Anda di halaman 1dari 34

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA

TINGKAT ABJ (ANGKA BEBAS JENTIK) PADA KASUS


CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN BENDOSARI PADA TAHUN 2014

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dokter Muda Stase Ilmu Kesehatan
Masyarakat







Disusun Oleh :
1. Bethari Pusponing Fadli J500090012
2. Betti Widias Pradani J500080061
3. Budiwan Putri Ediningtyas J500090038
4. Daru Kristiyono T.A. J500090094



FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
2

LEMBAR PENGESAHAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA
TINGKAT ABJ (ANGKA BEBAS JENTIK) PADA KASUS
CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN BENDOSARI PADA TAHUN 2013

Yang diajukan oleh :
1. Bethari Pusponing Fadli J500090012
2. Betti Widias Pradani J500080061
3. Budiwan Putri Ediningtyas J500090038
4. Daru Kristiyono T.A. J500090094

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari , tanggal

Pembimbing:
drg. Ika Kusumawati ( )

Dipresentasikan dihadapan:
Bejo Raharjo, S.KM, M.Kes ( )


dr. M. Shoim Dasuki, M.Kes ( )


KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014

3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyakit yang ditularkan oleh vektor (vector borne diseases) seperti
demam berdarah dengue (DBD), malaria, chikungunya, filariasis (kaki gajah),
Japanese encephalitis, dan pes masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan sejumlah penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa terjadinya perubahan iklim global saat ini berpengaruh
terhadap perubahan risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh vektor
penyakit, terutama nyamuk (Dinata, 2007).
Indonesia merupakan negara berkembang, dengan angka kematian
penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena
dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta perilaku hidup masyarakat.Terlebih
dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang mendukung, tentu saja kejadian
kasus penyakit menular ini memerlukan penanganan yang lebih vital,
professional, dan berkualitas.Manusia sangat erat hubungannya dengan
lingkungan, karena lingkungan merupakan daya dukung manusia untuk
kelangsungan hidupnya (MDG, keenam).
Di Indonesia Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan
pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke seluruh
daerah, di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu pada tahun
1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan
Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur dan
Timor Timur, sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara dan Irian
Jaya (Heriyanto dkk., 2010). Dilaporkan pada tahun 2001 adanya Kejadian
Luar Biasa (KLB) chikungunya di Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Selatan,
Jawa Barat. Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB
Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Jawa Barat dan Sulawesi
Utara.Pada awalnya terjadi kebingungan untuk membedakan DEN (Dengue)
dengan Chik (Chikungunya), tetapi sejak dapat dilakukan isolasi virus maka
4

kedua penyakit ini dapat dibedakan, demikian juga gejala klinisnya yaitu
Chikungunya lebih dominan pada nyeri di sendi-sendi.Demam Chikungunya
banyak dijumpai di daerah tropis dan sering menyebabkan epidemi dalam
interval tertentu (10-20 tahun). Beberapa faktor yang mempengaruhi
munculnya demam Chikungunya antara lainrendahnya status kekebalan
kelompok masyarakat, kepadatan populasi nyamuk penular karena banyak
tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim
penghujan(Depkes, 2009).
Dalam perkembangan ilmu epidemiologi menggambarkan secara spesifik
bahwa lingkungan sejak lama mempengaruhi terjadinya suatu penyakit atau
wabah.Misalnyachikungunya, penyakit ini dikenal dengan penyakit flu tulang,
yang ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegyptidan Aedesalbopictus, yang
vektor penular penyakitnya sama dengan penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) yang cara penanggulangan telah dikenal oleh masyarakat secara luas
(Depkes RI, 2007).
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL) Kemenkes, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditamamenyampaikan sejak
November 2011 sampai dengan minggu pertama tahun 2012.Chikungunya
terjadi pada 3 Kelurahan di Kota Depok. Di Kelurahan Tanah Baru
Chikungunya terjadi penderita sebagian besar perempuan (56,5%) dan diderita
paling banyak pada kelompok umur di atas 31-40 tahun (42 kasus); kelompok
umur 10-20 tahun (37 kasus) dan 21-30 tahun (37 kasus). Kondisi lingkungan
rumah dan di dalam rumah berpotensi menjadi penular chikungunya, dimana
angka bebas jentik (ABJ) hanya sekitar 50%.
Tak ada cara lain untuk mencegah demam chikungunya kecuali
mencegah gigitan nyamuk serta memberantas tempat perindukan nyamuk
dengan tiga M (menutup,menguras, dan mengubur barang bekas yang bisa
menampung air) atau menaburkan bubuk abate pada penampungan air.
Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk. Seperti halnya penyakit malaria dan DBD,
penyakit infeksi ini kebanyakan menjadi endemik di Negara India, khususnya
5

India bagian tengah dan selatan. Sebagai masyarakat Indonesia kita dituntut
untuk lebih memperhatikan kesehatan dan kebersihan lingkungan disekitar
kita, agar tidak lagi terjadi kejadian luar biasa (KLB)(Kamathet al., 2006).
Sebagian besar kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa
Tengah merupakan daerah endemis Chikungunya dengan jumlah penderita
hampir meningkat setiap tahunnya.Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2013 terdapat 39 kasus DBD
(DKK Sukoharjo, 2013; Rheni & Irwan, 2011).
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo membawahi 12 puskesmas yaitu
Puskesmas Weru, Puskesmas Bulu, Puskesmas Tawangsari, Puskesmas
Bendosari, Puskesmas Polokarto, Puskesmas Mojolaban, Puskesmas Nguter,
Puskesmas Grogol, Puskesmas Sukoharjo, Puskesmas Gatak, Puskesmas Baki,
dan Puskesmas Kartasura (DKK Sukoharjo, 2014).
Di kecamatan Bendosari dalam periode 1 tahun terakhir pada tahun 2013,
jumlah kasuschikungunya sebesar 118 kasus, untuk kasus tersangka DD
sejumlah 35 kasus, dan sebesar 13 kasus DBD. Pada tahun 2014, terjadi
peningkatan jumlah kasus DBD dari 13 kasus pada tahun 2013 menjadi 13
kasus (terhitung Januari-Agustus tahun 2014). Sedangkan untuk chikungunya
terdapat 91 kasus pada tahun 2014dimana jumlah kasus tersebut sudah
menurun, tetapi masih dapat meningkat karena terhitung mulai bulan Januari-
Agustus tahun 2014. Hal ini perlu diwaspadai dengan penyuluhan yang lebih
intensif dan peningkatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di seluruh
kecamatan Bendosari, terutama di daerah endemis untuk membangkitkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan sehingga
tingkat kesakitan chikungunya maupun DBD menurun di tahun-tahun
mendatang. Serta harus diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
ABJ, khususnya pada daerah endemis.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin
mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat ABJ
(Angka Bebas Jentik) pada kasus chikungunya di Kecamatan Bendosaripada
tahun 2014.
6

