Anda di halaman 1dari 27

Tinjauan Pustaka

Anesthesia Awareness


Oleh:
Liveina
1002005140

Pembimbing:
dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An., MARS




DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK
MADYA DI BAGIAN/SMF ANESTHESIA DAN REANIMASI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2014




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya Tinjauan Pustaka dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik
Madya di Bagian/SMF Ilmu Anesthesi dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah
yang berjudul Anesthesia Awareness ini dapat diselesaikan tepat pada waktu
yang telah ditentukan.
Di dalam pembuatan tugas ini, penulis merasa menemui banyak hambatan.
Namun, berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, hambatan-hambatan
tersebut dapat penulis atasi sedikit demi sedikit. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. dr. I Ketut Sinardja Sp.An., KIC, selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu
Anesthesia dan Reanimasi FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti kepaniteraan klinik madya.
2. dr. Cynthia Dewi Sinardja, Sp.An., MARS , selaku pembimbing atas
bantuan dan bimbingan dalam pembuatan Tinjauan Pustaka ini, sehingga
selesai tepat pada waktunya.
3. Seluruh dokter dan staf di bagian SMF Ilmu Anesthesia dan Reanimasi FK
UNUD/RSUP Sanglah.
4. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang
telah memberikan dukungan.
Penulis menyadari bahwa Tinjauan Pustaka ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhir
kata, semoga Tinjauan Pustaka ini bermanfaat bagi masyarakat luas.

Denpasar, Agustus 2014

Penulis


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 3
2.1. Anestesia Umum..................................................................................... 3
2.2. Anestesia Umum dan Kesadaran............................................................ 5
2.3. Definisi Anesthesia Awareness............................................................... 7
2.4. Epidemiologi Anesthesia Awareness............................................... ...... 8
2.5. Faktor Resiko Anesthesia Awareness................................................ ..... 9
2.6. Deteksi Anesthesia Awareness................................................................ 13
2.7. Dampak Anesthesia Awareness............................................................... 15
2.8. Manajemen Anesthesia Awareness......................................................... 16
2.9 Pencegahan Anesthesia Awareness......................................................... 16
BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA










DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Stadium Anestesia menurut Guedel dan Gillespie....................... 5
Tabel 2.2 Kuesioner Inisial Postoperatif........ ........ ........ ........ .................. 14
Tabel 2.3 Pertanyaan tambahan untuk pasien dengan recall post
operatif....................... ................ ................ ................ ................ 15























BAB I
PENDAHULUAN

Anestesia diambil dari bahasa Yunani anaisthesia yang berarti
berkurangnya sensasi atau lack of sensation. Oliver Wendell Holmes (1809-1894),
seorang dokter yang berasal dari Amerika memperkenalkan dan menggambarkan
kata anestesia sebagai suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara karena
pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
1

Dalam praktek anestesi, ada tiga jenis anestesia-analgesia untuk pasien
yang akan menjalani pembedahan yaitu anestesia umum, analgesia lokal dan
analgesia regional.
2
Anestesia umum (general anesthesia) atau bius total
merupakan tindakan untuk meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel.
3
Selain menghilangkan nyeri (analgesia / mati
rasa) dan menghilangkan kesadaran (hipnotik dan amnesia / mati ingatan),
anestesia umum juga bekerja untuk merelaksasi otot (mati gerak). Hal ini disebut
dengan trias anestesia target obat anestetikum.
2
Kemampuan obat anestetikum
untuk menghasilkan efek tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya
adalah variabilitas pasien. Perbedaaan sensitivitas masing masing individu
terhadap obat anestetikum dan ketidakpastian penilaian klinis anesthetic depth
selama proses pembedahan dapat menyebabkan timbulnya supraterapi atau
subterapi agen anestetikum.
4

Subterapi agen anestetikum akibat dosis yang inadekuat dapat
menyebabkan terjadinya Anesthesia Awareness (AA), suatu keadaan dimana
pasien sadar dibawah pengaruh anestesia umum serta dapat mengingat kejadian
atau percakapan yang terjadi selama proses pembedahan. Sebagian besar pasien
mengingat persepsi auditori, perasaan kehilangan fungsi motorik, nyeri, cemas,
panik dan rasa takut akan kematian. Kejadian AA umumnya merupakan
konsekuensi dari penggunaan teknik light-anesthestic atau penggunaan dosis obat
anestetikum yang lebih kecil.
5,6
Insiden AA pada pasien yang mendapat anestesia umum bervariasi antara
0,1 - 0,2 %. Di Amerika Serikat, dilaporkan sekitar 20.000 40.000 kasus AA
dari 21 juta pasien bedah yang mendapat anestesia umum setiap tahunnya. Insiden
AA memang jarang terjadi, namun AA dapat menimbulkan dampak buruk dan
sekuele psikologis seperti gejala gejala posttraumatic stress disorder (PTSD).
6,7

PTSD terjadi pada 33% - 56% pasien yang mengalami AA dibawah pengaruh
anestesia umum. Gejala PTSD yang muncul berupa depresi, anxietas, gangguan
tidur, nightmares, serangan panik, yang dapat terjadi hingga setelah 2 tahun atau
lebih.
5
Dalam sebuah studi kecil terhadap 16 pasien yang mengalami AA, lebih
dari 50% menunjukkan gejala PTSD dan memerlukan psikoterapi.
4
Dampak lain
dari AA yaitu timbulnya masalah medikolegal. Domino et al menganalisa klaim
ari American Society of Anesthesiologists Closed Claims Project dan menemukan
bahwa klaim atas kejadian AA mencapai 2% dari seluruh klaim yang ada. Angka
ini sebanding dengan klaim yang diajukan untuk komplikasi anestesi lain seperti
pneumonia aspirasi dan infark miokard.
8

