Sektor pertambangan Indonesia menawarkan potensi sangat besar untuk tumbuh
tetapi harus mengatasi sejumlah tantangan. Seperti tumpang tindih kepemilikan lahan dan ke tidak pastian atas pembahasan rancangan undang-undang (RUU) industri tambang, demikian terungkap dalam satu konferensi pertambangan di Manila. Dalam konferensi itu diungkapkan pula bahwa tidak ada kontrak baru bagi proyek pertambangan di Indonesia sejak 2001. Hal itu dikarenakan investor asing bersikap "menunggu Undang-Undang baru (pertambangan)" kata Asisten Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Raden Sukhyar, berbicara dalam Konferensi Pertambangan Asia Pasifik ke-7 di Manila, ia mengatakan, ada optimisme di sektor tersebut, seperti terus tumbuhnya kebutuhan sumber daya mineral Indonesia serta prospek pembaruan sistem perundangan. Ia juga mengatakan bahwa meskipun tidak ada kontrak baru dibuat sejak 2001, sekitar 1.200 izin kuasa pertambangan telah dikeluarkan bagi proyek-proyek pertambangan skala kecil. Namun hal itu sering membawa masalah dimana perusahaan skala besar menemukan wilayah pertambangan mereka termasuk dalam konflik kepemilikan di bawah izin kuasa pertambangan. Sementara Direktur PT Inco, Arif Siregar, yang mengoperasikan pertambangan di Sulawesi, mengatakan bahwa perusahaannya telah membayar pajak royalti dalam jumlah besar baik kepada pemerintah pusat maupun daerah, ia mengatakan ada "tumpang tindih kekuasaan antara pemerintah pusat, provinsi, dan lokal" dimana persoalannya menjadi kompleks, ia juga mengatakan bahwa sebelum 1998, perusahaan pertambangan hanya mempunyai perjanjian dengan dua departemen di ibukota Negara, "Sekarang, sebagai ganti dua pemangku kepentingan itu, kami mempunyai ratusan pemangku kepentingan," katanya, sambil menyebutkan diantaranya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), departemen energi dan departemen lingkungan serta lembaga pemerintah lainnya. Siregar mengungkapkan, perusahaannya telah "berselisih dengan kementerian kehutanan selama dua hingga tiga tahun" disebabkan aturan yang melarang kegiatan pertambangan di areal hutan tertentu, kepada Departemen Kehutanan ia telah menjelaskan bahwa "Saya dapat menciptakan hutan tetapi Saya tidak dapat memindahkan mineral." Hasil penelitian Fraser Intitute dari Kanada menunjukkan bahwa dari segi potensi geologi, Indonesia termasuk negara yang sangat potensial dan menjadi incaran para investor. Namun sayangnya, kondisi ini tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal menyusul berkembangnya opini bahwa industri pertambangan cenderung lebih banyak merusak lingkungan daripada memberi manfaat kepada pembangunan nasional, menurut penelitian PricewaterhouseCoopers, kontribusi industri pertambangan terhadap ekonomi Indonesia pada tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 19,5 triliun yang sebagian besar dalam bentuk pendapatan pemerintah (Rp. 9,3 triliun) dan pembelian dari pemasok lokal (Rp. 7,1 triliun). Pengeluaran untuk kepentingan umum juga cukup besar misalnya untuk pengembangan regional dan kemasyarakatan yang mencapai sekitar Rp. 604 miliar (2003), pelatihan pegawai (Rp. 164 miliar), penelitian dan pengembangan (US$ 1.046 ribu). Sedangkan pengeluaran untuk reklamasi, penutupan tambang dan pengendalian lingkungan mencapai US$ 83.607 ribu. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang diserap oleh industri pertambangan pada tahun 2003 mencapai sekitar 33.112 orang. Jumlah inipun merupakan hasil penelitian terhadap 33 perusahaan yang sudah berproduksi dan 35 perusahaan eksplorasi selama 1999-2003 dan belum mencerminkan keseluruhan produsen batubara dan emas Indonesia. Apabila dimasukkan data-data untuk berbagai jenis mineral industri, maka angka ini tentu akan semakin besar. Persoalan yang muncul dalam beberapa tahun (tumpang tindih kebijakan, peraturan daerah yang belum kondusif, pertambangan tanpa izin, masalah fiskal, keamanan dan lainnya) terakhir menyebabkan tidak adanya investasi baru industri pertambangan. Menurut data PricewaterhouseCoopers, pengeluaran eksplorasi pada daerah baru di Indonesia pada periode 2001-2003 rata-rata hanya US$ 7 juta jauh dibawah rata-rata 1995-1997 yang mencapai US$ 40 juta. Kegiatan eksplorasi adalah kunci untuk mempertahankan keberadaan yang menjamin keberlangsungan manfaat industri pertambangan Indonesia. Saat ini Pemerintah telah mencapai berbagai kemajuan dalam penyelesaian kasus tumpang tindih pertambangan-kehutanan dan membaiknya koordinasi pusat-daerah dalam pengelolaan industri pertambangan. Kondisi seperti ini harus terus ditingkatkan dan hal-hal yang bersifat spekulatif dalam menilai industri pertambangan perlu dihindari. Apabila kegiatan perusahaan pertambangan terbukti merusak lingkungan, maka tentu saja harus diproses secara hukum. Namun apabila tidak terbukti berdasarkan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka tentu opini publik tidak perlu digiring kearah penghakiman bahwa ?pokoknya? industri pertambangan bersangkutan merusak lingkungan. Pelaku industri pertambangan besar di Indonesia merupakan bagian dari pelaku industri tambang dunia yang sangat memperhatikan berbagai dampak lingkungan dan tidak akan menghancurkan reputasinya dengan merusak lingkungan. Dari sisi Pemerintah, pengawasan terhadap kegiatan industri pertambangan akan terus ditingkatkan termasuk hal-hal yang terkait dengan perlindungan lingkungan dan keselamatan kerja. Perusahaan pertambangan juga perlu diberikan kesempatan untuk mengembangkan kegiatannya tanpa harus dicurigai secara berlebihan bahwa kegiatan mereka tidak ramah lingkungan maupun tidak memberikan manfaat bagi negara. Sosialiasi kepada masyarakat untuk lebih memahami karakteristik industri pertambangan juga perlu ditingkatkan sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian yang lebih obyektif dan fair terhadap berbagai opini yang menyudutkan keberadaan industri pertambangan di Indonesia. Konsumsi batubara dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan yang sangat pesat. Bila pada 1990 total konsumsi batubara dunia baru mencapai 3.461 juta ton, pada 2007 meningkat menjadi 5.522 juta ton atau meningkat sebesar 59,5%, atau rata-rata 3,5% per tahun. International Energy Agency (IEA) memperkirakan konsumsi batubara dunia akan tumbuh rata-rata 2,6% per tahun antara periode 2005-2015 dan kemudian melambat menjadi rata-rata 1,7% per tahun sepanjang 2015-2030. Meningkatnya konsumsi batubara dunia tidak terlepas dari meningkat pesatnya permintaan energi dunia dimana batubara merupakan pemasok energi kedua terbesar setelah minyak dengan kontribusi 26%. Peran ini diperkirakan akan meningkat menjadi 29% pada 2030. Sedangkan kontribusinya sebagai pembangkit listrik diperkirakan juga akan meningkat dari 41% pada 2006 menjadi 46% pada 2030. Meningkatnya peran batubara sebagai pemasok energi di masa-masa mendatang membuat industri ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para investor tak terkecuali di Indonesia. Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan konsumsi batubara yang cukup spektakuler dalam sepuluh tahun terakhir, yakni dari 13,2 juta ton pada 1997 menjadi 45,3 juta ton pada 2007, atau meningkat lebih dari 3 kali lipat (243%). Peningkatan jumlah konsumsi yang sangat tajam tersebut disebabkan meningkat tajamnya permintaan batubara sebagai sumber energi terutama untuk pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun di negara-negara importir. Tidak mengherankan apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh pesat khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Sampai dengan 2003 misalnya tercatat 251 perusahaan penambangan batubara di Indonesia. Dalam percaturan perdagangan batubara dunia, Indonesia memiliki peran yang semakin penting dari tahun ke tahun baik sebagai produsen maupun sebagai eksportir. Pada 2007 Indonesia berada di posisi ketujuh terbesar produsen batubara dunia dengan kontribusi 4,2% dan di posisi kedua terbesar sebagai eksportir batubara dengan total volume ekspor 202 juta ton. World Energy Council memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai 847.488 juta ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Berdasarkan kandungan kalorinya, sebesar 50,8% berupa anthracite (kalori sangat tinggi) dan bituminous (kalori tinggi), dan 48,2% berupa sub bituminous (kalori sedang) and lignite (kalori rendah). IEA memperkirakan, dengan tingkat produksi saat ini batubara dunia dapat dieksploitasi setidaknya hingga 133 tahun ke depan, lebih lama dibanding cadangan minyak terbukti dan gas yang diperkirakan hanya dapat dieksploitasi sekitar 42 dan 60 tahun kedepan Meskipun tersebar di lebih dari 50 negara, sekitar 76,3% cadangan batubara terbukti terkonsentrasi di 5 negara yakni Amerika Serikat (28,6%), Rusia (18,5%), China (13,5%), Australia (9%) dan India (6,7%). Pada 2007 kelima negara ini memberikan kontribusi sebesar 82% terhadap total produksi batubara dunia yang sebesar 5.543 juta ton.
Sumber : BP Statistical Review of World Energy, June 2008 Pada periode yang sama, menurut data World Energy Council, Indonesia memiliki cadangan batubara terbukti sebesar 4,3 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara terbukti dunia. Sekitar 83% terdapat di Kalimantan, 13% di Sumatera, dan sisanya di pulau lainnya. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignite (kandungan kalori rendah) sebesar 59% dan sub-bituminous (kandungan kalori sedang) sebesar 27%. Sementara jenis bituminous mencapai 14% dan anthracite 0,5%. Selama 17 tahun terakhir (1990-2007) produksi batubara dunia telah meningkat sebesar 58,8% dari 3.489 juta ton menjadi 5.543 juta ton, atau meningkat rata-rata 3,8% per tahun. Peningkatan produksi yang pesat terjadi dalam sepuluh tahun terakhir yang didorong oleh meningkat tajamnya permintaan di negara-negara Asia, terutama China dan India. Produsen batubara terbesar dunia tercatat China, AS, India, Australia, Afrika Selatan dan Indonesia. Pada 2007, ketujuh negara produsen ini menghasilkan sekitar 90,6% dari total produksi batubara dunia. China merupakan produsen terbesar yang menyumbang hampir separuh produksi dunia yakni 46% pada 2007, diikuti oleh AS 17,7%, dan India 8,2%. Meskipun sebagai produsen batubara terbesar, China sekaligus tercatat sebagai pengkonsumsi batubara terbesar dunia yang mencapai 46% dari total konsumsi dunia. Itu sebabnya dalam jajaran negara-negara pengimpor batubara, China termasuk dalam pengimpor keenam terbesar dunia dengan total impor 48 juta ton pada 2007.