B. Rumusan Masalah
Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat ABJ
(Angka Bebas Jentik)pada kasus chikungunya di Kecamatan Bendosaripada
tahun 2014?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya ABJ
terhadap kasus Chikungunya secara umum di wilayah Kec. Bendosari.
2. Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui permasalahan dan kendala program Pengamatan
Jentik Berkala di wilayah kerja Puskesmas Bendosari.
- Untuk mengetahui strategi perencanaan program Pengamatan Jentik
Berkala wilayah kerja Puskesmas Bendosari periode tahun 2014.

D. Manfaat Penulisan
1. Penulis
Dapat memberikan informasi mengenai program PJByang berpengaruh
terhadap ABJuntuk pemberantasan penyakit chikungunya dan DBD di Desa
Jombor, Desa Sidorejo, dan Desa Gentan Kecamatan Bendosari.
2. Institusi Pendidikan
Untuk perkembangan studi tentang penyakit chikungunya dan DBD serta
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.
3. Puskesmas
Untuk bahan evaluasi mengenai program ABJ dalam
manajemenpemberantasan penyakit chikungunyadan DBDdi Puskesmas
Bendosari.




7


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Chikungunya
1. Definisi
Chikungunyaberasal dari bahasa Swahili berdasarkangejala pada
penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung (that which
contorts or bends up), mengacu pada postur penderita yang membungkuk
akibat nyeri sendi hebat (arthralgia).Belum pernah dilaporkan adanya
kematian karena penyakit ini (Suharto, 2007).
Aedes aegypti merupakan vektor yang bertanggung jawab terhadap transmisi
di perkotaan sedangkan Aedes albopictus bertanggung jawab terhadap penyebaran
penyakit di pedesaan.Nyamuk betina dewasa beristirahat di tempat dingin dan
gelap di lingkungan rumah maupun luar rumah serta hanya menggigit di siang hari
(Powers & Logue, 2007; Rosdiana, 2003; Sumarno et el., 2008).

2. Epidemiologi
Sekitar 200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan
primata di hutan atau savana Afrika.Setelah beberapa lama, karakteristik
CHIKV yang semula bersiklus dari primata-nyamuk-primata dapat bersiklus
menjadi manusia-nyamuk-manusia (Judarwanto, 2009; Laras et al., 2004;
Powers & Logue, 2007).
Virus chikungunya pertama kali diidentifikasi di Afrika Timur tahun
1952.Virus ini menimbulkan epidemi di wilayah tropis Asia dan Afrika.Di
Indonesia chikungunya dilaporkan pertama kali di Samarinda tahun
1973.Kemudian berjangkit di Kuala Tunkal, Jambi pada tahun 1980.Tahun
1983 merebak di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta.Setelah vakum
hampir 20 tahun, awal tahun 2001 KLB chikungunya di Muara Enim,
Sumatera Selatan dan Aceh.Disusul di Bogor pada bulan Oktober serta
8

berjangkit lagi di Bekasi Jawa Barat, Purworejo, dan Klaten Jawa Tengah
pada tahun 2002.
Hasil penelitian terhadap epidemiologi penyakit chikungunya di
Bangkok (Thailand) dan Vellore,Madras (India) menunjukkan bahwa terjadi
gelombang epidemi dalam interval 30 tahun.Satu gelombang epidemi
umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat
ringan sehingga sering tidak termonitor.Gelombang epidemi berkaitan
dengan populasi vektor (nyamuk penular) dan status kekebalan penduduk.

3. Etiologi
Virus Chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam
famili Togaviridae.Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda dengan
yang dari Afrika. Virus Chikungunya disebut juga Arbovirus A
Chikungunya Type, CHIK, CK. Virions mengandung satu molekul single
stranded RNA. Virus dapat menyerang manusia dan hewan.Virus ini
berkembang biak di dalam tubuh manusia dan menyerang semua umur.
Virus ini dapat berpindah dari satu penderita ke penderita lain melalui
gigitan nyamuk, terutama dari genus Aedes seperti Aedes aegypti. Nyamuk
ini merupakan vektor utama untuk chikungunya.Virions dibungkus oleh
lipid membran; pleomorfik; spherikal; dengan diameter 70 nm. Pada
permukaan envelope didapatkan glycoprotein spikes (terdiri atas 2 virus
protein membentuk heterodimer). Necleocapsids isometric; dengan diameter
40 nm (Suharto, 2007).

4. Patogenesis
Virus chikungunya ditemukan dalam kelenjar nyamuk vektor. Jumlah
virus yang dapat memperbanyak diri di berbagai strain nyamuk sangat
bervariasi 1046-1074 PFU setiap nyamuk. Tingkat endemisitas virus ini
berhubungan dengan populasi nyamuk Aedes di daerah tersebut.Lamanya
kehidupan nyamuk merupakan faktor penting dalam menentukan luas
tidaknya penyebaran virus.Jika nyamuk ditemukan sangat banyak maka
9

kemungkinan kejadian infeksi dapat diestimasikan sangat tinggi, terutama
pada ibu dan anak yang selalu tinggal di rumah sejak pagi hingga sore hari.
Otot rangka merupakan tempat utama replikasi virus.Pada manusia
virus ini dapat menimbulkan penyakit dalam 2 hari sesudah gigitan
nyamuk.Penderita mengalami viremia tinggi dalam 2 hari pertama sakit,
berkurang pada hari ke-3 atau ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada
hari ke-5.Silent infection dapat terjadi.Antibodi yang timbul membuat
penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya.Infeksi akut ditandai
dengan timbulnya IgM terhadap IgG anti-chikungunya yang diproduksi
sekitar 2 minggu sesudah infeksi (Rosdiana, 2003; Sumarno et al., 2008).

