
i
h
a
r
a
a
n

j
a
l
a
n

d
a
e
r
a
h

s
e
s
u
a
i

d
e
n
g
a
n

w
i
l
a
y
a
h

y
u
r
i
s
d
i
k
s
i

P
e
m
k
a
b
/
p
e
m
k
o
t


y
a
n
g

b
e
r
s
a
n
g
k
u
t
a
n
.

3
3
)


P
e
n
i
l
a
i
a
n

y
a
n
g

c
e
r
m
a
t

h
a
r
u
s

d
i
l
a
k
u
k
a
n

u
n
t
u
k

m
e
n
c
a
p
a
i

t
i
n
g
k
a
t

e
f
s
i
e
n
s
i

t
a
r
g
e
t
i
n
g

d
a
r
i

D
A
K

u
n
t
u
k

m
e
l
a
k
u
k
a
n

p
e
r
u
b
a
h
a
n

m
e
n
g
e
n
a
i

m
e
k
a
n
i
s
m
e

a
l
o
k
a
s
i

D
A
K
.

J
P
D
K


I
n
c
r
e
a
s
e
d

r
o
a
d

a
c
c
e
s
s
.



I
m
p
r
o
v
e
d

r
o
a
d

q
u
a
l
i
t
y

a
n
d

r
e
d
u
c
e
d

t
r
a
n
s
p
o
r
t

c
o
s
t
s
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
159
LAMPIRAN
B
i
d
a
n
g

R
e
f
o
r
m
a
s
i
T
a
n
t
a
n
g
a
n
S
o
l
u
s
i

s
p
e
s
i
f
k
K
e
r
a
n
g
k
a

w
a
k
t
u
D
a
m
p
a
k
-
d
e
r
a
j
a
t

K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
P
e
n
c
a
b
u
t
a
n

s
e
m
u
a

h
a
m
b
a
t
a
n

t
e
r
h
a
d
a
p

p
i
n
j
a
m
a
n

j
a
n
g
k
a

p
a
n
j
a
n
g

b
a
g
i

P
D
A
M
.


P
D
A
M

m
e
n
g
a
l
a
m
i

k
e
s
u
l
i
t
a
n

u
n
t
u
k

m
e
n
d
a
p
a
t
k
a
n

a
k
s
e
s

p
i
n
j
a
m
a
n

j
a
n
g
k
a

p
a
n
j
a
n
g

s
e
m
e
n
t
a
r
a

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

t
e
t
a
p

m
e
m
i
n
t
a

b
a
g
i
a
n

d
i
v
i
d
e
n

w
a
l
a
u
p
u
n

P
D
A
M

s
e
d
a
n
g

m
e
n
g
a
l
a
m
i

k
e
r
u
g
i
a
n
.

3
4
)


e
s
t
r
u
k
t
u
r
i
s
a
s
i

p
i
n
j
a
m
a
n

y
a
n
g

t
e
r
t
u
n
g
g
a
k

d
a
n

s
e
d
i
a
k
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f


u
n
t
u
k

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n


k
e
m
a
m
p
u
a
n

b
a
y
a
r

h
u
t
a
n
g

P
D
A
M

(
m
e
n
a
i
k
k
a
n

t
a
r
i
f

d
a
n

m
e
m
o
t
o
n
g

b
i
a
y
a
)
.
3
5
)


K
e
m
a
m
p
u
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

k
a
p
a
s
i
t
a
s

p
i
n
j
a
m
a
n

d
e
n
g
a
n

m
e
m
i
s
a
h
k
a
n

k
e
u
a
n
g
a
n

P
D
A
M

d
e
n
g
a
n

k
i
n
e
r
j
a

k
e
u
a
n
g
a
n

p
e
m
k
a
b
.
3
6
)


M
e
n
d
o
r
o
n
g

r
e
g
u
l
a
s
i

u
n
t
u
k

m
e
n
c
e
g
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n

u
n
t
u
k

m
e
l
a
k
u
k
a
n

k
l
a
i
m

d
i
v
i
d
e
n

p
a
d
a
h
a
l

l
a
y
a
n
a
n

P
D
A
M

s
e
d
a
n
g

m
e
n
d
e
r
i
t
a

k
e
r
u
g
i
a
n
.


J
P
D
K
J
P
J


I
n
c
r
e
a
s
e
d

a
c
c
e
s
s

t
o

p
i
p
e
d

w
a
t
e
r

t
h
r
o
u
g
h

m
o
r
e

t
r
a
n
s
p
a
r
e
n
t

a
n
d

e
a
s
i
e
r

l
o
n
g

t
e
r
m

b
o
r
r
o
w
i
n
g
.


E
n
h
a
n
c
e
d

c
o
r
p
o
r
a
t
e

i
n
d
e
p
e
n
d
e
n
c
e

o
f

P
D
A
M
s
.
P
e
n
g
e
m
b
a
n
g
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f

f
s
k
a
l

b
a
g
i

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
e
r
a
h

y
a
n
g

m
a
m
p
u

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n


k
i
n
e
r
j
a

P
D
A
M
.


M
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n


k
i
n
e
r
j
a

P
e
m
k
a
b
/
p
e
m
k
o
t


u
n
t
u
k

m
e
l
a
k
u
k
a
n

r
e
f
o
r
m
a
s
i

P
D
A
M

d
a
n

a
k
h
i
r
n
y
a

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

s
a
m
b
u
n
g
a
n

r
u
m
a
h

t
a
n
g
g
a
.

3
7
)

D
a
n
a

p
u
b
l
i
k


h
a
r
u
s

d
i
s
e
d
i
a
k
a
n

k
e
p
a
d
a

P
e
m
k
a
b
/
p
e
m
k
o
t


b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

k
i
n
e
r
j
a
,

i
d
e
a
l
n
y
a

m
e
l
a
l
u
i

D
A
K
,

d
i
h
i
t
u
n
g

s
e
h
u
b
u
n
g
a
n

d
e
n
g
a
n

k
e
b
u
t
u
h
a
n

i
n
v
e
s
t
a
s
i

P
D
A
M

.
3
8
)


B
i
a
r
k
a
n

a
g
a
r

l
a
p
o
r
a
n

p
e
m
b
u
k
u
a
n

y
a
n
g

t
e
l
a
h

d
i
a
u
d
i
t

d
a
n

i
n
d
i
k
a
t
o
r

f
s
i
k

P
D
A
M


b
i
s
a

t
e
r
s
e
d
i
a

u
n
t
u
k

u
m
u
m
J
P
D
K
/
J
M


I
m
p
r
o
v
e
d

p
e
r
f
o
r
m
a
n
c
e
.


I
n
c
r
e
a
s
e
d

c
o
n
n
e
c
t
i
o
n
s
.



B
e
t
t
e
r

i
n
f
o
r
m
a
t
i
o
n

t
h
r
o
u
g
h

a
u
d
i
t
s

a
n
d

i
n
d
i
c
a
t
o
r
s

w
i
l
l

i
m
p
r
o
v
e

t
a
r
g
e
t
i
n
g
.
B
A
B

6
.

P
E
N
G
E
L
O
L
A
A
N

K
E
U
A
N
G
A
N

P
U
B
L
I
K
S
e
c
a
r
a

p
e
r
l
a
h
a
n

b
e
r
g
e
r
a
k

d
a
r
i

a
n
g
g
a
r
a
n

b
e
r
b
a
s
i
s

i
n
p
u
t

m
e
n
u
j
u

a
n
g
g
a
r
a
n

b
e
r
b
a
s
i
s

k
i
n
e
r
j
a

(
P
B
B
)
.


P
r
o
s
e
s

a
n
g
g
a
r
a
n


b
e
r
t
u
m
p
u

p
a
d
a


k
o
n
t
r
o
l

i
n
p
u
t


y
a
n
g

s
a
n
g
a
t

k
e
t
a
t

y
a
n
g

m
e
m
b
a
t
a
s
i

f
e
k
s
i
b
i
l
i
t
a
s

y
a
n
g

d
i
p
e
r
l
u
k
a
n

u
n
t
u
k

m
e
n
c
a
p
a
i

h
a
s
i
l

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
a
i
k
.
3
9
)

P
e
n
g
u
a
t
a
n

k
o
n
t
r
o
l

e
x
-
p
o
s
t
,

a
u
d
i
t

k
i
n
e
r
j
a
,


d
a
n

k
a
p
a
b
i
l
i
t
a
s

p
e
l
a
p
o
r
a
n
.

4
0
)

M
e
n
g
u
r
a
n
g
i


p
e
n
g
a
n
g
g
a
r
a
n

l
i
n
e

i
t
e
m

d
a
n

m
e
l
a
k
u
k
a
n

i
n
t
e
g
r
a
s
i

p
r
o
s
e
s

p
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

d
a
n

p
e
n
g
a
n
g
g
a
r
a
n
J
M


R
e
f
o
r
m
a
s
i

i
n
i

s
a
n
g
a
t

p
e
n
t
i
n
g

u
n
t
u
k

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

e
f
s
i
e
n
s
i


d
a
n

e
f
e
k
t
i
v
i
t
a
s


p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
u
b
l
i
k


u
n
t
u
k

m
e
n
c
a
p
a
i

k
e
l
u
a
r
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

b
a
i
k
.
M
e
n
g
a
i
t
k
a
n

p
r
o
s
e
s

a
n
g
g
a
r
a
n

d
e
n
g
a
n

t
u
j
u
a
n

k
e
b
i
j
a
k
a
n

j
a
n
g
k
a

m
e
n
e
n
g
a
h

(
K
a
i
t
a
n

a
n
t
a
r
a

R
K
P

R
K
K
L

R
K
A
K
L
)
.


P
r
o
s
e
s

P
e
n
g
e
l
o
l
a
a
n

K
e
u
a
n
g
a
n

P
u
b
l
i
k

(
P
K
P
)

d
i
l
a
k
u
k
a
n

s
e
c
a
r
a

k
e
t
a
t

s
e
t
i
a
p

t
a
h
u
n

d
a
n

m
e
n
g
h
a
m
b
a
t

v
i
s
i

j
a
n
g
k
a

p
a
n
j
a
n
g

d
a
n

k
e
b
e
r
l
a
n
j
u
t
a
n

k
e
b
i
j
a
k
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
u
b
l
i
k
.

R
e
n
c
a
n
a

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

L
i
m
a

T
a
h
u
n

(
R
K
P
)

b
e
r
i
s
i

t
u
j
u
a
n

n
a
s
i
o
n
a
l

d
a
n

s
e
k
t
o
r
a
l
,

k
e
b
i
j
a
k
a
n
,

d
a
n

p
r
o
y
e
k

s
p
e
s
i
f
k
,

t
e
t
a
p
i

t
i
d
a
k

c
u
k
u
p

t
e
r
k
a
i
t

d
e
n
g
a
n

a
l
o
k
a
s
i

s
u
m
b
e
r

d
a
y
a
.
4
1
)

B
e
r
i
k
a
n

k
e
m
u
n
g
k
i
n
a
n

u
n
t
u
k

m
e
m
p
e
r
o
l
e
h

f
a
s
i
l
i
t
a
s

a
n
g
g
a
r
a
n

m
u
l
t
i

t
a
h
u
n

d
a
n

m
e
n
y
e
d
e
r
h
a
n
a
k
a
n

f
a
s
i
l
i
t
a
s

u
n
t
u
k

m
e
l
a
n
j
u
t
k
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

s
e
b
e
l
u
m
n
y
a

y
a
n
g

t
e
r
s
i
s
a

(
l
u
n
c
u
r
a
n
)
.
4
2
)

L
a
k
s
a
n
a
k
a
n

K
e
r
a
n
g
k
a

K
e
r
j
a

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

J
a
n
g
k
a

M
e
n
e
n
g
a
h
.

J
M


K
e
m
a
m
p
u
a
n

u
n
t
u
k

m
e
n
e
r
j
e
m
a
h
k
a
n

t
u
j
u
a
n

p
o
l
i
t
i
k

j
a
n
g
k
a

p
a
n
j
a
n
g

k
e

d
a
l
a
m

a
l
o
k
a
s
i

a
n
g
g
a
r
a
n


d
a
n

i
n
v
e
s
t
a
s
i

p
u
b
l
i
k

y
a
n
g

b
e
r
k
e
l
a
n
j
u
t
a
n
.
M
e
l
a
k
u
k
a
n

r
e
f
o
r
m
a
s
i

p
e
r
b
e
n
d
a
h
a
r
a
a
n

m
e
l
a
l
u
i

r
e
k
a
y
a
s
a

u
l
a
n
g

p
r
o
s
e
s

b
i
s
n
i
s

d
a
l
a
m

p
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n
.


P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n
,

t
e
r
u
t
a
m
a


u
n
t
u
k

p
r
o
y
e
k

p
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

s
a
n
g
a
t

l
a
m
b
a
t

d
a
n

c
e
n
d
e
r
u
n
g

m
e
n
u
m
p
u
k

d
i

a
k
h
i
r

t
a
h
u
n

a
n
g
g
a
r
a
n
.

D
a
n
a

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h


d
i
c
a
i
r
k
a
n

m
e
l
a
l
u
i



s
e
j
u
m
l
a
h

b
e
s
a
r

r
e
k
e
n
i
n
g


y
a
n
g

b
e
r
b
e
d
a

s
e
h
i
n
g
g
a

r
e
n
t
a
n

t
e
r
h
a
d
a
p

m
a
n
a
j
e
m
e
n

k
a
s

y
a
n
g

t
i
d
a
k

t
r
a
n
s
p
a
r
a
n

d
a
n

t
i
d
a
k

e
f
s
i
e
n
.
4
3
)

M
e
l
a
k
u
k
a
n

r
e
f
o
r
m
a
s
i

t
e
r
h
a
d
a
p

f
u
n
g
s
i

p
e
r
b
e
n
d
a
h
a
r
a
a
n

d
a
n

p
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

m
e
l
a
l
u
i

p
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

T
S
A
.

4
4
)

T
i
n
g
k
a
t

u
r
a
i
a
n

r
i
n
c
i

d
a
l
a
m

d
o
k
u
m
e
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

(
D
I
P
A
)

h
a
r
u
s

d
i
k
u
r
a
n
g
i

d
a
n

p
r
o
s
e
s

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
n
y
a

h
a
r
u
s

d
i
s
e
d
e
r
h
a
n
a
k
a
n

s
e
b
a
g
a
i

b
a
g
i
a
n

d
a
r
i

r
e
f
o
r
m
a
s
i

u
n
t
u
k

m
e
n
u
j
u

P
B
B
.
J
M


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

e
f
s
i
e
n
s
i

o
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l
,

t
r
a
n
s
p
a
r
a
n
s
i

d
a
n

p
e
m
b
a
y
a
r
a
n

y
a
n
g

l
e
b
i
h

c
e
p
a
t
.
M
e
n
y
e
s
u
a
i
k
a
n

p
e
r
a
n

D
P
R

d
a
l
a
m

p
r
o
s
e
s

a
n
g
g
a
r
a
n
.


P
e
n
g
a
w
a
s
a
n

o
l
e
h

D
P
R


d
a
l
a
m

s
i
k
l
u
s

a
n
g
g
a
r
a
n


b
e
l
u
m

b
e
r
f
u
n
g
s
i

e
f
e
k
t
i
f
.

D
P
R

k
i
n
i

l
e
b
i
h

b
e
r
f
o
k
u
s

p
a
d
a

h
a
l
-
h
a
l

r
i
n
c
i

d
a
n

b
u
k
a
n

p
a
d
a

o
u
t
c
o
m
e

d
a
n

p
r
i
o
r
i
t
a
s

p
o
l
i
t
i
k
.

4
5
)

M
e
n
g
e
m
b
a
n
g
k
a
n

k
a
p
a
s
i
t
a
s

k
e
l
e
m
b
a
g
a
a
n

d
i

D
P
R

d
a
n

p
a
d
a

s
e
m
u
a

t
a
h
a
p
a
n

f
o
r
m
u
l
a
s
i

a
n
g
g
a
r
a
n

d
a
n

a
u
d
i
t
.
4
6
)

M
e
n
g
g
e
s
e
r

p
e
r
a
n

D
P
R

d
a
r
i

f
o
k
u
s

p
a
d
a

p
o
s
-
p
o
s

a
n
g
g
a
r
a
n

s
e
c
a
r
a

r
i
n
c
i

k
e
p
a
d
a

a
l
o
k
a
s
i

s
e
c
a
r
a

u
m
u
m

d
a
n

p
r
i
o
r
i
t
a
s

p
o
l
i
t
i
k
.
J
P
D
K
/
J
M


P
e
r
b
a
i
k
a
n

t
a
t
a

k
e
l
o
l
a
,


s
a
l
i
n
g

u
j
i
,

a
k
u
n
t
a
b
i
l
i
t
a
s
,

d
a
n

m
e
n
j
a
m
i
n

b
a
h
w
a

a
n
g
g
a
r
a
n

a
k
a
n

r
e
s
p
o
n
s
i
f

k
e
p
a
d
a

k
e
b
u
t
u
h
a
n

r
a
k
y
a
t
.


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
160
LAMPIRAN
B
i
d
a
n
g

R
e
f
o
r
m
a
s
i
T
a
n
t
a
n
g
a
n
S
o
l
u
s
i

s
p
e
s
i
f
k
K
e
r
a
n
g
k
a

w
a
k
t
u
D
a
m
p
a
k
-
d
e
r
a
j
a
t

K
e
p
e
n
t
i
n
g
a
n
T
e
r
u
s

m
e
n
d
o
r
o
n
g

r
e
f
o
r
m
a
s
i

s
i
s
t
e
m

p
e
n
g
a
d
a
a
n
.


K
a
p
a
s
i
t
a
s

y
a
n
g

t
e
r
b
a
t
a
s

u
n
t
u
k

m
e
n
y
e
l
e
s
a
i
k
a
n

p
e
n
g
a
d
a
a
n

s
e
c
a
r
a

t
e
p
a
t

w
a
k
t
u

s
e
s
u
a
i

d
e
n
g
a
n

a
t
u
r
a
n

y
a
n
g

d
i
p
e
r
k
e
t
a
t

t
e
l
a
h

m
e
n
g
h
a
m
b
a
t

j
a
l
a
n
n
y
a

p
r
o
y
e
k

d
a
n

p
e
m
b
a
y
a
r
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n
.
4
7
)

M
e
l
a
k
u
k
a
n

p
e
l
a
t
i
h
a
n

t
i
n
g
k
a
t

d
a
s
a
r

d
a
n

u
j
i
a
n

u
n
t
u
k

s
e
r
t
i
f
k
a
s
i

b
a
g
i

p
a
r
a

p
r
a
k
t
i
s
i

p
e
n
g
a
d
a
a
n
.
4
8
)

M
e
n
g
u
a
t
k
a
n

k
e
m
a
n
d
i
r
i
a
n


K
a
n
t
o
r

P
e
n
g
a
d
a
a
n

N
a
s
i
o
n
a
l
.
4
9
)

M
e
n
g
e
m
b
a
n
g
k
a
n

d
a
n

m
e
l
a
k
s
a
n
a
k
a
n

s
t
r
a
t
e
g
i

y
a
n
g

b
e
r
l
a
k
u

d
i

s
e
l
u
r
u
h

I
n
d
o
n
e
s
i
a

u
n
t
u
k

m
e
l
a
k
s
a
n
a
k
a
n

p
r
o
s
e
d
u
r

e
-
p
r
o
c
u
r
e
m
e
n
t
.
J
M


H
a
r
g
a

i
n
p
u
t

y
a
n
g

l
e
b
i
h

r
e
n
d
a
h

d
a
n

m
e
n
g
u
r
a
n
g
i

t
i
n
d
a
k

k
o
r
u
p
s
i
.
M
e
n
g
u
a
t
k
a
n

f
u
n
g
s
i

p
e
m
e
r
i
k
s
a
a
n

i
n
t
e
r
n
a
l

d
a
n

e
k
s
t
e
r
n
a
l
.


K
a
p
a
s
i
t
a
s
,

s
t
a
f
,

d
a
n

s
u
m
b
e
r

d
a
y
a

B
P
K

d
a
n

B
P
K
P

t
i
d
a
k

s
e
s
u
a
i

d
e
n
g
a
n

p
e
r
a
n

m
e
r
e
k
a
.


L
e
m
b
a
g
a

p
e
m
e
r
i
k
s
a

i
n
t
e
r
n
a
l

y
a
n
g

b
e
r
s
i
f
a
t

t
e
r
f
r
a
g
m
e
n
t
a
s
i

d
a
n

t
i
d
a
k

a
d
a
n
y
a

s
t
a
n
d
a
r

p
e
m
e
r
i
k
s
a
a
n

y
a
n
g

k
o
n
s
i
s
t
e
n

d
i

s
e
t
i
a
p

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n
.
5
0
)

B
P
K

h
a
r
u
s

t
e
r
u
s

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

k
a
p
a
s
i
t
a
s

m
e
r
e
k
a

d
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

k
e
h
a
d
i
r
a
n

m
e
r
e
k
a

u
n
t
u
k

m
e
m
e
n
u
h
i

m
a
n
d
a
t

y
a
n
g

d
i
b
e
r
i
k
a
n
,

s
e
m
e
n
t
a
r
a

l
e
m
b
a
g
a

p
e
m
e
r
i
k
s
a

i
n
t
e
r
n
a
l

h
a
r
u
s

d
i
g
a
b
u
n
g
.
5
1
)

B
P
K

h
a
r
u
s

l
e
b
i
h

b
e
r
t
a
n
g
g
u
n
g

j
a
w
a
b

k
e
p
a
d
a

D
P
R
.

5
2
)

L
e
m
b
a
g
a

p
e
m
e
r
i
k
s
a
a
n

i
n
t
e
r
n
a
l

y
a
n
g

u
t
a
m
a
d
a
p
a
t

d
i
k
o
n
s
o
l
i
d
a
s
i
k
a
n

k
e

d
a
l
a
m

s
e
b
u
a
h

l
e
m
b
a
g
a

p
e
m
e
r
i
k
s
a

i
n
t
e
r
n
a
l

d
e
n
g
a
n

k
e
w
a
j
i
b
a
n

y
a
n
g

j
e
l
a
s

u
n
t
u
k

b
e
k
e
r
j
a

d
e
n
g
a
n

B
P
K
.
J
M


P
e
m
e
r
i
k
s
a
a
n

y
a
n
g

e
f
e
k
t
i
f

s
a
n
g
a
t

p
e
n
t
i
n
g

u
n
t
u
k

m
e
n
c
e
g
a
h

p
e
n
y
a
l
a
h
g
u
n
a
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

p
u
b
l
i
k

d
a
n

m
e
n
g
u
r
a
n
g
i

r
i
s
i
k
o

p
e
n
y
a
l
a
h
g
u
n
a
a
n

d
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
n
y
a

f
e
k
s
i
b
i
l
i
t
a
s

y
a
n
g

t
e
r
j
a
d
i

k
a
r
e
n
a

r
e
f
o
r
m
a
s
i

P
B
B
.

B
A
B

7
.

D
E
S
E
N
T
R
A
L
I
S
A
S
I

F
I
S
K
A
L

D
A
N

K
E
S
E
N
J
A
N
G
A
N

D
A
E
R
A
H
M
e
m
b
u
a
t

t
r
a
n
s
f
e
r

D
A
U

s
e
t
i
a
p

t
a
h
u
n
n
y
a

l
e
b
i
h

b
i
s
a

d
i
p
e
r
k
i
r
a
k
a
n

,

m
e
n
g
g
u
n
a
k
a
n

D
A
U

s
e
c
a
r
a

p
e
n
u
h
,

d
a
n

m
e
n
c
i
p
t
a
k
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f

u
n
t
u
k

P
e
m
k
a
b
/
p
e
m
k
o
t


u
n
t
u
k

m
e
l
a
k
u
k
a
n

r
e
f
o
r
m
a
s
i

k
e
p
e
g
a
w
a
i
a
n
.


T
i
d
a
k

a
d
a

i
n
s
e
n
t
i
f


u
n
t
u
k

m
e
n
g
u
r
a
n
g
i


k
e
l
e
b
i
h
a
n

j
u
m
l
a
h

P
N
S

s
e
p
a
n
j
a
n
g

D
A
U

m
e
n
u
t
u
p

s
e
m
u
a

k
e
b
u
t
u
h
a
n

g
a
j
i

p
e
g
a
w
a
i
.

D
A
U

t
i
d
a
k

m
a
m
p
u

m
e
l
a
k
u
k
a
n

m
e
n
g
a
t
a
s
i

k
e
s
e
n
j
a
n
g
a
n

f
s
k
a
l

d
i

a
n
t
a
r
a

P
e
m
k
a
b
/
p
e
m
k
o
t


s
e
c
a
r
a

e
f
e
k
t
i
f
.

S
t
r
a
t
e
g
i

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

j
a
n
g
k
a

p
a
n
j
a
n
g

k
i
n
i

s
u
l
i
t

u
n
t
u
k

d
i
r
u
m
u
s
k
a
n

d
a
n

d
i
l
a
k
s
a
n
a
k
a
n

k
a
r
e
n
a

j
u
m
l
a
h

y
a
n
g

d
i
s
a
l
u
r
k
a
n

s
u
l
i
t

d
i
p
e
r
k
i
r
a
k
a
n
.
5
3
)

H
a
p
u
s
k
a
n

c
a
k
u
p
a
n

p
e
n
u
h

a
t
a
s

p
e
m
b
a
y
a
r
a
n

g
a
j
i

d
e
n
g
a
n

D
A
U
.
5
4
)

A
l
o
k
a
s
i
k
a
n

D
A
U

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

a
l
o
k
a
s
i

t
a
h
u
n

s
e
b
e
l
u
m
n
y
a

u
n
t
u
k

m
e
n
g
h
i
n
d
a
r
i

f
u
k
t
u
a
s
i

a
n
g
g
a
r
a
n
.
5
5
)

D
o
r
o
n
g

a
g
a
r

t
e
r
j
a
d
i

p
e
m
e
r
a
t
a
a
n

d
e
n
g
a
n

m
e
n
d
a
s
a
r
k
a
n

p
e
n
y
a
l
u
r
a
n

d
a
n
a

p
a
d
a

f
o
r
m
u
l
a

k
e
s
e
n
j
a
n
g
a
n

f
s
k
a
l
.
J
P
D
K
/
J
M


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

e
f
s
i
e
n
s
i


p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
e
r
a
h
.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

p
e
m
e
r
a
t
a
a
n
.


P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n


e
f
s
i
e
n
s
i


p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
F
u
n
g
s
i

b
e
r
b
a
g
a
i

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n

p
e
r
l
u

d
i
p
e
r
j
e
l
a
s
.


A
d
a

k
e
t
i
d
a
k
p
a
s
t
i
a
n

m
e
n
g
e
n
a
i

t
a
n
g
g
u
n
g

j
a
w
a
b

t
e
r
h
a
d
a
p

p
e
n
g
a
n
g
g
a
r
a
n

d
a
n

p
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n
n
y
a
.

5
6
)

5
6
)

P
i
s
a
h
k
a
n

f
u
n
g
s
i
-
f
u
n
g
s
i

d
a
r
i

b
e
r
b
a
g
a
i

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n
;

p
u
s
a
t
,

P
r
o
p
i
n
s
i
,

k
a
b
u
p
a
t
e
n
,

p
e
n
y
e
d
i
a

l
a
y
a
n
a
n

,

d
a
n

m
a
s
y
a
r
a
k
a
t
.

J
P
J


P
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

p
r
o
s
e
s

p
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

y
a
n
g

r
a
s
i
o
n
a
l

d
i

s
e
l
u
r
u
h

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n
.

M
e
n
g
u
r
a
n
g
i

f
a
k
t
o
r

k
e
t
i
d
a
k
p
a
s
t
i
a
n

d
a
n

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
r
o
s
e
s

p
e
l
a
k
s
a
n
a
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n
.
M
e
n
c
i
p
t
a
k
a
n

i
n
s
e
n
t
i
f


d
a
n

m
e
m
b
a
n
g
u
n

k
a
p
a
s
i
t
a
s

u
n
t
u
k

m
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

d
a
n

p
e
n
g
a
n
g
g
a
r
a
n

d
i

t
i
n
g
k
a
t

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
.


A
n
g
g
a
r
a
n

t
i
d
a
k

m
e
n
c
e
r
m
i
n
k
a
n

p
e
r
e
n
c
a
n
a
a
n

d
a
n

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

y
a
n
g

e
f
s
i
e
n
.

S
u
r
p
l
u
s

y
a
n
g

b
e
s
a
r

t
e
r
j
a
d
i

d
i

t
i
n
g
k
a
t

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
e
r
a
h
.
5
7
)

B
u
a
t

s
i
s
t
e
m

p
e
n
i
l
a
i
a
n

b
e
r
b
a
s
i
s

k
i
n
e
r
j
a

d
e
n
g
a
n

s
e
j
u
m
l
a
h

i
n
d
i
k
a
t
o
r

t
e
r
p
i
l
i
h

y
a
n
g

d
a
p
a
t

d
i
p
a
n
t
a
u

d
e
n
g
a
n

m
u
d
a
h
.

K
a
i
t
k
a
n


k
i
n
e
r
j
a

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

t
e
r
h
a
d
a
p

a
l
o
k
a
s
i

s
u
m
b
e
r

d
a
y
a
.
5
8
)

S
e
d
e
r
h
a
n
a
k
a
n

l
a
n
g
k
a
h

u
n
t
u
k

m
e
l
a
k
u
k
a
n

p
e
r
s
e
t
u
j
u
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

d
a
e
r
a
h
.
5
9
)

L
a
k
u
k
a
n

i
n
t
e
g
r
a
s
i

p
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

d
i

l
u
a
r

a
n
g
g
a
r
a
n


(
o
f

b
u
d
g
e
t
)

k
e

d
a
l
a
m

a
n
g
g
a
r
a
n

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
J
M


P
e
r
b
a
i
k
a
n

a
n
g
g
a
r
a
n

m
e
n
g
u
r
a
n
g
i

s
u
r
p
l
u
s
,

k
e
t
e
p
a
t
a
n

w
a
k
t
u
M
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n


e
f
s
i
e
n
s
i

,

p
e
m
e
r
a
t
a
a
n
,

d
a
n

e
f
e
k
t
i
v
i
t
a
s

p
e
n
g
u
m
p
u
l
a
n

p
a
j
a
k

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
.


S
a
a
t

i
n
i
,

t
i
d
a
k

a
d
a

P
a
j
a
k

P
r
o
p
e
r
t
i

d
a
e
r
a
h
,

y
a
n
g

t
i
d
a
k

m
e
r
a
n
g
s
a
n
g

t
e
r
j
a
d
i
n
y
a

p
e
r
s
a
i
n
g
a
n

d
i

d
a
e
r
a
h
.

J
u
g
a
,

j
u
m
l
a
h

p
e
n
g
u
m
p
u
l
a
n

p
a
j
a
k

s
a
n
g
a
t

k
e
c
i
l
.

