Anda di halaman 1dari 11

PERKEMBANGAN INDUSTRI BATUBARA DI INDONESIA

Sektor pertambangan Indonesia menawarkan potensi sangat besar untuk tumbuh


tetapi harus mengatasi sejumlah tantangan. Seperti tumpang tindih kepemilikan lahan dan
ke tidak pastian atas pembahasan rancangan undang-undang (RUU) industri tambang,
demikian terungkap dalam satu konferensi pertambangan di Manila. Dalam konferensi itu
diungkapkan pula bahwa tidak ada kontrak baru bagi proyek pertambangan di Indonesia
sejak 2001. Hal itu dikarenakan investor asing bersikap "menunggu Undang-Undang baru
(pertambangan)" kata Asisten Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Raden
Sukhyar, berbicara dalam Konferensi Pertambangan Asia Pasifik ke-7 di Manila, ia
mengatakan, ada optimisme di sektor tersebut, seperti terus tumbuhnya kebutuhan sumber
daya mineral Indonesia serta prospek pembaruan sistem perundangan. Ia juga mengatakan
bahwa meskipun tidak ada kontrak baru dibuat sejak 2001, sekitar 1.200 izin kuasa
pertambangan telah dikeluarkan bagi proyek-proyek pertambangan skala kecil.
Namun hal itu sering membawa masalah dimana perusahaan skala besar
menemukan wilayah pertambangan mereka termasuk dalam konflik kepemilikan di bawah
izin kuasa pertambangan. Sementara Direktur PT Inco, Arif Siregar, yang mengoperasikan
pertambangan di Sulawesi, mengatakan bahwa perusahaannya telah membayar pajak
royalti dalam jumlah besar baik kepada pemerintah pusat maupun daerah, ia mengatakan
ada "tumpang tindih kekuasaan antara pemerintah pusat, provinsi, dan lokal" dimana
persoalannya menjadi kompleks, ia juga mengatakan bahwa sebelum 1998, perusahaan
pertambangan hanya mempunyai perjanjian dengan dua departemen di ibukota Negara,
"Sekarang, sebagai ganti dua pemangku kepentingan itu, kami mempunyai ratusan
pemangku kepentingan," katanya, sambil menyebutkan diantaranya Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), departemen energi dan departemen lingkungan serta lembaga
pemerintah lainnya. Siregar mengungkapkan, perusahaannya telah "berselisih dengan
kementerian kehutanan selama dua hingga tiga tahun" disebabkan aturan yang melarang
kegiatan pertambangan di areal hutan tertentu, kepada Departemen Kehutanan ia telah
menjelaskan bahwa "Saya dapat menciptakan hutan tetapi Saya tidak dapat memindahkan
mineral."
Hasil penelitian Fraser Intitute dari Kanada menunjukkan bahwa dari segi potensi
geologi, Indonesia termasuk negara yang sangat potensial dan menjadi incaran para
investor. Namun sayangnya, kondisi ini tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal menyusul
berkembangnya opini bahwa industri pertambangan cenderung lebih banyak merusak
lingkungan daripada memberi manfaat kepada pembangunan nasional, menurut penelitian
PricewaterhouseCoopers, kontribusi industri pertambangan terhadap ekonomi Indonesia
pada tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 19,5 triliun yang sebagian besar dalam bentuk
pendapatan pemerintah (Rp. 9,3 triliun) dan pembelian dari pemasok lokal (Rp. 7,1 triliun).
Pengeluaran untuk kepentingan umum juga cukup besar misalnya untuk pengembangan
regional dan kemasyarakatan yang mencapai sekitar Rp. 604 miliar (2003), pelatihan
pegawai (Rp. 164 miliar), penelitian dan pengembangan (US$ 1.046 ribu). Sedangkan
pengeluaran untuk reklamasi, penutupan tambang dan pengendalian lingkungan mencapai
US$ 83.607 ribu. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang diserap oleh industri pertambangan
pada tahun 2003 mencapai sekitar 33.112 orang. Jumlah inipun merupakan hasil penelitian
terhadap 33 perusahaan yang sudah berproduksi dan 35 perusahaan eksplorasi selama
1999-2003 dan belum mencerminkan keseluruhan produsen batubara dan emas Indonesia.
Apabila dimasukkan data-data untuk berbagai jenis mineral industri, maka angka ini tentu
akan semakin besar. Persoalan yang muncul dalam beberapa tahun (tumpang tindih
kebijakan, peraturan daerah yang belum kondusif, pertambangan tanpa izin, masalah fiskal,
keamanan dan lainnya) terakhir menyebabkan tidak adanya investasi baru industri
pertambangan. Menurut data PricewaterhouseCoopers, pengeluaran eksplorasi pada daerah
baru di Indonesia pada periode 2001-2003 rata-rata hanya US$ 7 juta jauh dibawah rata-rata
1995-1997 yang mencapai US$ 40 juta. Kegiatan eksplorasi adalah kunci untuk
mempertahankan keberadaan yang menjamin keberlangsungan manfaat industri
pertambangan Indonesia.
Saat ini Pemerintah telah mencapai berbagai kemajuan dalam penyelesaian kasus