5. Bionomik Vektor
Bionomik vektor sangat penting diketahui karena berhubungan
dengan tindakan-tindakan dalam pencegahan dan pemberantasannya yang
berhubungan dengan tempat perindukan, kebiasaan menggigit, tempat
istirahat, jarak terbang dan siklus hidup.
a. Tempat Perindukan (Breeding Place)
Tempat perindukan utama adalah tempat-tempat penampungan air
didalam dan diluar sekitar rumah. Nyamuk aedes aegypti tidak
berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan
tanah. Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk aedes aegypti dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Tempat penampungan air (TPA), untuk keperlakuan sehari-hari
seperti drum, tengki reservoir, tempayan, bak mandi, WC, ember dan
lain- lain.
2) Tempat penampungan bukan keperluan sehari-hari seperti tempat
minum burung, vas bunga, perangkap semut, barang-barang bekas
(ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).
a) Tempat minum hewan piaraan
Tempat minum hewan piaraan yang dimaksud adalah tempat
tempat minum hewan piaraan yang dimiliki oleh responden yang
10

berada di lingkungan sekitar rumah baik di dalam rumah maupun di
luar rumah, misalnya: tempat minum burung, tempat minum ayam,
dan hewan piaraan yang lain.
b) Barang barang bekas
Barangbarang bekas yang dimaksud adalah barangbarang yang
sudah tidak terpakai yang dapat menampung air, yang berada di
dalam maupun di luar rumah responden. Barang barang tersebut
antara lain: kaleng, ban bekas, botol, pecahan gelas, dll.
c) Vas bunga
Vas bunga yang dimaksud adalah vas bunga yang berisi air yang
terletak di dalam rumah responden yang memungkinkan nyamuk
A. aegypti berkembangbiak di dalam vas bunga tersebut.
d) Perangkap semut
Perangkap semut yang dimaksud adalah tempat perangkap semut
yang berisi air yang biasanya diletakkan dibawah kaki meja untuk
mencegah semutsemut naik keatas meja yang berisi makanan
yang terletak di dalam rumah responden.
e) Penampungan air dispenser
Penampungan air dispenser yang dimaksud adalah tempat
penampungan air yang menyatu dengan dispenser yang terletak
dibawah alat yang digunakan untuk mengalirkan air di dalam
wadah/galon dispenser, letaknya di dalam rumah responden.
f) Pot tanaman air
Pot tanaman air yang dimaksud adalah pot pot berisi air yang
digunakan sebagai media tanaman air untuk hidup, yang terletak di
dalam maupun di luar rumah responden.
3) Tempat penampungan air ilmiah seperti lubang pohon, pelepah daun,
tempurung kelapa, talang penampungan air hujan (Suroso, 2000 dan
Soedarmo, 1988).


11

b. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Nyamuk Aedes aegypti lebih menyukai darah manusia daripada
binatang (antropofilik).Darahnya diperlukan untuk mematangkan telur
jika dibuahi oleh nyamuk jantan sehingga menetas.Waktu yang
diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk
menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4
hari.Jangka waktu tersebut satu siklus gonotropik.Nyamuk ini aktif pada
siang hari dan menggigit di dalam dan diluar rumah.Mempunyai dua
puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang
hari yaitu antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00.
c. Tempat Istirahat (Resting Place)
Tempat yang disukai nyamuk untuk beristirahat selama menunggu
bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin.Nyamuk
aedes aegypti biasanya hinggap didalam rumah pada benda-benda yang
bergantungan seperti pakaian.
d. Jarak Terbang (Flight Habit)
Pergerakan nyamuk aedes aegypti dari tempat perindukan ketempat
mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan
terbangnyamuk aedes aegypti betina adalah rata-rata 40-100 m. Namun
secara pasif karena angin dapat terbang sejauh 2 km.
e. Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk aedes aegypti mengalami metamorfosa
sempurna dengan tahap telur, larva,pupa, dan dewasa.
1) Telur
Nyamuk aedes aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air
pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi air
jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung.Tempat air yang
dipilih adalah tempat air didalam rumah dan dekat.Telur aedes
aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, telur diletakkan satu
persatu di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi didalam
rumah dan bangunan, termasuk dikamar tidur,kamar mandi, kamar
12

kecil maupun dapur. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam
48 jam dilingkungan yang hangat dan lembab.Begitu proses
embrionasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang
lama (lebih dari 1 tahun).Telur akan menetas pada waktu yang sama,
kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu
mempertahankan kelangsungan spesies selama kondisi iklim buruk.
2) Larva
Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak
sesuai membentuk larva yang dilapisi kista dapat bertahan lebih dari
setahun berbentuk oval dan berwarna putih.Larva aedes aegypti
menempel dipermukaan dinding vartikel sampai pada waktu
menetas.Perkembangan larva tergantung pada suhu, ketersediaan
makanan dan kepadatan larva pada sarang.Pada kondisi yang
optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai
kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7
hari termasuk 2 hari untuk masa menjadi pupa, sedangkan pada suhu
yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan
nyamuk dewasa.Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat
ditemukan di lubang pohon, pangkal daun dan tampurung kelapa.
Selain di tempat alami larva dapat juga ditemukan pada kendi air,
kaleng, pot bunga, botol, tempat penampung air terbuat dari logam
dan kayu, ban (Suroso, 2003). Pada daerah yang panas dan kering,
tangki air diatas, tangki penyimpanan air di tanah dan septic tank
bisa menjadi tempat habitat larva yang utama dan pada wilayah yang
persediaan airnya tidak teratur, penghuni menyimpan air untuk
kegunaan rumah tangga sehingga memperbanyak jumlah habitat
yang ada untuk larva (Suroso, 2003).
3) Pupa
Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian
kepala dada lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya,
sehingga tampak seperti tanda baca koma. Pada bagian punggung
13

(dorsal) dada terdapat alat pernapasan seperti terompet.Pada ruas
perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk
berenang.Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu pada
ruas perut tidak bercabang.Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak
gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu
istirahat posisi pupa sejajar dedengan bidang permukaan air
(Soegeng, 2006).
4) Nyamuk Dewasa
Nyamuk Aedes larva dan nyamuk dewasa banyak ditemukan
disepanjang tahun di semua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi
dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan
akan menghisap darah dalam waktu 24-36 jam. Darah merupakan
sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur (Depkes RI,
2004).