Informasi mengenai AA penting diketahui mengingat dampak buruk yang
dapat ditimbulkan. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai Anesthesia
Awareness secara umum meliputi definisi, epidemiologi, kausa, penilaian,
dampak, manajemen serta pencegahan AA. Melalui karya tulis ini diharapkan
penulis, paramedis, serta masyarakat pada umumnya dapat lebih memahami AA
sehingga insiden dan dampak buruk AA dapat dikurangi.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesia Umum
Anestesia umum / General Anesthesia adalah keadaan hilangnya nyeri di
seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan
melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi
atau penekanan sensori pada syaraf. Anestesi umum merupakan kondisi yang
dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan ditandai dengan hilangnya
respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon
terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta
hilangnya kesadaran (unconsciousness). Tujuan utama dilakukan anestesi umum
adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan
penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan
prosedur diagnostik atau pembedahan tanpa menimbulkan gangguan
hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam.
2,9

Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui
secara pasti, tetapi diduga mempengaruhi sistem otak. Tahapan kerja anestesia
umum dapat dibagi menjadi preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan .
Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum dilakukan
anestesia, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta
dilakukan pemberian premedikasi. Tahap induksi ditandai dengan gerakan tidak
terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan
kesadaran. Pada tahap pemeliharaan, status teranestesi akan terjaga selama
periode tertentu dan pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat
dilakukan. Awal tahap pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa
sakit atau analgesia, relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan
hilangnya refleks palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan
kardiovaskuler tertekan secara ringan.
9
Ketika memasuki tahap pemeliharaan yang lebih lanjut, respirasi kembali
teratur dan gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan
bergerak menuju ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat
ringan. Refleks menelan sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah
dimasukkan, refleks palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Denyut
jantung sangat rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan
seluruh tekanan darah. Nilai Capillary Refill Time (CRT) akan meningkat menjadi
2 atau 3 detik. Semua refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara
sempurna serta refleks rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan
lebih dalam, pasien akan menunjukkan penekanan respirasi dan kardiovaskuler
yang lebih dalamdan pada keadaan dosis anestetikum berlebih akan menyebabkan
respirasi dan jantung berhenti. Ketika tahap pemeliharaan berakhir, manusia
memasuki tahap pemulihan yang menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam
otak mulai menurun. Metode atau mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan
dari otak dan sistem sirkulasi adalah bervariasi tergantung pada anestetikum yang
digunakan.
9

Guedel dan Gillespie (1943) melakukan pembagian stadium analgesia
yang lebih sistematis berdasarkan pola respirasi, pergerakan bola mata, sekresi
mata dan refleks laring. Pembagian stadium tersebut adalah sebaga berikut:
2

Stadium I disebut stadium analgesia,
Stadium II disebut stadium eksitasi,
Stadium III disebut stadium pembedahan yang terdiri dari plana 1, plana 2,
plana 3 (optimal untuk operasi), dan plana 4
Stadium IV disebut stadium paralisis (kelebihan obat)
Perubahan perubahan fisiologis yang terjadi pada setiap stadium anestesia
menurut Guedel dan Gillespie disajikan dalam tabel 2.1







Tabel 2.1 Stadium Anestesia menurut Guedel dan Gillespie
Stadium Respirasi Pupil Depresi
Refleks
Ritme Volume Ukuran Letak
I : Analgesia sampai
tidak sadar
Tidak
teratur
kecil Kecil divergen Tidak ada
II : Sampai
pernafasan teratur /
otomatis
Tidak
teratur
besar Lebar divergen Bulu mata,
kelopak mata
III P1: sampai
gerakan bola mata
hilang
teratur besar Kecil divergen Kulit,
konjungtiva
III P2 : sampai awal
parese otot lurik
teratur sedang lebar Menetap
ditengah
Kornea
III P3 : sampai otot
nafas lumpuh
Teratur
pause
sedang lebar Menetap
di tengah
Faring,
peritoneum
III P4 : sampai
diafragma lumpuh
Tidak
teratur,
jerky,
nafas
cepat dan
panjang
kecil Lebar
maksimal
Menatap
ditengah
Sfingter ani
dan karina
IV : Henti nafas
henti jantung
- - - - -

2.2 Mekanisme Kerja Anestesia Umum
Otak merupakan target utama anestesia umum. Mekanisme kerja obat
anestetikum berada pada level molekuler dan salah satunya berhubungan dengan
kesadaran. Penjelasan bagaimana otak dibangkitkan dan bagaimana kerja
anestesia umum berlandasakan pada mekanisme bangun tidur (sleep-wake
mechanism). Tidur dan anestesia merupakan fenomena berbeda, namun
mekanisme yang mendasari adalah serupa. Siklus bangun-tidur normalnya
diregulasi oleh beberapa nuclei yang berlokasi di pons, otak tengah, hypothalamus
dan basal forebrain. Deaktivasi pada tempat tempat tersebut umumnya terjadi
saat tidur, sebaliknya nukleus preoptik ventrolateral teraktivasi. Mekanisme
bangun-tidur juga dikenal dengan mekanisme flip flop. Misalnya saat lokus
cereleus noradenegrik pada pons dan nukleus tuberomamillary histaminergik pada
hipotalamus posterior aktif sepanjang terjaga, sedangkan nukleus -aminobutyric-
acid-transmiting (GABA-ergic) preoptik ventrolateral dihambat. Begitu juga
sebaliknya terjadi saat tidur.
10,11