tumpang tindih pertambangan-kehutanan dan membaiknya koordinasi pusat-daerah dalam
pengelolaan industri pertambangan. Kondisi seperti ini harus terus ditingkatkan dan hal-hal
yang bersifat spekulatif dalam menilai industri pertambangan perlu dihindari. Apabila
kegiatan perusahaan pertambangan terbukti merusak lingkungan, maka tentu saja harus
diproses secara hukum. Namun apabila tidak terbukti berdasarkan data-data yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka tentu opini publik tidak perlu digiring kearah
penghakiman bahwa ?pokoknya? industri pertambangan bersangkutan merusak lingkungan.
Pelaku industri pertambangan besar di Indonesia merupakan bagian dari pelaku industri
tambang dunia yang sangat memperhatikan berbagai dampak lingkungan dan tidak akan
menghancurkan reputasinya dengan merusak lingkungan. Dari sisi Pemerintah, pengawasan
terhadap kegiatan industri pertambangan akan terus ditingkatkan termasuk hal-hal yang
terkait dengan perlindungan lingkungan dan keselamatan kerja. Perusahaan pertambangan
juga perlu diberikan kesempatan untuk mengembangkan kegiatannya tanpa harus dicurigai
secara berlebihan bahwa kegiatan mereka tidak ramah lingkungan maupun tidak
memberikan manfaat bagi negara. Sosialiasi kepada masyarakat untuk lebih memahami
karakteristik industri pertambangan juga perlu ditingkatkan sehingga masyarakat dapat
memberikan penilaian yang lebih obyektif dan fair terhadap berbagai opini yang
menyudutkan keberadaan industri pertambangan di Indonesia.
Konsumsi batubara dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan yang sangat
pesat. Bila pada 1990 total konsumsi batubara dunia baru mencapai 3.461 juta ton, pada
2007 meningkat menjadi 5.522 juta ton atau meningkat sebesar 59,5%, atau rata-rata 3,5%
per tahun. International Energy Agency (IEA) memperkirakan konsumsi batubara dunia akan
tumbuh rata-rata 2,6% per tahun antara periode 2005-2015 dan kemudian melambat
menjadi rata-rata 1,7% per tahun sepanjang 2015-2030. Meningkatnya konsumsi batubara
dunia tidak terlepas dari meningkat pesatnya permintaan energi dunia dimana batubara
merupakan pemasok energi kedua terbesar setelah minyak dengan kontribusi 26%. Peran
ini diperkirakan akan meningkat menjadi 29% pada 2030. Sedangkan kontribusinya sebagai
pembangkit listrik diperkirakan juga akan meningkat dari 41% pada 2006 menjadi 46% pada
2030. Meningkatnya peran batubara sebagai pemasok energi di masa-masa mendatang
membuat industri ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi para investor tak terkecuali
di Indonesia.
Indonesia sendiri mengalami pertumbuhan konsumsi batubara yang cukup
spektakuler dalam sepuluh tahun terakhir, yakni dari 13,2 juta ton pada 1997 menjadi 45,3
juta ton pada 2007, atau meningkat lebih dari 3 kali lipat (243%). Peningkatan jumlah
konsumsi yang sangat tajam tersebut disebabkan meningkat tajamnya permintaan batubara
sebagai sumber energi terutama untuk pembangkit listrik, baik di dalam negeri maupun di
negara-negara importir. Tidak mengherankan apabila sejalan dengan itu jumlah perusahaan
pertambangan batubara di Indonesia pun tumbuh pesat khususnya dalam beberapa tahun
terakhir. Sampai dengan 2003 misalnya tercatat 251 perusahaan penambangan batubara di
Indonesia.
Dalam percaturan perdagangan batubara dunia, Indonesia memiliki peran yang
semakin penting dari tahun ke tahun baik sebagai produsen maupun sebagai eksportir. Pada
2007 Indonesia berada di posisi ketujuh terbesar produsen batubara dunia dengan kontribusi
4,2% dan di posisi kedua terbesar sebagai eksportir batubara dengan total volume ekspor
202 juta ton.
World Energy Council memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai
847.488 juta ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Berdasarkan
kandungan kalorinya, sebesar 50,8% berupa anthracite (kalori sangat tinggi) dan bituminous
(kalori tinggi), dan 48,2% berupa sub bituminous (kalori sedang) and lignite (kalori rendah).
IEA memperkirakan, dengan tingkat produksi saat ini batubara dunia dapat dieksploitasi
setidaknya hingga 133 tahun ke depan, lebih lama dibanding cadangan minyak terbukti dan
gas yang diperkirakan hanya dapat dieksploitasi sekitar 42 dan 60 tahun kedepan
Meskipun tersebar di lebih dari 50 negara, sekitar 76,3% cadangan batubara terbukti
terkonsentrasi di 5 negara yakni Amerika Serikat (28,6%), Rusia (18,5%), China (13,5%),
Australia (9%) dan India (6,7%). Pada 2007 kelima negara ini memberikan kontribusi
sebesar 82% terhadap total produksi batubara dunia yang sebesar 5.543 juta ton.