6. Gejala Demam Chikungunya
Virus chikungunya menyebabkan demam dengan periode inkubasi 2-4
hari sejak gigitan nyamuk.Viremia ini menetap selama 5 hari sejak onset
klinis.Manifetsasi klinis berupa demam (92%) disertai dengan artralgia
(87%), nyeri punggung (67%), dan sakit kepala (62%).Demam ini bervariasi
mulai dari ringan sampai berat yang menghilang dalam 24-48 jam.Demam
ini terjadi mendadak sampai 39-40
o
C disertai menggigil dan kekakuan yang
biasanya menghilang dengan pemberian antipiretik.
Dalam kasus wabah terbaru banyak pasien mengeluhkan artralgia
tanpa demam.Nyeri sendi memburuk pada pagi hari dan berkurang dengan
aktivitas ringan.Nyeri sendi ini dapat menghilang selama 2-3 hari yang
kemudian muncul lagi dengan pola pelana kuda.Poliartritis migran dengan
efusi dijumpai pada 70% kasus tetapi menghilang sendiri. Ruam
makulopapular transien pada 50% kasus, erupsi makulopapular dapat
menetap lebih dari 2 hari pada 10% kasus, dan ulkus intertriginosa maupun
erupsi vesikobulosa juga dapat ditemukan. Hanya beberapa orang yang
14

mengalami lesi angiomatosa dan purpura. Fotofobia dan nyeri retro-orbital
pernah ditemukan walaupun jarang terjadi pada orang dewasa (Sumarno et
al., 2008).

7. Diagnosis Pasti
Test penunjang
Tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
chikungunya adalah RT-PCR, isolasi virus, dan tes serologis.
a. Isolasi virus paling akurat tetapi waktunya lama yaitu 1-2 minggu.
b. RT-PCR hasil dapat diterima dalam 1-2 hari.
c. Tes serologis dibutuhkan darah dengan volume lebih banyak,
menggunakan cara ELISA untuk mengukur IgM chikungunya, hasil
diperoleh setelah 2-3 hari, dan false positif ditemukan pada infeksi virus
Onyong-nyong dan Semliki Forest (Eppy, 2006; Judarwanto, 2009;
Sumarno et al., 2008).

Diagnosis
Diagnosis chikungunya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Dari anamnesis diperoleh
keluhan demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, lemah, mual, muntah,
fotofobia, dan bertempat tinggal di daerah berisiko terkena
chikungunya.Pada pemeriksaan fisik ditemukan ruam makulopapular,
limfadenopati servikal, dan injeksi konjungtiva.Pada pemeriksaan darah
dapat ditemukan leukopenia dengan limfositosis relatif, jumlah trombosit
dapat menurun sedang, laju endap darah (LED) meningkat, dan C-reaktif
protein positif pada kasus akut.
Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis tergantung pada
peningkatan titer antibodi sesudah sakit.Pada serum yang diambil saat hari
ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF, atau netralisasi.Antibodi
netralisasi dan HI ditemukan pada serum yang diambil 2 minggu atau lebih
15

sesudah serangan panas timbul. Diagnosis pasti ditegakkan jika didapatkan
salah satu hal berikut:
a. Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi (HI).
b. Virus chikungunya (CHIKV) pada isolasi virus.
c. IgM capture ELISA.

Untuk diagnosis serologi diperlukan 10-15 ml serum whole blood.
Serum fase akut diambil diambil segera sesudah muncul manifestasi klinis
dan serum fase konvalesensi diambil 10-14 hari sesudah sampel pertama
(Judarwanto, 2009; Sumarno et all, 2008).

8. Tatalaksana
Chikungunya termasuk self limiting disease.Pengobatan diberikan
secara simptomatis seperti analgesik (parasetamol).Antibiotik tidak
diperlukan pada kasus ini.Untuk memperbaiki keadaan umum penderita
dianjurkan makan makanan bergizi, cukup karbohidrat dan protein, serta
minum sebanyak mungkin.Pemberian vitamin peningkat daya tahan tubuh
mungkin bermanfaat untuk penanganan penyakit.Daya tahan tubuh yang
bagus dan istirahat cukup bisa mempercepat penyembuhan penyakit. Minum
banyak juga disarankan untuk mengatasi kebutuhan cairan yang meningkat
saat terjadi demam (Sumarno et al., 2008).

9. Pencegahan
Cara yang sering dipakai dalam pencegahan chikungunya yaitu:
a. Menguras bak mandi
b. Menutup tempat penampungan air
c. Mengubur sampah, terutama yang dapat menampung air
d. Menaburkan larvasida
e. Memelihara ikan pemakan jentik
f. Pengasapan
g. Pemakainan obat nyamuk
16

h. Pemakaian kawat kasa di rumah

Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari
golongan malation dan themopos untuk mematikan jentik-jentiknya.
Malation dipakai dengan cara pengasapan bukan dengan menyemprotkan ke
dinding. Hal ini dikarenakan nyamuk tidak suka hinggap di dinding
melainkan pada benda-benda yang menggantung (Judarwanto, 2009).

10. Prognosis
Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan
kejadian kematian, keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton
meneliti pada 107 kasus infeksi virus chikungunya, 87,9% sembuh
sempurna; 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort; 2,8%
mempunyai persisten residual joint stiffnes, tetapi tidak nyeri; dan 5,6%
mempunyai keluhan sendi yang persisten, kaku dan sering mengalami efusi
sendi (Suharto,2007).

11. Ekologi Vektor
Keberadaan Jentik
a. Survei Jentik
Pada Survei Entomologi chikungunya dan DBD ada 5 Kegiatan
Pokok, yaitu : pengumpulan data terkait, survei telur, survei jentik atau
larva, survei nyamuk, dan survei lain-lain (Depkes RI, 2002). Yang
mengamati perilaku dari berbagai lingkungan, vektor, cara-cara
pemberantasan vektor dan cara-cara menilai hasil pemberantasan vektor.
Survei jentik dapat dilakukan dengan cara :
1) Metode Single Larva
Pada setiap kontainer yang ditemukan ada jentik, maka satu ekor
jentik akan diambil dengan cidukan (gayung plastik) atau
menggunakan pipet panjang jentik sebagai sampel untuk pemeriksaan
spesies jentik dan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya. Jentik yang
17

diambil ditempatkan dalam botol kecil/vial bottledan diberi label
sesuai dengan nomor timsurvei, nomor lembar formulir berdasarkan 1
nomor rumah yang di survei dan nomor kontainer dalam formulir.
2) Metode Visual
Hanya dilihat dan dicatat ada tidaknya jentik didalam kontainer tidak
dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesies jentik.Survei ini
dilakukan pada survei lanjutan untuk memonitor indek-indek jentik
atau menilai PSN yang dilakukan (Depkes RI, 2002). Tiga indeks
yang biasa dipakai untuk memantau tingkat gangguan A. aegypti,
yaitu:
a) House Index (HI) yaitu persentase rumah yang terjangkit larva/
jentik.
HI = (Jumlah rumah yang terjangkit): (Jumlah rumah yang
diperiksa)100
b) Container index (CI) yaitu persentase penampungan air yang
terjangkit larva atau jentik.
CI = (Jumlah penampung yang positif): (Jumlah penampung yang
diperiksa)100
c) Breteau index (BI) yaitu jumlah penampung air yang positif per
100 rumahyang diperiksa.
BI = (Jumlah penampung yang positif): (Jumlah rumah yang
diperiksa) 100

b. Vektor Nyamuk Aedes aegypti
Virus chik ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui
gigitan nyamuk aedes dari sub genus stegomyia.Di Indonesia ada 3 jenis
nyamuk aedes yang bisa menularkan virus chik yaitu: A. aegypti, A.
albopictus dan A. scutellaris (Depkes RI, 2002). Dari ketiga jenis
nyamuk tersebut A. aegypti lebih berperan dalam penularan penyakit
Chikungunya.Nyamuk ini banyak ditemukan di dalam rumah atau
bangunan dan tempat perindukanya juga lebih banyak terdapat di dalam
18

rumah.Keberadaan jentik berhubungan dengan keberadaan vektor
nyamuk A. aegypti juga, oleh karena itu untuk mengetahui kepadatan
populasi nyamuk A. aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa
survei di rumah yang dipilih secara acak. Survei nyamuk dilakukan
dengan cara penangkapan nyamuk umpan orang di dalam dan di luar
rumah, masing masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan
nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
Indek indek nyamuk yang di gunakan adalah:
Biting/landing rate = (Jumlah A.aegypti betina yang tertangkap umpan
orang ) : (Jumlah penangkapan jumlah jam penangkapan)
Re sting / rumah = (Jumlah A.aegypti betina pada penangkapan nyamuk
hinggap) : (Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan)
c. Angka Bebas Jentik
Angka bebas jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang di
lakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 (tiga) bulan oleh petugas
puskesmas pada rumah -rumah penduduk yang diperiksa secara acak.
Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik X100%
Jumlah rumah/bangunan yang di periksa











19

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Puskesmas Bendosari
1. Letak Geografis
Puskesmas Bendosari merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten
Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah.Puskesmas ini terletak di Kecamatan
Bendosari yang memiliki wilayah cukup luas dan letak cukup strategis
karena berbatasan langsung dengan 1 kabupaten dan dekat dengan RSUD
Sukoharjo.Wilayah kerja Puskesmas Bendosari terdiri dari 13 desa dan 1
kelurahan. Luas wilayah tercatat 3.235.641,4 km
2
.
Adapun batas wilayah Kecamatan Bendosari meliputi:
- Utara : Kec. Polokarto, Kec. Mojolaban
- Selatan : Kec. Nguter, Kec. Sukoharjo
- Barat : Kec. Sukoharjo
- Timur : Kab. Karanganyar










Gambar 1. Peta Kabupaten Sukoharjo

2. Keadaan Penduduk
Berdasarkan data dari BPS jumlah penduduk pada tahun 2014 di
kecamatan Bendosari adalah 68.691 jiwa yang terdiri dari 26.489 kepala
20

keluarga (KK) dengan distribusi penduduk laki-laki 32.802 jiwa dan
perempuan 35.889 jiwa. Di mana jumlah penduduk Desa Manisharjo
sebanyak 3.675 jiwa, jumlah penduduk Desa Gentan sebanyak 6.989 jiwa,
jumlah penduduk Desa Jombor sebanyak 7.012 jiwa, dan jumlah penduduk
Desa Sidorejo sebanyak 4.365 jiwa.
a. Sumber Daya Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Bendosari mencapai
56 orang dengan proporsi sebagai berikut:
- Dokter : 3 dokter umum, 2 dokter gigi
- Bidan : 18 bidan puskesmas, 12 bidan desa
- Perawat :11 perawat umum, 2 perawat gigi
- Asisten apoteker : 1 orang
- Sanitarian : 1 orang
- Tenaga gizi nutrisi: 2 orang
- Fisioterapis : 1 orang
- Analisis kesehatan: 1 orang
- Rekam medis : 1 orang
b. Profil Puskesmas
Dalam hal upaya pengobatan Puskesmas Bendosari memiliki:
- 1 puskesmas induk di Desa Bendosari.
- 5 puskesmas pembantu di Desa Jombor, Cabeyan, Puhgogor, Gentan,
dan Pemda Sukoharjo.
- 10 poliklinik desa atau PKD di Desa Manisharjo, Paluhombo,
Bendosari, Mojorejo, Sidorejo, Jagan, Toriyo, Sugihan, Mertan, dan
Cabeyan.




21

B. Hasil

Data hasil laporan kerja Puskesmas Bendosari sementara, yang
terhitung sejak Januari-Agustus 2014, menunjukkan Angka Bebas Jentik
(ABJ) yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Diperoleh ABJ
90% di Desa Manisharjo, Manggungjati. Di Desa Jombor Permai dan Jombor
Baru masing-masing didapatkan ABJ yang sama, yaitu sebesar 85%. Desa
Sidorejo Ngaglik II/IV mempunyai ABJ sebesar 85%, Sidorejo Tanjungsari
II/V sebesar 87%, dan Sidorejo Ngaglik III/VI sebesar 80%. Sedangkan Desa
Gentan Kumbul I/IX dan Gentan Kwanggan I/IX sama-sama mempunyai
ABJ sebesar 80%.