Sumber: World Coal Institute Sumber : World Coal Institute Konsumsi Batubara Dunia Batubara memainkan peran yang semakin baik sebagai sumber energi primer maupun pembangkit tenaga listrik. Pada 2006, batubara memberikan kontribusi sebesar 26% sebagai pemasok energi primer, kedua terbesar setelah minyak yang sebesar 34,4%. Sedangkan sebagai pembangkit listrik batubara memberikan kontribusi paling besar (41%) diantara sumber energi lainnya seperti gas (20,1%), hydro (16%), nuklir (14,8%), dan minyak (5,8%). Di sejumlah negara peran batubara sebagai pembangkit listrik bahkan sangat dominan seperti di Polandia (93%), Afrika Selatan (93%), Australia (80%), China (78%), India (69%), Maroko (69%), Khazastan (70%), dan Indonesia (71%). Disamping pembangkit listrik, batubara juga banyak digunakan pada industri baja. Sekitar 13% dari produksi batubara ketel uap (hard coal) dialokasikan untuk industri ini dan hampir 70% dari produksi baja global tergantung kepada batubara. Pasar batubara terbesar adalah Asia yang mengkonsumsi sekitar 54% dari konsumsi batubara dunia. Tingginya konsumsi batubara negara-negara Asia menyebabkan impor batubara terbesar berasal dari negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea, China Taipei, India dan China. Jepang adalah negara pengimpor batubara terbesar di dunia dengan volume impor 182 juta ton pada 2007, diikuti Korea 88 juta ton dan China Taipei 69 juta ton IEA memproyeksikan permintaan energi dunia akan meningkat sebesar 45% selama periode 2006-2030. Batubara akan menduduki posisi kedua terpenting sebagai pemasok sumber energi setelah minyak dan mengalami peningkatan permintaan hingga tiga kali lipat pada 2030. Sebesar 97% pemakaian batubara akan berasal dari negara negara non OECD (Organization For Economic Cooperation and Development) dimana dua pertiganya dikonsumsi oleh China. Meningkatnya peran batubara sebagai sumber energi sejalan dengan meningkatnya permintaan pembangunan pembangkit listrik di sejumlah kawasan yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan pendapatan
Sumber : International Energy Agency Peran China sebagai negara pengekspor batubara mengalami penurunan yang cukup signifikan yakni dari 94 juta ton pada 2003 menjadi hanya 54 juta ton pada 2007 yang disebabkan meningkat tajamnya kebutuhan batubara domestik China. Industri Batubara Indonesia Dalam beberapa tahun terakhir, batubara telah memainkan peran yang cukup penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penerimaan negara yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Pada 2004 misalnya, penerimaan negara dari sektor batubara ini mencapai Rp 2,57 triliun, pada 2007 telah meningkat menjadi Rp 8,7 triliun, dan diperkirakan mencapai Rp 10,2 triliun pada 2008 dan lebih dari Rp 20 triliun pada 2009. Sementara itu, perannya sebagai sumber energi pembangkit juga semakin besar. Saat ini sekitar 71,1% dari konsumsi batubara domestik diserap oleh pembangkit listrik, 17% untuk industri semen dan 10,1% untuk industri tekstil dan kertas. Produksi batubara Indonesia mencapai 215 juta ton pada 2008, meningkat 90,3% dibanding 2003. Peningkatan produksi 2008 didorong oleh meningkatnya impor batubara oleh China menjadi 3 kali lipat atau 14,5 juta ton pasca pemangkasan impor batubara dari Australia sebanyak 34% karena aturan pengiriman barang dengan kapal angkut yang lebih ketat. Sebagian besar produksi batubara Indonesia diekspor ke luar negeri. Pada 2007, dari total produksi 215 juta ton, hanya 45,3 juta ton (21%) yang dikonsumsi di dalam negeri, sedangkan 171 juta ton (79%) diekspor ke berbagai negara terutama Jepang, Taiwan dan China. Indonesia memiliki peran yang penting sebagai pemasok batubara