Anda di halaman 1dari 8

Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan ekspor

komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk
menghasilkan komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA. Upaya ke arah itu, nampaknya
masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang lebih serius dari pemerintah maupun para pelaku
agrobisnis, mengingat beberapa komoditas pertanian Indonesia saat ini maupun di masa yang akan
datang masih akan selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan dalam peningkatan produksi yang
berkualitas, permodalan, kebijakan harga dan nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim
politis yang tidak kondusif bagi sektor pertanian. Diharapkan dengan diberlakukannya otonomi
daerah perhatian pada sektor agribisnis dapat menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan
kualitas produk pertanian sehingga lebih kompetitif di pasar lokal, regional maupun pasar global,
dan sekaligus memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional maupun peningkatan
pendapatan petani dan pembangunan daerah.
Secara umum, situasi ekonomi Indonesia sangat sulit. Perdagangan Indonesia dalam kurun 2000-
2002 melemah, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor. Kondisi ekonomi makro ditambah
stabilitas politik yang tidak mantab serta penegakan hukum dan keamanan yang buruk ikut
mempengaruhi daya saing kita dalam perdagangan dunia. Memang, secara umum, beberapa produk
kita siap berkompetisi. Misalnya, minyak kelapa sawit, tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan
garmen. Tetapi, banyak pula yang akan tertekan berat memasuki AFTA. Di antaranya, produk
otomotif, teknologi informasi, dan produk pertanian.
Dalam AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan direduksi secara signifikan. Sebab,
mekanisme tarif yang merupakan wewenang negara dipangkas. Karena itu, diperlukan perubahan
paradigma yang sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang mengandalkan proteksi
negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja secara nasional atau regional
dalam AFTA, namun juga secara global. Karena itu, kekuatan manajemen, efisiensi, kemampuan
permodalan, dan keunggulan produk menjadi salah satu kunci keberhasilan.
Persoalan yang dihadapi oleh Indonesia
Dalam menghadapi AFTA, Indonesia sebagai salah satu Negara anggota ASEANmasih memiliki
beberapa kendala yang menunjukan ketidaksiapan kita dalam menghadapi AFTA, diantanya adalah;
dari segi penegakan hukum, sudah diketahui bahwa sektor itu termasuk buruk di Indonesia. Jika tak
ada kepastian hukum, maka iklim usaha tidak akan berkembang baik, yang mana hal tersebut akan
menyebabkana biaya ekonomi tinggi yang berpengaruh terhadap daya saing produk dalam pasar
internasional.
Faktor lain yang amat penting adalah lembaga-lembaga yang seharusnya ikut memperlancar
perdagangan dan dunia usaha ternyata malah sering diindikasikan KKN. Akibat masih meluasnya KKN
dan berbagai pungutan yang dilakukan unsure pemerintah di semua lapisan, harga produk yang
dilempar ke pasar akan terpengaruhi. Otonomi daerah yang diharapkan akan meningkatkan
akuntabilitas pejabat publik dan mendorong ekonomi lokal ternyata dipakai untuk menarik
keuntungan sebanyak-banyaknya dari dunia usaha tanpa menghiraukan implikasinya. Otonomi
malah menampilkan sisi buruknya yang bisa mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar
dunia.

Persoalan lain yang harus dihadapi adalah kenyataan bahwa perbatasan Indonesia sangat luas, baik
berupa lautan maupun daratan, yang sangat sulit diawasi. Akibatnya, terjadi banjir barang
selundupan yang melemahkan daya saing industri nasional. Miliaran dolar amblas setiap tahun
akibat ketidakmampuan menjaga perbatasan dengan baik. Menurut taksiran kemampuan TNI-AL,
sekitar 40 persen dari seharusnya digunakan untuk mengamankan lautan akibat kekuarangan dana
dan sarana yang lain. Kendala utama bagi masyarakat Indonesia adalah mengubah pola pikir, baik di
kalangan pejabat, politisi, pengusaha, maupun tenaga kerja. Mengubah pola pikir ini sangat penting
bagi keberhasilan kita memasuki AFTA.