Agen anestetikum dan obat- obatan sedatif juga bekerja dengan
memodulasi aktivitas struktur struktur tersebut. Pada umumnya, anestesi umum
bekerja dengan cara memperkuat (+) sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal
eksitatori. Secara klinis, anestetikum mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari
satu pada sistem syaraf dan hal ini berdampak pada aktivitas neuron dengan
derajat berbeda dan daerah berbeda. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua
jenis reseptor yaitu reseptor amino butiric acid (GABA) terutama reseptor
GABA
A
yang merupakan reseptor inhibitori, dan reseptor Glutamat yang
merupakan reseptor eksitatori khususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat
(NMDA).
11
Reseptor GABA dan Glutamat sebagian besar terletak pada otak
khususnya di hipotalamus, di daerah tuberomammilary nucleous (TMN).
12
Reseptor NMDA merupakan suatu reseptor saluran kalsium. Reseptor
NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal, talamik, limbik dan
kortikal. Agen anestetikum seperti ketamin bekerja pada reseptor NMDA dan
dapat menghambat input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf
pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk
proses belajar dan memori. Selain menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA,
ketamin juga mengurangi pelepasan glutamat di presinaps dan meningkatkan efek
dari neurotransmiter inhibisi GABA.
GABA (Gamma-amino butiric acid) merupakan neurotransmiter inhibitori
utama di otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid
decarboxylase (GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan,
GABA berdifusi menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya
sehingga menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA
lepas dari ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka
saluran ion Cl
-
, ion Cl
-
masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf ,
terjadi efek penghambatan transmisi syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA
sebagai tempat terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABA
A
)
dan metabotropik (GABA
B
). Anestetikum umum akan terkonsentrasi untuk
meningkatkan aktivitas reseptor GABA
A
yang terletak di post sinaptik.
11,12

2.3 Definisi Anesthesia Awareness
Anesthesia Awareness (AA) merupakan salah satu komplikasi dari tindakan
anestesia umum. AA didefinisikan sebagai kesadaran intraoperatif yang tidak
diinginkan, berupa ingatan eksplisit mengenai persepsi sensorik yang dirasakan
selama pasien dibawah pengaruh anestesia umum. Persepsi yang muncul pada AA
dapat berupa keributan (85-100%), impresi sensori visual (27-46%), ketakutan
(78-92%), helplessness (46%), rincian tindakan operasi (64%), paralisis (60-89%),
dan nyeri (41%).
11,13,14

Istilah AA diperuntukkan bagi pasien yang mendapat anestesia umum.
Dalam teknik anestesi lain seperti anestesi regional (misalnya epidrural) dan
anestesia lokal, tidak dikenal istilah AA karena recall auditori tanpa rasa nyeri
yang muncul pada pasien merupakan hal yang biasa terjadi karena pada teknik
anestesi tersebut, pasien menerima obat obatan sedasi dan anxiolitik dengan
kesadaran pasien yang masih terjaga.
11,13

Anesthesia awareness juga perlu dibedakan dengan awake anesthesia.
Dalam dunia anestesi, istilah awareness dan awake sama - sama dapat terkait
dengan teknik anestesia umum, namun hal tersebut tersebut merupakan dua
kondisi yang berbeda. Pada awake anesthesia yang sering dilakukan pada
prosedur kraniotomi, kesadaran pasien memang sengaja dipertahankan dengan
tujuan meminimalisasi defisit neurologis pada pasien akibat pembedahan. Awake
anesthesia dapat dilakukan dengan tiga teknik yaitu yang pertama Asleep-awake
asleep, dimana pasien diinduksi dengan anestesia umum hingga tahap hipnotik
kemudian dibangunkan di tengah operasi saat pembuangan lesi, untuk
memungkinkan dilakukannya brain mapping dan monitor fungsi neurologis
pasien. Setelah itu, pasien dihipnosis kembali hingga pembedahan selesai. Teknik
yang kedua yaitu asleep-awake dimana setelah pasien dibangunkan, pasien akan
tetap terjaga hingga akhir pembedahan. Teknik yang ketiga yaitu monitored
anesthesia care dengan menggunakan titrasi sedasi dan anestesia lokal tanpa efek
hipnotik. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran pasien
intraoperatif yang memang diharapkan atau sengaja dibuat oleh tim medis dengan
tujuan tertentu merupakan hal dasar yang membedakan awake anesthesia dengan
anesthesia awareness (AA).
15

Pasien yang mengalami AA pasca anetesia umum dapat menunjukkan
gejala mulai dari anxietas ringan hingga PTSD (misalnya gangguan tidur,
nightmares, dan gangguan sosial).
11,13

Terdapat beberapa bentuk kesadaran pada AA yang pernah dilaporkan, antara
lain:
12

Pasien sadar, dapat bergerak, namun tidak merasakan nyeri. Dalam hal ini,
kemungkinan pasien mendapat analgesik yang cukup, tetapi kurang cukup
obat untuk relaksaasi otot dan hipnosis.
Pasien sadar, namun tidak dapat bergerak atau berteriak serta tidak
merasakan nyeri. Pasien ini mungkin mendapat obat analgesik dan
pelemas otot dengan dosis yang cukup, namun kurang dalam obat
hipnosisnya.
Pasien sadar, mampu merasakan nyeri, namun tidak dapat bergerak,
berteriak atau melakukan apapun. Kemungkinan terjadinya AA semacam
ini dikarenakan kurangnya dosis analgesik dan hipnotik, namun dosis
relaksan otot tercukupi. Situasi semacam ini merupakan bentuk AA yang
paling ditakutkan dan dapat membuat pasien trauma terhadap operasi.
Fungsi otak pasien yang tersadar ini umumnya abnormal karena dibawah
pengaruh obat obatan anestesi, maka seringkali timbul perasaan yang
aneh pada pasien seperti seolah olah jatuh ke dalam neraka, merasa
jiwanya keluar dari badannya atau merasa akan mati.

2.4 Epidemiologi Anesthesia Awareness
Data statistik tunggal mengenai insiden AA masih sangat sedikit, namun
AA dikatakan lebih sering dijumpai pada pasien pediatri.
11
Secara umum, insiden
AA yang terjadi pada pasien dengan anestesia umum tidak terlalu banyak yaitu
sekitar 1 atau 2 setiap 1000 pasien . Dalam sebuah studi di 7 senter kesehatan di
Amerika Serikat, ditemukan kejadian AA sebesar 0,13% dari 20.000 sampel
pasien dewasa. Sebanyak 0,3% pasien mampu mengingat kejadian intraoperatif
segera setelah operasi yaitu saat wawancara di ruang pemulihan. Dengan sampel
yang sama, jumlah pasien yang memiliki memori inraoperatif meningkat selama
periode follow up satu minggu yaitu menjadi sebesar 0,6 %.
12