M
a
s
i
h

a
d
a

b
e
b
e
r
a
p
a

p
a
j
a
k

d
a
e
r
a
h

t
e
r
t
e
n
t
u


y
a
n
g

m
e
n
i
m
b
u
l
k
a
n

i
k
l
i
m

i
n
v
e
s
t
a
s
i

y
a
n
g

b
u
r
u
k
.
6
0
)

L
a
k
u
k
a
n

d
e
s
e
n
t
r
a
l
i
s
a
s
i


t
e
r
h
a
d
a
p

p
a
j
a
k

b
u
m
i

d
a
n

b
a
n
g
u
n
a
n
,

s
e
h
i
n
g
g
a

d
a
e
r
a
h

b
i
s
a

m
e
n
e
n
t
u
k
a
n

t
i
n
g
k
a
t

p
a
j
a
k

m
e
r
e
k
a

s
e
n
d
i
r
i

d
a
n

b
e
r
s
a
i
n
g

d
e
n
g
a
n

d
a
e
r
a
h

l
a
i
n
.
6
1
)

M
e
n
i
n
g
k
a
t
k
a
n

p
e
r
o
l
e
h
a
n

p
a
j
a
k

s
e
h
i
n
g
g
a

s
e
c
a
r
a

r
a
t
a
-
r
a
t
a

m
e
n
c
a
p
a
i

s
e
t
e
n
g
a
h

d
a
r
i

j
u
m
l
a
h

p
e
n
e
r
i
m
a
a
n

d
a
e
r
a
h
.
6
2
)

P
e
n
g
e
n
a
a
n

r
e
t
r
i
b
u
s
i

d
a
n


p
a
j
a
k

p
e
r
l
u

d
i
a
t
u
r

u
n
t
u
k

m
e
m
b
a
t
a
s
i

d
a
m
p
a
k

n
e
g
a
t
i
f
n
y
a

t
e
r
h
a
d
a
p

i
k
l
i
m

i
n
v
e
s
t
a
s
i
.
J
P
D
K
/
J
M


I
P
e
n
i
n
g
k
a
t
a
n

p
e
n
d
a
p
a
t
a
n

d
a
e
r
a
h

d
a
n

i
k
l
i
m

i
n
v
e
s
t
a
s
i
.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
161
LAMPIRAN
Section A.2. Sumber Data, Metodologi, dan Defnisi
Dataset statistik dan anggaran utama yang digunakan untuk memproses laporan ini diambil dari sumber-sumber
berikut ini:
Pengeluaran Pemerintah Propinsi dan Kab/Kota: data untuk tahun 2000-04 diproses dari Sistem Informasi
Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan. Staf Bank Dunia menghitung perkiraan untuk pengeluaran
2005-2007 berdasarkan pangsa historis setiap sektor, dan transfer agregat dari pemerintah pusat. Rincian
lebih lanjut mengenai karakteristik dataset ini dan jumlah kab/kota yang tercakup tersedia dalam Tabel
Lampiran C.11
Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Nasional (SUSENAS) BPS adalah sumber dari informasi mengenai
ekonomi dan demografs rumah tangga 2000-05
Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dari 2004 sampai dengan Februari 2006 adalah sumber dari
statistik tenaga kerja.
Data Statistik Potensi Desa (PODES) 2004-2005 menjadi sumber dari informasi mengenai karakteristik
infrastruktur desa. Survey ini dilaksanakan dalam konteks sensus periodic (pertanian, ekonomi dan
pedesaaan)
Survey Governance and Decentralization (GDS) 1+ memberikan data mengenai indikator tata pemerintahan
dan desentralisasi dari rumah tangga dan non rumah tangga pada tingkat kab/kota dan desa, maupun
informasi yang diperoleh dari titik penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan (Puskesmas dan Sekolah).
World Development Indicators (WDI) Bank Dunia digunakan untuk serangkaian indikator ekonomi dan
anggaran internasional untuk periode 1994-2005.
Beberapa dataset primer lainnya diambil dari publikasi statistik, studi oleh lembaga penelitian dan akademis, dan
laporan dari organisasi internasional.
Komposisi Ekonomi dari Pengeluaran: Dalam hal jenis, atau karakteristik ekonomi dari transaksi-transaksi
pengeluaran sumberdaya, pengeluaran publik diklasifkasikan sebagai:
Pengeluaran Rutin termasuk: (i) Belanja Pegawai; (ii) Belanja Bunga (DN & LN); (iii) Subsidi, (iv) Belanja Bahan
Barang dan Jasa; (v) Belanja Rutin Lainnya
Pengeluaran Pembangunan didefnisikan sebagai belanja Negara yang ditujukan untuk membiayai
proyek pembangunan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional baik yang bersifat materiil maupun
non materiil (UU 2/2000 mengenai APBN). Jumlah yang dilaporkan sebagai belanja pembangunan juga
mencakup beberapa belanja gaji dan bahan yang secara teknis seharusnya masuk kedalam pengeluaran
rutin. Pos Pengeluaran Pembangunan dihapuskan pada tahun 2004 dengan diperkenalkannya anggaran
terpadu (unifed budget) dan diperkenalkannya pos belanja modal.
Pengeluaran Modal efektif sejak tahun 2005, mengikuti UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara. Kategori
ini didefnisikan sebagai pengeluaran untuk membayar penyediaan barang tahan lama dengan masa hidup
lebih dari satu tahun yang baru maupun yang sudah ada, untuk digunakan bagi maksud-maksud produktif
seperti, jembatan, jalan, sekolah, klinik, dll. Pemetaan anggaran 2004 dari sistem anggaran terdahulu ke
anggaran terpadu memperlihatkan bahwa belanja modal mencakup 56 % dari belanja yang dulunya
dilaporkan sebagai pengeluaran pembangunan, sementara sisanya diklasifkasikan dalam berbagai pos
anggaran rutin dan bantuan sosial.
Transfer ke Daerah terdiri dari Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana
Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian.
Catatan Teknis untuk Analisis Lintas Sektor. Angka yang disajikan dalam bab 2 diagregasikan berdasarkan data
anggaran pusat dan daerah sebagaimana diuraikan diatas. Tabel Lampiran C. 14 menyajikan pemetaan sektoral
dari berbagai sub-sektor yang diagregasikan kedalam suatu sektor dan sub komponen dari pengeluaran rutin dan
pembangunan. Perlu dicatat bahwa terdapat sedikit perbedaan antara angka yang terdapat dalam Lampiran D
dan yang terdapat dalam bab Kesehatan dan Pendidikan. Hal ini disebabkan angka agregat pada bab-bab tersebut
dimutakhirkan pada bulan Januari 2007 berdasarkan rincian APBN sektoral terbaru. Tabel yang terdapat dalam lampiran
lintas sektoral belum dimutakhirkan untuk memelihara konsistensi dengan sektor-sektor lain yang dilaporkan dalam
tren lintas sektoral.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
162
LAMPIRAN
Catatan Teknis untuk Bab Pendidikan dan Kesehatan. Laporan latar belakang untuk sektor pendidikan dari laporan
ini menyajikan estimasi pengeluaran pendidikan untuk tahun 2007 berdasarkan agregat belanja pemerintah pusat
dari Rancangan APBN. Pengeluaran Pendidikan yang dilaporkan dalam kajian ini berasal dari APBN 2007 yang tersedia
pada Desember 2006. Untuk melaksanakan UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara, format pelaporan pengeluaran
pemerintah diubah mulai tahun anggaran 2004. Salah satu bentuk reformasi dari UU ini adalah mengubah klasifkasi
belanja dari berdasarkan sektor menjadi berdasarkan fungsi. Tabel ikhtisar belanja dari Bab Pendidikan dan Kesehatan
(Tabel 3.2. dan 4.3.) didasarkan pada klasifkasi sektoral. Klasifkasi fungsional tidak digunakan dalam tabel ini untuk
memelihara konsistensi dengan tahun sebelum 2004, dimana beberapa pos anggaran seperti pelatihan PNS tidak
tersedia. Namun, rincian sepenuhnya dari pengeluaran pendidikan berdasarkan klasifkasi fungsional disajikan dalam
Diagram 3.3.
Pada lampiran, data pada tabel lintas sektoral berbeda sedikit dari agregat sektoral karena tidak mungkin untuk
memperbaharui tren lintas sektoral berdasarkan data realisasi sementara yang paling baru dari Depkeu (per 8 Januari
2007). Rincian pengeluaran berdasarkan sektor belum tersedia pada saat penulisan laporan ini. Konsekuensinya
lampiran sektoral didasarkan pada data yang tersedia sebelumnya.
Catatan Teknis untuk Bab Infrastruktur. Defnisi infrastruktur yang digunakan dalam laporan ini meliputi sektor
dan kegiatan berikut ini: Energi (listrik dan gas alam); perhubungan (jalan: tol, nasional, propinsi, Kabupaten;
pelabuhan;Bandara; dan Kereta Api); layanan air bersih dan sanitasi (anggaran untuk pengelolaan sumber daya air
dimasukan untuk aktiftas yang dapat diasumsikan relevan dengan air bersih dan sanitasi); irigasi; dan telekomunikasi
(tetap dan bergerak)

Aktor Ekonomi yang dicakup: seluruh tingkat pemerintahan, dan juga BUMN. Tingkat Pemerintahan: Pusat,
Propinsi,Kabupaten/Kota. BUMN pada tingkat pemerintah pusat: PT. PLN (Listrik), PGN (Gas Alam); transportasi:
Jasa Marga (Jalan Tol), Angkasa Pura (Bandara), KAI (Kereta Api); Telekomunikasi: PT. Telkom, Indosat. BUMD
dengan cakupan terbatas karena data yang tidak cukup tersedia: Air Bersih dan Sanitasi: PDAM (air bersih dan
sanitasi perkotaan).
Kategori Pengeluaran yang Tercakup adalah: Belanja Operasional (Opex), belanja pemeliharaan (opex dan
belanja pemeliharaan jika dikombinasikan menjadi O&P), rehabilitasi (relevan untuk jalan) cakupan terbatas
(hanya satu tahun) karena ketaktersediaan data, dan belanja modal (capex). Untuk sektor swasta, hanya
komitmen investasi yang dicakup, karena kategori pengeluaran lain tidak tersedia dan dilaporkan.
Keseluruhan pelaporan data beragam tergantung dari jangka waktu, karena sebagian tren pengeluaran
dilacak selama masa 1994-2004. Tetapi pola pengeluaran rinci (kategori belanja dan pengeluaran BUMN)
hanya dapat diperoleh untuk periode 2002-2004.
Perbedaan dengan kajian terdahulu: mengenai angka investasi publik, didekati dengan angka belanja pembangunan
dari pos anggaran infrastruktur yang relevan. Angka invetasi yang lebih bersih mungkin didapatkan untuk tahun
2002-2004 dengan mengeluarkan belanja O&P yang seringkali tercakup dalam belanja pembangunan. Pada saat yang
sama, angka investasi yang berkaitan dengan sektor infrastruktur tapi tidak mesti dilaporkan dalam pos anggaran
infrastruktur juga ikut dilacak. (contoh invetasi air bersih dan sanitasi yang dilaporkan dalam sektor pemukiman) dan
dimasukkan jika dianggap tepat. Perbedaan antara angka investasi publik bersih dan estimasi kotor adalah sekitar 0,2
s.d 0,4 persen dari PDB per tahun.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
163
LAMPIRAN
Lampiran B Apa yang disebut dengan Inisiatif untuk Analisis terhadap
Pengeluaran Publik?
1. Latar belakang IPEA
Pada Juni 2004, pemerintah Indonesia, lembaga penelitian setempat, dan komunitas internasional (termasuk Bank
Dunia dan Kedutaan Belanda) meluncurkan apa yang dikenal dengan Initiative for Publik Analisis pengeluaran (IPEA,)
atau Analisis terhadap Pengeluaran Publik yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan analisis dan pengembangan
kapasitas.
Dengan stabilitas makroekonomi yang telah kembali diperoleh Indonesia, desentralisasi yang berjalan dengan lebih
lancer dari yang diperkirakan, dan peningkatan feksibilitas anggaran yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang,
peluang ini merupakan saat untuk menggali berbagai opsi terbaik agar penggunaan sumber daya publik Indonesia
bisa berjalan dengan baik. Kebutuhan untuk melakukan analisis terhadap pengeluaran publik akan semakin
meningkat mengingat (i) peningkatan peran kebijakan fskal untuk mendukung pertumbuhan, dan (ii) desentralisasi
telah menjadi kenyataan sehingga analisis pengeluaran publik akan semakin lebih menantang.
IPEA bertujuan untuk melakukan formalisasi terhadap praktik yang sudah ada dan menyediakan paying, serta
menyebarkan informasi tentang kegiatan yang ada., dalam bidang pengeluaran , dan manajemen keuangan publik.
IPEA memandang (i) penciptaan produk yang dikaitkan dengan tujuan dan keperluan dan bersifat feksibel untuk
memberikan tanggapan terhadap kebutuhan klien; (ii) proses pelaksanaan yang diterima dari para pembuat kebijakan,
dan (iii) peningkatan kapasitas yang efektif sementara tetap menjaga fokus yang jelas terhadap hasil dan dampak.
2. Tujuan IPEA
Dua tujuan utama IPEA adalah:
(i) Dari analisis sampai kebijakan yang baik. IPEA berusaha memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap
pengeluaran pemerintah yang baik lintas pemerintahan dan sektoral, dan memasukkan analisis ini ke dalam
dialog kebijakan untuk mendukung gerakan menuju penyediaan layanan publik yang akuntabel.
(ii) Pengembangan kapasitas bagi klien kami. IPEA bertujuan untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan
di Indonesia untuk melaksanakan analisis pengeluaran secara berkala. Audience merupakan hal yang paling
penting demikian juga dengan para pembuat kebijakan di tingkat pemerintah dan DPR, serta pusat-pusat
penelitian maupun para stakeholders kunci.
Selanjutnya, IPEA bertujuan untuk memberikan dukungan pengembangan kapasitas berikut untuk klien kami:
(i) Pelatihan yang bertarget dan bantuan teknis bagi staf administrasi dan lembaga penelitian.
(ii) Pembuatan pasangan kembar dari lembaga penelitian lokal dengan lembaga yang sudah memiliki reputasi di
bidang analisis pengeluaran publik.
(iii) Penugasan staf dari Departemen dan/atau ahli dari Bank Dunia selama beberapa bulan untuk mengerjakan
analisis PER.
3. Struktur Manajemen IPEA
Keluaran penting dalam bidang administrasi adalah terbetuknya panitia pengaruh yang sangat kuat, yang, berhasil
melakukan pertemuan mereka pada 6 April 2005 dan telah melakukan pertemuan reguler bulanan sejak itu. Panitia
pengaruh terdiri dari kelompok inti yang merupakan Perwakilan dari Kantor Meko Ekuin, Departemen Keuangan,
Bappenas, LPEM (Universitas Indonesia) dan Bank Dunia. Sebanyak 10 pertemuan panitia pengaruh termasuk
partisipasi luas dari para pejabat pemerintah telah dilaksanakan dari April 2005 sampai Oktober 2006.
4. Keluaran dan Prestasi IPEA
Sejak pembentukannya, IPEA telah berhasil mencapai kemajuan signifkan melalui pemberian keluaran diagnostic
sera pengembangan kapasitas. Prestasinya yang paling penting berikutnya setelah publikasi Tinjauan Pengeluaran
Publik untuk Pemerintah Pusat, dapat dirangkum sbb:
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
164
LAMPIRAN
A. Penyusunan nasihat kebijakan jangka panjang dan diagnostik
IPEA telah memberikan beberapa dari keluaran mereka bersama-sama dengan lembaga mitra Indonesia, yang
merupakan aspek tambahan terhadap dimensi pengembangan kapasitas dari program ini. Nasihat kebijakan dan
diagnostik jangka panjang dari IPEA telah menimbulkan debat umum berkelanjutan dan mendukung pelaksanaan
berbagai kebijakan pemerintah. IPEA menyediakan produk analisis dan nasihat kebijakan dalam 5 bidang utama:
Investasi publik, ruang fskal, dan alokasi pengeluaran
Tinjauan terhadap pengeluaran sektoral
Desentralisasi dan hubungan fskal antar-pemerintah
Tinjauan pengeluaran daerah
Manajemen keuangan publik
B. Pengembangan kapasitas klien kami
IPEA telah melakukan sejumlah kegiatan dengan target staf teknis (biasanya Eselon 3) dengan tujuan sbb: (i)
meningkatkan keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh lembaga mitra kami dalam pekerjaan mereka; dan (ii)
mengurangi hambatan antara unit dan departemen yang berbeda. Keluarannya meliputi:
Kursus Penyusunan Program Keuangan: Kursus ini dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan
teknis untuk melakukan perencanaan yang lebih efektif dan merumuskan rencana kerja pemerintah, dan
menyusun rencana anggaran nasional untuk 2007, dan menciptakan target keluaran mengenai analisis
manajemen keuangan yang kelak akan digunakan untuk mendukung proses persiapan anggaran.
Penyampaian kursus dan kegiatan tindak lanjut:
3-11 Desember 2005. Kursus Penyusunan Program Keuangan bagi pejabat pemerintah.
14 Desember 2005, kursus tentang penilaian laporan back-to-ofce disampaikan kepada panitia
pengaruh IPEA.
2 Februari 2006. Kerja lanjutan dengan peserta mengenai kursus yang bertujuan untuk melakukan
koordinasi kegiatan di masa datang untuk memperkuat kerangka kerja makroekonomi bagi pemerintah
pusat untuk anggaran 2007.
16 April 2006. Diskusi teknis bagi penyiapan kerangka kerja makroekonomi 2007.
JuniJuli 2006. Penugasan staf Bappenas di Bank Dunia.
Kursus dalam Analisis Pengeluaran Publik & Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja (PBB): yang
bertujuan untuk memperkenalkan para peserta dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja dan
manajemen anggaran untuk mendukung pelaksanaan rencana PBB seperti yang dimandatkan oleh UU No.
17/2003. Penyampaian dan kegiatan tindak lanjut:
4-9 Mei 2006. Penyampaian Kursus tentang Analisis Pengeluaran Publik & Penentuan Anggaran Berbasis
Kinerja (PBB), Mengelola Sumber Daya untuk Mencapai Hasil.
31 Mei 2006. Kembali ke kantor untuk menyusun laporan, dan laporan fasilitator lalu dibahas bersama
panitia pengaruh.
12 Mei 2006. Diskusi dengan peserta kursus.
20 Juli 2006. Konferensi video dan diskusi Pelajaran dari Pengalaman Internasional dalam Penentuan
Anggaran Berbasis Kinerja: Kasus di Afrika Selatan bersama Mr. Mathew Andrews.
Tinjauan Pengeluaran Pemerintah Daerah dan manajemen anggaran daerah. IPEA mendukung
persiapan dan pelaksanaan anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. IPEA telah berfokus pada
darah-daerah berikut ini:
Papua. Melakukan Analisis Pengeluaran Publik untuk Papua (2005). Sejak itu dilakukan pengembangan
kapasitas bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, bersama dengan universitas di daerah.
Aceh. Melakukan Analisis Pengeluaran Publik untuk Aceh (2006). Bantuan teknis kepada BRR, pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi
Gorontalo. Mendukung penyusunan anggaran 2007; produksi analisis pengeluaran dan laporan MDG
dijadwalkan untuk 2007.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
165
LAMPIRAN
Lampiran C Ruang Gerak Fiskal dan Stabilitas Ekonomi
Tabel C.1.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat
(Dalam Rp triliun ) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Belanja Pegawai 80.6 85.3 103.9 115.1 130.0 177.7 218.6
Belanja Barang 17.9 23.8 25.8 25.9 44.4 66.6 94.3
Pembayaran Bunga 87.1 81.1 65.4 62.5 57.9 78.9 85.1
Subsidi 77.4 43.6 43.9 91.6 121.1 107.5 103.0
Bantuan Sosial 0.0 0.0 0.0 0.0 27.0 43.3 50.7
Belanja Rutin yang lain 17.2 19.5 33.3 29.8 52.2 66.1 54.0
Pembangunan 72.5 83.1 133.1 120.4 69.4 98.6 111.7
Modal 0.0 0.0 0.0 0.0 33.9 59.6 76.8
Total Nasional 352.8 336.4 405.4 445.3 535.8 698.2 794.2
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut
pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
** berdasarkan rencana anggaran pusat.
Tabel C. 2.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat
(Persentase of total
pengeluaran pusat)
2001
(%)
2002
(%)
2003
(%)
2004
(%)
2005
(%)
2006*
(%)
2007**
(%)
2001-05
(%)
Belanja Pegawai 23 25 26 26 24 25 28 25
Pembayaran Bunga 25 24 16 14 11 11 11 18
Subsidi 22 13 11 21 23 15 13 18
Belanja Barang 5 7 6 6 8 10 12 7
Belanja Rutin yang lain 5 6 8 7 10 9 7 7
Bantuan Sosial - - - - 5 6 6 1
Pembangunan 21 25 33 27 13 14 14 24
Modal - - - - 6 9 10 1
Total Nasional 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan:* berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemer-
intah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
** berdasarkan draft of anggaran pusat.
Tabel C.3. Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat
(%) of GDP
2001
(%)
2002
(%)
2003
(%)
2004
(%)
2005
(%)
2006*
(%)
2007**
(%)
Belanja Pegawai 4.8 4.6 5.1 5.1 4.8 5.4 6.2
Belanja Barang 1.1 1.3 1.3 1.1 1.6 2.0 2.7
Pembayaran Bunga 5.2 4.4 3.2 2.7 2.1 2.4 2.4
Subsidi 4.6 2.3 2.1 4.0 4.4 3.2 2.9
Bantuan Sosial - - - - 1.0 1.3 1.4
Belanja Rutin yang lain 1.0 1.0 1.6 1.3 1.9 2.0 1.5
Pembangunan 4.3 4.5 6.5 5.3 2.5 3.0 3.2
Modal - - - - 1.2 1.8 2.2
Total 20.9 18.1 19.8 19.6 19.6 21.1 22.5
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD.
Catatan:* berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemer-
intah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
** berdasarkan draft of anggaran pusat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
166
LAMPIRAN
Tabel C.4. Komposisi Pengeluaran Ekonomi Berdasarkan Tingkat Pemerintahan
(Rp triliun) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Total Central 260,508 217,325 256,191 293,930 356,970 443,509 504,776
Belanja Pegawai 38,713 39,480 47,662 49,270 56,136 72,238 98,473
Belanja Barang 9,931 12,777 14,992 15,977 30,555 46,944 71,926
Pembayaran Bunga 87,142 81,122 65,351 62,485 57,881 78,910 85,087
Subsidi 77,443 43,628 43,899 91,617 121,076 107,463 102,954
Belanja Rutin yang lain 5,694 3,099 15,042 13,602 30,412 35,095 18,838
Bantuan Sosial 27,003 43,254 50,657
Pembangunan 41,585 37,220 69,247 60,979 0 0 0
Modal 33,908 59,605 76,842
Total Provinsi 20,651 29,222 33,897 32,404 38,218 53,240 59,065
Belanja Pegawai 5,805 5,826 6,659 8,782 8,906 12,407 13,764
Belanja Barang 2,611 3,419 2,753 2,414 3,683 5,131 5,693
Belanja Rutin yang lain 3,792 5,285 3,748 1,677 4,771 6,646 7,373
Pembangunan 8,443 14,693 20,738 19,531 20,858 29,056 32,236
Total Kabupaten/kota 71,625 89,888 115,279 118,959 140,566 201,487 230,356
Belanja Pegawai 36,091 39,986 49,585 57,095 64,913 93,047 106,378
Belanja Barang 5,402 7,600 8,059 7,547 10,161 14,565 16,652
Belanja Rutin yang lain 7,678 11,151 14,485 14,472 16,973 24,329 27,815
Pembangunan 22,454 31,150 43,151 39,844 48,518 69,546 79,511
Total Nasional 352,784 336,435 405,368 445,293 535,754 698,237 794,198
Sumber: Perkiraan Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD.
Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah.
** berdasarkan RAPBD.
Tabel C.5.Komposisi Ekonomi of Pengeluaran Pemerintah Pusat in Indonesia
(% of GDP)
2000
(%)
2001
(%)
2002
(%)
2003
(%)
2004
(%)
I. Pemerintah pusat Expenditure 15.9 15.5 11.7 12.5 12.9
Current Pengeluaran 12.9 13.0 9.7 9.1 10.3
1. Belanja Pegawai 2.1 2.3 2.1 2.3 2.2
2. Belanja Barang 0.7 0.6 0.7 0.7 0.7
3. Pembayaran Bunga (dalam & luar negeri) 3.6 5.2 4.4 3.2 2.8
4. Subsidi 4.5 4.6 2.3 2.2 4.0
5. Lain-lain 0.8 0.3 0.2 0.7 0.6
6. Penyaluran Dana ke Daerah 1.2 0.0 0.0 0.0 0.0
Pengeluaran Pembangunan 3.1 2.5 2.0 3.4 2.7
II. Penyaluran Dana ke Daerah 4.8 5.3 5.9 5.7
1. Dana Perimbangan 4.8 5.1 5.4 5.4
a. Pembagian Pendapatan 1.2 1.3 1.5 1.6
b. Dana Alokasi Umum (DAU) 3.6 3.7 3.8 3.6
c. Dana Alokasi Khusus (DAK) 0.0 0.0 0.1 0.2
2. Dana Otonomi & Dana Penyesuaian 0.2 0.5 0.3
Total Pengeluaran Pemerintah Pusat 15.9 20.3 16.9 18.4 18.7
Sumber: Perkiraan Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu dan SIKD.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
167
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
6
.

A
n
g
g
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t

(
R
p

m
i
l
i
a
r
)
F
Y
0
1
F
Y
0
2
F
Y
0
3
F
Y
0
4

(
L
K
P
P
)
F
Y
0
5

(
L
K
P
P
)
F
Y
0
6

(
P
r
e
l
i
m
i
n
a
r
y
)
F
Y

0
7

(
A
P
B
N
)
A
.

P
E
N
D
A
P
A
T
A
N

N
E
G
A
R
A

D
A
N

H
I
B
A
H
2
9
9
,
6
6
1
2
9
8
,
5
2
8
3
4
1
,
3
9
6
4
0
3
,
3
6
7
4
9
4
,
5
5
2
6
3
7
,
7
9
9
7
2
3
,
0
5
8
I
.

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i


2
9
9
,
1
8
3
2
9
8
,
5
2
8
3
4
0
,
9
2
8
4
0
3
,
1
0
5
4
9
3
,
2
4
7
6
3
5
,
9
2
7
7
2
0
,
3
8
9
1
.
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

p
a
j
a
k
1
8
4
,
1
2
4
2
1
0
,
0
8
8
2
4
2
,
0
4
8
2
8
0
,
5
5
9
3
4
7
,
0
3
1
4
0
9
,
0
2
1
5
0
9
,
4
6
2
a
.

P
a
j
a
k

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i


1
7
4
,
5
5
7
1
9
9
,
5
1
2
2
3
0
,
9
3
4
2
6
7
,
8
1
7
3
3
1
,
7
9
2
3
9
5
,
7
8
5
4
9
4
,
5
9
2
i
.

P
a
j
a
k

P
e
n
g
h
a
s
i
l
a
n

9
4
,
5
7
6
1
0
1
,
8
7
3
1
1
5
,
0
1
6
1
1
9
,
5
1
5
1
7
5
,
5
4
1
2
0
8
,
8
3
4
2
6
1
,
6
9
8
-

N
o
n
-
M
i
n
y
a
k

&

g
a
s

7
1
,
4
7
4
8
4
,
4
0
4
9
6
,
0
5
3
9
6
,
5
6
8
1
4
0
,
3
9
8
1
6
5
,
6
4
4
2
2
0
,
4
5
7
-

M
i
n
y
a
k

&

g
a
s

2
3
,
1
0
2
1
7
,
4
6
9
1
8
,
9
6
3
2
2
,
9
4
7
3
5
,
1
4
3
4
3
,
1
9
0
4
1
,
2
4
2
i
i
.


P
a
j
a
k

P
e
n
j
u
a
l
a
n

(
V
A
T
)
5
5
,
9
5
7
6
5
,
1
5
3
7
7
,
0
8
1
1
0
2
,
5
7
3
1
0
1
,
2
9
6
1
2
3
,
0
2
8
1
6
1
,
0
4
4
i
i
i
.

P
a
j
a
k

B
u
m
i

d
a
n

B
a
n
g
u
n
a
n

5
,
2
4
6
6
,
2
2
8
8
,
7
6
2
1
1
,
7
6
7
1
6
,
2
1
7
2
0
,
6
8
4
2
1
,
2
6
7
i
v
.

B
e
a

B
a
l
i
k

N
a
m
a

T
a
n
a
h

d
a
n

B
a
n
g
u
n
a
n
1
,
6
0
0
2
,
1
4
4
2
,
9
1
8
3
,
4
3
2
3
,
1
7
9
5
,
3
9
0
v
.

C
u
k
a
i

1
7
,
3
9
4
2
3
,
1
8
9
2
6
,
2
7
7
2
9
,
1
7
2
3
3
,
2
5
6
3
7
,
7
7
2
4
2
,
0
3
5
v
i
.


P
a
j
a
k

l
a
i
n
-
l
a
i
n
1
,
3
8
4
1
,
4
6
9
1
,
6
5
4
1
,
8
7
2
2
,
0
5
0
2
,
2
8
7
3
,
1
5
8
b
.

P
a
j
a
k

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n

I
n
t
e
r
n
a
s
i
o
n
a
l

9
,
5
6
7
1
0
,
5
7
5
1
1
,
1
1
4
1
2
,
7
4
2
1
5
,
2
3
9
1
3
,
2
3
6
1
4
,
8
7
0
i
.

P
a
j
a
k

I
m
p
o
r
9
,
0
2
6
1
0
,
3
4
4
1
0
,
8
8
5
1
2
,
4
4
4
1
4
,
9
2
1
1
2
,
1
4
2
1
4
,
4
1
8
i
i
.

P
a
j
a
k

E
k
s
p
o
r

5
4
1
2
3
1
2
3
0
2
9
8
3
1
8
1
,
0
9
4
4
5
3
2
.

P
e
n
e
r
i
m
a
a
n

N
o
n
-
P
a
j
a
k

1
1
5
,
0
5
9
8
8
,
4
4
0
9
8
,
8
8
0
1
2
2
,
5
4
6
1
4
6
,
2
1
6
2
2
6
,
9
0
6
2
1
0
,
9
2
7
a
.

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

d
a
r
i

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
l
a
m
8
5
,
6
7
2
6
4
,
7
5
5
6
7
,
5
1
0
9
1
,
5
4
3
1
1
0
,
4
6
9
1
6
4
,
8
0
4
1
4
6
,
2
5
7
-

M
i
g
a
s

8
1
,
0
4
1
6
0
,
0
1
1
6
1
,
5
0
2
8
5
,
2
5
9
1
0
3
,
7
5
6
1
5
8
,
0
8
7
1
3
9
,
8
9
3
i
.