Tabel 1. Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Bendosari
pada Tahun 2014 (Januari Agustus)
No. Desa Jumlah Kasus ABJ (%)
1. Manisharjo, Manggungjati 5 90 %
2. Jombor, Permai 8 85 %
3. Jombor, Baru 15 85 %
4. Sidorejo, Ngaglik II/IV 13 85 %
5. Sidorejo, Tanjungsari II/V 10 87 %
6. Sidorejo, Ngaglik III/VI 20 80 %
7. Gentan, Kumbul I/IX 15 80 %
8. Gentan, Kwanggan I/IX 5 80 %

A. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam laporan ini adalah analisis
fishbone.Analisis fishbone berarti analisis tulang ikan disebut juga dengan
fishbone diagram,cause effect diagram, atau ishikawa diagram. Analisis ini
merupakan alat yang umum digunakan untuk membantu organisasi
22

memecahkan masalah dengan melakukan analisis sebab dan akibat dari suatu
keadaan dalam sebuah diagram yang terlihat seperti sebuah tulang ikan.
Berdasarkan penilaian prioritas, yang menjadi masalah utama di
Puskesmas Bendosari adalah peningkatan angka kejadian chikungunya pada
tahun 2014 dari tahun sebelumnya serta rendahnya angka bebas jentik di
daerah endemis wilayah kerja Puskesmas Bendosari. Dari hasil observasi dan
diskusi dengan pimpinan puskesmas dan petugas puskesmas didapatkan
beberapa sebab dari masalah yang terjadi. Dari ke-11 desa tersebut tidak ada
yang memenuhi target ABJ yaitu < 95%.

1. Diagram Fishbone
kerangka Konsep




















Nilai angka bebas jentik
(ABJ) lebih rendah dari
standar 95%

MANUSIA
Petugas
kesehatan
Kader
Warga
masyarakat
Perangkat
kelurahan
MATERIAL
Pemanfaatan
media informasi
METODE
PJB
Penyuluhan
Foging
Bubuk abate
LINGKUNGAN
Penampungan air
Tanah kosong
Barang bekas
Keterangan
: penyebab masalah
Dana
PSN
Sarana dan
prasarana
23



Gambar 2. Diagram Fishbone

2. Identifikasi Masalah
No
Faktor
Penyebab
Masalah
Teknik
Identifikasi
Masalah
Indikator Keterangan
1.

MANUSIA

a. Petugas Kesehatan
- Terbatasnya jumlah
petugas khususnya
pada
programP2B2(Penge
ndalian Penyakit
Bersumber Binatang).
- Tiap petugas sudah
dibebani banyak
program (double job).


Wawancara
dengan
penanggung jawab
program P2B2.


Kerja tim P2B2, kesling
P2PL, dan Bidan desa.

Hanya ada 6 orang
petugas kesehatan
dalam P2PLdan
hanya terdapat 1
pemegang program
P2B2 di puskesmas.
b. Kader
Pengetahuan tentang
tempat yang berpotensi
terdapat jentik nyamuk
kurang.

Wawancara
dengan
penanggung jawab
program P2B2


Adanya kader jumantik
yang telah dilatih untuk
melakukan pemantauan
berkala minimal 3 x
setahun.

Minimalnya kader
yang aktif sebagai
jumatik (juru
pemantau jentik).




c. Perangkat Kelurahan
Kurang aktifnya lurah,
RW, atau RT dalam
menggerakkan
warganya untuk
gerakan 3M plus.

Wawancara
dengan
penanggung jawab
program P2B2


Adanya penanggung
jawab masing-masing
RW untuk
menggerakkan
masyarakat menjalankan
program 3M plus.


Tidak adanya
penanggung jawab
masing-masing RW
dalam
menggerakkan 3M
plus.

24



d. Warga Masyarakat
- Masih rendahnya
pengetahuan
masyarakat tentang
penyakit, cara
penularan, dan
pencegahan DBD
dan chikungunya.
- Masyarakat belum
bisa melaksanakan
gerakan 3M secara
optimal untuk
mencegah DBD dan
chikungunya.

- Wawancara
dengan
pemegang
program

Sebagian besar
masyarakat mengetahui
tentang penyakit DBD
dan chikungunya, cara
penularan , dan
pencegahannya melalui
Gerakan 3M plus.


- Dari wawancara
terhadap
masyarakat
pengetahuan
terhadap DBD
dan chikungunya
rendah karena
adanya beberapa
faktor seperti
tingkat
pendidikan yang
rendah.
- Gerakan 3M plus
baru
dilaksanakan oleh
sebagian kecil
warga.





25

2. METODE Belum optimalnya
pelaksanaan gotong-royong
bersama untuk
membersihkan lingkungan
sekitar rumah warga di
wilayah kerja Puskesmas
Bendosari.
Wawancara
dengan
pemegang
program

gotong-royong
seharusnya dilakukan
bersama di masing-
masing kelurahan
minimal 1 x sebulan
(setiap hari Minggu di
awal bulan).

Pada kenyataannya
gotong royong tidak
rutin dilakukan oleh
warga.

3. LINGKUNG-
AN
Adanya tanah- tanah kosong
di lingkungan masyarakat
yang berisi barang bekas
atau barang yang berpotensi
menjadi tempat genangan
air.
Wawancara
dengan pemegang
program

Idealnya tanah kosong
dibersihkan bersama
oleh masyarakat sekitar
sekaligus mengubur
barang bekas yang dapat
menjadi tempat
genangan air (ban,
kaleng bekas, dll).
Masih ada tanah
kosong di
lingkungan tempat
tinggal masyarakat
yang berisi barang
bekas yang dapat
menjadi tempat
genangan air.