Sumber : BP Statistical Review of World Energy, June 2008
Pada periode yang sama, menurut data World Energy Council, Indonesia memiliki
cadangan batubara terbukti sebesar 4,3 miliar ton atau 0,5% dari total cadangan batubara
terbukti dunia. Sekitar 83% terdapat di Kalimantan, 13% di Sumatera, dan sisanya di pulau
lainnya. Cadangan batubara Indonesia didominasi oleh jenis lignite (kandungan kalori
rendah) sebesar 59% dan sub-bituminous (kandungan kalori sedang) sebesar 27%.
Sementara jenis bituminous mencapai 14% dan anthracite 0,5%.
Selama 17 tahun terakhir (1990-2007) produksi batubara dunia telah meningkat
sebesar 58,8% dari 3.489 juta ton menjadi 5.543 juta ton, atau meningkat rata-rata 3,8% per
tahun. Peningkatan produksi yang pesat terjadi dalam sepuluh tahun terakhir yang didorong
oleh meningkat tajamnya permintaan di negara-negara Asia, terutama China dan India.
Produsen batubara terbesar dunia tercatat China, AS, India, Australia, Afrika Selatan
dan Indonesia. Pada 2007, ketujuh negara produsen ini menghasilkan sekitar 90,6% dari
total produksi batubara dunia. China merupakan produsen terbesar yang menyumbang
hampir separuh produksi dunia yakni 46% pada 2007, diikuti oleh AS 17,7%, dan India 8,2%.
Meskipun sebagai produsen batubara terbesar, China sekaligus tercatat sebagai
pengkonsumsi batubara terbesar dunia yang mencapai 46% dari total konsumsi dunia. Itu
sebabnya dalam jajaran negara-negara pengimpor batubara, China termasuk dalam
pengimpor keenam terbesar dunia dengan total impor 48 juta ton pada 2007.