dunia. Menurut World Coal Institute, sejak 2004 Indonesia telah menjadi eksportir batubara kedua terbesar setelah Australia dengan kontribusi 26% terhadap total ekspor pada 2007, dan merupakan eksportir batubara thermal (ketel uap) terbesar dunia dengan total ekspor 171 juta ton pada 2007. Ekspor batubara Indonesia ditujukan ke berbagai negara khususnya negara-negara di Asia seperti Jepang, China, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa seperti Belanda, Jerman dan Inggris, serta negara-negara di Amerika. Importir terbesar batubara Indonesia adalah Jepang (22,8%), dan Taiwan (13,7%). Berikutnya adalah India dan Korea Selatan yang diperkirakan mencapai 28%. Indonesia memiliki perjanjian kerjasama Economic Partnership Agreement (EPA) Indonesia-Jepang yang memuat kerjasama untuk meningkatkan permintaan batubara dari Indonesia ke Jepang. Ini disebabkan China sebagai pemasok Jepang yang utama telah membatasi ekspor batubaranya menyusul pembatasan ekspor batubara China untuk melakukan pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM)
Menurut catatan Direktorat Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Indonesia, hingga 2003 tercatat 251 perusahaan yang melaksanakan penambangan batubara di Indonesia, dimana 71,7% (216 perusahaan) diantaranya merupakan perusahaan swasta nasional dan sisanya perusahaan asing. Meskipun demikian sekitar 85% dari produksi batubara dihasilkan oleh 9 perusahaan besar di antaranya Bumi Resources, Adaro, Kideco Jaya Agung, Berau Coal, Indominco Mandiri, dan PT Bukit Asam. Berdasarkan data tahun 2004, cadangan batubara terbesar dimiliki oleh Kaltim Prima Coal - Bumi Resources Grup (3.472 juta ton), Berau Coal (2.746 juta ton), Arutmin Indonesia Bumi Resouces Gruop (2.514 juta ton), dan Adaro Indonesia (1.967 juta ton). Saat ini produsen batubara terbesar Indonesia adalah PT. Bumi Resources yang menguasai 2 perusahaan besar batubara yakni PT. Kaltim Prima Coal dan PT. Arutmin dengan total pangsa pasar 30,3% pada 2007, diikuti PT. Adaro Indonesia (20,2%), Kideco Agung (10,6%), Berau Coal (6,6%), Indominco Mandiri (5,8%), dan PT Bukit Asam (4,8%).
Sumber : Departemen ESDM Prospek Batubara dan Peluang Indonesia Dalam beberapa tahun kedepan prospek industri batubara diperkirakan masih cukup baik di pasar dalam negeri maupun di pasar global. Ini disebabkan, pertama, semakin besarnya peran batubara sebagai pembangkit listrik baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia. Diperkirakan di masa-masa mendatang peran minyak akan semakin berkurang sebagai sumber energi dan sebaliknya peran batubara dan gas akan semakin besar. Kebutuhan batubara di dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pada 2010 ketika semua proyek PLTU telah beroperasi diperkirakan konsumsi batubara Indonesia akan mencapai 90 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun 2006. Sampai saat ini setidaknya terdapat lebih dari 10 proyek PLTU di Indonesia yang menggunakan batubara sebagai sumber energi yang direncakan akan beroperasi mulai 2009 hingga 2012. Kedua, pasar batubara dunia akan semakin ketat setidaknya hingga 2020 sebagai akibat meningkatnya permintaan dari dua negara raksasa dunia China dan India untuk pembangkit listrik. Apalagi adanya pembatasan ekspor batubara China oleh pemerintah sejak tahun 2008 melalui pemberlakuan pajak ekspor batubara sebesar 10% untuk mengantisipasi meningkatnya permintaan batubara dalam negeri China yang akan semakin menurunkan ekspor batubara China. Sebaliknya, pada waktu yang sama, pertumbuhan pasokan dari Australia dan Afrika Selatan akan semakin berkurang yang akan mendorong meningkatnya harga batubara antara 2009-2010. Menurut proyeksi International Energy Outlook 2007, 72% konsumsi batubara dunia hingga 2030 akan didominasi oleh China dan India. Barlow Jonker memperkirakan impor batubara India akan mencapai lebih dari 50 juta ton pada 2020 dan impor batubara China mencapai 150 hingga 230 juta ton pada tahun yang sama. Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, disamping China dan India yang merupakan buyer baru bagi Indonesia. Meningkatnya permintaan China dan India dimasa datang meningkatkan peluang Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor melalui kedua negara tersebut. Ketiga, penggunaan batubara sebagai energi alternatif relatif lebih murah dibanding minyak dan LNG. Karena itu, harga diatas US$ 80 batubara masih disukai sebagai sumber energi dibanding sumber energi lainnya. Untuk menghasilkan 1 MGW/h listrik dari batubara dibutuhkan biaya sebesar US$ 12.98 (asumsi harga batubara US$ 90 per ton), lebih besar dibandinngkan minyak yang sebesar $ 30 (asumsi harga minyak US$ 54 per barrel), dan LNG yang sebesar US$ 20.47 (asumsi harga LNG $ 6/Mmbtu) (Bagus P. Perdana, Coal Outlook, 2008). Keempat, meskipun saat ini harga komoditas batubara turun cukup dalam karena rendahnya permintaan menyusul krisis global, harga komoditas batubara masih akan positif hingga beberapa tahun kedepan yang didorong oleh relatif tingginya permintaan dibanding pasokan. Disamping itu sifat komoditas yang unrenewable yaitu cenderung semakin menipis sementara permintaannya akan cenderung meningkat.
Massey Energy Report memproyeksikan harga batubara akan berkisar pada US$ 78 hingga US$ 82 per ton pada 2009, dan US$ 90 hingga US$ 130 per ton pada 2010 (pada Desember 2008 harga batubara di Newcastle mencapai US$ 78,3 per ton setelah mencapai harga tertinggi pada Agustus 2008 sebesar US$ 160 per ton. Sementara Citigroup Kelima, keuntungan perusahaan tambang Indonesia relatif lebih besar dibandingkan rata-rata perusahaan tambang dunia.
Dalam sepuluh tahun terakhir, keuntungan rata-rata perusahaan tambang Indonesia mencapai dua kali perusahaan tambang di Australia. Lalu, bagaimanakah peluang Indonesia di pasar batubara dunia? Peluang Indonesia untuk meningkatkan perannya sebagai eksportir batubara sangat terbuka. Ini mengingat hal-hal sebagai berikut. Pertama, masih relatif besarnya potensi cadangan batubara di Indonesia, semantara tingkat eksploitasi masih relatif rendah. Direktorat Energi dan Sumberdaya Mineral memperkirakan potensi batubara Indonesia mencapai 90 miliar ton lebih. Sedangkan cadangan terbukti mencapai 5,3 miliar ton2. Sementara tingkat produksi batubara Indonesia baru mencapai rata-rata sekitar 200 juta ton per tahun Kedua, Indonesia merupakan eksportir batubara thermal (ketel uap) 3terbesar dunia dengan total ekspor 171 juta ton pada 2007. Dengan demikian Indonesia telah memiliki pangsa pasar yang cukup luas di pasar global khususnya untuk batubara thermal. Saat ini pasar utama batubara Indonesia adalah Jepang dengan total ekspor 3,3 juta ton pada 2006. Adanya kerjasama Economic Partnership Agreement dengan Jepang akan semakin memperkokoh posisi Indonesia sebagai pemasok batubara Jepang. Semakin menurunnya peran China, Australia dan Afrika Selatan sebagai pemasok batubara akan semakin memperbesar peluang Indonesia untuk meningkatkan penetrasi pasarnya di pasar internasional. Ketiga, meningkatnya permintaan China dan India dalam beberapa tahun kedepan memberi peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di kedua negara tersebut yang saat ini merupakan buyer baru bagi Indonesia. Apalagi dengan bergesernya posisi China sebagai net importir batubara dengan volume permintaan (impor) yang cenderung meningkat akan memberi peluang semakin besar bagi Indonesia.