Banyaknya dijumpai air
dalam wadah kecil atau
ember kecil di sekitar rumah
dan jarang digunakan (air
untuk mengasah
perlengkapan pisau, sabit,
kapak dll).
Wawancara
dengan pemegang
program
Sebagian besar di mana
ada tempat air untuk
mengasah terdapat jentik
nyamuk dan ada barang-
barang bekas atau wadah
lainnya yang berpotensi
dapat menyebabkan
tergenang air.
Masih banyak pot,
barang bekas,
wadah yang
tergenang air di
rumah warga ( saat
musim penghujan )

26

Adanya rumah-rumah
masyarakat dengan kamar
mandi yang tidak digunakan
tetapi bak penampungan
airnya diisi air dan
dibiarkan begitu saja atau
tidak dikeringkan.
Wawancara
dengan pemegang
program
Idealnya bak
penampungan airnya
dikosongkan atau ditutup
jika tidak digunakan.

Ada beberapa rumah
masyarakat yang
memiliki kamar
mandi yang banyak
tetapi airnya tidak
dikosongkan atau
ditutup.
4. MATERIAL a. Pemanfaatan media
informasi masih kurang
seperti papan, poster,
pamflet, leaflet, dan
stiker tentang
pencegahan dan
pemberantasan DBD dan
chikungunya.










b. Dana
- Kurangnya dana untuk
melaksanakan program
PJB.
- Dana dari pemerintah
(APBD) hanya keluar
saat terjadinya KLB.
Wawancara
dengan pemegang
program















Wawancara
dengan pemegang
program


- Adanya pemberitaan
mengenai KLB DBD
dan chikungunya di
media cetak lokal dan
radio lokal melalui
dinas sosial.
- Terpasangnya poster
mengenai DBD dan
chikungunya di
tempat umum dan
dibagikan pamflet ke
warga tentang
pencegahan dan
pemberantasan
penyakit DBD dan
chikungunya.


Tersedia dana sesuai
kegiatan yang akan
dilakukan.




- Masih kurangnya
informasi DBD
dan chikungunya
melalui poster di
tempat umum
dan pembagian
pamflet beserta
pemberitaan di
media cetak dan
radio.
- Kebanyakan
hanya dijumpai
adanya pamflet
di sarana
kesehatan saja.



Karena terbatasnya
dana sehingga pada
beberapa desa tidak
dilakukan PJB
dengan baik.

27

3. Alternatif Pemecahan Masalah
a. Manusia
1) Kurangnya kader aktif yang berperan sebagai jumantik.
- Rencana: membentuk dan memberikan pengarahan pada kader
jumantik pada masing-masing kelurahan supaya lebih aktif lagi
sebagai pemantau jentik.
- Pelaksana: pemegang program P2B2 dan perangkat kelurahan.
- Pelaksanaan: menjalankan program pemantauan jentik berkala
minimal setiap 1 bulan kemudian membentuk kader jumantik dan
melakukan pelatihan jumantik
2) Warga.
Masih rendahnya pengetahuan tentang DBD dan chikungunya dari
cara penularan, dan pencegahanserta belum terlaksananya program
3M plus secara optimal dan masih rendahnya kepedulian warga
terhadap kebersihan lingkungan sekitar.
a) Solusi I
- Rencana: melakukan penyuluhan yang berkesinambungan baik
di dalam maupun di luar gedung.
- Pelaksana: petugas promkes, kesling, P2B2, dan posyandu
(bidan desa).
- Target: terlaksananya penyuluhan di dalam dan di luar gedung
yang berkesinambungan.
b) Solusi II
- Rencana: menjadikan orang tua yang pernah menderita DBD
atau chikungunya maupun anaknya yang pernah sakit atau
meninggal sebagai kader aktif di wilayah masing-masing.
- Pelaksana: puskesmas, pihak kecamatan, dan kelurahan.
- Pelaksanaan: petugas puskesmas mencari dan melatih calon
kader yang masuk kriteria di atas kemudian berkerja sama
dengan pihak kecamatan untuk mengesahkan dan
mengeluarkan SK bagi kader yang sudah ditunjuk.
28

c) Solusi III
- Rencana: melakukan program lomba lingkungan sehat bebas
jentik berjudulkan BENDOSARI DIHATI (Peduli Sehat
Bebas Jentik). Lomba dilaksanakan antar RT di Desa Gentan
dan Sidorejo dengan alasan nilai ABJ paling rendah dan
rendahnya kepedulian warga terhadap kebersihan lingkungan
sekitar.
- Pelaksana: panitia lomba berasal dari ketua RT, RW, lurah,
dan pihak puskesmas.
- Tujuan: melatih terbentuknya karakter masyarakat peduli
terhadap lingkungan bersih dan meningkatkan antusiasme
masyarakat terhadap kebersihan lingkungan secara gotong-
royong.
- Target: terlaksananya lomba yang berkesinambungan tiap 4
bulan dalam tahun 2014.

b. Metode
1) Belum optimalnya penyuluhan kesehatan mengenai DBD dan
chikungunya di dalam dan di luar gedung.
- Rencana: merekomendasikan cara penyuluhan yang 2 arah baik di
dalam maupun di luar gedung dalam rapat dengan pimpinan
puskesmas, pemegang program, dan promkes.
- Pelaksana: puskesmas, dokter muda.
2) Belum optimalnya pelaksanaan gotong-royong membersihkan
lingkungan.
- Rencana: melakukan gotong-royong sekali sebulan.
- Pelaksana: perangkat kelurahan dan masyarakat setempat.
- Pelaksanaan: gotong-royong dilakukan pada hari Minggu pertama
setiap bulannya.


29

c. Lingkungan
1) Adanya tanah-tanah kosong di lingkungan masyarakat yang berisi
barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air.
- Rencana:
Petugas puskesmas melakukan survey terhadap tanah-tanah
kosong yang ada di wilayah kerja puskesmas.
Melakukan advokasi terhadap pemilik tanah untuk
membersihkan tanahnya dari barang-barang bekas yang dapat
menjadi tempat genangan air.
Jika tidak ada pemiliknya, lakukan advokasi terhadap lurah
dan masyarakat untuk membersihkan tanah kosong itu bersama
dan tidak membuang sampah ke tanah tersebut.
- Pelaksana: petugas puskesmas, pihak kelurahan, dan masyarakat.
- Target: bersihnya tanah kosong dari barang-barang bekas yang
dapat menjadi tempat bersarangnya nyamuk.
2) Banyaknya air tergenang di ember-ember kecil yang jarang
digunakan dan di barang-barang bekas di rumah warga, sekolah
sekolah, maupun masjid.
- Rencana: melakukan sweeping terhadap pot-pot, ember-ember,
dan barang-barang bekas yang tergenang airnya di rumah warga,
sekolah, maupun masjid pada saat PJB.
- Pelaksana: pihak kelurahan, masyarakat, pihak sekolah, dan pihak
yang terkait.
- Pelaksanaan: dilaksanakan pada hari Minggu pertama setiap
bulannya.
- Target: terlaksananya sweeping 1 kali dalam sebulan.
3) Adanya rumah masyarakat dengan kamar mandi yang tidak
digunakan tetapi bak penampungan airnya diisi air dan dibiarkan
begitu saja.
- Rencana: membagikan surat edaran dari kepala puskesmas ke
kelurahan untuk mengosongkan atau menutup bak-bak
30