Literatur lain menyebutkan bahwa setiap tahun terdapat 20.000 40.000
kasus AA dari 21 juta pasien degan anestesi umum di Amerika Serikat. Dari
jumlah kasus tersebut, 48% mengalami rekoleksi auditori, 48% merasakan sensasi
tidak dapat bernafas, dan 28% merasakan nyeri. Lebih dari 50% pasien dilaporkan
mengalami gangguan mental pasca pembedahan, seperti PTSD.
6

Sandin et al melaporkan keseluruhan insiden AA sebanyak 0,16% dari
11.785 pasien dalam 2 rumah Sakit di Sweden. Prevalensi AA sebesar 0,18%
ketika digunakan obat penghambat neuromuskular, dan sebesar 0,11% pada
pasien tanpa obat tersebut. Hampir 50% pasien mengalami PTSD dalam jangka
waktu 2 tahun setelah kejadian AA.
7
Studi lain oleh Myles et al di Australia melaporkan insiden AA sebesar
0,10% dan hal tersebut merupakan faktor resiko terbesar dai ketidakpuasan pasien
pasca anestesia. Dari hasil hasil studi tersebut, dapat terlihat bahwa kejadian AA
merupakan fenomena yang dapat terjadi di berbagai tempat dan tingkat insiden
AA tidak dipengaruhi oleh lokasi geografis.
7,14

Disisi lain, insiden AA lebih banyak terjadi pada pasien dengan instabilitas
hemodinamik yang memerlukan penurunan dosis obat anestetikum, misalnya pada
kasus obstetri, trauma mayor, dan kardiak. Insiden AA pada bedah kardiak sekitar
1,1 1,5% kasus, pada kasus obstetri sebanyak 0,4% kasus, sedangkan pada
bedah trauma mayor sebanyak 11 - 43%.
6,8


2.5 Faktor Resiko Anesthesia Awareness
Penyebab AA masih belum diketahui, namun ada berbagai faktor yang
dapat memicu timbulnya masalah ini. Berdasarkan Studi epidemiologi, faktor
resiko terjadinya AA dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu faktor
terkait pasien, faktor terkait prosedur pembedahan dan teknik anstesi yang
digunakan. Faktor terkait pasien antara lain status fisik pasien, usia, jenis kelamin,
riwayat AA, kesulitan jalan nafas, dan peningkatan resistensi obat anestetikum.
Faktor terkait pembedahan meliputi jenis pembedahan yang memerlukan light
anesthesia serta adanya kesalahan alat atau operator dalam pembedahan. Faktor
resiko lain terkait teknik anestesi meliputi jalur anestesia dan agen yang
digunakan dalam anestesia, misalnya N
2
O, relaksan otot serta premedikasi
benzodiazepine. Penjelasan untuk masing masing faktor resiko tersebut adalah
sebagai berikut:
Status fisik pasien
Menurut studi epidemiologi, pasien dengan status fisik ASA III atau lebih
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya AA.
14
Usia
Anak anak merupakan kelompok dengan resiko AA yang lebih tinggi
dengan peningkatan resiko sebesar 8 hingga 10 kali dibanding orang
dewasa. Tingginya resiko AA pada anak dipengaruhi oleh farmakokinetik
obat anestetikum dimana redistribusi obat umumnya terjadi lebih cepat
sehingga dosis adekuat untuk mencapai konsentasi plasma yang efektif
sulit ditentukan.
14
Jenis Kelamin
Insiden AA pada wanita tiga kali lebih tinggi dibanding pada pria.
Pemulihan dari anestesi pada wanita juga dikatakan lebih cepat pada
wanita. Namun peranan jenis kelamin terhadap insiden terjadinya AA
masih belum jelas dan masih diperdebatkan. Beberapa studi seperti yang
dilakukan oleh Sebel et al (2004) dan Errando et al (2008) mengatakan
bahwa insiden AA tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin secara
signifikan.
7,10,14,16

Riwayat AA
Riwayat AA terdahulu merupakan faktr predisposisi kuat yang
meningkatkan resiko AA di kemudian hari hingga 1,6%.
10
Kesulitan jalan nafas
Insiden AA pada pasien dengan kesulitan jalan nafas dapat mencapai 4,5%
hingga 7,5%.
10

Peningkatan kebutuhan obat anestetikum pada pasien
Beberapa pasien dapat menjadi resisten terhadap efek obat anestetikum
sehingga diperlukan dosis obat yang lebih besar untuk membuat pasien
tidak sadar. Variabilitas kebutuhan obat anestetikum ini masih belum
diketahui dengan pasti, dan diduga dipengaruhi oleh gangguan ekspresi
atau fungsi dari reseptor target. Dalam sebuah studi preklinis
menggunakan tikus yang dilakukan oleh Cheng dkk, ditemukan bahwa
defisiensi genetik dari salah satu tipe reseptor inhibitor neurotransmiter -
aminobutyric acid (GABA) yang mengandung subunit 5 dapat
menimbulkan resistensi terhadap penghambatan memori oleh agen
anestetikum etomidate. Reseptor tersebut dominan diekspresikan pada area
hippocampus yang terlibat dalam fungsi memori.
8,11
Beberapa penggunaan obat tertentu juga dapat mengganggu fungsi
metabolisme dan menurunkan distribusi agen anestetikum. Kebutuhan
dosis obat yang lebih tinggi biasanya terjadi pada usia muda, perokok, dan
pengguna obat obatan seperti alkohol, opiat atau amfetamin dalam
jangka panjang. Studi - studi preklinis yang ada menunjukkan bahwa
ekspresi reseptor penghambat memori ini mengalami perubahan seetelah
paparan alkohol jangka panjang atau kejang persisten.
8,11

Polimorfisme gen -aminobutyric acid A receptor 5 (GABRA5) juga dapat
ditemukan pada manusia. Terdapat 3 isoform berbeda RNA messenger gen
tersebut yang ditemukan pada jaringan otak fetus dan orang dewasa.
Prevalensi dan konsekuensi fungsional akibat adanya gangguan gen ini
masih belum diketahui pasti. Studi klinis pada manusia menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan variasi kebutuhan dosis anestettikum untuk
melumpuhkan pasien sebesar 24% populasi dengan latar belakang genetik
yang berbeda. Dalam hal ini, farmakogenetik yang berbeda pada masing -
masing orang dapat menjadi salah satu faktor kontribusi terjadinya AA.
8,11
Light anesthesia.
Light Anesthesia umumnya dikerjakan pada operasi operasi tertentu
seperti sectio Cesarian, pasien hipovolemik, atau pasien dengan penurunan
fungsi jantung. Pada keadaan tersebut, pasien tidak mampu mentoleransi
dosis sufisiensi obat anestetikum sehingga dosis obat anestetikum perlu
diturunkan. Kedalaman pengaruh anestesi pada penggunaan light
anesthesia sulit diperkirakan sehingga AA sering terjadi.
8,11
Kesalahan alat
Kesalahan penggunaan mesin anestetikum dapat menyebabkan penyaluran
obat anestetikum menjadi tidak adekuat. Kesalahan mesin ini dapat berupa
kosongnya vaporizer (atau tabung N
2
O), malfungsi pompa intravena, atau
diskoneksi tabung penghantar.
8,11

Penggunaan relaksan otot
Menurut berbagai studi yang ada, pemberian relaksan otot menjadi salah
satu faktor resiko terjadinya AA. Relaksan otot dapat menyebabkan
terjadinya light anesthesia yang sebenarnya tidak diharapkan terjadi.
Konsentrasi obat anestetikum untuk mencegah kesadaran dapat menjadi
lebih rendah dibanding untuk menghilangkan respon motorik terhadap
nyeri. Disamping itu, penggunaan agen penghambat neuromuskular dapat
menghilangkan gerakan pasien ang dapat menjadi alat deteksi AA yang
paling mudah dan bermanfaat. Dalam sebuah studi, dikatakan bahwa
tingkat kejadian AA hampir dua kali lebih tinggi ditemukan pada pasien
dengan relaksan otot (0,18% vs. 0,1%).
8,10,11


Kurangnya premedikasi benzodiazepine
Obat golongan benzodiazepine menimbulkan efek induksi amnesia yang
berguna untuk mencegah timbulnya kesadaran intraoperatif. Kegagalan
pemberian benzodiazepine secara signifikan meningkatkan resiko
fenomena AA. Meskipun demikian, tidak seperti sebaliknya, pemberian
benzodiazepine tidak memberikan proteksi absolut pada pasien. Seperti
kejadian AA yang tidak dapat diprediksi, kepastian pemberian
benzodiazepine untuk mencegah AA juga tidak dapat ditentukan.
Disamping itu, efeksi induksi amnesia yang diberikan oleh benzodizepine
bergantung pada dosis yang diberikan, dan sulit untuk mempertahankan
dosis tersebut terutama pada operasi operasi besar yang membutuhka
waktu panjang.
14

Kurangnya penggunaan gas N
2
O
N
2
O umum digunakan pada anestesia umum inhalasi akibat potensi
analgesik dan kemampuan induksi amnesia retrograde. Waktu induksi dan
waktu pemulihan dalam penggunaan N
2
O juga cepat. Namun menurut
beberapa literatur terbaru, ada atau tidaknya N
2
O dalam anestesia inhalasi
tidak memiliki pengaruh terhadap insiden AA.
14

Jalur anestesia intrevena
Perbandingan efek proteksi AA antara penggunaan anestesia umum
intravena dan inhalasi masih diperdebatkan. Terdapat perbedaan tingkat
efikasi regional dalam mekanisme molekuler (korteks seebral vs. batang
otak) antara jalur intravena dan inhalasi. Namun apakah perbedaan ini
menimbulkan perbedaan tingkat resiko terjadinya AA masih belum dapat
dibuktikan. Pasien dengan penggunaan anestesia umum intravena lebih
beresiko menimbulkan AA dibanding anestesia umum inhalasi. Hal ini
juga dipengaruhi oleh pengurangan anestesia intravena menjelang akhir
pembedahan untuk menimbulkan efek turnover. Pengurangan dosis yang
terlalu cepat dapat memicu timbulnya AA. Selain itu, perkiraan
konsentrasi anestetikum pada organ target yang ditunjukkan oleh target-
controlled infusion system bukan merupakan konsentrasi riil anestetikum
sehingga sulit memprediksi apakah dosis yang diberikan sudah
adekuat.
10,14

2.6 Deteksi Anesthesia Awareness
Anesthesia Awareness tidak dapat dideteksi selama anestesia umum
berlangsung, karena recall hanya dapat diidentifikasi secara langsung dari
informasi pasien. Hingga saat ini, tidak ada metode yang handal untuk mendeteksi
kesadaran pasien saat operasi berlangsung. Indikator sederhana seperti kenaikan
tekanan darah, peningkatan denyut nadi, atau adanya gerakan sering dikacaukan
dengan penggunaan agen penghambat neuromuskular atau pemberian obat beta-
blocker atau calcium channel blocker. Pada sejumlah kasus, gerakan selama
anestesi general pada pasien tanpa relaksan otot dapat mengindikasikan bahwa
pasien tersadar. Pada pasien seperti itu, perlu dilakukan uji provokasi untuk
menilai respon pasien merespon terhadap suatu perintah misalnya untuk
menggenggam tangan. Secara umum, disepakati bahwa respon terhadap perintah
untuk memegang tangan dua kali yang didapatkan dengan jelas, membuktikan
bahwa pasien dalam keadaan sadar dapat dipastikan bahwa saat itu pasien
tersadar. Tanda klinis lain yang dapat ditemui pada pasien yaitu takikardi dan
hipertensi. Namun penelitian mengesankan bahwa tanda klinis bukan parameter
yang sensitif dan spesifik untuk mengukur kemungkinan terjadinya AA.
10,12

