FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014 2
LEMBAR PENGESAHAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA TINGKAT ABJ (ANGKA BEBAS JENTIK) PADA KASUS CHIKUNGUNYA DI KECAMATAN BENDOSARI PADA TAHUN 2013
KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DINAS KESEHATAN KABUPATEN SUKOHARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2014
3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyakit yang ditularkan oleh vektor (vector borne diseases) seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria, chikungunya, filariasis (kaki gajah), Japanese encephalitis, dan pes masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan sejumlah penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terjadinya perubahan iklim global saat ini berpengaruh terhadap perubahan risiko penularan penyakit yang ditularkan oleh vektor penyakit, terutama nyamuk (Dinata, 2007). Indonesia merupakan negara berkembang, dengan angka kematian penyakit menular cukup tinggi dan prevalensinya meningkat karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan serta perilaku hidup masyarakat.Terlebih dalam kondisi sosial ekonomi yang kurang mendukung, tentu saja kejadian kasus penyakit menular ini memerlukan penanganan yang lebih vital, professional, dan berkualitas.Manusia sangat erat hubungannya dengan lingkungan, karena lingkungan merupakan daya dukung manusia untuk kelangsungan hidupnya (MDG, keenam). Di Indonesia Kejadian Luar Biasa (KLB) Chikungunya dilaporkan pertama kali pada tahun 1979 di Bengkulu, dan sejak itu menyebar ke seluruh daerah, di Sumatera (Jambi, 1982) maupun di luar Sumatera yaitu pada tahun 1983 di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 1984 terjadi KLB di Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur, sedangkan pada tahun 1985 di Maluku, Sulawesi Utara dan Irian Jaya (Heriyanto dkk., 2010). Dilaporkan pada tahun 2001 adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) chikungunya di Indonesia yaitu di Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat. Pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti Palembang, Semarang, Jawa Barat dan Sulawesi Utara.Pada awalnya terjadi kebingungan untuk membedakan DEN (Dengue) dengan Chik (Chikungunya), tetapi sejak dapat dilakukan isolasi virus maka 4
kedua penyakit ini dapat dibedakan, demikian juga gejala klinisnya yaitu Chikungunya lebih dominan pada nyeri di sendi-sendi.Demam Chikungunya banyak dijumpai di daerah tropis dan sering menyebabkan epidemi dalam interval tertentu (10-20 tahun). Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam Chikungunya antara lainrendahnya status kekebalan kelompok masyarakat, kepadatan populasi nyamuk penular karena banyak tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada musim penghujan(Depkes, 2009). Dalam perkembangan ilmu epidemiologi menggambarkan secara spesifik bahwa lingkungan sejak lama mempengaruhi terjadinya suatu penyakit atau wabah.Misalnyachikungunya, penyakit ini dikenal dengan penyakit flu tulang, yang ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegyptidan Aedesalbopictus, yang vektor penular penyakitnya sama dengan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang cara penanggulangan telah dikenal oleh masyarakat secara luas (Depkes RI, 2007). Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes, Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditamamenyampaikan sejak November 2011 sampai dengan minggu pertama tahun 2012.Chikungunya terjadi pada 3 Kelurahan di Kota Depok. Di Kelurahan Tanah Baru Chikungunya terjadi penderita sebagian besar perempuan (56,5%) dan diderita paling banyak pada kelompok umur di atas 31-40 tahun (42 kasus); kelompok umur 10-20 tahun (37 kasus) dan 21-30 tahun (37 kasus). Kondisi lingkungan rumah dan di dalam rumah berpotensi menjadi penular chikungunya, dimana angka bebas jentik (ABJ) hanya sekitar 50%. Tak ada cara lain untuk mencegah demam chikungunya kecuali mencegah gigitan nyamuk serta memberantas tempat perindukan nyamuk dengan tiga M (menutup,menguras, dan mengubur barang bekas yang bisa menampung air) atau menaburkan bubuk abate pada penampungan air. Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk. Seperti halnya penyakit malaria dan DBD, penyakit infeksi ini kebanyakan menjadi endemik di Negara India, khususnya 5
India bagian tengah dan selatan. Sebagai masyarakat Indonesia kita dituntut untuk lebih memperhatikan kesehatan dan kebersihan lingkungan disekitar kita, agar tidak lagi terjadi kejadian luar biasa (KLB)(Kamathet al., 2006). Sebagian besar kecamatan di Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah endemis Chikungunya dengan jumlah penderita hampir meningkat setiap tahunnya.Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2013 terdapat 39 kasus DBD (DKK Sukoharjo, 2013; Rheni & Irwan, 2011). Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo membawahi 12 puskesmas yaitu Puskesmas Weru, Puskesmas Bulu, Puskesmas Tawangsari, Puskesmas Bendosari, Puskesmas Polokarto, Puskesmas Mojolaban, Puskesmas Nguter, Puskesmas Grogol, Puskesmas Sukoharjo, Puskesmas Gatak, Puskesmas Baki, dan Puskesmas Kartasura (DKK Sukoharjo, 2014). Di kecamatan Bendosari dalam periode 1 tahun terakhir pada tahun 2013, jumlah kasuschikungunya sebesar 118 kasus, untuk kasus tersangka DD sejumlah 35 kasus, dan sebesar 13 kasus DBD. Pada tahun 2014, terjadi peningkatan jumlah kasus DBD dari 13 kasus pada tahun 2013 menjadi 13 kasus (terhitung Januari-Agustus tahun 2014). Sedangkan untuk chikungunya terdapat 91 kasus pada tahun 2014dimana jumlah kasus tersebut sudah menurun, tetapi masih dapat meningkat karena terhitung mulai bulan Januari- Agustus tahun 2014. Hal ini perlu diwaspadai dengan penyuluhan yang lebih intensif dan peningkatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di seluruh kecamatan Bendosari, terutama di daerah endemis untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan sehingga tingkat kesakitan chikungunya maupun DBD menurun di tahun-tahun mendatang. Serta harus diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya ABJ, khususnya pada daerah endemis. Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis ingin mengetahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat ABJ (Angka Bebas Jentik) pada kasus chikungunya di Kecamatan Bendosaripada tahun 2014. 6
B. Rumusan Masalah Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat ABJ (Angka Bebas Jentik)pada kasus chikungunya di Kecamatan Bendosaripada tahun 2014?