M
i
n
y
a
k
5
8
,
9
5
0
4
7
,
6
8
6
4
2
,
9
6
9
6
3
,
0
6
0
7
2
,
8
1
7
1
2
5
,
1
4
6
1
0
5
,
3
6
1
i
i
.

G
a
s
2
2
,
0
9
1
1
2
,
3
2
5
1
8
,
5
3
3
2
2
,
1
9
9
3
0
,
9
3
9
3
2
,
9
4
1
3
4
,
5
3
1
-

N
o
n
-
m
i
g
a
s

4
,
6
3
1
4
,
7
4
4
6
,
0
0
8
6
,
2
8
4
6
,
7
1
3
6
,
7
1
7
6
,
3
6
4
i
i
i
.

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n

U
m
u
m
2
,
3
2
0
1
,
4
5
7
1
,
9
8
2
2
,
5
4
9
3
,
1
9
2
4
,
1
1
1
3
,
5
2
3
i
v
.

K
e
h
u
t
a
n
a
n

2
,
2
4
3
3
,
1
3
0
3
,
7
1
5
3
,
4
1
2
3
,
2
4
9
2
,
4
0
9
2
,
3
5
4
v
.


P
e
r
i
k
a
n
a
n

6
8
1
5
7
3
1
2
3
2
4
2
7
2
1
9
8
4
8
7
b
.

L
a
b
a

B
U
M
N
8
,
8
3
7
9
,
7
6
0
1
2
,
6
1
7
9
,
8
1
8
1
2
,
9
6
2
2
2
,
9
7
3
1
9
,
1
0
0
c
.

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

n
o
n
-
p
a
j
a
k

l
a
i
n
-
l
a
i
n

(
P
N
B
P
)
2
0
,
5
5
0
1
3
,
9
2
5
1
8
,
7
5
4
2
1
,
1
8
5
2
2
,
7
8
6
3
9
,
1
2
9
4
5
,
5
7
0
I
I
.

H
i
b
a
h
4
7
8
0
4
6
8
2
6
2
1
,
3
0
5
1
,
8
7
3
2
,
6
6
9
B
.

P
E
N
G
E
L
U
A
R
A
N

3
4
1
,
5
6
3
3
1
5
,
6
3
4
3
7
6
,
5
0
5
4
2
6
,
7
1
5
5
0
8
,
9
3
9
6
6
9
,
8
8
1
7
6
3
,
5
7
1
I
.

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t

2
6
0
,
5
0
8
2
1
7
,
4
3
0
2
5
6
,
1
9
1
2
9
6
,
9
9
2
3
5
6
,
9
7
1
4
4
3
,
5
1
0
5
0
4
,
7
7
6
1
.

B
e
l
a
n
j
a

P
e
g
a
w
a
i



3
8
,
7
1
3
3
9
,
4
8
0
4
7
,
6
6
2
5
2
,
7
4
3
5
6
,
1
3
6
7
2
,
2
3
8
1
0
1
,
2
0
2
2
.

B
e
l
a
n
j
a

B
a
r
a
n
g
9
,
9
3
1
1
2
,
7
7
7
1
4
,
9
9
2
1
5
,
5
1
8
3
0
,
5
5
5
4
6
,
9
4
4
7
2
,
1
8
6
3
.

M
o
d
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
3
3
,
9
0
8
5
9
,
6
0
5
7
3
,
1
3
0
4
.

P
e
m
b
a
y
a
r
a
n

B
u
n
g
a
8
7
,
1
4
2
8
1
,
1
2
2
6
5
,
3
5
1
6
2
,
4
8
5
5
7
,
8
8
1
7
8
,
9
1
0
8
5
,
0
8
7

a
.

D
a
l
a
m

n
e
g
e
r
i
5
8
,
1
9
7
6
2
,
2
6
1
4
6
,
3
5
6
3
9
,
5
5
4
4
3
,
4
9
6
5
4
,
7
7
8
5
8
,
4
2
2

b
.

L
u
a
r

N
e
g
e
r
i
2
8
,
9
4
5
1
8
,
8
6
1
1
8
,
9
9
5
2
2
,
9
3
1
1
4
,
1
5
5
2
4
,
1
3
2
2
6
,
6
6
5
5
.

S
u
b
s
i
d
i
7
7
,
4
4
3
4
3
,
6
2
8
4
3
,
8
9
9
9
1
,
5
2
9
1
2
1
,
0
7
6
1
0
7
,
4
6
3
1
0
2
,
9
2
4
a
.

B
B
M
6
8
,
3
8
1
3
1
,
1
6
2
3
0
,
0
3
8
6
9
,
0
2
5
9
5
,
6
6
1
6
4
,
2
1
2
6
1
,
8
3
8
b
.

N
o
n
-
B
B
M
9
,
0
6
3
1
2
,
4
6
6
1
3
,
8
6
1
2
2
,
5
9
2
2
5
,
0
4
7
4
3
,
2
5
1
4
1
,
0
8
6
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
168
LAMPIRAN
(
R
p

m
i
l
i
a
r
)
F
Y
0
1
F
Y
0
2
F
Y
0
3
F
Y
0
4

(
L
K
P
P
)
F
Y
0
5

(
L
K
P
P
)
F
Y
0
6

(
P
r
e
l
i
m
i
n
a
r
y
)
F
Y

0
7

(
A
P
B
N
)
6
.

H
I
b
a
h
0
0
7
.

B
a
n
t
u
a
n

S
o
s
i
a
l
2
7
,
0
0
3
4
3
,
2
5
4
5
1
,
4
0
9
8
.

L
a
i
n
-
l
a
i
n
5
,
6
9
4
3
,
0
9
9
1
5
,
0
4
2
1
3
,
7
3
8
3
0
,
4
1
2
3
5
,
0
9
5
1
8
,
8
3
8
9
.

T
r
a
n
s
f
e
r

k
e

D
a
e
r
a
h
0
1
0
.

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
4
1
,
5
8
5
3
7
,
3
2
5
6
9
,
2
4
7
6
0
,
9
7
9
0
0
a
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

R
u
p
i
a
h

2
1
,
3
7
1
2
5
,
6
0
8
5
0
,
3
4
5
4
7
,
9
8
7
0
0
T
r
a
n
s
f
e
r

M
o
d
a
l

k
e

D
a
e
r
a
h
0
A
n
g
g
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t


2
1
,
3
7
1
2
5
,
6
0
8
5
0
,
3
4
5
4
7
,
9
8
7
0
b
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

P
r
o
y
e
k

d
e
n
g
a
n

P
i
n
j
a
m
a
n

A
s
i
n
g
2
0
,
2
1
4
1
1
,
7
1
7
1
8
,
9
0
2
1
2
,
9
9
2
0
I
I
.

T
T
r
a
n
s
f
e
r

k
e

D
a
e
r
a
h
8
1
,
0
5
4
9
8
,
2
0
4
1
2
0
,
3
1
4
1
2
9
,
7
2
3
1
5
1
,
9
6
8
2
2
6
,
3
7
1
2
5
8
,
7
9
5
1
.

D
a
n
a

p
e
r
i
m
b
a
n
g
a
n

8
1
,
0
5
4
9
4
,
6
5
7
1
1
1
,
0
7
0
1
2
2
,
8
6
8
1
4
4
,
7
2
6
2
2
2
,
3
2
2
2
5
0
,
3
4
3
a
.

B
a
g
i

H
a
s
i
l

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
2
0
,
0
0
8
2
4
,
8
8
4
3
1
,
3
7
0
3
6
,
7
0
0
5
1
,
1
9
7
6
5
,
1
0
7
6
8
,
4
6
1
b
.

D
a
n
a

A
l
o
k
a
s
i


U
m
u
m
6
0
,
3
4
6
6
9
,
1
5
9
7
6
,
9
7
8
8
2
,
1
3
1
8
8
,
7
6
5
1
4
5
,
6
4
9
1
6
4
,
7
8
7
c
.

D
a
n
a

A
l
o
k
a
s
i

K
h
u
s
u
s
7
0
1
6
1
3
2
,
7
2
3
4
,
0
3
6
4
,
7
6
4
1
1
,
5
6
6
1
7
,
0
9
4
2
.

D
a
n
a

o
t
o
n
o
m
i

k
h
u
s
u
s

&

p
e
n
y
e
s
u
a
i
a
n
3
,
5
4
8
9
,
2
4
4
6
,
8
5
5
7
,
2
4
3
4
,
0
4
9
8
,
4
5
2
C
.

S
A
L
D
O

P
R
I
M
E
R
4
5
,
2
4
1
6
4
,
0
1
5
3
0
,
2
4
1
3
9
,
1
3
6
4
3
,
4
9
4
4
6
,
8
2
8
4
4
,
5
7
4
D
.

S
U
R
P
L
U
S

/

D
E
F
I
S
I
T

-
4
1
,
9
0
2
-
1
7
,
1
0
7
-
3
5
,
1
0
9
-
2
3
,
3
4
9
-
1
4
,
3
8
6
-
3
2
,
0
8
1
-
4
0
,
5
1
3
E
.

P
E
M
B
I
A
Y
A
A
N

B
E
R
S
I
H
4
1
,
9
0
2
2
5
,
2
4
7
3
2
,
6
6
2
2
0
,
3
6
3
1
0
,
0
8
2
3
2
,
9
1
4
4
0
,
5
1
3
I
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i

,

n
e
t
t
o
3
1
,
4
4
5
2
5
,
1
6
4
3
2
,
1
1
5
4
8
,
8
5
3
1
9
,
1
4
5
5
2
,
2
4
4
5
5
,
0
6
8
1
.

P
e
r
b
a
n
k
a
n

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i


0
0
8
,
2
5
8
2
2
,
7
1
3
-
2
,
5
5
0
1
5
,
2
9
4
1
2
,
9
6
2
2
.

N
o
n
-
p
e
r
b
a
n
k
a
n

3
1
,
4
4
5
2
5
,
1
6
4
2
3
,
8
5
7
2
6
,
1
4
1
2
1
,
6
9
5
3
6
,
9
5
0
4
2
,
1
0
6
a
.

P
r
i
v
a
t
i
s
a
s
i
3
,
4
6
5
7
,
6
6
5
7
,
3
0
1
3
,
5
1
9
0
4
0
0
2
,
0
0
0
b
.

R
e
s
t
r
u
k
t
u
r
i
s
a
s
i

P
e
r
b
a
n
k
a
n

&

p
e
n
j
u
a
l
a
n

a
s
e
t
2
7
,
9
8
0
1
9
,
4
3
9
1
9
,
6
6
1
1
5
,
7
5
1
6
,
5
6
4
2
,
6
8
4
1
,
5
0
0
c
.

P
e
n
j
u
a
l
a
n

o
b
l
i
g
a
s
i

0
-
1
,
9
3
9
-
3
,
1
0
5
6
,
8
7
0
2
2
,
5
7
5
3
5
,
8
6
7
4
0
,
6
0
6
i
.

S
u
r
a
t

U
t
a
n
g

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

(
t
e
r
m
a
s
u
k

O
b
l
i
g
a
s
i

I
n
t

l
)
0
1
,
9
9
1
1
1
,
3
1
9
3
2
,
3
2
7
4
7
,
3
7
3
6
9
,
1
0
4
i
i
.

A
m
o
r
t
i
s
a
s
i

h
u
t
a
n
g

d
a
l
a
m

n
e
g
e
r
i


0
-
3
,
9
3
1
-
6
,
1
6
6
-
2
4
,
4
5
7
-
1
9
,
6
9
2
-
2
8
,
4
9
8
i
i
i
.

B
e
l
i

k
e
m
b
a
l
i
-
8
,
2
5
8
-
1
,
0
0
0
-
5
,
6
7
3
0
d
.

F
a
s
i
l
i
t
a
s

M
o
r
t
g
a
g
e

/
p
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i

m
o
d
a
l

-
7
,
4
4
4
-
2
,
0
0
0
-
2
,
0
0
0
I
I
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

L
u
a
r

N
e
g
e
r
i
,

n
e
t
t
o
1
0
,
4
5
7
8
3
5
4
8
-
2
8
,
4
9
0
-
9
,
0
6
2
-
1
9
,
3
3
0
-
1
4
,
5
5
5
1
.

P
i
n
j
a
m
a
n

L
u
a
r

N
e
g
e
r
i
2
6
,
3
4
2
1
8
,
8
8
7
2
0
,
3
6
0
1
8
,
0
0
1
2
8
,
0
5
0
3
3
,
3
9
2
4
0
,
2
7
5
a
.

P
i
n
j
a
m
a
n

P
r
o
g
r
a
m
6
,
4
1
6
7
,
1
7
0
1
,
7
9
2
5
,
0
5
9
1
2
,
2
6
5
1
3
,
5
8
0
1
6
,
2
7
5
b
.

P
i
n
j
a
m
a
n

P
r
o
y
e
k
1
9
,
9
2
6
1
1
,
7
1
7
1
8
,
5
6
8
1
2
,
9
4
2
1
5
,
7
8
5
1
9
,
8
1
3
2
4
,
0
0
0
2
.

A
m
o
r
t
i
s
a
s
i
-
1
5
,
8
8
5
-
1
8
,
8
0
4
-
1
9
,
8
1
2
-
4
6
,
4
9
1
-
3
7
,
1
1
2
-
5
2
,
7
2
2
-
5
4
,
8
3
0
F
.

P
E
M
B
I
A
Y
A
A
N

K
O
T
O
R
5
7
,
7
8
6
3
9
,
8
4
1
6
9
,
3
4
5
9
5
,
2
9
6
7
6
,
8
6
4
8
4
,
8
0
3
1
2
3
,
8
4
1
S
u
m
b
e
r
:

p
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

S
I
K
D

d
a
n

d
a
t
a

d
a
r
i

D
e
p
K
e
u
.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
169
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
7
.

R
e
a
l
i
s
a
s
i

A
n
g
g
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t



(
%

G
D
P
)
F
Y
0
1
(
%
)
F
Y
0
2
(
%
)
F
Y
0
3
(
%
)
F
Y
0
4

(
L
K
P
P
)
(
%
)
F
Y
0
5

(
L
K
P
P
)
(
%
)
F
Y
0
6

(
P
r
e
l
i
m
i
n
a
r
y
)
(
%
)
F
Y

0
7

(
A
P
B
N
)
(
%
)
A
.

P
E
N
D
A
P
A
T
A
N

N
E
G
A
R
A

&

H
I
B
A
H
1
7
.
8
1
6
.
0
1
6
.
7
1
7
.
7
1
8
.
1
2
0
.
7
2
0
.
5
I
.

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i


1
7
.
8
1
6
.
0
1
6
.
7
1
7
.
7
1
8
.
1
2
0
.
7
2
0
.
4
1
.
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

p
a
j
a
k
1
0
.
9
1
1
.
3
1
1
.
8
1
2
.
3
1
2
.
7
1
3
.
3
1
4
.
4
a
.

P
a
j
a
k

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i


1
0
.
4
1
0
.
7
1
1
.
3
1
1
.
8
1
2
.
2
1
2
.
9
1
4
.
0
i
.

P
a
j
a
k

P
e
n
g
h
a
s
i
l
a
n

5
.
6
5
.
5
5
.
6
5
.
3
6
.
4
6
.
8
7
.
4
-

N
o
n
-
M
i
n
y
a
k

&

g
a
s

4
.
2
4
.
5
4
.
7
4
.
2
5
.
1
5
.
4
6
.
2
-

M
i
n
y
a
k

&

g
a
s

1
.
4
0
.
9
0
.
9
1
.
0
1
.
3
1
.
4
1
.
2
i
i
.


P
a
j
a
k

P
e
n
j
u
a
l
a
n

(
V
A
T
)
3
.
3
3
.
5
3
.
8
4
.
5
3
.
7
4
.
0
4
.
6
i
i
i
.

P
a
j
a
k

B
u
m
i

d
a
n

B
a
n
g
u
n
a
n

0
.
3
0
.
3
0
.
4
0
.
5
0
.
6
0
.
7
0
.
6
i
v
.

B
e
a

B
a
l
i
k

N
a
m
a

T
a
n
a
h

d
a
n

B
a
n
g
u
n
a
n
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
2
v
.

C
u
k
a
i

1
.
0
1
.
2
1
.
3
1
.
3
1
.
2
1
.
2
1
.
2
v
i
.


P
a
j
a
k

l
a
i
n
-
l
a
i
n
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
b
.

P
a
j
a
k

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n

I
n
t
e
r
n
a
s
i
o
n
a
l

0
.
6
0
.
6
0
.
5
0
.
6
0
.
6
0
.
4
0
.
4
i
.

P
a
j
a
k

I
m
p
o
r
0
.
5
0
.
6
0
.
5
0
.
5
0
.
5
0
.
4
0
.
4
i
i
.

P
a
j
a
k

E
k
s
p
o
r

0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
2
.

P
e
n
e
r
i
m
a
a
n

N
o
n
-
P
a
j
a
k

6
.
8
4
.
7
4
.
8
5
.
4
5
.
4
7
.
4
6
.
0
a
.

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

d
a
r
i

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
l
a
m
5
.
1
3
.
5
3
.
3
4
.
0
4
.
0
5
.
4
4
.
1
-

M
i
g
a
s

4
.
8
3
.
2
3
.
0
3
.
8
3
.
8
5
.
1
4
.
0
i
.

M
i
n
y
a
k
3
.
5
2
.
6
2
.
1
2
.
8
2
.
7
4
.
1
3
.
0
i
i
.

G
a
s
1
.
3
0
.
7
0
.
9
1
.
0
1
.
1
1
.
1
1
.
0
-

N
o
n
-
m
i
g
a
s

0
.
3
0
.
3
0
.
3
0
.
3
0
.
2
0
.
2
0
.
2
i
i
i
.

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n

U
m
u
m
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
0
.
1
i
v
.

K
e
h
u
t
a
n
a
n

0
.
1
0
.
2
0
.
2
0
.
2
0
.
1
0
.
1
0
.
1
v
.


P
e
r
i
k
a
n
a
n

0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
b
.

L
a
b
a

B
U
M
N
0
.
5
0
.
5
0
.
6
0
.
4
0
.
5
0
.
7
0
.
5
c
.

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

n
o
n
-
p
a
j
a
k

l
a
i
n
-
l
a
i
n

(
P
N
B
P
)
1
.
2
0
.
7
0
.
9
0
.
9
0
.
8
1
.
3
1
.
3
I
I
.

H
i
b
a
h
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
0
0
.
1
0
.
1
B
.

P
E
N
G
E
L
U
A
R
A
N
2
0
.
3
1
6
.
9
1
8
.
4
1
8
.
8
1
8
.
6
2
1
.
8
2
1
.
6
I
.

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t

1
5
.
5
1
1
.
7
1
2
.
5
1
3
.
1
1
3
.
1
1
4
.
4
1
4
.
3
1
.

B
e
l
a
n
j
a

P
e
g
a
w
a
i



2
.
3
2
.
1
2
.
3
2
.
3
2
.
1
2
.
3
2
.
9
2
.

B
e
l
a
n
j
a

B
a
r
a
n
g
0
.
6
0
.
7
0
.
7
0
.
7
1
.
1
1
.
5
2
.
0
3
.

M
o
d
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
1
.
2
1
.
9
2
.
1
4
.

P
e
m
b
a
y
a
r
a
n

B
u
n
g
a
5
.
2
4
.
4
3
.
2
2
.
7
2
.
1
2
.
6
2
.
4

a
.

D
a
l
a
m

n
e
g
e
r
i
3
.
5
3
.
3
2
.
3
1
.
7
1
.
6
1
.
8
1
.
7

b
.

L
u
a
r

N
e
g
e
r
i
1
.
7
1
.
0
0
.
9
1
.
0
0
.
5
0
.
8
0
.
8
5
.

S
u
b
s
i
d
i
4
.
6
2
.
3
2
.
1
4
.
0
4
.
4
3
.
5
2
.
9
a
.

B
B
M
4
.
1
1
.
7
1
.
5
3
.
0
3
.
5
2
.
1
1
.
8
b
.

N
o
n
-
B
B
M
0
.
5
0
.
7
0
.
7
1
.
0
0
.
9
1
.
4
1
.
2
6
.

H
I
b
a
h
0
.
0
0
.
0
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
170
LAMPIRAN
(
%

G
D
P
)
F
Y
0
1
(
%
)
F
Y
0
2
(
%
)
F
Y
0
3
(
%
)
F
Y
0
4

(
L
K
P
P
)
(
%
)
F
Y
0
5

(
L
K
P
P
)
(
%
)
F
Y
0
6

(
P
r
e
l
i
m
i
n
a
r
y
)
(
%
)
F
Y

0
7

(
A
P
B
N
)
(
%
)
7
.

B
a
n
t
u
a
n

S
o
s
i
a
l
1
.
0
1
.
4
1
.
5
8
.

L
a
i
n
-
l
a
i
n
0
.
3
0
.
2
0
.
7
0
.
6
1
.
1
1
.
1
0
.
5
9
.

T
r
a
n
s
f
e
r

k
e

D
a
e
r
a
h
1
0
.

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
2
.
5
2
.
0
3
.
4
2
.
7
0
.
0
0
.
0
a
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

R
u
p
i
a
h

1
.
3
1
.
4
2
.
5
2
.
1
0
.
0
0
.
0
T
r
a
n
s
f
e
r

M
o
d
a
l

k
e

D
a
e
r
a
h
0
.
0
A
n
g
g
a
r
a
n

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t


1
.
3
1
.
4
2
.
5
2
.
1
0
.
0
b
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

P
r
o
y
e
k

d
n
g

P
i
n
j
a
m
a
n

A
s
i
n
g
1
.
2
0
.
6
0
.
9
0
.
6
0
.
0
I
I
.

T
T
r
a
n
s
f
e
r

k
e

D
a
e
r
a
h
4
.
8
5
.
3
5
.
9
5
.
7
5
.
6
7
.
4
7
.
3
1
.

D
a
n
a

p
e
r
i
m
b
a
n
g
a
n

4
.
8
5
.
1
5
.
4
5
.
4
5
.
3
7
.
2
7
.
1
a
.

B
a
g
i

H
a
s
i
l

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
1
.
2
1
.
3
1
.
5
1
.
6
1
.
9
2
.
1
1
.
9
b
.

D
a
n
a

A
l
o
k
a
s
i


U
m
u
m
3
.
6
3
.
7
3
.
8
3
.
6
3
.
3
4
.
7
4
.
7
c
.

D
a
n
a

A
l
o
k
a
s
i

K
h
u
s
u
s
0
.
0
0
.
0
0
.
1
0
.
2
0
.
2
0
.
4
0
.
5
2
.

D
a
n
a

o
t
o
n
o
m
i

k
h
u
s
u
s

&

p
e
n
y
e
s
u
a
i
a
n
0
.
2
0
.
5
0
.
3
0
.
3
0
.
1
0
.
2
C
.

S
A
L
D
O

P
R
I
M
E
R
2
.
7
3
.
4
1
.
5
1
.
7
1
.
6
1
.
5
1
.
3
D
.

S
U
R
P
L
U
S

/

D
E
F
I
S
I
T

-
2
.
5
-
0
.
9
-
1
.
7
-
1
.
0
-
0
.
5
-
1
.
0
-
1
.
1
E
.

P
E
M
B
I
A
Y
A
A
N

B
E
R
S
I
H
2
.
5
1
.
4
1
.
6
0
.
9
0
.
4
1
.
1
1
.
1
I
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i

,

n
e
t
t
o
1
.
9
1
.
4
1
.
6
2
.
1
0
.
7
1
.
7
1
.
6
1
.

P
e
r
b
a
n
k
a
n

D
a
l
a
m

N
e
g
e
r
i


0
.
0
0
.
0
0
.
4
1
.
0
-
0
.
1
0
.
5
0
.
4
2
.

N
o
n
-
p
e
r
b
a
n
k
a
n

1
.
9
1
.
4
1
.
2
1
.
1
0
.
8
1
.
2
1
.
2
a
.

P
r
i
v
a
t
i
s
a
s
i
0
.
2
0
.
4
0
.
4
0
.
2
0
.
0
0
.
0
0
.
1
b
.

R
e
s
t
r
u
k
t
u
r
i
s
a
s
i

P
e
r
b
a
n
k
a
n

&

p
e
n
j
u
a
l
a
n

a
s
e
t
1
.
7
1
.
0
1
.
0
0
.
7
0
.
2
0
.
1
0
.
0
c
.

P
e
n
j
u
a
l
a
n

o
b
l
i
g
a
s
i

0
.
0
-
0
.
1
-
0
.
2
0
.
3
0
.
8
1
.
2
1
.
1
i
.

S
u
r
a
t

U
t
a
n
g

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

(
t
e
r
m
a
s
u
k

O
b
l
i
g
a
s
i

I
n
t

l
)
0
.
0
0
.
1
0
.
6
1
.
4
1
.
7
2
.
0
i
i
.

A
m
o
r
t
i
s
a
s
i

h
u
t
a
n
g

d
a
l
a
m

n
e
g
e
r
i


0
.
0
-
0
.
2
-
0
.
3
-
1
.
1
-
0
.
7
-
0
.
8
i
i
i
.

B
e
l
i

k
e
m
b
a
l
i
-
0
.
4
0
.
0
-
0
.
2
0
.
0
d
.

F
a
s
i
l
i
t
a
s

M
o
r
t
g
a
g
e

/
p
a
r
t
i
s
i
p
a
s
i

m
o
d
a
l

-
0
.
3
-
0
.
1
-
0
.
1
I
I
.

P
e
m
b
i
a
y
a
a
n

L
u
a
r

N
e
g
e
r
i
,

n
e
t
t
o
0
.
6
0
.
0
0
.
0
-
1
.
3
-
0
.
3
-
0
.
6
-
0
.
4
1
.

P
i
n
j
a
m
a
n

L
u
a
r

N
e
g
e
r
i
1
.
6
1
.
0
1
.
0
0
.
8
1
.
0
1
.
1
1
.
1
a
.

P
i
n
j
a
m
a
n

P
r
o
g
r
a
m
0
.
4
0
.
4
0
.
1
0
.
2
0
.
4
0
.
4
0
.
5
b
.

P
i
n
j
a
m
a
n

P
r
o
y
e
k
1
.
2
0
.
6
0
.
9
0
.
6
0
.
6
0
.
6
0
.
7
2
.

A
m
o
r
t
i
s
a
s
i
-
0
.
9
-
1
.
0
-
1
.
0
-
2
.
0
-
1
.
4
-
1
.
7
-
1
.
6
F
.

P
E
M
B
I
A
Y
A
A
N

K
O
T
O
R
3
.
4
2
.
1
3
.
4
4
.
2
2
.
8
2
.
8
3
.
5
S
u
m
b
e
r
:

p
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

S
I
K
D

d
a
n

d
a
t
a

d
a
r
i

D
e
p
K
e
u
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
171
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
8
.

A
n
g
g
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t
,

P
r
o
v
i
n
s
i
,

d
a
n

K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a
(
R
p

m
i
l
y
a
r
)
1
9
9
4
1
9
9
5
1
9
9
6
1
9
9
7
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5

(
E
)
2
0
0
6

(
P
)
2
0
0
7

(
P
)
I
.

P
E
M
E
R
I
N
T
A
H

P
U
S
A
T

P
e
n
e
r
i
m
a
a
n

1
6
4
,
4
1
2
7
0
,
8
5
2
8
7
,
6
3
0
1
1
2
,
2
7
5
1
4
6
,
8
7
2
2
0
4
,
4
2
2
2
0
5
,
3
3
5
2
9
9
,
6
6
1
2
9
8
,
5
2
8
3
4
1
,
3
9
6
4
0
0
,
5
8
9
4
9
5
,
4
4
6



6
3
7
,
7
9
9




7
2
3
,
0
5
8

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
2
6
2
,
5
0
1
6
5
,
3
4
1
8
2
,
2
2
0
1
0
9
,
3
0
1
1
7
2
,
6
7
0
2
0
1
,
9
4
3
1
8
8
,
3
9
1
3
4
1
,
5
6
3
3
1
5
,
5
2
9
3
7
6
,
5
0
5
4
2
3
,
9
7
5
5
0
8
,
9
3
8



6
6
9
,
8
8
0




7
6
3
,
5
7
1






T
r
a
n
s
f
e
r

k
e

D
a
e
r
a
h
3
2
0
,
2
9
5
2
0
,
9
2
6
2
4
,
6
9
8
2
8
,
4
3
6
4
0
,
2
2
5
4
2
,
3
8
7
5
0
,
1
3
9
8
1
,
0
5
4
9
8
,
2
0
4
1
2
0
,
3
1
4
1
3
0
,
0
4
5
1
5
1
,
9
6
8



2
2
6
,
3
7
1




2
5
8
,
7
9
5






P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

S
e
n
d
i
r
i
4
4
2
,
2
0
6
4
4
,
4
1
5
5
7
,
5
2
2
8
0
,
8
6
6
1
3
2
,
4
4
5
1
5
9
,
5
5
6
1
3
8
,
2
5
3
2
6
0
,
5
0
8
2
1
7
,
3
2
5
2
5
6
,
1
9
1
2
9
3
,
9
3
0
3
5
6
,
9
7
0



4
4
3
,
5
0
9




5
0
4
,
7
7
6

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
5
1
9
,
6
8
3
2
2
,
9
8
9
3
0
,
6
2
5
5
3
,
0
7
9
9
0
,
8
7
8
1
1
4
,
3
6
9
1
1
2
,
4
3
8
2
1
8
,
9
2
3
1
8
0
,
1
0
6
1
8
6
,
9
4
4
2
3
2
,
9
5
1
2
9
6
,
0
5
9



3
4
0
,
6
5
0




3
7
7
,
2
7
7

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
6
2
2
,
5
2
3
2
1
,
4
2
6
2
6
,
8
9
7
2
7
,
7
8
7
4
1
,
5
6
7
4
5
,
1
8
7
2
5
,
8
1
5
4
1
,
5
8
5
3
7
,
2
2
0
6
9
,
2
4
7
6
0
,
9
7
9
6
0
,
9
1
1



1
0
2
,
8
6
0




1
2
7
,
4
9
9

S
a
l
d
o
7
1
,
9
1
1
5
,
5
1
1
5
,
4
1
0
2
,
9
7
4
-
2
5
,
7
9
8
2
,
4
7
9
1
6
,
9
4
4
-
4
1
,
9
0
2
-
1
7
,
0
0
1
-
3
5
,
1
0
9
-
2
3
,
3
8
6
-
1
3
,
4
9
2




(
3
2
,
0
8
1
)




(
4
0
,
5
1
3
)







I
I
.