penampungan air yang tidak digunakan dan memberitahukan
kepada masyarakat melalui pengumuman di masjid-masjid.
- Pelaksana: pihak puskesmas, pihak kelurahan, dan masyarakat.
- Pelaksanaan: dilaksanakan pada hari Minggu pertama setiap
bulannya untuk pemberitahuan melalui pengumuman di masjid
dan surat edaran oleh kepala puskesmas pada minggu pertama
setiap tahunnya.
- Target: pengumuman di masjid-masjid minimal sekali sebulan
dan terlaksananya surat edaran minimal 1 kali setahun.




d. Material
1) Masih kurangnya pemanfaatan media informasi seperti papan
informasi, poster, pamflet, leaflet, dan stiker tentang pencegahan dan
pemberantasan penyakit DBD dan chikungunya.
- Rencana:
Membagikan leaflet kepada warga masyarakat dalam setiap
pelaksanaan penyuluhan.
Memasang pamflet, poster, dan stiker di tempat umum yang
strategis seperti kelurahan, sekolah, tempat organisasi
masyarakat, angkutan, dan masjid.
Memasang spanduk di pinggir jalan dengan akses strategis seperti
perempatan besar, pasar, atau jalan masuk desa.
- Pelaksana: petugas puskesmas dan kader.
- Pelaksanaan:
Pembagian leaflet kepada warga pada saat penyuluhan.
Penempelan poster di tempat umum yang strategis seperti
kantorkelurahan, sekolah, atau tempat organisasi masyarakat.
- Sumber dana: kas warga dan sponsor dari pabrik obat nyamuk.
31

- Target: terlaksananya pembagian leaflet, pemasangan spanduk,
penempelan pamflet, poster, maupun stiker.
2) Dana
Minimalnya alokasi dana untuk menjalankan beberapa program
khususnya PJB.
a) Solusi I: melakukan penarikan biaya swadana sukarela pada
setiap KK di Desa Bendosari.
b) Solusi II: membuat suatu proposal kegiatan untuk diajukan
kepada sponsor (pabrik sabun, bank, koperasi simpan pinjam,
industri, dll).
-


.

















32


BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Chikungunya terdapat 91 kasus pada tahun 2014 di mana jumlah kasus
tersebut sudah menurun, tetapi masih dapat meningkat karena terhitung mulai
bulan Januari-Agustus tahun 2014. Hal ini perlu diwaspadai dengan
penyuluhan yang lebih intensif dan peningkatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) di seluruh wilayah kerja Puskesmas Bendosari, terutama di daerah
endemis untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
kebersihan lingkungan sehingga tingkat kesakitan chikungunya maupun DBD
menurun di tahun-tahun mendatang. Serta harus diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya ABJ, khususnya pada daerah endemis.
Berdasarkan penilaian prioritas, yang menjadi masalah utama di
Puskesmas Bendosari adalah peningkatan angka kejadian chikungunya pada
tahun 2014 dari tahun sebelumnya serta rendahnya angka bebas jentik di
daerah endemis wilayah kerja Puskesmas Bendosari.Dari hasil observasi dan
diskusi dengan pimpinan puskesmas dan petugas puskesmas didapatkan
beberapa sebab dari masalah yang terjadi.Dari ke-11 desa tersebut tidak ada
yang memenuhi target ABJ yaitu < 95%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai ABJ di Puskesmas
Bendosari berdasarkan diagram fish bone adalah manusia yaitu kurangnya
kader aktif yang berperan sebagai jumantik, kurang aktifnya perangkat
kelurahan dalam menggerakkan program 3M plus. Dari metode Belum
optimalnya penyuluhan kesehatan mengenai DBD dan chikungunya di dalam
dan di luar gedung, Belum optimalnya pelaksanaan gotong-royong
membersihkan lingkungan, kenudian dari faktor lingkungan adalah Adanya
tanah-tanah kosong di lingkungan masyarakat yang berisi barang-barang
bekas yang dapat menjadi tempat genangan air, Adanya rumah masyarakat
33

dengan kamar mandi yang tidak digunakan tetapi bak penampungan airnya
diisi air dan dibiarkan begitu saja.
Material Masih kurangnya pemanfaatan media informasi seperti
papan informasi, poster, pamflet, leaflet, dan stiker tentang pencegahan dan
pemberantasan penyakit DBD dan chikungunya.


























34



DAFTAR PUSTAKA

1. Adithama, T.Y., Kamso S., Basri, C., Surya A., 2006.Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis.Edisi 2 Cetakan Pertama.Departemen
kesehatan Republik Indonesia.Jakarta : Depkes RI. Pp 29-32.

2. Amin Z., Bahar A. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi V. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Pp 2230-2247.

3. Catanzano M.T., 2011. Primary Tubeculosis Imaging. Di akses dari
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 4 Agustus 2014. Pp 1-3

4. Utji R., Harun., H. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Pp 191-195.

5. WHO Report 2012: Global DBD Control Epidemiology, Strategy, Financing.
Geneva, Switzerland: WHO Press. whqlibdoc.who.int/publications/ 2009/
9789241563802_eng.

6. Heriyanto B, Muchlastriningsih E, Susilowati S, dkk. Kecenderungan
Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia Tahun 2001-2003.Cermin
Dunia Kedokteran No. 148, 2005 37. Diunduh dari: www.kalbe.co.id pada 22
Oktober 2010

7. http://dtebu.com/2014/02/angka-bebas-jentik-abj-larva-free-index.html

Anda mungkin juga menyukai