Cara lain untuk mendeteksi AA adalah melalui wawancara langsung
terhadap pasien. AA dapat diidentifikasi sesaat setelah pasien tersadar atau
beberapa hari pasca operasi. Dalam sebuah penelitian, 39% kasus AA dapat
terdeteksi saat pasien berada di ruang post-anesthesia care unit (PACU), 33%
pasien terdeteksi dalam waktu antara hari pertama dan ketiga pasca operasi, dan
27% pasien pada hari ketujuh pasca operasi.
5
Deteksi AA dilakukan melalui
wawancara terstruktur terhadap pasien. Keberhasilan deteksi AA bergantung pada
teknik wawancara, waktu wawancara, dan struktur wawancara. Kuesioner yang
digunakan untuk deteksi AA ditanyakan pada pasien post operatif meliputi lima
pertanyaan yang diadopsi dari Brice interview seperti dalam tabel 2.2.
10,14


Tabel 2.2 Kuesioner Inisial Postoperatif
1 Apa hal terakhir yang anda ingat sebelum tidur?
2 Apa hal pertama yang anda ingat ketika bangun dari tidur?
3 Apakah anda ingat apa yang terjadi pada waktu di antara anda mulai tidur
hingga bangun dari tidur?
4 Apakah anda bermimpi selama operasi?
5 Apakah hal yang paling buruk mengenai operasi yang dilakukan pada anda?

Wawancara dilakukan sesaat setelah anestesia (dalam ruang PACU)
terutama pada pasien yang dicurigai mengalami AA, dan idealnya diulang lagi
dalam beberapa hari hingga 30 hari pasca anestesi. Dari jawaban pasien atas
pertanyaan kuesioner tersebut, setiap individu dapat diklasifikasikan ke dalam 4
kelompok yaitu:
12
Tidak ada awareness (tidak ada laporan atau deskripsi yang samar, atau
apa yang dilaporkan sering terjadi dalam periode preoperasi dan
postoperasi, seperti musik, orang yang berbicara, pakaian yang dipakai)
Dreaming : Bermimpi dimana pasien memiliki pengalaman diluar
kesadaran yang dapat diingat kembali pasca operasi yang mereka pikir
terjadi selama anestesia umum dan mereka percaya bahwa hal tersebut
adalah mimpi. Bermimpi ini mungkin berhubungan dengan kesadaran.
Possible awareness : Pasien tidak dapat mengingat kejadian kejadian
yang terjadi dengan jelas yang menunjukkan kesadaran.
Awareness : jika kejadian yang dapat diingat oleh pasien dikonfirmasi
kepada seseorang yang hadir dalam operasi tersebut atau peneliti
diyakinkan bahwa memori tersebut benar tetapi tidak ada konfirmasi yang
bisa didapat.
Kejadian yang menyangkut kesadaran pasien juga dapat diklasifikasikan
secara kualitatif berdasar Michigan Awareness Classification. Menurut sistem
klasifikasi tersebut, ingatan eksplisit akan pengalaman pasien dikelompokkan
menjadi lima kelas yaitu:
17
- Kelas 0: Tidak ada awareness
- Kelas 1: Persepsi auditori
- Kelas 2: Persepsi taktil (misal: manipulasi pembedahan, intubasi)
- Kelas 3: Nyeri
- Kelas 4: Paralisis (misal:perasaan tidak bisa bergerak, bicara atau nafas)
- Kelas 5: Paralisis dan nyeri
Penambahan huruf D pada masing masing kelas apabila pada pasien dijumpai
tekanan atau distress seperti rasa takut, kecemasan, perasaan tercekik, seperti akan
kiamat ataupun meninggal, dan lain - lain.
Wawancara lebih lanjut dapat dilakukan pada pasien dengan recall
postoperatif dengan menambahkan pertanyaan pertanyaan seperti dalam tabel
2.3 untuk lebih meyakinkan bahwa pasien mengalami AA serta untuk menilai
keadaan pasien saat dan pasca terjadinya AA.
12


Tabel 2.3 Pertanyaan tambahan untuk pasien dengan recall post operatif
1 Apakah yang anda keluhkan (nyeri, paralisis, suara, penglihatan)?
2 Apakah anda merasakan sesuatu dalam mulut atau tenggorokan anda?
3 Apakah anda mampu bergerak?
4 Apakah anda berpikir bahwa anda bermimpi?
5 Berapa lama ini terjadi?
6 Apakah anda mencoba memberitahu seseorang?
7 Apakah anda memberitahu dokter anestesi / staf rumah sakit?
8 Apakah terdapat konsekuensi lain?
9 Apaka anda tidur lelap tadi malam?

2.7 Dampak Anesthesia Awareness
Anesthesia Awareness dapat berlangsung tanpa adanya gejala sisa pada
pasien. Namun pada beberapa pasien, dapat muncul reaksi stres akut. Sekitar dua
per tiga pasien melaporkan perubahan perilaku pasca anestesi atau pasca AA. Dari
data studi yang ada juga dikatakan hingga 70% pasien yang mengalami awareness
dengan recall akan mengalami gejala gejala seperti kesulitan tidur, mimpi buruk
berulang, ingatan masa lampau, gelisah di waktu siang, dan rasa menderita. Pasien
akan merubah persepsi tentang anestesi dan menjadi lebih takut serta khawatir
akan tindakan anestesi. Pasien dapat menghindari rumah sakit dan dokter untuk
menghindari ingatan akan pengalaman trauma yang pernah dirasakan. Jika gejala
tersebut menetap selama 1 bulan, dapat berkembang menjadi PTSD. Bergantung
pada bentuk gejala AA dan penanganan dari paramedis, 15% pasien dengan recall
membutuhkan fisioterapi, dimana 10% diantaranya akan berkembang menjadi
PTSD.
7,12,14

Secara garis besar, gejala klinis PTSD dapat berupa kenangan akan trauma
seperti recall terhadap trauma yang tidak diinginkan, flashback, nightmares, dan
respon fisik atau emosi yang berlebih terhadap tanda tanda yang mengingatkan
akan pengalaman sensoris yang dirasakan. Disamping itu, PTSD juga dapat
muncul dengan gejala gejala penghindaran seperti menghindari terhadap
aktivitas, tempat, pikiran, perasaan dan percakapan yang berhubungan dengan
trauma. Emotional numbness dan hyperarrousal juga merupakan salah satu
bentuk klinis PTSD. Gejala yang termasuk emotional numbness antara lain
berkurangnya minat, penarikan diri atau pengasingan diri. Sedangkan
hyperarrousal dapat muncul dengan gejala gangguan tidur, iritabilitas, kesulitan
berkonsentrasi, rasa waspada yang berlebihan, dan reaksi kaget yang
berlebihan.
12,14


2.8 Manajemen Anesthesia Awareness
Pengalaman akan AA tidak semuanya memiliki prognosis yang baik dan oleh
karena itu diperlukan penanganan yang tepat. Dokter harus menanggapi keluhan
AA dengan serius, menenangkan pasien serta menjelaskan bagaimana dan
mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dalam hal ini, diskusi dengan pasien yang
melibatkan ahli anestesi penting dilakukan. Pasien sebaiknya diinformasikan
mengenai deskripsi gejala gejala PTSD seperti keadaan cemas, sulit tidur, mimp
buruk berulang, iritabilitas, depresi hingga pikiran bunuh diri. Penanganan dini
PTSD dapat memberi prognosis yang baik, namun jika gejala PTSD menetap
mengindikasikan kemungkinan resiko kronis PTSD. Pasien perlu dikonsultasikan
pada ahli psikologis, psikiater atau ahli psikoterapi apabila timbul gejala PTSD.
5,14

2.9 Pencegahan Anesthesia Awareness
Resiko AA dapat dikurangi melalui upaya evaluasi pre operatif, preinduksi
anestesia umum, intervensi intraoperatif serta intervensi postoperatif. Evaluasi
preoperatif meliputi:
10,14
Anamnesis riwayat pasien
Riwayat mengenai pasien dapat diperoleh melalui catatan rekam medis,
temuan laboratorium, serta wawancara terhadap pasien dan keluarga.
Riwayat AA sebelumnya penting untuk ditanyakan mengingat hal tersebut
merupakan salah satu faktor predisposisi kuat terjadinya AA. Penggunaan
obat obatan juga perlu diketahui.
Pemeriksaan fisik
Keadaan hemodinamik dan status fisik ASA pasien perlu diketahui
sebelum pemberian anestesia.
Identifikasi faktor resiko termasuk tipe anestesia dan tipe pembedahan
Pemberian informasi pada pasien mengenai kemungkinan terjadinya AA
Hal yang dapat dilakukan pada saat preinduksi anestesia umum untuk mencegah
AA yaitu:
5,10,14
Pengecekan fungsi peralatan anestesia
Pengecekan fungsi peralatan anestesia seperti mesin anestesia, vaporizer,
dan infusion pumps dapat membantu mengurangi kesalahan penghantaran
obat.
Pemberian premedikasi yang adekuat
Premedkasi dengan agen amnestik seperti benzodiazepine dikatakan dapat
mengurangi resiko AA. Beberapa studi mendukung pernyataan tersebut,
namun menurut Sandin et a menyaktakan bahwa tidak ada perubahan
frekuensi awareness dan recall terkait pemberian benzodiazepine. Dengan
demikian, premedikasi benzodiazepine memegang peran minor dalam
mencegah AA.
Pencegahan AA melalui intervensi intraoperatif dapat dilakukan dengan:
5,10,12,16,18
Memonitor fungsi neuromuskular pada pasien yang menggunakan agen
penghambat neuromuskular dengan mempertahankan T1>5%. Pemberian
relaksan otot perlu dihindari kecuali sangat diperlukan.
Memantau penggunaan agen anestesia inhalasi dengan memonitor gas
inspirasi dan ekspirasi. Anestetikum inhalans harus dimonitor
menggunakan end-tidal gas analyzers. Minimum alveolar concentration
(MAC) agen anestesi perlu dipertahankan antara 0,8-1.
Monitor EEG untuk pasien pasien yang beresiko AA. Monitor fungsi
otak tidak dapat memprediksi recall dengan sangat baik, namun lebih baik
daripada parameter otonom yang tradisional dalam mengetahui hilang
timbulnya kesadaran. Beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan
metode monitoring fungsi otak dalam anestesia untuk mencegah AA.
Salah satu metode yang dikembangkan adalah penghitungan Bispectral
index (BIS) berdasarkan gelombang EEG. Gambaran karakter EEG dapat
memberikan informasi yang sangat berguna pada status hipnosis. Aktivitas
EEG dapat mendemonstrasikan perubahan yang jelas pada otak sebagai
target efek samping agen anestesi. Selanjutnya dilakukan perhitungan BIS
dengan rentang nilai 0 (otak dalam keadaan isoelektrik) hingga 100 (sadar
penuh) untuk menilai tingkat kesadaran pasien. Nilai BIS antara 40 dan 60
mengindikasikan bahwa anestesia umum telah adekuat untuk pembedahan.
Nilai BIS dibawah 40 megindikasikan bahwa pasien telah berada dalam
keadaan hipnosis yang dalam. Parameter lain yang dapat digunakan untuk
memonitor kesadaran pasien adalah median frekuensi (MF), dan spectral
edge frekuensi (SEF). Menurut studi yang ada, dari ketiga parameter
tersebut, hanya BIS yang dapat membedakan antara subjek yang
nonresponsif dengan yang merespon secara tegas terhadap perintah. BIS
memberikan informasi EEG yang lebih banyak dibanding SEF dan MF
sehingga BIS dinilai lebih akurat untuk mendeteksi hilang timbulnya
kesadaran. BIS dapat memberikan sinyal awareness selama intraoperatif.
Dengan mengobservasi hubungan kesadaran intraoperatif dengan recall
postoperatif, monitoring fungsi otak akan mempengaruhi recall secara
tidak langsung. Kejadian AA lebih rendah jika status unconciousness
dipertahankan terus menerus. Dalam hal ini, BIS sebaiknya dipertahankan
pada nilai <60.
Proteksi akustik bagi pasien; sebaiknya paramedis menciptakan suasana
hening atau tenang dalam ruang operasi dan menghindari perkataan
perkataan negatif. Cara lain untuk mengalihkan perhatian pasien pada
pasien dengan resiko tinggi AA yaitu dengan memperdengarkan musik
pada pasien, dapat melalui headphones.
Sesuai dengan prinsip perioperatif, keadaan pasien pasca operasi juga perlu
diperhatikan. Intervensi postoperatif penting dilakukan untuk menghindari
dampak AA yang lebih buruk. Bentuk intervensi postoperatif dalam manajemen
AA antara lain melakukan wawancara pasca operasi dengan pasien . Dokter
sebaiknya menanyakan pasien secara spesifik untuk menggali kejadian AA karena
umumnya pasien tidak melaporkan langsung kejadian AA pada dokter.
Manajemen pasca operatif lanjutan berupa pemberian konseling pasca operasi
atau dukungan psikologikal pada pasien.
10,11












BAB III
KESIMPULAN

Anestesia umum / General Anesthesia adalah keadaan hilangnya nyeri di
seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan
melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya induksi secara farmakologi
atau penekanan sensori pada syaraf. Tujuan utama dilakukan anestesi umum
adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan
penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan
prosedur diagnostik atau pembedahan. Mekanisme kerja obat anestetikum salah
satunya berhubungan dengan kesadaran berlandasakan pada mekanisme bangun
tidur (sleep-wake mechanism). Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis
reseptor yaitu reseptor amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABA
A

yang merupakan reseptor inhibitori, dan reseptor Glutamat yang merupakan
reseptor eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA).
Anesthesia Awareness merupakan salah satu komplikasi dari tindakan
anestesia umum. Secara umum, insiden AA terjadi pada 1 atau 2 setiap 1000
pasien. Insiden AA lebih banyak terjadi pada pasien dengan instabilitas
hemodinamik. Faktor resiko terjadinya AA dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok yaitu faktor terkait pasien, faktor terkait prosedur pembedahan dan
teknik anstesi yang digunakan. Anesthesia Awareness dapat diidentifikasi sesaat
setelah pasien tersadar atau beberapa hari pasca operasi melalui wawancara
langsung terhadap pasien. Anesthesia Awareness dapat berlangsung tanpa adanya
gejala sisa pada pasien. Namun pada beberapa pasien, dapat muncul reaksi stres
akut yang dapat berkembang menjadi PTSD. Konseling dengan ahli psikologis,
psikiater atau ahli psikoterapi merupakan manajemen yang baik untuk
mengurangi dampak anesthesia awareness. Resiko AA dapat dikurangi melalui
upaya evaluasi pre operatif, preinduksi anestesia umum, intervensi intraoperatif
serta intervensi postoperatif.


DAFTAR PUSTAKA

1. Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R. 2001. Petunjuk praktis
anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Mangku G, Senapathi T G A. 2010. Buku ajar ilmu anestesia dan
reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta.
3. Munaf S. 2008. Kumpulan kuliah farmakologi. Palembang : EGC
4. Lognecker D E, Brown D L, Newman M F, Zapol W M. 2008.
Anesthesiology. New York : McGrawHill.
5. Radovanovic D, Radovanovic Z. Awareness during general anaesthesia
implications of explisit intraoperative recall. Europian Review for Medical
and Pharmacological Sciences 2011; 15:1085-9.
6. Anonim. 2004. Issue 32: Preventing, and managing the impact of
anesthesia awareness. The Joint Commission. [Diakses tanggal 13 Agustus
2014] Diunduh dari:
http://www.jointcommission.org/SentinelEvents/SentinelEventAlert/sea_3
2.htm?print=yes
7. Sebel P S, Bowdle T A, Ghoneim M M, Rampil I J, Padilla R E, Gan T J,
Domino K B. The incidence of awareness during anesthesia : a multicenter
united states study. Anesth Analg 2004;99:833-9.
8. Ghoneim M M. Awareness during anesthesia. Anesthesiology 2000; 92:
597-602
9. Mentari N. 2013. Fisiologi Anestesi. [Diaskes tanggal 13 Agustus 2014]
Diunduh dari : http://id.scribd.com/doc/171442712/fisiologi-anestesi
10. Chung H S. Awareness and recall during general anesthesia. Korean J
Anesthesiol 2014; 66(5):339-45
11. Orser B A, Mazer D, Baker A J. Awareness during anesthesia. CMAJ
2008; 178(2) p: 185-8
12. Rofiq A, Witjaksono, Nurcahyo W I. Awareness dan recall intraoperatif.
Jurnal Anestesiologi Indonesia 2012; 4(1):51-72.
13. Butterworth J F, Mackey D C, Wasnick J D. 2013. Morgan & Mikhail's :
Clinical Anesthesiology. 5
th
Edition. New York : McGrawHill.
14. Bischoff P, Rundshagen I. Awareness under general anesthesia. Dtsch
Arztebl 2011; 108(1-2):1-7.
15. Zopellari R, Ferri E, Pellegrini M. 2012. Anesthesiologic management for
awake craniotomy, Explicative cases of controversial issues in
neurosurgery. [Diakses tanggal 6 September 2014]. Diunduh dari:
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/37121.pdf
16. Errando C L, Sigl J C, Robles M, Calabuig E, Garcia J, Arocas F,
Higueras R, Rosario E, Lopez D, Peiro C M, Soriano J L, Chaves S, Gil F,
Garcia-Aguado R. Awareness with recall during general anesthesia : a
prospective observational evaluation of 4001 patients. British Journal of
Anesthesia 2008; 101 (2): 178-85
17. Mashour G A, Tremper K K, Avidan M S. Protocol for the Michigan
Awareness Control Study : A prospective, randomized, controlled trial
comparing electronic alert based on bispectral index monitoring or
minimum alveolar concentration for the prevention of intraoperative
awareness. BMC Anesthesiology 2009; 9:7
18. Crosby G. General Anesthesia Minding the mind surgery. The New
England Journal of Medicine 2011; 365 (7):660-1

Anda mungkin juga menyukai