P
R
O
V
I
N
S
I







P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
8
9
,
0
0
5
1
0
,
2
5
8
1
1
,
3
5
4
1
2
,
0
9
3
8
,
5
8
6
1
1
,
6
9
3
8
,
8
3
0
2
5
,
4
8
5
3
2
,
9
7
2
3
9
,
7
0
3
4
6
,
0
0
1




5
4
,
2
5
4






7
5
,
5
7
8






8
3
,
8
4
8






T
r
a
n
s
f
e
r
s

d
a
r
i

p
u
s
a
t
9
6
,
0
0
0
6
,
4
0
9
7
,
0
4
3
7
,
4
4
5
5
,
4
9
2
7
,
3
2
4
5
,
8
6
3
1
4
,
4
4
7
1
6
,
6
0
7
1
8
,
8
4
3
1
9
,
8
2
3
2
3
,
1
6
5





3
4
,
5
0
6






3
9
,
4
4
8






P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

A
s
l
i
1
0
3
,
0
0
5
3
,
8
4
9
4
,
3
1
1
4
,
6
4
8
3
,
0
9
4
4
,
3
6
9
2
,
9
6
7
1
1
,
0
3
8
1
6
,
3
6
5
2
0
,
8
6
1
2
6
,
1
7
8
3
1
,
0
8
9





4
1
,
0
7
2






4
4
,
4
0
0

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
1
1
8
,
9
8
6
1
0
,
6
0
0
1
2
,
3
8
4
1
2
,
8
9
5
8
,
0
0
3
1
1
,
5
6
2
7
,
7
3
9
2
3
,
1
0
9
3
2
,
2
5
2
3
9
,
7
5
1
4
3
,
3
3
5
5
1
,
1
0
9





7
1
,
1
9
8






7
8
,
9
8
9






T
r
a
n
s
f
e
r

k
e

p
e
m
e
r
i
n
t
a
h

b
a
w
a
h
a
n
1
2
0
0
0
0
0
0
0
2
,
4
5
8
3
,
0
2
9
5
,
8
5
4
1
0
,
9
3
0
0













-














-








P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

s
e
n
d
i
r
i
1
3
8
,
9
8
6
1
0
,
6
0
0
1
2
,
3
8
4
1
2
,
8
9
5
8
,
0
0
3
1
1
,
5
6
2
7
,
7
3
9
2
0
,
6
5
1
2
9
,
2
2
2
3
3
,
8
9
7
3
2
,
4
0
4
3
8
,
2
1
8





5
3
,
2
4
0






5
9
,
0
6
5

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
1
4
5
,
9
3
8
6
,
7
6
0
7
,
5
8
1
8
,
0
4
4
4
,
7
7
9
6
,
7
3
9
3
,
7
4
8
1
2
,
2
0
8
1
4
,
5
3
0
1
3
,
1
6
0
1
2
,
8
7
3
1
5
,
1
8
3





2
1
,
1
5
1






2
3
,
4
6
5

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

1
5
3
,
0
4
8
3
,
8
4
0
4
,
8
0
3
4
,
8
5
1
3
,
2
2
4
4
,
8
2
3
3
,
9
9
1
8
,
4
4
3
1
4
,
6
9
3
2
0
,
7
3
8
1
9
,
5
3
1
2
3
,
0
3
5





3
2
,
0
8
9






3
5
,
6
0
0

S
a
l
d
o
1
6
1
9
-
3
4
2
-
1
,
0
3
0
-
8
0
2
5
8
3
1
3
0
1
,
0
9
1
2
,
3
7
5
7
2
0
-
4
8
2
,
6
6
6










I
I
I
.

K
A
B
U
P
A
T
E
N
/
K
O
T
A







P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
1
7
9
,
6
6
9
1
1
,
3
0
7
1
3
,
1
3
6
1
5
,
4
7
1
2
0
,
8
2
8
2
7
,
1
5
3
2
7
,
1
0
2
7
8
,
6
9
9
9
3
,
3
8
1
1
1
5
,
2
3
6
1
2
2
,
1
2
1


1
4
4
,
3
0
2




2
0
6
,
8
4
3




2
3
6
,
4
7
9






T
r
a
n
s
f
e
r
s

d
a
r
i

p
u
s
a
t
1
8
8
,
3
8
8
9
,
7
1
8
1
1
,
2
6
0
1
3
,
3
7
4
1
8
,
4
0
4
2
4
,
0
8
2
2
4
,
1
1
8
7
0
,
6
0
9
8
1
,
2
1
7
9
7
,
1
5
3
1
0
1
,
9
3
5
1
1
9
,
1
1
9



1
7
7
,
4
4
0




2
0
2
,
8
5
5






P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

A
s
l
i
1
9
1
,
2
8
0
1
,
5
8
9
1
,
8
7
6
2
,
0
9
7
2
,
4
2
3
3
,
0
7
1
2
,
9
8
4
8
,
0
8
9
1
2
,
1
6
4
1
8
,
0
8
3
2
0
,
1
8
6
2
5
,
1
8
3





2
9
,
4
0
4






3
3
,
6
2
5

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
2
0
9
,
7
0
1
1
1
,
4
3
2
1
3
,
2
9
5
1
5
,
6
4
9
2
0
,
2
3
3
2
7
,
2
0
3
2
9
,
5
8
1
7
1
,
6
2
5
8
9
,
8
8
8
1
1
5
,
2
7
9
1
1
8
,
9
5
9
1
4
0
,
5
6
6



2
0
1
,
4
8
7




2
3
0
,
3
5
6

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
2
1
5
,
0
2
7
6
,
1
7
9
7
,
2
8
9
8
,
7
3
2
1
3
,
6
9
0
1
8
,
6
9
5
1
8
,
7
7
7
4
9
,
1
7
0
5
8
,
7
3
8
7
2
,
1
2
8
7
9
,
1
1
5
9
3
,
4
8
5



1
3
4
,
0
0
2




1
5
3
,
2
0
1

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

2
2
4
,
6
7
4
5
,
2
5
2
6
,
0
0
7
6
,
9
1
7
6
,
5
4
3
8
,
5
0
8
1
0
,
8
0
4
2
2
,
4
5
4
3
1
,
1
5
0
4
3
,
1
5
1
3
9
,
8
4
4
4
7
,
0
8
1





6
7
,
4
8
6






7
7
,
1
5
5

S
a
l
d
o
2
3
-
3
2
-
1
2
4
-
1
5
9
-
1
7
8
5
9
5
-
5
0
-
2
,
4
7
9
7
,
0
7
4
3
,
4
9
3
-
4
4
3
,
1
6
2
3
,
7
3
7







5
,
3
5
6








6
,
1
2
3

1
8
,
6
8
6
2
2
,
0
3
1
2
5
,
6
8
0
2
8
,
5
4
4
2
8
,
2
3
6
3
8
,
7
6
6
3
7
,
3
2
0
9
4
,
7
3
4
1
2
2
,
1
3
9
1
5
5
,
0
3
1
1
6
2
,
2
9
3
1
9
1
,
6
7
5



2
7
2
,
6
8
5




3
0
9
,
3
4
5

I
V
.

A
G
R
E
G
A
T

A
N
G
G
A
R
A
N








P
e
n
d
a
p
a
t
a
n







P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
1
6
8
,
6
9
7
7
6
,
2
9
0
9
3
,
8
1
8
1
1
9
,
0
2
0
1
5
2
,
3
8
9
2
1
1
,
8
6
2
2
1
1
,
2
8
5
3
1
8
,
7
8
8
3
2
7
,
0
5
7
3
8
0
,
3
3
9
4
4
6
,
9
5
3
5
5
1
,
7
1
9



7
0
8
,
2
7
5




8
0
1
,
0
8
3

P
r
o
v
i
n
s
i
1
0
6
4
,
4
1
2
7
0
,
8
5
2
8
7
,
6
3
0
1
1
2
,
2
7
5
1
4
6
,
8
7
2
2
0
4
,
4
2
2
2
0
5
,
3
3
5
2
9
9
,
6
6
1
2
9
8
,
5
2
8
3
4
1
,
3
9
6
4
0
0
,
5
8
9
4
9
5
,
4
4
6



6
3
7
,
7
9
9




7
2
3
,
0
5
8

K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
1
9
3
,
0
0
5
3
,
8
4
9
4
,
3
1
1
4
,
6
4
8
3
,
0
9
4
4
,
3
6
9
2
,
9
6
7
1
1
,
0
3
8
1
6
,
3
6
5
2
0
,
8
6
1
2
6
,
1
7
8
3
1
,
0
8
9





4
1
,
0
7
2






4
4
,
4
0
0

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
1
,
2
8
0
1
,
5
8
9
1
,
8
7
6
2
,
0
9
7
2
,
4
2
3
3
,
0
7
1
2
,
9
8
4
8
,
0
8
9
1
2
,
1
6
4
1
8
,
0
8
3
2
0
,
1
8
6
2
5
,
1
8
3





2
9
,
4
0
4






3
3
,
6
2
5

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
6
0
,
8
9
3
6
6
,
4
4
6
8
3
,
2
0
1
1
0
9
,
4
0
9
1
6
0
,
6
8
1
1
9
8
,
3
2
2
1
7
5
,
5
7
2
3
5
2
,
7
8
4
3
3
6
,
4
3
5
4
0
5
,
3
6
8
4
4
5
,
2
9
3
5
3
5
,
7
5
4



6
9
8
,
2
3
7




7
9
4
,
1
9
8

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
3
0
,
6
4
7
3
5
,
9
2
8
4
5
,
4
9
4
6
9
,
8
5
4
1
0
9
,
3
4
7
1
3
9
,
8
0
4
1
3
4
,
9
6
2
2
8
0
,
3
0
2
2
5
3
,
3
7
3
2
7
2
,
2
3
2
3
2
4
,
9
3
9
4
0
4
,
7
2
7



4
9
5
,
8
0
2




5
5
3
,
9
4
4

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
4
3
0
,
2
4
5
3
0
,
5
1
8
3
7
,
7
0
7
3
9
,
5
5
5
5
1
,
3
3
3
5
8
,
5
1
8
4
0
,
6
1
0
7
2
,
4
8
2
8
3
,
0
6
2
1
3
3
,
1
3
6
1
2
0
,
3
5
4
1
3
1
,
0
2
7



2
0
2
,
4
3
4




2
4
0
,
2
5
4

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
172
LAMPIRAN
(
R
p

m
i
l
y
a
r
)
1
9
9
4
1
9
9
5
1
9
9
6
1
9
9
7
1
9
9
8
1
9
9
9
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5

(
E
)
2
0
0
6

(
P
)
2
0
0
7

(
P
)
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
5
4
2
,
2
0
6
4
4
,
4
1
5
5
7
,
5
2
2
8
0
,
8
6
6
1
3
2
,
4
4
5
1
5
9
,
5
5
6
1
3
8
,
2
5
3
2
6
0
,
5
0
8
2
1
7
,
3
2
5
2
5
6
,
1
9
1
2
9
3
,
9
3
0
3
5
6
,
9
7
0



4
4
3
,
5
0
9




5
0
4
,
7
7
6

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

6
1
9
,
6
8
3
2
2
,
9
8
9
3
0
,
6
2
5
5
3
,
0
7
9
9
0
,
8
7
8
1
1
4
,
3
6
9
1
1
2
,
4
3
8
2
1
8
,
9
2
3
1
8
0
,
1
0
6
1
8
6
,
9
4
4
2
3
2
,
9
5
1
2
9
6
,
0
5
9



3
4
0
,
6
5
0




3
7
7
,
2
7
7

P
r
o
v
i
n
s
i
1
3
2
2
,
5
2
3
2
1
,
4
2
6
2
6
,
8
9
7
2
7
,
7
8
7
4
1
,
5
6
7
4
5
,
1
8
7
2
5
,
8
1
5
4
1
,
5
8
5
3
7
,
2
2
0
6
9
,
2
4
7
6
0
,
9
7
9
6
0
,
9
1
1



1
0
2
,
8
6
0




1
2
7
,
4
9
9

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
1
4
8
,
9
8
6
1
0
,
6
0
0
1
2
,
3
8
4
1
2
,
8
9
5
8
,
0
0
3
1
1
,
5
6
2
7
,
7
3
9
2
0
,
6
5
1
2
9
,
2
2
2
3
3
,
8
9
7
3
2
,
4
0
4
3
8
,
2
1
8





5
3
,
2
4
0






5
9
,
0
6
5

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

1
5
5
,
9
3
8
6
,
7
6
0
7
,
5
8
1
8
,
0
4
4
4
,
7
7
9
6
,
7
3
9
3
,
7
4
8
1
2
,
2
0
8
1
4
,
5
3
0
1
3
,
1
6
0
1
2
,
8
7
3
1
5
,
1
8
3





2
1
,
1
5
1






2
3
,
4
6
5

K
a
b
u
p
a
t
e
n
2
0
3
,
0
4
8
3
,
8
4
0
4
,
8
0
3
4
,
8
5
1
3
,
2
2
4
4
,
8
2
3
3
,
9
9
1
8
,
4
4
3
1
4
,
6
9
3
2
0
,
7
3
8
1
9
,
5
3
1
2
3
,
0
3
5





3
2
,
0
8
9






3
5
,
6
0
0

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
2
1
9
,
7
0
1
1
1
,
4
3
2
1
3
,
2
9
5
1
5
,
6
4
9
2
0
,
2
3
3
2
7
,
2
0
3
2
9
,
5
8
1
7
1
,
6
2
5
8
9
,
8
8
8
1
1
5
,
2
7
9
1
1
8
,
9
5
9
1
4
0
,
5
6
6



2
0
1
,
4
8
7




2
3
0
,
3
5
6

-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

2
2
5
,
0
2
7
6
,
1
7
9
7
,
2
8
9
8
,
7
3
2
1
3
,
6
9
0
1
8
,
6
9
5
1
8
,
7
7
7
4
9
,
1
7
0
5
8
,
7
3
8
7
2
,
1
2
8
7
9
,
1
1
5
9
3
,
4
8
5



1
3
4
,
0
0
2




1
5
3
,
2
0
1

S
a
l
d
o
4
,
6
7
4
5
,
2
5
2
6
,
0
0
7
6
,
9
1
7
6
,
5
4
3
8
,
5
0
8
1
0
,
8
0
4
2
2
,
4
5
4
3
1
,
1
5
0
4
3
,
1
5
1
3
9
,
8
4
4
4
7
,
0
8
1





6
7
,
4
8
6






7
7
,
1
5
5

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
7
,
8
0
5
9
,
8
4
4
1
0
,
6
1
6
9
,
6
1
1
-
8
,
2
9
2
1
3
,
5
4
0
3
5
,
7
1
3
-
3
3
,
9
9
6
-
9
,
3
7
8
-
2
5
,
0
2
8
3
,
1
6
2
3
,
7
3
7







5
,
3
5
6








6
,
1
2
3

P
r
o
v
i
n
s
i
2
2
,
2
0
6
2
6
,
4
3
8
3
0
,
1
0
9
3
1
,
4
1
0
1
4
,
4
2
7
4
4
,
8
6
6
6
7
,
0
8
2
3
9
,
1
5
3
8
1
,
2
0
3
8
5
,
2
0
5
1
0
6
,
6
5
9
1
3
8
,
4
7
6



1
9
4
,
2
9
0




2
1
8
,
2
8
2

K
a
b
u
p
a
t
e
n
-
5
,
9
8
1
-
6
,
7
5
1
-
8
,
0
7
3
-
8
,
2
4
7
-
4
,
9
0
9
-
7
,
1
9
4
-
4
,
7
7
2
-
9
,
6
1
3
-
1
2
,
8
5
8
-
1
3
,
0
3
7
-
6
,
2
2
6
-
7
,
1
2
9




(
1
2
,
1
6
7
)




(
1
4
,
6
6
5
)
S
u
m
b
e
r
:

p
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

d
a
r
i

D
e
p
K
e
u
.
T
a
b
e
l


C
.
9
.

A
n
g
g
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t
,

P
r
o
v
i
n
s
i
,

d
a
n

K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a

P
e
m
b
a
g
i
a
n
1
9
9
4
(
%
)
1
9
9
5
(
%
)
1
9
9
6
(
%
)
1
9
9
7
(
%
)
1
9
9
8
(
%
)
1
9
9
9
(
%
)
2
0
0
0

(
%
)
2
0
0
1
(
%
)
2
0
0
2
(
%
)
2
0
0
3
(
%
)
2
0
0
4
(
%
)
2
0
0
5

(
E
)
(
%
)
2
0
0
6

(
P
)
(
%
)
2
0
0
7

(
P
)
(
%
)
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
-

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
9
4
9
3
9
3
9
4
9
6
9
6
9
7
9
4
9
1
9
0
9
0
9
0
9
0
9
0
-

P
r
o
v
i
n
s
i
4
5
5
4
2
2
1
3
5
5
6
6
6
6
-

K
a
b
u
p
a
t
e
n
2
2
2
2
2
1
1
3
4
5
5
5
4
4
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
-

R
u
t
i
n

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
5
0
5
4
5
5
6
4
6
8
7
0
7
7
7
9
7
5
6
7
7
3
7
6
7
1
7
0
-

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
5
0
4
6
4
5
3
6
3
2
3
0
2
3
2
1
2
5
3
3
2
7
2
4
2
9
3
0
P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
6
9
6
7
6
9
7
4
8
2
8
0
7
9
7
4
6
5
6
3
6
6
6
7
6
4
6
4
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
3
2
3
5
3
7
4
9
5
7
5
8
6
4
6
2
5
4
4
6
5
2
5
5
4
9
4
8
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
3
7
3
2
3
2
2
5
2
6
2
3
1
5
1
2
1
1
1
7
1
4
1
1
1
5
1
6
P
r
o
v
i
n
s
i
1
5
1
6
1
5
1
2
5
6
4
6
9
8
7
7
8
7
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
1
0
1
0
9
7
3
3
2
3
4
3
3
3
3
3
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
5
6
6
4
2
2
2
2
4
5
4
4
5
4
K
a
b
u
p
a
t
e
n
1
6
1
7
1
6
1
4
1
3
1
4
1
7
2
0
2
7
2
8
2
7
2
6
2
9
2
9
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
8
9
9
8
9
9
1
1
1
4
1
7
1
8
1
8
1
7
1
9
1
9
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
8
8
7
6
4
4
6
6
9
1
1
9
9
1
0
1
0
S
a
l
d
o
,


%

d
a
r
i

b
e
l
a
n
j
i

n
a
s
i
o
a
n
l
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
-

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
3
6
4
0
3
6
2
9
9
2
3
3
8
1
1
2
4
2
1
2
4
2
6
2
8
2
7
-

P
r
o
v
i
n
s
i
-
1
0
-
1
0
-
1
0
-
8
-
3
-
4
-
3
-
3
-
4
-
3
-
1
-
1
-
2
-
2
-

K
a
b
u
p
a
t
e
n
-
1
4
-
1
5
-
1
4
-
1
2
-
1
1
-
1
2
-
1
5
-
1
8
-
2
3
-
2
4
-
2
2
-
2
2
-
2
5
-
2
5
S
u
m
b
e
r
:

P
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

D
e
p
K
e
u
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
173
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
1
0
.
A
n
g
g
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
u
s
a
t
,

P
r
o
v
i
n
s
i
,

d
a
n

K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a

s
e
b
a
g
a
i

P
e
r
s
e
n
t
a
s
i

d
a
r
i

G
D
P
P
e
m
b
a
g
i
a
n

d
a
l
a
m

P
D
B
1
9
9
4
(
%
)
1
9
9
5
(
%
)
1
9
9
6
(
%
)
1
9
9
7
(
%
)
1
9
9
8
(
%
)
1
9
9
9
(
%
)
2
0
0
0
(
%
)
2
0
0
1
(
%
)
2
0
0
2
(
%
)
2
0
0
3
(
%
)
2
0
0
4
(
%
)
2
0
0
5

(
E
)
(
%
)
2
0
0
6

(
P
)
(
%
)
2
0
0
7

(
P
)
(
%
)
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
1
7
1
6
1
6
1
6
1
4
1
7
2
0
2
3
1
9
2
0
2
2
2
4
2
6
2
4
-

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
1
6
1
5
1
5
1
5
1
3
1
7
1
9
2
2
1
8
1
8
2
0
2
2
2
3
2
2
-

P
r
o
v
i
n
s
i
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
2
1
-

K
a
b
u
p
a
t
e
n
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
1
5
1
4
1
4
1
5
1
5
1
6
1
6
2
5
2
0
2
2
2
2
2
4
2
6
2
4
-

R
u
t
i
n

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
8
7
8
1
0
1
0
1
1
1
3
2
0
1
5
1
5
1
6
1
8
1
8
1
7
-

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
7
6
6
5
5
5
4
5
5
7
6
6
7
7
P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
1
0
9
1
0
1
1
1
2
1
3
1
3
1
9
1
3
1
4
1
4
1
6
1
6
1
5
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
5
5
5
7
8
9
1
1
1
6
1
1
1
0
1
1
1
3
1
2
1
1
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
6
4
5
4
4
4
2
3
2
4
3
3
4
4
P
r
o
v
i
n
s
i
2
2
2
2
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
K
a
b
u
p
a
t
e
n
2
2
2
2
2
2
3
5
5
6
6
6
7
7
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
1
1
1
1
1
2
2
4
3
4
4
4
5
5
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2
2
S
a
l
d
o
2
2
2
1
-
1
1
3
-
2
-
1
-
1
0
0
0
0
-

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

p
u
s
a
t
5
5
5
4
1
4
6
3
5
5
5
6
7
7
-

P
r
o
v
i
n
s
i
-
1
-
1
-
1
-
1
0
-
1
0
-
1
-
1
-
1
0
0
0
0
-

K
a
b
u
p
a
t
e
n
-
2
-
2
-
2
-
2
-
2
-
2
-
2
-
5
-
5
-
5
-
5
-
5
-
6
-
6
P
D
B

N
o
m
i
n
a
l

(
R
p

t
r
i
l
i
u
n
)
4
0
7
4
8
5
5
8
1
7
3
5
1
0
9
6
1
2
1
9
1
0
6
6
1
3
9
0
1
6
8
4
1
8
6
3
2
0
4
6
2
2
7
3
2
7
3
0
3
3
1
6
S
u
m
b
e
r
:

P
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

D
e
p
K
e
u
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
174
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
1
1
.

J
u
m
l
a
h

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

D
a
e
r
a
h

y
a
n
g

M
e
l
a
p
o
r
k
a
n


A
n
g
g
a
r
a
n

M
e
r
e
k
a
1
9
9
4
/
9
5
1
9
9
5
/
9
6
1
9
9
6
/
9
7
1
9
9
7
/
9
8
1
9
9
8
/
9
9
1
9
9
9

-

2
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
J
u
m
l
a
h

P
r
o
p
i
n
s
i
*
2
6
2
6
2
6
2
6
2
6
2
6
3
0
3
0
3
0
3
0
3
2
J
u
m
l
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
*
*
2
9
2
2
9
2
2
9
2
2
9
2
2
9
2
2
9
2
3
3
2
3
3
6
3
4
8
3
7
0
4
1
0
J
u
m
l
a
h

P
r
o
p
i
n
s
i

y
a
n
g

m
e
n
y
e
r
a
h
k
a
n

A
P
B
D

m
e
r
e
k
a
2
6
2
6
2
6
2
6
2
6
2
6
2
5
2
9
3
0
2
8
2
8
F
o
r
m
a
t

L
a
m
a

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

2
9
3
0
1
4
1
R
u
t
i
n
2
9
3
0
1
4
1
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

2
8
3
0
1
4
1
F
o
r
m
a
t

B
a
r
u
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

2
9
-
1
4
2
7
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
2
9
-
1
4
2
7
P
e
n
d
a
n
a
a
n
2
8
-
1
3
2
7
J
u
m
l
a
h


k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

y
a
n
g

m
e
n
y
e
r
a
h
k
a
n

A
P
B
D

m
e
r
e
k
a
2
8
4
2
8
5
2
8
5
2
9
0
2
9
1
2
9
8
3
1
3
3
3
0
3
2
7
3
3
2
3
4
6
F
o
r
m
a
t

L
a
m
a

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

3
3
0
3
2
7
1
3
7
3
2
R
u
t
i
n
3
2
8
3
2
6
1
3
7
3
2
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

3
2
7
3
2
0
1
3
4
3
2
F
o
r
m
a
t

B
a
r
u
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

-
-
1
9
8
3
1
4
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n
-
-
1
9
7
3
1
4
P
e
n
d
a
n
a
a
n
-
-
1
9
0
3
0
2
S
u
m
b
e
r
:

P
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

D
e
p
K
e
u

d
a
n

S
I
K
D
.
C
a
t
a
t
a
n
:
:
*

T
i
d
a
k

t
e
r
m
a
s
u
k

T
i
m
o
r

T
i
m
u
r

(
1
9
9
4
-
9
7
)

*
*
T
o
t
a
l

t
i
d
a
k

t
e
r
m
a
s
u
k

1
3

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

d
i

T
i
m
o
r

T
i
m
u
r

(
1
9
9
4
-
9
7
)

d
a
n

D
K
I

J
a
k
a
r
t
a
,

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a
b
a
s
e

W
o
r
l
d

B
a
n
k

J
a
k
a
r
t
a

t
e
n
t
a
n
g

d
e
s
e
n
t
r
a
l
i
s
a
s
i
,

j
u
m
l
a
h

r
e
s
m
i

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

s
e
b
e
l
u
m

d
e
s
e
n
t
r
a
l
i
s
a
s
i


(
1
9
9
4
-
9
9
)

s
e
s
u
a
i

d
e
n
g
a
n

U
U

a
d
a
l
a
h

2
9
2
.

T
e
t
a
p
i
,

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

y
a
n
g

m
u
n
c
u
l

d
a
l
a
m

d
a
t
a

a
n
g
g
a
r
a
n


(
d
a
r
i

B
P
S
)

b
e
r
b
e
d
a

d
a
r
i

t
a
h
u
n

k
e

t
a
h
u
n
.


P
a
d
a

2
0
0
0
,

j
u
m
l
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

t
i
d
a
k

j
e
l
a
s

k
a
r
e
n
a

a
d
a

s
e
j
u
m
l
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

b
a
r
u

y
a
n
g

b
e
r
d
i
r
i

s
e
l
a
m
a

p
e
r
i
o
d
e

i
n
i
.

J
u
m
l
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/

s
e
t
e
l
a
h

d
e
s
e
n
t
r
a
l
i
s
a
s
i

b
e
r
a
s
a
l

d
a
r
i

j
u
m
l
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

y
a
n
g

m
e
n
e
r
i
m
a

D
A
U

t
i
a
p

t
a
h
u
n
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
175
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
1
2
.

A
n
g
g
a
r
a
n

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

P
r
o
v
i
n
s
i

(
R
p

t
r
i
l
i
u
n
)
1
9
9
4
/
9
5
1
9
9
5
/
9
6
1
9
9
6
/
9
7
1
9
9
7
/
9
8
1
9
9
8
/
9
9
1
9
9
9

-

2
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
-

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

A
s
l
i

D
a
e
r
a
h
2
,
9
7
7
3
,
8
0
8
4
,
2
8
0
4
,
6
0
6
3
,
0
7
4
4
,
3
6
4
2
,
9
6
5
1
0
,
0
0
5
1
4
,
2
3
2
1
7
,
7
9
8
2
2
,
6
9
6
-

D
a
n
a

P
e
r
i
m
b
a
n
g
a
n
6
,
0
0
0
6
,
4
0
9
7
,
0
4
3
7
,
4
4
5
5
,
4
9
2
7
,
3
2
4
5
,
8
6
3
1
4
,
4
4
7
1
6
,
6
0
7
1
8
,
8
4
3
1
9
,
8
2
3
-

B
a
g
i

H
a
s
i
l

P
a
j
a
k

4
7
5
5
7
2
7
3
1
7
7
3
1
,
0
7
1
1
,
2
7
7
5
3
0
4
,
3
4
8
5
,
1
1
9
6
,
5
4
6
8
,
7
5
9
-

B
a
g
i

H
a
s
i
l

P
e
n
e
r
i
m
a
a
n

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a


A
l
a
m
2
7
5
4
1
2
4
5
4
5
0
1
8
1
1
8
9
6
7
4
7
3
,
3
6
6
3
,
9
7
2
3
,
6
0
8
2
,
8
3
3
-

S
u
b
s
i
d
i

D
a
e
r
a
h

O
t
o
n
o
m

/
S
D
O
4
,
0
0
3
4
,
1
2
8
4
,
4
3
6
4
,
5
5
5
1
,
7
9
1
2
,
2
1
8
1
,
5
7
8
0
0
0
0
-

D
a
n
a

I
n
p
r
e
s
1
,
2
4
6
1
,
2
9
8
1
,
4
2
1
1
,
6
1
6
1
,
8
1
9
2
,
9
3
3
3
,
0
0
8
0
0
0
0
-

D
A
U
0
0
0
0
0
0
0
6
,
5
7
5
7
,
3
5
4
8
,
3
4
5
8
,
2
1
7
-

D
A
K
0
0
0
0
0
0
0
1
5
8
1
6
2
3
4
4
1
3
-

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

L
a
i
n
-
l
a
i
n
2
8
4
1
3
1
4
2
2
0
5
2
1
,
0
3
3
2
,
1
3
3
3
,
0
6
2
3
,
4
8
2
T
o
t
a
l

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
9
,
0
0
5
1
0
,
2
5
8
1
1
,
3
5
4
1
2
,
0
9
3
8
,
5
8
6
1
1
,
6
9
3
8
,
8
3
0
2
5
,
4
8
5
3
2
,
9
7
2
3
9
,
7
0
3
4
6
,
0
0
1
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
-

B
a
g
i
a
n

A
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n

U
m
u
m
-
-
-
-
-
-
-
6
,
7
5
9
6
,
9
7
4
6
,
5
0
6
7
,
3
4
2
-

B
a
g
i
a
n

P
e
k
e
r
j
a
a
n

U
m
u
m
-
-
-
-
-
-
-
9
8
4
1
,
0
7
1
6
4
3
7
8
7
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
h
u
b
u
n
g
a
n
-
-
-
-
-
-
-
2
1
8
2
9
1
2
8
9
2
7
0
-

B
a
g
i
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n

U
m
u
m
-
-
-
-
-
-
-
1
,
1
7
7
1
,
4
4
8
1
,
3
5
9
1
,
2
4
8
-

B
a
g
i
a
n

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

d
a
n

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
-
-
-
-
-
-
-
5
8
0
1
,
3
5
3
7
8
5
7
9
7
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
u
m
a
h
a
n
,

T
e
n
a
g
a

K
e
r
j
a

,

d
a
n

S
o
s
i
a
l
-
-
-
-
-
-
-
3
8
8
5
4
4
7
7
6
7
2
1
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
t
a
n
i
a
n
,

K
e
h
u
t
a
n
a
n
,

P
e
r
k
e
b
u
n
a
n
,

P
e
t
e
r
n
a
k
a
n
,

P
e
r
i
k
a
n
a
n
,

d
a
n

K
o
p
e
r
a
s
i
-
-
-
-
-
-
-
6
7
7
8
0
2
9
1
4
9
6
8
-

B
a
g
i
a
n

I
n
d
u
s
t
r
i
,

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
,

d
a
n

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n

-
-
-
-
-
-
-
1
5
5
2
7
1
3
3
6
2
6
6
-

P
e
n
s
i
u
n

d
a
n

B
a
n
t
u
a
n

-
-
-
-
-
-
-
8
2
2
7
2
2
9
0
-

S
u
b
s
i
d
i

p
a
d
a

D
a
e
r
a
h

B
a
w
a
h
a
n
-
-
-
-
-
-
-
2
,
4
5
8
3
,
0
2
9
5
,
8
5
4
1
0
,
9
3
0
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n