Namun, selain menghadapi berbagai persoalan, AFTA jelas juga membawa sejumlah keuntungan.
Pertama, barang-barang yang semula diproduksi dengan biaya tinggi akan bisa diperoleh konsumen
dengan harga lebih murah. Kedua, sebagai kawasan yang terintegrasi secara bersama-sama,
kawasan ASEAN akan lebih menarik sebagai lahan investasi. Indonesia dengan sumber daya alam
dan manusia yang berlimpah mempunyai keunggulan komparatif. Namun, peningkatan SDM
merupakan keharusan. Ternyata, kemampuan SDM kita sangat payah dibandingkan Filipina atau
Thailand.
Berdasarkan peraturan Pemerintah Nomer 63 tahun 1999, pihak asing dimungkinkan untuk
mempunyai saham hampir 99 persen. Jadi jika ingin menambah sahamnya, sedangkan partner
lokalnya tidak mampu, maka saham partner lokal menjadi terdivestasi.
Dampak AFTA
Ada banyak dampak suatu perjanjian perdagangan bebas, antara lain spesialisasi dan peningkatan
volume perdagangan. Sebagai contoh, ada dua negara yang dapat memproduksi dua barang, yaitu A
dan B, tetapi kedua negara tersebut membutuhkan barang A dan B untuk dikonsumsi. Secara
teoretis, perdagangan bebas antara kedua negara tersebut akan membuat negara yang memiliki
keunggulan komparatif (lebih efisien) dalam memproduksi barang A (misalkan negara pertama) akan
membuat hanya barang A, mengekspor sebagian barang A ke negara kedua, dan mengimpor barang
B dari negara kedua.
Sebaliknya, negara kedua akan memproduksi hanya barang B, mengekspor sebagian barang B ke
negara pertama, dan akan mengimpor sebagian barang A dari negara pertama. Akibatnya, tingkat
produksi secara keseluruhan akan meningkat (karena masing-masing negara mengambil spesialisasi
untuk memproduksi barang yang mereka dapat produksi dengan lebih efisien) dan pada saat yang
bersamaan volume perdagangan antara kedua negara tersebut akan meningkat juga (dibandingkan
dengan apabila kedua negara tersebut memproduksi kedua jenis barang dan tidak melakukan
perdagangan). Saat ini AFTA sudah hampir seluruhnya diimplementasikan. Dalam perjanjian
perdagangan bebas tersebut, tarif impor barang antarnegara ASEAN secara berangsur-angsur telah
dikurangi. Saat ini tarif impor lebih dari 99 persen dari barang-barang yang termasuk dalam daftar
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) di negara-negara ASEAN-6 (Brunei, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, dan Thailand) telah diturunkan menjadi 5 persen hingga 0 persen.

Sesuai dengan teori yang dibahas di atas, AFTA tampaknya telah dapat meningkatkan volume
perdagangan antarnegara ASEAN secara signifikan. Adanya AFTA telah memberikan kemudahan
kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN
dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN. Untuk pasar Indonesia, kemampuan negara-negara
ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar kita bahkan masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari
kenaikan pangsa pasar ekspor negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kenaikan pangsa pasar China di Indonesia.
Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 17,6 persen.
Implementasi AFTA telah meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya,
pangsa pasar ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa pasar
negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.
Berbeda dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata daya penetrasi produk-produk China di
Indonesia tidak setinggi daya penetrasi produk-produk negara ASEAN. Pada tahun 2001 China
menguasai sekitar 6,0 persen dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru mencapai 10,1
persen, masih jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN. Jadi, saat ini produk-
produk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar Indonesia dibandingkan dengan produk-produk
dari China. Sebaliknya, berbeda dengan negara-negara ASEAN yang lain, tampaknya belum terlalu
diperhatikan potensi pasar ASEAN, dan lebih menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti Jepang
dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke negara-negara ASEAN yang
tidak mengalami kenaikan yang terlalu signifikan sejak AFTA dijalankan. Pada tahun 2000, misalnya,
pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia mencapai 2,8 persen. Dan pada tahun 2005 hanya
meningkat menjadi 3,8 persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara ASEAN lainnya.
Produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat menyuplai
produknya ke negara-negara tersebut. Produsen internasional dapat memilih satu negara di
kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya dan memenuhi permintaan produknya di negara di
sekitarnya dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN membuat kegiatan
ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih murah dari sebelumnya. Tentunya negara
yang dipilih sebagai negara basis suatu produk adalah yang dianggap dapat membuat produk
tersebut dengan lebih efisien (spesialisasi).
Negara-negara di kawasan ini tentunya berebut untuk dapat menjadi pusat produksi untuk melayani
pasar ASEAN karena semakin banyak perusahaan yang memilih negara tersebut untuk dijadikan
pusat produksi, akan semakin banyak lapangan kerja yang tersedia. Sayangnya, Indonesia tampaknya
masih tertinggal dalam menciptakan daya tarik untuk dijadikan pusat produksi.
Kesiapan Indonesia
Infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai belum siap menghadapi ASEAN Free
Trade Area (AFTA) atau pasar bebas ASEAN mulai 2015. Kita semua tahu bagaimana kualitas SDM
dan infrastruktur kita, padahal pasar bebas ASEAN itu tidak lama lagi, kata pengamat politik
ekonomi internasional UI, Beginda Pakpahan, di Jakarta. Ia mengatakan pada dasarnya FTA (Free
Trade Area) sangat potensial untuk memperluas jejaring pasar sekaligus menambah insentif, karena
tidak adanya lagi pembatasan kuota produk.[1] Namun, bagi Indonesia bukan melulu keuntungan,
sebab FTA juga bisa menjadi ancaman bila pemerintah RI tidak mempersiapkan SDM dan
infrastruktur dalam negeri. Dampak terburuk justru mengancam masyarakat lapisan paling bawah,
seperti petani gurem dan pedagang kecil. Saat ini Indonesia setidaknya berada di peringkat keenam
di ASEAN di luar negara-negara yang baru bergabung (Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar).
Selain SDM, infrastruktur di tanah air juga belum mendukung untuk menghadapi AFTA. Indonesia
harus bisa menjadi pengelola atau tidak melulu menjadi broker atau mediator dalam perdagangan
bebas. Agenda terdekat menjelang era pasar bebas, Indonesia harus bisa membenahi dan
menyelesaikan kepemimpinan nasional, mewujudkan good corporate governance, dan
membenahi birokrasi sekaligus memberantas korupsi. Selain itu, DPR juga harus sejalan dengan
pemerintah dalam masa-masa krisis dan membenahi jajaran TNI/POLRI. Yang harus dilakukan
Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi AFTA dan dapat bersaing dengan Negara-negara lain
di dalamnya adalah :
Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA
AFTA sebagai suatu kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN harus didukung oleh struktur organisasi
yang kuat agar pelaksanaannya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Struktur organisasi yang kuat
sangat diperlukan karena AFTA harus dilaksanakan dengan baik, adil dan terarah sehingga dapat
dimanfaatkan secara maksimal dan merata. Juga diperlukan pengawasan yang ketat untuk menjaga
agar jangan sampai terjadi kecurangan dalam pelaksanaan perdagangan yang akan merugikan
negara tertentu.
Promosi dan Penetrasi Pasar
Kenyataan menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN lainnya, adalah nomor dua terkecil setelah Filipina, sedangkan volume perdagangan
Indoensia dengan Singapura hanya 5,1 persen dari seluruh perdagangan intra-ASEAN. Keadaan
tersebut terutama disebabkan oleh komoditas ekspor Indonesia belum banyak dikenal oleh negara-
negara ASEAN. Karena itu, keikutsertaan dalam pameran perdagangan internasional perlu
ditingkatkan. Peningkatan kunjungan dagang sangat besar pula artinya dalam melakukan promosi
dan penetrasi pasar hasil produksi Indonesia.
Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri
Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, perlu diciptakan kondisi persaingan yang sehat
di antara sesama pengusaha agar tidak terdapat distorsi harga bahan baku. Di samping itu, biaya-
biaya non produksi secara keseluruhan dapat ditekan. Dalam kaitan ini, kebijakan deregulasi yang
telah dijalankan Pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu perlu terus dilanjutkan dan diperluas
kepada sektor-sektor riil yang langsung mempengaruhi kegiatan produksi dan selanjutnya perlu
diusahakan agar pemberian fasilitas-fasilitas yang cenderung menciptakan kondisi monopoli dalam
pengelolaan usaha perlu dihilangkan.
Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan kualitas sumberdaya
manusia negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi AFTA, usaha-usaha
untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perlu lebih ditingkatkan dengan mengembangkan
sekolah kejuruan dan politeknik di masa mendatang.
Perlindungan Terhadap Industri Kecil
Pelaksanaan AFTA akan mengakibatkan tingginya tingkat persaingan, sehingga hanya perusahaan
besar yang mampu terus berkembang. Perusahaan besar tersebut di-perkirakan terus menekan
industri kecil yang pada umumnya kurang mampu bersaing dengan para konglomerat. Untuk
melindungi industri kecil tersebut, perlu diwujudkan sebuah undang-undang anti monopoli atau
membentuk suatu organisasi pemersatu perusahaan-perusahaan berskala kecil.
Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian
Dalam upaya meningkatkan peran ekspor sektor pertanian, perlu dikembangkan produk-produk
unggulan yang mampu bersaing di pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional.
Pengembangan produk-produk unggulan dilaksanakan melalui serangkaian proses yang saling terkait
serta membentuk suatu sistem agribisnis yang terdiri dari sistem pra produksi, produksi, pengolahan
dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).[2]
KESIMPULAN
AFTA adalah bentuk dari Free Trade Area di kawasan Asia Tenggara merupakan kerjasama regional
dalam bidang ekonomi mempunyai tujuan untuk meningkatkan volume perdagangan di antara
negara anggota melalui penurunan tarif beberapa komoditas tertentu, termasuk di dalamnya
beberapa komoditas pertanian, dengan tarif mendekati 0-5 persen. Inti AFTA adalah CEPT (Common
Effective Preferential Tariff), yakni barang-barang yang diproduksi di antara negara ASEAN yang
memenuhi ketentuan setidak-tidaknya 40 % kandungan lokal akan dikenai tarif hanya 0-5 %. Sampai
saat ini, CEPT masih merupakan hal yang sulit untuk dijalankan oleh Negara-negara di ASEAN, hanya
Singapura saja yang sudah dapat mengurangi hambatan tarifnya sebesar 0 %, sedangakan Negara-
negara ASEAN lainnya masih berusaha untuk mencoba mengurangi hambatan tarifnya.
Indonesia sebagai Negara yang menyetujui AFTA, sebentar lagi akan masuk ke dalam era
perdagangan bebas, sehingga bangsa ini akan bersaing dengan bangsa-bangsa ASEAN lainnya.
Dengan kondisi bangsa Indonesia dan perekonomian Indonesia saat ini, Indonesia dapat dikatakan
masih belum siap dalam menghadapi persaingan global. Sumber daya manusia Indonesia dengan
masih banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang minim membuat
Indonesia diprediksikan akan kalah dalam persaingan. Situasi politik dan hukum di Indonesia yang
amat sangat tidak pasti juga menambah jumlah nilai minus Indonesia dalam menghadapi AFTA.

KESIAPAN INDO DLM MENGHADAPI AFTA
Globalisasi perdagangan adalah peristiwa dunia yang mau tidak mau tetap harus diikuti oleh kita,
memang di beberapa kasus Organisasi-Organisasi zona perdagangan tersebut cenderung merugikan
negara yang ekonominya lebih lemah atau berkembang. Akan tetapi Global Perdagangan itu entah
sekarang atau yang akan datang pasti menyerang Indonesia.