C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya ABJ terhadap kasus Chikungunya secara umum di wilayah Kec. Bendosari. 2. Tujuan Khusus - Untuk mengetahui permasalahan dan kendala program Pengamatan Jentik Berkala di wilayah kerja Puskesmas Bendosari. - Untuk mengetahui strategi perencanaan program Pengamatan Jentik Berkala wilayah kerja Puskesmas Bendosari periode tahun 2014.
D. Manfaat Penulisan 1. Penulis Dapat memberikan informasi mengenai program PJByang berpengaruh terhadap ABJuntuk pemberantasan penyakit chikungunya dan DBD di Desa Jombor, Desa Sidorejo, dan Desa Gentan Kecamatan Bendosari. 2. Institusi Pendidikan Untuk perkembangan studi tentang penyakit chikungunya dan DBD serta perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. 3. Puskesmas Untuk bahan evaluasi mengenai program ABJ dalam manajemenpemberantasan penyakit chikungunyadan DBDdi Puskesmas Bendosari.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Chikungunya 1. Definisi Chikungunyaberasal dari bahasa Swahili berdasarkangejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung (that which contorts or bends up), mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia).Belum pernah dilaporkan adanya kematian karena penyakit ini (Suharto, 2007). Aedes aegypti merupakan vektor yang bertanggung jawab terhadap transmisi di perkotaan sedangkan Aedes albopictus bertanggung jawab terhadap penyebaran penyakit di pedesaan.Nyamuk betina dewasa beristirahat di tempat dingin dan gelap di lingkungan rumah maupun luar rumah serta hanya menggigit di siang hari (Powers & Logue, 2007; Rosdiana, 2003; Sumarno et el., 2008).
2. Epidemiologi Sekitar 200-300 tahun lalu CHIKV merupakan virus pada hewan primata di hutan atau savana Afrika.Setelah beberapa lama, karakteristik CHIKV yang semula bersiklus dari primata-nyamuk-primata dapat bersiklus menjadi manusia-nyamuk-manusia (Judarwanto, 2009; Laras et al., 2004; Powers & Logue, 2007). Virus chikungunya pertama kali diidentifikasi di Afrika Timur tahun 1952.Virus ini menimbulkan epidemi di wilayah tropis Asia dan Afrika.Di Indonesia chikungunya dilaporkan pertama kali di Samarinda tahun 1973.Kemudian berjangkit di Kuala Tunkal, Jambi pada tahun 1980.Tahun 1983 merebak di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta.Setelah vakum hampir 20 tahun, awal tahun 2001 KLB chikungunya di Muara Enim, Sumatera Selatan dan Aceh.Disusul di Bogor pada bulan Oktober serta 8
berjangkit lagi di Bekasi Jawa Barat, Purworejo, dan Klaten Jawa Tengah pada tahun 2002. Hasil penelitian terhadap epidemiologi penyakit chikungunya di Bangkok (Thailand) dan Vellore,Madras (India) menunjukkan bahwa terjadi gelombang epidemi dalam interval 30 tahun.Satu gelombang epidemi umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering tidak termonitor.Gelombang epidemi berkaitan dengan populasi vektor (nyamuk penular) dan status kekebalan penduduk.
3. Etiologi Virus Chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam famili Togaviridae.Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda dengan yang dari Afrika. Virus Chikungunya disebut juga Arbovirus A Chikungunya Type, CHIK, CK. Virions mengandung satu molekul single stranded RNA. Virus dapat menyerang manusia dan hewan.Virus ini berkembang biak di dalam tubuh manusia dan menyerang semua umur. Virus ini dapat berpindah dari satu penderita ke penderita lain melalui gigitan nyamuk, terutama dari genus Aedes seperti Aedes aegypti. Nyamuk ini merupakan vektor utama untuk chikungunya.Virions dibungkus oleh lipid membran; pleomorfik; spherikal; dengan diameter 70 nm. Pada permukaan envelope didapatkan glycoprotein spikes (terdiri atas 2 virus protein membentuk heterodimer). Necleocapsids isometric; dengan diameter 40 nm (Suharto, 2007).
4. Patogenesis Virus chikungunya ditemukan dalam kelenjar nyamuk vektor. Jumlah virus yang dapat memperbanyak diri di berbagai strain nyamuk sangat bervariasi 1046-1074 PFU setiap nyamuk. Tingkat endemisitas virus ini berhubungan dengan populasi nyamuk Aedes di daerah tersebut.Lamanya kehidupan nyamuk merupakan faktor penting dalam menentukan luas tidaknya penyebaran virus.Jika nyamuk ditemukan sangat banyak maka 9
kemungkinan kejadian infeksi dapat diestimasikan sangat tinggi, terutama pada ibu dan anak yang selalu tinggal di rumah sejak pagi hingga sore hari. Otot rangka merupakan tempat utama replikasi virus.Pada manusia virus ini dapat menimbulkan penyakit dalam 2 hari sesudah gigitan nyamuk.Penderita mengalami viremia tinggi dalam 2 hari pertama sakit, berkurang pada hari ke-3 atau ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada hari ke-5.Silent infection dapat terjadi.Antibodi yang timbul membuat penderita kebal terhadap serangan virus selanjutnya.Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap IgG anti-chikungunya yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi (Rosdiana, 2003; Sumarno et al., 2008).
5. Bionomik Vektor Bionomik vektor sangat penting diketahui karena berhubungan dengan tindakan-tindakan dalam pencegahan dan pemberantasannya yang berhubungan dengan tempat perindukan, kebiasaan menggigit, tempat istirahat, jarak terbang dan siklus hidup. a. Tempat Perindukan (Breeding Place) Tempat perindukan utama adalah tempat-tempat penampungan air didalam dan diluar sekitar rumah. Nyamuk aedes aegypti tidak berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah. Jenis-jenis tempat perindukan nyamuk aedes aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Tempat penampungan air (TPA), untuk keperlakuan sehari-hari seperti drum, tengki reservoir, tempayan, bak mandi, WC, ember dan lain- lain. 2) Tempat penampungan bukan keperluan sehari-hari seperti tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain). a) Tempat minum hewan piaraan Tempat minum hewan piaraan yang dimaksud adalah tempat tempat minum hewan piaraan yang dimiliki oleh responden yang 10
berada di lingkungan sekitar rumah baik di dalam rumah maupun di luar rumah, misalnya: tempat minum burung, tempat minum ayam, dan hewan piaraan yang lain. b) Barang barang bekas Barangbarang bekas yang dimaksud adalah barangbarang yang sudah tidak terpakai yang dapat menampung air, yang berada di dalam maupun di luar rumah responden. Barang barang tersebut antara lain: kaleng, ban bekas, botol, pecahan gelas, dll. c) Vas bunga Vas bunga yang dimaksud adalah vas bunga yang berisi air yang terletak di dalam rumah responden yang memungkinkan nyamuk A. aegypti berkembangbiak di dalam vas bunga tersebut. d) Perangkap semut Perangkap semut yang dimaksud adalah tempat perangkap semut yang berisi air yang biasanya diletakkan dibawah kaki meja untuk mencegah semutsemut naik keatas meja yang berisi makanan yang terletak di dalam rumah responden. e) Penampungan air dispenser Penampungan air dispenser yang dimaksud adalah tempat penampungan air yang menyatu dengan dispenser yang terletak dibawah alat yang digunakan untuk mengalirkan air di dalam wadah/galon dispenser, letaknya di dalam rumah responden. f) Pot tanaman air Pot tanaman air yang dimaksud adalah pot pot berisi air yang digunakan sebagai media tanaman air untuk hidup, yang terletak di dalam maupun di luar rumah responden. 3) Tempat penampungan air ilmiah seperti lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa, talang penampungan air hujan (Suroso, 2000 dan Soedarmo, 1988).
11
b. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit) Nyamuk Aedes aegypti lebih menyukai darah manusia daripada binatang (antropofilik).Darahnya diperlukan untuk mematangkan telur jika dibuahi oleh nyamuk jantan sehingga menetas.Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan biasanya bervariasi antara 3-4 hari.Jangka waktu tersebut satu siklus gonotropik.Nyamuk ini aktif pada siang hari dan menggigit di dalam dan diluar rumah.Mempunyai dua puncak aktifitas dalam mencari mangsa yaitu mulai pagi hari dan petang hari yaitu antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. c. Tempat Istirahat (Resting Place) Tempat yang disukai nyamuk untuk beristirahat selama menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit angin.Nyamuk aedes aegypti biasanya hinggap didalam rumah pada benda-benda yang bergantungan seperti pakaian. d. Jarak Terbang (Flight Habit) Pergerakan nyamuk aedes aegypti dari tempat perindukan ketempat mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh kemampuan terbangnyamuk aedes aegypti betina adalah rata-rata 40-100 m. Namun secara pasif karena angin dapat terbang sejauh 2 km. e. Siklus Hidup Nyamuk Siklus hidup nyamuk aedes aegypti mengalami metamorfosa sempurna dengan tahap telur, larva,pupa, dan dewasa. 1) Telur Nyamuk aedes aegypti betina suka bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam tempat-tempat yang berisi air jernih dan terlindung dari cahaya matahari langsung.Tempat air yang dipilih adalah tempat air didalam rumah dan dekat.Telur aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, telur diletakkan satu persatu di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi didalam rumah dan bangunan, termasuk dikamar tidur,kamar mandi, kamar 12
kecil maupun dapur. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam dilingkungan yang hangat dan lembab.Begitu proses embrionasi selesai, telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari 1 tahun).Telur akan menetas pada waktu yang sama, kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan membantu mempertahankan kelangsungan spesies selama kondisi iklim buruk. 2) Larva Telur yang tidak menetas karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai membentuk larva yang dilapisi kista dapat bertahan lebih dari setahun berbentuk oval dan berwarna putih.Larva aedes aegypti menempel dipermukaan dinding vartikel sampai pada waktu menetas.Perkembangan larva tergantung pada suhu, ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada sarang.Pada kondisi yang optimum, waktu yang dibutuhkan mulai dari penetasan sampai kemunculan nyamuk dewasa akan berlangsung sedikitnya selama 7 hari termasuk 2 hari untuk masa menjadi pupa, sedangkan pada suhu yang rendah membutuhkan beberapa minggu untuk kemunculan nyamuk dewasa.Habitat alami larva jarang ditemukan, tetapi dapat ditemukan di lubang pohon, pangkal daun dan tampurung kelapa. Selain di tempat alami larva dapat juga ditemukan pada kendi air, kaleng, pot bunga, botol, tempat penampung air terbuat dari logam dan kayu, ban (Suroso, 2003). Pada daerah yang panas dan kering, tangki air diatas, tangki penyimpanan air di tanah dan septic tank bisa menjadi tempat habitat larva yang utama dan pada wilayah yang persediaan airnya tidak teratur, penghuni menyimpan air untuk kegunaan rumah tangga sehingga memperbanyak jumlah habitat yang ada untuk larva (Suroso, 2003). 3) Pupa Pupa nyamuk A. aegypti bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian kepala dada lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca koma. Pada bagian punggung 13
(dorsal) dada terdapat alat pernapasan seperti terompet.Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna untuk berenang.Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu pada ruas perut tidak bercabang.Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat posisi pupa sejajar dedengan bidang permukaan air (Soegeng, 2006). 4) Nyamuk Dewasa Nyamuk Aedes larva dan nyamuk dewasa banyak ditemukan disepanjang tahun di semua kota di Indonesia sesaat setelah menjadi dewasa akan kawin dengan nyamuk betina yang sudah dibuahi dan akan menghisap darah dalam waktu 24-36 jam. Darah merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur (Depkes RI, 2004).
6. Gejala Demam Chikungunya Virus chikungunya menyebabkan demam dengan periode inkubasi 2-4 hari sejak gigitan nyamuk.Viremia ini menetap selama 5 hari sejak onset klinis.Manifetsasi klinis berupa demam (92%) disertai dengan artralgia (87%), nyeri punggung (67%), dan sakit kepala (62%).Demam ini bervariasi mulai dari ringan sampai berat yang menghilang dalam 24-48 jam.Demam ini terjadi mendadak sampai 39-40 o C disertai menggigil dan kekakuan yang biasanya menghilang dengan pemberian antipiretik. Dalam kasus wabah terbaru banyak pasien mengeluhkan artralgia tanpa demam.Nyeri sendi memburuk pada pagi hari dan berkurang dengan aktivitas ringan.Nyeri sendi ini dapat menghilang selama 2-3 hari yang kemudian muncul lagi dengan pola pelana kuda.Poliartritis migran dengan efusi dijumpai pada 70% kasus tetapi menghilang sendiri. Ruam makulopapular transien pada 50% kasus, erupsi makulopapular dapat menetap lebih dari 2 hari pada 10% kasus, dan ulkus intertriginosa maupun erupsi vesikobulosa juga dapat ditemukan. Hanya beberapa orang yang 14
mengalami lesi angiomatosa dan purpura. Fotofobia dan nyeri retro-orbital pernah ditemukan walaupun jarang terjadi pada orang dewasa (Sumarno et al., 2008).
7. Diagnosis Pasti Test penunjang Tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mendiagnosis chikungunya adalah RT-PCR, isolasi virus, dan tes serologis. a. Isolasi virus paling akurat tetapi waktunya lama yaitu 1-2 minggu. b. RT-PCR hasil dapat diterima dalam 1-2 hari. c. Tes serologis dibutuhkan darah dengan volume lebih banyak, menggunakan cara ELISA untuk mengukur IgM chikungunya, hasil diperoleh setelah 2-3 hari, dan false positif ditemukan pada infeksi virus Onyong-nyong dan Semliki Forest (Eppy, 2006; Judarwanto, 2009; Sumarno et al., 2008).
Diagnosis Diagnosis chikungunya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.Dari anamnesis diperoleh keluhan demam, nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, lemah, mual, muntah, fotofobia, dan bertempat tinggal di daerah berisiko terkena chikungunya.Pada pemeriksaan fisik ditemukan ruam makulopapular, limfadenopati servikal, dan injeksi konjungtiva.Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan leukopenia dengan limfositosis relatif, jumlah trombosit dapat menurun sedang, laju endap darah (LED) meningkat, dan C-reaktif protein positif pada kasus akut. Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis tergantung pada peningkatan titer antibodi sesudah sakit.Pada serum yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF, atau netralisasi.Antibodi netralisasi dan HI ditemukan pada serum yang diambil 2 minggu atau lebih 15
sesudah serangan panas timbul. Diagnosis pasti ditegakkan jika didapatkan salah satu hal berikut: a. Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi (HI). b. Virus chikungunya (CHIKV) pada isolasi virus. c. IgM capture ELISA.
Untuk diagnosis serologi diperlukan 10-15 ml serum whole blood. Serum fase akut diambil diambil segera sesudah muncul manifestasi klinis dan serum fase konvalesensi diambil 10-14 hari sesudah sampel pertama (Judarwanto, 2009; Sumarno et all, 2008).
8. Tatalaksana Chikungunya termasuk self limiting disease.Pengobatan diberikan secara simptomatis seperti analgesik (parasetamol).Antibiotik tidak diperlukan pada kasus ini.Untuk memperbaiki keadaan umum penderita dianjurkan makan makanan bergizi, cukup karbohidrat dan protein, serta minum sebanyak mungkin.Pemberian vitamin peningkat daya tahan tubuh mungkin bermanfaat untuk penanganan penyakit.Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa mempercepat penyembuhan penyakit. Minum banyak juga disarankan untuk mengatasi kebutuhan cairan yang meningkat saat terjadi demam (Sumarno et al., 2008).
9. Pencegahan Cara yang sering dipakai dalam pencegahan chikungunya yaitu: a. Menguras bak mandi b. Menutup tempat penampungan air c. Mengubur sampah, terutama yang dapat menampung air d. Menaburkan larvasida e. Memelihara ikan pemakan jentik f. Pengasapan g. Pemakainan obat nyamuk 16
h. Pemakaian kawat kasa di rumah
Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari golongan malation dan themopos untuk mematikan jentik-jentiknya. Malation dipakai dengan cara pengasapan bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini dikarenakan nyamuk tidak suka hinggap di dinding melainkan pada benda-benda yang menggantung (Judarwanto, 2009).
10. Prognosis Penyakit ini bersifat self limiting disease, tidak pernah dilaporkan kejadian kematian, keluhan sendi mungkin berlangsung lama. Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi virus chikungunya, 87,9% sembuh sempurna; 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort; 2,8% mempunyai persisten residual joint stiffnes, tetapi tidak nyeri; dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persisten, kaku dan sering mengalami efusi sendi (Suharto,2007).
11. Ekologi Vektor Keberadaan Jentik a. Survei Jentik Pada Survei Entomologi chikungunya dan DBD ada 5 Kegiatan Pokok, yaitu : pengumpulan data terkait, survei telur, survei jentik atau larva, survei nyamuk, dan survei lain-lain (Depkes RI, 2002). Yang mengamati perilaku dari berbagai lingkungan, vektor, cara-cara pemberantasan vektor dan cara-cara menilai hasil pemberantasan vektor. Survei jentik dapat dilakukan dengan cara : 1) Metode Single Larva Pada setiap kontainer yang ditemukan ada jentik, maka satu ekor jentik akan diambil dengan cidukan (gayung plastik) atau menggunakan pipet panjang jentik sebagai sampel untuk pemeriksaan spesies jentik dan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya. Jentik yang 17
diambil ditempatkan dalam botol kecil/vial bottledan diberi label sesuai dengan nomor timsurvei, nomor lembar formulir berdasarkan 1 nomor rumah yang di survei dan nomor kontainer dalam formulir. 2) Metode Visual Hanya dilihat dan dicatat ada tidaknya jentik didalam kontainer tidak dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesies jentik.Survei ini dilakukan pada survei lanjutan untuk memonitor indek-indek jentik atau menilai PSN yang dilakukan (Depkes RI, 2002). Tiga indeks yang biasa dipakai untuk memantau tingkat gangguan A. aegypti, yaitu: a) House Index (HI) yaitu persentase rumah yang terjangkit larva/ jentik. HI = (Jumlah rumah yang terjangkit): (Jumlah rumah yang diperiksa)100 b) Container index (CI) yaitu persentase penampungan air yang terjangkit larva atau jentik. CI = (Jumlah penampung yang positif): (Jumlah penampung yang diperiksa)100 c) Breteau index (BI) yaitu jumlah penampung air yang positif per 100 rumahyang diperiksa. BI = (Jumlah penampung yang positif): (Jumlah rumah yang diperiksa) 100
b. Vektor Nyamuk Aedes aegypti Virus chik ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamuk aedes dari sub genus stegomyia.Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk aedes yang bisa menularkan virus chik yaitu: A. aegypti, A. albopictus dan A. scutellaris (Depkes RI, 2002). Dari ketiga jenis nyamuk tersebut A. aegypti lebih berperan dalam penularan penyakit Chikungunya.Nyamuk ini banyak ditemukan di dalam rumah atau bangunan dan tempat perindukanya juga lebih banyak terdapat di dalam 18
rumah.Keberadaan jentik berhubungan dengan keberadaan vektor nyamuk A. aegypti juga, oleh karena itu untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk A. aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di rumah yang dipilih secara acak. Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator. Indek indek nyamuk yang di gunakan adalah: Biting/landing rate = (Jumlah A.aegypti betina yang tertangkap umpan orang ) : (Jumlah penangkapan jumlah jam penangkapan) Re sting / rumah = (Jumlah A.aegypti betina pada penangkapan nyamuk hinggap) : (Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan) c. Angka Bebas Jentik Angka bebas jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang di lakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 (tiga) bulan oleh petugas puskesmas pada rumah -rumah penduduk yang diperiksa secara acak. Jumlah rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik X100% Jumlah rumah/bangunan yang di periksa
19
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Puskesmas Bendosari 1. Letak Geografis Puskesmas Bendosari merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah.Puskesmas ini terletak di Kecamatan Bendosari yang memiliki wilayah cukup luas dan letak cukup strategis karena berbatasan langsung dengan 1 kabupaten dan dekat dengan RSUD Sukoharjo.Wilayah kerja Puskesmas Bendosari terdiri dari 13 desa dan 1 kelurahan. Luas wilayah tercatat 3.235.641,4 km 2 . Adapun batas wilayah Kecamatan Bendosari meliputi: - Utara : Kec. Polokarto, Kec. Mojolaban - Selatan : Kec. Nguter, Kec. Sukoharjo - Barat : Kec. Sukoharjo - Timur : Kab. Karanganyar
Gambar 1. Peta Kabupaten Sukoharjo
2. Keadaan Penduduk Berdasarkan data dari BPS jumlah penduduk pada tahun 2014 di kecamatan Bendosari adalah 68.691 jiwa yang terdiri dari 26.489 kepala 20
keluarga (KK) dengan distribusi penduduk laki-laki 32.802 jiwa dan perempuan 35.889 jiwa. Di mana jumlah penduduk Desa Manisharjo sebanyak 3.675 jiwa, jumlah penduduk Desa Gentan sebanyak 6.989 jiwa, jumlah penduduk Desa Jombor sebanyak 7.012 jiwa, dan jumlah penduduk Desa Sidorejo sebanyak 4.365 jiwa. a. Sumber Daya Kesehatan Jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas Bendosari mencapai 56 orang dengan proporsi sebagai berikut: - Dokter : 3 dokter umum, 2 dokter gigi - Bidan : 18 bidan puskesmas, 12 bidan desa - Perawat :11 perawat umum, 2 perawat gigi - Asisten apoteker : 1 orang - Sanitarian : 1 orang - Tenaga gizi nutrisi: 2 orang - Fisioterapis : 1 orang - Analisis kesehatan: 1 orang - Rekam medis : 1 orang b. Profil Puskesmas Dalam hal upaya pengobatan Puskesmas Bendosari memiliki: - 1 puskesmas induk di Desa Bendosari. - 5 puskesmas pembantu di Desa Jombor, Cabeyan, Puhgogor, Gentan, dan Pemda Sukoharjo. - 10 poliklinik desa atau PKD di Desa Manisharjo, Paluhombo, Bendosari, Mojorejo, Sidorejo, Jagan, Toriyo, Sugihan, Mertan, dan Cabeyan.
21
B. Hasil
Data hasil laporan kerja Puskesmas Bendosari sementara, yang terhitung sejak Januari-Agustus 2014, menunjukkan Angka Bebas Jentik (ABJ) yang tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Diperoleh ABJ 90% di Desa Manisharjo, Manggungjati. Di Desa Jombor Permai dan Jombor Baru masing-masing didapatkan ABJ yang sama, yaitu sebesar 85%. Desa Sidorejo Ngaglik II/IV mempunyai ABJ sebesar 85%, Sidorejo Tanjungsari II/V sebesar 87%, dan Sidorejo Ngaglik III/VI sebesar 80%. Sedangkan Desa Gentan Kumbul I/IX dan Gentan Kwanggan I/IX sama-sama mempunyai ABJ sebesar 80%.
Tabel 1. Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kecamatan Bendosari pada Tahun 2014 (Januari Agustus) No. Desa Jumlah Kasus ABJ (%) 1. Manisharjo, Manggungjati 5 90 % 2. Jombor, Permai 8 85 % 3. Jombor, Baru 15 85 % 4. Sidorejo, Ngaglik II/IV 13 85 % 5. Sidorejo, Tanjungsari II/V 10 87 % 6. Sidorejo, Ngaglik III/VI 20 80 % 7. Gentan, Kumbul I/IX 15 80 % 8. Gentan, Kwanggan I/IX 5 80 %
A. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam laporan ini adalah analisis fishbone.Analisis fishbone berarti analisis tulang ikan disebut juga dengan fishbone diagram,cause effect diagram, atau ishikawa diagram. Analisis ini merupakan alat yang umum digunakan untuk membantu organisasi 22
memecahkan masalah dengan melakukan analisis sebab dan akibat dari suatu keadaan dalam sebuah diagram yang terlihat seperti sebuah tulang ikan. Berdasarkan penilaian prioritas, yang menjadi masalah utama di Puskesmas Bendosari adalah peningkatan angka kejadian chikungunya pada tahun 2014 dari tahun sebelumnya serta rendahnya angka bebas jentik di daerah endemis wilayah kerja Puskesmas Bendosari. Dari hasil observasi dan diskusi dengan pimpinan puskesmas dan petugas puskesmas didapatkan beberapa sebab dari masalah yang terjadi. Dari ke-11 desa tersebut tidak ada yang memenuhi target ABJ yaitu < 95%.
1. Diagram Fishbone kerangka Konsep
Nilai angka bebas jentik (ABJ) lebih rendah dari standar 95%
MANUSIA Petugas kesehatan Kader Warga masyarakat Perangkat kelurahan MATERIAL Pemanfaatan media informasi METODE PJB Penyuluhan Foging Bubuk abate LINGKUNGAN Penampungan air Tanah kosong Barang bekas Keterangan : penyebab masalah Dana PSN Sarana dan prasarana 23
Gambar 2. Diagram Fishbone
2. Identifikasi Masalah No Faktor Penyebab Masalah Teknik Identifikasi Masalah Indikator Keterangan 1.
MANUSIA
a. Petugas Kesehatan - Terbatasnya jumlah petugas khususnya pada programP2B2(Penge ndalian Penyakit Bersumber Binatang). - Tiap petugas sudah dibebani banyak program (double job).
Wawancara dengan penanggung jawab program P2B2.
Kerja tim P2B2, kesling P2PL, dan Bidan desa.
Hanya ada 6 orang petugas kesehatan dalam P2PLdan hanya terdapat 1 pemegang program P2B2 di puskesmas. b. Kader Pengetahuan tentang tempat yang berpotensi terdapat jentik nyamuk kurang.
Wawancara dengan penanggung jawab program P2B2
Adanya kader jumantik yang telah dilatih untuk melakukan pemantauan berkala minimal 3 x setahun.
Minimalnya kader yang aktif sebagai jumatik (juru pemantau jentik).
c. Perangkat Kelurahan Kurang aktifnya lurah, RW, atau RT dalam menggerakkan warganya untuk gerakan 3M plus.
Wawancara dengan penanggung jawab program P2B2
Adanya penanggung jawab masing-masing RW untuk menggerakkan masyarakat menjalankan program 3M plus.
Tidak adanya penanggung jawab masing-masing RW dalam menggerakkan 3M plus.
24
d. Warga Masyarakat - Masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit, cara penularan, dan pencegahan DBD dan chikungunya. - Masyarakat belum bisa melaksanakan gerakan 3M secara optimal untuk mencegah DBD dan chikungunya.
- Wawancara dengan pemegang program
Sebagian besar masyarakat mengetahui tentang penyakit DBD dan chikungunya, cara penularan , dan pencegahannya melalui Gerakan 3M plus.
- Dari wawancara terhadap masyarakat pengetahuan terhadap DBD dan chikungunya rendah karena adanya beberapa faktor seperti tingkat pendidikan yang rendah. - Gerakan 3M plus baru dilaksanakan oleh sebagian kecil warga.
25
2. METODE Belum optimalnya pelaksanaan gotong-royong bersama untuk membersihkan lingkungan sekitar rumah warga di wilayah kerja Puskesmas Bendosari. Wawancara dengan pemegang program
gotong-royong seharusnya dilakukan bersama di masing- masing kelurahan minimal 1 x sebulan (setiap hari Minggu di awal bulan).
Pada kenyataannya gotong royong tidak rutin dilakukan oleh warga.
3. LINGKUNG- AN Adanya tanah- tanah kosong di lingkungan masyarakat yang berisi barang bekas atau barang yang berpotensi menjadi tempat genangan air. Wawancara dengan pemegang program
Idealnya tanah kosong dibersihkan bersama oleh masyarakat sekitar sekaligus mengubur barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air (ban, kaleng bekas, dll). Masih ada tanah kosong di lingkungan tempat tinggal masyarakat yang berisi barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air.
Banyaknya dijumpai air dalam wadah kecil atau ember kecil di sekitar rumah dan jarang digunakan (air untuk mengasah perlengkapan pisau, sabit, kapak dll). Wawancara dengan pemegang program Sebagian besar di mana ada tempat air untuk mengasah terdapat jentik nyamuk dan ada barang- barang bekas atau wadah lainnya yang berpotensi dapat menyebabkan tergenang air. Masih banyak pot, barang bekas, wadah yang tergenang air di rumah warga ( saat musim penghujan )
26
Adanya rumah-rumah masyarakat dengan kamar mandi yang tidak digunakan tetapi bak penampungan airnya diisi air dan dibiarkan begitu saja atau tidak dikeringkan. Wawancara dengan pemegang program Idealnya bak penampungan airnya dikosongkan atau ditutup jika tidak digunakan.
Ada beberapa rumah masyarakat yang memiliki kamar mandi yang banyak tetapi airnya tidak dikosongkan atau ditutup. 4. MATERIAL a. Pemanfaatan media informasi masih kurang seperti papan, poster, pamflet, leaflet, dan stiker tentang pencegahan dan pemberantasan DBD dan chikungunya.
b. Dana - Kurangnya dana untuk melaksanakan program PJB. - Dana dari pemerintah (APBD) hanya keluar saat terjadinya KLB. Wawancara dengan pemegang program
Wawancara dengan pemegang program
- Adanya pemberitaan mengenai KLB DBD dan chikungunya di media cetak lokal dan radio lokal melalui dinas sosial. - Terpasangnya poster mengenai DBD dan chikungunya di tempat umum dan dibagikan pamflet ke warga tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dan chikungunya.
Tersedia dana sesuai kegiatan yang akan dilakukan.
- Masih kurangnya informasi DBD dan chikungunya melalui poster di tempat umum dan pembagian pamflet beserta pemberitaan di media cetak dan radio. - Kebanyakan hanya dijumpai adanya pamflet di sarana kesehatan saja.
Karena terbatasnya dana sehingga pada beberapa desa tidak dilakukan PJB dengan baik.
27
3. Alternatif Pemecahan Masalah a. Manusia 1) Kurangnya kader aktif yang berperan sebagai jumantik. - Rencana: membentuk dan memberikan pengarahan pada kader jumantik pada masing-masing kelurahan supaya lebih aktif lagi sebagai pemantau jentik. - Pelaksana: pemegang program P2B2 dan perangkat kelurahan. - Pelaksanaan: menjalankan program pemantauan jentik berkala minimal setiap 1 bulan kemudian membentuk kader jumantik dan melakukan pelatihan jumantik 2) Warga. Masih rendahnya pengetahuan tentang DBD dan chikungunya dari cara penularan, dan pencegahanserta belum terlaksananya program 3M plus secara optimal dan masih rendahnya kepedulian warga terhadap kebersihan lingkungan sekitar. a) Solusi I - Rencana: melakukan penyuluhan yang berkesinambungan baik di dalam maupun di luar gedung. - Pelaksana: petugas promkes, kesling, P2B2, dan posyandu (bidan desa). - Target: terlaksananya penyuluhan di dalam dan di luar gedung yang berkesinambungan. b) Solusi II - Rencana: menjadikan orang tua yang pernah menderita DBD atau chikungunya maupun anaknya yang pernah sakit atau meninggal sebagai kader aktif di wilayah masing-masing. - Pelaksana: puskesmas, pihak kecamatan, dan kelurahan. - Pelaksanaan: petugas puskesmas mencari dan melatih calon kader yang masuk kriteria di atas kemudian berkerja sama dengan pihak kecamatan untuk mengesahkan dan mengeluarkan SK bagi kader yang sudah ditunjuk. 28
c) Solusi III - Rencana: melakukan program lomba lingkungan sehat bebas jentik berjudulkan BENDOSARI DIHATI (Peduli Sehat Bebas Jentik). Lomba dilaksanakan antar RT di Desa Gentan dan Sidorejo dengan alasan nilai ABJ paling rendah dan rendahnya kepedulian warga terhadap kebersihan lingkungan sekitar. - Pelaksana: panitia lomba berasal dari ketua RT, RW, lurah, dan pihak puskesmas. - Tujuan: melatih terbentuknya karakter masyarakat peduli terhadap lingkungan bersih dan meningkatkan antusiasme masyarakat terhadap kebersihan lingkungan secara gotong- royong. - Target: terlaksananya lomba yang berkesinambungan tiap 4 bulan dalam tahun 2014.
b. Metode 1) Belum optimalnya penyuluhan kesehatan mengenai DBD dan chikungunya di dalam dan di luar gedung. - Rencana: merekomendasikan cara penyuluhan yang 2 arah baik di dalam maupun di luar gedung dalam rapat dengan pimpinan puskesmas, pemegang program, dan promkes. - Pelaksana: puskesmas, dokter muda. 2) Belum optimalnya pelaksanaan gotong-royong membersihkan lingkungan. - Rencana: melakukan gotong-royong sekali sebulan. - Pelaksana: perangkat kelurahan dan masyarakat setempat. - Pelaksanaan: gotong-royong dilakukan pada hari Minggu pertama setiap bulannya.
29
c. Lingkungan 1) Adanya tanah-tanah kosong di lingkungan masyarakat yang berisi barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air. - Rencana: Petugas puskesmas melakukan survey terhadap tanah-tanah kosong yang ada di wilayah kerja puskesmas. Melakukan advokasi terhadap pemilik tanah untuk membersihkan tanahnya dari barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air. Jika tidak ada pemiliknya, lakukan advokasi terhadap lurah dan masyarakat untuk membersihkan tanah kosong itu bersama dan tidak membuang sampah ke tanah tersebut. - Pelaksana: petugas puskesmas, pihak kelurahan, dan masyarakat. - Target: bersihnya tanah kosong dari barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat bersarangnya nyamuk. 2) Banyaknya air tergenang di ember-ember kecil yang jarang digunakan dan di barang-barang bekas di rumah warga, sekolah sekolah, maupun masjid. - Rencana: melakukan sweeping terhadap pot-pot, ember-ember, dan barang-barang bekas yang tergenang airnya di rumah warga, sekolah, maupun masjid pada saat PJB. - Pelaksana: pihak kelurahan, masyarakat, pihak sekolah, dan pihak yang terkait. - Pelaksanaan: dilaksanakan pada hari Minggu pertama setiap bulannya. - Target: terlaksananya sweeping 1 kali dalam sebulan. 3) Adanya rumah masyarakat dengan kamar mandi yang tidak digunakan tetapi bak penampungan airnya diisi air dan dibiarkan begitu saja. - Rencana: membagikan surat edaran dari kepala puskesmas ke kelurahan untuk mengosongkan atau menutup bak-bak 30
penampungan air yang tidak digunakan dan memberitahukan kepada masyarakat melalui pengumuman di masjid-masjid. - Pelaksana: pihak puskesmas, pihak kelurahan, dan masyarakat. - Pelaksanaan: dilaksanakan pada hari Minggu pertama setiap bulannya untuk pemberitahuan melalui pengumuman di masjid dan surat edaran oleh kepala puskesmas pada minggu pertama setiap tahunnya. - Target: pengumuman di masjid-masjid minimal sekali sebulan dan terlaksananya surat edaran minimal 1 kali setahun.
d. Material 1) Masih kurangnya pemanfaatan media informasi seperti papan informasi, poster, pamflet, leaflet, dan stiker tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dan chikungunya. - Rencana: Membagikan leaflet kepada warga masyarakat dalam setiap pelaksanaan penyuluhan. Memasang pamflet, poster, dan stiker di tempat umum yang strategis seperti kelurahan, sekolah, tempat organisasi masyarakat, angkutan, dan masjid. Memasang spanduk di pinggir jalan dengan akses strategis seperti perempatan besar, pasar, atau jalan masuk desa. - Pelaksana: petugas puskesmas dan kader. - Pelaksanaan: Pembagian leaflet kepada warga pada saat penyuluhan. Penempelan poster di tempat umum yang strategis seperti kantorkelurahan, sekolah, atau tempat organisasi masyarakat. - Sumber dana: kas warga dan sponsor dari pabrik obat nyamuk. 31
- Target: terlaksananya pembagian leaflet, pemasangan spanduk, penempelan pamflet, poster, maupun stiker. 2) Dana Minimalnya alokasi dana untuk menjalankan beberapa program khususnya PJB. a) Solusi I: melakukan penarikan biaya swadana sukarela pada setiap KK di Desa Bendosari. b) Solusi II: membuat suatu proposal kegiatan untuk diajukan kepada sponsor (pabrik sabun, bank, koperasi simpan pinjam, industri, dll). -
.
32
BAB IV KESIMPULAN
A. Kesimpulan Chikungunya terdapat 91 kasus pada tahun 2014 di mana jumlah kasus tersebut sudah menurun, tetapi masih dapat meningkat karena terhitung mulai bulan Januari-Agustus tahun 2014. Hal ini perlu diwaspadai dengan penyuluhan yang lebih intensif dan peningkatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di seluruh wilayah kerja Puskesmas Bendosari, terutama di daerah endemis untuk membangkitkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan sehingga tingkat kesakitan chikungunya maupun DBD menurun di tahun-tahun mendatang. Serta harus diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya ABJ, khususnya pada daerah endemis. Berdasarkan penilaian prioritas, yang menjadi masalah utama di Puskesmas Bendosari adalah peningkatan angka kejadian chikungunya pada tahun 2014 dari tahun sebelumnya serta rendahnya angka bebas jentik di daerah endemis wilayah kerja Puskesmas Bendosari.Dari hasil observasi dan diskusi dengan pimpinan puskesmas dan petugas puskesmas didapatkan beberapa sebab dari masalah yang terjadi.Dari ke-11 desa tersebut tidak ada yang memenuhi target ABJ yaitu < 95%. Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya nilai ABJ di Puskesmas Bendosari berdasarkan diagram fish bone adalah manusia yaitu kurangnya kader aktif yang berperan sebagai jumantik, kurang aktifnya perangkat kelurahan dalam menggerakkan program 3M plus. Dari metode Belum optimalnya penyuluhan kesehatan mengenai DBD dan chikungunya di dalam dan di luar gedung, Belum optimalnya pelaksanaan gotong-royong membersihkan lingkungan, kenudian dari faktor lingkungan adalah Adanya tanah-tanah kosong di lingkungan masyarakat yang berisi barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat genangan air, Adanya rumah masyarakat 33
dengan kamar mandi yang tidak digunakan tetapi bak penampungan airnya diisi air dan dibiarkan begitu saja. Material Masih kurangnya pemanfaatan media informasi seperti papan informasi, poster, pamflet, leaflet, dan stiker tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD dan chikungunya.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Adithama, T.Y., Kamso S., Basri, C., Surya A., 2006.Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.Edisi 2 Cetakan Pertama.Departemen kesehatan Republik Indonesia.Jakarta : Depkes RI. Pp 29-32.
2. Amin Z., Bahar A. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3 Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Pp 2230-2247.
3. Catanzano M.T., 2011. Primary Tubeculosis Imaging. Di akses dari www.emedicine.medscape.com pada tanggal 4 Agustus 2014. Pp 1-3
4. Utji R., Harun., H. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Pp 191-195.
5. WHO Report 2012: Global DBD Control Epidemiology, Strategy, Financing. Geneva, Switzerland: WHO Press. whqlibdoc.who.int/publications/ 2009/ 9789241563802_eng.
6. Heriyanto B, Muchlastriningsih E, Susilowati S, dkk. Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Indonesia Tahun 2001-2003.Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 37. Diunduh dari: www.kalbe.co.id pada 22 Oktober 2010