Sumber: World Coal Institute Sumber : World Coal Institute
Konsumsi Batubara Dunia
Batubara memainkan peran yang semakin baik sebagai sumber energi primer
maupun pembangkit tenaga listrik. Pada 2006, batubara memberikan kontribusi sebesar
26% sebagai pemasok energi primer, kedua terbesar setelah minyak yang sebesar 34,4%.
Sedangkan sebagai pembangkit listrik batubara memberikan kontribusi paling besar (41%)
diantara sumber energi lainnya seperti gas (20,1%), hydro (16%), nuklir (14,8%), dan minyak
(5,8%). Di sejumlah negara peran batubara sebagai pembangkit listrik bahkan sangat
dominan seperti di Polandia (93%), Afrika Selatan (93%), Australia (80%), China (78%), India
(69%), Maroko (69%), Khazastan (70%), dan Indonesia (71%). Disamping pembangkit listrik,
batubara juga banyak digunakan pada industri baja. Sekitar 13% dari produksi batubara
ketel uap (hard coal) dialokasikan untuk industri ini dan hampir 70% dari produksi baja global
tergantung kepada batubara.
Pasar batubara terbesar adalah Asia yang mengkonsumsi sekitar 54% dari konsumsi
batubara dunia. Tingginya konsumsi batubara negara-negara Asia menyebabkan impor
batubara terbesar berasal dari negara-negara Asia, seperti Jepang, Korea, China Taipei,
India dan China. Jepang adalah negara pengimpor batubara terbesar di dunia dengan
volume impor 182 juta ton pada 2007, diikuti Korea 88 juta ton dan China Taipei 69 juta ton
IEA memproyeksikan permintaan energi dunia akan meningkat sebesar 45% selama
periode 2006-2030. Batubara akan menduduki posisi kedua terpenting sebagai pemasok
sumber energi setelah minyak dan mengalami peningkatan permintaan hingga tiga kali lipat
pada 2030. Sebesar 97% pemakaian batubara akan berasal dari negara negara non OECD
(Organization For Economic Cooperation and Development) dimana dua pertiganya
dikonsumsi oleh China. Meningkatnya peran batubara sebagai sumber energi sejalan
dengan meningkatnya permintaan pembangunan pembangkit listrik di sejumlah kawasan
yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan pendapatan








Sumber : International Energy Agency
Peran China sebagai negara pengekspor batubara mengalami penurunan yang
cukup signifikan yakni dari 94 juta ton pada 2003 menjadi hanya 54 juta ton pada 2007 yang
disebabkan meningkat tajamnya kebutuhan batubara domestik China.
Industri Batubara Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, batubara telah memainkan peran yang cukup penting
bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini memberikan sumbangan yang cukup besar
terhadap penerimaan negara yang jumlahnya meningkat setiap tahun. Pada 2004 misalnya,
penerimaan negara dari sektor batubara ini mencapai Rp 2,57 triliun, pada 2007 telah
meningkat menjadi Rp 8,7 triliun, dan diperkirakan mencapai Rp 10,2 triliun pada 2008 dan
lebih dari Rp 20 triliun pada 2009. Sementara itu, perannya sebagai sumber energi
pembangkit juga semakin besar. Saat ini sekitar 71,1% dari konsumsi batubara domestik
diserap oleh pembangkit listrik, 17% untuk industri semen dan 10,1% untuk industri tekstil
dan kertas.
Produksi batubara Indonesia mencapai 215 juta ton pada 2008, meningkat 90,3%
dibanding 2003. Peningkatan produksi 2008 didorong oleh meningkatnya impor batubara
oleh China menjadi 3 kali lipat atau 14,5 juta ton pasca pemangkasan impor batubara dari
Australia sebanyak 34% karena aturan pengiriman barang dengan kapal angkut yang lebih
ketat. Sebagian besar produksi batubara Indonesia diekspor ke luar negeri. Pada 2007, dari
total produksi 215 juta ton, hanya 45,3 juta ton (21%) yang dikonsumsi di dalam negeri,
sedangkan 171 juta ton (79%) diekspor ke berbagai negara terutama Jepang, Taiwan dan
China.
Indonesia memiliki peran yang penting sebagai pemasok batubara dunia. Menurut
World Coal Institute, sejak 2004 Indonesia telah menjadi eksportir batubara kedua terbesar
setelah Australia dengan kontribusi 26% terhadap total ekspor pada 2007, dan merupakan
eksportir batubara thermal (ketel uap) terbesar dunia dengan total ekspor 171 juta ton pada
2007. Ekspor batubara Indonesia ditujukan ke berbagai negara khususnya negara-negara di
Asia seperti Jepang, China, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand
dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa seperti Belanda, Jerman dan
Inggris, serta negara-negara di Amerika. Importir terbesar batubara Indonesia adalah Jepang
(22,8%), dan Taiwan (13,7%). Berikutnya adalah India dan Korea Selatan yang diperkirakan
mencapai 28%.
Indonesia memiliki perjanjian kerjasama Economic Partnership Agreement (EPA)
Indonesia-Jepang yang memuat kerjasama untuk meningkatkan permintaan batubara dari
Indonesia ke Jepang. Ini disebabkan China sebagai pemasok Jepang yang utama telah
membatasi ekspor batubaranya menyusul pembatasan ekspor batubara China untuk
melakukan pembangunan infrastruktur di dalam negeri.








Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM)

Menurut catatan Direktorat Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Indonesia,
hingga 2003 tercatat 251 perusahaan yang melaksanakan penambangan batubara di
Indonesia, dimana 71,7% (216 perusahaan) diantaranya merupakan perusahaan swasta
nasional dan sisanya perusahaan asing. Meskipun demikian sekitar 85% dari produksi
batubara dihasilkan oleh 9 perusahaan besar di antaranya Bumi Resources, Adaro, Kideco
Jaya Agung, Berau Coal, Indominco Mandiri, dan PT Bukit Asam. Berdasarkan data tahun
2004, cadangan batubara terbesar dimiliki oleh Kaltim Prima Coal - Bumi Resources Grup
(3.472 juta ton), Berau Coal (2.746 juta ton), Arutmin Indonesia Bumi Resouces Gruop
(2.514 juta ton), dan Adaro Indonesia (1.967 juta ton).
Saat ini produsen batubara terbesar Indonesia adalah PT. Bumi Resources yang menguasai
2 perusahaan besar batubara yakni PT. Kaltim Prima Coal dan PT. Arutmin dengan total
pangsa pasar 30,3% pada 2007, diikuti PT. Adaro Indonesia (20,2%), Kideco Agung
(10,6%), Berau Coal (6,6%), Indominco Mandiri (5,8%), dan PT Bukit Asam (4,8%).







Sumber : Departemen ESDM
Prospek Batubara dan Peluang Indonesia
Dalam beberapa tahun kedepan prospek industri batubara diperkirakan masih cukup
baik di pasar dalam negeri maupun di pasar global. Ini disebabkan, pertama, semakin
besarnya peran batubara sebagai pembangkit listrik baik di Indonesia maupun di berbagai
belahan dunia. Diperkirakan di masa-masa mendatang peran minyak akan semakin
berkurang sebagai sumber energi dan sebaliknya peran batubara dan gas akan semakin
besar. Kebutuhan batubara di dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pada 2010
ketika semua proyek PLTU telah beroperasi diperkirakan konsumsi batubara Indonesia akan
mencapai 90 juta ton atau meningkat hampir dua kali lipat dibanding tahun 2006. Sampai
saat ini setidaknya terdapat lebih dari 10 proyek PLTU di Indonesia yang menggunakan
batubara sebagai sumber energi yang direncakan akan beroperasi mulai 2009 hingga 2012.
Kedua, pasar batubara dunia akan semakin ketat setidaknya hingga 2020 sebagai akibat
meningkatnya permintaan dari dua negara raksasa dunia China dan India untuk pembangkit
listrik. Apalagi adanya pembatasan ekspor batubara China oleh pemerintah sejak tahun
2008 melalui pemberlakuan pajak ekspor batubara sebesar 10% untuk mengantisipasi
meningkatnya permintaan batubara dalam negeri China yang akan semakin menurunkan
ekspor batubara China. Sebaliknya, pada waktu yang sama, pertumbuhan
pasokan dari Australia dan Afrika Selatan akan semakin berkurang yang akan
mendorong meningkatnya harga batubara antara 2009-2010. Menurut proyeksi International
Energy Outlook 2007, 72% konsumsi batubara dunia hingga 2030 akan didominasi oleh
China dan India. Barlow Jonker memperkirakan impor batubara India akan mencapai lebih
dari 50 juta ton pada 2020 dan impor batubara China mencapai 150 hingga 230 juta ton
pada tahun yang sama. Saat ini pasar ekspor terbesar Indonesia adalah Jepang, Korea
Selatan dan Taiwan, disamping China dan India yang merupakan buyer baru bagi Indonesia.
Meningkatnya permintaan China dan India dimasa datang meningkatkan peluang Indonesia
untuk meningkatkan pangsa pasar ekspor melalui kedua negara tersebut.
Ketiga, penggunaan batubara sebagai energi alternatif relatif lebih murah dibanding
minyak dan LNG. Karena itu, harga diatas US$ 80 batubara masih disukai sebagai sumber
energi dibanding sumber energi lainnya. Untuk menghasilkan 1 MGW/h listrik dari batubara
dibutuhkan biaya sebesar US$ 12.98 (asumsi harga batubara US$ 90 per ton), lebih besar
dibandinngkan minyak yang sebesar $ 30 (asumsi harga minyak US$ 54 per barrel), dan
LNG yang sebesar US$ 20.47 (asumsi harga LNG $ 6/Mmbtu) (Bagus P. Perdana, Coal
Outlook, 2008).
Keempat, meskipun saat ini harga komoditas batubara turun cukup dalam karena
rendahnya permintaan menyusul krisis global, harga komoditas batubara masih akan positif
hingga beberapa tahun kedepan yang didorong oleh relatif tingginya permintaan dibanding
pasokan. Disamping itu sifat komoditas yang unrenewable yaitu cenderung semakin menipis
sementara permintaannya akan cenderung meningkat.