L
a
i
n
-
-
-
-
-
-
-
1
,
1
8
8
1
,
7
4
8
1
,
3
2
2
4
7
5
T
o
t
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
-
-
-
-
-
-
-
1
4
,
6
6
7
1
7
,
5
5
9
1
9
,
0
1
4
2
3
,
8
0
4
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n


(
K
l
a
s
i
f
k
a
s
i

E
k
o
n
o
m
i
)
-

B
e
l
a
n
j
a

P
e
g
a
w
a
i

3
,
9
8
5
4
,
2
1
6
4
,
5
3
7
4
,
7
1
1
1
,
9
3
1
2
,
3
9
5
1
,
5
3
2
5
,
8
0
5
5
,
8
2
6
6
,
6
5
9
8
,
7
8
2
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

B
a
r
a
n
g
6
3
3
7
0
2
8
3
9
9
1
5
8
9
7
1
,
2
8
4
7
9
1
2
,
6
1
1
3
,
4
1
9
2
,
7
5
3
2
,
4
1
4
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

&

P
e
m
e
l
i
h
a
r
a
a
n

3
4
9
4
6
5
4
9
9
5
0
1
3
3
2
4
9
5
1
5
5
1
,
1
1
0
1
,
3
5
2
7
8
1
6
1
5
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
r
j
a
l
a
n
a
n

D
i
n
a
s

7
3
9
0
1
0
3
1
1
3
1
1
3
1
4
4
1
2
9
1
9
7
2
8
7
4
1
3
5
3
9
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

L
a
i
n
-
L
a
i
n
4
1
3
5
6
1
6
6
8
7
4
7
5
4
0
6
4
2
5
1
7
1
,
2
1
6
1
,
8
7
1
1
,
0
0
2
4
9
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

T
i
d
a
k

T
e
r
m
a
s
u
k

B
a
g
i
a
n

L
a
i
n

1
9
1
2
5
9
3
6
3
4
1
1
4
1
4
1
,
0
8
7
6
2
3
1
,
1
8
8
1
,
7
4
8
1
,
3
2
2
4
7
5
-

P
e
n
s
i
u
n
,

B
a
n
t
u
a
n

d
a
n

s
u
b
s
i
d
i
2
9
2
4
6
7
5
7
3
6
4
6
5
5
2
6
9
3
0
8
2
0
0
0
-

P
e
n
s
i
u
n
,

d
a
n

B
a
n
t
u
a
n

0
0
0
0
0
0
0
0
2
7
2
2
9
0
-

S
u
b
s
i
d
i

K
e
p
a
d
a

D
a
e
r
a
h

B
a
w
a
h
a
n
0
0
0
0
0
0
0
2
,
4
5
8
3
,
0
2
9
5
,
8
5
4
1
0
,
9
3
0
T
o
t
a
l
5
,
9
3
8
6
,
7
6
0
7
,
5
8
1
8
,
0
4
4
4
,
7
7
9
6
,
7
3
9
3
,
7
4
8
1
4
,
6
6
7
1
7
,
5
5
9
1
9
,
0
1
4
2
3
,
8
0
4
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
176
LAMPIRAN
(
R
p

t
r
i
l
i
u
n
)
1
9
9
4
/
9
5
1
9
9
5
/
9
6
1
9
9
6
/
9
7
1
9
9
7
/
9
8
1
9
9
8
/
9
9
1
9
9
9

-

2
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n


(
1
2

S
e
k
t
o
r
)
-

S
e
k
t
o
r

A
p
a
r
a
t
u
r

N
e
g
a
r
a

1
,
0
0
3
1
,
4
1
1
1
,
8
3
3
1
,
8
3
0
1
,
1
5
4
1
,
0
9
5
7
3
3
1
,
5
8
7
3
,
5
8
5
6
,
9
8
0
5
,
0
3
9
-

S
e
k
t
o
r

P
e
r
t
a
n
i
a
n

d
a
n

K
e
h
u
t
a
n
a
n

1
0
9
1
2
4
1
5
4
1
5
1
1
6
1
2
5
8
2
9
3
5
5
1
6
8
6
7
9
9
8
5
5
-

S
e
k
t
o
r

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n

d
a
n

E
n
e
r
g
i
2
1
2
6
2
4
2
1
1
0
2
2
1
9
3
6
9
8
2
4
1
1
7
6
-

S
e
k
t
o
r

I
n
d
u
s
t
r
i
,

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
,

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n


U
s
a
h
a

D
a
e
r
a
h
,

d
a
n

K
e
u
a
n
g
a
n
2
1
7
1
6
9
2
1
1
2
6
3
1
3
0
3
8
6
2
9
0
7
8
7
1
,
1
9
0
6
7
0
4
5
3
-

S
e
k
t
o
r

T
e
n
a
g
a

K
e
r
j
a
1
4
1
7
2
2
2
4
1
9
2
5
1
9
6
2
9
1
1
1
3
1
7
3
-

S
e
k
t
o
r

K
e
s
e
h
a
t
a
n
,

K
e
s
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n

S
o
s
i
a
l
,

P
e
m
b
e
r
d
a
y
a
a
n

P
e
r
e
m
p
u
a
n
,

A
n
a
k
-
a
n
a
k
,

d
a
n

P
e
m
u
d
a
1
0
8
1
4
1
1
7
8
1
5
2
1
1
1
3
6
7
5
1
9
7
6
7
1
,
1
6
6
1
,
7
1
7
1
,
9
8
7
-

S
e
k
t
o
r

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n
,

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
,

d
a
n

A
g
a
m
a

2
7
7
3
6
7
5
3
6
4
4
6
2
1
5
5
6
1
4
9
9
1
,
3
6
3
2
,
6
4
6
3
,
1
3
7
3
,
0
1
8
-

S
e
k
t
o
r

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n

d
a
n


T
a
t
a

R
u
a
n
g
5
0
6
2
7
5
1
0
2
8
1
1
3
3
1
3
4
2
8
6
4
1
1
6
9
8
5
6
6
-

S
e
k
t
o
r

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

W
i
l
a
y
a
h
,

P
e
r
u
m
a
h
a
n
,

d
a
n

P
e
m
u
k
i
m
a
n

3
8
0
4
2
5
5
5
9
5
5
7
2
6
5
5
0
6
2
9
1
7
1
8
1
,
1
3
5
1
,
3
0
6
1
,
1
1
7
-

S
e
k
t
o
r

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
i
r
,

I
r
i
g
a
s
i
,

d
a
n

P
e
r
h
u
b
u
n
g
a
n
8
2
1
1
,
0
3
7
1
,
1
5
0
1
,
2
4
5
1
,
0
4
5
1
,
4
2
4
1
,
1
5
6
2
,
1
8
4
3
,
4
6
9
4
,
8
4
1
5
,
8
9
3
-

S
e
k
t
o
r

K
e
p
e
n
d
u
d
u
k
a
n

d
a
n

K
e
l
u
a
r
g
a

B
e
r
e
n
c
a
n
a
5
4
5
6
5
4
5
1
9
5
2
6
0
8
3
-

P
a
r
i
w
i
s
a
t
a

d
a
n

T
e
l
e
k
o
m
u
n
i
k
a
s
i
4
4
5
7
5
8
5
3
2
8
4
2
3
2
8
3
1
6
3
1
7
5
1
7
1
T
o
t
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
3
,
0
4
8
3
,
8
4
0
4
,
8
0
3
4
,
8
5
1
3
,
2
2
4
4
,
8
2
3
3
,
9
9
1
8
,
4
4
3
1
4
,
6
9
3
2
0
,
7
3
8
1
9
,
5
3
1
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n


(
8

S
e
k
t
o
r
)
-

A
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

U
m
u
m

K
e
p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n
1
,
0
9
6
1
,
5
3
0
1
,
9
6
5
1
,
9
8
6
1
,
2
6
3
1
,
2
7
0
0
1
,
9
5
5
4
,
1
6
0
7
,
9
3
9
5
,
9
5
7
-

B
a
g
i
a
n

P
e
k
e
r
j
a
a
n

U
m
u
m

1
2
9
1
9
7
2
3
6
2
4
1
2
7
8
3
8
7
0
4
0
8
6
4
0
2
,
3
8
7
5
,
1
0
4
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
h
u
b
u
n
g
a
n
6
9
2
8
4
0
9
1
4
1
,
0
0
5
7
6
7
1
,
0
3
7
0
1
,
7
7
6
2
,
8
3
0
2
,
4
5
4
7
8
9
-

B
a
g
i
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n


U
m
u
m
7
1
9
7
1
1
6
1
0
4
6
6
2
9
8
0
5
6
8
9
2
4
1
,
4
6
2
1
,
7
5
2
-

B
a
g
i
a
n

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

d
a
n

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
2
7
7
3
6
7
5
3
6
4
4
6
2
1
5
5
6
1
0
1
,
3
6
3
2
,
6
4
6
3
,
1
3
7
3
,
0
1
8
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
u
m
a
h
a
n
,

P
e
r
b
u
r
u
h
a
n
,

d
a
n

S
o
s
i
a
l
4
3
5
4
9
1
6
4
8
6
3
5
3
3
4
6
0
4
0
9
9
8
1
,
5
2
0
1
,
6
8
3
1
,
5
2
5
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
t
a
n
i
a
n
,

K
e
h
u
t
a
n
a
n
,

P
e
r
k
e
b
u
n
a
n
,

P
e
t
e
r
n
a
k
a
n
,

P
e
r
i
k
a
n
a
n
,

d
a
n

K
o
p
e
r
a
s
i
1
4
0
1
4
0
1
7
2
1
7
5
1
7
2
2
8
0
0
6
6
2
8
2
3
9
4
4
9
4
9
-

B
a
g
i
a
n

I
n
d
u
s
t
r
i
,

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
,

d
a
n

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n
2
0
8
1
7
9
2
1
7
2
6
0
1
2
9
3
8
7
0
7
1
3
1
,
1
5
1
7
3
1
4
3
6
T
o
t
a
l
3
,
0
4
8
3
,
8
4
0
4
,
8
0
3
4
,
8
5
1
3
,
2
2
4
4
,
8
2
3
0
8
,
4
4
3
1
4
,
6
9
3
2
0
,
7
3
8
1
9
,
5
3
1
S
u
r
p
l
u
s
1
9
-
3
4
2
-
1
,
0
3
0
-
8
0
2
5
8
3
1
3
0
1
,
0
9
1
2
,
3
7
5
7
2
0
-
4
8
2
,
6
6
6
S
u
m
b
e
r
:

P
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

d
a
r
i

D
e
p
K
e
u
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
177
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


C
.
1
3
.

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a

A
n
g
g
a
r
a
n

(
R
p

t
r
i
l
i
u
n
)
1
9
9
4
/
9
5
1
9
9
5
/
9
6
1
9
9
6
/
9
7
1
9
9
7
/
9
8
1
9
9
8
/
9
9
1
9
9
9

-

2
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
-

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

A
s
l
i

D
a
e
r
a
h
1
,
2
1
9
1
,
5
1
3
1
,
7
5
7
1
,
9
6
2
2
,
3
6
2
2
,
7
9
1
2
,
6
4
0
5
,
2
6
7
7
,
4
3
9
8
,
7
0
7
1
0
,
1
3
1
-

D
a
n
a

P
e
r
i
m
b
a
n
g
a
n
8
,
3
8
8
9
,
7
1
8
1
1
,
2
6
0
1
3
,
3
7
4
1
8
,
4
0
4
2
4
,
0
8
2
2
4
,
1
1
8
7
0
,
6
0
9
8
1
,
2
1
7
9
7
,
1
5
3
1
0
1
,
9
3
5
-

B
a
g
i

H
a
s
i
l

P
a
j
a
k

1
,
3
4
9
1
,
5
4
1
1
,
9
4
0
2
,
1
2
3
2
,
4
5
9
2
,
8
7
4
2
,
7
3
1
5
,
8
4
9
7
,
5
5
1
1
0
,
2
2
8
1
3
,
7
0
6
-

B
a
g
i

H
a
s
i
l

P
e
n
e
r
i
m
a
a
n

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a


A
l
a
m
1
7
6
2
6
7
3
0
5
3
3
0
3
8
9
5
3
4
5
3
5
8
,
5
7
5
9
,
5
6
6
1
1
,
0
6
0
8
,
7
7
3
-

S
u
b
s
i
d
i

D
a
e
r
a
h

O
t
o
n
o
m

/
S
D
O
3
,
3
7
2
4
,
1
9
7
4
,
8
8
8
5
,
9
8
7
1
0
,
5
1
9
1
4
,
1
1
8
1
3
,
6
4
8
0
0
0
0
-

D
a
n
a

I
n
p
r
e
s
3
,
4
9
0
3
,
7
1
3
4
,
1
2
7
4
,
9
3
5
5
,
0
3
7
6
,
5
5
5
7
,
1
3
8
0
0
0
0
-

D
A
U
0
0
0
0
0
0
0
5
5
,
3
0
1
6
3
,
3
7
7
7
2
,
4
1
6
7
5
,
7
9
4
-

D
A
K
0
0
0
0
0
0
0
8
8
5
7
2
3
3
,
4
4
9
3
,
6
6
1
-

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

L
a
i
n
-
l
a
i
n
6
1
7
6
1
1
9
1
3
4
6
2
2
8
0
3
4
4
2
,
8
2
2
4
,
7
2
5
9
,
3
7
6
1
0
,
0
5
5
T
o
t
a
l

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n
9
,
6
6
9
1
1
,
3
0
7
1
3
,
1
3
6
1
5
,
4
7
1
2
0
,
8
2
8
2
7
,
1
5
3
2
7
,
1
0
2
7
8
,
6
9
9
9
3
,
3
8
1
1
1
5
,
2
3
6
1
2
2
,
1
2
1
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n


-

B
a
g
i
a
n

A
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

P
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n

U
m
u
m
-
-
-
-
-
-
-
1
6
,
4
3
4
1
7
,
6
1
5
2
1
,
1
7
6
2
3
,
1
7
0
-

B
a
g
i
a
n

P
e
k
e
r
j
a
a
n

U
m
u
m
-
-
-
-
-
-
-
1
,
4
2
4
2
,
0
1
5
1
,
5
8
6
1
,
3
5
7
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
h
u
b
u
n
g
a
n
-
-
-
-
-
-
-
3
0
2
4
4
9
5
5
5
5
8
3
-

B
a
g
i
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n

U
m
u
m
-
-
-
-
-
-
-
3
,
1
5
0
4
,
2
3
8
4
,
5
8
4
4
,
9
7
6
-

B
a
g
i
a
n

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

d
a
n

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
-
-
-
-
-
-
-
2
3
,
2
2
5
2
7
,
9
7
7
3
3
,
0
1
7
3
5
,
2
0
4
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
u
m
a
h
a
n
,

T
e
n
a
g
a

K
e
r
j
a

,

d
a
n

S
o
s
i
a
l
-
-
-
-
-
-
-
3
9
8
6
0
7
8
2
5
8
7
1
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
t
a
n
i
a
n
,

K
e
h
u
t
a
n
a
n
,

P
e
r
k
e
b
u
n
a
n
,

P
e
t
e
r
n
a
k
a
n
,

P
e
r
i
k
a
n
a
n
,

d
a
n

K
o
p
e
r
a
s
i
-
-
-
-
-
-
-
1
,
0
9
5
1
,
7
5
9
2
,
1
1
4
2
,
2
6
3
-

B
a
g
i
a
n

I
n
d
u
s
t
r
i
,

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
,

d
a
n

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n

-
-
-
-
-
-
-
2
5
8
3
9
1
5
5
5
5
3
3
-

P
e
n
s
i
u
n

d
a
n

B
a
n
t
u
a
n

-
-
-
-
-
-
-
8
7
7
1
1
6
6
0
-

S
u
b
s
i
d
i

p
a
d
a

D
a
e
r
a
h

B
a
w
a
h
a
n
-
-
-
-
-
-
-
8
2
7
9
5
2
4
,
9
4
3
8
,
4
7
6
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n


L
a
i
n
-
-
-
-
-
-
-
1
,
9
7
0
2
,
6
6
2
2
,
6
0
7
1
,
6
8
2
T
o
t
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n
5
,
0
2
7
6
,
1
7
9
7
,
2
8
9
8
,
7
3
2
1
3
,
6
9
0
1
8
,
6
9
5
1
8
,
7
7
7
4
9
,
1
7
0
5
8
,
7
3
8
7
2
,
1
2
8
7
9
,
1
1
5
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

R
u
t
i
n


(
K
l
a
s
i
f
k
a
s
i

E
k
o
n
o
m
i
)
-

B
e
l
a
n
j
a

P
e
g
a
w
a
i

3
,
3
3
7
4
,
0
1
9
4
,
6
7
7
5
,
7
4
8
1
0
,
1
6
1
1
4
,
0
9
1
1
3
,
7
6
2
3
6
,
0
9
1
3
9
,
9
8
6
4
9
,
5
8
5
5
7
,
0
9
5
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

B
a
r
a
n
g
5
5
8
7
5
1
9
2
8
1
,
0
5
6
1
,
3
2
8
1
,
7
2
7
1
,
8
2
3
5
,
4
0
2
7
,
6
0
0
8
,
0
5
9
7
,
5
4
7
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

O
p
e
r
a
s
i
o
n
a
l

&

P
e
m
e
l
i
h
a
r
a
a
n

1
5
8
1
9
0
2
2
6
2
4
9
2
8
7
3
5
8
3
4
1
1
,
0
8
1
1
,
5
9
6
1
,
8
0
5
1
,
7
8
0
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
r
j
a
l
a
n
a
n

D
i
n
a
s

9
5
1
2
1
1
3
5
1
4
4
1
5
8
2
0
3
8
7
9
5
5
3
9
1
2
1
,
3
8
7
1
,
5
8
5
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

L
a
i
n
-
L
a
i
n
5
3
0
6
8
5
7
9
6
8
9
5
9
8
4
1
,
1
8
1
8
5
0
3
,
1
6
0
4
,
9
5
9
3
,
5
7
6
9
5
0
-

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

T
i
d
a
k

T
e
r
m
a
s
u
k

B
a
g
i
a
n

L
a
i
n

2
5
5
3
0
0
3
7
7
4
2
7
5
1
9
7
7
5
6
5
7
1
,
9
7
0
2
,
6
6
2
2
,
6
0
7
1
,
6
8
2
-

P
e
n
s
i
u
n
,

B
a
n
t
u
a
n

d
a
n

s
u
b
s
i
d
i
9
3
1
1
4
1
4
9
2
1
3
2
5
2
3
6
1
4
6
5
0
0
0
0
-

P
e
n
s
i
u
n
,

d
a
n

B
a
n
t
u
a
n

0
0
0
0
0
0
0
8
7
7
1
1
6
6
0
-

S
u
b
s
i
d
i

K
e
p
a
d
a

D
a
e
r
a
h

B
a
w
a
h
a
n
0
0
0
0
0
0
0
8
2
7
9
5
2
4
,
9
4
3
8
,
4
7
6
T
o
t
a
l
5
,
0
2
7
6
,
1
7
9
7
,
2
8
9
8
,
7
3
2
1
3
,
6
9
0
1
8
,
6
9
5
1
8
,
7
7
7
4
9
,
1
7
0
5
8
,
7
3
8
7
2
,
1
2
8
7
9
,
1
1
5
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
178
LAMPIRAN
(
R
p

t
r
i
l
i
u
n
)
1
9
9
4
/
9
5
1
9
9
5
/
9
6
1
9
9
6
/
9
7
1
9
9
7
/
9
8
1
9
9
8
/
9
9
1
9
9
9

-

2
0
0
0
2
0
0
0
2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n


(
1
2

S
e
k
t
o
r
)
-

S
e
k
t
o
r

A
p
a
r
a
t
u
r

N
e
g
a
r
a

6
5
3
7
7
1
9
8
9
1
,
0
5
9
8
3
1
1
,
2
3
4
1
,
2
5
0
3
,
8
5
5
5
,
1
4
8
1
0
,
7
2
4
1
2
,
4
6
1
-

S
e
k
t
o
r

P
e
r
t
a
n
i
a
n

d
a
n

K
e
h
u
t
a
n
a
n

1
0
6
1
2
2
1
7
0
2
0
5
2
5
0
3
9
8
4
0
6
1
,
1
4
5
1
,
4
8
9
1
,
8
1
5
1
,
9
3
8
-

S
e
k
t
o
r

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n

d
a
n

E
n
e
r
g
i
2
0
2
5
2
4
3
0
2
8
3
3
4
5
1
8
8
3
1
2
5
2
4
2
1
2
-

S
e
k
t
o
r

I
n
d
u
s
t
r
i
,

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
,

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n


U
s
a
h
a

D
a
e
r
a
h
,

d
a
n

K
e
u
a
n
g
a
n
2
0
5
2
1
2
2
4
3
2
4
2
2
7
3
4
7
1
1
,
9
9
5
1
,
4
2
1
2
,
1
5
8
1
,
7
1
0
6
7
6
-

S
e
k
t
o
r

T
e
n
a
g
a

K
e
r
j
a
8
8
8
9
3
6
2
8
1
9
6
4
1
5
9
2
1
8
1
5
0
-

S
e
k
t
o
r

K
e
s
e
h
a
t
a
n
,

K
e
s
e
j
a
h
t
e
r
a
a
n

S
o
s
i
a
l
,

P
e
m
b
e
r
d
a
y
a
a
n

P
e
r
e
m
p
u
a
n
,

A
n
a
k
-
a
n
a
k
,

d
a
n

P
e
m
u
d
a
2
3
7
2
6
2
3
1
4
3
9
3
3
7
7
4
2
4
4
5
1
1
,
4
5
4
1
,
8
6
9
3
,
2
9
1
3
,
4
5
3
-

S
e
k
t
o
r

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n
,

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
,

d
a
n

A
g
a
m
a

7
2
7
7
7
0
8
3
9
1
,
0
1
4
1
,
0
4
2
1
,
1
6
6
1
,
0
6
0
3
,
0
1
7
4
,
6
0
0
5
,
3
2
8
4
,
6
0
1
-

S
e
k
t
o
r

L
i
n
g
k
u
n
g
a
n

d
a
n


T
a
t
a

R
u
a
n
g
1
8
7
2
0
5
2
2
3
2
5
7
2
2
8
4
6
4
4
0
8
6
7
2
1
,
2
6
6
1
,
2
5
3
1
,
1
3
1
-

S
e
k
t
o
r

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

W
i
l
a
y
a
h
,

P
e
r
u
m
a
h
a
n
,

d
a
n

P
e
m
u
k
i
m
a
n

6
8
3
7
8
7
8
6
9
1
,
2
6
0
1
,
4
6
1
1
,
7
4
0
2
,
3
0
6
3
,
4
2
4
4
,
5
4
6
4
,
3
8
6
2
,
4
3
5
-

S
e
k
t
o
r

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
i
r
,

I
r
i
g
a
s
i
,

d
a
n

P
e
r
h
u
b
u
n
g
a
n
1
,
7
4
3
2
,
0
3
0
2
,
2
5
5
2
,
3
5
4
1
,
9
2
4
2
,
3
5
4
2
,
6
9
4
6
,
8
1
0
9
,
0
9
4
1
3
,
3
1
5
1
2
,
2
7
0
-

S
e
k
t
o
r

K
e
p
e
n
d
u
d
u
k
a
n

d
a
n

K
e
l
u
a
r
g
a

B
e
r
e
n
c
a
n
a
1
3
1
5
1
6
3
1
3
6
4
4
3
0
6
1
1
2
2
1
8
6
2
5
8
-

P
a
r
i
w
i
s
a
t
a

d
a
n

T
e
l
e
k
o
m
u
n
i
k
a
s
i
9
1
4
5
5
6
6
2
5
8
1
5
2
1
4
1
3
4
4
3
8
8
4
0
1
2
5
8
T
o
t
a
l

P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n
4
,
6
7
4
5
,
2
5
2
6
,
0
0
7
6
,
9
1
7
6
,
5
4
3
8
,
5
0
8
1
0
,
8
0
4
2
2
,
4
5
4
3
1
,
1
5
0
4
3
,
1
5
1
3
9
,
8
4
4
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

(
8

S
e
c
t
o
r
)
-

A
d
m
i
n
i
s
t
r
a
s
i

U
m
u
m

K
e
p
e
m
e
r
i
n
t
a
h
a
n
9
3
2
1
,
0
2
1
1
,
2
6
8
1
,
3
7
8
1
,
1
1
7
1
,
8
5
0
0
4
,
8
7
1
6
,
8
0
1
1
2
,
5
1
9
1
4
,
1
4
8
-

B
a
g
i
a
n

P
e
k
e
r
j
a
a
n

U
m
u
m

4
6
6
6
7
6
8
9
7
6
1
3
6
0
7
5
5
1
,
1
1
5
7
,
4
8
8
1
0
,
6
6
9
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
h
u
b
u
n
g
a
n
1
,
6
9
7
1
,
9
6
4
2
,
1
7
9
2
,
2
6
5
1
,
8
4
8
2
,
2
1
8
0
6
,
0
5
6
7
,
9
7
9
5
,
8
2
7
1
,
6
0
1
-

B
a
g
i
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n


U
m
u
m
2
0
6
2
2
9
2
7
1
3
2
3
2
7
8
2
7
2
0
1
,
2
3
7
1
,
4
8
7
2
,
8
8
9
3
,
1
3
2
-

B
a
g
i
a
n

P
e
n
d
i
d
i
k
a
n

d
a
n

K
e
b
u
d
a
y
a
a
n
7
2
7
7
7
0
8
3
9
1
,
0
1
4
1
,
0
4
2
1
,
1
6
6
0
3
,
0
1
7
4
,
6
0
0
5
,
3
2
8
4
,
6
0
1
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
u
m
a
h
a
n
,

P
e
r
b
u
r
u
h
a
n
,

d
a
n

S
o
s
i
a
l
7
3
5
8
4
3
9
3
6
1
,
3
7
0
1
,
6
3
2
1
,
9
6
4
0
3
,
7
6
5
5
,
2
0
9
5
,
0
7
1
2
,
9
2
4
-

B
a
g
i
a
n

P
e
r
t
a
n
i
a
n
,

K
e
h
u
t
a
n
a
n
,

P
e
r
k
e
b
u
n
a
n
,

P
e
t
e
r
n
a
k
a
n
,

P
e
r
i
k
a
n
a
n
,

d
a
n

K
o
p
e
r
a
s
i
1
4
1
1
3
4
1
7
9
2
1
6
2
6
5
4
2
3
0
1
,
2
5
9
1
,
7
6
5
2
,
0
2
2
2
,
0
7
8
-

B
a
g
i
a
n

I
n
d
u
s
t
r
i
,

P
e
r
d
a
g
a
n
g
a
n
,

d
a
n

P
e
r
t
a
m
b
a
n
g
a
n
1
9
1
2
2
5
2
5
8
2
6
1
2
8
5
4
7
9
0
1
,
4
9
4
2
,
1
9
4
2
,
0
0
8
6
9
0
T
o
t
a
l
9
3
2
1
,
0
2
1
1
,
2
6
8
1
,
3
7
8
1
,
1
1
7
1
,
8
5
0
0
4
,
8
7
1
6
,
8
0
1
1
2
,
5
1
9
1
4
,
1
4
8
S
u
r
p
l
u
s
0
0
0
0
0
0
0
7
,
0
7
4
3
,
4
9
3
-
4
4
3
,
1
6
2
S
u
m
b
e
r
:

P
e
r
k
i
r
a
a
n

s
t
a
f

B
a
n
k

D
u
n
i
a

b
e
r
d
a
s
a
r
k
a
n

d
a
t
a

d
a
r
i

D
e
p
K
e
u
.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
179
LAMPIRAN
Tabel C.14. Pemetaan Sektoral PER untuk Pengeluaran Pembangunan dan Rutin
Kategori Sektor
Dalam Laporan Ini
Sektor dalam APBN/sub-sektor
dan kode nomor untuk belanja
pembangunan dan rutin
Sektor dalam Database
Anggaran Pembangunan
Daerah (Berdasarkan
Klasifkasi 12 Sektor, kecuali
dinyatakan lain)
Sektor dalam Database
Anggaran Rutin Daerah
(Berdasarkan Klasifkasi 8
Sektor kecuali dinyatakan
lain)
Pertanian Sektor Pertanian dan Kehutanan
(kode sektor 2).
Sektor Pertanian dan Kehutanan
(kode sektor 02).
Bagian Pertanian, Kehutanan,
Perkebunan, Peternakan,
Perikanan , dan Koperasi (Kode
Bagian 208).
Pendidikan Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan
Agama, pemuda & olahraga (diluar
11.3 dan 11.4) (kode sektor 11),
Pendidikan Agama (kode sektor 15.2)
Sektor Pendidikan, Kebudayaan,
dan Agama (kode sektor 07).
Bagian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kode Bagian 206).
Kesehatan Sub sektor kesehatan (kode sektor
13.2)
Bagian Kesehatan Umum
(Berdasarkan Klasifkasi 8 Sektor)
(kode sektor 205).
Bagian Kesehatan Umum (Kode
Bagian 205).
Pertambangan Sub-sektor pertambangan (kode
sektor 7.1)
Sub-sektor Pertambangan
dan Energi (kode sektor 03),
Angka untuk 2004 diperkirakan
menggunakan data pada 2003.
Sub-Bagian Pertambangan (Kode
Bagian 20903), angka untuk 2004
diperkirakan menggunakan data
untuk pertambangan dalam
Sektor industri, perdagangan
dan pertambangan pada2002
(Kode Bagian 209)
Sektor Perdagangan,
Pembangunan Usaha,
Keuangan, dan Koperasi
Sektor Perdagangan, Pembangunan
Usaha, Keuangan, dan Koperasi (kode
sektor 5)
Sektor Industri, Perdagangan,
Pembangunan Usaha Daerah,
dan Keuangan (kode sektor 04).
ndustri (Kode Bagian 20901);
Perdagangan (Kode Bagian
20902). Angka untuk 2004
diperkirakan menggunakan data
pada sub-sektor ini untuk 2002.
Sektor Aparatur Negara dan
Pengawasan
Sektor Aparatur Negara dan
Pengawasan (kode sektor 18)
Sektor Aparatur Negara (kode
sektor 01).
Bagian Administrasi
Pemerintahan Umum Pemerintah
(Kode Bagian 202) (dikurangi
komponen Lingkungan sesuai
pembagiannya pada 2002)..
Sektor Tenaga Kerja Sektor Tenaga Kerja (kode sektor 4) Sektor Tenaga Kerja (kode sektor
05).
Sub-sektor Tenaga Kerja (Kode
Bagian 20703).
Sektor Pertahanan &
Keamanan
Sektor Pertahanan & Keamanan (kode
sektor 20)
Tidak ada. Tidak ada.
Lingkungan dan Tata Ruang Lingkungan dan Tata Ruang (kode
sektor 10)
Sektor Lingkungan dan
Perencanaan Tata Ruang (kode
sektor 08).
Bagian Lingkungan (Kode Bagian
20211), Angka untuk 2004
diperkirakan menggunakan
data anggaran sub-Bagian pada
2002.
Infrastruktur Sektor Irirgasi(kode: 3) sub-sektor
infrastruktur jalan(kode: 6.1), sub-
sektor transportasi darat (kode:
6.2), sub-sektor transportasi laut
(kode: 6.3), sub-sektor transportasi
udara (kode: 6.4), sub-sektor energi
(7.2), sub-sektor energi (8.2), sektor
perumahan & pemukiman (kode: 14),
seb-sektor pembangunan daerah
(kode: 9.1)
Sektor Pengembangan Wilayah,
Perumahan, dan Pemukiman
(kode sektor 09); Sektor Air
Bersih, Irigasi, dan Transportasi
(kode sektor 10); Sub-sektor
Telekomunikasi (kode sektor 082);
Sektor Pertambangan dan Energi
(data untuk 2004 diperkirakan
menggunakan data tahun 2003).
Bagian Pekerjaan Umum (Kode
Bagian 203), Bagian Perhubungan
(Kode Bagian 204), Pemukiman
Penduduk (Kode Bagian 20704).
Lain-lain Industrial (1), sub-sektor kesejahteraan
sosial (kode: 13.1), sub-sektor peranan
perempuan, anak dan Pemuda
(kode: 13.3), Sektor kependudukan
dan keluarga berencana (kode: 12),
sub-sektor pelayanan agama (kode:
15.1), sektor Iptek (kode: 16), Sektor
hukum (kode: 17), politik, luar negeri,
informasi & komunikasi (kode: 19),
sub-sektor pariwisata (kode: 8.1), sub-
sektor meteorologi, geofsika, dan SAR
(kode: 6.5), sub-sektor transmigrasi
(kode: 9.2)
Residu Sektor Kesehatan (kode
sektor 06 dikurangi kode 205);
Sub-sektor Pariwisata (kode
sektor 11).
Urusan Sosial (Bagian code
20701), Subsidi kepada Daerah
(Kode Bagian 309), Pengeluaran
rutin yang lain (Kode Bagian
399), Pensiun dan Bantuan (Kode
Bagian 308).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
180
LAMPIRAN
Seksi C.15. Mengelola Rekening of budget dan Pengaturan Anggaran
Penyaluran dana antara, Pertamina, dan PLN tidak berjalan dengan efsien dalam pelaksanaan anggaran.
Berdasarkan peraturan pemerintah, pemerintah pusat harus menyalurkan dana subsidi BBM kepada Pertamina setiap
bulan. Sistem yang berlaku sekarang diharapkan mampu meningkatkan situasi arus keuangan Pertamina, karena
Pertamina menerima 70 persen subsidi anggaran setiap kwartal berdasarkan sistem yang lama. Akan tetapi, sejak
akhir Agustus 2006, hanya Rp 4.7 triliun (9 persen dari subsidi anggaran BBM) dari subsidi BBM yang disalurkan ke
Pertamina. Berikut adalah alasan atas terjadinya kelambatan penyaluran dana:
- Pertamina masih berhutang kepada pemerintah: Hutang Pertamina mencapai jumlah yang snagat besar
sampai akhir 2005 termasuk dividen yang belum dibayarkan, pendapatan pajak non-migas. Oleh karena itu,
pemerintah enggan untuk membayar subsidi BBM tepat waktu;
- Sistem penyelesaian hutan yang rumit antara pemerintah, Pertamina, dan PLN (Diagram G.1): Pemerintah
harus membayar subsidi listrik kepada PLN, sementara PLN berhutang kepada Pertamina. Hubungan antara ke 3
stakeholders ini menyebabkan pembayaran subsidi menjadi rumit.
- Penundaan penerbitan Keputusan: Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang patokan
harga minyak untuk anggaran 2006 dikeluarkan pada 18 Juli. Karena Keputusan ini diperlukan oleh DepKeu untuk
menghitung besarnya subsidi BBM, penundaan penerbitan SK itu menyebabkan penundaan pembayaran.
Diagram C.15.1. Transaksi Keuangan antara Pemerintah, Pertamina, dan PLN
Pemerintah
Pertamina PLN
Subsidi
Listrik
Subsidi
BBM
Pendapatan
dividends
dividends
Pasokan Listrik
Pembayaran Listrik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
181
LAMPIRAN
Lampiran D. Lintas Sektoral
Tabel D.1. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor
(Current price, Rp milyar) 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
Pertanian 6,276 7,613 10,701 10,992 11,883 18,170 21,215
Pendidikan 40,451 48,167 64,788 63,064 79,672 120,243 134,629
Kesehatan 9,252 11,004 16,014 16,704 21,850 31,222 35,615
Pertambangan 618 708 878 985 1,066 1,208 1,690
Perdagangan, NBD, FCS
(termasuk pembayaran bunga utang &
subsidi)
192,773 148,813 150,580 191,435 234,922 277,910 295,266
Aparatur Negara & Pengawasan 31,678 35,064 52,703 55,591 66,510 106,777 107,675
Sektor Tenaga Kerja 606 957 1,499 1,481 1,379 2,383 2,523
Pertahanan & Keamanan 16,521 21,419 26,975 29,466 32,399 45,084 54,910
Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 2,043 2,567 3,331 3,073 3,352 7,279 8,385
Infrastruktur 32,412 35,258 51,678 44,888 54,617 77,835 84,769
Lain-lain 20,932 26,055 26,221 27,617 28,597 36,776 38,739
Total Nasional 352.8 336.4 405.4 445.3 535.8 719.3 778.2
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah . Pengeluaran pusat are defned herein as termasuk pengeluaran by
pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Tabel D.2. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor
(% of Nasional expenditure)
2001
(%)
2002
(%)
2003
(%)
2004
(%)
2005
(%)
2006*
(%)
2007**
(%)
Pertanian 1.8 2.3 2.6 2.5 2.2 2.6 2.7
Pendidikan 11.4 14.3 16.0 14.2 14.9 17.2 17.1
Kesehatan 2.6 3.3 4.0 3.8 4.1 4.5 4.5
Pertambangan 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
Perdagangan, NBD, FCS
(termasuk pembayaran bunga utang &
subsidi)
54.5 44.1 37.1 43.0 43.8 39.8 37.6
Aparatur Negara & Pengawasan 9.0 10.4 13.0 12.5 12.4 15.3 13.7
Sektor Tenaga Kerja 0.2 0.3 0.4 0.3 0.3 0.3 0.3
Pertahanan & Keamanan 4.7 6.3 6.7 6.6 6.0 6.5 7.0
Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 0.6 0.8 0.8 0.7 0.6 1.0 1.1
Infrastruktur 9.2 10.4 12.7 10.1 10.2 11.1 10.8
Lain-lain 5.9 7.7 6.5 6.2 5.3 5.3 4.9
Total Nasional 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah . Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran
pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
182
LAMPIRAN
Tabel D.3. Distribusi Pengeluaran Nasional (tingkat pertumbuhan tahunan) Berdasarkan Sektor
2002
(%)
2003
(%)
2004
(%)
2005
(%)
2006*
(%)
2007**
(%)
2002-05
(%)
2005-07
(%)
Pertanian 8 32 -3 -2 36 10 35 49
Pendidikan 6 26 -8 14 34 5 41 41
Kesehatan 6 37 -2 18 27 7 69 36
Pertambangan 2 16 6 -2 0 32 23 32
Perdagangan, NBD, FCS
(termasuk pembayaran bunga utang &
subsidi )
-31 -5 20 11 5 0 -13 5
Aparatur Negara & Pengawasan -1 41 -1 8 42 -5 50 35
Sektor Tenaga Kerja 41 47 -7 -16 53 0 63 53
Pertahanan & Keamanan 16 18 3 0 23 15 40 41
Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 12 22 -13 -1 92 8 17 109
Infrastruktur -3 38 -18 10 26 3 20 29
Lain-lain 11 -6 -1 -6 14 -1 -2 13
Total Nasional -15 13 3 9 15.52 6 8 22
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemer-
intah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Tabel D.4. Distribusi Persentase Perubahan Tahunan Berdasarkan Sektor
2001-02
(%)
2002-03
(%)
2003-04
(%)
2004-05
(%)
2005-06*
(%)
2006-07**
(%)
Pertanian 0.1 0.7 -0.1 -0.1 0.8 0.3
Pendidikan 0.7 3.7 -1.3 2.0 5.0 0.9
Kesehatan 0.2 1.2 -0.1 0.7 1.1 0.3
Pertambangan 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1
Perdagangan, NBD, FCS
(termasuk pembayaran bunga utang &
subsidi )
-16.9 -2.2 7.3 4.8 2.1 0.0
Aparatur Negara & Pengawasan -0.1 4.3 -0.1 1.0 5.3 -0.8
Sektor Tenaga Kerja 0.1 0.1 0.0 -0.1 0.1 0.0
Pertahanan & Keamanan 0.7 1.2 0.2 0.0 1.4 0.9
Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 0.1 0.2 -0.1 0.0 0.6 0.1
Infrastruktur -0.3 3.9 -2.3 1.0 2.7 0.3
Lain-lain 0.7 -0.4 -0.1 -0.4 0.7 0.0
Total Nasional -14.6 12.6 3.4 9.0 19.8 2.1
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Catatan: Perubahan tahunan ditimbang berdasarkan anggaran sektoral keseluruhan pada tahun sebelumnya.
* Berdasarkan penentuan anggaran pusat dan estimasi alokasi anggaran daerah .
Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
183
LAMPIRAN
Tabel D.5. Pengeluaran Antar-Pemerintah dalam Pembiayaan Sektoral di Pusat
Sektor
2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007**
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Pusat 3.0 3.1 5.1 5.0 5.0 8.3 10.1
Provinsi 1.2 1.4 1.7 1.8 2.0 2.8 3.1
Kabupaten/kota 2.1 3.1 3.9 4.2 4.9 7.0 8.0
Pendidikan 40.5 48.2 64.8 63.1 79.7 120.2 134.6
Pusat 14.1 14.7 22.5 19.4 28.3 46.8 50.9
Provinsi 1.3 2.7 3.9 3.8 4.4 6.2 6.9
Kabupaten/kota 25.1 30.7 38.3 39.8 46.9 67.2 76.9
Kesehatan 9.3 11.0 16.0 16.7 21.9 31.2 35.6
Pusat 3.1 2.9 5.7 5.6 8.9 12.8 14.8
Provinsi 1.7 2.4 2.8 3.0 3.6 5.0 5.5
Kabupaten/kota 4.4 5.7 7.5 8.1 9.3 13.4 15.3
Pertambangan 0.6 0.7 0.9 1.0 1.1 1.2 1.7
Pusat 0.4 0.4 0.5 0.7 0.7 0.7 1.1
Provinsi 0.1 0.1 0.3 0.2 0.3 0.4 0.4
Kabupaten/kota 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2
Sektor, Pengembangan Pusat Bisnis, Keuangan,
dan Koperasi
192.8 148.8 150.6 191.4 234.9 277.9 295.3
Pusat 192.0 147.6 148.2 190.3 232.8 274.9 291.9
Provinsi 0.8 1.2 0.7 0.5 0.7 0.9 1.1
Kabupaten/kota 0.0 0.0 1.7 0.7 1.4 2.1 2.4
Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan 31.7 35.1 52.7 55.6 66.5 106.8 107.7
Pusat 4.0 4.3 7.5 7.7 11.2 28.2 18.5
Provinsi 7.8 8.5 13.4 12.3 14.9 20.7 23.0
Kabupaten/kota 19.9 22.3 31.8 35.5 40.4 57.9 66.2
Sektor Tenaga Kerja 0.6 1.0 1.5 1.5 1.4 2.4 2.5
Pusat 0.2 0.3 0.8 0.6 0.5 1.1 1.1
Provinsi 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.6 0.6
Kabupaten/kota 0.2 0.3 0.4 0.5 0.5 0.7 0.8
Sektor Pertahanan dan Keamanan 15.8 19.4 27.0 29.5 32.4 45.1 54.9
Pusat 15.8 19.4 27.0 29.5 32.4 45.1 54.9
Provinsi . . . . . . .
Kabupaten/kota . . . . . . .
Lingkungan dan Rencana Tata Ruang 2.0 2.6 3.3 3.1 3.4 7.3 8.4
Pusat 1.0 0.8 1.2 1.2 1.0 4.0 4.6
Provinsi 0.3 0.5 0.7 0.6 0.8 1.1 1.2
Kabupaten/kota 0.7 1.3 1.3 1.2 1.5 2.2 2.5
Infrastruktur 32.4 35.3 51.7 44.9 54.6 77.8 84.8
Pusat 17.4 14.5 23.8 19.4 23.0 32.9 33.8
Provinsi 3.7 5.5 7.4 8.3 9.0 12.6 14.0
Kabupaten/kota 11.3 15.2 20.5 17.1 22.6 32.4 37.0
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
184
LAMPIRAN
Lampiran E Pendidikan
Seksi E.1. Estimasi Pengeluaran Sektor Pendidikan
Perkiraan pengeluaran yang dilaporkan didasarkan pada panel data yang berasal dari 46 negara berkembang
mulai 19722000. Data anggaran berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Statistik Keuangan Negara.
Karakteristik negara yang tidak terobservasi tidak dikontrol karena, tujuan latihan ini adalah untuk menghitung nilai
pengeluaran pendidikan dengan mempertimbangkan sejumlah karakteristik ekonomi dan geografs. Kontrol untuk
terhadap hal-hal spesifk dari suatu negara akan memberikan suatu pengharapan dengan mempertimbangkan riwayat
(dan dimensi yang tidak teramati lainnya) tingkat pengeluaran suatu negara untuk sektor pendidikan. Spesifkasi
dampak pasti yang mengontrol karakteristik yang takteramati dari suatu negara menimbulkan tingkat prediksi yang
lebih rendah (perkiraan pengeluaran pendidikan sekitar 12 persen dari anggaran yang terkonsolidasi).
Spesifkasi yang digunakan adalah:

) Re (
, 4 3 , 2 , 1 0 , t i i i t i t i t i
u gion dev X Dec G Comp + + + + + =

) Re (
4 3 , 2 , 1 0 , i i t i t i t i
gion dev X Dec G omp C + + + + =

Di mana:

G(.): menunjukkan fungsi transformasi yang diterapkan pada modul mengingat karakteristik dari empat variabel tak
bebas (G(x) = log(x/1-x)).
Comp: adalah rasio Pengeluaran Sektor Pendidikan terhadap total pengeluaran publik.
X: adalah sejumlah variabel pengontrol, yang meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, GDP per kapita, tata
cara desentralisasi fskal (anggaran pengeluaran daerah ), dan keseimbangan anggaran.
Dev: Slope dummy yang merupakan (DEC * Industrialized Dummy) yang diperkenalkan pada model untuk
memperhitungkan dampak yang berbeda dari desentralisasi tergantung pada tingkat pembangunan ekonomi.
Region: Regional dummies (LAC, MENA, NA, EASA, Sub-Saharan, relative to ECA)
Catatan: Metodologi ini juga merujuk Arze, Martinez-Vazquez, dan McNab 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
185
LAMPIRAN
Seksi E.2. Perhitungan Tingkat Pengembalian Sosial terhadap Investasi dalam Pendidikan
Tabel E.2.1 Rata-rata Pendapatan Tahunan pada Kelompok Umur yang Berbeda (Rp 000)
Age Groups
Tingkat Pendidikan
<14
(1)
15-20
(2)
21-30
(3)
31-40
(4)
41-50
(5)
51-60
(6)
61-70
(7)
Jumlah Sekolah 2,665 4,328 4,655 4,983 4,892 4,406 3,545
SD 4,211 4,790 5,978 6,750 7,182 7,955 5,985
SMP 4,346 5,474 7,292 8,387 10,216 10,562 8,068
SMA Umum --- 7,408 8,374 12,088 16,193 18,983 12,114
Sumber: Survei Nasional Tenaga kerja (Sakernas) 2006.
Data mengenai upah untuk tiap jenjang pendidikan dan kelompok umur dihitung berdasarkan Survei
Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) yang dikeluarkan pada Februari 2006. Data ini meliputi 178.228 individu
yang menerima gaji dan upah uang. Perbedaan upah bersih untuk setiap kelompok ditentukan sebagai perbedaan
upah karena tingkat pendidikan, dan upah rata-rata pada jenjang pendidikan yang lebih rendah. Misalnya, diferensial
bersih untuk lulusan SD, sama dengan perbedaan antara upah rata-rata seseorang yang berpendidikan dengan yang
tidak berpendidikan (atau Rp 4.211 Rp 2.665 = Rp 1.546). Perhitungan upah bersih dari diferensial upah bersih
untuk dengan masa kerja selama 50 tahun (mulai umur 15 tahun sampai 65 tahun). Angka ini menunjukkan adanya
manfaat sosial dalam analisis manfaat atas pengeluaran untuk pendidikan.
103
Kehilangan upah dan gaji sama dengan
75 persen dari pendapatan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Angka 75 persen itu digunakan
untuk melakukan penyesuaian persentase waktu yang digunakan anak-anak untuk bersekolah setiap (secara teknis
siswa dapat bekerja penuh waktu dari sisa waktu 25 persen untuk tahun tersebut).
Tabel E.2.2 Biaya Investasi : Boaya Langsung dan Tidak Langsung untuk Pendidikan
Kehilangan
Pendapatan
(1)
Biaya
Langsung
(2)
Total Biaya
Tahunan (3)
Total Biaya selama
Waktu Penuh (4)
SD 3,246 2,880 6,126 36,754
SMP umum - 3,593 4,301 7,894 22,682
SMA umum 4,106 5.143 9,250 27,749
Sumber:estimasi staf Bank Dunia.
Biaya langsung untuk menyediakan layanan pendidikan di setiap jenjang merupakan biaya agregat dari unit
biaya yang disebabkan di setiap jenjang sekolah dan biaya yang dikeluarkan di setiap tingkat pemerintahan
untuk mengurus seluruh keperluan administrasi pendidikan. Satuan biaya yang digunakan dalam perhitungan
ini dapat dilihat pada Tabel A2.3. Angka-angka ini diambil dari survei untuk 2.016 sekolah mulai dari Sekolah Dasar,
Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah
(Islamic Sekolah Menengah Atas), dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di 56 kabupaten/kota dan 15 provinsi di
Indonesia.
104
Unit biaya di setiap jenjang meliputi gaji guru; pembelian peralatan ruang kelas; membangun gedung
sekolah serta biaya dikeluarkan untuk mendanai kegiatan yang tidak secara langsung terkait dengan proses belajar,
tetapi mendukung kegiatan operasional sekolah, seperti: gaji kepala sekolah dan staf administrasi; pembelian peralatan
sekolah dan keperluan kecil untuk kepala sekolah dan staf administrasi; dan pengembangan dan pemeliharaan
gedung untuk kepala sekolah dan staf administrasi.
103 Diakui ini memang defnisi yang sempat mengenai manfaat. Metodologi yang lain meliputi defnisi manfaat dengan mencakup manfaat non-
pasar dari pendidikan; seperti manfaat bagi kelembagaan negara; kesehatan swasta dan publik, dan terhadap tingkat fertilitas dan /atau balikan
terhadap penerimaan tidak langsung di sektor ekonomi; misalnya, karena perusahaan tertarik selalu mencari tenaga kerja terampil dan lingkungan
yang baik yang berdampak pada pertumbuhan (untuk diskusi lebih lanjut mengenai jenis perkiraan ini, silakan lihat McMahon dan Appiah, 2001).
104 Survei ini dilaksanakan untuk Departemen Pendidikan Nasional, didanai oleh UNESCO, di bawah pimpinan Abbas Ghozali. Lihat Ghozali 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
186
LAMPIRAN
Biaya per tahun untuk setiap siswa untuk menyediakan layanan pendidikan sama dengan jumlah biaya yang
dikeluarkan (Kolom 1 pada Tabel A2.2) dan biaya langsung (Kolom 2 pada Tabel A2.2). Untuk menemukan seluruh
biaya investasi untuk setiap jenjang pendidikan untuk mendidik setiap individu, total biaya kali jumlah tahun yang
diperlukan untuk setiap jenjang; yaitu, SD (6 tahun), SMP (3 tahun ), dan SMA (3 tahun ).
Tabel E.2.3 Unit Biaya Pendidikan Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Unit Pengeluaran (Rp 000)
Primary Junior High Senior High
Sekolah 1,864 2,771 3,612
Kecamatan 57 0 0
Kabupaten/kota 170 153 125
Provinsi 159 141 117
Pemerintah pusat 54 376 261
Total 2,304 3,441 4,115
Sumber: Ghozali 2005 Bab 5 Hasil dan Pembahasan, p. 83. Tingkat Infasi 2005=10.5 persen 2006= 12.8persen .
Keterbatasan dan Penelitian di Masa Depan
Perlu diperhatikan bahwa beberapa studi tentang dampak pendidikan terhadap tingkat balikan sosial
menunjukkan angka signifkan yang berbeda. Sebuah studi yang baru-baru ini dilaksanakan UNESCO (2007),
misalnya, melaporkan bahwa nilai balikan untuk pendidikan dasar sebesar 27 persen di wilayah pedesaan, dan 5
persen di wilayah perkotaan. Beberapa studi mengenai tingkat balikan ini meliputi balikan sektor swasta dari tingkat
pendidikan dalam bentuk kenaikan pendapatan. Estimasi ini sesuai dengan perhitungan regresi menggunakan
logaritma alami untuk pendapatan sebagai variabel tidak bebasnya, dan tahun sekolah dan potensi masa kerja di
pasaran sebagai variabel bebas. Para penulis untuk bidang ini sering memberinya label koefsi balikan terhadap
pendidikan, di mana hal ini merupakan dampak upah marjinal, dan bukan sebagai balikan terhadap investasi dalam
pendidikan. Nosi mengenai istilah balikan perlu mempertimbangkan biaya pendidikan, baik untuk sektor swasta
maupun publik, dan menghubungkan biaya ini terhadap dampak upah. (Psacharopoulos 1994, p. 1326).
Data yang dilaporkan dalam estimasi itu tidak mencakup manfaat non-pasar (dampak terhadap kesehatan,
usia harapan hidup, pertumbuhan penduduk, dsb.) atau dampak balikan externalities (manfaat ekonomi dari keluaran
pendidikan sebelumnya, seperti dampak pendidikan terhadap ekonomi melalui demokratisasi, stabilitas politik, dsb.).
Jelas bahwa kedua hal ini merupakan bagian dari manfaat sosial dari pendidikan. Seperti yang disampaikan oleh
McMahon (2006) nilai tambah manfaat non-pasar diperkirakan oleh Wolfe dan Zuvekas (1997) yang hampir sama
dengan nilai balikan pasar berdasarkan biaya untuk menghasilkan keluaran yang sama dengan cara yang lain. Ini
berarti bahwa estimasi tingkat balikan dalam laporan ini mungkin jauh lebih rendah daripada yang total nilai balikan
pembangunan ekonomi sebenarnya dari investasi di sektor pendidikan. Poin tambahan yang perlu diperhatikan
adalah bahwa, Survei Tenaga Kerja Nasional melaporkan pendapatan dari pasar tenaga kerja yang terorganisir.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kebutuhan untuk menggunakan keluaran riil (jumlah padi yang dihasilkan)
untuk mengukur pendapatan riil petani, sebagai perbandingan dengan upah pekerja di wilayah perkotaan. Jamison,
misalnya, menyimpulkan bahwa pertanian meliputi peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 7.4 persen sebagai
akibat dari petani yang mampu menyelesaikan jenjang sekolah dasar yang juga dengan sendirinya meningkatkan
nilai balikan dari pendidikan.
Dengan memperhatikan beberapa pertimbangan yang dibahas di atas, kita dapat meningkatkan nilai balikan
pendidikan seperti yang dilaporkan dalam bentuk persentase sesuai dengan banyak dampak yang terkait di
dalamnya, metodologi yang digunakan, dan asumsi yang dibuat. Estimasi yang disampaikan di sini merupakan
hasil dari sebuah metodologi yang meliputi biaya pendidikan oleh sektor swasta dan publik. Biaya pendidikan, dengan
mengikuti penjelasan metodologi dalam Psacharopoulos (1994), dan dengan menerapkan teori yang dikembangkan
oleh McMahon dan Boediono (1992). Tim yang menyusun laporan ini tidak memperluas lagi lingkup metodologi
dasarnya, tetapi telah mendanai latihan itu sebagai bagian dari agenda untuk penelitian di masa yang akan datang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
187
LAMPIRAN
Seksi E.3. Faktor-faktor Penentu dari Angka Partisipasi Murni di Indonesia
Spesifkasi di bawah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor permintaan dan suplai yang menentukan keluaran
pendidikan.
i i
u L K D Sc A R Po GRDP S E E R + + + + + + + + + + + + + =
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 2 1 1

Di mana:
i = Kabupaten/kota i = 1N, N=409
R = Tingkat penerimaan bersih untuk siswa
E1 = Log biaya pendidikan untuk populasi pada umur sekolah (total pengeluaran pendidikan per jumlah anak usia sekolah
antara 7 sampai dan 18 tahun ).
105

E2 = Log rata-rata pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan (per populasi dalam kelompok usia sekolah) dari 2001 to
2003
S= Pengeluaran untuk tenaga pendidik sebagai bagian dari total pengeluaran pendidikan (rasio pengeluaran personalia
terhadap total pengeluaran untuk pendidikan)
GRDP= Log untuk PDRB per kapita
Po = Angka kemiskinan
R = Daerah terpencil (Rata-rata geometris tentang jarak dari desa ke wilayah kabupaten/kota terdekat)
A = Akses terhadap jalan raya (% desa yang memiliki akses jalan aspal)
Sc = Jumlah SD dan SMP per km2
D = Variabel bencana alam (0-1) yang menunjukkan apakah kabupaten/kota pernah terkena bencana alam di waktu yang
lampau.
K = Dummy untuk wilayah perkotaan/pedesaan dari kabupaten/kota (=1 untuk perkotaan)
L= Persen dari populasi sekolah berdasarkan kelompok umur
Sumber
Pendaftaran bersih dan persen populasi dalam kelompok usia sekolah yang bekerja dihitung berdasarkan the Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005. Pengeluaran untuk pendidikan dan pembayaran gaji dari total biaya pendidikan
diambil dari SIKD (dataset anggaran daerah), dan data distribusi pengeluaran pemerintah pusat untuk DAK dan dekonsentrasi
anggaran seperti yang dilaporkan oleh DepKeu. PDB untuk setiap kabupaten/kota diambil dari data yang dikeluarkan Biro Pusat
Statistik (BPS). Variabel yang lain dihitung berdasarkan Podes 2005.
Model Ekonometrik
Models 1, 2 dan 3 memberikan estimasi mengenai spesifkasi linier berdasarkan kuadrat terkecil; di mana model 4
memberikan estimasi mengenai logit model. Model yang belakangan ini digunakan karena adanya sifat fraksional pada variabel
takbebas. Model 3 dan 4 mengontrol tingkat dampak yang tidak terkontrol di provinsi dengan memasukkan dummy provinsi
(dampak tetap). Koefsien tingkat provinsi tidak dilaporkan dengan alasan penyederhanaan uraian.
Hasil regresi menandaskan peran pengeluaran publik sebagai determinan tingkat pendapatan siswa. Koefsien pengeluaran
publik untuk pendidikan menunjukkan angka positif dan signifkan secara statistik pada semua estimasi model dan spesifkasi.
Mengingat bentuk log-linier fungsional yang digunakan dalam estimasi tersebut, peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar
1 persen akan meningkatkan pendaftaran bersih sampai 0.02 persen, dengan titik Elastisitas 0,02 * (1/Pendaftaran bersih untuk
kabupaten/kota). Elastisitas pengeluaran sektor pendidikan yang diperoleh dari Logit model (Kolom 4) barada pada rentangan
yang sama dengan model linier (sekitar 0,03). Ada juga kemunduran dalam seluruh model itu dengan pengeluaran pendidikan
(per calon student) mendahului dampak pendaftaran selama 1 tahun dan pengeluaran kabupaten/kota rata-rata untuk waktu
selama 2 - 4 tahun (2001-03). Namun demikian, rata-rata pengeluaran kabupaten/kota (per populasi sekolah) untuk 2001-03 tidak
menunjukkan angka signifkan secara statistik pada setiap model estimasi yang digunakan.
Hasil tersebut tidak memberikan bukti mengenai keberadaan perbedaan kabupaten/kota yang berada di daerah terpencil
dan yang bukan di daerah terpencil, tetapi hasil itu memang memberikan bukti perbedaan mengenai perkotaan dan
pedesaan di wilayah kabupaten/kota. Model 1 dan 2 hanya berbeda dalam hal variabel dummy untuk mengontrol Perbedaan
antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota. Variabel ini signifkan secara statistik dalam model
1 dan diperkirakan memberikan tanda positif. Namun demikian, ketika variabel tenaga kerja dan jumlah sekolah dimasukkan,
tanda wilayah perkotaan dummy kembali menunjukkan angka negatif dan tidak signifkan secara statistik . Hal ini sepertinya
disebabkan oleh alasan mendasar dari perbedaan antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan pada tingkat kabupaten/kota
105 Populasi dalam satu kelompok usia sekolah dihitungan berdasarkan alternatif untuk pengeluaran per kapita (dibandingkan dengan jumlah
siswa sbenarnya) untuk menghindari endogenitas (mis.,peningkatan pendaftaran bersih, yang mencerminkan jumlah siswa sebenarnya lebih
banyak, juga akan meningkatkan denominator variabel pengeluaran per siswa).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
188
LAMPIRAN
yang semata-mata didorong oleh adanya jumlah sekolah yang besar dan adanya tenaga kerja siswa yang lebih rendah untuk
wilayah perkotaan. Ketika jumlah sekolah dan tenaga kerja dikontrol secara independen, di samping adanya dummy wilayah
perkotaan, dummy wilayah perkotaan menunjukkan angka negatif, mungkin karena adanya beberapa jenis dampak yang tidak
murni. Selanjutnya, model 2 menggantikan variabel dummy wilayah perkotaan untuk variabel tenaga kerja dan jumlah sekolah
per km2 dan menunjukkan angka r2 yang lebih tinggi. Variabel untuk wilayah terpencil tidak signifkan secara statistik dalam
setiap in any of the spesifkasi .
Tabel E.3.1 Faktor-faktor Penentu Angka Partisipasi Murni
Variabel tidak bebas : Tingkat partisipasi murni untuk siswa
Variabel OLS (1) OLS (2)
Fixed
efects (3)
Logit-fxed
efects (4)
Log pengeluaran untuk pendidikan (per penduduk usia sekolah )
0.02**
(2.67)
0.02**
(2.61)
0.02**
(3.11)
0.14**
[.028]
(4.03)
Log rata-rata pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan (per
penduduk usia sekolah ) dari 2001 ke 2003
6.9 e-3
(0.8)
0.01
(1.32)
3.2 e-3
(0.43)
0.018
[0.003]
(0.43)
Log PDRB
1.1 e-2**
(2.86)
7.3 e-3*
(1.76)
2.4 e-3
(.64)
0.02
[.003]
(1.01)
Belanja pegawai sektor pendidikan dari total pengeluaran untuk
pendidikan
-0.015
(-.92)
-0.01
(-0.8)
-3.2 e-4
(-0.20)
-2.2 e-2
[-7.3 e-4]
(-.03)
Angka kemiskinan
-0.08
(-2.03)
-0.06*
(-1.46)
-0.11*
(-2.32)
-0.62*
[-.11]
(-2.39)
Daerah terpencil
-9.91 e-5
(-.71)
-2.3 e-5
(-.16)
-2.0 e-5
(-.14)
1.8 e-4
[-3.34 e-5]
(-0.26)
Akses terhadap jalan raya
1.5 e-4**
(2.75)
1.3 e-4**
(2.56)
4.01 e-5
(0.8)
2.0 e-4
[3.72 e-5]
(.74)
Bencana alam
-3.02 e-4**
(-3.65)
-3.0 e-4**
(-3.68)
-1.1 e-4
(-1.55)
5.9 e-4
[1.1 e-4]
(-1.62)
Dummy untuk Kabupaten/Kota perkotaan/ pedesaan
0.02*
(2.21)
Tenaga kerja
-0.30**
(-5.59)
-0.31**
(-6.24)
-1.6**
[-.30]
(-4.79)
Jumlah SD dan SMP per km2
4.5 e-3
(1.72)
1.9 e-3
(.76)
1.7 e-2
[3.1 e-2]
(1.22)
Konstanta
0.04
(.27)
0.15
(1.0)
0.30
(1.97)
-0.73
(-0.92)
R2 yang disesuaikan .29 .36 .56 ---
303 299 299 299
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: t-statistik di dalam kurung kurawal; **,*,+ masing-masing menunjukkan tingkat signifkansi 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Kolom 4
menunjukkan elastisitas nilai mean variabel di dalam kurung biasa.
Produk regional bruto, akses terhadap jalan raya , dan variabel bencana alam tampak signifkan pada model
pertama dan kedua tetapi menjadi tidak signifkan ketika dilakukan kontrol terhadap karakteristik provinsi
yang tidak terobservasi. Hal ini mungkin mencerminkan fakta bahwa semua kabupaten/kota memiliki karakteristik
yang sama provinsi yang ditentukan yang dapat ditangkap oleh dummy provinsi.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
189
LAMPIRAN
Faktor sisi permintaan seperti kemiskinan dan persentase populasi usia sekolah yang bekerja, berdampak
terhadap penerimaan siswa bersih. Koefsi untuk angka kemiskinan dan siswa yang bekerja tenaga kerja memiliki
angka negatif dan signifkan secara statistik pada semua model dan spesifkasi, yang mencerminkan pentingnya
faktor sisi permintaan sebagai determinan keluaran pendidikan. Dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi
memang lebih mahal bukan saja karena faktor the sekolah tetapi juga karena faktor rumah tangga, dan oleh karena
itu, karakteristik sosial ekonomi dari suatu populasi merupakan faktor penentu penting dalam tingkat pendaftaran.
Rumah tangga yang berada pada kabupaten/kota yang lebih miskin mungkin tidak bisa menyekolahkan anak-anak
mereka, walaupun mereka sudah mendapatkan akses terhadap sekolah. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan
yang bertujuan tidak saja menurunkan besarnya uang sekolah tetapi juga menurunkan angka kemiskinan. Keluarga
yang memiliki pendapatan lebih rendah memerlukan mekanisme pendukung yang memungkinkan mereka mampu
mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, seperti pemberian kompensasi atas pendapatan yang hilang karena anak
dikirim ke sekolah (kerugian kontribusi keuangan).
Seksi E.4. Estimasi Implikasi Keuangan dari UU Keguruan yang Baru
UU Keguruan tahun 2005 yang baru menyatakan bahwa guru akan menerima tunjangan fungsional, khusus,
dan profesi. Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri Seksi ini berusaha untuk menunjukkan dampak dari
berbagai jenis insentif ini terhadap anggaran pendidikan. Perhitungan pada Diagram itu didasarkan pada asumsi
berikut:
Tunjangan untuk penugasan di daerah khusus akan sama dengan gaji pokok guru (UU Keguruan No.
14/2005). Diperkirakan bahwa the gaji rata-rata seorang guru adalah Rp 18 juta per tahun dan bahwa, untuk
dua tahun pertama, 5 persen dari seluruh guru akan menerima tunjangan ini. Sepuluh persen dari jumlah guru
akan menerima insentif pada 2009, dan persentase ini akan berlaku sampai 2016. (Beberapa pejabat Depdiknas
menyatakan bahwa jumlah itu seharusnya berjumlah 15 persen). Alasan kenaikan itu adalah bahwa pemerintah
akan menugaskan guru untuk bekerja pada sekolah-sekolah dengan bidang khusus.
Tunjangan profesi akan diberikan kepada guru yang lulus ujian sertifkasi dan akan jumlahnya akan
sama dengan gaji pokok guru (UU Keguruan No.14/2005). Penghitungan tunjangan profesi sangat rumit
dan memerlukan banyak asumsi (termasuk jumlah guru yang akan lulus ujian sertifkasi, rata-rata gaji pokok guru
yang menerima sertifkasi, dan tingkat peningkakan jumlah tenaga kerja guru). Estimasi guru yang menerima
insentif tersebut untuk tiga tahun pertama didasarkan pada target Dekdiknas: 5 persen guru akan menerima
tunjangan pada 2007, 12 persen pada 2008, dan 20 persen pada 2009. Insentif itu diperkirakan akan meningkat
sebesar 10 persen pada 2016, sehingga sebanyak 90 persen guru akan menerima insentif tersebut. Target ini
sangat optimistik. Perkiraan yang lebih konservatif adalah 70 persen, yang akan mengurangi pengeluaran secara
keseluruhan untuk tunjangan profesi.
Tunjangan fungsional ditentukan dalam rancangan UU yang dibuat pada Oktober 2006 sebesar 50
persen dari gaji pokok guru yang sudah memiliki sertifkasi. Ketentuan ini sudah diubah lagi pada draft
UU versi November 2006 untuk tidak mencantumkan besaran, tetapi tetap diberikan kepada guru yang sudah
menyelesaikan proses sertifkasi. Tetapi, masih ada perdebatan mengenai apakah tunjangan itu harus diberikan
kepada semua guru atau kemungkinan digunakan sebagai insentif tambahan bagi guru. Jika insentif tersebut
diberikan kepada semua guru, ini akan memiliki dampak signifkan terhadap anggaran pendidikan. Jika diberikan
kepada guru yang sudah memiliki sertifkasi saja, mereka yang sudah memenuhi persyaratan kinerja, maka hal ini
akan berdampak buruk (karena tidak satu pun guru yang sudah melakukan sertifkasi), dan dampak ini bisa lebih
serius dalam jangka panjang.
Jumlah guru diperkirakan tetap konstan. Walaupun tenaga pendidik di Indonesia mengalami
peningkatan dengan cepat di masa yang lalu, kini telah terjadi kelebihan guru. Insentif yang baru akan
mendorong Dekdiknas untuk bertindak lebih efsien dalam penyediaan dan pendistribusian guru. Pada 2006
peraturan Keguruan (RPP Guru) menunjukkan bahwa Depdiknas sangat serius berupaya untuk mengendalikan
suplai tenaga guru. Saat ini juga terdapat cukup banyak guru yang berumur antara 50 60 tahun. Jika guru-guru
ini guru, hal ini akan membantu mengurangi jumlah guru. Jika tren peningkatan jumlah guru terus berlanjut, ini
akan menambah beban anggaran yang akan digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan bagi guru.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
190
LAMPIRAN
Perkiraan perhitungan dilakukan dalam tingkat sebenarnya (daripada angka nominal). Gaji dan insentif
diperkirakan akan meningkat sejalan dengan peningkatan laju infasi.
Diagram E.4.1. Pendapatan Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah vs. Jumlah Jam Kerja
106
0
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
4,500
5,000
0 10 20 30 40 50 60 70
-
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Guru Sekolah Dasar Guru Sekolah Lanjutan Pertama
Jumlah Jam Kerja per Minggu Jumlah Jam Kerja per Minggu
Sumber: Employment dan Deployment Survey 2005.
Catatan: Skala pendapatan guru SD dan SMP berbeda pada Grafk di atas. Guru rata-rata menerima gaji lebih besar.

Seksi E.5. Catatan Metodologis tentang Penghitungan Unit Biaya Pendidikan
Perkiraan McMahon, yang dikembangkan berdasarkan penentuan biaya per siswa, mengikuti asumsi berikut ini:
Survei yang baru-baru ini dilakukan memberikan data tentang pengeluaran sekolah yang sebenarnya.
Data ini memberikan informasi mengenai biaya pokok penyelenggaraan sekolah.
Prinsip Best practice di sekolah diartikan sebagai cara-cara untuk meningkatkan nilai ujian siswa.
Sekolah semacam ini memiliki beberapa buku pelajaran untuk setiap siswa, dan gaji tambahan untuk guru pada
sekolah tersebut juga lebih tinggi. Misalnya, dalam hal pengeluaran, rata-rata sekolah diperkirakan mengeluarkan
sekitar Rp 15.000 per siswa untuk bahan pelajaran sementara sekolah yang menerapkan prinsip best practice ini
menghabiskan rata-rata sebesar Rp 21.745 per siswa.
Perkiraan biaya pendidikan untuk tingkat SMP adalah 1,5 kali biaya penyelenggaraan sekolah tingkat
SD.
Untuk meningkatkan jumlah pendaftaran siswa dari keluarga miskin dan mereka yang kurang beruntung
diperlukan tambahan sumber daya, yang bertujuan terutama untuk membebaskan mereka dari SPP.
Saat ini, SPP atau uang sekolah dibebankan pada uang pendaftaran, ujian, pengadaan buku ajar, buku catatan,
tas sekolah; dan transportasi. Di tingkat SD, pembebasan SPP berarti hilangnya pendapatan sekolah rata-rata
sebesar of Rp 13.000 per siswa pada 2004 (tingkat harga tahun 2003), meningkat menjadi Rp 38.000 per siswa
pada 2008. Di tingkat SMP, jumlah itu menjadi sekitar Rp 57.000 per siswa.
Di samping itu, beasiswa sebesar Rp. 290.000 per siswa per tahun bagi 18.2 persen siswa SD, yang
berarti melipatduakan hibah yang diberikan saat ini oleh pemerintah, Ini menutupi akan Biaya peluang
(opportunity cost) yang ditanggung pemerintah dan suplemen bagi guru. Sementara itu hibah yang dialokasikan
pada sekolah adalah Rp 93,000 per siswa per tahun . Program BOS telah menutupi sebagian dari biaya ini pada
tahun 2005.
106 Kepala sekolah juga masuk did alam Grafk itu karena mereka dianggap bagian dari tenaga kerja guru, tetapi perlu dingat bahwa mereka
hanya mengajar 6 jam per minggu, terutama di sekolah-sekolah yang lebih besar. Guru olaha aga dan guru agama cenderung bekerja 12 jam per
minggu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
191
LAMPIRAN
Seksi E.6. Estimasi Implikasi Keuangan akibat Kelebihan Guru
Isu mengenai kelebihan guru di Indonesia menunjukkan adanya sistem pendidikan yang tidak efsien dan
untuk mengatasi isu kelebihan guru dengan baik merupakan potensi untuk melakukan penghematan
anggaran yang cukup signifkan . Tabel di bawah ini memperlihatkan estimasi potensi penghematan tersebut.
Perhitungannya didasarkan pada metode dan asumsi berikut:
Hanya guru sekolah negeri yang diperhitungkan, karena ini merupakan bidang pendanaan pemerintah yang
harus mereka kontrol. Data siswa yang digunakan dalam perhitungan ini juga hanya untuk siswa sekolah
negeri.
Karena 22 persen guru SMP negeri adalah guru tetap dan 25 persen guru honor, perlu dibuat penyesuaian
sehingga dua guru honor sama dengan satu guru tetap negeri. (Jumlah guru honor di sekolah swasta jauh
lebih tinggi, 55 persen dan 63 persen masing-masing untuk sekolah SD dan SMP).
Diasumsikan bahwa gaji guru adalah Rp 17 juta per tahun untuk guru SD dan Rp 18 juta untuk guru SMP.
Usulan kebijakan adalah melakukan survei per sekolah untuk mendapatkan perkiraan realistis mengenai
jumlah guru yang diperlukan dan menentukan tingkat kelebihan guru per sekolah juga ditentukan. Angka
yang diperoleh lalu diterapkan secara nasional, dengan mempertimbangkan banyakanya siswa di tiap
sekolah.

Formula RMG (rasio murid-guru) efektif digunakan dalam penghitungan itu. Ada perbedaan antara RMG
yang diusulkan dan RMG efektif. Misalnya, tingkat RMG untuk SD ditentukan 30:1, tetapi ketika formula ini
diterapkan di setiap sekolah, setiap sekolah mendapatkan paling sedikit 4 guru, dan target RMG untuk 30:1,
RMG yang efektif sebenarnya adalah 26:1. Hal ini disebabkan karena (1) sebuah sekolah, misalnya, memiliki
40 orang siswa, tetap akan mendapatkan 4 guru dan akan memiliki tingkat RMG 10:1, dan (2) tambahan
alokasi guru dibulatkan ke atas, sehingga sekolah dengan160 siswa misalnya mendapatkan guru sebanyak
6 orang, untuk RMG 27:1.
Formula untuk guru SMP dan SMA jauh lebih rumit karena saat di tingkat ini setiap guru hanya mengajar
satu bidang studi tertentu. Untuk tujuan melakukan analisis kita, tingkat RMG digunakan agar sesuai dengan apa
yang terjadi d negara lain daripada apa yang kini sedang berlaku di Indonesia dengan tingkat RMG yang rendah yaitu
17:1 untuk SMP dan 14:1 untuk SMA.
Kolom A menunjukkan apa yang sebenarnya disebut suplai. Kolom B menunjukkan tingkat RMG jika
penetapan formula baru diikuti. Dengan skenario ini B, 22,8 persen yang berarti bahwa hanya jumlah yang
diperlukan lebih kecil (atau 19,4 persen guru honor). Dengan jumlah ini kita akan bisa melakukan penghematan
sebesar sekitar Rp 6,7 triliun. Dengan mempertimbangkan guru honor dalam perhitungan kita (dengan asumsi 2 guru
honor = 1 tetap), jumlah akan berkurang menjadi Rp 5,6 triliun, jumlah yang mencerminkan sekitar 10 persen dari
total anggaran pendidikan. Hal ini menunjukkan potensi penghematan yang signifkan dan bahkan akan menjadi
lebih signifkan lagi mengingat dampak keuangan dari pemberlakuan UU Keguruan yang baru, di mana guru yang
sudah lulus sertifkasi akan menerima tunjangan yang besarnya sama dengan gaji pokok mereka. (Lihat Seksi tentang
Gaji Guru, Insentif , dan Mutu Pendidikan pada Bab 3).

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
192
LAMPIRAN
Tabel E.6.1 Biaya Komparatif berdasarkan Situasi Masa Sekarang dan Opsi yang Diajukan
A: RMG Aktual B: RMG Yang diusulkan
RMG untuk SD 20:1 30:1 (efective 26:1)
Guru yang diperlukan 1,177,929 937,332
Total biaya gaji (Rp 000) 20,024,793 15,934,644
Penghematan Posisi (B Ke A) 240,597
RMG untuk SMP 17:1 24:1 (efective 22:1)
Guru yang diperlukan 364,098 274,354
Biaya gaji (Rp 000) 6,553,764 4,938,372
Penghematan Posisi (B Ke A) 89,744
Dengan Memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A) 49,693
RMG untuk SMA 14:1 24:1 (efective 22:1)
Guru yang diperlukan 144,604 90,088
Biaya gaji (Rp 000) 2,602,872 1,621,584
Penghematan Posisi (B Ke A) 54,516
Dengan memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A) 36,441
Total
Total guru 1,686,631 1,301,774
Total biaya gaji (Rp 000) 29,181,429 22,494,600
Total Penghematan Posisi (B to A) 330,340
Penghematan gaji (Rp juta ) (B to A) 6,686,829
Total Penghematan Posisi dengan memperhitungkan guru paruh
waktu (B Ke A)
326,731
Penghematan gaji dengan memperhitungkan guru paruh
waktu(Rp juta ) (B to A)
5,640,556
Sumber: Studi tentang pengangkatan dan penugasan guru 2005, berdasarkan data Depdiknas 2003/2004 tentang guru dan salary.
Seksi E.7. Karakteristik Tenaga Pengajar
Tabel E.7.1 Jumlah dan Persentase Guru Honor dan Tetap pada Jenjang Pendidikan Menengah
Kepala Sekolah % Guru Tetap % Guru Honor % Total
Sekolah Menengah Pertama 22,240 4 343,575 63 176,776 33 542,591
Negeri/Umum 12,037 3 274,668 75 78,925 22 365,630
Swasta 10,203 6 68,907 39 97,851 55 176,961
Sekolah Menengah Lanjutan 14,366 3 220,133 51 200,967 46 435,466
Negeri/Umum 4,673 2 140,582 73 47,269 25 192,524
Swasta 9,693 4 79,551 33 153,698 63 242,942
Sumber: Depdiknas 2005.
Tabel E.7.2 Jumlah dan persentase Guru SD Menurut Wilayah Tanggung Jawab
Wilayah Tanggung Jawab Guru
Tingkat Pendidikan Dasar Kepala Sekolah Guru Kelas Guru Agama Guru Olah Raga Total
Jumlah Guru 146,045 934,479 167,449 87,113 1,335,086
Persentase dari keseluruhan 11 70 13 7 100
Sumber: Depdiknas 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
193
LAMPIRAN
Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri
Tabel E.8.1. Rata-rata Penghasilan Per Bulan dan Jumlah Jam Kerja antara Guru dan Non-Guru Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
guru
Rata-rata penghasilan per bulan (Rp 000) Rata-rata jam kerja per minggu
Bukan
Guru
Guru
bukan
SD
Guru
SD
Total
pekerja
yang
dibayar
Bukan
Guru
Guru
bukan
SD
Guru
SD
Total
pekerja
yang
dibayar
DI bawah SD
445.5
(294.4)
445.5
(294)
46
(16)
46
(16)
SD
528.4
(381)
528.4
(381)
48
(14)
48
(14)
SMP
643.4
(401)
643.4
(401.1)
48
(12)
48
(12)
SMA
920.0
(671)
621.6
(519)
1,062.7
(778)
917.4
(675.3)
46
(10)
30
(12)
34
(8.5)
45
(11)
Diploma I dan II
1,147.7
(1,250)
1,070.1
(1,206)
1,220.4
(410)
1,168
(933.9)
43
(12)
32
(9)
34
(7)
36
(10)
Akademi/Dipl III
1,441.7
(1,131)
1,298.1
(1,867)
1,143.4
(434)
1,392.2
(1,227)
44
(9)
35
(10)
36
(7)
42
(10)
Universitas/ Dipl IV
1,772.1
(1,856)
1,1432.7
(645.2)
1,160.1
(502)
1,536
(1,540.9)
43
(9)
34
(10)
34
(8)
39
(11)
Total
816.5
(796.7)
1,033.2
(953.8)
1,139.3
(605)
841.9
(801)
47
(12)
33
(11)
34
(8)
46
(13)
Observasi 35,252 1,804 1,615 38,671 35,252 1,804 1,615 38,671
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Sakernas 2004.
Catatan: Standar deviasi dalam kurung kurawal. Bagian yang kosong menunjukkan bahwa tidak ada guru yang berpendidikan kurang dari
sekolah menengah atas.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
194
LAMPIRAN
Tabel E.8.2. Perbedaan Penghasilan: Sampel Tenaga Kerja dengan Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah
atau Lebih Tinggi (%)
Log variabel tidak bebas upah bulanan
2000 (Filmer 2002) 2004 (World Bank 2006)
Sampel: Semua tenaga
kerja yang dibayar
(sektor publik & swasta)
Sampel: Semua tenaga
kerja yang dibayar
(sektor publik & swasta)
Sampel: guru dan
PNS yang lain
Guru
-0.18
(9.25)**
-0.21
(-20.79)**
-26.09
(-0.30)
Guru SD
-0.025
(1.14)
-0.06
(9.09)**
-17.96
(-4.29)
Guru bukan SD
-0.34
(13.19)**
-0.33
(-16.16)**
-32.22
(-8.52)
PNS (diluar guru)
24.33
(5.89)**
Usia
.06
(15.49)**
0.061
(15.47)**
0.07
(33.24)**
0.07
(32.73)**
18.33
(23.43)
17.25
(22.09)
Usia kuadrat
-0.00
(7.98)**
-0.00
(8.11)**
-0.00
(-21.04)**
-0.001
(-20.71)**
-0.16
(-18.14)
-0.15
(-17.40)
Laki-laki
0.14
(12.32)**
0.15
(13.03)**
0.18
(21.84)**
0.18
(22.37)**
12.36
(5.41)
12.73
(5.62)
Daerah Perkotaan
0.12
(7.10)**
0.14
(7.88)**
0.14
(17.55)**
0.15
(18.51)**
4.71
(2.12)
6.74
(3.02)
Pend. Diploma I & II
0.32
(15.26)**
0.27
(12.86)**
0.49
(22.51)**
0.42
(19.74)**
29.27
(8.8)
27.48
(8.39)
Pend. Academy Diploma III
0.33
(15.92)**
0.36
(16.96)**
0.59
(30.81)**
0.61
(31.64)**
30.91
(7.04)
36.67
(8.16)
Pend. University Diploma IV
0.37
(18.71)**
0.42
(20.58)**
0.65
(46.93)**
0.70
(49.43)**
32.52
(11.06)
41.27
(13.09)
Konstanta
11.67
(164.24)
11.67
(165.46)
11.76
(344.00)**
11.78
(346.11)**
9.67
(63.37)
9.83
(64.47)
Observasi 18,612 18,612 30,130 30,130 3,655 3,655
R kuadrat 0.30 0.31 .27 .28 .37 .39
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifkansi 1 persen. Penghasilan ditentukan asbagai gaji dalam bentuk
tunai dan bentuk lain.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
195
LAMPIRAN
Tabel E.8.3. Faktor-faktor Penentu Penghasilan per Jam
Variabel Dependen: log penghasilan per jam
Sampel: Semua tenaga kerja yang dibayar
(sektor publik dan swasta)
Sampel: guru dan PNS yang lain
(sektor publik )
Guru
23.42
(16.66)**
-18.70
(-4.64)**
Guru SD
46.94
(23.13)**
-12.58
(-2.91)**
Bukan Guru SD
4.98
(3.01)**
-23.47
(-5.86)**
PNS (di luar guru )
46.72
(9.34)**
Umur
7.43
(44.43)**
7.33
(43.95)**
7.59
(45.31)**
14.26
(18.6)**
13.53
(17.58)**
Umur kwadrat
-0.08
(-36.05)**
-0.08
(-35.7)**
-0.08
(-36.58)**
-0.12
(-13.91)**
-0.11
(-13.07)**
Laki-laki
34.18
(41.84)**
34.40
(42.2)**
31.82
(39.57)**
6.52
(2.94)**
6.76
(3.06)**
Wilayah perkotaan
20.46
(27.27)**
20.91
(27.89)**
18.99
(25.56)**
3.02
(1.38)
4.39
(1.98)
Pend. Diploma I & II
80.73
(30.01)**
71.92
(27.23)**
104.22
(39.08)**
29.27
(8.82)**
28.02
(8.51)**
Pend. Akademi Diploma III
93.56
(39.04)**
95.36
(40.06)**
101.04
(42.02)**
23.90
(5.6)**
27.65
(6.35)**
Pend. Universitas Diploma IV
101.09
(59.18)**
107.40
(61.19)**
113.19
(68.03)**
31.30
(10.7)**
37.26
(11.95)**
Konstanta
6.30
(221.31)**
0.03
(222.45)**
6.30
(220.57)**
5.52
(36.26)**
5.63
(36.84)**
Observasi 38,431 38,431 38,431 3,616 3,616
R kuadrat .31 .32 .32 .30 .31
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Catatan: Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifkansi 1 persen. Penghasilan ditentukan sebagai gaji dalam bentuk
tunai dan bentuk lain.
Penghasilan per jam dihitung berdasarkan rata-rata penghasilan bulanan, dibagi dengan jumlah jam kerja selama 4 minggu terakhir.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
196
LAMPIRAN
Tabel E.8.4. Perbedaan dalam Pendapatan Bulanan: Setelah Mengontrol Karakteristik Individu (Relatif
terhadap terhadap Jawa Barat) (%)
Provinsi Guru Tenaga Kerja Lain Selisih
Nangroe Aceh Darussalam 3.3 -8.3** -11.6
Sumatera Utara 10.2+ -7.0** -17.2
Sumatera Barat 8.7 -6.7** -15.4
Riau 5.2 20.9** 15.7
Jambi 4.2 -8.6** -12.8
Sumatera Selatan 17.3* -3.7** -21.1
Bengkulu -1.6 -23.3** -21.7
Lampung -2.8 -17.6** -14.8
Bangka Belitung -13.8 -0.2** 13.6
DKI Jakarta 11.9+ 21.6** 9.6
Jawa Tengah -14.7** -22.8** -8.1
DI Yogyakarta -4.0 -29.1** -25.0
Jawa Timur -23.0** -16.5 6.5
Banten -10.9+ 16.0** 26.8
Bali 2.3 -6.3** -8.6
Nusa Tenggara Barat -14.1* -29.8 -15.7
Nusa Tenggara Timur 13.3+ -20.3** -33.6
Kalimantan Timur 25.0 17.3** -17.2
Kalimantan Tengah -9.4 1.5** -7.7
Kalimantan Selatan 16.1+ 23.5** 10.9
Kalimantan Timur 30.0** 4.5** 7.4
Sulawesi Utara 8.0 -9.6** -25.6
Sulawesi Tengah -5.7 -5.7** -17.6
Sulawesi Selatan -0.8 -13.4 0.0
Sulawesi Tenggara 7.8 -22.4** -12.7
Gorontalo 34.6** -0.3 -30.2
Maluku Utara 21.3 22.7** -35.0
Papua 88.1** 53.2 1.4
Sumber: Analisis Sakernas 2004.
Catatan: Diferensial kondisional berasal dari koefsi variabel dummy for provinsi dalam regresi multivariat untuk pendapatan (yaitu, 100*(exp(b)-
1), di mana b adalah koefsi dummy untuk provinsi-spesifk. Sampel tenaga kerja dengan jenjang pendidikan sekolah menengah atau lebih tinggi.
+, *, ** menunjukkan tingkat signifkansi 10 persen , 5 persen, dan 1 persen.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
197
LAMPIRAN
Seksi E.9. Penafsiran Ketentuan 20 persen
Tabel E.9.1 Alternatif Penafsiran tentang Perhitungan Pengeluaran untuk Rasio Pendidikan
Numerator Denominator Ratio
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk gaji
(1) Total belanja pemerintah pusat (diluar
transfer ke Daerah)
(1) 9.4
Pemerintah pusat spending on Pendidikan programs
tidak termasuk gaji
(2) Total belanja pemerintah pusat (diluar
transfer dana ke daerah)
(1) 7.4
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan tidak termasuk gaji
(2) Total belanja pemerintah pusat (diluar
transfer dana ke daerah dan gaji dari
semua sektor lain)
(2) 10.1
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan
dari departemen dan lembaga lain* termasuk gaji
(3) Total belanja pemerintah pusat (diluar
transfer dana ke daerah)
(1) 11.8
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan
excluding salaries
(4) Total belanja pemerintah pusat (diluar
transfer dana ke daerah)
(1) 9.6
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan
dari departemen dan lembaga lain diluar gaji
(4) Total belanja pemerintah pusat (diluar
transfer dana ke daerah dan gaji untuk
sektor lain)
(2) 11.75
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan
dari departemen dan perkiraan transfer dana ke
daerah yang dialokasikan untuk Pendidikan
(5) Total belanja pemerintah pusat
(termasuk transfer dana ke daerah)
(3) 19.3 *
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan
dari departemen dan perkiraan jumlah transfer ke daerah
yang dialokasikan untuk pendidikan diluar gaji
(6) Total belanja pemerintah pusat
(termasuk transfer dana ke daerah)
(3) 7.6
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program
pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan
dari departemen dan perkiraan jumlah transfer ke daerah
yang dialokasikan untuk pendidikan diluar gaji
(6) Total belanja pemerintah pusat
(termasuk transfer dana ke daerah,
diluar gaji untuk seluruh sektor lain)
(4) 8.65
Total belanja Pendidikan dari Pemerintah pusat,
Provinsi dan Kabupaten/kota (termasuk gaji)
(7) Total belanja nasional: Pusat (APBN
minus transfer) + Provinsi (APBD I) +
Kabupaten/kota (APBD II)
(5) 16.5
Sumber: Dihitung oleh staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD .
Catatan: Angka di dalam kurung kurawal menunjukkan perbedaan angka dalam penyebut dan pembilang.. Perubahan defnisi terkait dengan
defnisi sebelumnya Dicetak dengan huruf miring. *Misalnya, pengeluaran lain yang terkait pendidikan oleh Departemen merupakan kapasitas
upaya pembangunan bagi masyarakat untuk bergabung dengan TNI dan Polri, atau SPDN yang kelak akan menjadi Camat.
* Perkiraan yang disampaikan di sini tentang Mahkamah Konstitusi pada 7 Februari 7 2006, oleh DepKeu dan Depdiknas. Ini meliputi pendidikan
dan pelatihan pendukung bagi 16 Departemen di samping Depdiknas, serta perkiraan Pengeluaran Sektor Pendidikan oleh pemerintah daerah
dari (DAU) dan (DAK)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
198
LAMPIRAN
Lampiran F Kesehatan
Seksi F.1. Program Pemerintah Pusat Anggaran 2006
Pemerintah menjelaskan isi pokok tentang program pembangunan programs dalam Strategi Pembangunan
Jangka Menengah, RPJM, 2004-09. Dua program paling besar adalah Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Pribadi
dapat diuraikan sbb:
Program Penyediaan Kesehatan Masyarakat:
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas, pemerataan, dan mutu layanan kesehatan melalui pusat
kesehatan masyarakat dan jaringannya, ditambah dengan kegiatan Pendukung lainnya seperti puskesmas keliling
dan bidan desa.
Kegiatan utama yang dapat dilakukan melalui program ini meliputi hal-hal berikut:
1. Menyediakan layanan kesehatan kepada penduduk miskin melalui pusat kesehatan masyarakat dan jaringan
mereka.
2. Membangun, meningkatkan, dan merehabilitas fasilitas pusat kesehatan masyarakat dan jaringannya.
3. Menyediakan instrumen dan kelengkapan medis, termasuk obat generic yang dibutuhkan.
4. Meningkatkan layanan kesehatan primer, dengan memberikan setidaknya upaya promosi kesehatan,
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, peningkatan gizi, perbaikan lingkungan, layanan kesehatan
primer, dan pemberantasan penyakit menular; dan
5. Menyediakan dana operasional dan pemeliharaan.
Program Penyediaan Layanan Kesehatan Pribadi
Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses, daya beli, mutu layanan kesehatan pribadi. Kegiatan utama yang
dapat dilakukan dalam program ini meliputi:
1. Menyediakan layanan kesehatan kepada penduduk miskin pada rumah sakit kelas tiga.
2. Membangun fasilitas dan infrastruktur rumah sakit pada wilayah marjinal yang ditentukan;
3. Memperbaiki fasilitas dan infrastruktur rumah sakit;
4. Menyediakan obat-obatan dan keperluan untuk rumah sakit;
5. Meningkatkan sistem rujukan layanan kesehatan ;
6. Promosi layanan dokter keluarga;
7. Menyediakan dana operasional dan pemeliharaan; dan
8. Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam upaya meningkatkan kesehatan pribadi.
Sumber: Pemerintah RI, RPJM, 2004-09.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
199
LAMPIRAN
Diagram F.2. Pemerataan Alokasi Pengeluaran Publik untuk Kesehatan Agregat, Dekonsentrasi Anggaran,
Daerah dan DAK
y = 0,3957x + 1710,3
R
2
= 0,1349
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 550000 600000


y = 0,2142x - 27318
R
2
= 0,1231
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 550000 600000

y = 0,1629x + 27513
R
2
= 0,0501
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
500000
0 100000 200000 300000 400000 500000 600000

y = 0,0216x + 3050
R
2
= 0,0232
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
80000
0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n

P
e
r

C
a
p
i
t
a

d
i
K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a
(

P
A
1
D
B
2
+
e
D

,

k
o
n

d
a
n
)
K
A
D
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n

P
e
r

C
a
p
i
t
a

d
i
K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a
(
h
a
n
y
a

u
n
t
u
k

D
a
n
a

D
e
k
o
n
s
e
n
t
r
a
s
i
)
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n

P
e
r

C
a
p
i
t
a

d
i
K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a
P
(
A
1
D
B
2
)
+
P
e
n
g
e
l
u
a
r
a
n

K
e
s
e
h
a
t
a
n

P
e
r

C
a
p
i
t
a

d
i
K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
K
o
t
a
(
h
a
n
y
a

D
A
K
)

Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu, 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
200
LAMPIRAN
Tabel F.3. Perbedaan Penghasilan per Bulan dan per JamSetelah Mengontrol Karakteristik Individu
Variabel Dependen Log dari
Pendapatan per Bulan
Variabel Dependen Log
Pendapatan per Jam
108
Persentase Perbedaan Persentase Perbedaan
Dokter
64
(6.2)
50
(5.0)
Perawat
23
(3.9)
25
(4.1)
Bidan
38
(4.2)
36
(4.0)
Petugas kesehatan lainnya
19
4.5)
29
(6.2)
Usia
7
(42.2)
8
(45.2)
Usia Kuadrat
0
(-35.4)
0
(-36.4)
Laki-laki
40
(49.5))
33
(40.5)
Wilayah Pedesaan
-21
(-36.3)
-16
(-25.5)
Pend Diploma I & II
65
(28.0)
103
(38.7)
Pend. Akademi Diploma III
79
(35.1)
97
(40.2)
Pend. University Diploma IV
82
(55.2)
114
(68.5)
Konstanta
12
(55.2)
6
(227)
Observasi 38,671 38,431
R Kuadrat 0.27 0.31
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS, 2006.
Catatan: Diferensial kondisional berasal dari koefsi variabel dummy untuk provinsi dalam regresi multivariat untuk pendapatan (yaitu,
100*(exp(b)-1), di mana b adalah koefsi dummy untuk provinsi-spesifk. Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifkan-
si 1 persen. Penghasilan ditentukan sebagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain.
107 Pendapatan per jam dihitung berdasarkan penghasilan per bulan, dibagi jumlah jam kerja yang dilaporkan selama seminggu, lalu dikalikan
empat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
201
LAMPIRAN
Lampiran G Desentralisasi
Tabel G.1. GDP per kapita Regional dan Angka Kemiskinan setelah Desentralisasi
Kuintil 2000 2001 2002 2003 2004
1 Paling Tidak Miskin PDRB 9.0 9.1 9.2 9.4 9.8
Pertumbuhan 4.4 4.1 5.0 5.5
Kemiskinan 12.6 9.5 6.6 6.7 6.1
2 PDRB 7.3 7.4 7.5 7.6 7.8
Pertumbuhan 3.4 3.5 3.8 4.4
Kemiskinan 17.2 14.8 12.5 12.0 11.3
3 PDRB 4.2 4.3 4.4 4.4 4.6
Pertumbuhan 3.0 4.5 3.4 4.8
Kemiskinan 26.7 22.4 18.3 17.3 16.3
4 PDRB 3.6 3.7 3.9 4.1 4.2
Pertumbuhan 4.3 5.3 5.8 4.6
Kemiskinan 27.8 26.2 24.6 23.3 22.7
5 Paling Miskin PDRB 3.9 3.8 4.1 4.1 4.2
Pertumbuhan (0.4) 7.8 4.0 2.0
Kemiskinan 37.7 35.6 33.6 31.7 31.3
Nasional PDRB 5.5 5.5 5.7 5.8 6.0
Pertumbuhan 3.3 4.6 4.4 4.5
Kemiskinan 24.4 21.6 18.8 17.9 17.2
PDRB CoV 2.70 2.70 2.50 2.20 2.10
Gini 0.54 0.53 0.52 0.49 0.48
Kemiskinan CoV 0.62 0.54 0.58 0.52 0.55
Gini 0.33 0.29 0.30 0.29 0.31
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS. Data dihitung untuk tingkat kabupaten/kota di luar DKI Jakarta.
Catatan: Pertumbuhan PDRB: PDRB Riil per kapita (Rp juta ); pertumbuhan PDRB riil (%); Angka kemiskinan: Angka Kemiskinan (%).
Tabel G.2. Korelasi antara Kemiskinan dan Struktur Ekonomi, 2000-04
POVHC 2000 2001 2002 2003 2004
Total Anggaran
(%)
Kaya Miskin Kaya MIskin Kaya Miskin Kaya Miskin Kaya Miskin Kaya Miskin
Pertanian 0.2678** 0.2051** 22 46 15 46 15 47 15 47 15 45
Minyak dan gas 0.0233 - 0.1087 3 3 4 2 5 3 5 3 3 4
Manufaktur - 0.0353 -0.1576** 19 7 20 6 20 6 20 6 19 6
Jasa -0.1923** - 0.1195 55 41 59 42 58 41 58 41 60 41
Non Migas -0.0233 0.1087 97 97 96 98 95 97 95 97 97 96
KOTA -0.2842** - 0.0203 - - - - - - - - - -
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS.
Catatan: Data dihitung untuk tingkat kabupaten/kota di luar DKI Jakarta. Kaya (Miskin) mengacu pada kuintil tertinggi (terendah) dalam hal
angka kemiskinan per populasi.
* dan ** menunjukkan signifkansi secara statistik pada tingkat 0,05 dan 0,01 level.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
202
LAMPIRAN
Seksi G.3. Desentralisasi dan Penyediaan Layanan
Indonesia sedang mengalami peningkatan pemberian layanan kepada masyarakat. Di sektor pendidikan,
pemerintah pusat mendorong untuk membangun sekolah di setiap daerah, dan telah menghasilkan peningkatan
pendaftaran siswa cukup signifkan sejak 1970s. Saat ini, tingkat pendaftaran di tingkat SD secara universal mencapai
angka 72 persen sama dengan tingkat pada tahun 1975. Pada 2004, tingkat pendaftaran bersih untuk SD adalah 94
persen dan tingkat pendaftaran kotor di atas 100 persen. Tingkat Junior pendaftaran bersih di SMP juga mengalami
kenaikan secara signifkan dari 18 persen pada 1970-an menjadi 65 persen pada 2004.
Di sektor kesehatan, ada berbagai indikator yang menuinjukkan peningkatan selama beberapa tahun terakhir
ini. Pengeluaran publik dari 2001 sampai 2004 telah mengalami kenaikan lebih dari setengah dalam termin yang
sesungguhnya. Akan tetapi, distribusi dan cakupannya perlu ditingkatkan lagi. Disparitas antara wilayah perkotaan
dan wilayah pedesaan masih cukup jelas.
Akan tetapi, apakah mutu sudah pula sejalan dengan peningkatan layanan masih perlu dipertanyakan.
Bukti-bukti mengenai mutu pemberian layanan publik di daerah juga masih bersifat ambigu. Persepsi
masyarakat menunjukkan bahwa sepertinya mutu layanan publik di daerah telah mengalami peningkatan secara
marjinal sejak pelaksanaan desentralisasi. Survei yang dilakukan belakangan ini (World Bank, 2004a) menunjukkan
bahwa sekitar 60 persen rumah tangga yang diwawancarai memandang bahwa layanan pemerintah kabupaten/
kota untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan administrasi telah meningkat walau hanya sedikit sejak 2001.
108
Pada
saat yang sama, banyak perusahaan swasta mengeluh tentang mutu layanan publik di daerah (von Luebke, 2005).
Di antara layanan publik paling penting di daerah menurut kalangan usaha adalah air bersih, dan jalan raya (daerah)
(KPPOD, 2004; LPEM-UI, 2005b). LPEM-UI (2005b). Menurut mereka layanan air bersih mengalami kemunduran selama
dua tahun terakhir. Sementara isu yang terkait dengan jalan raya tidak secara resmi dimasukkan ke dalam survei LPEM,
penelitian menemukan bahwa mayoritas kalangan usaha yang diwawancarai menyatakan bahwa mutu jalan sangat
bermasalah.
Tabel G.3.1 Apakah desentralisasi meningkatkan penyediaan layanan? Hasil dari survei yang baru
dilaksanakan menunjukkan:
Penelitian Rangkuman metodologi Temuan (terkait pemberian layanan )
GDS (2004)
Kaiser, Pattinasarany
dan Schulze (2006)
Fokus pada kesehatan, pendidikan,
administration, dan kepolisian.
Sampel kecil 32 kabupaten/kota di 8
provinsi.
Kesehatan, pendidikan dan layanan administrasi dipandang
telah mengalami peningkatan.
Analisis pengeluaran
publik Papua dan
Kapasitas Harmonisasi
(2005)
Pendekatan partisipatif terhadap PER Pemberian layanan tetap berada di bawah standar yang
ditentukan pusat untuk daerah terpencil Papua. Akan tetapi,
telah terjadi perbaikan dengan peningkatan anggaran
pembangunan lewat Dana Otsus.
RICA (2006) Penelitian kualitatif di 5 kabupaten
yang berfokus pada faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap Iklim
investasi di wilayah pedesaan.
Usaha kecil menengah di kabupaten masih mengeluh
tentang hambatan permintaan, akses terhadap kredit,
kondisi infrastruktur jalan dan listrik i yang buruk.
MSWP (2006) Penilaian lintas sektoral terhadap
pemberian layanan di Indonesia
menggunakan sumber data
sekunder.
Pemberian layanan mengalami kemunduran setelah
desentralisasi pada 2001; Isunya adalah pengeluaran publik
yang tidak efsien, mutu yang rendah, dan kesenjangan
terhadap dam keluaran.
Analisis pengeluaran
publik Aceh dan Nias
(2006)
Pendekatan partisipatif terhadap
PER dengan kontribusi dari survei
GDS dan Kerangka Pengukuran
Manajemen Keuangan Publik.
Peningkatan sumber fskal akan memberi dampak positif
Aceh. pengeluaran pemerintah untuk sektor-sektor kunci
masih rendah dan perlu diperbaiki.
108 Hasil-hasil ini harus diperlakukan dengan hati-hati jika ingin digunakan untuk generalisasi mengenai Indoneis secara keseluruhan.Sampel
rumah tangga yang diwawancarai sangat sedikit dan hanya mencakup8 provinsi.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
203
LAMPIRAN
T
a
b
e
l


G
.
4
.

F
o
r
m
u
l
a

D
A
U
,

2
0
0
1
-
0
6

2
0
0
1
2
0
0
2
2
0
0
3
2
0
0
4
2
0
0
5
2
0
0
6
B
a
s
i
c

A
l
l
o
c
a
t
i
o
n

(
%
)
a



-

S
D
O
/
I
n
p
r
e
s

8
0



-

P
r
o
p
o
r
t
i
o
n
a
l

W
a
g
e

B
i
l
l
5
0
4
5
4
0
4
0



-

1
0
0
%

W
a
g
e

B
i
l
l
5
0



-

L
u
m
p

S
u
m
1
.
5
0
1
0
5
5
5
F
o
r
m
u
l
a
-
B
a
s
e
d

A
l
l
o
c
a
t
i
o
n
a



-

F
i
s
c
a
l

G
a
p

F
o
r
m
u
l
a
1
8
.
5
0
4
0
5
0
5
5
5
5
5
0
F
i
s
c
a
l

C
a
p
a
c
i
t
y

F
o
r
m
u
l
a
A
v
e

(
O
S
R
t

+


P
B
B
t

+


B
P
H
T
B
t
)

*

A
v
e

(
I
G
R
D
P
_
S
D

+

I
G
R
D
P
_
n
o
n
S
D
A

+

I
W
o
r
k
i
n
g
_
A
g
e
)
O
S
R
i
*

+

S
T
X
i

+

0
.
7
5
*
S
D
A
i
O
S
R
i
*

+

S
T
X
i

+

0
.
7
5
*
S
D
A
i
0
.
5
*
O
S
R
i
*

+

S
T
X
i

+

S
D
A
i
0
.
5
*
O
S
R
i
*

+

S
T
X
i

+

S
D
A
i
O
S
R
i

+

S
T
X

+

S
D
A
E
x
p
e
n
d
i
t
u
r
e

N
e
e
d
s

F
o
r
m
u
l
a
b
(
0
.
2
5
*
I
P
O
P
i

+
0
.
2
5
*
I
P
O
V
G
A
P
i
+
0
.
2
5
*
I
A
R
E
A
i
+
0
.
2
5
*
I
C
O
S
T
R
E
L
i
)

*
A
v
e
_
E
x
p
(
0
.
4
*
I
P
O
P
i

+
0
.
1
*
I
P
O
V
G
A
P
i
+
0
.
1
*
I
A
R
E
A
i
+
0
.
4
*
I
C
O
S
T
R
E
L
i
)
*
A
v
e
_
E
x
p
(
0
.
4
*
I
P
O
P
i

+
0
.
1
*
I
P
O
V
G
A
P
i
+
0
.
1
*
I
A
R
E
A
i
+
0
.
4
*
I
C
O
S
T
R
E
L
i
)
*
A
v
e
_
E
x
p
(
0
.
4
*
I
P
O
P
i

+
0
.
1
*
I
P
O
V
G
A
P
i
+
0
.
1
*
I
A
R
E
A
i
+
0
.
4
*
I
C
O
S
T
R
E
L
i
)
*
A
v
e
_
E
x
p
(
0
.
4
*
I
P
O
P
i

+
0
.
1
*
I
P
O
V
G
A
P
i
+
0
.
1
*
I
A
R
E
A
i
+
0
.
4
*
I
C
O
S
T
R
E
L
i
)
*
A
v
e
_
E
x
p
(
0
.
3
*
I
P
O
P
i

+
0
.
1
*
1
/
H
D
I
i
+
0
.
1
5
*
I
A
R
E
A
i
+
0
.
3
*
I
C
O
S
T
R
E
L
i
C
o
s
t
+
0
.
1
5
*
I
G
R
D
P
P
C
i
)
*
A
v
e
_
E
x
p

N
o
t
e
:
a
:

B
a
g
i
a
n

d
a
r
i

T
o
t
a
l

D
A
U

(
P
r
o
p
i
n
s
i

&

K
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
)
I
P
O
P
:

I
n
d
e
k
s

P
o
p
u
l
a
s
i

b
:

P
A
D
/
O
S
R

d
i
p
e
r
k
i
r
a
k
a
n

a
n
a
l
i
s
i
s

r
e
g
r
e
s
i

d
a
r
i

P
D
R
B

s
e
b
e
n
a
r
n
y
a

t
e
r
h
a
d
a
p

p
e
n
d
a
p
a
t
a
n

r
e
g
i
o
n
a
l

y
a
n
g

d
i
u
k
u
r

d
e
n
g
a
n

G
R
D
P
I
P
O
V
G
A
P
:

I
n
d
e
k
s

K
e
m
i
s
k
i
n
a
n
P
B
B
:

P
a
j
a
k

b
u
m
i

d
a
n

b
a
n
g
u
n
a
n
I
A
R
E
A
:

I
n
d
e
k
s

W
i
l
a
y
a
h
B
P
H
T
B
:

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

d
a
r
i

b
e
a

b
a
l
i
k

n
a
m
a

a
t
a
s

t
a
n
a
h

d
a
n

b
a
n
g
u
n
a
n
I
C
O
S
T
R
E
L
:

I
n
d
e
k
s

B
i
a
y
a
S
T
X
:

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

p
a
j
a
k

H
D
I
:

I
n
d
e
k
s

P
e
m
b
a
n
g
u
n
a
n

M
a
n
u
s
i
a
S
D
A
:

P
e
n
d
a
p
a
t
a
n

d
a
r
i

S
u
m
b
e
r

D
a
y
a

A
l
a
m
I
G
R
D
P
P
C
:

I
n
d
e
k
s

P
D
R
B


P
e
r

k
a
p
i
t
a
S
u
b
s
c
r
i
p
t


m
e
n
u
n
j
u
k
k
a
n

t
o
t
a
l

d
a
n

s
u
b
s
c
r
i
p
t


m
e
n
u
n
j
u
k
k
a
n

m
a
s
i
n
g
-
m
a
s
i
n
g

k
a
b
u
p
a
t
e
n
/
k
o
t
a
.
S
u
m
b
e
r
:

D
a
t
a

D
e
p
K
e
u
.

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
204
LAMPIRAN
Tabel G.5. Skema Penerimaan Bagi Hasil
Pembagian
(%)
Provinsi
penghasil
(%)
Kabupaten/Kota
Penghasil (%)
Lain-lain
(%)
Catatan Tambahan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Pusat 10 6.50
Didistribusikan merata ke seluruh
kabupaten/kota
3.50
Didistribusikan berdasarkan
insentif
- Daerah 90 16.20 64.80 9 Biaya Pengumpulan
BPHTB
- Pusat 20 20
Didistribusikan merata ke seluruh
kabupaten/kota
- Daerah 80 16 64
Pajak Penghasilan
- Pusat 80
- daerah 20 8 8.4 3.60
Didistribusikan secara merata
ke seluruh kabupaten/kota di
Provinsi
Sumber Daya Alam
Pusat
(%)
Daerah
(%)
Provinsi
(%)
Kabupaten/
kota penghasil
(%)
Kabupaten/
kota lainnya di
Provinsi
(%)
Kabupaten/
kota lainnya
(%)
Kehutanan
Iuran pemakaian (IIUPH) 20 80 16 64
Provisi sumber daya hutan 20 80 16 32 32
Dana Reboisasi 60 40 40
Pertambangan Umum
Sewa tanah dari kabupaten/
kota
20 80 16 64
Royalty dari kabupaten/kota 20 80 16 32 32
Sewa tanah dari Propinsi 20 80 80
Royalty dari Propinsi 20 80 26 54
Perikanan
Pendapatan usaha perikanan 20 80 80
Pendapatan dari produk
perikanan
20 80 80
Minyak
Dari kabupaten/kota 85 15.5 3.1 6.2 6.2
Dari Propinsi 85 15.5 5.17 10.33
Gas
Dari kabupaten/kota 69.5 30.5 6.1 12.2 12.2
Dari Propinsi 69.5 30.5 10,17 20,33
Geothermal
Bagian untuk Pemerintah 20 80 16 32 32
Iuran Tetap dan Iuran Produksi 20 80 16 32 32
Sumber : UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
205
LAMPIRAN
Diagram G.6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Berdasarkan Sektor, 1991-2005
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05
Rp miliar (harga yang berlaku)
Urban Rural Estate Kehutanan Pertambangan
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Dirjen Pajak DepKeu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
206
LAMPIRAN
Seksi G.7. Biaya Pengumpulan Pajak Daerah
Rasio biaya-hasil memiliki rentangan antara hanya 15 persen (rendah) sampai dengan 264 persen(tinggi)! Biaya
administrasi pajak yang sebenarnya melebihi pendapatan pajak itu sendiri sekitar 10 persen dari seluruh pemerintah
kabupaten/kota. Studi empiris menunjukkan bahwa biaya administrasi yang tidak efsien meningkat karena setoran
dari pusat mengalami kenaikan (Lewis, 2006a).
Diagram G.7.1 Biaya Administrasi Pengumpulan Pajak Pemerintah Kabupaten/kota terhadap Pendapatan
Pajak (Rasio Biaya-Hasil), 2003
0
10
20
30
40
50
60
70
30 64 97 131 164 198 231 264
Cost-to-Yield Ratio (x 100)
Frekuensi
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Ditjen Pajakdata DepKeu.
Kegiatan administrasi untuk mengumpulkan pajak bagi pemerintah kabupaten/kota memerlukan tenaga
kerja yang intensif. Jumlah staf Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) sangat beragam antara satu pemerintah
kabupaten/kota dengan yang lain. Sementara pemerintah kabupaten/kota yang kecil mungkin memperkerjakan
sekitar 50 civil PNS, untuk kola besar seperti Medan dan Surabaya, mungkin memperkerjakan ratusan pegawai tetap.
Hanya beberapa Dispenda yang menggunakan teknologi informatika dalam administrasi pajak. Sistem administrasi
perhitungan ditentukan oleh Departemen Dalam Negeri pada sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang besar
pada awal tahun 1990-an, tetapi hal ini sudah tidak digunakan lagi, 2004).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
207
LAMPIRAN
Diagram G.8. Dana Cadangan Per kapita Pemerintah Daerah berdasarkan Provinsi , Oktober 2006
- 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000
Kalimantan Timur
Papua
Nangroe Aceh Darussalam
Riau
Bangka Belitung
Kalimantan Tengah
DKI Jakarta
Kalimantan Selatan
Bengkulu
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Jambi
Maluku
Bali
Sumatera Utara
Gorontalo
D.I. Yogyakarta
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Selatan
Jawa Timur
Lampung
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Barat
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
Ribu
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Bank Indonesia.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
208
LAMPIRAN
Tabel G.9. Pengelompokkan Kabupaten/kota berdasarkan Tingkat Kemiskinan, PDRB, & Pendapatan Fiskal
Tingkat Kemiskinan yang Rendah
Pendapatan Fiskal per kapita yang rendah Pendapatan Fiskal per kapita yang tinggi
Low GRDP Per kapita High GRDP Per kapita Low GRDP Per kapita High GRDP Per kapita
Kab. Banjar Kab. Agam Kab. Badung Kab. Bangka Kota Bitung
Kab. Buleleng Kab. Asahan Kab. Bangli Kab. Barito Selatan Kota Bontang
Kab. Bulukumba Kab. Bandung Kab. Bantaeng Kab. Barito Timur Kota Bukittinggi
Kab. Ciamis Kab. Barito Kuala Kab. Barru Kab. Barito Utara Kota Cilegon
Kab. Garut Kab. Bekasi Kab. Bengkayang Kab. Belitung Kota Cirebon
Kab. Jepara Kab. Bogor Kab. Bungo Kab. Bengkalis Kota Dumai
Kab. Karangasem Kab. Deli Serdang Kab. Hulu Sungai Selatan Kab. Gunung Mas Kota Kediri
Kab. Lebak Kab. Gianyar Kab. Hulu Sungai Tengah Kab. Hulu Sungai Utara Kota Kendari
Kab. Pandeglang Kab. Karawang Kab. Maluku Utara Kab. Jembrana Kota Kupang
Kab. Pesisir Selatan Kab. Kudus Kab. Muaro Jambi Kab. Kampar Kota Langsa
Kab. Sambas Kab. Labuhan Batu Kab. Sangihe Talaud Kab. Kapuas Kota Lhokseumawe
Kab. Sanggau Kab. Limapuluh Kota Kab. Sidenreng Rappang Kab. Karimun Kota Madiun
Kab. Semarang Kab. Luwu Utara Kab. Sinjai Kab. Katingan Kota Magelang
Kab. Serang Kab. Minahasa Kab. Soppeng Kab. Kepulauan Riau Kota Mojokerto
Kab. Solok Kab. Padang Pariaman Kab. Takalar Kab. Klungkung Kota Padang Panjang
Kab. Sukabumi Kab. Pasaman Kab. Tebo Kab. Kota Baru Kota Palangkaraya
Kab. Sukoharjo Kab. Pontianak Kota Banjar Baru Kab. Kotawaringin Barat Kota Palopo
Kab. Sumedang Kab. Purwakarta Kota Batu Kab. Kotawaringin Timur Kota Palu
Kab. Temanggung Kab. Sawahlunto Sijunjung Kota Bima Kab. Kutai Barat Kota Pangkal Pinang
Kab. Wajo Kab. Sidoarjo Kota Blitar Kab. Lamandau Kota Pariaman
Kota Bogor Kab. Subang Kota Gorontalo Kab. Murung Raya Kota Pasuruan
Kota Depok Kab. Tanah Datar Kota Metro Kab. Natuna Kota Payakumbuh
Kota Mataram Kab. Tangerang Kota Pagar Alam Kab. Pulang Pisau Kota Pekanbaru
Kota Bandar Lampung Kota Pare-pare Kab. Rokan Hilir Kota Prabumulih
Kota Bandung Kota Salatiga Kab. Seruyan Kota Samarinda
Kota Banjarmasin Kota Tegal Kab. Sukamara Kota Sawahlunto
Kota Batam Kota Ternate Kab. Tabalong Kota Sibolga
Kota Bekasi Kab. Tabanan Kota Singkawang
Kota Cimahi Kab. Tanah Laut Kota Solok
Kota Denpasar Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Sukabumi
Kota Jambi Kab. Tapin Kota Tanjung Balai
Kota Makassar Kota Ambon Kota Tanjung Pinang
Kota Malang Kota Balikpapan Kota Tarakan
Kota Manado Kota Banda Aceh Kota Tebing Tinggi
Kota Medan Kota Bengkulu Kota Yogyakarta
Kota Padang Kota Binjai
Kota Palembang
Kota Pekalongan
Kota Pontianak
Kota Semarang
Kota Surabaya
Kota Surakarta
Kota Tangerang
Kota Tasikmalaya
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
209
LAMPIRAN
Tingkat Kemiskinan yang Tinggi
Pendapatan Fiskal Per kapita yang Rendah Pendapatan Fiskal Per kapita yang Tinggi
PDRB per kapita rendah PDRB per kapita PDRB per kapita rendah PDRB per kapita tinggi
Kab. Bangkalan Kab. Lumajang Kab. Banyuasin Kab. Aceh Tenggara Kab. Aceh Barat Daya
Kab. Banjarnegara Kab. Luwu Kab. Cilacap Kab. Alor Kab. Aceh Besar
Kab. Bantul Kab. Madiun Kab. Donggala Kab. Banggai Kab. Aceh Selatan
Kab. Banyumas Kab. Magelang Kab. Gresik Kab. Banggai Kepulauan Kab. Aceh Tamiang
Kab. Banyuwangi Kab. Magetan Kab. Indramayu Kab. Bengkulu Selatan Kab. Aceh Utara
Kab. Batang Kab. Majalengka Kab. Kendal Kab. Boalemo Kab. Batanghari
Kab. Belu Kab. Malang Kab. Muara Enim Kab. Dompu Kab. Bireuen
Kab. Bengkulu Utara Kab. Manggarai Kab. Parigi Moutong Kab. Ende Kab. Dairi
Kab. Bima Kab. Mojokerto Kab. Rejang Lebong Kab. Enrekang Kab. Fak Fak
Kab. Blitar Kab. Nganjuk Kab. Simalungun Kab. Gorontalo Kab. Indragiri Hilir
Kab. Blora Kab. Ngawi Kab. Sleman Kab. Halmahera Tengah Kab. Indragiri Hulu
Kab. Bojonegoro Kab. Ogan Komering Ilir Kab. Sumbawa Kab. Kapuas Hulu Kab. Kolaka
Kab. Bondowoso Kab. Pacitan Kab. Tapanuli Utara Kab. Kulon Progo Kab. Kuantan Singingi
Kab. Bone Kab. Pamekasan Kab. Tulang Bawang Kab. Kupang Kab. Malinau
Kab. Boyolali Kab. Pasuruan Kab. Tulungagung Kab. Majene Kab. Manokwari
Kab. Brebes Kab. Pati Kab. Maluku Tengah Kab. Merauke
Kab. Buton Kab. Pekalongan Kab. Maluku Tenggara Kab. Morowali
Kab. Cianjur Kab. Pemalang Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Musi Banyuasin
Kab. Cirebon Kab. Polewali Mamasa Kab. Mamuju Kab. Musi Rawas
Kab. Demak Kab. Ponorogo Kab. Maros Kab. Nagan Raya
Kab. G. Kidul Kab. Probolinggo Kab. Nabire
Kab. Pangkajene
Kepulauan
Kab. Gowa Kab. Purbalingga Kab. Ngada Kab. Pasir
Kab. Grobogan Kab. Purworejo Kab. Paniai Kab. Pelalawan
Kab. Jember Kab. Rembang Kab. Poso Kab. Penajam Paser Utara
Kab. Jeneponto Kab. Sampang Kab. Pulau Buru Kab. Rokan Hulu
Kab. Jombang Kab. Sikka Kab. Puncak Jaya Kab. Sarolangun
Kab. Karanganyar Kab. Sintang Kab. Rote Ndao Kab. Sorong
Kab. Kebumen Kab. Situbondo Kab. Selayar Kab. Tanah Karo
Kab. Kediri Kab. Sragen Kab. Sumba Timur
Kab. Tanjung Jabung
Barat
Kab. Kendari Kab. Sumba Barat Kab. Timor Tengah Utara Kab. Toba Samosir
Kab. Ketapang Kab. Tana Toraja Kab. Yapen Waropen Kab. Toli Toli
Kab. Klaten Kab. Tanggamus Kota Lubuk Linggau Kota Bau-bau
Kab. Lahat Kab. Tapanuli Selatan Kota Jayapura
Kab. Lamongan Kab. Tapanuli Tengah Kota Probolinggo
Kab. Lampung Barat Kab. Tasikmalaya Kota Sorong
Kab. Lampung Selatan Kab. Tegal
Kab. Lampung Tengah Kab. Timor Tengah Selatan
Kab. Lampung Utara Kab. Trenggalek
Kab. Landak Kab. Tuban
Kab. Lombok Barat Kab. Wonogiri
Kab. Lombok Tengah Kab. Wonosobo
Kab. Lombok Timur
Sumber: Perkiraan stf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan data BPS.

Anda mungkin juga menyukai