Bukan hanya AFTA 2015, globalisasi perdagangan dan investasi modal asing sekarang ini sudah
meluas, bahkan karena saking banyaknya sekarang ini sangat sulit dikenali. Ini berkembang dan
terjadi sangat cepat, dengan banyaknya kegiatan usaha patungan yang melintasi batas-batas
teritorial antar negara. Ini dibuktikan dengan secara menyeluruhnya era globalisasi telah dinikmati
oleh global people dan global consumer, misalnya dengan kemudahan kita mendapatkan akses
informasi, entertainment dan lain lain.
Saya mengistilahkanya globalisasi perdagangan dan kapitalisme itu seperti virus flu yang setiap saat
bisa masuk nyerang tubuh kita, kita mau membentengi diri kita dari virus tersebut tidak mungkin
karena itu sudah hukum alam, yang bisa kita lakukan adalah mempersehat tubuh kita, sehingga
ketika flu tersebut menyerang kita mampu menghadapinya dan sudah punya kekebalan. Jadi
pondasi dan kebijakan ekonomi kitalah yang harus dipersiapkan dahulu untuk menghadapi itu
semua.
Apa Indonesia sudah siap menghadapi Globalisasi perdagangan dunia secara umumnya atau untuk
yang terdekat saja AFTA 2015 ?
Ada beberapa poin yang harus diperhatikan menghadapi globalisasi pasar bedasarkan studi Global
Business Economic Environment, saya ambil 3 poin terpenting dan coba saya jelaskan secara garis
besar.
1. Alur kegiatan usaha dan perdagangan
Ini sangat penting diamati pergerakannya karena memiliki pengaruh pada permintaan dunia, sudah
sejauh mana kemampuan produksi dan ekspor kita ? bagaimana kita bersaing harga dengan
persaingan yang ketat ? bagaimana kita bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri utamanya ? dan
perlunya penganalisaan kebutuhan pasar dengan tingkat inflasi serta pasar modal di setiap negara
anggota Organisasi perdagangan tersebut.
Yang terjadi di indonesia sendiri masih defisit perdagangan, mental rakyat indonesia sendiri
kebanyakan masih berdagang bukan produksi, padahal kita harus siap adu kreativitas dengan produk
luar negri. Intinya dengan AFTA ini semua jadi cepat dan murah karena sudah tidak melewati
birokrasi lagi, terpenting bagi kita adalah bagaimana kita bisa mengimbangi negara lain terutama di
sektor kebutuhan dalam negri sendiri tanpa proteksi lagi. Disini Pemerintah diharapkan mendorong
lagi sektor produksi dan UMKM dalam negri untuk lebih berkembang lagi.
2. Harga BBM
Naik turunya harga minyak bumi dunia sangat mempengaruhi posisi ekonomi Indonesia. Dari sudut
pandang mikro ekonomi, naik-turunya harga minyak dapat mempengaruhi biaya produksi
perusahaan atau UMKM yang pengoprasianya menggunakan BBM, mepengaruhi ongkos
transportasi, dan mempengaruhi harga bahan baku. Akibat dari efek tersebut adalah naik-turunya
daya produksi mereka.
Sedangkan dari pandang sudut makro ekonomi, Naik-turunya harga minyak mempengaruhi
anggaran belanja negara kita. Karena APBN sendiri disusun berdasarkan asumsi harga minyak bumi
yang ditetapkan. maka itu akan berimbas pada surplus dan minusnya penerimaan Negara. Ini akan
mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah dalam alokasi dana untuk pembangunan dan
pengembangan.
Yang terjadi di Indonesia sendiri permasalahan BBM masih berlarut-larut dan belum menemukan
kebijakan yang pas untuk mengatasinya. Sampai sekarang pun APBN masih menanggung beban
berat untuk subsidi BBM tersebut. Disini seharusnya pemerintah segera memperbaiki kebijakan dan
keadaan itu untuk menyongsong perdagangan global. Harusnya berani lebih memperjuangkan lagi
pengelolahan segala yang untuk kepentingan rakyat terfokus pada pemerintahan, banyak sekali
solusinya dan pasti bisa.
3. Kebijakan Pembangunan Ekonomi
Kebijakan ekonomi, moneter, fiskal, investasi dan perdagangan yang diambil pemerintah akan
sangat mempengaruhi keadaan perekonomi dalam negri, juga akan mempengaruhi tingkat
produktivitas dalam negri dan daya beli konsumen. Tepat atau tidaknya kebijakan yang diambil akan
terlihat dari tingkat inflasi, defisit atau surplusnya neraca perdagangan, harga kebutuhan pokok,
tingkat suku bunga, dan tingkat pendapatan nasional atau daerah.
Disini, di era globalisasi perdagangan ini pemerintah diharapkan mempunyai ketajaman visi, misi dan
strategi pembangunan yang dijalankan. Sedangkan dalam aplikasinya pemerintahan di masa ini
terkesan menggunakan kebijakan yang terlalu besifat populis, dengan orieantasi fundamental fix
yang terasa kurang nendang dan bisa merealisasikan target yang ditetapkan. Sesekali harusnya
pemerintah berani mengambil kebijakan quick fix meskipun plasteran tapi orientasi targetnya
tercapai.
Padahal disini ketepatan kebijakan pemerintah sangatlah dibutuhkan dalam proses menguatkan
pondasi perekonomian kita menyongsong era globalisasi perdagangan. Bayangkan saja bagaimana
jadinya ketika tingkat pendapatan daerah tidak merata, kira kira orang pelosok daerah apa bisa siap
menghadapi era globalisasi perdagangan ini. Pemerintah harusnya juga berpikir bagaimana bisa
bersaingnya harga beras kita yang mahal dengan negara Asean lainya, kalau besaran suku bunga
Bank Indonesia saja masih lebih mahal dari negara lain.
sekarang kita bisa menyimpulkan sendiri, apakah siap Indonesia menghadapi era globalisasi
perdagangan atau AFTA yang terdekat ini ?. Perjanjian telah ditandatangani dan kita tetap harus
menghadapinya. Apabila Pemerintah siap dan bijak menghadapi ini, globalisasi perdagangan ini akan
membawa peluang pasar yang luas dan besar bagi Indonesia. Tetapi jika pemerintah tidak tepat
menyikapinya. sudahlah jangan pernah mengatakan kekayaan apa yang kita punya di negeri ini,
tapi katakanlah pada rakyat apa yang kau perbuat.
Selain memiliki human capital yang masih lemah, kebijakan pembangunan pemerintah Indonesia
sendiri belum benar-benar memiliki keberpihakan kepada kepentingan publik. Dari politik anggaran
misalnya, berdasar penelitian penulis di berbagai daerah, alokasi dana APBD cenderung dihabiskan
untuk memenuhi kebutuhan rutin aparatur daerah, terutama untuk memenuhi belanja pegawai.
Sedang alokasi dana APBD untuk pembangunan infrastruktur fisik (pendidikan, jalan, jembatan dan
teknologi) rata-rata masih jauh lebih kecil dari belanja pegawai. Bahkan, banyak daerah yang
terancam bangkrut karena alokasi belanja pegawai sangat besar mencapai sekitar 70% dari total
APBD.
Indonesia memang memiliki tata kelola pemerintahan lebih baik dari Kamboja dan Myanmar.
Namun, konsistensi pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih termasuk
lemah. Padahal, sumber pendapatan APBN Indonesia sebagian besar masih berasal dari pajak.
Seandainya saja pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan baik dan meningkatkan
pendapatan APBN tentunya juga dapat dipakai mendukung pembangunan aneka infrastruktur dan
human capital sebagai modal kesiapsiagaan menghadapi persaingan global dalam AFTA 2015.
Namun faktanya, pengelolaan sumber daya alam masih kerap mendapat sorotan negatif. Dalam
penerapan UU Minerba saja masih dinilai memble. Karena itu, cukup berat kiranya jika Indonesia
akan dapat memperkuat human capital dengan baik dalam waktu singkat. Bagamaina mungkin
Indonesia akan mampu menyiapkan aneka macam infrastruktur dengan baik seperti yang diungkap
Philip Kotler dalam menghadapi persaingan global kalau kapasitas fiskal negara lemah dan masih
harus digeroti oleh tikus-tikus koruptor?

Anda mungkin juga menyukai