Massey Energy Report memproyeksikan harga batubara akan berkisar pada US$ 78
hingga US$ 82 per ton pada 2009, dan US$ 90 hingga US$ 130 per ton pada 2010 (pada
Desember 2008 harga batubara di Newcastle mencapai US$ 78,3 per ton setelah mencapai
harga tertinggi pada Agustus 2008 sebesar US$ 160 per ton. Sementara Citigroup
Kelima, keuntungan perusahaan tambang Indonesia relatif lebih besar dibandingkan
rata-rata perusahaan tambang dunia.

Dalam sepuluh tahun terakhir, keuntungan rata-rata perusahaan tambang Indonesia
mencapai dua kali perusahaan tambang di Australia. Lalu, bagaimanakah peluang
Indonesia di pasar batubara dunia? Peluang Indonesia untuk meningkatkan perannya
sebagai eksportir batubara sangat terbuka. Ini mengingat hal-hal sebagai berikut. Pertama,
masih relatif besarnya potensi cadangan batubara di Indonesia, semantara tingkat
eksploitasi masih relatif rendah. Direktorat Energi dan Sumberdaya Mineral memperkirakan
potensi batubara Indonesia mencapai 90 miliar ton lebih. Sedangkan cadangan terbukti
mencapai 5,3 miliar ton2. Sementara tingkat produksi batubara Indonesia baru mencapai
rata-rata sekitar 200 juta ton per tahun
Kedua, Indonesia merupakan eksportir batubara thermal (ketel uap) 3terbesar dunia
dengan total ekspor 171 juta ton pada 2007. Dengan demikian Indonesia telah memiliki
pangsa pasar yang cukup luas di pasar global khususnya untuk batubara thermal. Saat ini
pasar utama batubara Indonesia adalah Jepang dengan total ekspor 3,3 juta ton pada 2006.
Adanya kerjasama Economic Partnership Agreement dengan Jepang akan semakin
memperkokoh posisi Indonesia sebagai pemasok batubara Jepang. Semakin menurunnya
peran China, Australia dan Afrika Selatan sebagai pemasok batubara akan semakin
memperbesar peluang Indonesia untuk meningkatkan penetrasi pasarnya di pasar
internasional.
Ketiga, meningkatnya permintaan China dan India dalam beberapa tahun kedepan
memberi peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk meningkatkan pangsa pasarnya di
kedua negara tersebut yang saat ini merupakan buyer baru bagi Indonesia. Apalagi dengan
bergesernya posisi China sebagai net importir batubara dengan volume permintaan (impor)
yang cenderung meningkat akan memberi peluang semakin besar bagi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai